REFERAT - Jjjchairini Fikry
REFERAT - Jjjchairini Fikry
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Jiwa Aceh
Banda Aceh
Oleh:
Chairini Fikry
1907101030113
Pembimbing:
dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Kecanduan Nikotin dan Gangguan Jiwa”. Shalawat beserta salam penulis
sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia ke masa
yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Rumah
Sakit Jiwa Aceh. Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis
sampaikan kepada dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ yang telah bersedia meluangkan
waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya
dan ilmu kedokteran jiwa khususnya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk referat ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................2
2.1 Kecanduan Nikotin..........................................................................................2
2.1.1 Definisi Nikotin........................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi Merokok............................................................................2
2.1.3 Jenis jenis Rokok......................................................................................2
2.1.4 Faktor Resiko Adiksi Nikotin..................................................................2
2.1.5 Gejala Adiksi Nikotin..............................................................................2
2.1.6 Proses Adiksi Nikotin..............................................................................2
2.2 Gangguan Jiwa................................................................................................2
2.2.1 Definisi Gangguan Jiwa...........................................................................2
2.2.2 Epidemiologi............................................................................................2
2.2.3 Etiologi.....................................................................................................2
2.2.4 Tanda dan Gejala......................................................................................2
2.2.5 Patofisiologi.............................................................................................2
2.3 Hubungan Adiksi Nikotin dengan Depresi......................................................2
2.4 Hubungan Adiksi Nikotin dengan Kecemasan................................................2
2.5 Hubungan Adiksi Nikotin dengan ADHD......................................................2
KESIMPULAN..............................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................4
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2Epidemiologi Merokok
5
terdapat penurunan jumlah konsumsi rokok dan tembakau sehingga mengakibatkan
penurunan total konsumsi di tahun #$'%.1
Dilihat dari status bekerja, konsumsi rokok dan tembakau banyak pada mereka yang
bekerja baik pada lakilaki maupun perempuan. Sedangkan jika dilihat berdasarkan
umur, jumlah konsumsi terendah berada pada kelompok umur 15-24 tahun kemudian
meningkat hingga mencapai puncak di usia antara 35-54 tahun dan kembali menurun
di usia 55 tahun ke atas.1
Berdasarkan jenis produk rokok, menurut laporan Global Adult Tobacco Survey
tahun 2011, rokok kretek merupakan produk rokok yang paling populer di Indonesia.
Jumlah pengguna rokok linting 8,1 juta- lebih tinggi dari jumlah pengguna rokok
putih 3,8 juta-. Sekitar 54,3 juta orang merokok kretek dan hampir setengah juta
merokok produk lain seperti pipa, cerutu, shisha, dan lainnya. Untuk konsumsi jenis
produk rokok, sebanyak 80,4% perokok dewasa mengonsumsi rokok kretek saja,
sedangkan 5,4% mengonsumsi rokok linting saja, dan 3,7% mengonsumsi rokok putih
saja (GATS, 2011).1
Merokok merupakan bentuk utama penggunaan tembakau. Secara
global,terjadi peningkatan konsumsi rokok terutama di negara berkembang.
Berdasarkan data dari Tobacco Control Support Centre (2015), diperkirakan saat
ini jumlah perokok di seluruh dunia mencapai 1,3 milyar orang dan data dari
Tobacco Atlas 2015, Indonesia menjadi negara keempat dengan konsumsi rokok
tertinggi di dunia setelah Cina, Rusia, dan Amerika Serikat. Lebih buruknya lagi,
Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
angka perokok remaja tertinggi di dunia. 4,5
Kemudian, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018,
Proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau
cenderung meningkat dari tahun 2007-2013 dan mengalami penurunan pada tahun
2018, dengan prevalensi konsumsi tembakau sebagai berikut: berdasarkan Riskesdas
2007 sebesar 34,2%, Riskesdas 2010 sebesar 34,3%, Riskesdas 2013 sebesar 36,3%,
dan Riskesdas 2018 menurun menjadi 33,8%.6
Kandungan Pada sebatang rokok terdapat kandungan lebih dari 4000 senyawa
kimia, dan 2000 di antaranya berdampak buruk bagi kesehatan tubuh, seperti bahan
radioaktif (polonium-201) dan bahan yang digunakan dalam dalam cat seperti aseton,
hidrogen sianida, dan lainnya.16
3. Karbon Monoksida (CO) adalah gas beracun yang memiliki afinitas atau
kemampuan berikatan dengan hemoglobin di sel darah merah lebih kuat
7
dibandingkan dengan oksigen. Pada perokok dapat meningkatkan kadar karboksi-
haemoglobin dalam darah sejumlah 2-16%, padahal kadar normal karboksi-
haemoglobin hanya 1% pada bukan perokok. Adanya perubahan struktur pada
pembuluh darah akibat berbagai mekanisme yang diinduksi oleh karbon monoksida
dan radikal bebas yang terbentuk. Radikal bebas yang terbentuk akan menyebabkan
lipoperoksidasi dengan melepaskan banyak mediator radang dan netrofil. Kerusakan
pada striatum akibat penurunan suplai oksigen menyebabkan deteriorasi intelektual,
memory impairment, dan perubahan emosi. Kondisi ini terjadi pada paparan
jangkapanjang.
8
Dampak negatif merokok pada kesehatan telah ditulis dengan jelas di setiap
bungkus rokok, yaitu kanker,serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan
dan janin. Berbagai hasil penelitian secara longitudinal dan cohort, baik dalam setting
eksperimen, kuasi-eksperimen, maupun natural telah membuktikan hal tersebut
(Liem,2010). Merokok akan mendorong terjadinya vasoconstriction dan
atherosclerosis yang menyebabkan subclinical myocardinal ischemia, serta karbon
monoksida yang memperbesar risiko terjadinya hypoxemia dan myopacardinal
hypoxia. Selain berdampak pada organ tubuh, kandungan zat dalam rokok khususnya
nikotin juga mempengaruhi kondisi psikologi, syaraf, serta aktivitas dan fungsi otak,
baik pada perokok aktif maupun pasif (Liem,2010).2
9
2.1.5Gejala Adiksi Nikotin
Hal ini memberikan gambaran bahwa perilaku merokok bagi subjek dianggap
memberikan kenikmatan dan menyenangkan. Rokok diyakini dapa
mendatangkan efek-efek yang menyenangkan. Berikut tabel perasaan subjek setelah
merokok.21
Efek-efek %
Nikmat 38,298
Puas 15,957
Tenang 12,766
Biasa saja 11,703
Santai 5,319
Hangat 3,192
Percaya diri 2,128
Gaya hidup 1,064
Perasaan hilang masalah 1,064
Mengantuk 1,064
Pusing 5,257
Pahit 2,218
10
secara tegas menyebutkan berapa jumlah rokok yang dikonsumsi per hari yang dapat
memicu depresi. Akan tetapi berdasarkan penelitian, dinyatakan bahwa konsumsi
jumlah rokok lebih dari 20 batang per hari berdampak cepat dan berat terhadap
gangguan kesehatan.22,23
1.Depresi
2.Kecemasan
3.ADHD
2.2.2 Epidemiologi
1. Depresi
3.ADHD
12
peristiwa kehidupan utama (positif dan negatif), genetika, dan emosi yang kuat
(kesedihan atau kesedihan). Depresi adalah gangguan multifaset dengan beragam
penyebab yang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan kondisi
medis yang parah. Misalnya, depresi meningkatkan risiko gangguan kardiovaskular,
stroke, penyakit Alzemier, epilepsi, diabetes, dan kanker. 4
2.Kecemasan
2.2.4 Patofisiologi
1.Depresi
2.Kecemasan
3.ADHD
1.Depresi
2.Kecemasan
3.ADHD
15
Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Ketiga Direvisi, meramalkan risiko
tiga kali lipat mengembangkan depresi berat ( Breslau & Johnson, 2000 ), dan
hubungan ini dipertahankan di berbagai kelompok umur yang berbeda seperti remaja (
Killen et al., 2004 ), orang dewasa ( Fergusson et al., 2003 ), dan orang dewasa di atas
usia 60 ( Glassman, Covey, Stetner, & Rivelli, 2001 ). Ada juga bukti yang
menunjukkan bahwa merokok selama masa remaja menghasilkan peningkatan empat
kali lipat dalam kemungkinan mengembangkan gejala depresi di kemudian hari
( Brook, Schuster, & Zhang, 2004; Choi, Patten, Gillin, Kaplan, & Pierce, 1997;
Goodman & Capitman, 2000; Wu & Anthony, 1999 ). Studi lain menemukan bahwa
