Anda di halaman 1dari 61

PRESENTASI KASUS

EKLAMPSIA, FETAL DISTRESS, PARTIAL HELLP SYNDROME PADA


PRIMIGRAVIDA 18 TAHUN HAMIL ATERM DALAM PERSALINAN
KALA 1 FASE AKTIF DISERTAI DENGAN LEUKOSITOSIS DAN
HIPOALBUMIN

Disusun oleh :

Aisya Nooratisya G9916


Fitri Maulani G9916
Gita Nur Siwi G99172082
Riska Larasati G99172
Syayma Karimah G99161096

Pembimbing :
dr. Heru Priyanto Samadi, Sp.OG (K)Onk

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Eklampsia menduduki urutan kedua setelah perdarahan sebagai penyebab
utama kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 (Hernawati, 2011). Sekitar
50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait preeklampsia
dan eklampsia (Hezelgrave dkk., 2012). Eklampsia adalah preeklampsia yang
disertai dengan kejang. Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi disertai
proteinuria, merupakan suatu gangguan multisistem yang terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu. Preeklampsia dan eklampsia berkontribusi terhadap 10
– 15% dari total kematian ibu di dunia. Sebagian besar kematian di negara
berkembang diakibatkan oleh eklampsia, sementara di negara maju lebih
sering disebabkan oleh komplikasi dari preeklampsia (Turner, 2010).
Etiologi dan patofisiologi preeklampsia masih belum dapat dipahami
dengan jelas sehingga menjadi tantangan dalam pencegahan penyakit
tersebut. Strategi untuk mengatasi preeklampsia dan komplikasinya
difokuskan pada deteksi dini penyakit dan tatalaksana terapi yang tepat.
Tatalaksana terapi preeklampsia dan eklampsia bergantung pada ketersediaan
pelayanan obstetri emergensi termasuk antihipertensi, magnesium sulfat
(antikonvulsan), dan fasilitas yang diperlukan untuk persalinan (Hezelgrave
dkk., 2012). Pengontrolan tekanan darah ibu dengan antihipertensi penting
untuk menurunkan insidensi perdarahan serebral dan mencegah terjadinya
stroke maupun komplikasi serebrovaskular lain akibat preeklampsia dan
eklampsia (Sidani dan Siddik- Sayyid, 2011).
Kejang yang tidak ditangani dengan antikonvulsan secara tepat menjadi
masalah utama pada kasus kematian akibat eklampsia (Duley dkk., 2010).
Terapi antihipertensi yang inadekuat dalam perawatan klinis juga menjadi
masalah serius yang menyebabkan perdarahan intrakranial pada sebagian

2
besar kasus kematian. Laporan terakhir menunjukkan bahwa guideline-
guideline hipertensi dalam kehamilan harus dapat mengidentifikasi batas
tekanan darah yang memerlukan terapi antihipertensi dan pemilihan
antihipertensi yang efektif serta aman digunakan pada masa kehamilan
(Lewis, 2007).

BAB II

3
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. H
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Karanganyar
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 19 Juni 2018
No RM : 014224XX
2. Keluhan Utama
Kejang
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G1P0A0, 18 tahun, usia kehamilan: 39 minggu datang
dengan rujukan dari RSUD Karanganyar dengan keterangan G1P0A0,
hamil 39 minggu dengan eklampsia.
Dari alloanamnesis didapatkan: pasien merasa hamil 9 bulan,
gerakan janin masih dirasakan, pasien mengeluh kenceng-kenceng sejak
tadi pagi, air kawah belum dirasakan keluar, lendir darah (+). Pasien
mengalami kejang 2x ± 2 jam sebelum dirujuk. Riwayat pengobatan di
RSUD Karanganyar:
- Pukul 12.30: ø 2 cm, ewitz: +3, TD: 170/120 mmHg
- Pukul 13.30: pasien diberikan injeksi cefotaxime 1 g/12 jam,
MgSO4 4 g dalam NaCl 100 cc, Nifedipine 3x10 mg (diberi 1
tablet nifedipine pada pukul 13.30)
- Pukul 14.00: ø 2-3 cm, Urine Output= 50 cc, warna kemerahan.
- Pukul 15.00: ø 4-5 cm, KU: baik, CM, TD: 170/110 mmHg
- Pukul 18.00: ø 5 cm, TD: 170/120 mmHg
- Pukul 18.30: Pasien diberikan Metildopa 3x500 mg

4
- Pukul 19.00: ø 5 cm. Pasien kejang 1x, TD: 182/122 mmHg
kemudian pasien diberikan Diazepam 1 ampul
- Pukul 20.00: pasien kejang 1x lagi, TD: 170/110 mmHg kemudian
pasien kembali diberikan Diazepam 1 ampul. Setelah itu dilakukan
konsultasi ke bagian interna dan pasien diberikan diazepam drip
kemudian pasien dirujuk ke RSDM.
Saat ini (pukul 21.37) pasien datang dalam kondisi kejang dan
diberikan O2 8 lpm NRM dan MgSO4 20% 2 g (IV)
Riwayat ANC rutin dilakukan pasien setiap bulan di bidan. Pasien
memeriksakan kandungannya di Sp.OG 1x saat usia kehamilan 8 bulan
dan saat itu didapatkan riwayat tekanan darah tinggi namun pasien tidak
mendapatkan terapi apapun. Riwayat minum obat-obatan selama hamil
disangkal, riwayat jatuh disangkal. Riwayat haid sebelumnya teratur 1 kali
setiap bulan selama 5-7 hari. Riwayat BAK dan BAB tidak ada keluhan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat perdarahan saat hamil : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal
5. Riwayat Haid
Menarche : 13 tahun
Lama menstruasi : 5-7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari

6. Riwayat Obstetri
Hamil I : Hamil Sekarang

5
HPMT : 15 September 2017
HPL : 22 Juni 2018
UK : 39 +4 minggu
7. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, telah menikah sejak berusia17 tahun, usia pernikahan 1tahun.
8. Riwayat KB
KB (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : somnolen, kejang,gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 180/120 mmHg
Nadi : 112x/menit
Respiratory Rate : 24x/menit
Suhu : 36,80C
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorak :
1) Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor // sonor

6
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus
(-/-), wheezing (-/-)
h. Abdomen
Inspeksi : striae gravidarum (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi :supel, nyeri tekan (-),teraba janin tunggal,
intrauterine, memanjang , punggung kanan, preskep,
kepala sudah masuk panggul 3/5 bagian, HIS (+) 2-
3x setiap 10 menit selama 30 detik. TFU 29 cm,
TBJ 2.790 g.
i. Genital : Vaginal Toucher: V/U tenang, dinding vagina dan porsio
lunak, mendatar, ø 4 cm, eff 50%, KK (+), penunjuk belum dapat
dinilai, kepala turun di Hodge II , AK (-), STLD (+).

j. Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
- - - -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah tanggal 19 Juni 2018 di RSUD DR. Moewardi:
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi rutin

a. Hemoglobin 12,0 g /dL 12.3 – 15.6

b. Hematokrit 41 % 33 – 45

c. Eritrosit 4.22 juta/μL 4.10 – 5.10

d. Leukosit 21.3 ribu/μL 4.5 – 14.5

e. Trombosit 202 ribu/μL 150 – 450

7
f. Golongan Darah O - -

Kimia Klinik
a. GDS
147 mg/dL 60 – 100
b. SGOT
49 u/L <31
c. SGPT
24 u/L <34
d. Albumin g/dL
2.6 3.5 - 5.2
e. Creatinin mg/dL
0.9 0.6 – 1.1
f. Ureum u/L
28 <50
g. LDH u/L
732 140-200
Hemostasis
11.7 10 -15
a.
s
b. 29.9 20 – 40
c. s
0.870
Hepatitis
a. HBsAg rapid

Elektrolit Non reaktif Non Reaktif


a.
b.
Ekskresi 130 136 -145
a. mmol/L
4.4 3.3 – 5.1
mmol/L
1.13 1.17-1.29

+++
(Positif 3)
Negatif

D. SIMPULAN

8
Seorang G1P0A0, 18 tahun usia kehamilan 39+4 minggu dengan riwayat
obstetri dan fertilitas belum dapat dinilai, teraba janin tunggal, IU,
memanjang, punggung kanan, preskep, kepala masuk 3/5 bagian. His (+) 2-3x
dalam 10 menit selama 30 detik. DJJ 100x/menit, irreguler, portio lunak,
mendatar, 4 cm, eff 50%, KK (+), penunjuk belum dapat dinilai, AK (-),
STLD (+).
Hasil pemeriksaan laboratorium leukositosis, peningkatan SGOT 49,
hipoalbumin 2.6, peningkatan LDH 732. Protein urin didapatkan positif +3.

E. DIAGNOSIS AWAL
Eklampsia, fetal distress, partial HELLP Syndrome pada primigravida hamil
aterm dalam persalinan kala 1 fase aktifdisertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).

F. PROGNOSIS
Dubia ad malam

G. TERAPI
1. SCTP emergency
2. Inj. MgSO4 2 gr IV blous pelan
3. Protap PEB
a. O2 Nasal NRM 8 lpm
b. Infus RL 12 tpm
c. Inj. MgSO4 4 g initial dose (sudah dilakukan di RSUD
Karanganyar) dilanjutkan MgSO4 20% 1g selama 24 jam (jika
syarat terpenuhi)
d. Nifedipine 3x10 mg
e. Awasi KU/VS/BCdan eklampsia berulang
4. Konsul anestesi
5. Inform Consent
6. Usul pindah ICU

9
7. KIE keluarga rencana dan tindakan terhadap pasien
H. FOLLOW UP
1. Evaluasi tanggal 19 Juni 2018 pukul 22.00 WIB
G1P0A0, 18 tahun UK 39+4 minggu
Keluhan : tidak ada
Keadaan umum : somnolen, tampak sakit berat
Vital sign : Tekanan darah : 180/120 mmHg RR : 20x/mnt
Nadi : 96x/mnt Suhu : 36,50C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
a. Retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (-/-),
RBK (-)
Abdomen : supel, nyeri tekan (-),teraba janin tunggal, intrauterine,
memanjang , punggung kanan, preskep, kepala
sudah masuk panggul 3/5 bagian, HIS (+) 2-3x
setiap 10 menit selama 30 detik. TFU 29 cm, TBJ
2.790 g.
Genital : Vaginal Touche: V/U tenang, dinding vagina dan
porsio lunak, mendatar, ø 4 cm, eff 50%, KK (+),

10
penunjuk belum dapat dinilai, kepala turun di Hodge
II , AK (-), STLD (+).
Diagnosis : Eklampsia, fetal distress, partial HELLP Syndrome
pada primigravida hamil aterm dalam persalinan kala 1
fase aktifdisertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).
Terapi :
1. Pro SCTP-Emergency
2. Siapkan resusitasi bayi

LAPORAN OPERASI
Prosedur Pelaksanaan tindakan SCTP-EM :
1. Prosedur operasi rutin
2. Pasien dibaringkan di meja operasi dalam keadaan narkose
3. Dilakukan toilet medan operasi, dipasang duk steril
4. Dilakukan insisi secara phanenstile
5. Setelah peritoneum parietale dibuka tampak uterus gravid
6. Plika vesika uterina dibuka bentuk semilunare
7. Segmen bawah rahim di insisi bentuk semilunar diperdalam secara
tumpul , kulit ketuban dipecah
8. Tangan operator memegang kepala janin, dikeluarkan kepala terlebih
dahulu diikuti punggung dan kepala, asisten mendorong fundus uteri
9. Bayi dilahirkan per abdominal jenis kelamin laki-laki, berat lahir 2800
gram, panjang badan 45 cm, anus (+), kelainan kongenital (-), Apgar
skor 8-9-10
10. Plasenta dilahirkan lengkap bentuk cakram ukuran 20x20x20 cm
11. Bloody angle di klem, tidak ada perdarahan
12. Segmen bawah rahim dijahit jelujur, tidak ada perdarahan, dilakukan
reperitonealisasi
13. Dilakukan penjahitan dinding abdomen lapis demi lapis sampai dengan
kutis

11
14. Operasi selesai
15. Perdarahan durante operasi 200 cc
16. Kondisi ibu sampai dengan selesai operasi baik.

Instruksi post operasi :


1. Awasi keadaan umum/ tanda vital/perdarahan sampai dengan 24 jam
post operasi
2. Puasa sampai terdengarnya peristaltik usus
3. Mondok ICU
4. Protap PEB :
IVFD RL 12 tpm
O2 3 lpm
Injeksi MgSO4 20% 1g/ jam selama 24 jam syringe pump
Nifedipin 3x10 mg
5. Injeksi ampicilin sulbactam 1.5 g/8 jam
6. Injeksiketorolac 30 mg/8 jam
7. Vitamin C 2x50 mg

2. Evaluasi tanggal 20 Juni 2018 pukul 00.00 WIB 2


jam post partus
P1A0, 18 tahun
Keluhan : tersedasi
Keadaan umum : pasien tampak sakit berat, pasien tersedasi
Vital sign : Tekanan darah : 150/90 mmHg
RR : 18x/mnt ventilator
Nadi : 104 x/mnt
Suhu : 36,50C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
a. Retraksi (-)
b. Jantung

12
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (-/-),
RBK (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak luka bekas
operasi
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi :supel, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba,
TFU teraba 1 jari bawah pusat, Kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)
Diagnosis : Post SCTP-Emergency atas indikasi eklampsia, fetal
distress, partial HELLP Syndrome pada primipara
hamil aterm disertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).
Terapi :
1. Awasi keadaan umum/ tanda vital/perdarahan
2. Protap PEB :
O2ventilator
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang

13
3. Inj. Ampicilin sulbactam 1.5 g/8jam
4. Inj. Ketorolac 30 mg/8jam
5. VIP Albumin 3x1 tablet
6. Vitamin C 2x50 mg

3. Evaluasi 20 Juni 2018 pukul 05.00 WIB


P1A0, 18 tahun
Keluhan : tersedasi
Keadaan umum : pasien tampak sakit berat, pasien tersedasi
Vital sign : Tekanan darah : 146/92 mmHg
RR : 18x/mnt ventilator
Nadi : 98 x/mnt
Suhu : 36,80C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
a. Retraksi (-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (-/-),
RBK (-/-)
Abdomen :

14
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak luka bekas
operasi
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi :supel, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba,
TFU teraba 2 jari bawah pusat, Kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)
Diagnosis : Post SCTP-Emergency atas indikasi eklampsia, fetal
distress, partial HELLP Syndrome pada primipara
hamil aterm disertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).
Terapi :
1. Awasi keadaan umum/ tanda vital/perdarahan
2. Protap PEB :
O2ventilator
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang
3. Inj. Ampicilin sulbactam 1.5 g/8jam
4. Inj. Ketorolac 30 mg/8jam
5. VIP Albumin 3x1 tablet
6. Vitamin C 2x50 mg

4. Evaluasi 20 Juni 2018 pukul 06.30 WIB


P1A0, 18 tahun
Keluhan : tidak ada keluhan
Keadaan umum : pasien tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign : Tekanan darah : 140/80 mmHg
RR : 18x/mnt ventilator
Nadi : 103x/mnt
Suhu : 36,80C

15
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
d. Retraksi (-)
e. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
f. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (-/-),
RBK (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak luka bekas
operasi
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi :supel, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba,
TFU teraba 2 jari bawah pusat, Kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)
Diagnosis : Post SCTP-Emergency atas indikasi eklampsia, fetal
distress, partial HELLP Syndrome pada primipara
hamil aterm disertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).
Terapi :
1. Awasi keadaan umum/ tanda vital/perdarahan
2. Protap PEB :

16
O2ventilator
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang
3. Inj. Ampicilin sulbactam 1.5 g/8jam
4. Inj. Paracetamol 1 g/8jam
5. Plasbumin 25% 100cc/24 jam
6. Metildopa 3x250 mg
7. Vitamin C 2x50 mg

5. Evaluasi 20 Juni 2018 pukul 17.00 WIB


P1A0, 18 tahun
Keluhan : tidak ada keluhan
Keadaan umum : pasien tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign : Tekanan darah : 140/80 mmHg
RR : 18x/mnt ventilator
Nadi : 103x/mnt
Suhu : 36,70C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
g. Retraksi (-)
h. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
i. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri

17
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (-/-),
RBK (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak luka bekas
operasi
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi :supel, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba,
TFU teraba 3 jari bawah pusat, Kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)
Diagnosis : Post SCTP-Emergency atas indikasi eklampsia, fetal
distress, partial HELLP Syndrome pada primipara
hamil aterm disertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).
Terapi :
1. Awasi keadaan umum/ tanda vital/perdarahan
2. Protap PEB :
O2ventilator
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang
3. Inj. Ampicilin sulbactam 1.5 g/8jam
4. Inj. Paracetamol 1 g/8jam
5. Plasbumin 25% 100cc/24 jam
6. Metildopa 3x250 mg
7. Vitamin C 2x50 mg
8. Cek albumin post terapi

