Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik
di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti Asuransi, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Secara lebih lengkap,
OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 tersebut.
Tugas pengawasan industri keuangan non-bank dan pasar modal secara resmi beralih dari
Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK pada 31 Desember 2012. Sedangkan
pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan Lembaga
Keuangan Mikro pada 2015. Secara lebih lengkap, OJK adalah lembaga independen dan bebas
dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
21 tersebut.
B. Pembentukan OJK
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga ini merupakan badan independen yang memiliki fungsi, tugas
dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan. Pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan merupakan upaya pemerintah Republik Indonesia menghadirkan lembaga yang
mampu menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan
sektor keuangan, baik perbankan maupun Lembaga keuangan non-bank.
Secara fungsi, lembaga ini menggantikan tugas Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bappepam-LK) serta mengambil alih tugas Bank Indonesia dalam hal pengawasan
perbankan. Setelah Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 disahkan, Presiden Republik Indonesia
saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Juli 2012 menetapkan sembilan anggota dewan
1
komisioner Otoritas Jasa Keuangan, termasuk dua anggota komisioner ex-officio dari
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Setelah itu, pada 15 Agustus 2012 dibentuklah Tim Transisi Otoritas Jasa Keuangan Tahap I,
untuk membantu Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas selama masa
transisi. Mulai 31 Desember 2012, Otoritas Jasa Keuangan secara efektif beroperasi dengan
cakupan tugas Pengawasan Pasar Modal dan Industri Keuangan Non-Bank. Setelah itu, pada 18
Maret 2013 dibentuk Tim Transisi Otoritas Jasa Keuangan Tahap II untuk membantu Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan pengalihan fungsi, tugas dan wewenang
Pengaturan dan Pengawasan Perbankan dari Bank Indonesia.
Per 31 Desember 2013 Pengawasan Perbankan sepenuhnya beralih dari Bank Indonesia ke
Otoritas Jasa Keuangan, sekaligus menandai dimulainya operasional Otoritas Jasa Keuangan
secara penuh. Perluasan fungsi pengawasan Industri Keuangan Non-Bank, pada 1 Januari 2015
Otoritas Jasa Keuangan memulai Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM).
Latar belakang pembentukan OJK adalah karena adanya kebutuhan dalam hal penataan
beberapa lembaga pelaksana yang bertugas, mengatur, dan memberikan pengawasan di sektor
jasa keuangan. Mengacu pada pengertian OJK di atas, berikut ini adalah beberapa hal yang
melandasi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan:
1. Amanat Undang-Undang
Adanya amanat Undang-undang untuk melakukan pembentukan lembaga pengawasan di
sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, modal, dan Non-Bank, serta badan-
badan lain yang melakukan pengelolaan dana masyarakat.
2. Perkembangan Industri Jasa Keuangan
3. Adanya globalisasi dan inovasi dalam sistem keuangan serta kemajuan teknologi
informasi yang begitu pesat, membuat industri keuangan menjadi sangat dinamis,
kompleks, dan saling terhubung. Untuk itulah diperlukan sebuah lembaga yang bisa
menaungi itu semua dan bertindak secara objektif.
2
4. Konglomerasi Lembaga Jasa Keuangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konglomerasi adalah keutuhan yang
terjadi dari bermacam-macam unsur. Hal ini berarti, dengan adanya konglomerasi
membuat lembaga jasa keuangan di Indonesia menjadi satu kepaduan. Untuk itulah
pengawasan perlu dilakukan terhadap lembaga jasa keuangan yang memiliki beberapa
anak perusahaan di bidang jasa keuangan yang berbeda kegiatan usaha (konglomerasi).
Sebagai contoh, Bank punya anak perusahaan di bidang jasa asuransi, pembiayaan,
sekuritas, dan dana pensiun.
5. Perlindungan Konsumen
Semakin kompleksnya layanan jasa keuangan tentu permasalaha dan pelanggaran di
industri ini juga semakin meningkat. Oleh karena itu, diperlukan fungsi edukasi,
perlindungan konsumen dan pembelaan hukum terhadap konsumen dari pihak-pihak
terkait. Sebab, mau bagaimana pun di dalam proses transaksi, konsumen harus
diprioritaskan. Karena, feedback dari konsumen sangat penting bagi perkembangan
bisnis seseorang.
Fungsi yang dimiliki oleh OJK adalah untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sedangkan,
tugasnya adalah untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan
di sektor perbankan, sektor pasar modal, dan sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB).
1. Sektor Perbankan
3
Melaksanakan resolusi dan remedial bank yang mempunyai keuangan tidak sehat.
OJK juga memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan secara investigasi dan secara
khusus pada penyimpangan yang mengandung unsur pidana pada bidang perbankan.
Mengembangkan pengawasan perbankan.
Melaksanakan tugas dari Dewan Komisioner
Serta memberikan bimbingan evaluasi dan teknis pada bidang perbankan.
2. Pasar Modal
OJK juga mempunyai tugas di bidang pasar modal antara lain sebagai berikut:
Ketiga yaitu sektor keuangan non-bank. Jika dibuat menjadi poin-poin penting maka tugasnya
adalah sebagai berikut:
4
Menyusun peraturan pada bidang IKNB.
Bisa juga untuk melaksanakan protokol manajemen pada krisis IKNB.
Melaksanakan kebijakan IKNB sesuai ketentuan perundang-undangannya.
Melakukan pengawasan dan pembinaan pada pihak yang sudah memperoleh persetujuan,
izin usaha, dan pendaftaran dari OJK.
Memberikan bimbingan evaluasi dan teknis pada bidang IKNB.
Melakukan perumusan norma, standar, prosedur dan kriteria di sektor IKNB.
Melaksanakan tugas lain dari Dewan Komisioner
1. Pengawasan Mikroprudensial
Kewenangan Lemabaga OJK salah satunya adalah kewenangan yang terdapat pada Pasal 7,
dalam hal ini melaksanakan suatu tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, untuk
pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank sendiri yaitu a) perizinan untuk
pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan,
kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan
izin usaha bank, b) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
Kewenangan yang lain mengenai pengawasan perbankan dalam hal pengaturan dan
pengawasan mengenai kesehatan bank yaitu a) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset,
rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank, b) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja
bank, c) Sistem informasi debitur, d) pengujian kredit (credit testing); dan e) Standar akuntansi
bank.
Kewenangan Lembaga OJK bisa mengenai pemeriksaan bank, pengaturan dan pengawasan
mengenai aspek kehati-hatian bank yaitu a) manajemen risiko, b) tata kelola bank, c) prinsip
mengenal nasabah dan anti pencucian uang, d) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan
perbankan. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial, yakni pengaturan dan
pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank
5
Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan makroprudensial, OJK membantu Bank
Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.
Berdasarkan Pasal 7 UU OJK bahwasannya Lembaga OJK memiliki kewenangan dalam hal
mikroprudensial, sedangkan BI mengenai makroprudensial, akan tetapi berdasarkan Pasal 7 dan
melihat dari penjelasan dari Pasal 7 UU OJK belum memberikan atau mencantumkan
pemahaman secara kompherensif mengenai pengertian mikroprudensial atau mengenai apa itu
mikroprudensial. Dalam hal ini dirasa perlu untuk mengetahui pengertian dari mikroprudensial
dalam pemahaman yang baik dan benar agar di kemudian hari tidak menimbulkan multitafsir
kepada setiap orang yang membaca atau berusaha memahami UU OJK itu sendiri.
Pemahaman mengenai Mikroprudensial ini lebih mengarah kepada perkembangan dalam
individu lembaga keuangan dengan lebih menaruh perhatian pada problem individual lembaga
keuangan untuk melindungi kepentingan para deposan. Mikroprudensial bertujuan untuk
menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Regulator menetapkan peraturan
yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua
pendekatan yaitu: (i) analisis laporan bank dan pemeriksaan setempat untuk menilai kinerja dan
profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan yang berlaku, menekankan
pada keselamatan konsumen sebagai klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin
terjadi.
6
2. Pengawasan Makroprudensial
Dalam sistem pengawasan dan peraturan berintegrasi ini berarti bahwa OJK mempunyai
tugas untuk mengawasi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh lembaga keuangan dan sektor jasa
keuangan kegiatan tersebut mulai dari perizinan pendirian bank, pembukaan kantor bank, sampai
dengan pencabutan izin usaha bank. Semua yang dilakukan oleh OJK yaitu bertujuan agar
tercipta siistem keuangan secara teratur,adil,transparan dan akuntabel. Yang dimaksud dengan
akuntabel disini yaitu bahwa apa yang OJK lakukan harus mencapai sasaran, baik fisik,
keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku.
7
pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral
(moral suasion) kepada Perbankan.
Apabilla kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial berjalan secara selaras maka akan
mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang berarti bahwa akan “terjadi Kondisi dimana
institusi keuangan dan pasar keuangan berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan
terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan
dapat berkontribusi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan”.
8
Perlindungan konsumen OJK menurut Undang-Undang antara lain:
Pasal 4
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Berikut perlindungan konsumen OJK menurut Undang-Undang antara lain sebagai berikut.
Pasal 4
1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan
informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan.
2. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen atau
sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti.
3. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a) disampaikan pada saat memberikan penjelasan kepada Konsumen
mengenai hak dan kewajibannya;
b) disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan Konsumen; dan
c) dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara lain melalui
iklan di media cetak atau elektronik.
Pasal 28
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaksanakan instruksi Konsumen sesuai dengan
perjanjian dengan Konsumen dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian Konsumen yang
timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
9
Pasal 30
1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencegah pengurus, pengawas, dan
pegawainya dari perilaku:
a) memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain,
b) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang dapat merugikan
Konsumen.
2. Pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mentaati kode etik
dalam melayani Konsumen, yang telah ditetapkan oleh masing-masing Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
3. Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas
tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 31
1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun, memberikan data
dan/atau informasi mengenai Konsumennya kepada pihak ketiga.
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal:
a) Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/atau
b) diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan memperoleh data dan/atau informasi
pribadi seseorang dan/atau sekelompok orang dari pihak lain dan Pelaku Usaha
Jasa Keuangan akan menggunakan data dan/atau informasi tersebut untuk
melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki
pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah memperoleh persetujuan
tertulis dari seseorang dan/atau sekelompok orang tersebut untuk memberikan
data dan/atau informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun, termasuk
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
10
4. Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas pengungkapan data dan
atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara
tertulis oleh Konsumen dalam bentuk surat pernyataan.
Dengan itu, mengamanatkan OJK untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan
masyarakat di sektor jasa keuangan.
Menurut Pasal 39 UU Nomor 21 tahun 2011, OJK bisa berkoordinasi dengan BI dalam
pengaturan dan pengawasan perbankan, misalnya, dalam hal kewajiban pemenuhan modal
11
minimum bank ataupun kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta
asing maupun pinjaman komersial luar negeri. Berikut ini berbagai bentuk nyata sinergi antara
BI dan OJK:
12
1. Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI),
2. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI),
3. Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP),
4. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI),
5. Badan Mediasi Pembiayaan, Pegadaian, dan Ventura Indonesia (BMPPVI), dan
6. Badan Arbitarse dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI)
13