Anda di halaman 1dari 54

MODUL KOMPETENSI REPRODUKSI 2019

Oleh :
Riris Raudya Tuzahra
19360140

Pembimbing :
dr. Fonda Octarianingsih, Sp.OG

DEPARTEMEN OBSTETRIC DAN GYNECOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RS PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
2020
71. ANESTESI PUDENDAL (KOMPETENSI 1)

A. Anatomi Dan Persyarafan Perineum

Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul,

terletak antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia

urogenitalis serta diafragma pelvis. Diafragma urogenitalis terletak

menyilang arkus pubis diatas fascia superfisialis perinei dan terdiri dari otot-

otot transversus perinealis profunda. Diafragma pelvis dibentuk oleh otot-otot

coccygis dan levator ani yang terdiri dari 3 otot penting yaitu: m.puborectalis,

m.pubococcygeus, dan m.iliococcygeus. Susunan otot tersebut merupakan

penyangga dari struktur pelvis, diantaranya lewat urethra, vagina dan rektum.

Perineum berbatas sebagai berikut:

 Ligamentum arcuata dibagian depan tengah.

 Arkus ischiopubic dan tuber ischii dibagian lateral depan.

 Ligamentum sakrotuberosum dibagian lateral belakang.

 Tulang coccygis dibagian belakang tengah.

Daerah perineum terdiri dari 2 bagian, yaitu:

 Regio anal disebelah belakang. Disini terdapat m. sfingter ani eksterna

yang melingkari anus.

 Regio urogenitalis. Disini terdapat m.bulbokavernosus, m.transversus

perinealis superfisialis dan m.iskiokavernosus.


Perineal body merupakan struktur perineum yang terdiri dari tendon

dan sebagai tempat bertemunya serabut-serabut otot tersebut diatas.

Persyarafan perineum berasal dari segmen sakral 2,3,4 dari sumsum

tulang belakang (spinal cord) yang bergabung membentuk nervus

pudendus. Syaraf ini meninggalkan pelvis melalui foramen sciatic mayor

dan melalui lateral ligamentum sakrospinosum, kembali memasuki pelvis

melalui foramen sciatic minor dan kemudian lewat sepanjang dinding

samping fossa iliorektal dalam suatu ruang fasial yang disebut kanalis

Alcock. Begitu memasuki kanalis Alcock, n. pudendus terbagi menjadi 3

bagian / cabang utama, yaitu: n. hemorrhoidalis inferior diregio anal, n.

perinealis yang juga membagi diri menjadi n. labialis posterior dan n.

perinealis profunda ke bagian anterior dari dasar pelvis dan diafragma

urogenital; dan cabang ketiga adalah n. dorsalis klitoris. Perdarahan ke

perineum sama dengan perjalanan syaraf yaitu berasal dari arteri pudenda

interna yang juga melalui kanalis Alcock dan terbagi menjadi a.

hemorrhoidalis inferior, a. perinealis dan a. dorsalis klitoris.


Gambar 1. Persyarafan Perineum

B. Sifat Umum Anestesi Lokal

Secara kimiawi anestesi lokal digolongkan atas 2 senyawa:

1. Ester

2. Amide

Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada

degradasi dan aktivasi dalam tubuh gugus tersebut akan dihidrolisis oleh

plasma cholinesterase, dengan demikian golongan ester umumnya kurang

stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amide.

C. Mekanisme Kerja

Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls syaraf.

Tempat kerjanya terutama pada membran sel, efeknya pada aksoplasma

hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi syaraf terjadi

karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran


terhadap ion Na+ akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah

yang dihambat anestesi lokal. Ini terjadi akibat adanya interaksi langsung

antara zat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan

voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels).

Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di dalam syaraf, maka

ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan

peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan factor

pengaman (safety factor) konduksi syaraf juga berkurang. Faktor-faktor ini

akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi,

dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi syaraf.

D. Teknik Infiltrasi Anestesi

Obat anastesi disuntikkan disekitar daerah operasi dengan cara

infiltrasi. Pada episiotomi, infiltrasi obat anastesi harus mengenai mukosa

vagina dan kulit perineum.


Gambar 2. Teknik Anestesi Infiltrasi Lokal pada Episiotomi

E. Dosis Obat

Dosis
No. Golongan Penggunaan Maksimal
(mg/kg BB)
1. Ester
Procaine Spinal, Infiltrasi,
12
(Novocaine) blok syaraf perifer

Cocaine Topikal
3
Chloroprocaine Epidural, Caudal,
(Nesacaine) infiltrasi,
12
blok syaraf perifer.
3
Tetracaine Spinal, topikal
(Pontocaine)
2. AMIDE
Bupivacaine Epidural, caudal, 3
(Marcaine) spinal, infiltrasi,
blok syaraf perifer

Dibucaine Spinal, topical


(Nupercaine) Epidural, caudal, 1
Etidocaine infiltrasi, blok syaraf
(Duranest) perifer. 4

Prilocaine Epidural, caudal,


(Citanest) infiltrasi, blok syaraf 8
perifer

Lidocaine Epidural, caudal,


(Xylocaine) topical, spinal,
4,5
infiltrasi, blok syaraf
7,0 *
perifer

Mepivacaine Epidural, caudal,


(Carbocaine) infiltrasi, 4,5
blok syaraf perifer 7,0 *
F. Komplikasi

Menurut De Jong respons yang tidak enak / tidak dapat dikendalikan

dari anastesi lokal sering disebut “reaksi” yang dibagi terpisah dalam 2

kategori, yaitu: reaksi sistemik dan reaksi lokal.

Reaksi sistemik terjadi jika obat menyebar dalam darah dan

memungkinkannya mencapai organ-organ yang jauh. Efek sistemik yang

disebabkan oleh zat anastesi lokal paling banyak melibatkan susunan syaraf

pusat (SSP) dan sistem kardiovaskuler. Pada umumnya SSP lebih sensitif

terhadap anastesi lokal daripada kardiovaskuler . Oleh karena itu manifestasi

pada SSP cenderung terjadi lebih cepat. Reaksi sistemik tergantung dari

dosis, sehingga makin tinggi konsentrasi obat anastesi lokal dalam darah,

makin jelas responsnya. Oleh karena itu tindakan untuk menurunkan kadar

anastesi lokal dalam darah (seperti penggunaan gabungan dengan dosis kecil

suatu vasokonstriktor untuk mengurangi absorbsi) dapat mengurangi reaksi

sistemik.

Epinefrin mengurangi kecepatan absorbsi anastesi lokal sehingga akan

mengurangi juga toksisitas sistemiknya. Larutan suntik anastesi lokal

biasanya mengandung epinefrin (1 dalam 200.000 bagian), norepinefrin (1

dalam 100.000 bagian). Pada umumnya zat vasokonstriktor ini harus

diberikan dalam kadar efektif minimal.

Reaksi lokal:
 Nyeri pada penyuntikan

 Rasa terbakar

 Anastesia persisten

 Infeksi

 Edema

 Toksisitas lokal

Sumber:

Bonica, John J. 1955. Principles and Practice of Obstetric Analgesia and


Anesthesia, FA Davis Co. Philadelphia.
De Jong, HR. 1977. Local anesthesia, Charles C Thomas Publisher
Springfield, Illinois, USA.
Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. ed.4. Bagian Farmakologi FK-
UI, Jakarta.

Morgan G.E. 1996. Clinical Anesthesiology, 2nd ed., Prentice-Hall Int.Inc.


,London.
Stoelting R.K. 1996. Pharmacology and Physiology in Anesthetics Practice,

3rd ed. Lippincott-Raven, Publishers, New York.


72. ANESTESI EPIDURAL (KOMPETENSI 1)

A. Definisi

Epidural Labour Analgesia merupakan teknik analgesia yang

didasarkan pada epidural anestesi. Teknik ini di Indonesia sudah digunakan

secara luas, baik menggunakan cara one shot (sekali suntik) maupun

continuous. Teknik Epidural Analgesia memasukkan obat anestesi lokal ke

dalam ruang epidural. Obat Anestesi Lokal dapat menghasilkan hambatan

konduksi impuls secara reversible pada susunan saraf. Mekanisme kerja obat

ini dengan menghambat saluran natrium membran sel saraf sehingga tidak

terjadi depolarisasi potensial aksi maupun konduksi impuls. Meskipun toksik

pada jantung, Bupivacain yang mempunyai durasi aksi panjang menjadi

pilihan obat paling populer dalam persalinan. Pengalaman dengan

Levobupivacain sangat terbatas. Opioid tunggal (epidural atau parenteral)

dapat mengurangi blok somatik tetapi tidak memberikan analgesia maternal

yang adekuat, meningkatkan gastric stasis dan depresi fetus. Opioid pada

epidural meningkatkan durasi fase aktif di kala I.

B. Indikasi dan Kontra Indikasi

Analgesi yang optimal untuk persalinan dibutuhkan blok neural

setinggi T10-L1 untuk kala I dan T10-S4 untuk kala II yang melibatkan nyeri
karena distensi vagina dan tekanan perineum. Terdapat pemikiran bahwa

pemberian epidural analgesia secara dini selama fase laten (dilatasi serviks 2-

4 cm) dapat memperpanjang kala I persalinan, meningkatnya insiden distosia

dan seksio sesaria terutama pada nullipara. Tetapi, secara umum dikatakan

bahwa kala I persalinan tidak diperpanjang oleh epidural analgesia yang

dapat menghindarkan kompresi aortocaval. Chestnut et al, mendapatkan

bahwa tidak ada perbedaan insiden seksio sesaria pada nullipara antara yang

mendapatkan epidural analgesia selama fase laten (dilatasi 4 cm)

dibandingkan selama fase aktif. Lamanya kala II pada nullipara kemungkinan

disebabkan oleh menurunnya kekuatan mengejan atau malposisi dari vertex.

Kala II dikatakan memanjang jika lebih dari 3 jam untuk nullipara dan 2 jam

untuk multipara. Untuk meminimalkan hal ini, digunakan larutan anestesi

lokal yang dikombinasi dengan opioid. Amida long-acting seperti

Bupivacain, Ropivacain dan Levobupivacain seringkali digunakan karena

menghasilkan analgesia sensori yang kuat tanpa mempengaruhi fungsi

motorik terutama pada konsentrasi rendah. Tidak ada perbedaan signifikan

terhadap pH arteri neonatal atau skor Apgar pada bayi baru lahir dari ibu

dengan epidural analgesia dibandingkan dengan yang tidak memperoleh

epidural analgesia. Indikasi utama dari epidural analgesia pada persalinan

adalah mengurangi rasa sakit yang merupakan permintaan pasien, misalnya

pasien yang mendapat induksi oksitosin, dimana pasien ini pada umumnya

lebih nyeri selama his karena kontraksi uterus yang lebih kuat. Analgesia
epidural dapat diterapkan pada pasien dengan penyakit saluran pernapasan

untuk menghindari hiperventilasi karena nyeri kontraksi saat melahirkan.

Untuk kehamilan dengan hipertensi, dapat menurunkan respon hipertensi

terhadap rasa sakit dan pada pasien dengan cadangan fisiologis terbatas

(terbatasnya curah jantung, konsumsi oksigen) dapat menurunkan respon

takikardi terhadap nyeri.

Epidural analgesia dapat dilakukan sejak diminta oleh ibu yang akan

melahirkan (sesuai permintaan) dan dokter obstetri menyetujuinya. Lebih

menguntungkan jika kateter epidural dapat dipasang sejak awal sebelum

persalinan.

Kriteria dapat dilakukan epidural analgesia yaitu tidak didapatkan

fetal distress, kontraksi yang adekuat dan reguler tiap 3-4 menit selama

kirakira 1 menit, dilatasi servikal yang adekuat yaitu 3-4 cm dan didapatkan

penurunan kepala janin.

Epidural analgesia dikontraindikasikan pada pasien yang menolak,

gangguan koagulasi yang berat, hipovolemia berat, sepsis, perdarahan dan

gawat janin. Adanya blok simpatis akan menimbulkan hipotensi berat dan

memperberat respon hipovolemia.

C. Mekanisme Kerja

Larutan anestesi lokal mengikat saluran Natrium saat keadaan

inaktivasi, sehingga dapat mencegah aktivasinya. Pergerakan ion Natrium

kedalam sel dicegah sehingga dapat mencegah terjadinya aksi potensial.


Potensial membran yang istirahat tidak terpengaruh oleh stimulasi saraf

sehingga tercipta stabilisasi membran sebagai pengaruh dari anestesi lokal.

Larutan anestesi lokal dapat menyebabkan blokade saluran ion Natrium dan

Kalium pada neuron dorsal horn sehingga dapat menghambat timbulnya

penjalaran sinyal nyeri (aktifitas elektrik nosiseptif). Blokade motorik juga

dapat terjadi jika aksi yang sama timbul pada neuron ventral horn. Blokade

saluran ion Kalsium di spinal cord dapat menghambat stimulasi elektrik dari

saraf afferen nosiseptif sehingga menghasilkan aksi analgesik.

D. Teknik Pelaksanaan

Kunci keberhasilan dalam melaksanakan blok epidural adalah

persiapan. Jalur intravena dengan kateter besar (18G-20G) untuk pemberian

cairan dan obat-obat emergency harus siap. Perlengkapan monitoring

minimal berupa pengukur tekanan darah dan oxymetri. Disiapkan juga obat-

obat vasopressor dan alat ventilasi yang dapat memberi tekanan positif.