6. Evaluasi 20 Juni 2018 pukul 23.30 WIB


P1A0, 18 tahun

18
Keluhan : tidak ada keluhan
Keadaan umum : pasien tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign : Tekanan darah : 140/80 mmHg
RR : 18x/mnt ventilator
Nadi : 103x/mnt
Suhu : 36,70C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
j. Retraksi (-)
k. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
l. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (-/-),
RBK (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak luka bekas
operasi
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi :supel, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba,
TFU teraba 3 jari bawah pusat, Kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)

19
Diagnosis : Post SCTP-Emergency atas indikasi eklampsia, fetal
distress, partial HELLP Syndrome pada primipara
hamil aterm disertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).
Terapi :
1. Pindah HCU
2. Awasi keadaan umum/ tanda vital/perdarahan
3. Protap PEB :
O2ventilator
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang
4. Inj. Ampicilin sulbactam 1.5 g/8jam
5. Inj. Paracetamol 1 g/8jam
6. Plasbumin 25% 100cc/24 jam
7. Metildopa 3x250 mg
8. Vitamin C 2x50 mg
9. Cek albumin post terapi

7. Evaluasi 21 Juni 2018 pukul 06.00 WIB


P1A0, 18 tahun
Keluhan : tidak ada keluhan
Keadaan umum : pasien tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign : Tekanan darah : 140/80 mmHg
RR : 18x/mnt
Nadi : 103x/mnt
Suhu : 36,70C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
m. Retraksi (-)
n. Jantung

20
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
o. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (-/-),
RBK (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak luka bekas
operasi
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi :supel, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba,
TFU teraba 3 jari bawah pusat, Kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)
Diagnosis : Post SCTP-Emergency atas indikasi eklampsia, fetal
distress, partial HELLP Syndrome pada primipara
hamil aterm disertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).
Terapi :
1. Awasi keadaan umum/ tanda vital/perdarahan
2. Protap PEB :
O2ventilator
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang

21
3. Inj. Ampicilin sulbactam 1.5 g/8jam
4. Inj. Paracetamol 1 g/8jam
5. Plasbumin 25% 100cc/24 jam
6. Metildopa 3x250 mg
7. Vitamin C 2x50 mg
8. Cek albumin post terapi

8. Evaluasi 22 Juni 2018 pukul 06.00 WIB


P1A0, 18 tahun
Keluhan : tidak ada keluhan
Keadaan umum : pasien tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign : Tekanan darah : 140/80 mmHg
RR : 18x/mnt
Nadi : 103x/mnt
Suhu : 36,70C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
p. Retraksi (-)
q. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
r. Paru
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru

22
Auskultasi : suara dasar (vesikuler / vesikuler ), RBH (-/-),
RBK (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak luka bekas
operasi
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi :supel, hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien tidak teraba,
TFU teraba 3 jari bawah pusat, Kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)
Diagnosis : Post SCTP-Emergency atas indikasi eklampsia, fetal
distress, partial HELLP Syndrome pada primipara
hamil aterm disertai dengan leukositosis (29.1) dan
hipoalbumin (2.6).
Terapi :
9. Awasi keadaan umum/ tanda vital/perdarahan
10. Protap PEB :
O2ventilator
Inf. Ringer Laktat 12 tpm
Inj. MgSO4 20% 1g/jam (dalam 24 jam)
Observasi KU/VS/BC/tanda eklampsia berulang
11. Inj. Ampicilin sulbactam 1.5 g/8jam
12. Inj. Paracetamol 1 g/8jam
13. Plasbumin 25% 100cc/24 jam
14. Metildopa 3x250 mg
15. Vitamin C 2x50 mg
16. Cek albumin post terapi

23
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSIA DAN EKLAMSIA


1. Definisi
Eklampsia adalah kejang pada kehamilan dengan gejala
preeklampsia. Preeklampsia adalah penyakit hipertensi kehamilan tertentu
yang dapat disebabkan oleh kegagalan fungsi endotel vaskuler dan
vasospasme pembuluh darah dengan keterlibatan multisistem yang terjadi
setelah usia kehamilan 20 minggu.
Berdasarkan saat timbulnya serangan, eklampsia dibedakan
menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia partuirentum
(intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum). Eklampsia banyak
terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat mendekati
kelahiran. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, 50%
saat 48 jam pertama setelah melahirkan.
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Sesuai
dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working Group
on Blood Pressure in Pregnancy, preeklampsia adalah timbulnya
hipertensi disertai dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20

24
minggu atau segera setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil
dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis
preeklampsia. Proteinuria adalah tanda penting preeklamsi, dan apabila
tidak terdapat proteinuria maka diagnosisnya dipertanyakan. Proteinuria
didefinisikan sebagai terdapatnya 300mg atau lebih protein dalam urin per
24 jam atau +1 pada dipstick secara menetap pada sampel urin secara acak.
Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklamsi adalah
hipertensi plus proteinuri minimal. Semakin parah hipertensi atau
proteinuri maka semakin pasti diagnosis preeklamsi. Memburuknya
hipertensi terutama apabila disertai proteinuri merupakan pertanda
buruk,sebaliknya proteinuri tanpa hipertensi hanyamenimbulkan efek
keseluruhan yang kecil angka kematian pada bayi. Proteinuri +2 atau lebih
yang menetap atau eksresi proteinuri 24 jam sebesar 2g atau lebih adalah
preeklamsi berat. Apabila kelainan ginjal parah, filtrasi glomerulus dapat
terganggu dan kreatinin plasma dapat meningkat.
Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada
kasus hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi eklampsia.
Bentuk serangan kejangnya ada kejang ‘grand mal’ dan dapat timbul
pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul
lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya
disebabkan lesi lain yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat
(Sarwono, 2014).

2. Etiologi
Menurut Sarwono (2014), penyebab eklampsia dan preeklampsia
sampai sekarang belum diketahui dengan jelas. Teori-teori yang sekarang
banyak dianut adalah sebagi berikut:
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Tidak terjadinya invasi tropoblas pada arteri spiralis dan
jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan

25
remodelling arteri spiralis. Hal ini menyebabkan aliran darah
uteroplasenta menurun dan tgerjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal
bebas atau oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut
toxaemia. Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi
peroksida lemak yang akan merusak endotel pembuluh darah.
Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabakna disfungsi
endotel dan berakibat sebagai berikut:
- Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin
sebagai vasodilator kuat menurun
- Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi
tromboksan sebagai vasokonstriktor kuat
- Perubahan endotel glomerolus ginjal
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit
oxide (NO)
- Peningkatan faktor koagulasi
c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi penolakan
karena adanya HLA-G pada plasenta sehingga melindungi tropoblas
dari lisis oleh sel NK ibu. HLA-G juga akan membantu invasi
tropoblas pada jaringan desidua ibu. Pada penurunan HLA-G, invasi
tropoblas terhambat sehingga tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.
d. Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik
Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi
untuk menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanay
perlindungan protasiklin. Pada keadaan menurunnya protasiklin maka
kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah terjadi
vasokonstriksi.

26
e. Teori Genetik
Adanya faktor keturunan dan familial dengan gen tunggal. Ibu
dengan preeklamsi memungkinkan 26% anak perempuannya juga
mengalami preeklamsi.
f. Teori defisiensi gizi
Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya
preeklamsi adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan
menghambat terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan
vasokonstriksi pembuluh darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian
juga menurunkan insidensi preeklamsi.
g. Teori inflamasi
Lepasnya debris tropoblas sebagai sisa proses apoptosis dan
nekrotik akibat stres oksidatif dalam peredaran darah akan
mencetuskan terjadinya reaksi inflamasi. Pada kehamilan normal
jumlahnya dalam batas wajar. Sedangkan pada kehamilan dengan
plasenta yang besar, kehamilan ganda, dan mola maka debrisnya juga
semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.

3. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya kejang pada preeklamsia dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-
bahan vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam
jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan
normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi
penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya
thromboxane yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II

27
sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya
terjadi hipertensi.
b. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma
hingga mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan
volume plasma hingga mencapai 30-40% kehamilan normal.
Menurunnya volume plasma menimbulkan hemokonsentrasi dan
peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau
organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi
gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi
jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi
pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation),
gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.

c. Vasokonstriksi pembuluh darah


Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap
meskipun cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan
tahanan perifer. Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya
bahan-bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan
vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem
pembuluh darah artiole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan
suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila
tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada
dalam syok kronik.

