Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT NEUROLOGIS

“Kegawatan Sistem Neurologi (Persarafan) : Kegawatan Trauma Kepala”

Disusun oleh :

Kelompok 1

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

2020

1
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT NEUROLOGIS

“Kegawatan Sistem Neurologi (Persarafan) : Kegawatan Trauma Kepala”

Disusun oleh :

1. Annisya Yusnia (P07220216006)


2. Edy Kurniawan (P07220216013)
3. Hamdi Muadz Mahruz (P07220210020)
4. Nur Anisa Rizky (P07220216031)
5. Sri Devi Mu’ammamah (P07220216036)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

2020

2
LATAR BELAKANG

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat disusun hingga selesai.Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih atas bantuan
dari semua anggota kelompok yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
materi maupun pemikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para
pembaca.Untuk itu kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini.Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 13 Januari 2020

Penyusun

3
DAFTAR ISI

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007).Lebih dari
50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan
bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000
diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan
mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif atau non
konginetal yang terjadi akibat rudapaksa(trauma) mekanis eksternal yang
menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik
sementara atau permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian /
kelumpuhan pada usia dini (Osborn, 2003). Kasus trauma terbanyak disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga,
jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan.
Angka kejadian trauma kepala pada laki-laki 58% lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar benar rujukan
yang terlambat (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut penelitian nasional Amerika Guerrero et al (2000) di bagian
kegawatdaruratan menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala pada
anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh
benda keras.Penyebab trauma kepala pada remaja dan dewasa muda adalah

5
kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan. Insidensi
cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa, kecelakaan
kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera
utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.
Trauma kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks
bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan
karena struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk,
dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan
syaraf, pembuluh darah dan tulang (Retnaningsih, 2008).
Pemeriksaan klinis pada pasien trauma kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis.Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma.Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey.Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ.Penilaian GCS awal saat penderita datang ke Rumah Sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-
refleks.Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral.
Idealnya penderita trauma kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit
kepala hebat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari trauma kepala
2. Bagaimana etiologi dari trauma kepala
3. Bagaimana patofisiologi trauma kepala
4. Apa tanda dan gejala dari trauma kepala

6
5. Apa pemeriksaan diagnostic trauma kepala
6. Apa komplikasi dari trauma kepala
7. Bagaimana penatalaksanaan trauma kepala

1.3 Tujuan

1. Tujuan Umum  

Adapun tujuan umum dari makalah ini adalah Untuk Mengetahui dan
Memahami Tentang Konsep Dasar Teori dan Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat pada Pasien dengan Trauma Kepala.
2. Tujuan Khusus
 Adapun tujuan khusus dari makalah ini antara lain adalah :
a. Untuk mengetahui konsep dasar teori dari Trauma Kepala.
b. Untuk mengetahui konsep dasar Askep teoritis pada pasien dengan Trauma
Kepala dengan meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Intervensi,
implementasi dan evaluasi.

1.3 Manfaat  
Adapun manfaat dari makalah ini antara lain :
1. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Trauma Kepala
2. Untuk meningkatkan pengetahuan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
dari Trauma Kepala
3. Untuk menambah referensi pustaka bagi mahasiswa Keperawatan tentang
Trauma Kepala

7
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka
dikulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan
kerusakanjaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis
(Sjahrir,2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan
kerusakantengkorak dan otak (Pierce dan Neil, 2014).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala
merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan
fisikdari luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat
menimbulkankerusakan fungsi kognitif maupun fungsi fisik. Cedera kepala
merupakansuatu trauma atau ruda paksa yang mengenai struktur kepala yang
dapatmenimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau menimbulkan
kelainanstruktural (Sastrodiningrat, 2007).

2.2 Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera
yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera
sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas,
hipertensiintrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera
sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,

8
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Glasgow Come Scale (GCS):
1. Minor
a. GCS 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
a. GCS 9 – 12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3. Berat
a. GCS 3 – 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2.4 Patofisiologi
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.
Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima
20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen
tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer.
Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu

9
oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi
karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau
karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok.Karena itu pada
cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat
dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh
cukup.Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang
mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau
herniasi dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami
iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang
menimbulkan kematian.
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak,
robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk
robeknya duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap.Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah,
liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan
Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure

10
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia
otak.Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler
yang makin parah (irreversibel).Diperberat oleh kelainan ekstrakranial
hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l.
glutamat, aspartat).EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat)
dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks
berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif
serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan
menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB
breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai
prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga
integritas dan repair membran tersebut).
Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam
arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic
bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA
dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses
yang dapat dihentikan.