Selain itu juga disiapkan obat – obatan dan perlengkapan resusitasi bantuan

hidup termasuk untuk manajemen jalan napas. Diperlukan komunikasi

dengan operator tentang pendekatan operasi, posisi pasien dan perkiraan lama

operasi.

Perlengkapan standar dalam epidural yaitu kain/duk steril, kasa steril,

plester perekat, baki/ penampan steril, larytan povidone-iodine, epidural set,

obat-obatan seperti NaCl 0.9%, Lidocain 1% 5 mL, epinefrin 1:1000. Jarum


epidural Tuohy dengan stylet umumnya berukuran 16-18 Gauge, panjang 8-

10 cm, tanda di permukaan jarum intervalnya 1 cm dan memiliki sudut 15-30

derajat pada ujung jarum yang tumpul. Ujung jarum didesain untuk

mencegah tertusuknya dura dan memberikan fasilitas untuk masuknya kateter

epidural. Antara badan jarum dengan hub (konektor spuit) berbentuk seperti

sayap untuk membantu/ kontrol jarum melewati jaringan. Kateter epidural

dibuat agar bersifat tahan lama, plastik yang fleksibel berguna agar dapat

memasuki lumen jarum Tuohy. Pada ujungnya memiliki satu lubang dan

beberapa lubang pada tepi ujungnya.

Posisi pasien bisa duduk atau lateral tergantung keadaan medis dan

bentuk badannya. Ketika pasien duduk akan memudahkan palpasi karena

posisi garis tengah dari tulang belakang bisa terlihat jelas, terutama pada

pasien obesitas. Posisi lateral tergantung pada asisten untuk mempertahankan

posisi ideal dimana punggung pasien ditempatkan di tepi meja operasi dekat

dengan ahli anestesi, paha fleksi kearah perut dengan lutut mendekat ke dada

dan leher fleksi sehingga dagu menempel dada. Dikatakan tidak ada

perbedaan ketinggian blok baik posisi duduk maupun lateral. Sebelum

melakukan epidural dilakukan tindakan aseptik. Yang dibutuhkan minimal

topi, masker dan sarung tangan steril. Pendekatan ruang epidural dilakukan

dengan midline, paramedian, Taylor (Modifikasi paramedian) dan kaudal.

Untuk tehnik identifikasi ruang epidural bisa dilakukan dengan LOR (Loss of

Resistance), hanging drops dan ultrasonography. Tehnik LOR dengan cairan


didasarkan pada perbedaan densitas jaringan yang dilewati jarum epidural

sampai dengan ligamentum flavum yang kemudian masuk ke ruang epidural.

Tehnik ini pertama kali diperkenalkan oleh Dogliotti yang kemudian

mengalami modifikasi sehingga cairan ataupun udara bisa menjadi media

untuk menentukan LOR. Cairan salin (NaCl 0.9%) dan udara merupakan

media yang paling sering digunakan. Oleh karena konsentrasi dan volume

obat anestesi lokal pada epidural lebih besar daripada spinal, maka harus

dilakukan tes pada kateter yang telah menempati ruang epidural. Fungsi “test

dose” adalah untuk memastikan kateter tidak masuk ke dalam subarachnoid,

intravaskuler atau ruang subdural. Dalam “test dose” klasik digunakan

kombinasi 3 mL Lidocain 1.5% dengan Epinefrin 15 mcg. Injeksi Lidocain

45 mg kedalam intrathekal akan menghasilkan blok motorik yang signifikan.

Perubahan denyut jantung lebih besar dari 20% merupakan tanda injeksi

intravaskuler. Jika denyut jantung tidak meningkat lebih dari 20% atau tidak

didapatkan blok motorik dalam 5 menit setelah “test dose” diberikan, maka

hasil tes negatif. Pada pasien obstetri, jika “test dose” diberikan selama

kontraksi, perubahan denyut jantung umumnya karena nyeri bukan karena

epinefrin. Jadi “test dose” diberikan saat uterine diastol, segera setelah

kontraksi uterus.
Gambar 1. Jarum Epidural

Gambar 2. Struktur Anatomi Ruang Epidural


E. Dosis Obat

Bupivacain, golongan amida sangat luas dipakai sebagai obat anestesi

lokal berdurasi panjang, memiliki onset paling lama diantara semua obat

anestesi lokal dan menghasilkan blok sensorik melebihi blok motorik pada

konsentrasi rendah. Dengan keunggulan tersebut, Bupivacain popular

digunakan sebagai obat anestesi intrathekal dan analgesia berdurasi panjang.

Didapatkan penelitian bahwa potensi analgesia Levobupivacain dan

Ropivacain hampir sebanding tapi menghasilkan blok motorik yang lebih

kecil daripada Bupivacain. Hierarki potensi analgesia didapatkan bahwa

Bupivacain lebih besar dibandingkan Levobupivacain dan Ropivacain. Untuk

epidural analgesia dalam persalinan didapatkan bahwa Ropivacain 40%

kurang poten dibandingkan Bupivacain. Bupivakain memberikan blok

sensoris yang sangat baik dan telah digunakan untuk analgesia persalinan

selama bertahun-tahun. Namun, resiko toksisitas jantung dan intensitas blok

motorik tetap menimbulkan kekuatiran dalam penggunaannya. Ropivacain

dikembangkan untuk mengurangi kejadian toksisitas jantung. Kajian lebih

lanjut menunjukkan bahwa Ropivacain kurang kuat dibandingkan Bupivakain

dan tidak ada bukti yang mendukungbahwa Ropivacain lebih baik daripada

Bupivakain untuk hasil obstetri ataupun neonatal.

Morphin merupakan analgesia dengan onset lambat dan

berdurasi lama. Oleh karena berdurasi lama, penyebaran morphin

dalam likuor serebrospinal dan kemungkinan diabsorpsi secara


sistemik terutama didalam epidural maka didapatkan resiko berupa

depresi napas yang terjadi beberapa jam setelah pemberian. Menurut

Polley, et al., potensi analgesia Fentanyl dalam epidural melebihi

intravena dengan rasio. Klonidin yang merupakan agonis α2-

adrenoseptor seringkali digunakan dalam intrathekal atau epidural

sebagai campuran anestesi lokal dan opioid. Klonidin dapat

menurunkan jumlah total dan konsentrasi anestesi lokal dan opioid

yang digunakan dalam tehnik neuraxial analgesia dan anestesia serta

meningkatkan durasi blok sensorik. Pada epidural analgesia untuk

persalinan obat yang dipakai adalah dosis pertama berupa larutan

Bupivacain 0,25% 8-10 mL. Waktu pemberian selanjutnya bervariasi

antara 1,5 – 3 jam tergantung kuatnya his dan kemajuan persalinan.