4. Prevalensi
Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang
mempengaruhinya; jumlah primigravida, kedaan sosial ekonomi,

28
perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan prevalensi di
lapangan berkisar antara 3-10%.
Faktor predisposisi terjadinya preeklamsi adalah sebagai berikut:
a. Primigravida, primipaternitas
b. Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multipel, DM,
hidrops fetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim (<20 tahun atau >35 tahun)
d. Riwayat keluarga preeklamsi-eklamsi
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang didapatkan sebalum
hamil
f. Obesitas

5. Klasifikasi
Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam kehamilan.
Penggolongan kelainan hipertensi dalam kehamilan antara lain :
hipertensi kronis, Preeklampsia, superimposed eklampsia pada hipertensi
kronis dan hipertensi gestasional.
Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah yang timbul
sebelum kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau
menetap setelah 12 minggu post partum. Sebaliknya, Preeklampsia
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan proteinuria yang
muncul setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia, komplikasi berat
preeklampsia adalah munculnya kejang pada wanita dengan
preeklampsia. Kejang eklampsia relatif jarang dan muncul <1% wanita
dengan eklampsia.
Superimposed preeclampsia pada hipertensi kronik ditandai
dengan proteinuria (atau dengan peningkatan tiba-tiba level protein jika

29
sebelumnya sudah ada proteinuria), peningkatan mendadak hipertensi
( dengan asumsi telah ada proteinuria) atau terjadi HELLP Syndroma.

30
Wanita hamil dengan tekanan darah
>140/90 mmHg

Sebelum usia kehamilan 20 minggu Setelah usia kehamilan 20 minggu

Proteinuria (-) / Proteinuria (+) / Proteinuria (+) / Proteinuria (-) /


stabil meningkat, TD
meningkat,
HELLP Syndroma

Hipertensi kronik Preeklampsia Preeklampsia / Hipertensi


superimposed Gestasional
pada Hipertensi
kronik

Gambar 2. Skema Pembagian Hipertensi dalam Kehamilan

Hipertensi gestasional didiagnosa jika terjadi kenaikan tekanan


darah tanpa proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dan tekanan
darah kembali normal dalam 12 minggu post partum. Seperempat wanita
dengan hipertensi gestasional mengalami proteinuria dan belakangan
berkembang menjadi preeklampsia.
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Preeklampsia ringan
- Definisi: Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya
perfusi organ yang berakibat vasospasme pembuluh darah dan
aktivasi endotel.
- Kriteria diagnostik : hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa
udema setelah usia kehamilan 20 minggu.
 Tekanan darah  140/90 mmHg yang diukur pada posisi
terlentang; kenaikan sistolik  30 mmHg; atau kenaikan tekanan
diastolik  15 mmHg tidak dipakai sebagai kriteria preeklamsi.

31
Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali
pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 4 jam.
 Proteinuria kuantitatif  300 mg/24 jam ataui ≥ +1 dipstik; pada
urin kateter atau mid stream
 Oedema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria
diagnostik kecuali anasarka
b. Preeklampsia berat
- Definisi : preeklamsi dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih
dari 5 gram/24 jam.
- Dibagi menjadi :
 Preeklamsi berat dengan impending eclampsia
 Preeklamsi berat tanpa impending eclampsia

6. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah
terjadinya preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko
terjadinya preeklampsia (POGI,2005).
Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam
pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur,
namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi dan dianjurkan lebih banyak
duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat,
garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu
dianjurkan. Mengenal secara dini preeklamsi dan segera merawat
penderita tanpa memberikan diuretik dan obat antihipertensi. Memang
merupakan kemajuan dari pemeriksaan antenatal yang baik (Sarwono,
2002).

32
7. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital, pengelolaan cairan dan
saat yang tepat untuk melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono, 2008).
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan
Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis perawatan / tindakannya.
Perawatannya dapat meliputi :
a. Sikap terhadap penyakit berupa pemberian terapi medikamentosa
b. Sikap terhadap kehamilan yaitu:
- Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Indikasinya
adalah bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
 Ibu :
o Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
 Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan tekanan darah yang persisten
 Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan desakan darah yang persisten
o Adanya tanda-tanda terjadinya impending eclampsia
o Gangguan fungsi hepar
o Gangguan fungsi ginjal
o Dicurigai terjadi solutio plasenta
o Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
 Janin :
o Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
o Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST
nonreaktif dan profil biofisik abnormal)
o Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat
(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG

33
o Timbulnya oligohidramnion
 Laboratorium :
o Tanda-tanda yang menjurus ke HELLP syndrome (POGI,
2005).
Pengobatan Medisinal :
 Segera masuk rumah sakit
 Tirah baring ke kiri secara intermiten
 Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
 Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
 Anti hipertensi diberikan bila tensi ≥ 180/110
 Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung
kongestif, edema anasarka
 Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam (POGI,
2005).
- Pengelolaan konservatif, yang berarti kehamilan tetap
dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,
meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu. Indikasi dari pengelolaan ini adalah kehamilan
kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending
eclampsia dengan keadaan janin baik.
Pengobatan Medikamentosa :
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja
(MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998).
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-
kejang dapat diberikan:

34
 Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada
bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat
diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas
magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella
positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit
 Klorpromazin 50 mg IM
 Diazepam 20 mg IM
Penggunaan obat hipotensif pada preeklampsia berat
diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan
kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat
oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara
intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.
Untuk penderita preeklampsia diperlukan anestesi dan
sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada
penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih
besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya
persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin,
dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II
dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum
(Budiono, 1999).
9.Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian
ibu antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu
42,2 – 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya
pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering
terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena
perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan
aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan
hipoksia intra uterin.

35
B. SINDROMA HELLP
1. Definisi
Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis,
Elevated Liver enzymes and Low Platelet counts, pertama kali dilaporkan
oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita PEB. Sindroma ini
merupakan kumpulan gejala multi sistem pada penderita PEB dan
eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan
kadar enzim hepar dan trombositopeni (Haryono, 2004).
2. Insiden
Insiden sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Hal ini disebabkan karena onset sindroma ini sulit di duga,
gambaran klinisnya sangat bervariasi dan perbedaan dalam kriteria
diagnosis. Insiden sindroma HELLP berkisar antara 2 – 12% dari pasien
dengan PEB, dan berkisar 0,2 – 0, 6% dari seluruh kehamilan (Haryono,
2004).
3. Patogenesis
Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari
preeklampsia, maka etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti patogenesis preeklampsia
atau sindroma HELLP. Ada perbedaan yang nyata antara kehamilan
normal dan preeklampsia, yaitu pada tekanan darah pada trimester II
(kehamilan normal) menurun, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin
II, prostasiklin dan volume darah meningkat.
Lain halnya pada preeklampsia, tekanan darah pada trimester II
meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II dan prostasiklin
menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan fungsi endotel
atau trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori kerusakan endotel.
4. Klasifikasi

36
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, Martin
mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu :
a. Kelas I : jumlah platelet  50.000/mm3.
b. Kelas II : jumlah platelet 50.000 – 100.000/mm3.
c. Kelas III : jumlah platelet 100.000 – 150.000/mm3(7).
Menurut Audibert dkk. (1996), dikatakan sindroma HELLP
partial apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter
sindroma HELLP seperti hemolisis (H), elevate liver enzymes (EL) dan
low platelets (LP); dan dikatakan sindroma HELLP murni jika dijumpai
perubahan pada ketiga parameter tersebut.
5. Gambaran Klinis
Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya
vasospasme pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar.
Oleh karena itu gejala sindroma HELLP memberi gambaran gangguan
fungsi hepar yang dapat berupa : malaise, nausea, kadang-kadang disertai
vomitus dan keluhan nyeri di epigastrium kanan atas (M. Dikman Angsar,
1995).
Karena gejala dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah
diagnosis, sehingga ada peneliti yang merekomendasikan bahwa semua
ibu hamil yang memiliki salah satu dari gejala tersebut hendaknya
dilakukan pemeriksaan apusan darah, jumlah trombosit dan enzim hepar
serta tekanan darah ibu.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat
diperlukan karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium,
walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai
batas untuk masing-masing parameter.
a. Hemolisis
Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini
merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP.

