Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN KECERDASAN BUDAYA DENGAN SOCIAL CULTURAL ADJUSMENT

PADA MAHASISWA PERANTAU LUAR JAWA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA


WACANA

Disusun Oleh :

Dimas Dwi Nugroho 802017085

FAKULTAS PSIKOLOGI
UKSW
SALATIGA
 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Kota salatiga dikenal sebagai Indonesia Mini sekaligus kota pendidikan. Kota
pendidikan adalah kota yang mampu menerima proses pembaruan budaya dari berbagai
etnis pendatang. Kota ini menyediakan sarana pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga
tingkat Universitas.Universitas Kristen Satya Wacana merupakan salah satu dari
Universitas besar yang ada di Salatiga dan termasuk dalam Universitas yang sudah lama
ada di Indonesia. Mahasiswa-mahasiswanya sendiri datang tidak hanya dari pulau jawa
saja, datang dari berbagai daerah, suku, etnis dan tersebar di berbagai sudut kota Salatiga
dan ada disekitaran kampus, setiap tahunnya selalu dituju banyak mahasiswa yang ingin
meneruskan pendidikannya di kota ini. Hidup diluar daerah asal dan berhadapan dengan
budaya baru dipandang sebagai pengalaman yang menarik, selain itu dengan adanya
tuntutan mendapatkan pendidikan yang lebih baik, maka banyak mahasiswa memutuskan
untuk belajar diluar daerah asalnya. Biasanya pelajar di berbagai provinsi di luar pulau
Jawa memilih perguruan tinggi di pulau Jawa untuk meneruskan pendidikan tingginya.
Selain banyaknya perguruan tinggi, kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa dinilai lebih
baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa (Niam, E. K. et al., 2009). Pada saat
memasuki dunia perkuliahan, tentu banyak perubahan yang dialami sehingga mahasiswa
dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tinggal atau kuliah di
tempat masyarakat yang berbeda secara sosial dan budaya kemungkinan memunculkan
dampak sosial dan psikologis tertentu. Salah satu dampak sosial-psikologis yang biasa
terjadi pada mereka adalah kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Perbedaan bahasa, nilai, dan kebiasaan, di luar persoalan iklim geografis, menjadi
hambatan utama. Perbedaan tersebut terkadang menjadi salah satu kesulitan yang
dihadapi oleh para mahasiswa baru khususnya mahasiswa perantau yang datang dari luar
pulau jawa. Mereka perlu untuk melakukan penyesuaian diri untuk dapat
mengimbanginya. Ketika penyesuaian diri tersebut tidak berhasil, hal itu akan
menimbulkan respon yang negatif seperti kesedihan, kesepian, hilangnya kepercayaan
diri, dan perilaku menyimpang lainnya. Penyesuaian diri lintas budaya yang perlu diatasi
tidak hanya lingkungan kerja, tetapi juga kondisi cuaca, makanan lokal, keragaman
linguistik, perbedaan budaya, dan komunikasi dengan masyarakat sekitar.
Banyak kasus yang terjadi ketika mahasiswa perantau baru pertama kali
memasuki dunia perkuliahan di UKSW Salatiga, seperti halnya yang dialami mahasiswa
UKSW yang berasal dari papua, ambon, kalimantan, sumatera, peneliti melakukan
wawancara tatap muka dengan mereka, dan mengakui bahwa berada di daerah orang
tidaklah mudah dan mereka mengalami beberapa kesulitan. Salah satu kesulitan yang
mereka hadapi adalah kesulitan bahasa, kemudian budaya yang jauh berbeda akhirnya
mereka mengalami kesulitan saat mencoba berinteraksi. Mahasiswa Papua, dan Sumatera
yang terbiasa dengan pembawaan nada bicara yang lantang dan keras, kadang merasa
sedikit tidak nyaman ketika diharuskan berbicara dengan pelan dan halus, kemudian
mahasiswa Kalimantan yang terbiasa dengan cepat juga mengakui kesulitan dalam
berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang dominan menggunakan bahasa Jawa. Pada
dasarnya, proses penyesuaian memang akan dihadapi oleh individu yang memasuki
lingkungan yang baru dan akan lebih sulit jika perbedaan tersebut cukup jauh (Kennedy,
1999). Namun ada juga mahasiswa yang sudah bisa menyesuaikan dirinya dengan mudah
dan cepat.
Penyesuaian diri terhadap budaya dan lingkungan yang baru disebut juga dengan
penyesuaian kontkes budaya berbeda (sociocultural adjustment) (Searle, 1990).
Sociocultural adjustment didefinisikan sebagai suatu kompetensi perilaku untuk
mengatasi permasalahan sehari-hari dan interaksi sosial dalam konteks lingkungan
budaya yang baru. Penyesuaian dri terhadap budaya, ditafsirkan dari perspektif
pembelajaran budaya, sebagian besar terdiri dari komponen perilaku dan kognitif
pembelajaran budaya untuk bekerja secara efektif dalam lingkungan baru. Adaptasi
sosiokultural, sebaliknya, lebih kuat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan
pembelajaran budaya dan perolehan keterampilan spesifik budaya (Zlobina et al., 2006).
Selain itu, Sociocultural adjustment juga dapat diprediksi melalui seberapa besar
pengetahuan dan kompetensi individu tersebut terhadap budaya di wilayah yang
ditempati (Kin et al., 2017) berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin lebih fokus pada
hubungan hubungan kecerdasan budaya dengan penyesuaian diri dalam konteks budaya.
Kecerdasan budaya (CQ) sebagai kemampuan untuk mempelajari pola-pola baru dalam
interaksi budaya dan memberikan respons perilaku yang benar terhadap pola-pola ini.
Sebenarnya, kecerdasan budaya adalah kemampuan untuk menghasilkan yang interaktif
dan efektif reaksi terhadap orang-orang yang berasal dari berbagai budaya latar belakang.
Kecerdasan budaya memungkinkan orang untuk mengenali perbedaan budaya melalui
pengetahuan dan pemahaman dan berperilaku tepat dalam menghadapi budaya yang
berbeda (Van Dyne & Ang,dlm Karroubi et al., 2014). Dalam penelitian mengenai
hubungan kecerdasan budaya dengan penyesuaian diri sosial budaya oleh (Nunes et al.,
2017) Berdasarkan sampel 217 ekspatriat dari 26 negara yang tinggal di Brasil, penelitian
ini mengungkapkan hubungan positif antara kecerdasan budaya dan adaptasi lintas
budaya. Penelitian lain oleh (Karroubi et al., 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
CQ memiliki efek positif pada penyesuaian lintas budaya. Penelitian yang juga dilakukan
oleh (Ghaniyy & Akmal, 2018) Kecerdasan Budaya dengan Penyesuain diri konteks
budaya menujukan adanya hubungan yang positif, kemudian penelitian oleh (Lin et al.,
2012) menujukan ada pengaruh hubungan postif CQ dengan Penyesuaian diri budaya
berbeda
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara
kecerdasan budaya dengan penyesuaian diri dalam konteks budaya yang berbeda pada
mahasiswa perantau yang kuliah di UKSW
1.2. Rumusan Masalah 
Apakah ada hubungan antara rasa kecerdasan budaya dengan socialcultural adjustment?
1.3. Tujuan Penelitian 
Untuk membuktikan adanya hubungan antara kecerdasan dengan socialcultural
adjustment
1.4. Manfaat Penelitian  
1.4.1 Manfaat Teoritis 
1. Membantu penelitian sejenis yang akan dilakukan di kemudian hari 
2 Manfaat Praktis menambah pengetahuan terkait adanya hubungan kecerdasan
dengan Sociocultural adjustment
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sociocultural adjustment


2.1.1 Pengertian Sociocultural adjustment
Sociocultural adjustment didefinisikan sebagai suatu kompetensi perilaku untuk mengatasi
permasalahan sehari-hari dan interaksi sosial dalam konteks lingkungan budaya yang baru
(Searle, 1990), kompetensi perilaku untuk mengatasi permasalahan sehari-hari dan interaksi
sosial dalam konteks lingkungan budaya yang baru (Searle, 1990)). Kemampuan dalam
menyesuaikan diri terhadap budaya yang baru ini juga menggambarkan derajat kenyamanan
seseorang secara psikologis. Definisi lain juga diutarakan oleh Guðmundsdóttir (2013) bahwa
penyesuaian diri dalam konteks budaya yang berbeda merupakan kemampuan individu untuk
mampu menyesuaikan diri dengan sebuah lingkungan baru yang dilihat dari kesulitan-kesulitan
yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.2 Aspek-aspek Sociocultural adjustment


Penyesuaian diri dalam konteks budaya yang berbeda (Sociocultural adjustment) terdiri dari dua
dimensi yaitu :
a. Empati dan keterkaitan budaya (qand relatedness)
Meliputi pemahaman individu terhadap perspektif, pandangan, nilai-nilai lokal yang
berlaku, serta bagaimana individu berinteraksi antar budaya yang berbeda, menjalin
pertemanan, termasuk memahami diri sendiri (Kennedy, 1999).
b. Upaya dan risiko impersonal (impersonal endeavors and peril).
ini mengacu pada aspek kemampuan individu dalam mengelola diri ketika berinteraksi
dalam situasi yang dianggap tidak biasa dan berasal dari faktor eksternal Hal ini meliputi
bagaimana kemampuan individu dalam menghadapi birokrasi dan aturan yang berlaku,
pelayanan yang tidak memuaskan, dan menghadapi orang lain yang tidak menyenangkan
(Kennedy, 1999)

Faktor-faktor yang memengaruhi


Faktor yang dapat mempengaruhi SCA diantaranya adalah emotional intelligence (EQ),
lama tempat berkuliah, pengetahuan tentang budaya, jarak perbedaan antar budaya asal dan
budaya di tempat berkuliah, dan kelancaran dalam berbahasa (Koveshnikov, Wechtler, Dejoux,
2013; Ward & Kennedy, 1999; Wilson, 2011). Adapun dalam konteks penyesuaian diri, EQ
hanya menilai kemampuan seseorang dalam berinteraksi dan bekerja dengan orang lain (Mayer
et al., 2008), sementara budaya memiliki cakupan yang lebih spesifik dengan adanya unsur-unsur
budaya sepert zona waktu, bahasa, kebiasaan setempat, dan juga persamaan sejarah dan latar
belakang budaya serta aspek ekologi (Earley & Ang, 2003). Selain itu, SCA juga dapat
diprediksi dari seberapa besar pengetahuan dan kompetensi individu tersebut terhadap budaya di
negara yang ditempati (Ward dalam Ng, 2017). Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa
cultural intelligence (CQ) menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan SCA.

2.2 Kecerdasan Budaya


2.2.1 Pengertian Kecerdasan Budaya
Kecerdasan budaya adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dan
mengembangkan potensi secara efektif dalam suatu konteks budaya yang baru (Soltani &
Keyvanara, 2013) kecerdasan budaya (CQ) sebagai kemampuan untuk mempelajari pola-pola
baru dalam interaksi budaya dan memberikan respons perilaku yang benar. Sebenarnya,
kecerdasan budaya adalah kemampuan untuk menghasilkan yang interaktif dan efektif reaksi
terhadap orang-orang yang berasal dari berbagai budaya latar belakang. Kecerdasan budaya
memungkinkan orang untuk mengenali perbedaan budaya melalui pengetahuan dan pemahaman
dan berperilaku tepat dalam menghadapi budaya yang berbeda (Van Dyne & Ang, dlmKarroubi
et al., 2014) CQ berkaitan dengan bagaimana orang beradaptasi dan berkembang ketika mereka
menemukan diri mereka dalam lingkungan baru di mana mereka disosialisasikan (Bu et al.,
2015) Culture intelligence merupakan kerangka dasar dari inteligensi yang multi-dimensi. (Ang,
Van Dyne, dan Koh 2006) mendefinisikan culture intelligence sebagai kemampuan seseorang
untuk mengatur serta mengelola secara efektif pada budaya yang berbeda. Semakin tinggi culture
intelligence yang dimiliki seseorang, maka akan selaras dengan nilai, sikap, perilaku,
kepercayaan dengan orang yang memiliki perbedaan kultur serta menggunakan pengetahuannya
untuk lebih mengerti dan empati terhadap satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pemaparan
dari beberapa ahli, culture intelligence adalah kemampuan individu untuk mengerti, memahami
masalah, dan mampu beradaptasi serta berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam lingkungan
yang memiliki perbedaan budaya.

2.2.2 Aspek-Aspek Kecerdasan Budaya


Stenberg (dalam Ang dan Van Dyne, 2008) menyatakan bahwa culture intelligence memiliki
empat aspek yang saling berkaitan, yaitu:

a. Kecerdasan Metakognisi (CQ drive)


Kecerdasan metakognisi merupakan sebuah kesadaran akan budaya dan interaksi
individu dengan situasi lintas budaya. Hal ini merupakan komponen penting dalam
memunculkan sebuah pemikiran tentang orang lain yang memiliki latar budaya yang
berbeda. Selain itu, kecerdasan metakognisi juga menimbulkan pemikiran kritis dan
akurat mengenai suatu kebiasaan, pemikiran budaya lain dan mengevaluasi dan
mengubah konsep pemikiran mental individu. Hal inilah yang akan meningkatkan
keakuratan pemahaman individu tersebut akan budaya lain. Individu yang memiliki
kecerdasan metakognisi yang baik secara sadar akan mempertanyakan asumsi baik dari
budayanya maupun budaya lain, merefleksikan interaksi dalam situasi lintas budaya, dan
menyesuaikan dengan pengetahuan budaya yang dimiliki ketika berinteraksi dengan
orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda
b. Kecerdasan kognisi (CQ Knowledge)
kecerdasan kognisi merupakan pengetahuan budaya yang dimiliki oleh individu berupa
nila-nilai norma dan praktik dalam kehidupan sehari-hari di situasi lintas budaya.
Kecerdasan kognitif menonjolkan sisi pengetahuan secara umum tentang suatu atau
banyak budaya dan pengetahuan persamaan serta perbedaan dengan budaya lainnya.
Pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan kognitif merupakan dasar dari
pengambilan keputusan dan tindakan dalam situasi lintas budaya. Pengetahuan budaya
yang didapatkan oleh seseorang berasal dari pendidikan atau pengalaman pribadi individu
tersebut. Faktor dalam kecerdasan kognisi ditunjukkan dengan seberapa besar tingkat
pengetahuan budaya yang dimiliki individu atau pengetahuan tentang norma dan nilai-
nilai yang ada di dalam budaya tersebut. Pengetahuan budaya merupakan pengetahuan
tentang konteks budaya dari lingkungan individu tersebut tinggal dan sudah tertanam
dalam diri individu tersebut. Setiap kelompok masyarakat tentu mempunyai sistem yang
mendasar dalam memenuhi kebutuhan fisiologisnya sehingga, di dalam kelompok
masyarakat tersebut tentu memiliki sebuah sistem.

c. Kecerdasan motivasi (CQ Strategy)


Kecerdasan motivasi merupakan kemampuan atau keterampilan yang dimiliki individu
untuk mengarahkan perhatian dan energi terhadap perbedaan budaya. Artinya, seseorang
yang memiliki kecerdasan motivasi yang tinggi akan memiliki selfefficacy dan motivasi
intrinsik yang kuat dalam situasi lintas budaya. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 Self-
efficacy dan motivasi intrinsik merupakan komponen penting sebagai wujud kesuksesan
interaksi lintas budaya. Hal ini dikarenakan, interaksi dalam lintas budaya juga harus
memiliki rasa percaya diri dan minat dalam menyesuaikan di lingkungan yang baru
sehingga, kecerdasan motivasi dapat dikatakan sebagai penggerak bagi culture
intellingence karena memacu usaha individu untuk berinteraksi dan menyesuaikan
dengan pengaturan yang ada dalam budaya baru.
d. Kecerdasan perilaku (CQ Action)
Kecerdasan perilaku merupakan kemampuan atau keterampilan seseorang untuk
menunjukkan tindakan baik secara verbal maupun nonverbal yang tepat ketika
berinteraksi dengan situasi lintas budaya. Kecerdasan perilaku juga menjadi komponen
yang penting karena kecerdasan perilaku mengacu pada perilaku serta karakter yang
terlihat dalam interaksi sosial seperti gaya berbicara, ekspresi perilaku dan gerak tubuh
perilaku dalam interaksi antarbudaya. Berdasarkan pemaparan diatas, aspek-aspek dalam
culture intelligence meliputi kecerdasan metakognisi (CQ drive), kecerdasan kognisi (CQ
Knowledge), kecerdasan motivasi (CQ Strategy), dan kecerdasan perilaku (CQ Action).
Dinamika Hubungan Antar Variabel
CQ adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi secara efektif dengan
konteks budaya baru, maka individu yang memiliki CQ tinggi diharapkan dapat
menyesuaikan diri dengan lebih baik di lingkungan budaya baru dalam penugasan
internasional mereka. Kami mengharapkan keempatnya dimensi CQ terkait dengan SCA.
Pertama-tama, CQ meta-kognitif harus terkait dengan SCA seperti itu memfasilitasi
proses pembelajaran budaya yang merupakan elemen kognitif penting dalam proses
penyesuaian. CQ meta-kognitif yang merupakan kemampuan mental tingkat tinggi untuk
dipikirkan proses pemikiran pribadi, mengantisipasi preferensi budaya orang lain, dan
menyesuaikan model mental selama pengalaman antarbudaya akan memberi individu
wawasan yang berguna untuk memahami proses belajar pengetahuan budaya (Johnson,
Lenartowicz, & Apud, 2006; Ang et al., 2007). Sebagai individu yang tinggi metakognitif
CQ menguasai proses memperoleh pengetahuan budaya, mereka harus lebih gigih dalam
berpikir secara strategis tentang interaksi mereka dengan orang-orang dari budaya lain
dan terlibat dalam memahami, situasi lintas budaya umum karenanya memfasilitasi
penyesuaian mereka dengan budaya baru. CQ kognitif harus berhubungan positif dengan
SCA karena mewakili komponen pengetahuan dalam proses penyesuaian. Ini
menunjukkan pengetahuan tentang budaya universal serta pengetahuan tentang perbedaan
budaya (Ang, Van Dyne, & Koh, 2006). Pengetahuan ini berlaku untuk lingkungan
budaya apa pun dan termasuk pemahaman tentang sistem geografis, ekonomi, hukum,
dan sosial dalam budaya lain karenanya menyediakan kerangka kerja untuk memahami
dan membandingkan / membedakan berbagai budaya, pengetahuan budaya merupakan
penentu penting kemampuan seseorang untuk meminimalkan kesalahpahaman dengan
seseorang dari budaya lain. Dengan demikian, paling tinggi individu pada CQ kognitif
adalah yang paling kemungkinan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan budaya
baru karena mereka lebih berpengetahuan tentang aspek-aspek spesifik budaya lain
Menarik dari diskusi di atas, oleh karena mengusulkan hipotesis: H1: Ada hubungan
positif antara CQ dan Socialcultural adjustment
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian
Terdapat dua variabel dalam penelitian antara lain yaitu:
Variabel X : Kecerdasan Budaya

Variabel Y : Sociocultural adjustment


3.2 Definisi Operasional
Sociocultural adjustment
a. Sociocultural adjustment didefinisikan sebagai suatu kompetensi perilaku untuk
mengatasi permasalahan sehari-hari dan interaksi sosial dalam konteks lingkungan
budaya yang baru (Searle, 1990), kompetensi perilaku untuk mengatasi permasalahan
sehari-hari dan interaksi sosial dalam konteks lingkungan budaya yang baru meliputi
cultural empath and relatedness meliputi pemahaman individu terhadap perspektif,
pandangan, nilai-nilai lokal yang berlaku, serta bagaimana individu berinteraksi antar
budaya yang berbeda, menjalin pertemanan, termasuk memahami diri sendiri

Kecerdasan Budaya
Kecerdasan Budaya adalah kemampuan individu untuk mengerti, memahami masalah, dan
mampu beradaptasi serta berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam lingkungan yang
memiliki perbedaan budaya sehingga membentuk pemikiran individu yang lebih simpatik
dan lebih terampil ketika berinteraksi dengan budaya lain. Melupti kecerdasan metakognisi
(CQ drive), kecerdasan kognisi (CQ Knowledge), kecerdasan motivasi (CQ Strategy), dan
kecerdasan perilaku (CQ Action)

3.4. Partisipan, Tehnik Smapling


a. Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa UKSW yang berasal dari luar pulau yang
sedang melanjutkan pendidikan pulau jawa .
b. Teknik sampling adalah metode atau cara menentukan sampel dan besar sampel.5 Teknik
dalam menentukan sampel merupakan batasan yang sering muncul dalam penelitian. Teknik
sampling dilakukan setelah ketentuan besarnya responden yang digunakan sebagai sampel
diperoleh. Pada penelitian kuantitatif, memilih sampel dengan cara probabilitas sangatlah
dianjurkan. Ada empat macam teknik pengambilan sampel yang masuk dalam teknik
pengambilan sampel dengan probabilitas samplin, yaitu: 1) Sampling Acak (Random Sampling),
2) Teknik Statifikasi, 3) Teknik Klaster (Cluster Sampling), 4) Teknik Secara Sistematis
(Systematic Sampling).6 Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah teknik
sampling random yaitu teknik sampling kluster (cluster sampling) yang merupakan sampling,
dimana elemen-elemen sampelnya merupakan elemen (cluster). Teknik sampling kluster disebut
juga teknik kelompok atau teknik rumpun, teknik ini dilakukan dengan jalan memilih sampel
yang didasarkan pada klusternya bukan individunya

3.5 Pendekatan Penelitian


Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang mana merupakan
penelitian yang menggunakan data yang berupa data statistik atau dengan menggunakan angka
sebagai alat untuk keteranganketerangan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.
Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi dan sampel tertentu, bersifat
kuantitatif/statistik, dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
3.6 Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian kuantitatif dengan metode korelasional untuk
melihat hubungan antara variabel CQ dan SCA. Berdasarkan jumlah kontaknya, penelitian ini
termasuk dalam tipe penelitian cross-sectional karena hanya melakukan sekali pengambilan data.

3.7 Prosedur
Prosedur pengambilan data penelitian diawali dengan melakukan adaptasi terhadap kedua
alat ukur, yaitu dengan melakukan terjemahan ke bahasa Indonesia,. Penyesuaian diri dalam
konteks budaya (Sociocultural Adjustment) diukur dengan menggunakan alat ukur Sociocultural
Adjustment Scale (SCAS) yang disusun oleh Ward dan Kennedy (1999). Alat ukur tersebut
terdiri dari 29 butir dan berskala 1–5 (1 = tidak sulit; 2 = sedikit sulit; 3 = cukup sulit; 4 = sulit; 5
= sangat sulit.
Aspek Indikator Nomor aitem Jumlah
b. cultural 1.Memahami Prespketif 1, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 11, 22
empath and Perbedaan Antar 12, 13, 14, 15, 16,
relatedness) Budaya 17, 19, 20, 21, 22,
2.Mampu bernteraksi 24, 25, 27, 28
antar budaya
3.Mampu menjalin
pertemanan,
4.memahami diri sendiri

c. impersonal Mampu menghadapi 5, 8, 10, 18, 23, 26, 7


endeavors and birokrasi dan aturan 29
peril) yang berlaku
Mampu mengahadapi
situasi yang tidak
menyenangkan

B. Skala Culture Iintelligence


Skala culture intelligence dalam penelitian ini menggunakan skala culture intelligence yang
dikembangkan oleh Ang, Van Dyne, dan Koh (2006). Skala ini mengandung 17 aitem untuk
mengukur 4 aspek dalam culture intelligence yaitu kecerdasan metakognisi (CQ drive),
kecerdasan kognisi (CQ Knowledge), kecerdasan motivasi (CQ Strategy), dan kecerdasan
perilaku (CQ Action). Koefisien reliabilitas untuk skala ini adalah 0,92. Skala ini memiliki empat
alternatif jawaban dengan penilaian dari ke-empat jawaban tersebut adalah dengan menilai 1
untuk Sangat Tidak Setuju (STS), menilai 2 pada Tidak Setuju (TS), menilai 3 pada Setuju (S),
dan menilai 4 pada Sangat Setuju (SS). Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, maka
mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat culture intelligence yang dimiliki oleh individu
tersebut begitu juga sebaliknya.
Blue Print Skala Kecerdasan Budaya
Aspek Indikator Nomor aitem Jumlah
CQ Drive 1. Memahami adanya 7 4
(kecerdasan perbedaan antar
metakognisi) budaya
2. Mampu 2,13
beradaptasi dengan
budaya yang berbeda
3. Berpikir kritis dan 10
akurat terkait dengan
budaya lain
CQ Knowledge 1, Memahami nilai- 6,15 4
(kecerdasan kognisi nilai kultur antar
budaya 1, 12
2, Memahami aturan
dalam bertingkah
laku
CQ Strategy 1, Mampu 3 5
(kecerdasan motivasi) berinteraksi dengan
budaya lain
2, Memiliki 5,9,14,17
keyakinan
berhadapan dengan
budaya lain
CQ Action 1, Menyesuaikan 4,8,11,16 4
(kecerdasan perilaku) gaya bicara antar
budaya 11, 16
2,Menyesuaikan
perilaku dalam situasi
antar budaya

3.8 Uji Reliabilitas dan Seleksi Aitem


Menurut Azwar (2015), reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil
ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Hal tersebut menandakan bahwa data
yang terkumpul berdasarkan alat ukur akan memiliki kesamaan dengan data faktual yang sesuai
dengan responden. Uji reliabilitas dalam penelitian ini akn dilakukan menggunakan perhitungan
koefisien Alfa Cronbach pada tiaptiap instrumen suatu variabel. Apabila nilai koefisien
reliabilitas alfa > 0,7 hal ini menandakan bahwa reliabilitas telah mencukupi (sufficient
reliability). Dalam mempermudah perhitungan, maka peneliti menggunakan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) 22.0 for windows. Menurut Azwar (2015), indeks daya
diskriminasi aitem adalah pola indikator konsistensi atau keselarasan antara fungsi dari tiap-tiap
butir dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi aitem total.
Pengujian daya diskriminasi aitem dilakukan menggunakan teknik Corrected Total Item
Correlation. Daya diskriminasi sebuah aitem akan semakin tinggi apabila didapatkan nilai
koefisien korelasi antara skor aitem dengan skor skala yang semakin tinggi yaitu semakin
mendekati 1,00. Sebaliknya, jika koefisien korelasi rendah yaitu mendekati nol, maka fungsi
aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya beda menjadi tidak baik. Jika
koefisien korelasinnya memiliki nilai negatif, maka terdapat cacat serius pada aitem tersebut.
Dalam mempermudah perhitungan, maka peneliti menggunakan program Statistical Product and
Service Solution (SPSS) 22.0 for windows.

3.9 Uji Asumsi


a. Uji Normalitas, uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah populasi data berdistribusi normal
atau tidak. Pengujian normalitas ini dengan menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov.
Data yang berdistribusi normal memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. 2)
b. Uji linearitas, uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas dan variabel
tergantung memiliki hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Apabila signifikansi
kurang dari 0,05, maka dua variabel dapat dikatakan linear.

4.0 Uji Hipotesis


a. Uji Korelasi
Uji korelasi dilakukan guna mengetahui apakah hipotesis yang diajukan penulis diterima atau
ditolak. Hipotesis untuk penelitian ini yaitu terdapat hubungan positif antara Kecerdesan Budaya
dengan Socialcultural adjustment
DAFTAR PUSTAKA

Bu, J., Furrer, O., & Lin, Y. (2015). Measuring cultural intelligence ( CQ ): A new test of the CQ
scale. https://doi.org/10.1177/1470595815606741

Culture, M., Di, S., Muhammadiyah, U., & Niam, E. K. (2009). Koping terhadap stres pada
mahasiswa luar jawa yang mengalami culture shock di universitas muhammadiyah
surakarta. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 11(1), 69–77.

Ghaniyy, A. Al, & Akmal, S. Z. (2018). Kecerdasan Budaya Dan Penyesuaian Diri Dalam
Konteks Sosial-Budaya Pada Mahasiswa Indonesia Yang Kuliah Di Luar Negeri. Jurnal
Psikologi Ulayat, 5(2), 123–137. https://doi.org/10.24854/jpu02018-179

Karroubi, M., Hadinejad, A., & Mahmoudzadeh, S. M. (2014). A study on relationship between
cultural intelligence and cross-cultural adjustment in tour management. Management
Science Letters, 4(6), 1233–1244. https://doi.org/10.5267/j.msl.2014.4.021

KENNEDY, C. W. and A. (1999). THE MEASUREMENT OF SOCIOCULTURAL


ADAPTATION. Int. J. Intercultural, 23(4), 659–677. https://doi.org/10.6041/j.issn.1000-
1298.2018.01.046

Kin, T., Wan, K., Wang, C., & Chan, W. (2017). International Journal of Intercultural Relations
Acculturation and cross-cultural adaptation : The moderating role of social support.
International Journal of Intercultural Relations, 59(April), 19–30.
https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2017.04.012

Lin, Y., Chen, A. S., & Song, Y. (2012). International Journal of Intercultural Relations Does
your intelligence help to survive in a foreign jungle ? The effects of cultural intelligence and
emotional intelligence on cross-cultural adjustment. International Journal of Intercultural
Relations, 36(4), 541–552. https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2012.03.001

Nunes, I. M., Felix, B., & Prates, L. A. (2017). Cultural intelligence , cross-cultural adaptation
and expatriate performance : a study with expatriates living in Brazil. Revista de
Administração. https://doi.org/10.1016/j.rausp.2017.05.010

Searle, W. (1990). THE PREDICTION OF PSYCHOLOGICAL AND SOCIOCULTURAL


ADJUSTMENT DURING CROSS-CULTURAL TRANSITIONS. 14, 449–464.
Soltani, B., & Keyvanara, M. (2013). Cultural Intelligence and Social Adaptability: A
Comparison between Iranian and Non-Iranian Dormitory Students of Isfahan University of
Medical Sciences. Materia Socio Medica, 25(1), 40.
https://doi.org/10.5455/msm.2013.25.40-43

Zlobina, A., Basabe, N., & Furnham, A. (2006). Sociocultural adjustment of immigrants :
Universal and group-specific predictors Sociocultural adjustment of immigrants : universal
and group-specific predictors. November 2017.
https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2005.07.005

Anda mungkin juga menyukai