Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBIN (IKTERUS)

A. DEFINISI
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang
kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3
– 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar billirubinemia mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 1997).
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva, mukosa
dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).

B. KLASIFIKASI
Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis
( Ngastiyah,1997).
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus
yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu
nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah,
1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan
dengan keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia
dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila:
 Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
 Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
 Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan
dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
 Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G6PD dan sepsis).
 Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi,
hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.

2. Ikterus Patologis/ Hiperbilirubinemia


Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan,
dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15
mg%.
3. Kern Ikterus.
Suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus,
nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%)
dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak
bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf
simpatis yang terjadi secara kronik.
C. ETIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan
sebagai berikut
1. Polychetemia
2. Isoimmun Hemolytic Disease
3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)
5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Cephalhematoma
7. Ecchymosis
8. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu
(atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia,
hipotiroid jaundice ASI
9. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan
albumin; lahir prematur, asidosis.

Rumus Kramer

Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin

1 Kepala dan Leher 5 mg%

2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg%

3 Daerah 1, 2 + badan bagian bawah dan 11 mg%


tungkai

4 Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki dibawah 12 mg%


lutut

5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg%

D. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan
masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin
{protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi
bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber
lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan
protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau
dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi
enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya
penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra
hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan
jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat
indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak
apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia,
hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma
atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan
Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh.
Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan
hipoglikemia (AH Markum, 1991).
Pathway Hiperbilirubin
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak
pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai
hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk)
kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti
dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.

F. KOMPLIKASI
 Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
 Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hiperaktif,
bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang melengking.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari
14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan
yang tidak fisiologis.
b. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c. Protein serum total.
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan
atresia billiari.

H. PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya
sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana
dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam
empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan Data
a. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah
sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari dokter
maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak denagn penderiata sakit
kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan
atau transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu
menderita DM.
b. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
c. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia .
e. Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien: 
- Aktivitas / istirahat : Latergi, malas 
- Sirkulasi  : Mungkin pucat, menandakan anemia. 
- Eliminasi  : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin lambat, Feses
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine gelap pekat, hitam
kecoklatan ( sindrom bayi bronze )
- Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih mungkin
disusui dari pada menyusu botol,Palpasi abdomen dapat menunjukkan
perbesaran limfa, hepar. 
- Neurosensori  : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan
inkompatibilitas Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung
punggung,menangislirih, aktivitas kejang (tahap krisis). 
- Pernafasan  : Riwayat afiksia 
- Keamanan  : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik pada
awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit
hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi. 
- Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik, riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya, penyakithepar,distrasias
darah (defisit glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu, mencerna
obat-obat (misal: salisilat), inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang
intrapartum, misal: persalinan pratern. 
f. Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat
pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh
(clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati
(tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa
(splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput
lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus,
reflek menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan
melengking
g. Pemeriksaan Diagnostik 
- Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi inkompatibilitas ABO. 
- Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL kadar
indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam, atau tidak
boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi
pratern. 
- Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis. 
- Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan
bilirubin serum. 
Analisa Data
a. Data Subjektif 
- Riwayat afiksia
- Riwayat trauma lahir 
b. Data Objektif 
Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh. 
- Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi 
- Hepatosplenomegali. 
- Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang 
- Urine gelap pekat 
- Bilirubin total: 
- Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL 
- Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL pada bayi cukup bulan
atau 15 mg/dL pada bayi pratern. 
- Protein serum total: < 3,0 g/dL 
- Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh. 

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder
fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi)
berhubungan dengan tranfusi tukar.
8. PK : Kern Ikterus

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta
peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi defisit volume cairan
Kriteria hasil :
- Jumlah intake dan output seimbang
- Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
- Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi dan Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda
dehidrasi )
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).

2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi


Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi hipertermi
Kriteria hasil : suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan Rasional :
a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres
dingin serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi)

3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,


efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil :
- tidak terjadi decubitus
- Kulit bersih dan lembab
Intervensi dan rasional :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
c. Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah
tersebut ).
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah lecet )
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun
menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )

4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan


perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat
mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi dan rasional :
a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
b. Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi beban psikis orangtua)

5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada


bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif
dalamperawatan.
Intervensi dan rasional :
a. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)

6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi


Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi injury akibat fototerapi (misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan
kornea)
Intervensi dan rasional :
a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah
genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya
usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif)
c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis
tiap 8 jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata)
d. Buka penutup mata setiap akan disusukan.
(R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu)
e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
(R : memberi rasa aman pada bayi)

7. Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan
tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi dan rasional :
a. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
(R : menjamin keadekuatan akses vaskuler)
b. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan
(R : mencegah trauma pada vena umbilical)
c. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan
(R: mencegah aspirasi)
d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur
( R : mencegah hipotermi)
e. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan
adalah darah segar
( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0
f. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit,
kejang
selama dan sesudah tranfusi
(R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat melakukan
tindakan lebih dini)
g. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif
(R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan)

8. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan meningkatnya kadar bilirubin


toksik dan komplikasi berkenaan fototerapi.
Tujuan : Klien tidak menunjukan gejala sisa neurologis dan berlanjutnya
komplikasi phototerapi.
Intervensi dan rasional :
a. Identifikasi adanya tanda-tanda faktor resiko :
- Bruising
- Sepsis
- Delayed ord clamping
- Ibu dengan DM
- Rh, ABO antagonis
- Pletora
- SGA
b. Kaji BBL terhadap adanya hiperbilirubinemia setia 2-4 jam lima hari pertama
kehidupan
Rasional: BBL sangat rentan terhadap hiperbilirubinemia.
c. Perhatikan dan dokumentasikan warna kulit dari kepala, sclera dan tubuh
secara progresif terhadap ikterik setiap pergantian shift
Rasional: Mengetahui addanya hiperbilirubinemi secara dini sehingga dapat
dilakukan tindakan penanganan segera.
d. Monitor kadar bilirubin dan kolaborasi bila ada peningkatan kadar
Rasional: Peningkatan kadar bilirubin yang tinggi
e. Monittor kadar Hb, Hct ata adanya penurunan
Rasional: Adanya penurunan Hb, Hct menunjukan adanya hemolitik
f. Monitor retikulosit, kolaborasi bila ada peningkatan
g. Berikan phototerapi
Rasional: fototerapi berfungsi mendekomposisikan bilirubin dengan photo
isomernya. Selama fototerapi perlu diperhatikan adanya komplikasi seperti
hipertermi, konjungtivitis, dan dehidrasi
DAFTAR PUSTAKA

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter
Pratama. Jakarta.

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.

Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan


Maternal / Bayi. EGC. Jakarta

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter
Pratama. Jakarta.

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.

Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan


Maternal / Bayi. EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai