Anda di halaman 1dari 10

Sejarah ditulis atas kepemimpinan yang menang.

Namun esensi dari seorang

pemimpin bukan hanya soal kemenangan yang ia raih. Tapi kebermanfaatan dan

kesejahteraan yang timbul dari kemenangan yang ia raih tersebut. Ketika menjadi

pemimpin, begitu banyak pilihan dan hal yang dapat dilakukan atas nama

kekuasaan. Termasuk metode yang digunakan dan visi yang hendak dicapai.

Tentang konsep kepemimpinan, terdapat banyak literasi yang intinya membahas

tentang bagaimana seorang menjadi pemimpin yang baik dan sukses. Banyak pula

buku yang membahas tentang para pemimpin yang berhasil menciptakan

perubahan di tangannya. Namun, sebagai muslim hendaknya kita sudah paham

bahwa memimpin bukanlah kesempatan untuk berkuasa, melainkan amanah besar

dan kewajiban melayani. Maka konsep dan landasan yang digunakan pula harus

mengandung nilai-nilai ajaran Islam.

Kepemimpinan profetik merupakan konsep kepemimpinan ala Nabi. Kini konsep

kepemimpinan ini telah gencar dikaji oleh ilmuwan barat. Salah satu yang ramai

dikampanyekan adalah kepemimpinan transformasional (transformational

leadership).

Kepemimpinan profetik dapat disebut sebagai konsep kepemimpinan terbaik. Di

samping karena menggunakan landasan tauhid, kepemimpinan profetik memiliki

cakupan dan instrumen yang lebih luas dan komprehensif dibanding konsep-

konsep kepemimpinan lainnya. Karakteristik utama seorang pemimpin profetik

adalah mampu menjaga harmonisasi hubungan antara Allah, manusia, dan alam.

Tulisan ini akan membahas tentang kepemimpinan profetik ala Rasulullah saw.
Sejak diturunkannya wahyu kepada Muhammad melalui malaikat Jibril pertama

kali di Gua Hira, beliau resmi diangkat menjadi Rasul dan mengemban amanah

berat menyampaikan wahyu Allah swt kepada umat manusia. Sebagaimana

diriwayatkan dalam sirah-sirah nabawiyah, bukan pekerjaan yang mudah bagi

Rasulullah untuk meyakinkan kepada manusia di zaman itu untuk meninggalkan

kehidupan jahiliyah. Namun pada akhirnya, setelah proses panjang dengan

kesabaran yang tinggi, Rasulullah berhasil meraih ‘kemenangan’ itu.

Terdapat empat misi khas Rasulullah sebagai seorang pemimpin dan penyampai

wahyu saat itu, yaitu membacakan tanda-tanda, membentuk jiwa, mengajarkan

pengetahuan dan kearifan, dan melahirkan tatanan/peradaban. Secara ringkas,

keempat misi tersebut dijabarkan sebagai berikut.

1. Membacakan tanda-tanda

Tugas pemimpin adalah menyampaikan konsepsi-konsepsi yang diambil dari Al-

Quran dengan bahasa yang mampu diterima oleh segenap manusia yang

dipimpinnya (sesuai dengan bahasa kaumnya). Agar mampu menyampaikan

konsepsi-konsepsi tersebut, pemimpin harus mampu memahami isi Al-Quran dan

membaca tanda-tanda di alam/dunia. Dengan kata lain, ia mampu memahami ayat

kauliah, yaitu firman-firman Allah dalam Al-Quran dan tanda-tanda yang terjadi

di alam/dunia, yang merupakan kebesaran Allah. Pemimpin yang tidak mampu

membaca tanda-tanda tersebut, maka tidak akan mampu membaca tanda-tanda

yang lain.
Pemimpin sejatinya juga adalah futurolog, yaitu orang yang mampu memprediksi

trend masa depan. Ia memposisikan dirinya sebagai bagian dari kekuatan yang

membangkitkan dan membentuk masa depan (generative force) di mana pribadi

dan kehidupan pemimpin profetik menjadi sumber aliran kehidupan masa depan.

Maka dari itu, ia tentunya harus mampu membaca tanda-tanda yang terdapat

di Al-Quran maupun alam/dunia tempat ia hidup.

2. Membentuk jiwa

Menjadi pemimpin bukanlah tanggung jawab kecil. Ia butuh pengorbanan dan

perjuangan. Pengorbanan dan perjuangan yang lahir dari jiwa-jiwa yang kotor

tentunya tidak akan menghasilkan kemenangan yang abadi. Dengan demikian,

sebelum bersiap menjadi pemimpin, seorang manusia perlu rutin membersihkan

jiwanya dengan ibadah-ibadah. Namun ibadah tidak serta merta harus berbentuk

dalam ritual-ritual wajib tertentu. Pembersihan jiwa yang dilakukan harus

disesuaikan dengan apa yang mau disucikan. Jika pemikiran, sucikan dengan

ilmu. Jika ekonomi, bersihkan dengan pekerjaan. Jika moralitas (akhlaq)

bersihkan dengan perilaku luhur.

Pemimpin yang jiwanya telah terbentuk memiliki hubungan yang harmonis

dengan Allah, manusia lainnya, dan alam. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan

dan pertumbuhan dalam dirinya. Ia mengalami penyesuaian dan pertumbuhan dari

segi kuantitatif yang tampak pada fisiknya dan kualitatif yang tampak pada

kematangan karakter, emosi, kognitif, bahasa (berinteraksi, berkomunikasi), dan

moralnya.

3. Mengajarkan pengetahuan dan kearifan


Pemimpin profetik harus mengajarkan Al-Quran untuk menjadi pedoman dan

jalan hidup (way of life), serta mengaktifkan kembali fitrah atau nurani kepada

para pengikut dan masyarakatnya. Ia juga tidak terjebak dalam bentuk-bentuk

politeisme yang menjebak (QS. Ar-Rum (30): 30–31), serta bergerak untuk

membawa kembali manusia ke sejatinya yang suci dan pergumulannya yang

profain di dunia, yang membuat mereka lalai. Dan hanya pemimpin yang mampu

membaca tanda-tanda pada Al-Quran dan alam/dunia serta memiliki jiwa yang

telah terbentuk yang dapat mengajarkan pengetahuan dan kearifan tersebut pada

manusia-manusia yang ia pimpin.

4. Melahirkan tatanan/peradaban

Setelah mengajarkan pengetahuan dan kearifan, pemimpin profetik harus

membentuk pengikut dan masyarakat menjadi seperti terlahir kembali menjadi

manusia-manusia bermental spiritual yang kuat dan siap membangun

tatanan/peradaban baru dengan konsepsi Islam. Maka dari itu pemimpin profetik

harus mampu menciptakan pengaruh yang kuat dan membentuk circle of

influences yang besar agar mampu menciptakan tatanan/peradaban tersebut. Salah

satu caranya adalah dengan banyak belajar, membaca, berbagi ilmu, dan

membersihkan jiwa-jiwa manusia lain dari profain dunia.

Beberapa hal yang harus dimiliki oleh pemimpin profetik agar mampu melahirkan

tatanan/peradaban:

a) Visi kelangitan
Melakukan perubahan (sosial) yang besar tidak bisa tanpa visi kelangitan oleh

pemimpinnya. Yaitu visi yang besar mengangkasa, bertujuan menghimpun

kebermanfaatan bagi orang banyak dan kejayaan Islam. Dengan memiliki visi

kelangitan tersebut pula, pemimpin akan menjadi dekat dengan Allah sehingga

akan mampu menghadirkan kemampuan untuk menciptakan dan mendorong

perubahan.

b) Karakter dan moralitas

Esensi sebuah kepemimpinan adalah menyisakan ‘bekas’ pada (kaum) yang

dipimpin. Setelah usai masa kepemimpinannya, pemimpin harus tahu, seberapa

banyak orang yang telah terbuka hatinya dan menjadi lebih baik karena pengaruh

dari kepemimpinannya tersebut. Karena itu, karakter yang kuat dan moralitas

yang tinggi sangat dibutuhkan. Salah satu karakter yang harus dimiliki adalah

sifat lemah lembut.

Rasulullah saw tidak pernah bersikap kasar dan berhati keras kepada siapa pun,

bahkan dengan musuh maupun kelompok orang-orang yang membencinya.

Bahkan dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah saw tetap bersikap

lemah lembut kepada seorang pengemis buta yang selalu mencaci maki dirinya.

Sebagai pemimpin, terlebih muslim, sebaiknya kita tidak bersikap terlalu reaktif

terhadap lawan-lawan kita. Hendaknya kita menaklukkan mereka dengan karakter

yang lembut dan menyentuh.

c) Kecerdasan profetik

Pemimpin profetik senantiasa memiliki pikiran yang positif (positive thinking)

dan menjadi pioneer dalam segala hal. Kecerdasannya mampu membedakan yang
benar dan salah. Ia juga mampu menggagas kehidupan yang benar, menemukan

tujuan hidup yang benar, dan memberikan alasan-alasan yang benar. Sehingga

mampu memanfaatkan emosi dan pikiran secara lebih bernilai.

d) Kewalian (sainthood)

Pemimpin profetik senantiasa meyakini bahwa hanya Allah lah satu-satunya zat

yang patut dijadikan wali dalam segala urusan. Sehingga ia memiliki kekuatan

tertentu (karamah).

Untuk mencapai misi khas tersebut diperlukan pula instrumen yang khas.

Rasulullah memiliki dan menjalankan empat instrumen dalam penyampaian

konsepsi-konsepsinya, antara lain:

1. Pendidikan dan Keteladanan

Pemimpin profetik mendidik pengikut dan khalayak luas dengan moralitas dan

nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ia menghidupkan nilai-nilai dan moralitas tersebut

dalam seluruh kiprah pelakunya. Pemimpin profetik juga merupakan teladan.

Keteladanannya meliputi ketegaran dan keteguhan hati serta kesabaran dalam

perjuangan, ibadah dan akhlaq (moralitas), dan kezuhudan dalam hidupnya.

2. Pelayanan

Pemimpin profetik menjadikan seluruh kehidupannya sebagai aliran kehidupan

baru yang sedang berkembang. Dirinya adalah instrumen bagi terbentuknya

tatanan baru.

3. Keadilan

Mampu bersikap adil, bukan hanya dalam tatanan pemerintahan atau organisasi
yang ia pimpin. Tapi juga bersikap adil kepada keluarganya, termasuk memenuhi

hak-hak atas dirinya sendiri.

4. Musyawarah

Musyawarah termasuk dalam barisan hal-hal terpuji dalam Islam. Rasulullah saw

adalah orang yang selalu mengutamakan musyawarah dalam segala hal. Bahkan,

sebuah keputusan yang dianggap tidak terlalu baik, jika memang keputusan

tersebut didapat dari sebuah musyawarah, maka itu tetap yang paling baik. Karena

musyawarah adalah cerminan akhlaq, yang merupakan cerminan akhlaq,

menghargai keberadaan dan pandangan orang lain, serta kebersamaan dengan

mereka.

Sebaik-sebaiknya pemimpin adalah pemimpin yang mampu melahirkan kader-

kader yang lebih baik dari dirinya. Tidak dapat dipungkiri, kaderisasi bukan hal

mudah. Membentuk jiwa dan menanamkan nilai-nilai dalam diri seseorang butuh

strategi yang tepat dan kesabaran yang tinggi. Rasulullah adalah contoh pemimpin

profetik yang mampu melahirkan banyak pemimpin dan pejuang tangguh setelah

masa kepemimpinannya berakhir, yaitu ketika beliau wafat.

Kaderisasi ala Rasulullah saw dimulai dari membangun keteguhan dan militansi.

Langkah-langkah dalam membangun keteguhan dan militansi dimulai dari

promosi gagasan, pengajaran/pendidikan, pembinaan, pengorganisasian, dan

pelaksanaan, serta pada akhirnya memastikan hal-hal pencapaian berupa

pengetahuan (ma’rifat), kesadaran dan ideologi (fikrah), praksis/kegiatan amal,

dan merapatkan barisan gerakan (harakah).


Di samping dengan keyakinan yang kuat dan manajemen kepemimpinan yang

profesional, keteguhan dan militansi tersebut dibangun oleh Rasulullah dengan

beberapa prinsip. Pertama, literasi-humanisasi-transendensi, yaitu membentuk

persaudaraan universal berbasis konsensus keimanan, maksud dan kehendak, serta

realisasi/aksi. Rasulullah bekerja dan berkarya dengan pilar spiritual path finder,

yaitu meraih pencerahan (intentionalism) dan menyeru khalayak pada jalan

pencerahan (actionalism).

Sebagai seorang teladan yang hendak mendidik dan membentuk jiwa umat-

umatnya pula, Rasulullah selalu menjadikan Al-Quran sebagai pedoman

utamanya. Beliau sudah terlebih dahulu paham bahwa faktor referensi/genre buku

yang dipilih untuk dibaca adalah hal penting. Faktor referensi tidak hanya sekadar

mengandung ilmu/pengetahuan, tetapi juga kebenaran, wibawa, dan kekuatan

pembangkit yang dahsyat. Sehingga ia akan membentuk pola pikir, membingkai

nilai-nilai, strategi, sistem, dan karakter baik individu maupun kolektif. Maka,

prinsip kedua, pemimpin haruslah memiliki faktor referensi yang banyak dan

berkualitas. Pemimpin dengan faktor referensi yang banyak dan berkualitas, akan

lebih bijak dibanding pemimpin dengan faktor referensi rendah, yang cenderung

memiliki karakter lemah.

Namun demikian, tidak akan ada perubahan besar jika aktor perubahannya senang

di tempat tidur alias malas. Tokoh besar memiliki waktu tidur sedikit karena ia

memiliki agenda-agenda yang besar pula dan padat. Tokoh besar sibuk dengan

aktivitas menyampaikan pesan dan visi kepada orang-orang terdekatnya dan


masyarakat luas. Meneladani Rasulullah saw yang memiliki waktu istirahat sangat

sebentar setiap harinya, maka, prinsip ketiga, seorang pemimpin besar haruslah

telah terlepas dari tragedi selimut.

Dalam QS. Al-Hijr (94–95), Allah menyeru kepada manusia untuk

menyampaikan segala kebenaran dan apa yang diperintahkan oleh-Nya secara

terang-terangan. Dan inilah prinsip keempat, seorang pemimpin haruslah berani

melakukan dakwah secara terang-terangan. Tidak perlu karena ada jaminan

perlindungan dari Allah. Dakwah sembunyi-sembunyi hanya boleh dilakukan jika

karena apabila dakwah tersebut dilakukan terang-terangan maka pelakunya dapat

terkena ancaman.

Prinsip kelima, para pemimpin hendaklah memiliki akhlaq lemah lembut agar

dapat menembus kekerasan hati dan menyentuh para target dakwahnya dengan

iman. Sebagaimana Rasulullah yang memiliki lisan yang halus dan sikap yang

lembut, serta kemampuan memaafkan kesalahan orang lain lalu kemudian

memohonkan ampun kepada Allah. Jangan sampai kita memiliki fazhzhan (lisan

yang kasar, sering menyakiti orang lain, dan tingkah laku yang mengganggu

orang lain) dan ghalizal qalb (hati yang keras, tidak mudah tersentuh dengan

penderitaan orang lain). Termasuk kebiasaan untuk bermusyawarah. Karena hal

ini akan berpengaruh pula terhadap bagaimana pesan kebaikan itu disampaikan

kepada umat, yang merupakan prinsip keenam. Pemimpin profetik mampu

menyampaikan pesan-pesan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran

dengan cara yang baik, benar, tepat, dan proporsional. Ia pula selalu

menggunakan fakta-fakta dan data-data yang valid.


Akan tetapi, bagaimanapun metode hanyalah cara. Sebagai seorang manusia

biasa, pemimpin profetik senantiasa memperkuat ibadah dan mendekatkan diri

dengan Allah (vertikal), serta membangun hubungan yang baik dengan segenap

manusia di sekitarnya (horizontal), yang merupakan prinsip ketujuh. Rasulullah

saw dan keluarganya tidak pernah melewatkan shalat malam. Shalat malam pula

merupakan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan oleh Beliau.

Rasulullah saw adalah sosok yang sangat menghargai orang lain, memuliakan

tetangga dan para tamunya. Beliau menjaga hubungan horizontalnya dengan cinta

(mahabbah). Mahabbah ini termasuk dalam prinsip

kedelapan. Mahabbah memiliki energi yang sangat dibutuhkan untuk membangun

kekuatan kolektif (jamaah). Jenis cinta ini termasuk pula kasih sayang kepada

sesama orang yang beriman, yang menjadikan sesama mereka bersaudara dan

dibuktikan dengan cara, misalnya, saling mengucapkan salam dan memberi

hadiah. Ibarat satu tubuh dan satu keluarga yang saling menguatkan. Persaudaraan

merupakan konsekuensi logis keimanan yang tidak dapat dipisahkan satu sama

lain, seperti dalam QS. Al-Hujurat (10).

Ketika setiap diri sudah merasa saling terikat karena ketauhidan dan keimanan,

maka pemimpin akan dengan mudah mengarahkan untuk bersama menyatukan

kekuatan, membangun sistem yang berlandaskan pada konsepsi Islam, yang

merupakan pula prinsip kesembilan.

Anda mungkin juga menyukai