Anda di halaman 1dari 26

Referat

Hubungan Adiksi Nikotin


dengan Gangguan Jiwa

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Jiwa Aceh
Banda Aceh

Oleh:
Chairini Fikry
1907101030113

Pembimbing:
dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2020
i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Kecanduan Nikotin dan Gangguan Jiwa”. Shalawat beserta salam penulis
sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia ke masa
yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Rumah
Sakit Jiwa Aceh. Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis
sampaikan kepada dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ yang telah bersedia meluangkan
waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya
dan ilmu kedokteran jiwa khususnya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk referat ini.

Banda Aceh, 15 Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................2
2.1 Kecanduan Nikotin..........................................................................................2
2.1.1 Definisi Nikotin........................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi Merokok............................................................................2
2.1.3 Jenis jenis Rokok......................................................................................2
2.1.4 Faktor Resiko Adiksi Nikotin..................................................................2
2.1.5 Gejala Adiksi Nikotin..............................................................................2
2.1.6 Proses Adiksi Nikotin..............................................................................2
2.2 Gangguan Jiwa................................................................................................2
2.2.1 Definisi Gangguan Jiwa...........................................................................2
2.2.2 Epidemiologi............................................................................................2
2.2.3 Etiologi.....................................................................................................2
2.2.4 Tanda dan Gejala......................................................................................2
2.2.5 Patofisiologi.............................................................................................2
2.3 Hubungan Adiksi Nikotin dengan Depresi......................................................2
2.4 Hubungan Adiksi Nikotin dengan Kecemasan................................................2
2.5 Hubungan Adiksi Nikotin dengan ADHD......................................................2
KESIMPULAN..............................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................4

iii
BAB I
PENDAHULUAN

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecanduan Nikotin


2.1.1Definisi Nikotin

Menurut KBBI, rokok adalah gulungan tembakau (kira-kira sebesar


kelingking) yang dibungkus (daun nipah, kertas).14 Sedangkan, menurut Heryani
(2014), rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus, dihasilkan dari tanaman
Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.15

2.1.2Epidemiologi Merokok

Di Indonesia, merokok adalah bentuk utama penggunaan tembakau. Secara


nasional, prevalensi merokok adalah sebesar 29%. Provinsi dengan prevalensi
merokok tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat 32,7%. Sedangkan prevalensi
merokok terendah adalah Provinsi Papua 21,9%. Terdapat 13 provinsi dari 33
provinsi yang mempunyai prevalensi merokok lebih dari rata-rata nasional. 1
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi merokok memiliki kesamaan dari
tahun-tahun sebelumnya, yaitu prevalensi merokok pada laki-laki selalu lebih tinggi
daripada perempuan. Pada tahun 2013, prevalensi merokok laki-laki dewasa
meningkat dari 65,8% tahun 2010 menjadi 66. Demikian juga proporsi perempuan
perokok dewasa meningkat dari 4,1% tahun 2010 menjadi 6,7% Secara keseluruhan,
prevalensi merokok pada laki-laki dan perempuan mengalami kenaikan (Tobacco
Control Support Centre, 2015)1
Konsumsi jumlah batang rokok yang dikonsumsi di daerah perdesaan lebih banyak
dibandingkan perkotaan, baik pada laki-laki maupun perempuan kecuali pada tahun
#$'$, perempuan di perkotaan lebih banyak mengonsumsi rokok dan tembakau
dibandingkan perempuan di perdesaan. 1
Secara ekonomi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pendapatan semakin
banyak pula mengonsumsi rokok dan tembakau. Berdasarkan tingkat pendidikan,
secara umum dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin meningkat pula jumlah konsumsi rokok dan tembakau, baik pada laki-laki
maupun perempuan. Namun terjadi perubahan pola konsumsi pada laki-laki di mana

5
terdapat penurunan jumlah konsumsi rokok dan tembakau sehingga mengakibatkan
penurunan total konsumsi di tahun #$'%.1
Dilihat dari status bekerja, konsumsi rokok dan tembakau banyak pada mereka yang
bekerja baik pada lakilaki maupun perempuan. Sedangkan jika dilihat berdasarkan
umur, jumlah konsumsi terendah berada pada kelompok umur 15-24 tahun kemudian
meningkat hingga mencapai puncak di usia antara 35-54 tahun dan kembali menurun
di usia 55 tahun ke atas.1
Berdasarkan jenis produk rokok, menurut laporan Global Adult Tobacco Survey
tahun 2011, rokok kretek merupakan produk rokok yang paling populer di Indonesia.
Jumlah pengguna rokok linting 8,1 juta- lebih tinggi dari jumlah pengguna rokok
putih 3,8 juta-. Sekitar 54,3 juta orang merokok kretek dan hampir setengah juta
merokok produk lain seperti pipa, cerutu, shisha, dan lainnya. Untuk konsumsi jenis
produk rokok, sebanyak 80,4% perokok dewasa mengonsumsi rokok kretek saja,
sedangkan 5,4% mengonsumsi rokok linting saja, dan 3,7% mengonsumsi rokok putih
saja (GATS, 2011).1
Merokok merupakan bentuk utama penggunaan tembakau. Secara
global,terjadi peningkatan konsumsi rokok terutama di negara berkembang.
Berdasarkan data dari Tobacco Control Support Centre (2015), diperkirakan saat
ini jumlah perokok di seluruh dunia mencapai 1,3 milyar orang dan data dari
Tobacco Atlas 2015, Indonesia menjadi negara keempat dengan konsumsi rokok
tertinggi di dunia setelah Cina, Rusia, dan Amerika Serikat. Lebih buruknya lagi,
Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
angka perokok remaja tertinggi di dunia. 4,5
Kemudian, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018,
Proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau
cenderung meningkat dari tahun 2007-2013 dan mengalami penurunan pada tahun
2018, dengan prevalensi konsumsi tembakau sebagai berikut: berdasarkan Riskesdas
2007 sebesar 34,2%, Riskesdas 2010 sebesar 34,3%, Riskesdas 2013 sebesar 36,3%,
dan Riskesdas 2018 menurun menjadi 33,8%.6

2.1.3Jenis jenis Rokok

Jenis-jenis rokok dibagi berdasarkan bahan pembungkus rokok, isi rokok,


penggunaan filter pada rokok, dan proses pembuatan rokok:16,17
1. Rokok berdasarkan bahan pembungkus yaitu:
6
a. Cerutu : Rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun tembakau
b. Sigaret : Rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas
c. Klobot : Rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun jagung
d. Kawung : Rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun aren
2. Rokok berdasarkan bahan baku atau isi:
a. Rokok kretek : Rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan
cengkeh dengan penambah rasa dan aroma tertentu
b. Rokok putih : Rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau
saja tanpa campuran bahan yang lain
c. Rokok tingwe : Rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau,
cengkeh, klembek dan terkadang juga kemenyan dengan penambah rasa dan aroma
tertentu
3. Rokok berdasarkan penggunaan filter:
a. Rokok filter : Rokok yang di bagian pangkalnya terdapat gabus
b. Rokok non filter : Rokok yang di bagian pangkalnya tidak terdapat gabus
4. Rokok berdasarkan proses pembuatannya:
a. Sigaret Kretek Mesin (SKM) : Rokok yang proses pembuatannya
b. Sigaret Kretek Tangan (SKT) : Rokok yang proses pembuatannya dilakukan
dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan atau alat bantu
sederhana

2.1.1.4 Kandungan Rokok

Kandungan Pada sebatang rokok terdapat kandungan lebih dari 4000 senyawa
kimia, dan 2000 di antaranya berdampak buruk bagi kesehatan tubuh, seperti bahan
radioaktif (polonium-201) dan bahan yang digunakan dalam dalam cat seperti aseton,
hidrogen sianida, dan lainnya.16

Terdapat 3 komponen utama pada rokok yaitu:16,17,18


1. Nikotin adalah zat yang bersifat adiktif atau menyebabkan kecanduan. Nikotin
pada rokok akan menimbulkan rangsangan psikologis dan memberi efek ketagihan
dan ketergantungan.
2. Tar adalah zat yang bersifat karsinogenik atau menimbulkan kanker. Sumber tar
dari tembakau, cegkeh, pembalut rokok, dan bahan organic lainnya yang dibakar.

3. Karbon Monoksida (CO) adalah gas beracun yang memiliki afinitas atau
kemampuan berikatan dengan hemoglobin di sel darah merah lebih kuat
7
dibandingkan dengan oksigen. Pada perokok dapat meningkatkan kadar karboksi-
haemoglobin dalam darah sejumlah 2-16%, padahal kadar normal karboksi-
haemoglobin hanya 1% pada bukan perokok. Adanya perubahan struktur pada
pembuluh darah akibat berbagai mekanisme yang diinduksi oleh karbon monoksida
dan radikal bebas yang terbentuk. Radikal bebas yang terbentuk akan menyebabkan
lipoperoksidasi dengan melepaskan banyak mediator radang dan netrofil. Kerusakan
pada striatum akibat penurunan suplai oksigen menyebabkan deteriorasi intelektual,
memory impairment, dan perubahan emosi. Kondisi ini terjadi pada paparan
jangkapanjang.

Amonia beserta senyawa pembentuknya seperti diamonium fosfat (DAP) dan


urea, merupakan salah satu bahan tambahan yang terdapat di dalam rokok. Walaupun
ditolak oleh sebagian besar perusahaan tembakau di Amerika Serikat, badan
pengawas obat dan makanan di Amerika Serikat, FDA (Food and Drug
Administration) berargumen bahwa penggunaan ammonia bertujuan untuk
meningkatkan dan mengontrol masuknya alkaloid nikotin ke jalur pernapasan
perokok. Hal tersebut diperkuat oleh teori amonium-garam yang menyatakan bahwa
ketika dimasukkan ke dalam campuran tembakau, amonia bereaksi dengan garam
nikotin (indigenous nicotine salts) dan melepaskan nikotin bebas atau basal (free
nicotine) melalui proses peningkatan pH, sehingga mengakibatkan jumlah nikotin
yang masuk ke tubuh menjadi lebih besar.17,19

2.1.4Faktor Resiko Adiksi Nikotin


Faktor kepuasan psikologis memberi sumbangan yang lebih tinggi, mencapai
40,9% dibandingkan sikap permisif orang tua dan faktor lingkungan teman sebaya
yang hanya mencapai 38,4%. Hal ini memberikan gambaran bahwa perilakumerokok
bagi subjek dianggapmemberikan kenikmatan danmenyenangkan. Merokok bagi
remaja mempunyai kaitan erat dengan aspek psikologis terutama aspek positif yaitu
sejumlah 92,6% sedangkan efek negatif hanya sebesar 7,5% (pusing, rasa kantuk, dan
pahit). Perilaku merokok ini berkaitan erat dengan kondisi emosi. Kondisi yang paling
banyak menyebabkan perilaku merokok yaitu ketika subjek dalam tekanan atau stres
yaitu sebanyak 40,9% (Komalasari & Helmi, 2012).2

8
Dampak negatif merokok pada kesehatan telah ditulis dengan jelas di setiap
bungkus rokok, yaitu kanker,serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan
dan janin. Berbagai hasil penelitian secara longitudinal dan cohort, baik dalam setting
eksperimen, kuasi-eksperimen, maupun natural telah membuktikan hal tersebut
(Liem,2010). Merokok akan mendorong terjadinya vasoconstriction dan
atherosclerosis yang menyebabkan subclinical myocardinal ischemia, serta karbon
monoksida yang memperbesar risiko terjadinya hypoxemia dan myopacardinal
hypoxia. Selain berdampak pada organ tubuh, kandungan zat dalam rokok khususnya
nikotin juga mempengaruhi kondisi psikologi, syaraf, serta aktivitas dan fungsi otak,
baik pada perokok aktif maupun pasif (Liem,2010).2

Penggunaan nikotin berpengaruh pada otak yang kemudian menimbulkan efek


psikologis seperti penurunan kemampuan mengenali emosi dan cenderung depresi
membuat para pecandu rokok terus merokok agar tetap semangat dan lebih tenang.
Selain itu nikotin juga dapat memberikan efek kecanduan pada perokok. Kecanduan
inilah yang dapat membuat perokok apabila tidak merokok dalam sehari dapat
menimbulkan depresi berkepanjangan bahkan stres (Liem, 2010).2

Berdasarkan hasil penelitian terhadap perilaku remaja berikut didapatkan


faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku merokok remaja. Menurut
Alamsyah (2009), ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mempunyai
kebiasaan merokok. Secara umum dapat dibedakan menjadi 3 bagian:20
a. Faktor farmakologis, salah satu zat yang terdapat dalam rokok adalah nikotin
yang dapat mempengaruhi perasaan atau kebiasaan.
b. Faktor sosial, yaitu jumlah teman yang merokok. Faktor psikososial dari
merokok akan lebih diterima dalam lingkungan teman dan merasa lebih
nyaman.
c. Faktor psikologis, yaitu merokok dianggap meningkatkan konsentrasi,
menyenangkan atau hanya sekedar untuk menikmati asap rokok.
Selain itu, ada faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku merokok adalah
pengetahuan tentang rokok, pengaruh iklan dan sarana yang mendukung perilaku
merokok.20

9
2.1.5Gejala Adiksi Nikotin

Hal ini memberikan gambaran bahwa perilaku merokok bagi subjek dianggap
memberikan kenikmatan dan menyenangkan. Rokok diyakini dapa
mendatangkan efek-efek yang menyenangkan. Berikut tabel perasaan subjek setelah
merokok.21

Tabel 2.1 Efek-efek Setelah Merokok

Efek-efek %
Nikmat 38,298
Puas 15,957
Tenang 12,766
Biasa saja 11,703
Santai 5,319
Hangat 3,192
Percaya diri 2,128
Gaya hidup 1,064
Perasaan hilang masalah 1,064
Mengantuk 1,064
Pusing 5,257
Pahit 2,218

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa merokok bagi remaja mempunyai kaitan


yang erat dengan aspek psikologis terutama efek yang positif yaitu sejumlah 91,491%
sedangkan efek negatif hanya sebesar 8,539% (pusing, ngantuk, dan pahit). Hasil ini
menunjukkan bahwa subjek merasakan kepuasan setelah merokok. Kepuasan ini
berkaitan dengan aspek-aspek emosi. Yang paling menonjol dirasakan subjek adalah
kenikmatan (38,298%), kepuasan (15,957%), dan merasakan ketenangan
(12,766%). Kepuasan psikologis ini kemungkinan

berhubungan erat dengan frekuensi merokok subjek. Rata-rata subjek merokok 7


batang per hari.21
Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa orang yang merokok lebih awal
dapat memicu kejadian depresi dan anxietas sekitar 5 tahun lebih cepat daripada
perokok late onset. Hal ini dapat disebabkan kecanduan nikotin terjadi secara cepat
sehingga kerusakan yang ditimbulkan pun lebih cepat. Belum ada penelitian yang

10
secara tegas menyebutkan berapa jumlah rokok yang dikonsumsi per hari yang dapat
memicu depresi. Akan tetapi berdasarkan penelitian, dinyatakan bahwa konsumsi
jumlah rokok lebih dari 20 batang per hari berdampak cepat dan berat terhadap
gangguan kesehatan.22,23

2.1.1 Proses Adiksi Nikotin


Menurut American Heart Association dan CDC (Centers for Disease Control
and Prevention), vape atau rokok elektrik mengandung nikotin yang terkadang dalam
beberapa kondisi lebih berbahaya daripada paparan nikotin pada rokok tradisional
26
terutama bagi perkembangan otak remaja. Nikotin yang dihisap oleh tubuh akan
berikatan dengan reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian mengaktifasi reward
system pathways dan jalur adrenergik. Pada reward system pathways, perokok akan
merasa nikmat dan memicu sistem dopaminergik sehingga perokok akan merasa lebih
tenang dan mood terkontrol. Efek nikotin berlangsung sebentar saja, oleh karena itu
perokok harus terus merokok untuk mempertahankan efek sensasi dari nikotin dan
untuk menghindari gejala putus zat. Sementara pada jalur adrenergik, nikotin akan
mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan
serotonin. Meningkatnya serotonin menimbulkan rasa senang, nafsu makan dan tidur
terkontrol. Secara fisiologis tubuh akan memproduksi serotonin secara autoregulasi.
Namun, pada pengguna tetap nikotin menyebabkan disregulasi serotonin, dimana
tubuh kesulitan memproduksi serotonin jika kadar nikotin dalam tubuh tidak
mencukupi. Hal ini menyebabkan tubuh akan tergantung pada nikotin untuk
memproduksi serotonin.40

2.1 Gangguan Jiwa


2.2.1 Definisi Gangguan Jiwa

1.Depresi

2.Kecemasan

Orang dengan gangguan kecemasan sering mengungkapkan kekhawatiran dan


ketakutan yang intens, berlebihan, dan persisten tentang situasi sehari-hari. 146 Ada
beberapa gangguan kecemasan: gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan
sosial (fobia sosial), fobia spesifik, dan gangguan kecemasan pemisahan. David
11
Barlow mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan mood yang berorientasi masa
depan di mana seseorang siap atau siap untuk mencoba mengatasi peristiwa negatif
yang akan datang. 237 Seringkali, kecemasan bukanlah kondisi yang terisolasi dan
hasil dari kondisi medis lain yang memerlukan perawatan medis.3

3.ADHD

2.2.2 Epidemiologi

1. Depresi

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, depresi adalah penyebab utama


kecacatan dan kontributor utama keempat beban penyakit global pada tahun 2004,
dengan kecenderungan untuk pindah ke posisi pertama pada tahun 2030. 221 Depresi
ditandai oleh suasana hati yang rendah, kehilangan minat, kehilangan dorongan dan
kesenangan, perasaan bersalah, konsentrasi yang buruk, harga diri yang rendah,
gangguan tidur, dan meningkatnya nafsu makan. 146 Depresi dihasilkan dari
interaksi kompleks faktor sosial, psikologis, dan biologis. Orang-orang yang telah
melalui peristiwa kehidupan yang merugikan (pengangguran, berkabung, dan trauma
psikologis) lebih mungkin untuk mengalami depresi. Pada gilirannya, depresi dapat
menyebabkan lebih banyak stres dan disfungsi yang memperburuk situasi kehidupan
orang yang terkena dampak dan memperburuk depresi itu sendiri.4
2.Kecemasan

Menurut survei epidemiologis, sepertiga dari populasi dipengaruhi oleh


gangguan kecemasan di beberapa titik dalam kehidupan. Gangguan kecemasan lebih
sering terjadi pada wanita, dan prevalensinya paling tinggi selama usia paruh baya.
Gangguan ini dikaitkan dengan tingkat kerusakan yang cukup besar, pemanfaatan
layanan kesehatan yang tinggi, dan beban ekonomi masyarakat yang sangat besar.3

3.ADHD

2.2.3 Faktor Resiko


1.Depresi

Sejumlah faktor dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi:


pelecehan (fisik, seksual, atau emosional), penyakit serius, penyalahgunaan zat,

12
peristiwa kehidupan utama (positif dan negatif), genetika, dan emosi yang kuat
(kesedihan atau kesedihan). Depresi adalah gangguan multifaset dengan beragam
penyebab yang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan kondisi
medis yang parah. Misalnya, depresi meningkatkan risiko gangguan kardiovaskular,
stroke, penyakit Alzemier, epilepsi, diabetes, dan kanker. 4

2.Kecemasan

Gangguan kecemasan adalah penyakit kompleks yang disebabkan oleh


kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Mirip dengan penyakit kejiwaan lainnya,
kecenderungan kegelisahan diciptakan oleh genetika dan riwayat keluarga, tetapi
umumnya, rangsangan eksternal memicu onset atau eksaserbasi. 146 Faktor genetik
menyumbang sekitar 43% dari varians dalam gangguan panik dan 28% pada
gangguan kecemasan umum. 146a Sebagai contoh, beberapa polimorfisme gen telah
ditemukan berkorelasi dengan kecemasan: PLXNA2, SERT, CRH, COMT, dan
BDNF. 146b, 146c, 146d Beberapa gen tersebut berdampak neurotransmiter (seperti
serotonin dan norepinefrin) dan hormon yang terlibat dalam kecemasan.3
3.ADHD

2.2.4 Patofisiologi

1.Depresi

2.Kecemasan

3.ADHD

2.2.5 Tanda dan Gejala

1.Depresi

2.Kecemasan

Gejala-gejala kecemasan yang umum termasuk merasa gugup, gelisah, atau


tegang; rasa bahaya yang akan datang, panik, atau malapetaka; peningkatan denyut
jantung; bernafas cepat (hiperventilasi); berkeringat; gemetaran; merasa lemah atau
lelah; kesulitan berkonsentrasi atau memikirkan hal lain selain kekhawatiran saat ini;
13
sulit tidur; masalah pencernaan; kesulitan mengendalikan kekhawatiran; dan
keinginan untuk menghindari situasi yang memicu kecemasan.3

3.ADHD

2.2 Hubungan Adiksi Nikotin dengan Depresi


Pengamatan bahwa pasien dengan depresi cenderung merokok telah mengarah
pada gagasan bahwa nikotin dapat mengurangi gejala depresi. Perkiraan prevalensi
ketergantungan nikotin pada pasien dengan kisaran depresi besar antara 50% dan
60%, dibandingkan dengan sekitar 25% pada populasi umum. Janowsky dan rekannya
mengusulkan bahwa asetilkolin yang berlebihan dapat menyebabkan depresi dan
menyarankan bahwa depresi berhubungan dengan hiperaktivasi sistem kolinergik dan
penurunan aktivitas sistem noradrenergik. 229 Pentingnya disregulasi sistem
kolinergik dalam depresi telah lebih ditekankan oleh Marina Picciotto dan timnya.
230 Pemberian kronis kadar nikotin rendah dianggap menurunkan sensitivitas
NAChR dan dapat memodulasi efek nikotin pada pengurangan gejala depresi. Telah
dilaporkan bahwa satu kepulan rokok cukup untuk menjenuhkan nAChR berafinitas
tinggi (yang mengandung β 2 nAChR subunit) di otak manusia, 231 dan diketahui
bahwa ikatan nikotin diikuti oleh penurunan jangka panjang dalam aktivitas nAChR
karena desensitisasi. 25 Dapat dihipotesiskan bahwa peningkatan awal aktivitas
nAChR setelah merokok, melalui peningkatan regulasi nAChR, dapat menyebabkan
afektif. gejala pada pasien depresi, sedangkan penurunan jangka panjang dalam
aktivitas nAChR akibat desensitisasi dapat mengakibatkan pengurangan gejala
depresi. Peningkatan jumlah nAChR dipertahankan setelah berhenti merokok selama
minimal 2 minggu 232 dan dapat berkontribusi pada gejala depresi setelah
berpantang. Sejalan dengan gagasan bahwa penurunan aktivitas nAChR dapat
bertindak sebagai antidepresan pada perokok manusia, studi tentang tikus KO tidak
memiliki subkelas afinitas tinggi dari nAChRs (mereka yang tidak memiliki β 2
subunit) menunjukkan penurunan imobilitas dasar pada suspensi ekor dan uji
berenang paksa.4
Beberapa studi klinis dengan patch nikotin telah dilakukan sejauh ini ( Tabel 3 ).
Secara umum, penurunan gejala depresi diamati dan dilaporkan. Namun, studi
tersebut dilakukan pada sejumlah kecil subjek, dan temuan harus ditafsirkan dengan
14
hati-hati. Sebagai contoh, penelitian acak terbaru, double-blind pada 20 sukarelawan
sehat dengan riwayat keluarga depresi positif meneliti efek nikotin transdermal pada
perubahan suasana hati dan elektroensefalogram yang menyertai penurunan transien
serotonin yang disebabkan oleh penipisan tryptophan akut (ATD). Sementara
mengakui keterbatasan hasil penelitian karena sejumlah kecil mata pelajaran,
penilaian riwayat keluarga yang tidak lengkap, penggunaan sampel campuran perokok
dan bukan perokok sehat, dan terbatasnya penggunaan akut, lambat diserap, dosis
tunggal nikotin, para penulis menyarankan bahwa nikotin bertindak untuk
menstabilkan penurunan suasana hati dan asimetri fungsional frontal yang
ditimbulkan oleh penurunan akut serotonin otak.4
====-
Depresi adalah gangguan mental umum yang memanifestasikan dirinya
dengan gejala-gejala seperti perasaan tertekan, penurunan minat pada kesenangan,
kelelahan, dan agitasi atau keterbelakangan psikomotorik ( American Psychiatric
Association, 2013 ). Ini memiliki prevalensi seumur hidup 10-25% pada wanita dan
6–10% pada pria ( Moore & Bona, 2001 ), dan mempengaruhi sekitar 20 juta orang
dewasa di Amerika Serikat ( CDC, 2010 ). Depresi sangat umum di antara individu
dengan masalah kesehatan kronis seperti obesitas, alkoholisme, dan merokok ( Strine
et al., 2008 ). Pada bagian ini, kami akan meninjau hasil yang menunjukkan hubungan
dua arah antara depresi dan nikotin.5

4.1 Hubungan Antara Ketergantungan Nikotin dan Depresi pada Manusia


Tinjauan mendalam tentang hubungan antara depresi dan ketergantungan nikotin pada
manusia disediakan dalam bab lain buku ini. Mirip dengan hubungan antara gangguan
kecemasan dan merokok, depresi dan ketergantungan nikotin juga memiliki hubungan
timbal balik ( Ischaki & Gratziou, 2009; John, Meyer, Rumpf, & Hapke, 2004 ). Studi
sebelumnya telah menunjukkan bahwa gejala depresi adalah penentu penting inisiasi,
pemeliharaan, dan penghentian merokok, sedangkan ketergantungan nikotin dikaitkan
dengan kerentanan terhadap depresi ( Breslau, Kilbey, & Andreski, 1991; Fergusson,
Goodwin, & Horwood, 2003; Glassman et al., 1990; Hall, Mun˜oz, Reus, & Sees,
1993; Morrell & Cohen, 2006; Paperwalla, Levin, Weiner, & Saravay, 2004 ).
Sebagai contoh, ketergantungan nikotin, sebagaimana didefinisikan dalam Manual

15
Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Ketiga Direvisi, meramalkan risiko
tiga kali lipat mengembangkan depresi berat ( Breslau & Johnson, 2000 ), dan
hubungan ini dipertahankan di berbagai kelompok umur yang berbeda seperti remaja (
Killen et al., 2004 ), orang dewasa ( Fergusson et al., 2003 ), dan orang dewasa di atas
usia 60 ( Glassman, Covey, Stetner, & Rivelli, 2001 ). Ada juga bukti yang
menunjukkan bahwa merokok selama masa remaja menghasilkan peningkatan empat
kali lipat dalam kemungkinan mengembangkan gejala depresi di kemudian hari
( Brook, Schuster, & Zhang, 2004; Choi, Patten, Gillin, Kaplan, & Pierce, 1997;
Goodman & Capitman, 2000; Wu & Anthony, 1999 ). Studi lain menemukan bahwa
risiko mengembangkan depresi adalah empat kali lebih tinggi pada perokok berat
daripada bukan perokok dan peningkatan waktu ketergantungan merokok berkorelasi
dengan peningkatan risiko depresi ( berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi
( berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi ( berkorelasi dengan peningkatan
risiko depresi ( berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi ( berkorelasi dengan
peningkatan risiko depresi ( Klungs Klungs Klungs Klungs Klungs Klungs Hai Hai
Hai Hai Hai Hai tahun, Nyga˚rd, S tahun, Nyga˚rd, S tahun, Nyga˚rd, S tahun,
Nyga˚rd, S tahun, Nyga˚rd, S tahun, Nyga˚rd, S Hai Hai Hai Hai Hai Hai rensen, &
rensen, & rensen, & rensen, & rensen, & rensen, & Sandanger, 2006 ), yang
menunjukkan bahwa kerentanan untuk depresi meningkat dengan tingkat merokok
yang lebih tinggi.Sama seperti perokok menunjukkan tingkat depresi yang lebih
tinggi, pasien dengan depresi berat telah terbukti memiliki tingkat merokok yang lebih
tinggi daripada populasi nonklinis ( Covey, Glassman, & Stetner, 1997, 1998;
Fergusson et al., 2003 ). Menurut hipotesis pengobatan sendiri dari ketergantungan
nikotin ( Carmody, 1992; Markou, Kosten, & Koob, 1998; Pomerleau & Pomerleau,
1985 ), ini mungkin karena nikotin mengurangi pengaruh negatif dan bekerja sebagai
antidepresan. Sebagai dukungan, pasien dengan depresi berat meningkatkan merokok
ketika mereka mengalami gejala depresi ( Schleicher, Harris, Catley, & Nazir, 2009 ).
Sejalan dengan hipotesis pengobatan sendiri, ada juga beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa mayoritas perokok yang terdaftar dalam program berhenti
merokok memiliki riwayat episode depresi ( Dalack, Glassman, Rivelli, Covey, &
Stetner, 1995; Glassman et al., 1988; Lerman et al., 1996 ), dan mereka yang memiliki
riwayat depresi gagal berhenti merokok dua kali lebih sering daripada perokok tanpa
episode depresi sebelumnya ( Glassman et al., 1990 ). Demikian pula, itu juga telah

16
mengindikasikan bahwa berhenti merokok meningkatkan keparahan gejala depresi
( Covey et al., 1997; Swan, Ward, & Jack, 1996; Barat, Hajek, & Belcher, 1989 ).
Selain itu, perokok dengan riwayat depresi telah terbukti lebih mungkin mengalami
episode depresi lain 6 bulan setelah berhenti merokok. Glassman et al., 2001 ).
Akibatnya, hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan keparahan depresi dan gejala
penarikan setelah berhenti merokok dapat berkontribusi pada tingkat yang lebih
rendah dari keberhasilan berhenti merokok pada orang dengan depresi.5

2.3 Hubungan Adiksi Nikotin dengan Kecemasan


Studi tentang perilaku perokok dan motivasi mereka untuk merokok
menunjukkan bahwa pengurangan kecemasan dan penghilang stres adalah pendorong
untuk mengejar kebiasaan ini. Sebaliknya juga telah dilaporkan, yaitu, hubungan
antara merokok dan meningkatnya gejala kecemasan, 244 yang menguatkan bukti dari
penelitian laboratorium yang gagal mendeteksi efek peningkatan mood dari merokok
atau nikotin. 245 Karena nikotin adalah senyawa yang kuat, dalam konteks aksinya
pada sistem neurotransmitter yang berbeda melalui nAChR, nikotin telah terlibat
dalam berbagai hipotesis yang berkaitan dengan dampak merokok pada kecemasan.3

Gangguan kecemasan termasuk tetapi tidak terbatas pada gangguan panik,


fobia, gangguan kecemasan umum, dan gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah
sekelompok gangguan yang mempengaruhi sekitar 40 juta orang Amerika (18,1%;
Kessler, 1997; Kessler, Chiu, Demler, & Walters, 2005 ) dan menelan biaya lebih dari
$ 42 miliar setahun, hampir sepertiga dari total biaya kesehatan mental Amerika
Serikat $ 148 miliar ( Greenberg et al., 1999 ). Gangguan di bawah kategori gangguan
kecemasan biasanya berkembang setelah peristiwa traumatis yang sangat
menegangkan ( Mineka & Zinbarg, 2006 ) dan mereka adalah di antara gangguan
psikologis yang paling sering didiagnosis ( Breslau, Novak, & Kessler, 2004 ). Pada
bagian berikut, kami akan meninjau literatur tentang hubungan antara gangguan
kecemasan dan ketergantungan nikotin pada manusia. Selain itu, kami akan
memeriksa efek akut, kronis, dan penarikan dari nikotin kronis dan keterlibatan
subtipe nAChR spesifik pada model hewan ketakutan dan kecemasan.5

17
Sejumlah penelitian telah mengidentifikasi hubungan dua arah antara ketergantungan
nikotin dan gangguan kecemasan ( Breslau, Davis, & Schultz, 2003; Breslau et al.,
2004; Feldner, Babson, & Zvolensky, 2007; Fu et al., 2007; Koenen et al., 2005 ).
Secara khusus, tingkat merokok telah terbukti secara signifikan lebih tinggi pada
populasi dengan gangguan kecemasan daripada pada populasi nonklinis, masing-
masing 45,3% dan 22,5% ( Lasser et al., 2000; Ziedonis et al., 2008 ). Di sisi lain,
gangguan kecemasan juga telah terbukti secara signifikan lebih lazim pada orang
yang didiagnosis dengan ketergantungan nikotin (22%) dibandingkan pada populasi
yang tidak tergantung (11,1%;Grant, Hasin, Chou, Stinson, & Dawson, 2004; Grant,
Stinson, et al., 2004 ). Konsisten dengan tingginya tingkat ketergantungan nikotin
pada pasien dengan gangguan kecemasan, merokok sebelumnya telah ditemukan
dikaitkan dengan peningkatan kerentanan untuk mengembangkan PTSD jika terjadi
trauma ( Koenen et al., 2005 ), peningkatan risiko serangan panik dan pengembangan
gangguan panik ( Goodwin, Lewinsohn, & Seeley, 2005 ). Selain itu, setelah trauma,
inisiasi merokok dan tingkat merokok harian juga meningkat ( Breslau et al., 2003,
2004 ). Pasien PTSD juga menunjukkan tingkat berhenti yang lebih rendah ( Hapke et
al., 2005; Lasser et al., 2000 ), menderita gejala putus nikotin yang lebih buruk
( Dedert et al., 2011 ), dan sebagai hasilnya menunjukkan waktu yang lebih singkat
untuk selang merokok pertama ( Beckham, Calhoun, Dennis, Wilson, & Dedert,
2012 ) dibandingkan populasi non-PTSD. Demikian pula, pasien dengan fobia sosial
juga menunjukkan peningkatan tingkat inisiasi merokok ( Sonntag, Wittchen, H
€ofler, Kessler, & Stein, 2000 ). Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa adanya gejala PTSD, seperti hyperarousal dan emosional mati rasa, merupakan
prediktor untuk ketergantungan nikotin dan gejala ini berkurang dengan asupan
nikotin ( Beckham et al., 2005; Feldner et al., 2007; Greenberg et al., 2012;
Thorndike, Wernicke, Pearlman, & Haaga, 2006 ). Oleh karena itu, ada kemungkinan
bahwa sementara ketergantungan nikotin meningkatkan kerentanan seseorang
terhadap gangguan kecemasan, merokok dapat berfungsi sebagai cara untuk
meringankan gejala yang terkait dengan gangguan kecemasan, yang, pada gilirannya,
meningkatkan ketergantungan nikotin di antara pasien dengan gangguan kecemasan.5
Investigasi hubungan langsung antara nAChRs dan PTSD dengan
menggunakan radiotracer [[[[[[ 123 ([ I] 5-IA-85380 123 I] 5-IA) dan tomografi
terkomputasi emisi foton tunggal, I] 5-IA) dan tomografi terkomputasi emisi foton

18
tunggal, I] 5-IA) dan tomografi terkomputasi emisi foton tunggal, I] 5-IA) dan
tomografi terkomputasi emisi foton tunggal, I] 5-IA) dan tomografi terkomputasi
emisi foton tunggal, I] 5-IA) dan tomografi terkomputasi emisi foton tunggal,
Czermak et al. Czermak et al. Czermak et al. Czermak et al. Czermak et al. Czermak
et al. (2008) menemukan bahwa pasien PTSD yang tidak pernah merokok
menunjukkan secara signifikan lebih tinggi β Kepadatan 2 nAChR di korteks
mesiotemporal termasuk amigdala dan hippocampus dibandingkan dengan individu
sehat yang tidak pernah merokok. Selanjutnya, penelitian yang sama menemukan
korelasi yang signifikan antara β 2 nAChR mengikat di thalamus dan gejala
reexperiencing di antara pasien PTSD. Disfungsi korteks thalamus dan mesiotemporal
secara fungsional terkait dengan patogenesis PTSD ( Lanius et al., 2001; Shin, Rauch,
& Pitman, 2006 ). Hasil ini menunjukkan hal itu β NAChR yang mengandung 2 dapat
memainkan peran penting dalam epidemiologi PTSD. Seperti dibahas sebelumnya,
nikotin mengikat dan memodulasi berbagai subunit nAChR. Oleh karena itu,
dimungkinkan bahwa modulasi β NAChR yang mengandung 2 dengan asupan nikotin
juga dapat secara langsung memodulasi gejala PTSD5

2.4 Hubungan Adiksi Nikotin dengan ADHD


ADHD mungkin salah satu gangguan anak yang paling umum. Gejala utama
ADHD adalah kurangnya perhatian, hiperaktif, dan impulsif ( Gehricke et al., 2007 ).
Diperkirakan bahwa ADHD mempengaruhi sekitar 6.5–8.4% anak-anak ( Barbaresi et
al., 2002, 2004 ) dan antara 1,9% dan 6% orang dewasa ( Kessler et al., 2006; Weiss
& Murray, 2003 ). Ada banyak faktor risiko dan perubahan fungsi otak yang terkait
dengan ADHD. Sebagai contoh, analisis fMRI menunjukkan bahwa ADHD dapat
dikaitkan dengan penurunan konektivitas antara korteks cingulate anterior dorsal dan
korteks cingulate posterior dan precuneus ( Castellanos et al., 2008 ); daerah otak
yang terkait dengan fungsi kognitif yang lebih tinggi termasuk memori kerja
( Hampson, Driesen, Skudlarski, Gore, & Constable, 2006 ). Selain perubahan di
daerah otak yang terlibat dalam kognisi, ADHD juga dapat melibatkan perubahan
dalam sistem neurotransmitter yang terkait dengan kognisi dan perhatian seperti
asetilkolin (untuk ulasan, lihat Beane & Marrocco, 2004 ). Selain itu, defisit kognitif
yang terkait dengan ADHD mirip dengan perubahan terkait penarikan nikotin dalam
kognisi yang terlihat pada perokok seperti defisit dalam perhatian berkelanjutan,
penghambatan respons, dan memori kerja ( Beane & Marrocco, 2004; Dovis, der
19
Oord, Huizenga, Wiers, & Prins, 2014; Hughes, Keenan, & Yellin, 1989; Jacobsen et
al., 2005; Mendrek et al., 2006 ; untuk ditinjau, lihat Ashare, Falcone, & Lerman,
2014 ).5
Kesamaan antara gejala ADHD dan gejala penarikan nikotin dan potensi
keterlibatan sistem kolinergik dalam ADHD dapat menunjukkan bahwa individu
dengan ADHD mungkin merupakan kelompok berisiko untuk merokok; ini didukung
oleh data. Empat puluh dua persen pria dengan ADHD adalah perokok dan 38%
wanita dengan ADHD adalah perokok; ini dibandingkan dengan 28,1% dan 23,5%
perokok untuk pria dan wanita tanpa ADHD ( Pomerleau, Downey, Stelson, &
Pomerleau, 1995 ). Selain itu, penelitian yang sama menemukan bahwa rasio berhenti
secara substansial lebih rendah pada individu dengan ADHD dibandingkan dengan
sisa populasi yang tidak sakit, masing-masing 29% berbanding 48,5%. Temuan ini
telah direplikasi oleh ilmuwan lain, misalnya, Lambert and Hartsough (1998)
menemukan ketergantungan tembakau seumur hidup adalah 40% pada individu
dengan ADHD dibandingkan dengan 19%. Namun, pertanyaan penting yang tersisa
adalah apakah merokok adalah hasil dari ADHD atau apakah ADHD adalah hasil dari
merokok.5
Hubungan Antara Paparan Nikotin dan ADHD pada Manusia
Bukti menunjukkan adanya hubungan yang kompleks antara ADHD dan
merokok dengan ADHD yang berkontribusi terhadap merokok tetapi merokok juga
berkontribusi terhadap perkembangan defisit perhatian. Sebagai contoh, ADHD
memperkirakan merokok di masa depan dan transisi menjadi kecanduan nikotin
terkait ( Fuemmeler, Kollins, & McClernon, 2007 ) dan remaja dengan ADHD lebih
cenderung bereksperimen dengan rokok dan menjadi perokok ( Tercyak, Lerman, &
Audrain, 2002 ). Oleh karena itu, merokok dapat menjadi upaya pengobatan sendiri
untuk gejala ADHD. Nikotin akut yang diberikan melalui tambalan meningkatkan
perhatian pada orang dewasa dan dewasa muda dengan ADHD ( Levin et al., 1996;
Potter & Newhouse, 2008 ). Selain itu, nikotin meningkatkan penghambatan perilaku
pada orang yang sangat impulsif ( Potter, Bucci, & Newhouse, 2012 ). Namun,
individu dengan ADHD mungkin juga lebih rentan terhadap efek negatif dari
merokok. Dalam sebuah studi tentang kembar, peningkatan yang lebih besar dalam
defisit perhatian selama bertahun-tahun terlihat untuk perokok dibandingkan
kelompok kembar yang tidak pernah merokok ( Treur et al., Dalam pers ). Studi ini

20
menunjukkan bahwa merokok dapat memperburuk masalah perhatian. Selain itu,
dalam sebuah studi yang secara khusus memeriksa individu dengan ADHD, gejala
kurangnya perhatian selama masa kanak-kanak, tetapi tidak hiperaktif, dikaitkan
dengan penarikan nikotin yang lebih besar5
.gejala saat dewasa ( Ameringer & Leventhal, 2012 ). Hubungan antara
ADHD dan gejala penarikan nikotin yang lebih besar ini didukung oleh penelitian
lain. Perempuan, tetapi bukan laki-laki, perokok dengan ADHD memiliki gejala
penarikan yang lebih besar ( McClernon et al., 2011 ), dan dalam penelitian lain,
perokok dengan ADHD menunjukkan gejala penarikan hebat dan kemauan untuk
bekerja lebih keras untuk kepulan rokok ( Kollins et al., 2013; Pomerleau et al.,
2003 ). Selain itu, penelitian lain menemukan bahwa perokok pria dan wanita dengan
ADHD memiliki tingkat ketergantungan nikotin yang lebih besar daripada perokok
tanpa ADHD ( Wilens et al., 2008 ). Munculnya peningkatan gejala ADHD selama
periode pantang dikaitkan dengan peningkatan risiko kekambuhan ( Rukstalis, Jepson,
Patterson, & Lerman, 2005 ), yang menunjukkan bahwa peningkatan gejala penarikan
berdampak pada keberhasilan upaya berhenti dan dengan demikian kesehatan.5
Untuk meningkatkan pengobatan untuk ADHD dan ketergantungan nikotin,
diperlukan pemahaman tentang faktor-faktor apa yang mendasari peningkatan risiko
ketergantungan nikotin pada individu dengan ADHD. Sementara tidak diragukan lagi
banyak faktor yang berkontribusi pada hubungan ini, semakin banyak bukti
menunjukkan bahwa perbedaan dalam proses perhatian dan gejala ADHD mungkin
terkait dengan varian genetik dalam gen yang mengkode subunit reseptor nikotinik.
Lee, Fuemmeler, McClernon, Ashley-Koch, dan Kollins (2013) menemukan interaksi
yang signifikan antara polimorfisme nukleotida tunggal CHRNB3 dan ADHD di
mana varian AA dan gejala ketidakpedulian ADHD dikaitkan dengan peningkatan
yang lebih besar dalam tingkat merokok di masa remaja. Studi ini juga melaporkan
perbedaan dalam merokok yang terkait dengan varian CHRNA6. Studi lain
menemukan bahwa dua alel (rs578776 dan rs3743078) dalam CHRNA3 dikaitkan
dengan peningkatan risiko merokok, tetapi hanya di antara individu dengan ADHD
( Polina et al., 2014 ). Bahkan, Vin˜als et al. (2012) menunjukkan bahwa tikus
transgenik yang diekspresikan berlebih bahwa tikus transgenik yang diekspresikan
berlebih bahwa tikus transgenik yang diekspresikan berlebih bahwa tikus transgenik
yang diekspresikan berlebih bahwa tikus transgenik yang diekspresikan berlebih

21
bahwa tikus transgenik yang diekspresikan berlebih bahwa tikus transgenik yang
diekspresikan berlebih α 3 / α 5 / β 4 nAChR menunjukkan perilaku yang 4 nAChR
menunjukkan perilaku yang kurang impulsif dibandingkan kontrol tipe liar. Juga,
Cohen et al. (2012) menemukan bahwa tikus mutan dengan hipersensitif α 6 subunit
nAChR menunjukkan hiperaktif spontan di kandang mereka. Selain itu, perubahan
gen lain yang terkait dengan fungsi kolinergik juga dapat berkontribusi pada ADHD
sebagai studi yang meneliti polimorfisme dalam gen yang mengkode transporter kolin
afinitas tinggi (CHT; SLC5A7) menemukan peningkatan dua hingga tiga kali lipat
pada alel Val89, yang dikaitkan dengan penurunan fungsi transportasi kolin, pada
individu dengan ADHD ( Bahasa Inggris et al., 2009 ). Studi-studi ini menunjukkan
bahwa perbedaan dalam fungsi nAChR dapat berkontribusi pada peningkatan
kerentanan terhadap kecanduan nikotin untuk individu dengan ADHD dan bahwa
genetika memainkan peran dalam kerentanan ini.5
Studi yang dikaji sejauh ini menunjukkan hubungan yang jelas antara
merokok dan ADHD dan menyarankan mengobati kecanduan nikotin pada individu
dengan ADHD mungkin lebih menantang. Namun, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa mengobati gejala ADHD dapat mengurangi merokok. Methylphenidate adalah
stimulan yang biasa digunakan untuk mengobati ADHD, dan pada remaja,
methylphenidate juga terbukti mengurangi merokok ( Hammerness et al., 2013;
Schoenfelder, Faraone, & Kollins, 2014 ). Selain itu, penelitian lain menemukan
bahwa pengiriman methylphenidate yang lepas secara terkontrol osmotik selama 11
minggu kepada perokok dewasa dengan ADHD yang parah mendorong tidak
merokok pada orang-orang ini sebagian dengan memperbaiki gejala ADHD ( Nunes
et al., 2013 ). Sebaliknya, individu dengan skor ADHD yang lebih rendah
menunjukkan tingkat pantang yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang
diobati dengan plasebo. Namun sebuah penelitian oleh Vansickel, Stoops, Glaser,
Poole, dan Rush (2011) melaporkan bahwa pemberian methylphenidate secara akut
meningkatkan merokok pada subjek ADHD dewasa. Ada kemungkinan bahwa
efektivitas methylphenidate dalam mengurangi merokok pada subjek ADHD mungkin
tergantung pada lamanya pengobatan dan tingkat keparahan gejala. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menggambarkan mekanisme perilaku dan saraf yang
mendasari hubungan yang diamati antara obat stimulan dan merokok pada subjek
ADHD.5

22
BAB III
KESIMPULAN

1. depresi
Merokok dan depresi menunjukkan hubungan dua arah: Merokok
meningkatkan risiko depresi, dan depresi meningkatkan risiko merokok. Depresi
berhubungan dengan hiperaktivasi sistem kolinergik dan penurunan aktivitas sistem
noradrenergik. Nikotin telah digunakan dalam uji klinis untuk mengevaluasi apakah
itu dapat memberikan bantuan kepada pasien depresi. Pemberian kronis tingkat
nikotin rendah dianggap menurunkan sensitivitas NAChR, yang diusulkan sebagai
hipotesis untuk mekanisme yang mendasari pengurangan potensial.4

23
2. Kecemasan
Demikian pula dengan depresi, hubungan dua arah antara merokok dan
kecemasan telah diamati. Pasien dengan kecemasan cenderung merokok lebih
bertujuan mengurangi kecemasan dan menghilangkan stres. Yang sebaliknya telah
dilaporkan juga: perokok cenderung lebih cemas. Hasil klinis dan praklinis pada
nikotin dan kecemasan menantang untuk interpretasi karena hasil yang beragam dan
tidak meyakinkan. Investigasi lebih lanjut akan diperlukan untuk menghasilkan bukti
kuat mengenai dampak nikotin pada gangguan ini dan rekomendasi yang mungkin
untuk pasien.3

3,adhd
Singkatnya, hubungan antara nikotin dan ADHD kompleks. Individu dengan ADHD
mungkin merokok dalam upaya pengobatan sendiri, tetapi seiring waktu efek positif
dapat menghilang dan memburuknya gejala dapat terjadi. Selain itu, merokok dan
paparan nikotin dapat memfasilitasi pengembangan ADHD; tidak ada tempat yang
lebih kritis dari paparan nikotin. Baik paparan nikotin prenatal dan remaja dikaitkan
dengan peningkatan ekspresi gejala ADHD. Selain itu, paparan nikotin prenatal dapat
menghasilkan perubahan epigenetik yang meningkat Gejala ADHD pada generasi
mendatang yang tidak terpapar nikotin. Hubungan antara ADHD dan nikotin /
merokok mungkin melibatkan banyak mekanisme termasuk pensinyalan via α 4 β 2
nAChR dan subtipe nAChR lainnya. Pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk
sepenuhnya memahami hubungan antara ADHD dan nikotin dan substrat yang
mendasarinya untuk meningkatkan perawatan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suryantisa I. Tembakau di Indonesia. Situasi Umum Konsumsi Temabakau di


Indones. 2018;06–7.
2. Safitri E, Widodo D, Widiani E. Hubungan Antara Frekuensi Merokok Dengan
Tingkat Stres Pada Remaja Akhir. Nurs News (Meriden). 2019;4:118–23.
3. Xia W, Phillips B, Wong ET, Ho J, Oviedo A, Hoeng J. Anxiety 8.1. 2018;57–
60.
4. Causes P, Smokingnicotine IOF, Evidence E. Depression 7.1. 2018;51–6.

24
5. Kutlu MG, Parikh V, Gould TJ. Nicotine Addiction and Psychiatric Disorders
[Internet]. 1st ed. Vol. 124, International Review of Neurobiology. Elsevier
Inc.; 2015. 171–208 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/bs.irn.2015.08.004

25
1

Anda mungkin juga menyukai