risiko mengembangkan depresi adalah empat kali lebih tinggi pada perokok berat
daripada bukan perokok dan peningkatan waktu ketergantungan merokok berkorelasi
dengan peningkatan risiko depresi ( berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi
( berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi ( berkorelasi dengan peningkatan
risiko depresi ( berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi ( berkorelasi dengan
peningkatan risiko depresi ( Klungs Klungs Klungs Klungs Klungs Klungs Hai Hai
Hai Hai Hai Hai tahun, Nyga˚rd, S tahun, Nyga˚rd, S tahun, Nyga˚rd, S tahun,
Nyga˚rd, S tahun, Nyga˚rd, S tahun, Nyga˚rd, S Hai Hai Hai Hai Hai Hai rensen, &
rensen, & rensen, & rensen, & rensen, & rensen, & Sandanger, 2006 ), yang
menunjukkan bahwa kerentanan untuk depresi meningkat dengan tingkat merokok
yang lebih tinggi.Sama seperti perokok menunjukkan tingkat depresi yang lebih
tinggi, pasien dengan depresi berat telah terbukti memiliki tingkat merokok yang lebih
tinggi daripada populasi nonklinis ( Covey, Glassman, & Stetner, 1997, 1998;
Fergusson et al., 2003 ). Menurut hipotesis pengobatan sendiri dari ketergantungan
nikotin ( Carmody, 1992; Markou, Kosten, & Koob, 1998; Pomerleau & Pomerleau,
1985 ), ini mungkin karena nikotin mengurangi pengaruh negatif dan bekerja sebagai
antidepresan. Sebagai dukungan, pasien dengan depresi berat meningkatkan merokok
ketika mereka mengalami gejala depresi ( Schleicher, Harris, Catley, & Nazir, 2009 ).
Sejalan dengan hipotesis pengobatan sendiri, ada juga beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa mayoritas perokok yang terdaftar dalam program berhenti
merokok memiliki riwayat episode depresi ( Dalack, Glassman, Rivelli, Covey, &
Stetner, 1995; Glassman et al., 1988; Lerman et al., 1996 ), dan mereka yang memiliki
riwayat depresi gagal berhenti merokok dua kali lebih sering daripada perokok tanpa
episode depresi sebelumnya ( Glassman et al., 1990 ). Demikian pula, itu juga telah
16
mengindikasikan bahwa berhenti merokok meningkatkan keparahan gejala depresi
( Covey et al., 1997; Swan, Ward, & Jack, 1996; Barat, Hajek, & Belcher, 1989 ).
Selain itu, perokok dengan riwayat depresi telah terbukti lebih mungkin mengalami
episode depresi lain 6 bulan setelah berhenti merokok. Glassman et al., 2001 ).
Akibatnya, hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan keparahan depresi dan gejala
penarikan setelah berhenti merokok dapat berkontribusi pada tingkat yang lebih
rendah dari keberhasilan berhenti merokok pada orang dengan depresi.5
17
Sejumlah penelitian telah mengidentifikasi hubungan dua arah antara ketergantungan
nikotin dan gangguan kecemasan ( Breslau, Davis, & Schultz, 2003; Breslau et al.,
2004; Feldner, Babson, & Zvolensky, 2007; Fu et al., 2007; Koenen et al., 2005 ).
Secara khusus, tingkat merokok telah terbukti secara signifikan lebih tinggi pada
populasi dengan gangguan kecemasan daripada pada populasi nonklinis, masing-
masing 45,3% dan 22,5% ( Lasser et al., 2000; Ziedonis et al., 2008 ). Di sisi lain,
gangguan kecemasan juga telah terbukti secara signifikan lebih lazim pada orang
yang didiagnosis dengan ketergantungan nikotin (22%) dibandingkan pada populasi
yang tidak tergantung (11,1%;Grant, Hasin, Chou, Stinson, & Dawson, 2004; Grant,
Stinson, et al., 2004 ). Konsisten dengan tingginya tingkat ketergantungan nikotin
pada pasien dengan gangguan kecemasan, merokok sebelumnya telah ditemukan
dikaitkan dengan peningkatan kerentanan untuk mengembangkan PTSD jika terjadi
trauma ( Koenen et al., 2005 ), peningkatan risiko serangan panik dan pengembangan
gangguan panik ( Goodwin, Lewinsohn, & Seeley, 2005 ). Selain itu, setelah trauma,
inisiasi merokok dan tingkat merokok harian juga meningkat ( Breslau et al., 2003,
2004 ). Pasien PTSD juga menunjukkan tingkat berhenti yang lebih rendah ( Hapke et
al., 2005; Lasser et al., 2000 ), menderita gejala putus nikotin yang lebih buruk
( Dedert et al., 2011 ), dan sebagai hasilnya menunjukkan waktu yang lebih singkat
untuk selang merokok pertama ( Beckham, Calhoun, Dennis, Wilson, & Dedert,
2012 ) dibandingkan populasi non-PTSD. Demikian pula, pasien dengan fobia sosial
juga menunjukkan peningkatan tingkat inisiasi merokok ( Sonntag, Wittchen, H
€ofler, Kessler, & Stein, 2000 ). Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa adanya gejala PTSD, seperti hyperarousal dan emosional mati rasa, merupakan
prediktor untuk ketergantungan nikotin dan gejala ini berkurang dengan asupan
nikotin ( Beckham et al., 2005; Feldner et al., 2007; Greenberg et al., 2012;
Thorndike, Wernicke, Pearlman, & Haaga, 2006 ). Oleh karena itu, ada kemungkinan
bahwa sementara ketergantungan nikotin meningkatkan kerentanan seseorang
terhadap gangguan kecemasan, merokok dapat berfungsi sebagai cara untuk
meringankan gejala yang terkait dengan gangguan kecemasan, yang, pada gilirannya,
meningkatkan ketergantungan nikotin di antara pasien dengan gangguan kecemasan.5
Investigasi hubungan langsung antara nAChRs dan PTSD dengan
menggunakan radiotracer [[[[[[ 123 ([ I] 5-IA-85380 123 I] 5-IA) dan tomografi
terkomputasi emisi foton tunggal, I] 5-IA) dan tomografi terkomputasi emisi foton
18
tunggal, I] 5-IA) dan tomografi terkomputasi emisi foton tunggal, I] 5-IA) dan
tomografi terkomputasi emisi foton tunggal, I] 5-IA) dan tomografi terkomputasi
emisi foton tunggal, I] 5-IA) dan tomografi terkomputasi emisi foton tunggal,
Czermak et al. Czermak et al. Czermak et al. Czermak et al. Czermak et al. Czermak
et al. (2008) menemukan bahwa pasien PTSD yang tidak pernah merokok
menunjukkan secara signifikan lebih tinggi β Kepadatan 2 nAChR di korteks
mesiotemporal termasuk amigdala dan hippocampus dibandingkan dengan individu
sehat yang tidak pernah merokok. Selanjutnya, penelitian yang sama menemukan
korelasi yang signifikan antara β 2 nAChR mengikat di thalamus dan gejala
reexperiencing di antara pasien PTSD. Disfungsi korteks thalamus dan mesiotemporal
secara fungsional terkait dengan patogenesis PTSD ( Lanius et al., 2001; Shin, Rauch,
& Pitman, 2006 ). Hasil ini menunjukkan hal itu β NAChR yang mengandung 2 dapat
memainkan peran penting dalam epidemiologi PTSD. Seperti dibahas sebelumnya,
nikotin mengikat dan memodulasi berbagai subunit nAChR. Oleh karena itu,
dimungkinkan bahwa modulasi β NAChR yang mengandung 2 dengan asupan nikotin
juga dapat secara langsung memodulasi gejala PTSD5
20
menunjukkan bahwa merokok dapat memperburuk masalah perhatian. Selain itu,