Pada waktu mendekati pembukaan lengkap dosis obat bisa

ditingkatkan menjadi 10-15 ml bupivacain 0,25%. Alternatif lain,

dengan 5-10 mL Bupivacain, Ropivacain atau Levobupivacain (0,125-

0,25%) diikuti dengan infus kontinyu 8-12 mL/jam 0,0625%

Bupivacain atau Levobupivacain, atau 0,1% Ropivacain. Fentanyl 1-2

mcg/mL atau Sufentanil 0,3-0,5 mcg/mL dapat ditambahkan. Saat

persalinan tiba, dilakukan blok perineum dengan 10 mL Bupivacain

0,5% atau Lidocain 1%, atau jika dibutuhkan efek yang cepat dapat

diberikan Chloroprocain 2%.


Jika digunakan kombinasi obat, maka dipilih anestesi lokal dan

opioid dengan konsentrasi rendah sehingga dapat mengurangi efek

samping seperti hipotensi dan toksisitas obat. Meskipun anestesi lokal

dapat digunakan secara tunggal, akan tetapi jarang sekali untuk

dilakukan. Tanpa opioid, dibutuhkan konsentrasi anestesi lokal yang

tinggi (Bupivacain 0,25% atau Ropivacain 0,2%) sehingga dapat

mengganggu kemampuan ibu hamil untuk mengejan/mendorong

dengan efektif ketika proses persalinan berlangsung. Bupivacain atau

Ropivacain dengan konsentrasi 0,0625-0,125% ditambah Fentanyl 2-3

mcg/mL atau Sufentanyl 0,3-0,5 mcg/mL seringkali digunakan.

Campuran anestesi lokal yang sangat encer (0,0625%) secara umum

tidak menghasilkan blok motorik sehingga memungkinkan pasien

untuk mobilisasi (ambulatory), ini diistilahkan sebagai “walking” atau

“mobile” epidural. Durasinya yang lama membuat Bupivacain menjadi

pilihan obat dalam persalinan. Aktivasi epidural analgesia saat kala I

persalinan diawali dengan pemberian 10 mL campuran anestesi lokal

dan opioid. Pemberian dilakukan dengan cara injeksi 5 mL dulu lalu

ditunggu 1-2 menit sebelum dosis 5 mL berikutnya. Diharapkan level

sensorik setinggi T10-L1 dapat tercapai. Sebagai dosis awal diberikan

0,1-0,2% Ropivacain atau 0,0625-0,125% Bupivacain yang

dikombinasi dengan 50-100 mcg Fentanyl atau 10-20 mcg Sufentanyl.

Saat kala II persalinan, dermatom yang terlibat meluas sampai S2-4.


Setelah 5 menit gejala dan tanda injeksi intrathekal dan intravaskuler

tidak tampak, masukkan 10-15 mL campuran anestesi lokal dengan

opioid dengan kecepatan 5 mL tiap 1-2 menit.

Sumber:

Suryono B., Uyun Y., Mahisa O. 2016. Epidural Labour Analgesia. Jurnal

Komplikasi Anestesi; Volume 4 No 1.


73. MENJAHIT LUKA EPISIOTOMI DERAJAT 3 DAN 4

(KOMPETENSI 2)

A. Definisi Ruptur Perineum

Robekan pada vagina dan perineum beserta jaringan di

bawahnya yang disertai robekan otot sfingter ani dan mukosa anus.

Paling sering merupakan komplikasi dari persalinan. Merupakan

penyebab utama inkontinensi aalvi. Prevalensi sampai 19%.

B. Klasifikasi Ruptur Perineum

 Derajat 1: robekan hanya mengenai epitel vagina dan kulit

 Derajat 2: robekan sampai otot perineum tapi tidak sampai

sfingter ani

 Derajat 3: robekan sampai sfingter ani:

- 3a: < 50 % ketebalan sfingter ani eksterna

- 3b: > 50 % ketebalan sfingter ani eksterna

- 3c: hingga sfingter interna

 Derajat 4: robekan hingga epitel anus


Gambar 1. Mendiagnosis Ruptur Perineum derajat 3 dan 4

dengan Pill Rolling Action

C. Alat Yang Dibutuhkan

 Retraktor, speculum (3)

 Forsep gigi (2)

 Needle holder (1)

 Forsep Allis (4)

 Forsep arteri (6)

 Gunting Mitzenbaum (1)

 Gunting benang/pemotong jahitan (1)

 Forsep pemegang kassa (1)


Gambar 2. Alat yang digunakan untuk Memperbaiki Ruptur

Perineum Derajat 3 dan 4

D. Cara Penjahitan Ruptur Perineum Derajat 3 dan 4

Aproksimasi ujung ke ujung (end to-end approximation) baik

dengan jahitan interuptus (interrupted) atau jahitan angka delapan

(figure of eight). Apabila dengan inkontinensia alvi maka

menggunakan teknik “overlap” pada saat menjahit sfingter. SAI

harus diidentifikasi dan jika robek harus dijahit terpisah dengan SAE

SAI dijahit dengan cara interupted atau matras. Ujung-ujung SAE

harus diidentifikasi dan dipegang dengan Allis forceps, kemudian

dibebaskan dari lemak ischioanal sehingga mudah dimobilisasi.

Gambar 3. Mukosa anus diperbaiki dengan jahitan Intterupted

menggunakan PGA 3/0 dengan simpul pada lumen anus


Gambar 4. Penjahitan Sfingter Ani Interna Menggunakan Jahitan

Matras

Gambar 5 dan 6. Mengidentifikasi Sfingter Ani Eksterna


Gambar 7. Penjahitan robekan perineum derajat empat

menggunakan teknik overlap pada sfingter ani eksterna. Epitel

anus (A) dan sfingter ani interna (I) juga telah dijahit

Gambar 8. SAE dijahit dengan PDS atau PGA 2/0 menggunakan teknik overlap

Setelah sfingter diperbaiki, dilakukan penjahitan otot – otot perineum untuk

membentuk kembali perineal body. Kemudian mukosa vagina dan kulit perineum di

aproksimasi dan dijahit menggunakan PGA 2/0 atau 3/0 secara jelujur, sedangkan

untuk kulit perineum dijahit secara subkutikuler.


Gambar 9. Teknik Penjahitan Otot Perineum

Sumber:

Sultan A.H., Kettle C. 2007. Diagnosis of Perineal Trauma. Perineal and Anal

Sphincter Trauma. Springervelag. London.


75. INDUKSI KIMIAWI PERSALINAN (KOMPETENSI 3)

A. Definisi

Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum

inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, unruk merangsang timbulnya

kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan.

Cara:

1. Secara rnedis

a. Infus oksitosin.

b. Prostaglandin.

c. Cairan hipretonik intrauterine

2. Secara manipultif/dengan tindakan

a. Amniotomi

b. Melepaskan selaput ketuban dari bagian bawah rahim (stripping of the

membrane)

c. Pemakaian rangsangan listrik

d. Rangsangan pada puting susu.

B. Indikasi Induksi

1. Postmaturitas (kehamilan lebih dari 42 minggu).

2. Ketuban pecah dini (KPD).


3. Hipertensi gestasional.

4. Isoimunisasi Rh.

5. Diabetes melitus.

6. Korioamnionitis.

7. Kematian janin.

8. Solusio plasenta.

C. Kontra Indikasi Induksi

1. Malposisi dan malpresentasi janin.

2. Insufisiensi plasenta.

3. Disproporsi sefalopelvik.

4. Cacat rahim, misalnya pernah mengalami seksio sesarea, enukleasi miom.

5. Grande multipara.

6. Gemelli.

7. Distensi rahim yang berlebihan misalnya pada hidramnion.

8. Plasenta previa.

D. Syarat-syarat pemberian infus oksitosin

Agar infus oksitosin berhasil dalam menginduksi persalinan dan tidak

memberikan penyulit baik pada ibu maupun janin, maka diperlukan syarat-

syarat sebagai berikut:


 Kehamilan aterm.

 Ukuran panggul normal.

 Tidak ada CPD (disproporsi antara pelvis dan janin).

 Janin dalam presentasi kepala.

 Serviks sudah matang yaitu, porsio teraba lunak, mulai mendatar dan

sudah mulai membuka.

Untuk menilai serviks ini dapat juga dipakai skor Bishop, yaitu bila nilai

Bishop lebih dari 8, induksi persalinan kemungkinan besar akan berhasil. Skor bishop

adalah suatu cara untuk menilai kematangan serviks dan responnya terhadap suatu

induksi persalinan, karena telah diketahui bahwa serviks dengan skor bishop rendah

(artinya serviks belum matang) memberikan angka kegagalan yang lebih tinggi

dibanding serviks yang matang (ripened).


Teknik infus oksitosin:

1. Infus oksitosin hendaknya dikerjakan pada pagi hari dengan observasi yang

baik.

2. Disiapkan cairan infus Dextrose 5% 500 ml yang diisi dengan 5 Unit

oksitosin.

3. Cairan yang sudah mengandung 5 Unit oksitosin ini dialirkan secara intravena

melalui saluran infuse

4. Tetesan permulaan dibuat agar kadar oksitosin mencapai jumlah 2mU

permenit.

5. Timbulnya kontraksi rahim dinilai dalam setiap 15 menit. Biia dalam waktu

15 menit ini his tetap lemah, tetesan dapat dinaikkan. Umumnya tetesan

maksimal diperbolehkan sampai mencapai kadar oksitosin 30-40m UI per

menit. Bila sudah mencapai kadar ini, namun kontraksi rahim belum juga

timbul, maka berapapun kadar oksitosin yang dinaikkan tidak akan

menimbulkan tambahan kekuatan kontraksi lagi. Sebaiknya infus oksitosin ini

dihentikan.

Penderita dengan infus oksitosin harus diamati secara cermat untuk kemungkinan

timbulnya tetania uteri, tanda-tanda ruptura uteri membakat, maupun tandatanda

gawat janin. Bila kontraksi rahim timbul secara teratur dan adekuat, maka kadar

tetesan oksitosin dipertahankan. Sebaliknya bila terjadi kontraksi rahim yang sangat

kuat, jumlah tetesan dapat dikurangi atau semenrara dihentikan. Infus oksitosin ini

hendaknya tetap dipertahankan sampai persalinan selesai, yaitu sampai 1 jam sesudah
lahirnya plasenta. Evaluasi kemajuan pembukaan serviks dapat dilakukan dengan

periksa dalam bila his telah kuat dan adekuat. Pada wakru pemberian infus oksitosin

bila ternyata kemudian persalinan telah berlangsung, maka infus oksitosin dilanjutkan

sampai pembukaan lengkap. Segera setelah kala II dimulai, maka tetesan infus

oksitosin dipertahankan dan ibu dipimpin mengejan atau dibimbing dengan

persalinan buatan sesuai dengan indikasi yang ada pada waktu itu. Tetapi bila

sepanjang pemberian infus oksitosin timbul penyulit pada ibu maupun janin, maka

infus oksitosin harus segera dihentikan dan kehamilan segera diselesaikan dengan

seksio sesarea.

E. Pemberian Prostaglandin

Prostaglandin dapat merangsang otot-otot polos termasuk juga otot-

otot rahim. Prostaglandin yang spesifik untuk merangsang otot rahim ialah

PGE2 dan PGF2 alpha. Untuk induksi persalinan prostaglandin dapat

diberikan secara intravena, oral, vaginal, rektal dan intra amnion. Pada

kehamilan aterm, induksi persalinan dengan prostaglandin cukup efektif.

Pengaruh sampingan dari pemberian prostaglandin ialah mual, muntah, diare.

PGE1 dikenal dengan nama Misoprostol atau Cytotec sedangkan

PGE2 dikenal dengan nama Prepidil dan Cervidil. Prostaglandin sering

digunakan adalah Misoprostol (cytotec) yang berfungsi sebagai pematangan

serviks. Misoprostol dapat diberikan peroral, sublingual atau pervaginam.

Dosis yang dapat diberikan adalah 25mcg dan diberikan dosis ulang setelah 6
jam tidak ada his. Apabila tidak ada reaksi setelah 2 kali pemberian 25mcg,

maka dosis dinaikan menjadi 50mcg setiap 6 jam. Misoprostol tidak

dianjurkan melebihi dosis 50mcg dan melebihi 4 dosis atau 200mcg karena

dapat menyebabkan rupture uteri.

F. Pemberian cairan hipertonik intrauterin

Pemberian cairan hipertonik intraamnion dipakai untuk merangsang

kontraksi rahim pada kehamilan dengan janin mati. Cairan hipertonik yang

dipakai dapat berupa cairan garam hipertonik 20%, urea dan lain-lain.

Kadang-kadang pemakaian urea dicampur dengan prostaglandin untuk

memperkuat rangsangan pada otot-otot rahim. Cara ini dapat menimbulkan

penyulit yang cukup berbahaya, misalnya hipernatremia, infeksi dan

gangguan pembekuan darah.

G. Amniotomi

Amniotomi artifisialis dilakukan dengan cara memecahkan ketuban

baik di bagian bawah depan (Fore Water) maupun di bagian belakang (Bind

Water) dengan suatu alat khusus (Drewsmith Catbeter - Macdonald Blem).

Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti bagaimana pengaruh

amniotomi dalam merangsang timbulnya kontraksi rahim.

Beberapa teori mengemukakan bahwa:


a. Amniotomi dapat mengurangi beban rahim sebesar 40% sehingga rcnaga

kontraksi rahim dapat lebih kuat untuk membuka serviks.

b. Amniotomi menyebabkan berkurangnya aliran darah di dalam rahim kira-

kira 40 menit setelah amniotomi dikerjakan, sehingga berkurangnya

oksigenasi otot-otot rahim dan keadaan ini meningkatkan kepekaan orot

rahim.

c. Amniotomi menyebabkan kepala dapat langsung menekair dinding

serviks di mana di dalamnya terdapat banyak syaraf-syarat yang

merangsang kontraksi rahim.