11
2.5 Pathway

Kecelakaan lalu lintas, terjatuh/


terbentur,terkena tembakan, dan lain-
lain

Kecelakaan lalu lintas, terjatuh/


Trauma kepala
terbentur,terkena tembakan, dan lain-
lain

Ekstra kranial Tulang


Trauma
Trauma kranial
kepala
kepala Intra kranial

Terputusnya Treputusnya Jaringan otak


Ekstra kranial Tulang kranial Intra kr
kontinuitas jaringan MK: resiko kontinuitas rusak(kontusio
kulit,otot dan perdarahan jaringan tulang laserasi
vaskuler Jaringan o
Terputusnya Treputusnya
kontinuitas jaringan MK:
MK: resiko
resiko Perubahan
kontinuitas rusak(kon
kulit,otot dan perdarahan
perdarahan autoregulasi
jaringan tulang laserasi
Perdarahan dan vaskuler
Gangguan MK: resiko MK: nyeri akut dan oedema
hematoma suplai darah infeksi serebral
Perubaha
autoregul
Perdarahan dan MK: Kerusakan
Gangguan MK:
MK: resiko
resiko MK:
MK: nyeri
nyeri akut
akut dan oede
Perubahan Iskemia Kejang
hematoma memori
suplai darah infeksi
infeksi serebral
sirkulasi CSS

Hipoksia MK: MK: Kerusakan


Gangguan
MK: Kerusakan - Bersihan jalan Kejan
Perubahan Iskemia
Peningakatan ketidakefektifan memori
neurologis
memori nafas
sirkulasi CSS
TIK perfusi jaringan vokal - Obstruksi
serebral jalan nafas
Hipoksia MK:
MK: - Gangguan
Dispnea Bersihan
Peningakatan ketidakefektifan
ketidakefektifan - neurologis
Henti nafas nafas
Defisit
Gilus medialis TIKmuntah,
- mual perfusi
perfusi jaringan
jaringan - vokal
Purubahan
neurologis Obstruksi
lobus temporalis papioloedema serebral
serebral pola nafas nafas
bergeser , pandangan MK: Resiko
kabur, kekurangan Defisit Dispnea
MK:
Giluspenurunan
medialis - mual muntah,
volume cairan neurologis
Gangguan MK:
lobusfungsi
temporalis papioloedema, Henti nafa
Herniasi unkus persepsi Ketidakefektifan
bergeser pandangan MK:
MK: Resiko
Resiko
pendengaran, sensori bersihan jalan Purubaha
kabur, kekurangan
kekurangan MK:
nyeri kepala. MK:
nafas nafas
penurunan volume
volume cairan
cairan Gangguan MK:
Gangguan MK:
Herniasi unkus fungsi persepsi
persepsi Ketidakef
Ketidakef
pendengaran, sensori bersihan
Mesensefalon MK: resiko cedera Tonsil serebrum sensori
Kompresi medula bersihan j
nyeri kepala. nafas
tertekan bergeser oblongata nafas
Imobilisasi
Gangguan MK: Hambatan
kesadaran Ansietas mobilitas fisik

12
2.5 Tanda dan Gejala
1. Cedera kepala ringan, menurut Sylvia A (2005):
a) Skala GCS 13-15 (sadar penuh, atentif dan orientatif)
b) Kebingungan saat kejadian
c) Pusing dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
d) Tidak ada kehilangan kesadaran (konkusi)
e) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.
2. Cedera kepala sedang, menurut Diane C (2002):
a) Skala GCS 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
b) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai kebingungan atau bahkan
koma
c) Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, defisit neurologis, perubahan
TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang
otot, sakit kepala,mual muntah, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, menurut Diane C (2002):
a) Skala GCS 3-8 (koma)
b) Amnesia
c) Pupil tidak aktual, pemeriksan motorik tidak aktual adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik
d) Nyeri, biasanya menunjukkan adanya fraktur
e) Fraktur pada kubah kranial yang menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan dan perubahan jaringan otak.