37
Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan berubah
menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan
terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum
tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang
mengakibatkan beredarnya eritrosit imatur.
b. Peningkatan kadar enzim hepar
Serum aminotransferase yaitu aspartat aminotransferase
(SGOT) dan glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada
kerusakan sel hepar. Pada preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat
1
/5 kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Pada
sindroma HELLP peningkatan SGOT lebih tinggi dari SGPT terutama
pada fase akut dan progresivitas sindroma ini. Peningkatan SGOT dan
SGPT dapat juga merupakan tanda terjadinya ruptur hepar.
Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang
bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat.
LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.
Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan
SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis.
c. Jumlah platelet yang rendah (Haryono, 2004).
7. Diagnosis
Kriteria diagnosis sindroma HELLP menurut Sibai adalah sebagai
berikut (Cunningham, 1995) :
1. Hemolisis
 Schistiosit pada apusan darah
 Bilirubin  1,2 mg/dl
 Haptoglobin plasma tidak ada
2. Peningkatan enzim hepar
 SGOT  72 IU/L
 LDH  600 IU/L
3. Jumlah trombosit rendah
 Trombosit  100.000/mm3

38
8. Penatalaksanaan
Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka
terdapat kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Prioritas utama
adalah menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi gangguan pembekuan
darah. Tahap berikutnya adalah melihat kesejahteraan janin, kemudian
keputusan segera apakah ada indikasi untuk dilahirkan atau tidak.
Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif
sampai kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan kualitas
bayi yang dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan agresif untuk
melakukan terminasi secepatnya apabila gangguan fungsi hati dan koagulasi
diketahui. Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan
segera tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko
maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Namun
semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya
terapi yang definitif (Haryono, 2004).
Penanganan pertama sesuai dengan penanganan PEB. Kemudian
dilakukan evaluasi dan koreksi kelainan faktor-faktor pembekuan (Haryono,
2004).
Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan
infus plasma albumin 5–25%. Tujuannya untuk menurunkan
hemokonsentrasi, peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan beberapa
gejala toksemia. Jika cervix memadai dapat dilakukan induksi oksitosin drip
pada usia kehamilan  32 minggu. Apabila keadaan cervix kurang memadai,
dilakukan elektif seksio Caesar. Apabila jumlah trombosit  50.000/mm3
dilakukan tranfusi trombosit.
9. Prognosis
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27%
untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan

39
mempunyai risiko sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada
kehamilan berikutnya. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi
tergantung dari keparahan penyakit ibu. Anak yang menderita sindroma
HELLP mengalami perkembangan yang terhambat (IUGR) dan sindroma
kegagalan napas (Haryono, 2004).

C. FETAL DISTRESS (GAWAT JANIN)


a. Pengertian Gawat Janin (Fetal Distress)
Gawat janin adalah Denyut jantung janin (DJJ) kurang dari 100
per menit atau lebih dari 180 per menit (Nugroho, 2012). Gawat janin
terjadi bila janin tidak menerima O2 yang cukup, sehingga akan
mengalami hipoksia. Situasi ini dapat terjadi (kronik) dalam jangka
waktu yang lama atau akut. Disebut gawat janin bila ditemukan denyut
jantung janin diatas 160/menit atau dibawah 100/menit, denyut jantung
tidak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal
persalinan (Prawirohardjo, 2009). Gawat janin merupakan suatu reaksi
ketika janin tidak memperoleh oksigen yang cukup (Dewi.A.h.,
Cristine.C.P., 2010).
b. Penyebab Gawat Janin
Menurut Prawirohardjo (2007) penyebab gawat janin sebagai berikut :
 Persalinan berlangsung lama
Persalinan lama adalah persalinan yang terjadi lebih dari 24 jam
pada primigravida dan lebih dari 18 jam pada multigravida
(Nugrahaeni, 2010). Persalinan lama dapat mengakibatkan ibu
menjadi Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi
cepat, pernapasan cepat dan meteorismus. Di daerah lokal sering
dijumpai: Bandle Ring, oedema serviks, cairan ketuban berbau,
terdapat mekonium.
 Induksi persalinan dengan oksitosin
Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil
belum inpartu baik secara operatif maupun mesinal, untuk

40
merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi
persalinan. Akibat pemberian oksitosin yang berlebih-lebihan
dalam persalinan dapat mengakibatkan relaksasi uterus tidak
cukup memberikan pengisian plasenta.
 Ada perdarahan
Perdarahan yang dapat mengakibatkan gawat janin yaitu karena
solusio plasenta. Terjadinya solusio plasenta dipicu oleh
perdarahan kedalam desidua basalis. Desidua tersebut kemudian
terbelah sehingga meninggalkan lapisan tipis yang melekat pada
miometrium. Sebagai akibatnya, proses tersebut dalam stadium
awal akan terdiri dari pembentukan hematoma desidua yang
menyebabkan pelepasan, kompresi dan akhirnya penghancuran
plasenta yang berdekatan dengan bagian tersebut.
 Infeksi
Infeksi, yang disebabkan oleh pecahnya ketuban pada partus
lama dapat membahayakan ibu dan janin,karena bakteri didalam
amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta
pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada
ibu dan janin. Pneomonia pada janin, akibat aspirasi cairan
amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya
(Prawirohadjo, 2009).
 Insufisiensi plasenta
 Insufisiensi uteroplasenter akut
Hal ini terjadi karena akibat berkurangnya aliran darah
uterus-plasenta dalam waktu singkat, berupa: aktivitas
uterus yang berlebihan, hipertonika uterus, dapat
dihubungkan dengan pemberian oksitosin, hipotensi ibu,
kompresi vena kava, posisi terlentang, perdarahan ibu
karena solusio plasenta atau solusio plasenta.
 Insufisiensi uteroplasenter kronis

41
Hal ini terjadi karena kurangnya aliran darah dalam
uterus-plasenta dalam waktu yang lama. Misalnya :
pada ibu dengan riwayat penyakit hipertensi.
 Kehamilan Postterm
Meningkatnya resiko pada janin postterm adalah bahwa dengan
diameter tali pusat yang mengecil, diukur dengan USG, bersifat
prediktif terhadap gawat janin pada intrapartum, terutama bila
disertai dengan oligohidramnion. Penurunan cairan amnion
biasanya terjadi ketika usia kehamilan telah melewati 42
minggu, mingkin juga pengeluaran mekonium oleh janin ke
dalam volume cairan amnion yang sudah berkurang merupakan
penyebabnya terbentuknya mekonium kental yang terjadi pada
sindrom aspirasi mekonium.
 Preeklamsia
Menurut Prawirohardjo (2009), Preeklamsia dapat menyebabkan
kegawatan janin seperti sindroma distres napas. Hal tersebut
dapat terjadi karena vasopasme yang merupakan akibat dari
kegagalan invasi trofoblas kedalam lapisan otot pembuluh darah
sehingga pembuluh darah mengalami kerusakan dan
menyebabkan aliran darah dalam plasenta menjadi terhambat
dan menimbulkan hipoksia pada janin yang akan menjadian
gawat janin.
c. Penilaian Klinik Gawat Janin
Menurut Prawirohardjo (2007) tanda gejala gawat janin dapat
diketahui dengan :
1) DJJ Abnormal
Dibawah ini dijelaskan denyut jantung janin abnormal adalah
sebagai berikut :
 Denyut jantung janinirreguller dalam persalinan sangat
bervariasi dan dapat kembali setelah beberapa watu.

42
Bila DJJ tidak kembali normal setelah kontraksi, hal ini
menunjukan adanya hipoksia.
 Bradikardi yang terjadi diluar saat kontraksi, atau tidak
menghilang setelah kontraksi menunjukan adanya gawat
janin.
 Takikardi dapat merupakan reaksi terhadap adanya :
demam pada ibu, obat-obat yang menyebabkan
takhikardi (misal: obat tokolitik). Bila ibu tidak
mengalami takhikardi, DJJ yang lebih dari 160 per
menit menunjukan adanya anval hipoksia.

Pemeriksaan yang digukankan untuk mendeteksi fetus meliputi:


(1) USG untuk menilai pertumbuhan fetus
(2) Profil biofisikal
Pemeriksaan fisik pada fetus menggunakan USG parameter yang
digunakan untuk menilai meliputi: gerakan pernafasan fetus, gerakan
fetus, tonus fetusindeks cairan amnion dan NST.
(3) Non Stress Tes (NST)
Eksternal kardiotokograf (CTG), Kriteria yang seharusnya diamati
meliputi 2 hal atau lebih, yaitu : denyut jantung janin, mengalami
penurunan sedikitnya 15 denyutan permenit, menetap sedikitnya 15
detik dalam 20 menit.
(4) Doppler
Menurut Marmi, Retno A.M.S., Fatmawaty.E (2010) tanda fetal
distress dalam persalinan, sebagai berikut :
(a) Denyut jantung
a.1. Takikardi diatas 160 kali perdetik atau brakikardi dibawah
120 kali perdetik.
a.2. Deselerasi dini

43
Ketika denyut jantung turun lebih dari 15 kali permenit pada saat
kontraksi, kontraksi deselarasi menggambarkan kontraksi dan
biasanya dianggap masalah serius.
a.3. Deselerasi yang berubah-ubah
Deselerasi yang berubah-ubah hal ini sangat sulit dijelaskan Ini
dapat terjadi pada awal atau akhir penurunan denyut jantung dan
bentuknya tidak sama. Hubungan antar peningkatan asidosis fetus
dengan dalam dan lamanya deselerasi adalah adanya abnormalitas
denyut jantung janin.
a.4. Deselerasi lambat
Penurunan denyut jantung janin menunjukan tingkat deselerasi
paling rendah tetapi menunjukan kontraksi pada saat tingkat yang
paling tinggi. Deselerasi yang lambat menyebabkan penurunan
aliran darah fetus dan pengurangan transfer oksigen selama
kontraksi. Penurunan tersebut mempengaruhi oksigenasi serebral
fetus. Jika pola tersebut terjadi disertai dengan abnormalitas
denyut jantung janin harus dipikirkan untuk ancaman yang serius
dalam kesejahteraan fetus.
a.5. Tidak adanya denyut jantung
Ini mungkin disebabkan oleh karena hipoksia kronis atau berat
dimana sistem syaraf otonom tidak dapat merespon stress.
a.6. Mekonium bercampur air ketuban.
(b) Mekonium
Cairan amnion yang hijau kental menunjukkan bahwa air
ketuban jumlahnya sedikit. Kondisi ini mengharuskan adanya
intervensi. Intervensi ini tidak perlu dilakukan bila air ketuban
kehijauan tanpa tanda kegawatan lainnya, atau pada fase akhir
suatu persalinan letak bokong.

d. Penanganan Gawat Janin pada Persalinan

44
Menurut Prawirohardjo (2009) penanganan gawat janin saat persalinan
adalah sebagai berikut :
1) Cara pemantauan
a) Kasus resiko rendah – auskultasi DJJ selama persalinan :
1) Setiap 15 menit kala I
2) Setiap setelah his kala II
3) Hitung selama satu menit setelah his selesai
b) Kasus resiko tinggi – gunakan pemantauan DJJ elektronik secara
berkesinambungan
c) Hendaknya sarana untuk pemeriksaan pH darah janin disediakan
2) Interpretasi data dan pengelolaan
a) Untuk memperbaiki aliran darah uterus : Pasien dibaringkan miring
ke kiri, untuk memperbaiki sirkulasi plasenta
b) Hentikan infus oksitosin (jika sedang diberikan)
c) Berikan oksigen 6-8 L/menit
d) Untuk memperbaiki hipotensi ibu (setelah pemberian anastesi
epidural) segera berikan infus 1 L infus RL
(e) Kecepatan infus cairan-cairan intravaskular hendaknya dinaikkan
untuk meningkatkan aliran darah dalam arteri uterina.
3) Untuk memperbaiki aliran darah umbilikus
a)Pasien dibaringkan miring ke kiri, untuk memperbaiki sirkulasi
plasenta.
b) Berikan ibu oksigen 6-8 L/menit
c) Perlu kehadirkan dokter spesialis anak
Biasanya resusitasi intrauterin tersebut diatas dilakukan selama 20
menit.
4) Tergantung terpenuhinya syarat-syarat, melahirkan janin dapat
pervaginam atau perabdominal.

45
Gambar 3. Pathway Gawat janin dalam persalinan

46
Gambar 4. Penatalaksanaan gawat janin dalam persalinan

47
D. HIPOALBUMINEMIA
a. Definisi
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai
normal atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL.
Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino yang tidak
memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein
lain oleh hati. Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-
50% pasien mengalami hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia,
12% diantaranya hipoalbuminemia berat, serta masa rawat inap pasien
dengan hospital malnutrition menunjukkan 90% lebih lama daripada
pasien dengan gizi baik (Murray, 2007).
b. Klasifikasi
Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan
selisih atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5–5 g/dl
atau total kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram.
Klasifikasi hipoalbuminemia adalah sebagai berikut:
1. Hipoalbuminemia ringan : 3,5–3,9 g/dl
2. Hipoalbuminemia sedang : 2,5–3,5 g/dl
3. Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl
c. Etiologi
Hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien.
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah,
pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan
kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi
medis kronis dan akut:
 Kurang Energi Protein,
 Kanker,
 Peritonitis,
 Luka bakar,
 Sepsis,

48
 Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma
yang terjadi setelah trauma),
 Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa
albumin menurun),
 Penyakit ginjal (hemodialisa),
 Penyakit saluran cerna kronik,
 Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis),
 Diabetes mellitus dengan gangren, dan
 TBC paru.
d. Tatalaksana
Hipoalbuminemia dapat dikoreksi dengan Albumin intravena dan
diet tinggi albumin, dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih
telur, atau ekstrak albumin dari bahan makanan yang mengandung
albumin dalam kadar yang cukup tinggi.

49
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang G1P0A0 usia 18 tahun usia kehamilan 39 minggu datang dengan


rujukan dari RS Dr. Oen Surakarta ke RSUD dr. Moewardi dengan keterangan
hamil 39 minggu dengan eklampsia. Pasien mengalami kejang 3 kali, 2 kali di RS
dr.Oen sebelum di rujuk dengan durasi ± 5 menit, dan di RSDM satu kali selama
5 menit. Kejang dirasakan hilang timbul, seluruh tubuh, dan pasien kembali sadar
setelah kejang. Pasien merasa hamil sekitar 9 bulan, gerakan janin masih
dirasakan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air ketuban belum dirasakan
keluar, lendir darah (-). BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat penyakit lain
seperti asma, alergi, dan penyakit jantung dan darah tinggi disangkal. Riwayat
obstetri dan fertilitas pasien baik. Pasien tidak pernah memakai kontrasepsi. Dari
HPMT pasien pada tanggal 11 September 2017, dapat diketahui usia kehamilan
pasien 39 minggu yang berarti pasien hamil aterm. Seseorang dikatakan hamil
aterm jika usia kehamilannya antara 37 - 42 minggu.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama pasien adalah kejang. Keluhan
kejang dapat terjadi karena banyak hal, namun penyebab utama kejang pada ibu
hamil adalah tekanan darah yang tinggi saat kehamilan. Pasien mengaku memiliki
tekanan darah tinggi (180/120 mmHg) semenjak usia kehamilan 34 minggu.
Sebelum kehamilan pasien mengatakan tidak pernah memiliki riwayat kejang
ataupun tekanan darah tinggi. Tidak adanya riwayat kejang dan tekanan darah
tinggi sebelum kehamilan dapat mengarah kepada eklampsia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien somnolen. Pada
palpasi abdomen teraba supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intrauterine,
memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, his (-), DJJ (+) 100 x/menit
ireguler, kepala telah masuk panggul 3/5 bagian. Pemeriksaan vaginal toucher
didapatkan vulva dan urethra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio
lunak mencucu di belakang, pembukaan 4 cm, effacement: 50%, kulit ketuban dan
penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (+). Dari hasil

50
pemeriksaan abdomen dan genital diketahui bahwa pasien sudah dalam
persalinan. Dari hasil DJJ dicurigai janin pasien mengalami fetal distress.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan penurunan Hb (11,9
g/dl), hematokrit (36%), eritrosit (4,15 x106/uL), kenaikan leukosit (29.1 x103/uL),
trombosit (202 x103), kenaikan SGOT (49 u/l), penurunan kalsium darah (1.13
mmol/L), albumin 2,6 g/dL(↓) dan LDH 732 u/l (↑). Pemeriksaan protein urin
didapatkan hasil +3. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah diketahui hasil
urinalisis kualitatif pada pasien ini +3. Selain itu, ditemukan kenaikan enzim hati
(SGOT). Hal ini dapat menegakkan diagnosis partial HELLP syndrome.
Selain itu, pasien mengalami keluhan kejang. Terjadinya kejang pada
preeklampsia belum diketahui, namun pada beberapa kasus ditemukan adanya
perdarahan pada otak, edema cerebri, dan gangguan pembuluh darah. Dari temuan
ini dapat ditarik dua hipotesis penyebab terjadinya eklampsia, yang memfokuskan
pada vaskularisasi pembuluh darah otak dan regulasi dari aliran darah otak saat
naiknya tekanan darah. Sirkulasi pada otak telah berubah menjadi
“overautoregulasi”, hal ini terjadi karena meningkatnya perfusi jaringan ke otak
saat preeklampsia. Jika terus berlanjut, darah akan mengenai jaringan otak,
menyebabkan iskemia, dan berlanjut menjadi kejang. Edema pada pasien
preeklampsia berat bersifat vasogenik (disebabkan murni karena gangguan
pembuluh darah), karena reversibilitas status neurologis pasien jika kejang sudah
teratasi. Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan adanya gambaran
hipodens pada CT scan, dan hiperintens pada T2-MRI. Hal ini khas dalam
menentukan edema vasogenik, bukan sitotoksik (Cipolla dan Kraig, 2011).
Hipotesis kedua mekanisme kejang pada preeklampsia adalah merupakan
sebuah ensefalopati hipertensi, dimana tekanan darah yang cepat naik akan
menggerus konstriksi endotel dari arteri dan arteriol cerebri, merusak sawar darah
otak, dan menyebabkan edema vasogenik. Ensefalopati ini dinamakan PRES
(posterior reversible encephalopathy syndrome). Penyebab utama sering
terjadinya edema pada bagian posterior otak masih belum sepenuhnya diketahui,
namun dicurigai karena penurunan inervasi sistem saraf simpatik dari arteri
cerebral posterior, dan densitas pembuluh darah yang tinggi di bagian posterior