Bila setelah amniotomi dikerjakan 5 jam kemudian, belum ada tanda-tanda

permulaan persalinan, maka harus diikuti dengan cara-cara lain untuk merangsang

persalinan, misalnya dengan infus oksitosin.

Pada amniotomi perlu diingat akan terjadinya penyulit-penyuiit sebagai berikut.

a. Infeksi.

b. Prolapsus funikuli.

c. Gawat janin.

d. Tanda-tanda solusio plasenta (bila ketuban sangat banyak dan dikeluarkan secara

cepat).

Teknik aminotomi sebagai berikut:

1. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan dimasukkan ke dalam jalan lahir

sampai sedalam kanalis servikalis. Setelah kedua jari berada dalam kanalis
servikalis, maka posisi jari diubah sedemikian rupa, sehingga telapak tangan

menghadap ke arah atas.

2. Tangan kiri kemudian memasukkan pengait khusus ke dalam jalan lahir

dengan tuntunan kedua jari yang telah ada di dalam. Ujung pengait

diletakkan di antara jari telunjuk dan jari tengah rangan yang di dalam.

3. Tangan yang di luar kemudian memanipulasi pengait khusus tersebut untuk

dapat menusuk dan merobek selaput ketuban. Selain itu menusukkan pengait

ini dapat juga dilakukan dengan saru tangan, yaitu pengait dijepit di antara

jari tengah dan jari telunjuk rangan kanan, kemudian dimasukkan ke dalam

jalan lahir sedalam kanalis servikalis.

4. Pada waktu tindakan ini dikerjakan, seorang asisren menahan kepala janin ke

dalam pintu atas panggul.

5. Setelah air ketuban mengalir keluar, pengait dikeluarkan oleh tangan kiri,

sedangkan tangan yang di dalam memperlebar robekan selaput ketuban. Air

ketuban dialirkan sedikit demi sedikit untuk menjaga kemungkinan terjadinya

prolaps tali pusat, bagian-bagian kecil janin, gawat janin dan solusio plasenta.

Setelah selesai tangan penolong ditarik keluar dari jalan lahir.

Sumber:

Wiknjosastro H., Saifuddin A.B., Rachimhadhi T. 2000. Ilmu Bedah

Kebidanan. Edisi Pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.


76. MENOLONG PERSALIANAN DENGAN PRESENTASI

BOKONG/SUNGSANG (KOMPETENSI 3)

A. Definisi

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang

dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum

uteri.

B. Klasifikasi

1. Presentasi bokong murni (frank breech)

Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki terangkat ke atas sehingga

ujung kaki setinggi bahu atau kepala janin.

2. Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech)

Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki dan tangan menyilang

sempurna dan di samping bokong dapat diraba kedua kaki.

3. Presentasi bokong kaki tidak sempurna (incomplete breech)

Yaitu letak sungsang dimana hanya satu kaki di samping bokong,

sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas.

4. Presentasi Kaki (Footling)

Yaitu apabila bagian bawah janin adalah kaki atau paha. Bisa satu kaki

atau kedua kaki, bisa kaki dan paha atau kedua lutut.
Gambar 1. Klasifikasi Presentasi Bokong

C. Diagnosis

Presentasi bokong dapat diketahui melalui pemeriksaan palpasi

abdomen. Manuver Leopold perlu dilakukan pada setiap kunjungan perawatan

antenaral bila umur kehamilannya > 34 minggu. Untuk memasrikan apabila

masih terdapar keraguan pada pemeriksaan palpasi, dapat dilakukan periksa

dalam vagina dan/atau pemeriksaan ultra sonografi.

 Pada pemeriksaan luar:

- Pemeriksaan Leopold: Di bagian bawah uterus teraba besar bulat lunak,

dan tidak mudah digerakkan. Di bagian fundus teraba bagian besar,

bulat, keras.
- Denyut jantung janin umumnya ditemukan setinggi atau sedikit di atas

umbilikus.

 Pada pemeriksaan dalam:

-Setelah ketuban pecah, dapat diraba adanya bokong yang ditandai adanya

sacrum, kedua tuber ossis ischiadius, dan anus.

-Bila dapat diraba kaki, maka harus dibedakan dengan tangan. Pada kaki

terdapat tumit, sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari yang letaknya

tidak sejajar dengan jari-jari lain dan panjang jari kurang lebih sama

dengan panjang telapak tangan.

-Untuk membedakan bokong dan muka, jari yang dimasukkan ke dalam

mulut akan meraba tulang rahang.

D. Manajemen Persalinan Presentasi Bokong

Jenis persalinan sungsang/presentasi bokong adalah sebagai berikut:

1. Persalinan pervaginam

Berdasarkan tenaga yang dipakai dalam melahirkan per vaginam

dibagi menjadi 3 yaitu:

a. Persalinan spontan (spontaneous bracht)

Janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri. Cara ini

lazim disebut cara Bracht

b. Manual Aid (Partial Breech Extraction; assisted breech delivery).


Janin dilahirkan sebagian dengan tenaga dan kekuatan ibu dan

sebagian lagi dengan tenaga penolong.

c. Ekstraksi Total (Total Breech Extraction).

Janin dilahirkan seluruhnya dengan memakai tenaga penolong.

2. Persalinan per abdominam (seksio sesarea)

Tahapan Persalinan Presentasi Bokong:

a. Tahap pertama adalah fase lambat, yaitu mulai lahirnya bokong

sampai pusar (scapula depan). Disebut fase lambat karena fase ini

hanya untuk melahirkan bokong, yaitu bagian janin yang tidak

berbahaya.

b. Tahap kedua adalah fase cepat, yaitu mulai lahirnya pusar sampai

lahirnya mulut. Disebut fase cepat karena pada fase ini kepala janin

mulai masuk pintu atas panggul, sehingga kemungkinan tali pusat

terjepit. Oleh karena itu, fase ini harus segera diselesaikan dan tali

pusat segera dilonggarkan.

c. Tahap ketiga adalah fase lambat, yaitu mulai lahirnya mulut sampai

lahirnya kepala. Disebut fase lambat karena kepala akan keluar dari

ruangan yang bertekanan tinggi (uterus), ke dunia luar yang

tekanannya lebih rendah, sehingga kepala harus dilahirkan secara

perlahan-lahan untuk menghindari terjadinya perdarahan intra kranial

(adanya ruptura tentorium serebelli).


1. Spontaneous Brach

 Setelah bokong lahir, bokong dan paha janin dicekam dengan kedua

tangan, sedemikian hingga kedua ibu jari sejajar pada pangkal paha dan 4

jari lainnya menggenggam bokong.