13
3. MRI : digunakan sama seperti Ct-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedema, perdarahan dan
trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang.
6. Pungsi Lumbal CSS : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. PET (Pesikon Emission Tomografi): menunjukkan aktivitas metabolisme
pada otak.
8. GDA (Gas Darah Arteri) : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
9. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi  keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial
10. BAER (Brain Eauditory Evoked): menentukan fungsi dari kortek dan
batang otak (Musliha, 2010).
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk
mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala,
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.Pada anamnesis informasi penting
yang harus ditanyakan adalah mekanismenya.Pemeriksaan fisik meliputi
tanda vital dan sistem organ (Iskandar, 2002).Penilaian GCS awal saat
penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat
kegawatan cedera kepala.Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS,
perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak,
sarafkranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek (Sjamsuhidayat,
2010).

14
2.7 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala:
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia,
hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga
subarachnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis
cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan
terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami
kejang awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma
yang lama, fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi
dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi
akibat cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).

2.8 Penatalaksanaan
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah
sakit untuk observasi.Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat
kesadaran, fraktur kranium dan tanda neurologis fokal.Cedera kepala ringan
dapat ditangani hanya dengan observasi neurologis dan membersihkan atau
menjahit luka / laserasi kulit kepala.Untuk cedera kepala berat, tatalaksana
spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
1. Bedah

15
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang
mendesak ruang.
b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang
menekan pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini
membutuhkan terapi bedah segera dengan debridement luka dan
menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada
meningen dan otak.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum
evakuasi hematom intrakranial pada pasien dengan penurunan
kesadaran.
b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
c. Antikonvulsan untuk kejang.
d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).

16
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian Awal
Pengkajian ini dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama dengan pasien
yang meliputi ABC (Airway, Breathing, Circulation)

17
2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.

3. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyenestokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)

b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK

c. Sistem saraf :

Kesadaran GCS.

Fungsi saraf kranialtrauma yang mengenai/meluas ke batang otak


akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.

Fungsi sensori-motoradakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan


diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.

d. Sistem pencernaan

Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,


kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien
sadar tanyakan pola makan?

Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan


gerak volunter, ROM, kekuatan otot.

f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau


afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.

g. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat


pasien dari keluarga.

18
B. Diagnosa yang Mungkin Muncul
1. Perfusi jaringan tidak efektif ( spesifik serebral) b/d aliran arteri dan atau vena
terputus
2. Nyeri akut b/d agen injury fisik
3. Pola nafas tak efektif b/d hipoventilasi
4. Kerusakan integritas kulit b/d imobilitas yg lama
5. Gangguan pemenuhan ADL : makan/mandi, toileting b/d kelemahan fisik dan nyeri
6. Resiko tinggi infeksi b/d trauma/laserasi kulit kepala

C. Rencana Asuhan Keperawatan

19
20
21
22
23
24
25
26
DAFTAR PUSTAKA

Amin H & Hardhi K, 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan NANDA. MediAction. Jogjakarta.
Batticaca,Fransisca B, 2008.Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta:Salemba Medika
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November 2007. Pekanbaru.
Brunner & suddarth.1997.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah E/3
Vol.3.Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Musliha,S.Kep.,Ns.2010.Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta:Nuha Medika
Syaifuddin.2009.Fisiologi Tubuh Manusia E/2.Jakarta.Salemba Medika

MansJoer, Arif, 2000.KapitaSelektaKedokteran,MediaAesculapius.Jakarta.

Suzanne C, Brenda GB.2000.BukuAjarMedikalBedah,Edisi8.Volume3.EGC:Jakarta.

Brain Injury Association of America. Types of Brain


Injury.  Http://www.biausa.org  [diakses 9 Januari 2013]

Roslina, Jumiati. _____. Trauma


Kepala.https://www.academia.edu/16726400/BAB_1_TRAUM_KEPALA (Diakses
13 Januari 2020, 19.40)

Anonim._____. Cedera Kepala: Penatalaksanaan Fase Akut.


http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pdf/16Pe
natalaksanaanFaseAkut077.html (Diakses 13 Januari 2020, 19.44)

Putri, C. 2017. Trauma Capitis.http://eprints.umm.ac.id/41729/3/jiptummpp-gdl-


cantikmaha-48503-3-babii.pdf (Diakses 13 Januari 2020, 19.46)

27

Anda mungkin juga menyukai