51
cerebri. Kerusakan sawar darah otak dan substansi dalam pembuluh darah (seperti
albumin) yang masuk ke parenkim otak ini akan menyebabkan kejang, seperti
pada hipotesis mekanisme sebelumnya (Cipolla dan Kraig, 2011).
Mekanisme terjadinya HELLP syndrome pada pasien ibu hamil dengan
preeklampsia masih belum diketahui. Beberapa mekanisme dicurigai berpengaruh
dalam pembentukan penyakit ini, seperti remodelling pembuluh darah, iskemia
pada uterus dan plasenta, defek pembentukan plasenta, dan mekanisme terkait
imun. Perubahan dan mutasi pada gen GCCR, TLR4,VEGF, FAS, CD95, dan
faktor koagulasi V merupakan faktor risiko seseorang dapat terkena HELLP
syndrome. Sejauh ini, mekanisme utama yang dapat diterima adalah invasi
plasenta dan pembuluh darah yang kurang adekuat, menyebabkan tekanan darah
tinggi pada ibu dan terjadi mikroangiopati trombotik pada daerah hepar.
Mikroangiopati ini akan menyebabkan anemia hemolitik, dan kerusakan pada
daerah hepar akan melepaskan enzim hepar seperti SGOT dan SGPT ke dalam
darah, menyebabkan kenaikannya yang akan terlihat pada hasil laboratorium
darah (Hammoud dan Ibdah, 2014).
Dalam diagnosis HELLP syndrome, terdapat dua kriteria yang sering
digunakan untuk diagnosis, yaitu kriteria Mississippi dan Tennessee. Kriteria
Tennessee lebih digunakan untuk menegakkan diagnosis pada HELLP syndrome,
sedangkan Kriteria Mississippi lebih digunakan untuk menilai derajat keparahan
penyakit HELLP. Kelas 1 pada Kriteria Mississippi dinilai lebih intensif dalam
penatalaksanaan dan lebih buruk dalam prognosis. Semakin naik nilai kelasnya,
maka prognosis akan semakin lebih baik (Hammoud dan Ibdah, 2014).

Kriteria Tennessee Kriteria Mississippi

52
Sindrom Trombosit <100 x Kelas 1: Trombosit < 50 x 109 l
komplit/total 109 l SGOT/SGPT > 70 u/l

SGOT > 70 u/l LDH > 600 u/l

Kelas 2: Trombosit 50-100 x


109 l

LDH > 600 u/l SGOT/SGPT > 70 u/l

LDH > 600 u/l

Sindrom Salah satu atau dua Kelas 3: Trombosit 100-150 x


inkomplit/partial dari kriteria di atas 109 l

SGOT/SGPT > 40 u/l

LDH > 600 u/l

Terapi utama pada pasien ini adalah dilakukannya terminasi kehamilan,


dengan cara persalinan per abdominal emergensi karena pasien tidak
diperkenankan mengejan saat melahirkan, dikarenakan dapat meningkatkan
tekanan darah lebih lagi. Meskipun usia kehamilan pasien belum cukup, pada
pasien sangat dianjurkan untuk dilakukan terminasi kehamilan karena sudah
terjadi komplikasi (partial HELLP syndrome dan eklampsia), dan sebelum
terjadinya perburukan penyakit, baik pada ibu maupun janin.
Sebelum itu, pasien terlebih dahulu diberi tatalaksana sesuai dengan protab
PEB yaitu oksigenasi dengan nasal kanul 3 liter per menit, infus ringer laktat 12
tetes per menit, injeksi MgSO4 20% 4 gr dalam 15 menit (initial dose) dan
injeksi MgSO4 20% 1 gr/jam selama 24 jam (maintenance dose), serta pemberian
nifedipin 10mg/8 jam jika tekanan darah pasien ≥ 160/110 mmHg.
Oksigenasi diberikan pada pasien agar mengurangi rasa sesak, serta
memastikan oksigenasi jaringan pada tubuh memadai. Infus Ringer Laktat
diberikan dengan tiga tujuan: maintenance, resusitasi, dan pencegahan komplikasi
(Anthony dan Schoeman, 2013). Sebagai maintenance, infus RL diberikan untuk
meningkatkan preload jantung. Pada preeklampsia berat, sering ditemukan

53
vasopasme pada pembuluh darah perifer dan peningkatan tekanan pembuluh darah
perifer. Pemberian infus RL akan menurunkan tekanan darah perifer, peningkatan
cardiac output, dan peningkatan perfusi oksigen ke jaringan. Selain itu,
pemasangan infus dapat memberi akses langsung ke intravena agar dapat
memberikan obat secara cepat.
Sebagai resusitasi, infus RL diberikan karena pasien dengan preeklampsia
berat dapat berisiko terjadinya hipovolemia karena abruptio placenta dan
komorbiditas lain yang dapat menyebabkan perdarahan masif pada pasien. Selain
itu, efek resusitasi yang ingin dicapai meliputi perbaikan gangguan pembekuan,
dan perbaikan kapasitas perfusi oksigen ke jaringan.
Sebagai pencegah komplikasi, infus RL diberikan untuk mencegah
komplikasi preeklampsia berat, salah satunya adalah gangguan ginjal. Pada pasien
dengan preeklampsia berat, sering ditemukan adanya oligouria karena berbagai
faktor (prerenal dan renal). Pemberian cairan RL akan mengatasi oliguria tersebut,
dan dengan pemberian infus RL, dapat diamati balance cairan lebih ketat, karena
umumnya pasien dengan preeklampsia berat ditatalaksana pula dengan
magnesium sulfat (Anthony dan Schoeman, 2013).
Pemberian obat hipertensi kerja cepat diberikan ketika terdapat hipertensi
berat pada pasien (tekanan darah >160-170/100-110 mmHg). Pemberian obat
hipertensi harus diberikan secara intravena jika ditemukan tekanan darah sistolik
melebihi 180 mmHg. Target penurunan tekanan darah pada pasien dengan
preeklampsia berat adalah <150/100 mmHg, atau 25% penurunan dari MAP saat
itu. Obat yang menjadi pilihan terapi adalah nifedipin oral, hidralazin intravena,
dan labetalol (Townsend et al., 2016).
Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella (+), laju nafas 16-20x per
menit, dan jumlah urin minimal 30 cc dalam 4 jam. Selama pemberian MgSO4,
urine output pasien harus dikontrol dengan cara pemasangan kateter dan dihitung
balance cairannya. Hal ini dimaksudkan agar pada pasien ini keseimbangan
elektrolit tetap terjaga dan tidak terjadi hipermagnesia. MgSO4 yang diberikan
berfungsi sebagai profilaksis kejang, tokolitik, antihipertensi dan diuretik. Apabila

54
pasien mengalami keracunan MgSO4 maka dapat diberikan antidotum seperti
kalsium glukonas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari S. 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB


POGI, FKUI. Jakarta.

Abdul Bari S., George andriaanzs, Gulardi HW, Djoko W, 2000, Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Achadiat, C. 2003. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Anonim. 1995. Protokol Penanganan Kasus Obstetri dan Ginekologi. RS dr.


Moewardi. Surakarta.

Anthony J dan Schoeman L. Fluid management in preeclampsia. Obstet Med.


2013; 6(3): 100-104.

Artikasari K. Hubungan antara Primigravida dengan Angka Kejadian


Preeklampsia/Eklampsia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode 1
Januari–31 Desember 2008; 2009(Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Arvin Behrman Kliegmen.1996, Ilmu Kesehatan Anak “Nelson“ edisi 15 volume I. Jakarta :
EGC

Assarzadegan F, Asadollahi M, Hesami O, Aryani O, Mansouri B,


Beladimoghadam N. Secondary headaches attributed to arterial hypertension.
Iran J Neurol. 2013; 12(3): 106-110.
Atmakusumah, T.D. Setyaningsih, I. 2009. Dasar-dasar talasemia: salah satu jenis
hemoglobinopati. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,

55
Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing.
Barut F, Barut A, Gun BD, Kandemir NO, Harma MI, Harma M, Aktun E,
Ozdamar SO. 2010. Intrauterine growth restriction and placental
angiogenesis. Diagnostic Pathology, 5 (24): 5-7.
Benson R. C and Pernoll M.L. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Edisi 9.

