Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dwi wahyu saputri

Kelas : XII AKL 3


Absen : 7

SECANGKIR KOPI RASA CINTA

Matahari mulai terbenam di ufuk barat, perlahan semburan berwarna jingga mulai menghiasi
langit ditemani suara hewan malam yang mulai terdengar. Jasi menatap ke arah jendela besar
yang berada di samping meja kerjanya, ia dapat melihat kendaran yang berlalu lalang di
bawah sana. Lampu-lampu jalan juga mulai menyala menerangi jalan.

Jasi menghembuskan napasnya kasar sepertinya ia harus lembur lagi hari ini. Besok ia harus
menghadiri rapat untuk produk baru yang dikeluarkan perusahaannya. Ia meraih cangkir
kopinya yang berada di atas meja kerjanya dan meminumnya sedikit. Namun ada yang terasa
lain dengan kopi itu, kopi itu terasa hambar. Seakan lidahnya sudah mati rasa saat meminum
kopi, ia sudah tak dapat lagi merasakan pahit dan manisnya kopi. Ia sudah tak bisa lagi
menikmati aroma kopi yang selalu memabukkanya.

Dan semua ini terjadi karena Sendi, kekasih hatinya yang telah pergi meninggalkannya.
Seorang wanita yang telah berhasil menyembuhkan hatinya dikala ia terpuruk dan malah
kembali meninggalkan luka yang lebih dalam untuknya. Sampai sekarang ia masih tak dapat
melupakan perasaannya kepada Sendi. ‘Oh Sendi aku sangat merindukanmu’ pekik Jesi
dalam hatinya. Ia begitu merindukan segala sesuatu tentang wanitanya itu. Wanitanya? Jesi
tersenyum pedih, bagaimana bisa ia menyebut wanita itu sebagai wanitanya sekarang? Jika
faktanya adalah wanita itu telah meninggalkannya tanpa kabar selama berbulan-bulan.
Apakah wanita itu tak tahu bagaimana perasaanya sekarang.

Sedih itu sudah pasti, siapa yang tak akan sedih jika ditinggalkan oleh kekasihnya tanpa
kabar seperti ini. Jesi terkekeh pedih dalam kesendiriannya sekarang ini. Seakan saat wanita
itu pergi dari kehidupannya saat ini, seluruh kebahagiannya pun turut meninggalkannya.
Bahkan secangkir kopi yang dulunya selalu dapat menghiburnya dari kegundahan hatinya,
kini tak manjur lagi untuknya.
Oh berbicara tentang kopi, rasanya ia ingin lagi meminum secangkir kopi buatan Sendi
Baginya tak ada kopi yang dapat menandingi kopi buatan Sendi, mungkin ini juga alasannya
mengapa semua kopi yang ia minum sekarang terasa hambar karena hanya kopi buatan Sendi
yang terasa nikmat di lidahnya.

Astaga Jesi apa yang kau perbuat sekarang? Pekerjaanmu masih banyak untuk apa kau
mengingat masa lalumu sekarang. Jesi melirik dokumen-dokumennya yang masih
mengunung di atas mejanya. ‘kalau seperti ini terus pekerjaanku tak akan selesai’ gumam Jesi
dalam hati sambil mengusap wajahnya kasar.

Perlahan tangan kanannya meraih salah satu dokumen dan mulai membaca isinya dengan
teliti. Namun semuanya terasa sia-sia baginya sekarang, ia sudah terlanjur kembali mengingat
masa lalunya dan sekarang hanya Sendi yang memenuhi pikirannya sekarang. Padahal sudah
dua tahun Sendi meninggalkan dirinya tapi rasanya baru kemarin kejadian itu terjadi.
“Sendi aku merindukanmu” Ucap Jesi.
“Aku pulang”
Suara Jesi terdengar mengema mengisi rumahnya yang sepi. Jesi mengerutkan keningnya
bingung, tidak seperti biasanya mengapa hari ini rumahnya terasa sepi. Biasanya saat pulang
kerja adiknya akan segera menyambutnya. ‘Mungkin dia sudah tidur’ pikir Jesi dalam hati.
Jesi merlirik arlojinya yang sekarang menunjukkan pukul 23:30. Pantas saja matanya
sekarang terasa berat, rupa sekarang sudah tengah malam. Tubuhnya terasa begitu lelah dan
bukan hanya tubuhnya saja yang terasa lelah, hatinya juga sama lelahnya malah hatinya lebih
lelah daripada tubuhnya sekarang.

Aku ingin menyampaikan rindu ini kepadamu, rindu yang telah kupendam lama. Rindu akan
hadirmu di setiap subuhku, rindu akan hadirmu di setiap malamku sebelum aku terbuai alam
mimpi. Aku masih ingin kau berada di sini, melanjutkan kisah kita yang tertunda. Menepati
semua janji yang terlupakan, aku masih menunggumu.

Kau ceritakan pengalaman-pengalaman menggebirakanmu di setiap malamku, kau berikan


petunuk di setiap subuhku. Aku dengan setia selalu mendengarkanmu. Bahkan ketika kita
berjalan bersama aku tetap berusaha biasa-biasa saja walau sebenarnya jantung ini ingin
melompat keluar. Kau juga seorang pendengar yang baik, kau mendengarkan semua kisah
hidupku yang bisa dibilang pahit. Kupikir kau akan menjauhiku ketika aku menceritakan
tentang keluargaku. Ternyata tidak, kau masih tetap setia di sampingku, sampai waktu
dimana…

Hari itu seolah menjadi yang terakhir untukku melihatmu. Mendengar suaramu, dan
merasakan dirimu dekat denganku. Sang waktu menakdirkan kita bertemu sampai di sini.
Namun sang waktu tidak mengizinkanku melupakanmu dengan begitu mudah. Entah
mengapa setelah kita dipisahkan oleh jarak yang lumayan jauh, aku selalu ingin bernostalgia
di tempat-tempat yang pernah kita datangi bersama. Secara tak sadar aku berusaha melewati
semua jalanan yang pernah kita lewati. Mengapa?

Seolah aku merasakan kau ada di sampingku ketika aku berjalan di tempat itu. Aku berusaha
menyinggahi rumahmu walau aku tau, kau sedang tidak ada di rumahmu. Aku ingin waktu itu
segera tiba, waktu dimana aku dapat melihatmu lagi. Melihatmu secara nyata, bukan di
malam-malamku, bukan di nostalgiaku.

Cepatlah pulang, aku masih menunggumu. Menunggu kedatanganmu di hari-hariku kembali.


Aku menunggumu membawakan kembali tawa dan senyumanku. Aku merindukanmu Sendi-
ku.

Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju ke arah kamarnya. Ia sedikit melonggarkan


dasinya sambil berjalan menuju kearah kamar mandi. Dengan cepat ia mulai membuka setiap
pakaian yang membungkus tubuhnya dan menyalakan shower. Air mulai berjatuhan
membasahi tubuhnya, andai saja rasa sakitnya sekarang seperti debu yang menempel di
tubuhnya yang akan hilang saat ia menguyurnya dengan air. Andai saja di dunia ini ada
lampu ajaib yang dapat mengabulkan permintaannya, maka ia akan meminta agar dapat
bertemu dengan Sendi sekali lagi. Hanya sekali, ya hanya sekali. Apakah permintaannya
terlalu egois sekarang? Jesi hanya tersenyum miris mungkin saja ia dapat bertemu dengan
Sendi tapi seperti yang ia pikirkan tadi. Hal itu hanya dapat terjadi jika keajaiban
menghampirinya.

Jesi meraih handuknya yang tergantung di sampingnya. Tak lupa ia mengosok-gosokkan


rambutnya yang basah dengan handuk kecil sambil berjalan ke luar dari kamar mandi. Saat ia
memasuki kamarnya tercium aroma khas kopi yang telah memenuhi kamarnya. Ia segera
mencari asal dari aroma tersebut, dan ternyata aroma tersebut berasal dari secangkir kopi
yang berada diatas meja kecil yang berada di samping kasurnya. Asap putih masih mengepul
dari kopi itu. Dengan rasa penasaran ia segera menuju secangkir kopi tersebut dan meraihnya.
Jesi memejamkan matanya sejenak dan kembali menghirup aroma kopi itu, aroma kopi itu
benar-benar memabukkan untuknya. Ia menyesapnya sedikit, rasa khas kopi langsung
memenuhi indra pengecapnya. Oh ia sangat merindukan rasa kopi seperti ini, terasa pahit dan
manis disaat yang bersamaan. Anehnya kopi ini tak terasa pahit seperti biasanya.

Jesi tertegun sejenak saat sadar dari lamunannya. ‘siapa yang membuat kopi ini’ pikirnya
heran. Tidak mungkin adiknya yang membuat kopi ini, bukankah adiknya sudah tidur tadi.
Jadi siapa yang membuat kopi ini? Tak ada orang lain di rumah ini, ya hanya ada ia dan
adiknya di sini. Apa mungkin makhluk halus? Jesi segera menghapus pikirannya tersebut.
Mana mungkin makhluk halus bisa membuat kopi, benarkan? Jesi memijat kepala pelan.
Sepertinya ia harus segera tidur sekarang karena sepertinya ia mulai mengigau. Jesi kembali
melirik kearah kopi itu, ia sempat berpikir untuk tak meminum kopi itu lagi. Tapi rasanya
hatinya tak rela jika ia menyia-yiakan kopi itu, jadi ia kembali meminum kopi itu sampai
habis.

Kopi itu sudah habis, hanya tinggal ampasnya saja yang tersisa. Sudah berapa lama ia tak
merasakan nikmatnya kopi seperti ini, entahlah ia juga tak ingat. Ia berjalan menuju ke arah
lemarinya, mengambil sebuah kaos putih dan celana pendek dan segera memakainya. Setelah
itu ia berjalan menuju kasurnya dan merebahkan tubuhnya di sana. Matanya perlahan mulai
menutup. Tak lama setelahnya ia telah tertidur, padahal tadi ia meminum kopi tapi hal itu
sama sekali tidak memberikan efek apapun padanya. Malah sekarang tidurnya terasa nyenyak
setelah meminum kopi tersebut. Entah ia sadar atau tidak, tapi kopi tersebut terasa seperti
kopi buatan Sendi.

Matahari mulai menampakannya dirinya setelah sebelumnya ia telah bersembunyi selama


semalamam. Sinar mentari mulai menerobos masuk kedalam kamar Jesi, membuat tidur
seseorang tengah berbaring di sana menjadi terganggu karenanya. Mata Jesi perlahan mulai
terbuka, tangannya mulai meraba-raba meja kecil di samping kasurnya. Ia meraih arlojinya
dan menatap sejenak yang sekarang menunjukkan pukul 06:30. Jesi dengan malas bangun
dari kasurnya dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Jesi memadang pantulan dirinya dalam cermin, ia kembali merapikan dasinya yang sedikit
miring. Tak perlu waktu lama bagi Jesi untuk bersiap ke kantornya. Ia segera meraih tas
hitamnya dan berjalan menuju kearah dapur, seperti biasanya sebelum berangkat ke kantor ia
akan membuat sarapan untuknya dan adik kesayangannya. Hanya menu sederhana yang ia
buat setiap paginya, setidaknya apapun yang ia masak untuk sarapan dapat memberinya
sedikit energi saat melakukan rutinitasnya. Sebenarnya yang harus memasak sarapan setiap
pagi adalah adiknya, bukannya dia.

Tapi mau bagaimana lagi, walaupun adiknya adalah seorang wanita namun adiknya sama
sekali tak pandai dalam hal memasak. Jangankan membuat sarapan, memasak air saja sampai
gosong apalagi kalau disuruh membuat sarapan. Bisa-bisa ia keracunan saat memakan
masakan buatan adiknya.

Tapi tunggu dulu, ada yang berbeda hari ini. Ia memadang meja makan yang telah penuh
dengan berbagai masakan diatasnya. Ia juga dapat mencium dengan jelas aroma masakan
yang berasal dari arah dapur. Siapa yang memasak? Tidak mungkin adiknya yang
memasakkan. Atau jangan-jangan makhluk halus semalam yang membuatkannya kopi yang
memasak di dapur sekarang. Tadi bukankah ia hanya bermimpi semalam karena saat bangun
pagi tadi, cangkir kopi yang ia minum semalam sudah menghilang dari kamarnya.

Dengan rasa penasaran yang tinggi, Jesi mengendap-endap menuju dapur. Ia mengintip dari
balik tembok yang menghalangi dapur dan ruang makan. Ia dapat melihat dengan jelas
seorang wanita tengah membuat kopi di sana, dan ia berani bersumpah wanita itu bukan
adiknya. Jesi tertegun sejenak, sepertinya ia tahu siapa wanita itu. Ia tahu dengan pasti
sekarang siapa wanita itu, wanita yang telah membuat hidupnya lebih berwarna dan wanita
yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar dari hidunya. Dia adalah…
“Sendi”
Panggil Jesi tanpa ia sadari, hal itu berhasil membuat wanita itu berbalik. Mata mereka
bertemu, ia dapat melihat wanita itu tersenyum manis menatapnya.
“Selamat pagi Jes”
Suara itu, suara lembut yang sangat ia rindukan. Ya wanita itu adalah kekasihnya yang telah
menghilang secara tiba-tiba dan ia telah kembali. Jesi tidak dapat menahan dirinya untuk
memeluk kekasihnya itu. Dengan langkah terburu-buru Julius segera berjalan menuju ke arah
sendi dan memeluknya dengan erat.
Mentari kembali bersembunyi di ufuk barat. Langit kini mulai dihiasi semburan warna jingga,
disusul suara hewan malam yang mulai terdengar. Jesi kembali meraih kopi buatan Sendi dan
meminumnya secara perlahan. Butuh waktu lama bagi Jesi untuk menyadarkan dirinya bahwa
ini bukan mimpi. Sendi hanya terdiam di hadapannya sambil menunggu tanggapan Jesi,
setelah sebelumnya ia telah menjelaskan alasan kepergiannya tanpa kabar. Akhirnya kini Jesi
mengerti, mengapa dulu wanitanya ini pergi tanpa kabar. Karena rupanya wanitanya itu dulu
mengidap kanker, alasan wanitanya itu menghilang karena Sendi pergi berobat ke luar negeri
dan dokter yang menangani penyakitnya mengatakan peluang ia untuk sembuh hanya sedikit.
Sebenarnya Jesi sangat ingin mempertanyakan hal ini sejak pagi, tapi ia teringat rapat yang
harus ia hadiri hari ini. Jadi mau tidak mau ia harus menunggu sampai ia pulang dari kantor
dan bertanya tentang hal itu pada Sendi. Dan kini semuanya sudah jelas, entah mengapa
hatinya merasa lega saat tahu bahwa Sendi tak pernah mau mencampakkannya.
“Apakah masya tak pernah memberitahumu? Kalau aku pergi untuk berobat ke luar negeri”
Tanya Sendi dengan pelan.
Jesi menatap Sendi bingung. Seakan mengerti dengan tatapan Jesi, Sendi kembali berbicara.
“Aku sudah memberitahu Maisha jika aku tak memberikan kabar apapun selama enam bulan,
ia harus memberitahumu alasan tentang kepergianku.”
Jesi menghembuskan nafasnya kesal, ternyata adiknya selama ini mengetahui alasan tentang
kepergian Sendi. Tapi mengapa adiknya tak pernah memberitahukannya, apa adiknya sedang
mengerjainya sekarang ini? kalau benar begitu, ia akan menghukum adik kecilnya itu nanti.
Bagaimana bisa adiknya itu tak pernah memberitahunya bahkan setelah dua tahun kepergian
Sendi.
“Jangan marah dengannya Jesi, aku yakin dia punya alasan tertentu sehingga ia tak
memberitahumu”
“Aku hanya bingung mengapa ia tidak memberitahuku bahkan setelah dua tahun
kepergianmu Sen”

Sendi hanya tertawa kecil mendengar ocehan Jesi. Ia begitu merindukan saat-saat seperti ini,
saat ia dapat mengobrol dengan Julius. Rasanya ia ingin waktu berhenti sekarang, tapi hal itu
tak mungkin terjadi. Waktu akan terus berjalan dan tak akan pernah berhenti, begitu juga
dengan perasaannya pada yang Julius tak akan pernah berhenti.
“Aku mencintaimu Jes” Ujar sendi pelan.
Tapi tetap saja Jesi dapat mendengar perkataan sendi dengan jelas. Jesi tersenyum mendengar
itu, jika boleh jujur sekarang ia merasa menjadi pria yang paling bahagia di dunia ini.
“Aku juga mencintaimu Se”.

Anda mungkin juga menyukai