 Setelah ujung tulang scapula lahir, bokong diarahkan ke atas perut itu

untuk menambah lordose. Tidak boleh melakukan tarikan pada janin

karena lengan dapat menjungkit ke atas.

 Bokong tetap diarahkan ke perut ibu, hingga kedua lengan lahir.

Gambar 3. Menolong Persalinan dengan cara Brach

2. Partial Extraction/Manual Aid

1) Untuk Melahirkan Bahu

a. Manuver Lovset

 Setelah bokong dan kaki bayi lahir, pegang pinggul bayi dengan kedua

tangan

 Putar bayi 180° sambil tarik ke bawah dengan lengan bayi yang
terjungkit ke arah penunjuk jari tangan yang menjungkit, sehingga

lengan posterior berada di bawah simfisis (depan).

 Bantu lahirkan dengan memasukkan satu atau dua jari pada lengan atas

serta menarik tangan ke bawah melalui dada sehingga siku dalam

keadaan fleksi dan lengan depan lahir.

 Untuk melahirkan lengan kedua, putar kembali 180° ke arah yang

berlawanan ke kiri/ke kanan sambil ditarik sehingga lengan belakang

menjadi lengan depan dan lahir di depan.

Gambar 4. Manuver Lovset


b. Manuver Classic

 Kedua kaki janin dipegang dengan tangan kanan penolong pada

pergelangan kakinya dan dielevasi ke atas sejauh mungkin sehingga

perut janin mendekati perut ibu.

 Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam

jalan lahir dengan jari telunjuk menelusuri bahu janin sampai pada

fossa cubiti kemudian lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolah

– olah lengan bawah mengusap muka janin.

 Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan kaki

janin diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke

bawah sehingga punggung janin mendekati punggung ibu. Dengan

cara yang sama lengan dapat dilahirkan.

Gambar 4. Pengeluaran Lengan Bawah dengan Manuver Klasik

c. Manuver Mueller

 Badan janin dipegang secara femuro – pelvis dan sambil dilakukan

traksi curam ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan di bawah


simfisis dan lengan depan dilahirkan dengan mengait lengan di

bawahnya.

Gambar 5. Pengeluaran Lengan Atas dengan Manuver Mueller

d. Untuk Melahirkan Kepala dengan Manuver Mauricea

 Masukkan tangan kiri penolong ke dalam vagina.

 Letakkan badan bayi di atas tangan kiri sehingga badan bayi seolah-

oleh menunggang kuda (untuk penolong kidal letakkan badan bayi di

atas tangan kanan).

 Letakkan jari telunjuk dan jari manis kiri pada maksila bayi dan jari

tengah di dalam mulut bayi.

 Tangan kanan memegang/mencengkam tengkuk bahu bayi, dan jari

tengah mendorong oksipital sehingga kepala menjadi fleksi.

 Dengan koordinasi tangan kiri dan kanan secara hati-hati tariklah

kepala dengan gerakan memutar sesuai dengan jalan lahir.


Gambar 6. Pengeluaran Kepala dengan Manuver Mauriceau

3. Full Extraction

a. Cara Ekstraksi Kaki:

1. Bila kaki masih terdapat di dalam vagina, tangan operator yang

berada pada posisi yang sama dengan os sacrum dimasukkan dalam

vagina untuk menelusuri bokong, paha sampai lutut guna

mengadakan abduksi paha janin sehingga kaki janin keluar. Selama

melakukan tindakan ini, fundus uteri ditahan oleh tangan operator

yang lain.

2. Bila satu atau dua kaki sudah berada di luar vulva, maka dipegang

dengan dua tangan operator pada betis dengan kedua ibu jari berada

punggung betis. Lakukan traksi ke bawah. Setelah lutut dan

sebagian paha keluar, pegangan dialihkan pada paha dengan kedua

ibu jari pada punggung paha.

3. Dilakukan traksi ke bawah lagi (operator jongkok) dengan tujuan


menyesuaikan arah traksi dengan sumbu panggul ibu.

Gambar 7. Cara Ekstraksi Kaki

b. Cara ekstraksi bokong:

1. Ekstraksi bokong dikerjakan bila jenis letak sungsang adalah letak

bokong murni (frank breech), dan bokong sudah berada di dasar

panggul, sehingga sukar untuk menurunkan kaki.

2. Jari telunjuk tangan penolong yang searah dengan bagian kecil janin,

dimasukkan ke dalam jalan lahir dan diletakkan di pelipatan paha

depan. Dengan jari telunjuk ini, pelipatan paha dikait dan ditarik

curam ke bawah. Untuk memperkuat tenaga tarikan ini, maka tangan

penolong yang lain mencengkam pergelangan rangan tadi, dan turut

menarik curam ke bawah.

3. Bila dengan tarikan ini trochanter depan mulai tampak di bawah

simfisis, maka jari telunjuk penolong yang lain segera mengait

pelipatan paha ditarik curam ke bawah sampai bokong lahir.


4. Seteiah bokong lahir, bokong dipegang secara femuro-pelviks,

kemudian janin dapat dilahirkan dengan cara manual aid.

Gambar 8. Cara Ekstraksi Bokong

Bila kemacetan pada kelahiran kepala (After coming head), perlu dilakukan

tindakan sebagai berikut:

 Kedua kaki janin dipegang oleh seorang asisten dan diangkat keatas.

 Kemudian cunam dipasang melintang terhadap kepala dan melintang

terhadap panggul.

 Setelah dengan tarikan pada cunam batas rambut kepala janin tampak di

bawah simfisis, dengan batas tersebut sebagai titik pemutaran, lambat laun

muka bayi dilahirkan melalui perineum, disusul oleh bagian kepala yang

berambut
Gambar 9. Melahirkan Kepala dengan Cunam Piper

Sumber:

Benson & Pernoll’s. 2001. Handbook Of Obstetrics & Gynecology. Tenth

Edition. Mcgraw-Hill Company. New York .

Cunningham F.G., Leveno K.J., Bloom S.L., Et Al. 2007. Williams Obstetrics.

22th Edition.Mcgraw-Hill Company, New York.

Wiknjosastro H., Saifuddin A.B., Rachimhadhi T. 2000. Ilmu Bedah

Kebidanan. Edisi Pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.