Bobak, dkk. 2005. Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC

Bonny AE, Ziegler J, Harvey R, Debanne S, Secic M, Cromer B. Weight gain in


obese and nonobese adolescent girls initiating depot medroxyprogesterone,
oral contraceptive pills, or no hormonal contraceptive method. Archives of
Pediatric and Adolescent Medicine. 2006 Jan; 160(1): 40-5.

Budiono Wibowo. (1999). Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

Clark MK, Dillon IS, Sowers M, Nicholas S. Weight, fat mass, and central
distribution of fat incerase when women use depot medroxyprogesterone.
International Journal of Obesity. 2005: 29(10): 1252-8.

Cousens, N.E., Gaff, C.L., Metcalfe, S.A., Delatycki, M.B. 2010. Carrier
screening for Beta-thalassaemia:a review of International practice.
EuropeanJournal of Human Genetics, 18: 1077-1083.

Cipolla M. dan Kraig P. Seizures in women with preeclampsia: mechanisms and


management. 2011. Fetal Matern Med Rev. 22(02): 91-108.

Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J. C., Gillstrap III, L. C.,
Wenstrom, K. D. (Eds) (2005) Williams Obstetrics, 22nd Edition. New
York: MC Graw Hill.

Darlis, S. (2010) Prevalensi bayi makrosomia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

56
Dennis A, Solnordal C. Acute pulmonary oedema in pregnant women.
Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland. 2012: 67(6): 646-
659.

Djannah SN, Arianti IS. Gambaran Epidemiologi Kejadian


Preeklampsia/Eklampsia di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun
2007–2009; 2010 Diakses dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2782/1506
pada tanggal 3 Mei 2016.
Dyck, R.F., Tan, L. (1995) Differences in high birthweight rates between
Northern and Southern Saskachewan: Implications for Aboriginal peoples.
Chronic Disease in Canada, 16 (3).

Ezegwui H.U., Ikeaka L.C., Egbuji C. 2011. Fetal Macrosomia : Obstetric


Outcome of 311 cases in UNTH, Enugu, Nigeria. Nigerian Journal of
Clinical Practice. Juli-September 2011 Volume 14. [diakses tanggal 26 Mei
2012)].

Fatimah, Hadju et al. Pola Konsumsi dan Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil di
Kabupaten
Galanello, R., Cao, A. 2011. Alpha-thalassemia. Genetics in Medicine, 13(2): 83-
88
Gandasoebrata R. 2007. Penuntun Lanoraturium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.

Gaudet, L. 2012. Macrosomia and Related Adverse Pregnancy Outcomes :


TheRole of Maternal Obesity. Thesis. Canada : Faculty of Medicine
University of Iowa. Gynaecol. 113:1117-25. Jakarta : EGC.

Guyton AC dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 1179.

Hariadi, R., 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan


Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia

57
Hammoud G. dan Ibdah J. Preeclampsia‐induced Liver Dysfunction, HELLP
syndrome, and acute fatty liver of pregnancy. American Association for the
Study of Liver Diseases. 2014: 4(3): 69-73.

Haryono Roeshadi. (2004). Sindroma HELLP dalam Ilmu Kedokteran Maternal.


Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Surabaya.

Hatcher RA, Trussel J, Nelson AL. Contraceptive technology USA: Ardent Media
Inc: 2009. 835

Hidayat W., 1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi,
RSUP dr.Hasan Sadikin. Edisi ke-2. Penerbit: SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran, RSUP dr.Hasan Sadikin, Bandung.

Ifan PS, Wahiduddin, Dian S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Pradiabetes/ Diabetes
Mellitus Gestasional di RSIA Sitti Khadijah I Kota Makassar. Makassar:
Unibersitas Hasanuddin.

Kelompok Kerja Penyusunan “Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam


Kehamilan di Indonesia”.,2005. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.

Kilpatrick, S.J. 2014. Anemia and Pregnancy. In : Creasy, R.K., Resnik, R. Iams,
J.D., Lockwood, C.J, Moore, T.R., Greene, M.F. Creasy &
Resnik’sMaternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition.
Elsevier.
Loekmono Hadi, 2003. Preeklampsia. Catatan kulih Obgyn. UNS.

M. Dikman Angsar. 1995. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-


Gestosis). Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr.
Sutomo.

Manuaba IBG. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31; 2007


Markum, A.H. 1996. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 

58
Murray, R.K., Granner, D.K., Rodwell, V.W., 2006. Plasma Proteins &
Immunoglobulins. In: Harper’s Illustrated Biochemistry 27th ed, pp. 588-606.
New York: McGrawHill.
Neville, F. Hacker, J. George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi.
Hipokrates, Jakarta.

Ojofeitimi EO, Ogunjuyigbe PO, Sanusi, et al. Poor Dietary Intake of Energy and
Retinol among Pregnant Women: Implications for Pregnancy Outcome in
Southwest Nigeria. Pak. J. Nutr. 2008; 7(3):480-484.
Old, J. 2013. Hemoglobinopathies and Thalassemias. In: Rimoin, D.L., Pyeritz,
R.E., Korf, I. Emery and Rimoin’s Essential Medical Genetics. Elsevier.
Persis mary. 1995. “Dasar -dasar keperawatanmaternitas”. Jakarta : EGC.

Pignatti, C. B., Galanello, R. 2014. Thalassemia and Related Disorders:


Quantitative Disorders of Hemoglobin Synthesis. In : Greer, J.P., Arber, D.
A., Glader, B., List, A.F., Means, R.T., Paraskevas, F, Rodgers, G.M.
Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th edition. Lippincott Williams&
Wilkins.
POGI (2010). Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.
http://www.pogi.or.id/pogi/app/webroot/upload/downloadfile/a2a69f846d41c
0a7e9a1a2757d6b8ba8_hipertensidalamkehamilanhkfmpogiprotaphipertensid
alamkehamilan.docx
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Purba RT. Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/. Perbandingan Efektivitas Terapi Besi Intravena dan Oral pada
Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan. Maj Kedokt Indon, Volum: 57,
Nomor: 4, April 2007. Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Rijanto Agung. (1995). Tinjauan Kepustakaan : Sindroma HELLP. Fakultas


Kedokteran UNAIR. Surabaya

59
Riset Kesehatan Dasar 2007. 2008. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Rode L., Hegaard H.K., Kjaergaard H., Moller L.F., Tabor A., Ottesen B. 2007.
Assosiation Between Maternal Weight Gain and Birth Weight. The
American College of Obstetricians an Gynecologists. Vol. 109, No. 6, June.

Ross MG, Monsano RZ, Smith CV, Talavera F, Gaupp FB. 2013. Fetal growth
restriction. http://emedicine.medscape.com/article/261226overview#showall
Ruangvutilert, P. 2007. Thalassemia is a Preventable Gen Disease. Siriraj Med J,
59: 330-333.
Rund, D., Rachmileweitz, E. 2005. β-Thalassemia. N Engl J Med, 353: 1135-
1146.
Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.
Editor: Delfi Lutan, EGC, Jakarta.

Sabang A, Berghella V. 2013. Intrauterine Growth Restriction (IUGR): Etiology


and Diagnosis. Curr Obstet Gynecol Rep, 2: 102-111
Saifuddin AB, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan KesehatanMaternal dan
Neonatal. Jakarta : YBPSP, pp: M37-9; 2006.
Sarwono, 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sawono
Prawirohardjo

Sastrawinata, S., 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Sheridan C. 2005. Intrauterine Growth Restriction- diagnosis and management.


Australian Family Physician Vol. 34, No. 9.
Stoll, B. J., Kligman, R. M. (2003) In: Behrman, R. E., Kligman, R. M., Jenson,
H. B. (Eds) Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Philadelphia : W B
Saunders. tahun 2007-2008. Skripsi. Universitas Gadjah Mada. The
Pathermon Publishing Group.

Storck S, Zieve D, Eltz DR, Slon S, Wang N. 2012. Intrauterine growth


restriction. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001500. htm.

60
Strong, J., Rutherford, J.M. 2011. Anemia and White Blood Cell Disorders. In:
James, D. High Risk Pregnancy Management. 4th edition. Elsevier.
Sulistyawati A. Pelayanan keluarga berencana.jakarta: Salemba Medika: 2012.
244.

Townsend R, O’Brien P, Khalil A. Current best practice in the management of


hypertensive disorders in pregnancy. Integr Blood Press Control. 2016; 9: 79-
94.
Welch, E., Wright, J. 2010. Inherited red cell disorders. In: Pavord, S., Hunt, B.
The Obstetric Hematology Manual. Cambridge University Press.
Wibowo B, Rachimhadi T. 2009. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
pp. 281-99.
Winn, H. N., Hobbins, J. C. (2000) Clinical Maternal Fetal Medicine. New York:

Yu C.K.H., Teoh T.G., Robinson S. 2006. Obesity in Pregnancy. Br J of Obsetet

61

Anda mungkin juga menyukai