dalam sebuah studi yang secara khusus memeriksa individu dengan ADHD, gejala
kurangnya perhatian selama masa kanak-kanak, tetapi tidak hiperaktif, dikaitkan
dengan penarikan nikotin yang lebih besar5
.gejala saat dewasa ( Ameringer & Leventhal, 2012 ). Hubungan antara
ADHD dan gejala penarikan nikotin yang lebih besar ini didukung oleh penelitian
lain. Perempuan, tetapi bukan laki-laki, perokok dengan ADHD memiliki gejala
penarikan yang lebih besar ( McClernon et al., 2011 ), dan dalam penelitian lain,
perokok dengan ADHD menunjukkan gejala penarikan hebat dan kemauan untuk
bekerja lebih keras untuk kepulan rokok ( Kollins et al., 2013; Pomerleau et al.,
2003 ). Selain itu, penelitian lain menemukan bahwa perokok pria dan wanita dengan
ADHD memiliki tingkat ketergantungan nikotin yang lebih besar daripada perokok
tanpa ADHD ( Wilens et al., 2008 ). Munculnya peningkatan gejala ADHD selama
periode pantang dikaitkan dengan peningkatan risiko kekambuhan ( Rukstalis, Jepson,
Patterson, & Lerman, 2005 ), yang menunjukkan bahwa peningkatan gejala penarikan
berdampak pada keberhasilan upaya berhenti dan dengan demikian kesehatan.5
Untuk meningkatkan pengobatan untuk ADHD dan ketergantungan nikotin,
diperlukan pemahaman tentang faktor-faktor apa yang mendasari peningkatan risiko
ketergantungan nikotin pada individu dengan ADHD. Sementara tidak diragukan lagi
banyak faktor yang berkontribusi pada hubungan ini, semakin banyak bukti
menunjukkan bahwa perbedaan dalam proses perhatian dan gejala ADHD mungkin
terkait dengan varian genetik dalam gen yang mengkode subunit reseptor nikotinik.
Lee, Fuemmeler, McClernon, Ashley-Koch, dan Kollins (2013) menemukan interaksi
yang signifikan antara polimorfisme nukleotida tunggal CHRNB3 dan ADHD di
mana varian AA dan gejala ketidakpedulian ADHD dikaitkan dengan peningkatan
yang lebih besar dalam tingkat merokok di masa remaja. Studi ini juga melaporkan
perbedaan dalam merokok yang terkait dengan varian CHRNA6. Studi lain
menemukan bahwa dua alel (rs578776 dan rs3743078) dalam CHRNA3 dikaitkan
dengan peningkatan risiko merokok, tetapi hanya di antara individu dengan ADHD
( Polina et al., 2014 ). Bahkan, Vin˜als et al. (2012) menunjukkan bahwa tikus
transgenik yang diekspresikan berlebih bahwa tikus transgenik yang diekspresikan
berlebih bahwa tikus transgenik yang diekspresikan berlebih bahwa tikus transgenik
yang diekspresikan berlebih bahwa tikus transgenik yang diekspresikan berlebih
21
bahwa tikus transgenik yang diekspresikan berlebih bahwa tikus transgenik yang
diekspresikan berlebih α 3 / α 5 / β 4 nAChR menunjukkan perilaku yang 4 nAChR
menunjukkan perilaku yang kurang impulsif dibandingkan kontrol tipe liar. Juga,
Cohen et al. (2012) menemukan bahwa tikus mutan dengan hipersensitif α 6 subunit
nAChR menunjukkan hiperaktif spontan di kandang mereka. Selain itu, perubahan
gen lain yang terkait dengan fungsi kolinergik juga dapat berkontribusi pada ADHD
sebagai studi yang meneliti polimorfisme dalam gen yang mengkode transporter kolin
afinitas tinggi (CHT; SLC5A7) menemukan peningkatan dua hingga tiga kali lipat
pada alel Val89, yang dikaitkan dengan penurunan fungsi transportasi kolin, pada
individu dengan ADHD ( Bahasa Inggris et al., 2009 ). Studi-studi ini menunjukkan
bahwa perbedaan dalam fungsi nAChR dapat berkontribusi pada peningkatan
kerentanan terhadap kecanduan nikotin untuk individu dengan ADHD dan bahwa
genetika memainkan peran dalam kerentanan ini.5
Studi yang dikaji sejauh ini menunjukkan hubungan yang jelas antara
merokok dan ADHD dan menyarankan mengobati kecanduan nikotin pada individu