77. PENGAMBILAN DARAH FETUS (KOMPETENSI 1)

A. Definisi

Pengukuran pH pada darah kapiler kulit kepala dapat membantu

untuk mengidentifikasi keadaan gawat janin (ACOG). Sampling darah

kulit kepala janin dalam Kala I persalinan diperkenalkan oleh Saling

(1962) berdasarkan analisa pH. Nilai pH normal: >7,25; Preasidemia:

7,20 – 7,25; Asidemia: <7,20. Saling merekomendasikan untuk

mengulang prosedur selamaa 20 – 30 menit jika didapatkan Preasidemia

dan intervensi. Hal ini masih dikenal sebagai standar baku dalam

mendiagnosis gawat janin intrapartum, namun metode ini tidak

menyenangkan untuk ibu dan invasif pada bayi.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan positif palsu dan negatif

palsu dari metode ini:

 Ibu dalam posisi dorsal (pH rendah false)

 Alkalosis maternal (normal false/kenaikan pH janin false)

 Rasio lambat dari mengkoreksi darah kulit kepala kedalam

tabung koreksi (pH rendah false)

B. Indikasi

 Deselerasi lambat berulang

 Deselerasi variabel memanjang


 Mekonium pada presentasi kepala

 Hipertensi ibu

 Osilasi/ variabilitas yang menyempit

C. Kontraindikasi

 Gangguan pembekuan darah janin

 Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai

 Infeksi pada ibu

D. Syarat

 Pembukaan lebih dari 2 cm

 Ketuban sudah pecah

 Kepala sudah turun hingga dasar pelvis

E. Teknik Pengambilan Darah Fetus

 Untuk mendapatkan darah kulit kepala janin, ibu ditempatkan dalam

posisi knee-chest lateral kiri dengan kaki kanan dinaikan

 Amnioskop (Metal/Plastik) dimasukkan kedalam fornix posterior

vagina dan batas anterior sampai ditempatkan dalam serviks


 Saat amnioskop kontak dengan kepala janin, sumber cahaya

didekatkan dengan instrument, dan kulit kepala janin dibersihkan dari

cairan amnion dan darah menggunakan kapas swab

 Kulit kepala janin disemprotkan dengan ethyl chloride untuk

menyebabkan kondisi hiperemis

 Insisi dilakukan 3 – 5mm pada kulit kepala menggunakan pisau bedah

khusus dengan panjang 2mm dan tidak mempenetrasi aponeurosis kulit

kepala

 Insisi dilakukan dibagian atas area sirkumferential dari kulit kepala

yang terlihat melalui amnioskop untuk memfasilitasi koleksi darah

pada tabung kapiler preheparinisasi.

Sumber:

Wiberg-Itzel E. 2008. Determination of pH or Lactate in Fetal Scalp Blood in

Management of Intrapartum Fetal Distress; Randomized Controlled Trial. Br Med J.

Arias F. 1993. Practicial Guide to High Risk Pregnancy and Delivery. 2nd ed.

Missouri: Mosby Year Book Inc.


78. SECTIO CAESAREA (KOMPETENSI 1)

A. Definisi

Sectio Caesarea adalah persalinan buatan, dimana janin

dilahirkan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan

syarat rahim dalam keadaan utuh dan berat janin lebih dari 500 gram.

B. Indikasi

1. Indikasi Ibu

 Disporposi Kepala Panggul

 Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi

 Stenosis serviks/vagina

 Plasenta previa

 Infeksi Jalan Lahir

 Preklamsia-Eklamsia

 Diabetes Melitus

 Penyakit Jantung

 Gagal Induksi

 Partus Tidak Maju

 Riwayat Sectio Caesarea kurang dari 2 tahun

2. Indikasi Janin

 Makrosomia
 Malpresentasi (Melintang dan Sungsang)

 Gawat Janin

 Postmatur

 Gemelli

C. Kontra Indikasi

 Janin Mati

 Syok

 Anemia Berat

 Kelainan Kongenital Berat

D. Prosedur Sectio Caesarea

1. Segmen Atas

Segmen atas pada persalinan section adalah pembedahan

melalui sayatan vertical pada dinding perut (abdomen) yang lebih

dikenal dengan classical incision atau sayatan klasik. Jenis ini

memungkinkan ruangan yang lebih besar untuk jalan keluar janin.

Indikasi pada persalinan jenis ini adalah:

a. Kesulitan menyingkap segmen bawah

 Pembuluh darah besar pada dinding anterior

 Vesica urinaria letak tinggi dan melekat


 Myoma uteri di segmen bawah

b. Janin letak lintang

c. Plasenta previa anterior

d. Malformasi uterus tertentu

Gambar 1. Sayatan Klasik pada Sectio Caesarea

2. Segmen Bawah

Pembedahan pada segmen bawah terdapat dua jenis, yaitu:

a. Insisi Melintang

Yaitu melakukan sayatan secara mendatar. Pada jenis

ini dibuat sayatan kecil melintang dibawah uterus, kemudian

sayatan ini dilebarkan dengan jari – jari tangan dan berhenti

didaerah pembuluh darah uterus.

Keuntungan:

 Insisi terdapat dibagian bawah yang cenderung tipis

 Otot tidak dipotong tetapi dipisah kesamping, cara ini

dapat mengurangi perdarahan


 Insisi jarang terjadi sampai plasenta

 Kepala janin biasanya terletak dibawah insisi, sehingga

memudahkan ekstraksi

 Lapisan otot pada segmen bawah yang tipis lebih mudah

dirapatkan kembali daripada segmen atas

 Keseluruhan luka insisi terbungkus oleh lapisan

vesikouterina sehingga mengurangi perembesan ke cavum

peritoneum generalisata

 Ruptur jaringan sikatrik yang melintang kurang

membahayakan nyawa ibu dan janin karena:

- Insidensi ruptur lebih rendah

- Perdarahan dari segmen bawah lebih sedikit karena

daerah tersebut kurang mengandung pembuluh

darah dibandingkan dengan bagian atas

Kerugian:

 Apabila insisi terlalu jauh ke lateral, seperti pada kasus bayi

terlalu besar (baby giant), maka pembuluh darah uterus

dapat terobek sehingga menyebabkan perdarahan hebat

 Prosedur ini tidak dianjurkan jika terdapat abnormalitas

pada segmen bawah atau adanya fibroid atau varises yang

luas
 Terkadang vesika urinaria melekat pada jaringan sikatrik

sebelumnya sehingga vesika urinaria dapat terluka.

Gambar 2. Sayatan Melintang pada Sectio Caesarea

b. Insisi Membujur

Pada insisi membujur hampir sama dengan insisi

melintang, hanya saja letak sayatan menjadi vertical di bawah

rahim (uterus).

Keuntungan:

 Apabila pada kasus bayi yang besar (baby giant), luka pada

insisi ini dapat diperlebar keatas

 Adanya malposisi atau posisi janin yang melintang

 Adanya anomali janin seperti pada keadaan bayi kembar

yang menyatu.

Kerugian:
 Perdarahan pada tepi sayatan akan lebih banyak karena

terpotongnya otot

 Luka insisi meluas sampai segmen atas

Gambar 3. Insisi Membujur pada Sectio Caesarea

Sumber:

Wiknjosastro H., Saifuddin A.B., Rachimhadhi T. 2000. Ilmu Bedah

Kebidanan. Edisi Pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai