Anda di halaman 1dari 18

KESATARAAN UPAH

BAGI PEKERJA PEREMPUAN


Oleh :
Ainun Azzahra Ghozi Daud A.
Angelina Mega P. Nisrina Putri
Embun Kirana A.S. Santo Yosef
D4 Relasi Industri
Politeknik Ketenagakerjaan

1. PENDAHULUAN
Peran aktif perempuan dalam kehidupan sosial maupun ekonomi telah dimulaisejak
dahulu. Banyak perempuan yang bekerja disektor informal dan formal maupun sebagai
ibu rumah tangga. Akibat adanya perkembangan paham liberalisme yang dikemukan
oleh Adam Smith mengenai “Laissez-fair, laissez-passer”, yang mengenai adanya
bentuk campur tangan politik yang berlebihan oleh pihak pemerintah terhadap industri
dan perdagangan, mengakibatkan terjadinya proses industrialisasi secara besar-besaran
di Inggris dan kemudian menyebar keseluruh dunia.
Penyebaran kebebasan salam dunia industri dan perdagang tersebut juga melanda
di Indonesia.Banyaknya Kaum Buruh perburuhan yang mengalami pergerseran
pekerjaan dari sektor informal menuju ke sektor formal. Sebagian besar pekerja
perempuan menjadi buruh-buruh di pabrik maupun di perusahan.
Peran Pekerja-Pekerja Perempuan dalam perusahan membuat banyak perusahan
mampu dapat berkembang dengan pesat. Dengan Ketekunan, Kerajinan dan ketelitan
bagi kaum pekerja wanita dalam melakukan pekerjaannya yang mampu memberikan
keuntungan yang cukup besar bagi hasil produksi di perusahan. Seiring dengan
perkembangan waktu, dalam kondisi yang terjadi lapangan bahwa ada ketimpangan
dalam sistem pengupahan bagi pekerja. Dalam hal ini, Upah yang diterima oleh Pekerja
Wanita relative lebih kecil dibandingkan dengan Pekerja Laki-laki dengan jumlah kerja
dan jenis pekerjaan yang sama.
Hal ini menjukkan adanya bentuk disriminasi kepada terhadap pekerja perempuan.
Diskriminasi bagi pekerja perempuan di tempat kerja menjadi suatu persoalan yang
wajib dibahas lebih dalam, karena pekerjaan merupakan satu hak dalam hidup yang
dimiliki oleh setiap individu termasuk juga Pekerja perempuan. Melalui pekerjaan

1
tersebut, bahwa pekerja perempuan berhak secara bebas dalam mengembangkan bakat
dan kemampuan yang dimilikinya serta memperoleh penghargaan sesuai dengan
peserta masing-masing. Karena pada dasarnya Kesetaraan Upah pekerja telah
dilindungi dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan
tentang “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.” Dalam hal ini, pemerintah wajib menjamin
adanya perlakuan yang adil terhadap semua para pekerja, baik dalam hal jenis
pekerjaan, penempatan jabatan dalam bekerja maupun dalam pemberian Upah.
Bahwa ketidakadilan yang dialami oleh pekerja perempuan telah dibahas oleh
Sudargo Gautama, menjelaskan bahwa ketidakadilan tampak dalam hubungan kerja
antara pihak pekerja perempuan dengan Pegusaha. Pembahasan dengan topik yang
serupa juga dikemukan oleh Agnes Widanti, menjelaskan bahwa pekerja juga dituntut
untuk menaati hukum yang berlaku di pabrik, tetapi banyak pengusaha yang melanggar
hukum yang berlaku dengan tidak memberikan hak-hak pekerja yang telah diatur dalam
Undang-Undang termasuk juga Pengupahan.
Makalah ini akan membahas tentang pemahaman Diskriminasi: Penyebab
terjadinya Diskriminasi Upah terhadap pekerja perempuan.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pekerja
Menurut Imam Soepomo, Pekerja adalah seseorang yang menjalankan
pekerjaan untuk majikan dalam hubungan kerja dengan menerima upah. Sedangkan
penjelasan senada juga dikemukan oleh G.Kartasapoetra bahwa yang dimaksud
dengan Pekerja adalah para tenaga kerja yang bekerja pada perusahan, dimana para
tenaga kerja harus tunduk kepada perintah atau peraturan kerja yang diadakan oleh
pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab atas lingkuangan pekerjaannya,
dimana tenaga kerja akan memperoleh upah atau jaminan hidup lainnya yang
wajar.Pengertian Pekerja menurut Undang-Undang No 13 tahun 2003 dimana
pekerja dimaksudkan sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.”

2.2. Upah dan Kesetaraan Upah

2
Para pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan kesepakatan
kerja terlebih dahulu, maka akan mendapatkan Upah. Istilah Upah dalam Undang-
Undang No 13 Tahun 2003 adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau
akan dilakukan.
Dalam Konvensi ILO Nomor 100 tahun 1951istilah upah mencakup upah atau
gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan lain apapun, yang
dibayar secara langsung maupun tak langsung, secara tunai maupundalam bentuk
barang oleh majikan kepada pekerja terkait atas pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja.
Menurut Edwin B.Fillipo, Defini Upah juga dapat diartikan sebagai harga untuk
jasa yang telah diberikan seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut
G.Kartasapoetra yang dimaksud dengan upah ialah pembayaran atau imbalan, yang
wujudnya dapat bermacam-macam yang dilakukan atau diberikan oleh seseorang
atau kelembagaan atau instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja dan prestasi
kerja atau pelayanan (servicing) yang telah dilakukannya. Selanjutnya menurut
Abas Kustandi yang dimaksud dengan Upah merupakan pengganti jasa yang telah
diserahkan atau dikerahkan oleh seseorang kepada pihak lain/pengusaha.
Menurut Konvensi International Labour Organisation (ILO) No.100 dan
Undang-Undang No. 80 tahun 1957 mengatur tentang Upah yang setara dan
Pengupahan bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama
Nilainya. . Namun menurut data hasil penelitian ILO telah terjadi kesenjangan upah
antar gender. Kesenjangan upah antar gender didefinisikan sebagai perbedaan rata-
rata penghasilan kotor antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Perbedaan
ini terjadi ketika pekerja laki-laki dan pekerja perempuan menerima gaji dalam
jumlah yang berbeda. Kesenjangan upah antar gender sebanyak 32% berarti berarti
bahwa pekerja perempuan berpenghasilan lebih rendah daripada kolega pekerja
laki-laki mereka. Secara sederhana, kesenjangan upah antar gender adalah
kesenjangan antara apa yang didapatkan oleh pekerja laki-laki dan apa yang
didapatkan oleh pekerja perempuan.

3
International Labour Organization (ILO) menemukan masih ada kesenjangan upah
antargender di Indonesia dengan selisih hingga 23,4% pada tahun 2019, perempuan
memperoleh upah rata-rata 55,4% dari upah laki-laki.Sedangkan Laki-laki
memperoleh upah rata-rata 83%, dengan faktor penunjanganya memiliki tingkat
pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, tetapi lebih dari sepertiganya
pekerja perempuan melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan
mengasuh, yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang
didominasi laki-laki.
Padahal upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan
kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan/ dikerahkannya (activities or efforts)
tanpa perlu dibeda-bedakan antara perkerja laki-laki maupun perempuan (G.
Kartasapoetra 1986:94). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hardijan Rusli
(2011:75) bahwa setiap pekerja/buruh terutama perempuan berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar
dengan memperhatikan prinsip kesetaraan.

2.3. Hukum Positif Perburuhan Internasional dan Indonesia


2.3.1. Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi
Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama
Nilainya
Konferensi mengusulkan setiap Anggota, berdasarkan ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 2 Konvensi ini, perlu menerapkan ketentuan-ketentuan berikut
ini dan memberikan laporannya kepada Kantor ILO sebagaimana yang
diminta oleh Badan Pimpinan mengenai tindakan-tindakan yang diambil
untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut:
1. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah berkonsultasi dengan
organisasi pekerja terkait atau, apabila organisasi ini tidak ada, dengan
pekerja terkait :
a. untuk menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja
laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya bagi
semua pegawai departemen atau lembaga Pemerintahan pusat, dan;
b. untuk mendorong penerapan prinsip bagi pegawai departemen atau
lembaga pemerintahan di tingkat pusat, provinsi maupun lokal,
4
dimana mereka mempunyai wewenang untuk menentukan tingkat
upah.
2. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah berkonsultasi dengan
organisasi pengusaha dan pekerja terkait, untuk menjamin, secepatnya
mungkin, penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya di semua jabatan, selain
dari yang telah disebutkan dalam Ayat 1, dimana tingkat upah
ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau control
publik, khususnya mengenai —
a. penetapan upah minimum atau upah lainnya di sektor industri dan
jasa dimana tingkat upah tersebut ditentukan oleh pejabat publik
yang berwenang;
b. industri dan perusahaan yang dioperasikan di bawah kepemilikan
atau kontrol publik; dan
c. bila mungkin, pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan kontrak
publik.
3. (1) Apabila sesuai dengan metode-metode pengoperasian untuk
menentukan tingkat upah, maka ketentuan harus dibuat melalui
penegakan hukum untuk penerapan umum dari prinsip kesetaraan upah
bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama
nilainya. (2) Pejabat publik yang berkompeten harus melakukan segala
tindakan yang diperlukan dan tepat untuk menjamin bahwa pengusaha
dan pekerja telah sepenuhnya diberitahu tentang persyaratan hukum
tersebut dan, bila mungkin, diberi nasehat tentang penerapannya.
4. Apabila setelah berkonsultasi dengan organisasi pekerja dan pengusaha
terkait, bila ada, tidak dianggap layak untuk segera melaksanakan
prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk
pekerjaan yang sama nilainya, sesuai dengan pekerjaan yang tercantum
dalam Ayat 1, 2 atau 3, maka ketentuan yang tepat harus dibuat atau
diupayakan untuk dibuat sesegera mungkin, untuk penerapannya secara
progresif, melalui tindakan-tindakan berikut ini:
a. mengurangi perbedaan antara tingkat upah untuk pekerja laki-laki
dengan tingkat upah bagi pekerja perempuan untuk pekerjaan yang
sama nilainya;
5
b. dimana berlaku sistem kenaikan upah, memberikan kenaikan upah
yang setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan yang melakukan
pekerjaan yang sama nilainya.
5. Bilamana mungkin untuk tujuan memfasilitasi penetapan tingkat atau
pemberian upah sesuai dengan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja
laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, setiap
Anggota, setelah disetujui oleh organisasi pengusaha dan pekerja
bersangkutan, harus menetapkan atau mendorong penetapan metode
untuk menilai secara objektif pekerjaan yang akan dilaksanakan, baik
melalui analisa kerja maupun melalui prosedur lain, untuk menyediakan
klasifikasi kerja tanpa memandang jenis kelamin; metode- metode ini
harus diterapkan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Pasal 2 Konvensi
ini.
6. Untuk memfasilitasi penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja
laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, tindakan
yang tepat harus dilakukan, bila mungkin, untuk meningkatkan efisiensi
produktif dari pekerja perempuan melalui tindakan-tindakan seperti:
a. memastikan bahwa pekerja dari kedua jenis kelamin mendapatkan
fasilitas yang setara atau sebanding untuk bimbingan pelatihan kerja
atau konseling kerja, untuk pelatihan dan penempatan kerja;
b. mengambil tindakan yang tepat untuk mendorong perempuan
menggunakan fasilitas untuk bimbingan pelatihan kerja atau
konseling kerja, pelatihan dan penempatan kerja;
c. menyediakan layanan sosial dan kesejahteraan yang dapat
memenuhi kebutuhan pekerja perempuan, khususnya mereka yang
memiliki tanggung jawab keluarga, dan Konvensi-konvensi ILO
tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja mendanai layanan-
layanan tersebut dari pendanaan masyarakat umum atau dari dana
jaminan sosial atau dana kesejahteraan industri yang berasal dari
pembayaran yang dilakukan oleh para pekerja tanpa memandang
jenis kelamin mereka; dan
d. kesetaraan di antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan
dalam memperoleh akses ke jabatan dan posisi tertentu tanpa
melanggar ketentuan- ketentuan perundang-undangan internasional
6
dan undang-undang dan peraturan nasional yang terkait dengan
upaya perlindungan kesehatan dan kesejahteraan bagi perempuan.
7. Setiap upaya perlu dilakukan untuk mempromosikan pemahaman
masyarakat tentang alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar
prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk
pekerjaan yang sama nilainya dapat dilaksanakan dengan baik.
2.3.2. Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 1984
Pasal 11 huruf (d) menyatakan : Hak untuk menerima upah yang sama,
termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama
sehubungan dengan pekerjaan yang sama dengan nilai yang sama maupun
persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan.
2.3.3. Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Pasal 3 menyatakan : Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh
mengadakan diskriminasi antara buruh perempuan dan buruh laki-laki untuk
pekerjaan yang sama nilainya.
2.3.4. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
Pasal 88 ayat (1) dan (2) menyatakan :
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh.

3. PEMBAHASAN
3.1.Diskriminasi
Pemahaman mengenai diskriminasi dapat dilihat dari luas lingkupnya. Dalam
lingkup luas secara umum, diskrimininasi adalah sebagai bentuk pelayanan yang
tidak adil terhadap individu tertentu. Pelayanan ini dibuat berdasarkan karakteristik
yang diwakili oleh individu tersebut.Seperti ketika seseorang mengalami
ketidakadilan atau pembedaan perlakuan yang didasarkan pada karakteristik
gender, ras, agama atau aliran politik tertentu, amaka dapat dikatakan ia telah
7
mengalami diskriminasi. Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang luas ini
menjelaskan bahwa pembedaan perlakuan tersebut dapat dialami oleh siapa pun
tanpa melihat jenis kelaminnya baik laki-laki atau perempuan.
Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang lebih sempit, dapat dilihat dalam
Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan/CEDAW yang menentukan bahwa diskriminasi adalah, setiap
pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang
memepunyai pengaruh atas tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun
lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar
persamaaan antara laki-laki dan perempuan.
Dari batasan Pasal 1 tersebut diatas, jelas ada penyempitan lingkup berlakunya
diskriminasi, yaitu pembedaan yang dialami hanya oleh perempuan karena jenis
kelaminnya. Secara khusus konvensi ini melarang berbagai bentuk diskriminasi
terhadap perempuan dalam hal penikmatan atas hak social, politik, budaya, sipil
dan hak ekonomi, termasuk disini melarang dikriminasi dalam hal pemberian upah
ditempat kerja. Sebagai tindak lanjut dari konvensi ini, melalui Undang-Undang
No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 7
Tahun 1984 ini, Indonesia menjadi terikat untuk melaksanakan/ menjabarkan apa
yang diterapkan dalam konvensi ini ke dalam berbagai peraturan yang berlaku di
Indonesia termasuk dalam bidang ketenagakerjaan.

3.2.Kesetaraan upah untuk pekerjaan yang setara nilainya (upah yang adil)
Pada prinsipnya kesetaran upah bagi laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan
yang setara nilainya mengacu pada tarif upah yang ditetapkan tanpa diskriminasi,
tapi hanya berdasarkan sifat dan beban pekerjaan secara aktual.Untuk menilai
pekerjaan itu, maka perlu diadakan evaluasi pekerjaan yang menilai tugas. Maka
penilaian-penilain yang perlu dilakukan meliputi:
1. Keterampilan dan kualifikasi yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan
pengalaman kerja;
2. Tugas dan tanggung jawab dalam hal pemakaian teknologi, atau menangani
masyarakat atau sumber keuangan;
8
3. Upaya fisik, mental dan psikososial yang diperlukan untuk melakukan
pekerjaan tersebut;
4. Kondisi kerja (secara fisik, psikologis dan sosial sosial).
Kesetaraan upah untuk pekerjaan yang setara nilainya tidak hanya berlaku pada
gaji pokok atau upah minimum, tapi juga tunjangan atau honor tambahan yang
terkait pekerjaan pekerja dan dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja. Misalnya:
a. Tunjangan keluarga dan perumahan, tunjangan perjalanan dan uang makan;
b. Bonus
c. Skema pensiun atau layanan kesehatan khusus
d. Semua pembayaran langsung atau tak langsung, baik dalam bentuk uang
tunai maupun sejenisnya
Prinsip ini telah ditetapkan didalam Konvensi ILO no. 100 tahun 1951 tentang
Upah yang Adil, dan selanjutnya dimasukkan dalam Konvensi ILO no. 111 tahun
1958 tentang Diskriminasi (dalam hal Pekerjaan dan Jabatan).
3.3.Penyebab Adanya Diskriminasi Upah Terhadap Pekerja Perempuan
Fakktor-faktor terjadinya penerapan pengupahan yang diskriminatif terhadap
pekerja perempuan dan laki-laki, diantaranya :
1. Budaya patriarki
Penentuan perbedaan kebijakan pengupahan antara pekerja perempuan
dibandingkan pekerja laki-laki sebenarnya telah terpengaruh oleh Budaya
Patriarki yang dianut oleh sebagian daerah dan masyarakat Indonesia.
Bahwa Patriarki ialah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki
sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran
kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Budaya Patriarki adalah sebagai sesuatu yang berkaitan dengan sistem
sosial dimana pria/ayah menguasai seluruh anggota keluarganya, harta
milik, segala sumber ekonomi serta pembuat semua keputusan penting dan
sejalan dengan sistem sosial tersebut adalah pria diposisikan lebih tinggi
dari perempuan. Budaya ini tidak jarang bersumber dari nilai-nilai sakral
keagamaan dan budaya komunitas, dan berkembang dan disosialisasikan
melalui pendidikan dalam keluarga di rumah.
Budaya ini berdampak pada anggapan terhadap status laki-laki yang
memikul tanggung jawab besar dalam keluarga dan karenanya harus diberi
kedudukan lebih tinggi atau istimewa dibandingkan perempuan dalam hal
9
ini adalah pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan. Sehingga,
memunculkan berbagai bentuk pembedaan/diskriminasi.
Tragisnya perempuan yang bekerja kadang dianggap bahwa dia bekerja
hanya sekedar untuk membantu suami sebagai pencari nafkah utama dalam
keluarga.Dalam beberapa kasus terungkap pada umumnya pengusaha yang
diteliti menyatakan bahwa perempuan tidak berkedudukan sebagai kepala
rumah tangga. Konsekuensinya perempuan tidak mempunyai kewajiban
untuk membiayai rumah tangganya.Jadi kehadiran anak dalam rumah
tangga pembiayaannya merupaka tanggung jawab suaminya.Bahwa Akibat
dari pandangan demikian, si pengusaha memutuskan menerapkan
pemberian tunjangan yang berbeda antara pekerja laki-laki dengan pekerja
perempuan.Hal ini tentu merugikan bagi pihak pekerja perempuan, terlebih
apabila keluarga tersebut istri telah mengambil alih kewajiban suami
sebagai pencari nafkah utama. Kondisi ini sering terjadi, dikarena seorang
perempuan dianggap bukan pencari nafkah utama, maka ia tidak diberikan
tunjangan sebagaimana pekerja laki-laki.

2. Penyalahgunaan kodrat perempuan


Alasan lain yang sering dijadikan alasan dasar untuk
mengdiskriminasikan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan adalah
terutama bagi pekerja perempuan yang sudah menikah dan berprofesi
sebagai pekerja akan lebih banyak mengambil cuti dibandingkan pekerja
laki-laki. Rasionya karena perempuan yang sudah menikah seketika akan
hamil, melahirkan dan menyusui. Hal ini akan menyebabkan pekerja
perempuan lebih banyak mengambil cuti dari pada pekerja laki-laki.
Kondisi demikian menurut pandangan dari pengusaha cenderung tidak
efisien dan dinilai sangat merugikan perusahaan dalam menjalankan proses
produksi. Selain itu kodrat yang telah disandang perempuan untuk hamil,
melahirkan dan menyusui tersebut kadang dianggap sebagai bukti otentik
untuk mengukuhkan pandangan bahwa tugas perempuan adalah hanya
mengurus masalah rumah tangga saja.

3. Ketidakseimbangan posisi tawar kerja pekerja perempuan

10
Antara pengusaha dan pekerja biasanya terjadi ketidakseimbangan
posisi ekonomi. Pengusaha biasanya berada pada posisi ekonomi kuat
sementara pekerja berada pada posisi sebaliknya. Kondisi ini
menyuebabkan ketidakseimbangan posisi tawar antara pengusaha dengan
pekerjanya, karena di satu sisi pekerja memerlukan biaya untuk hidupnya
dan keluarganya, sementara pengusaha merupakan pihak yang diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan tersebut melalui upah yang diberikan pada
pekerja.
Dalam kondisi seperti ini tidak mustahil jumlah angkatan kerja yang
tersedia pun menjadi lebih besar. Sayangnya besarnya jumlah angkatan
kerja perempuan ini tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang
tersedia.
Selain itu juga faktor pendidikan pekerja perempuan juga berpengaruh
terhadap posisi tawar perempuan. Di Indonesia, masih terdapat kesenjangan
tingkat pendidikan formal bagi laki-laki dan perempuan.
Akibatnya posisi tawar seorang pekerja perempuan menjadi lebih
rendah dibanding pekerja laki-laki. Apalagi diperparah dengan anggapan
pengusaha bahwa pekerja perempuan lebih banyak mengambil cuti
sehubungan dengan kodratnya sebagai perempuan dan anggapan bahwa
perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga. Hal ini menyebabkan
pekerja perempuan menjadi semakin lemah kedudukannya dibanding
dengan pengusaha.
.
4. Kepentingan Penguasaha
Namun dalam hal ini seolah-olah penguasaha mengalami dilema untuk
menegakkan berbagai ketentuan perundangan-undangan ketenagakerjaan,
terutama bidang pengupahan yang berkeadilan sesuai jenis kelamin.
Pengusaha yang melanggar ketentuan tidak pernah mendapat sanksi dari
Pemertintah yang berwenang. Hal ini dapat dipahami karena dalam
pelaksanaanya masih banyak oknum dari pihak yang berwenang berperan
sebagai pelindung.
Berkaitan dnegan pemberian upah undang-undang telah mengatur
tentang sanksi bagi pengusaha yang melakukan diskriminasi upah. Hal ini
dapat dilihat pada Pasal 31 PP No 8 Tahun 1981 yang mengatur bahwa
11
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3 PP No 8 Tahun 1981 tentang
larangan diskriminasi upah terhadap pekerja laki-laki dan perempuan dapat
dikenai sanksi pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Demikian pula
pasal 190 UU No 13 Tahun 2003 ditegaskan bahwa bagi pengusaha yang
melanggar ketentuan Pasal 5 dan 6 tentang adanya larangan diskriminasi
bagi pekerja dapat dikenai sanksi administratif sebagai berikut:
a. teguran
b. peringatan tertulis
c. pembatasan kegiatan usaha
d. pembekuan kegiatan usaha
e. pembatalan persetujuan
f. pembatalan pendaftaran
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi
h. pencabutan ijin.
Namun adanya kepentingan penguasaha, maka sanksi-sanksi tersebut
seolah-olah hanya berfungsi sebagai hiasan dalam undang-undang, karena
tidak pernah dilaksanakan atau ditegakkan.
Di sisi lain, berkaitan dengan sumber dana Daerah maupun Negara,
pengusaha merupakan pemasok terbesar baik dari segi pajak maupun dana
tak terduga lainnya. Faktanya dalam setiap kesempatan pengusaha seolah-
olah berperan sebagai bank tidak resmi yang “multifungsi” bagi penguasa.
Di sisi lain, pengusaha juga menikmati fasilitas atas ke-“multifungsi”-annya
terhadap penguasannya. Akibatnya pekerja, terutama pekerja perempuan
sebagai pihak terlemah diantara pengusaha. Adanya kepentingan
penguasaha ini tentu saja akan memberikan pertimbangan tersendiri bagi
pihak yang terkait untuk menjatuhkan sanksi pada pengusaha.

5. Ketidaktahuan berlakunya suatu hukum


Di Indonesia asas ini hanya berlaku bagi para pelaku hukum saja. Selain
itu, masyarakat kurang memperdulikannya.Sehingga ketika hak dan
kewajibannya tidak terpenuhi, maka mereka tidak tahu bagaimana prosedur
yang tepat untuk menyelesaikannya. Harusnya, ketentuan hukum sebagai
dasar pemberian upah terutama yang berkaitan dengan perlindungan pekerja
12
perempuan terhadap diskriminasi upah.Perlu diketahui oleh pengusaha
maupun para pekerja, sehingga benar-benar dipahami dalam sistem
pengupahan yang berbasiskan pada keadilan jenis kelamin.

3.4.Kajian Sudut Pandang Hukum Atas Pengupahan Yang Diskriminatif


Hukum dibuat untuk dilaksanakan.Hukum tidak dapat lagi disebut hukum,
apabila hukum tersebut tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat
disebut konsisten dengan memiliki pengertian bahwa hukum sebagai sesuatu yang
harus dilaksanakan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto
Rahardjo ini, bahwa Hukum merupakan suatu keharusan bahwa segala peraturan
yang telah dibuat harus diwujudnyatakan. Dari sinilah, diperlukan Peran Negara
sebagai Penegak hukum yang terdiri dari berbagai elemen-elemen kelembagaan
diantaranya Pengadilan, Kejakasaan, Kepolisian, Permasyarakatan, dan juga Badan
Peraturan Perundang-Undangan. Dengan adanya penegak hukum, janji-janji serta
kehendak yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum dapat diwujudkan.
Dengan adanya para penegak hukum maka praktek diskriminasi upah antara
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang terjadi di masyarakat seharusnya
tidak boleh lagi terjadi. Apalagi setelah diadopsinya Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW oleh Negara melalui Undang-
Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Secara khusus dalam Pasal 11
huruf (d) konvensi ini memberikan hak kepada perempuan untuk menerima upah
yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama
sehubungan dengan pekerjaan yang sama dengan nilai yang sama maupun
persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan.
Tidak hanya Konvensi CEDAW, terdapat pula konvensi atau ketentuan yang
bersifat internasional yang memuat tentang Diskriminasi yakni, Konvensi ILO No
100 Tahun 1951 Tentang Kestaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki dan Perempuan
Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya.
Konvensi ILO ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada 11 Mei 1957 dengan
Undang-Undang No.80 Tahun 1957. Itu artinya, setelah diratifikasi Undang-
Undang tersebut dinyatakan berlaku, dan sudah merupakan kewajiban dari Negara
untuk melaksanakan perannya. Dalam konvensi ini telah ditetapkan bahwa Negara

13
perlu menerapkan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini dan memberikan
laporannya kepada Kantor perwakilan ILO di Indonesia.
Secara garis besar, dalam Kovensi ILO No.100 ditentukan bagaimana
seharusnya peran Negara dalam mewujudkan kesetaraan upah pekerja laki-laki dan
pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, yaitu:
a. Negara menjamin menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah dengan
mengadakan koordinasi dengan lembaga terkait dan sedemikian rupa dibuat
hukumnya;
b. Negara menjamin bahwa pengusaha dan pekerja telah sepenuhnya diberitahu
tentang persyaratan hukum tersebut dan diberi nasehat tentang penerapannya;
c. Negara mempromosikan pemahaman masyarakat tentang alasan-alasan yang
harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki- laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dapat dilaksanakan dengan
baik.
Dalam ketentuan hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan kesetaraan
upah juga diatur dalam Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan
No. 13 Tahun 2003. Dalam ayatnya yang pertama dinyatakan bahwa setiap pekerja
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, dilanjutkan pada ayat berikutnya bahwa untuk mewujudkan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan
pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
Dengan demikian dari beberapa ketentuan yang telah mengatur terdapat hak
dasar pekerja perempuan yang bagi negara harus mutlak melindunginya. Hak yang
dimaksud ialah hak akan upah setara untuk pekerjaan yang sama. Pemenuhan hak
upah ini bukanlah suatu hal yang mustahil dipenuhi, sebab sampai saat ini telah
banyak aturan hukum yang digunakan sebagai dasarnya. Mulai dari Pasal 11
CEDAW yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah
Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya
yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.80 Tahun 1957, Pasal 88 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, hingga Pasal 38

14
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun dapat
digunakan sebagai rujukannya.
Meskipun demikian, pelaksanaan akan ketentuan hukum yang telah dibuat
belum sepenuhnya dapat terlaksana sampai saat ini. Menurut hasil penelitian
International Labour Organization (ILO) menemukan masih ada kesenjangan upah
antargender di Indonesia dengan selisih hingga 23,4% pada tahun 2019, perempuan
memperoleh upah rata-rata 55,4% dari upah laki-laki.Sedangkan Laki-laki
memperoleh upah rata-rata 83%, dengan faktor penunjanganya memiliki tingkat
pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, tetapi lebih dari sepertiganya
pekerja perempuan melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan
mengasuh, yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang
didominasi laki-laki.Padahal upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya
sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan/ dikerahkannya
(activities or efforts) tanpa perlu dibeda-bedakan antara perkerja laki-laki maupun
perempuan. Setiap pekerja terutama perempuan berhak memperoleh penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu mampu
memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar dengan
memperhatikan prinsip kesetaraan.

3.5.Tindakan-Tindakan terhadap Diskriminasi Upah berdasarkan Gender


Terdapat 2 jenis bentuk kesetaraan, meliputi :
1. Kesetaraan protektif (Pada awal abad ke 20) :
a. Perempuan dianggap lebih rentan ketimbang laki-laki dan butuh
perlindungan khusus.
b. Konvensi ILO pertama melarang perempuan bekerja di malam hari, di
bawah tanah dan menangani zat-zat berbahaya.
c. Namun pendapat proteksionis tersebut kemudian dicabut, karena hal ini
menghambat perempuan dalam memperoleh akses yang setara ke
pekerjaan.

2. Kesetaraan dalam UU (Pada Pertengahan abad ke 20)


a. Kesetaraan gender diakui sebagai hak asasi manusia dalam Deklarasi
Universal tentang HAM (1948).

15
b. Penekanan dalam standar-standar ILO diubah agar menghapus hambatan
dalam pekerjaan perempuan, misalnya dengan mencabut ketentuan-
ketentuan diskriminatif dalam UU nasional.
c. Di beberapa negara, kesetaraan dalam UU dipahami sebagai kesetaraan
formal, yaitu memperlakukan laki-laki dan perempuan dengan cara yang
sama tanpa memandang perbedaan biologis dan sosial mereka.
d. Dikarenakan kurangnya perspektif gender, kesetaraan dalam UU tidak
menyediakan perlindungan yang efektif untuk hak-hak perempuan.

3. Kesetaraan hasil (kesetaraan substantif) (Pada awal 1980 sd sekarang )


a. Penghapusan hambatan hukum terhadap kesetaraan perempuan dalam pasar
tenagakerja tidak cukup untuk mewujudkan kesetaraan hasil pekerjaan.
b. Penekanan dialihkan dengan mengambil tindakan afirmatif untuk
mengatasi dampak diskriminasi di masa lalu dan mempromosikan
kesempatan dan perlakuan yang adil di pasar tenaga kerja.
c. Pengutamaan gender dan pemerdayaan perempuan telah menjadi strategi
global yang utama dalam mempromosikan kesetaraan gender.
Dua jenis tindakan khusus umumnya diperlukan untuk mencapai
kesetaraan gender: Tindakan protektif dan tindakan afirmatif. Maka tindakan-
tindakan yang dilakukan antara lain:
1. Tindakan protektif yaitu : Tindakan untuk melindungi kapasitas
reproduktif dan persalinan perempuan, meliputi :
a. Memberikan perlindungan persalinan, kondisi khusus pekerjaan
untuk perempuan hamil dan ibu menyusui.
b. Perlunya adanya tindakan-tindakan ini nyaris dapat diterima
secara universal, namun di berbagai negara, kebijakan yang
efektif masih kurang
Serta Tindakan untuk melindungi perempuan karena anggapan
tentang kerentanan mereka dan "perlunya diberikan perlindungan"
berupa perlindungan pekerja perempuan bekerja di malam hari.

2. Tindakan afirmatif (tindakan positif), meliputi :


Perlu adanya tindakan secara khusus yang dirancang untuk
mengatasi dampak diskriminasi di masa lalu atau yang masih terjadi
16
saat ini.Misalnya target, sasaran dan kuota untuk berpartisipasi yang
merasa dirugikan atau kurang terwakilkan.

4. KESIMPULAN
Citra perempuan di mata masyarakat tidak terlepas dari peranan wanita sendiri
dalam kehidupan kesehariannya. Seringkali wanita menanggung beban baik fisik,
maupun mental. Tuntutan jaman industrial telah memaksa wanita ikut bekerja di
pabrik-pabrik. Bahkan mereka lebih disenangi dari pada buruh laki-laki. Sebab wanita
lebih menurut, sabar, takut, dan diberi upah yang diskriminatif, tidak setara. Adanya
pemberian upah yang diskriminatif bagi pekerja perempuan ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu: masih tumbuh suburnya budaya patriarkhi yang dianut sebagian
besar masyarakat, konstruksi masyarakat perihal kodrat perempuan yang
disalahgunakan, ketidakseimbangan posisi ekonomi, adanya kepentingan penguasa,
dan ketidaktahuan berlakunya suatu hukum.
Dalam hal ini fungsi Negara untuk memberikan pelindungan melalui berbagai
pengaturan telah berjalan. Berbagai Konvensi Internasional mengenai kesetaraan upah
pekerja dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), serta Undang-
undang Ketenagakerjaan sebenarnya sudah mengatur adanya kesetaran upah bagi
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Meskipun telah ada pengaturan maupun sanksi yang telah ditentukan, tidak serta merta
ketimpangan tersebut dapat teratasi. Dalam pelaksanaan di lapangan, upaya Negara
untuk menekan adanya tidakan pemberian upah yang diskriminatif belum terwujud.
Hak warganya (khususnya perempuan) untuk mendapatkan upah yang setara tidak
didapatkan sepenuhnya.
Oleh karena dalam praktik dilapangan masih menimbulkan ketimpangan, hukum
yang telah dibuat harus dijalankan sebagaimana mestinya. Negara dituntut untuk lebih
berperan dalam menekan pemberian upah diskriminatif terhadap pekerja perempuan.
Dalam hal ini Negara harus benar-benar menjalankan perannya sesuai dengan
ketentuan perundangan yang telah dibuatnya, terutama karena Negara telah
menundukkan diri terhadap ketentuan internasional dengan meratifikasi ketentuan
tersebut. Negara perlu mengadakan koordinasi yang baik dengan lembaga dibawahnya
untuk melakukan sosialisasi hukum kepada masyarakat. Dengan adanya sosialisasi
mengenai bangaimana persyaratan hukum itu mengatur, dapat diharapkan para
pengusaha menjadi lebih tahu dan memahami apa kewajibannya dan pekerja telah
17
sepenuhnya tahu tentang hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. Selain itu, Negara perlu
berperan untuk mempromosikan pemahaman masyarakat tentang alasan-alasan yang
harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki- laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dapat dilaksanakan dengan baik.
Dengan demikian, peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dapat terlaksana.
Dapat membawa masyarakat yang ada menjadi masyarakat yang lebih baik.

5. DAFTAR PUSTAKA
5.1.Buku-Buku :
Kartasapoetra, G. 1986. Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Penerbit
Angkasa: Bandung
Kustandi, Abas. 1995. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Alumni:
Bandung.
Rahardjo, Satjipto.2009. Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta
Publishing: Yogyakarta
Rusli, Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan . Ghalia Indonesia: Bogor
Soedijana. 2012. Ekonomi Pembangunan Indonesia, Penerbit Universitas Atma
Jaya Yogyakarta: Yogyakarta
Soepomo,Iman. 1976. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Rineka
Cipta : Jakarta

5.2.Peraturan Perundang-Undangan
Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-
Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya
Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 1984
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

18

Anda mungkin juga menyukai