dengan ADHD mungkin lebih menantang. Namun, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa mengobati gejala ADHD dapat mengurangi merokok. Methylphenidate adalah
stimulan yang biasa digunakan untuk mengobati ADHD, dan pada remaja,
methylphenidate juga terbukti mengurangi merokok ( Hammerness et al., 2013;
Schoenfelder, Faraone, & Kollins, 2014 ). Selain itu, penelitian lain menemukan
bahwa pengiriman methylphenidate yang lepas secara terkontrol osmotik selama 11
minggu kepada perokok dewasa dengan ADHD yang parah mendorong tidak
merokok pada orang-orang ini sebagian dengan memperbaiki gejala ADHD ( Nunes
et al., 2013 ). Sebaliknya, individu dengan skor ADHD yang lebih rendah
menunjukkan tingkat pantang yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang
diobati dengan plasebo. Namun sebuah penelitian oleh Vansickel, Stoops, Glaser,
Poole, dan Rush (2011) melaporkan bahwa pemberian methylphenidate secara akut
meningkatkan merokok pada subjek ADHD dewasa. Ada kemungkinan bahwa
efektivitas methylphenidate dalam mengurangi merokok pada subjek ADHD mungkin
tergantung pada lamanya pengobatan dan tingkat keparahan gejala. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menggambarkan mekanisme perilaku dan saraf yang
mendasari hubungan yang diamati antara obat stimulan dan merokok pada subjek
ADHD.5
22
BAB III
KESIMPULAN
1. depresi
Merokok dan depresi menunjukkan hubungan dua arah: Merokok
meningkatkan risiko depresi, dan depresi meningkatkan risiko merokok. Depresi
berhubungan dengan hiperaktivasi sistem kolinergik dan penurunan aktivitas sistem
noradrenergik. Nikotin telah digunakan dalam uji klinis untuk mengevaluasi apakah
itu dapat memberikan bantuan kepada pasien depresi. Pemberian kronis tingkat
nikotin rendah dianggap menurunkan sensitivitas NAChR, yang diusulkan sebagai
hipotesis untuk mekanisme yang mendasari pengurangan potensial.4
23
2. Kecemasan
Demikian pula dengan depresi, hubungan dua arah antara merokok dan
kecemasan telah diamati. Pasien dengan kecemasan cenderung merokok lebih
bertujuan mengurangi kecemasan dan menghilangkan stres. Yang sebaliknya telah
dilaporkan juga: perokok cenderung lebih cemas. Hasil klinis dan praklinis pada
nikotin dan kecemasan menantang untuk interpretasi karena hasil yang beragam dan
tidak meyakinkan. Investigasi lebih lanjut akan diperlukan untuk menghasilkan bukti
kuat mengenai dampak nikotin pada gangguan ini dan rekomendasi yang mungkin
untuk pasien.3
3,adhd
Singkatnya, hubungan antara nikotin dan ADHD kompleks. Individu dengan ADHD
mungkin merokok dalam upaya pengobatan sendiri, tetapi seiring waktu efek positif
dapat menghilang dan memburuknya gejala dapat terjadi. Selain itu, merokok dan
paparan nikotin dapat memfasilitasi pengembangan ADHD; tidak ada tempat yang
lebih kritis dari paparan nikotin. Baik paparan nikotin prenatal dan remaja dikaitkan
dengan peningkatan ekspresi gejala ADHD. Selain itu, paparan nikotin prenatal dapat
menghasilkan perubahan epigenetik yang meningkat Gejala ADHD pada generasi
mendatang yang tidak terpapar nikotin. Hubungan antara ADHD dan nikotin /
merokok mungkin melibatkan banyak mekanisme termasuk pensinyalan via α 4 β 2
nAChR dan subtipe nAChR lainnya. Pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk
sepenuhnya memahami hubungan antara ADHD dan nikotin dan substrat yang
mendasarinya untuk meningkatkan perawatan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
24
5. Kutlu MG, Parikh V, Gould TJ. Nicotine Addiction and Psychiatric Disorders
[Internet]. 1st ed. Vol. 124, International Review of Neurobiology. Elsevier
Inc.; 2015. 171–208 p. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/bs.irn.2015.08.004
25
1