Anda di halaman 1dari 68

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelusuran Jurnal

Tabel 4.1 Hasil Penelusuran Jurnal

No Peneliti Judul Jurnal Keterangan


Pengaruh Pulsed Breathing
Jurnal
Kritina L Exercise Terhadap Penurunan
Keperawatan
Silalahi, Tobus Sesak Napas Pada Pasien
1 Priority, Volume
Hasiholan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
2 ,No 1 ,Januari
Siregar (PPOK) di RSU Royal Prima
2018.
Medan
The 7th University
Irmawan Andri Low Impact Aerobic Exercise Research
Nugroho, Tintin Dapat Menurunkan Keluhan Colloqium 2018,
2
Sukartini,Sriyon Gejala Pasien Penyakit Paru Stikes PKU
o Obstruktif Kronis Muhammadiyah
Surakerta
Jurnal Ners
Pengaruh Pemberian Pursed Lip
Imron Rosyadi Keperawatan
Breathing, Diaphragmathig
Defriman Djafri Volume 15.
3 Breathing dan Ummper Limp
Dally Rahman No.2 . Oktober
pada Pasien Penyakit Paru
2019
Obstruktif Kronik

Ni Made Dwi
Yunica Astriani , . Relaksasi Pernafasan Dengan
.Volume 3 ,
Putu Indah Teknik Ballon Blowing Terhadap
4 Nomor 2 , Juni
Sintya Dewi , Peningkatan Saturasi Oksigen
2020
Kadek Hendri Pada Pasien PPOK
Yanti
Jurnal Ilmiah
Erik Kusuma, Pengaruh Senam Asma Terhadap Keperawatan
5 Bayu Kemampuan Penderita Asma di Stikes Hang tuah
Herlambang Poli Paru RSUD Bangil Surabaya Vol 15
No.1 Edisi 2020

.Jurnal Ilmiah
Wiwik Udayani, Pengaruh Kombinasi Teknik
Keperawatan
Muhammad Pernapasan Buteyko dan Latihan
6 (Scientific Juornal
Amin Berjalan Terhadap Kontrol Asma
of Nursing) Vol 6
Makhfudli Pada Pasien Asma Dewasa
No 1 tahun 2020

Zinka Matkovic International


Neven Tudoric Journal of
Danijel Cvetko Melakukan Tes Kinerja Fisik Chronic
Cristina untuk Mengidentifikasi Pasien
7 Obstructive
Esquinas PPOK dengan Aktivitas Fisik
Dario Rahelic Pulmonary
Rendah dalam Praktek Klinis
Disease 2020:15
921–929
Sheila Sinchez
Internasional
Castillo, Hubungan Antara Aktivitas Fisik
Juornal
Lee Smith, dan Komorbiditas Pada Orang
Environmental
8 Arturo Diaz Dengan PPOK yang Berada di
Research and
Suarez , and Spanyol: A Cross Sectinal
Public Health
Guillermo Felipe Analysis
2020
Lopez Sanchez

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pembahasan Jurnal Pertama

Judul : Pengaruh Pulsed Breathing Exercise Terhadap

Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Penyakit Paru

Obstruksi Kronis (PPOK) di RSU Royal Prima Medan


Peneliti : Kritina L Silalahi, Tobus Hasiholan Siregar

Publikasi : Pengaruh Pulsed Breathing Exercise Terhadap

Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Penyakit Paru

Obstruksi Kronis (PPOK) di RSU Royal Prima Medan.

Jurnal Keperawatan Priority, Volume 2 ,No 1 ,Januari

2018. ISSN 2614-4719

Penelitian ini memiliki 2 Variabel , yaitu Variabel Independen Pengaruh

Pulsed Breathing Exercise dan Variabel Dependen Penurunan Sesak

Napas pada Pasien PPOK. Salah satu variabel dari penelitian ini

memiliki kesamaan dengan penelitian yang saya lakukan yaitu sama-

sama mengkaji tentang status pernapasan. Penelitian yang diakukan

Kritina L Mengkaji tentang Penurunan sesak nafas dimana juga

merupakan faktor dari status pernapasan yaitu Nadi,Respirasi dan SpO2.

Status pernapasan adalah kumpulan nilai hasil pengukuran sistem

pernafasan dengan cara pengkajian fisik untuk mengetahui informasi

perubahan sistem pernafasan. Nilai normal pada status pernapasan yaitu

Nadi (60-70x/m) , Respirasi (16-20x/menit) dan SpO2 (95-100%)

Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan yang bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan otot-otot pernapasan berguna untuk

meningkatkan ventilasi fungsi paru dan memperbaiki oksigenisasi

Keterkaitan antar variabel ini adalah pulsed lip breathing exercise

merupakan salah sau bentuk terapi yang efektif dalam memperbaiki


penurunan sesak napas , selain murah , terapi teknik napas dalam ini

juga tidak memerlukan tempat yang luas dan alat yang tidak mahal

sehingga cocok dilakukan oleh semua orang terutama pasien PPOK.

Analisis Bivariat pada penelitian ini menggunakan uji wilcoxon pada

program SPSS versi 22. Uji wilcoxon yaitu hipotesa komparatif yang

digunakan untuk menguji beda mean peringkat (data ordinal) dari dua

hasil pengukuran pada kelompok yang sama (beda peringkat pre test

dan post test), dengan derajat kemaknaan (α) 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan usia disajikan

sebagai berikut:

Tabel.1

Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden berdasarkan

Jenis kelamin dan usia responden di RSU Royal Prima Medan di tahun

2018
Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa dari 8 responden mayoritas

berjenis kelamin laki-laki sebanyak 8 orang (100%) dan minoritas

perempuan tidak ada. Berdasarkan usia mayoritas berusia 40-45 tahun

sebanyak 6 orang (78%), minoritas berusia 50-55 tahun sebanyak 1

orang (11%), dan usia 30-35 tahun sebanyak 1 orang (11%).

Tabel.2
Frekuensi pernapasan responden Penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK) sebelum dilakukan Pulsed Lip Breathing Exercise di RSU

Royal Prima Medan Tahun 2018

Berdasarkan table 2 diatas diketahui bahwa dari 8 responden yang

mengalami sesak napas sedang sebanyak 7 orang (88,9%), sesak

napas berat 1 orang (11, 1%), dan sesak ringan tidak ada

Tabel.3

Frekuensi Fernapasan Responden Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK) Sesudah Dilakukan Pulsed Lip Breathing Exercise di RSU

Royal Prima Medan Tahun 2018


Berdasarkan table 3 diatas diketahui bahwa setelah dilakukan

Pulsed Lip Breathing Exercise selama 4 hari diperoleh data

bahwa dari 8 responden yang mengalami sesak napas ringan

sebanyak 6 orang (77,8%) sesak napas sedang ada 2 orang (22,2%)

dan yang mengalami sesak napas berat tidak ada

Tabel.4
Pengaruh Pulsed Lip Breathing Exercise Terhadap Penurunan Sesak

Napas Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di RSU

Royal Prima Medan Tahun 2018

Berdasarkan table 4 diketahui bahwa hasil uji Wilcoxon pada saat uji

pre test nilai mean 2,13 dan nilai median 2,00. Pada saat uji post test

nilai mean 1,25 dan nilai median 1,00. Maka didapat nilai Z = -2,646
dengan p value sebesar 0,008 < 0,05 sehingga kesimpulan Ho ditolak

dan Ha diterima, disimpulkan bahwa ada pengaruh pulsed lip breathing

exercise terhadap penurunan sesak napas pada pasien penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK) di Rumah Sakit Umum Royal Prima

Medan tahun 2018.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Imron

Rosyadi (2019) Pengaruh Pemberian Pursed Lip-Breathing,

Diaphragmatic Breathing,danUpper Limb Stretching Terhadap Skala

Dispnea pada Pasien PPOK. latihan pursed lip breathing,

diaphragmatic breathing, dan upper limb stretching dengan kelompok

kontrol yang tidak diberikan terapi. 38 pasien PPOK dikelompokkan

menjadi kelompok intervensi (n=18) dan kelompok kontrol (n=18).

Kelompok intervensi diberikan latihan pursed lip breathing,

diaphragmatic breathing, dan upper limb stretching selama 4 minggu

sebanyak 2 kali dalam 1 minggu, sedangkan kelompok kontrol tidak

diberikan latihan. Skala dispnea diukur menggunakan kuesioner

MRC Dyspnea Scale dan dikategorikan menjadi ringan (skala 1),

sedang (skala2-3), dan berat (skala 4-5). Terdapat perbedaan

dispnea (p value 0,008) dan sekaligus tidak ada perbedaan dispnea

pada kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan (p value 0,655).

Pursed lip breathing, diaphragmatic breathing, dan upper limb

stretching dapat memberikan manfaat yang lebih signifikan apabila

dilakukan secara berkelanjutan, khususnya bagi pasien PPOK.


Penelitian sebelumya dilakukan oleh penelitian Astuti (2018) diketahui

bahwa sebelum melakukan pursed lips breathing semua responden

kelompok intervensi dan kontrol mengalami pola pernapasan tidak

efektif, yaitu sebanyak 17 responden (100%). Setelah didapatkan hasil

menggunakan uji Wilcoxon ini menunjukkan bahwa ada perbedaan

yang signifikan pola pernapasan sebelum dan sesudah melakukan

pursed lip breathing pada kelompok intervensi pasien dengan emfisema

di Rumah Sakit Paru Dr. ArioWirawan Salatiga.

Sepemahaman saya penelitian ini mengkaji hubungan latihan

pernapasan dengan penurunan gejala pada pasien ppok. Latihan yang

dilakukan berupa latihan pursed lips breathing dimana latihan tersebut

merupakan latihan pernapasan , tujuannya untuk memperkuat otot-otot

pernapasan , memperbaiki oksigenisasi,menurunkan gejala sesak napas

pada pasien , latihan tersebut sangat praktis tidak perlu memerlukan

tempat khusus , bahkan tidak mengeluarkan biaya yang mahal . Latihan

pursed lips breathing sangat bermanfaat dan sangat dianjurkan untuk

pasien penyakit paru obstruktif kronik (ppok)


4.2.2 Pembahasan Jurnal Kedua

Judul : Low Impact Aerobic Exercise Dapat menurunkan Keluhan

Gejala Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Peneliti : Irmawan Andri Nugroho, Tintin Sukartini , Sriyono

Publikasi : Low Impact Aerobic Exercise Dapat menurunkan Keluhan

Gejala Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik. The 7th

University Research Colloqium 2018, Stikes PKU

Muhammadiyah Surakerta

Penelitian ini hampir memiliki kesamaan dengan penelitian yang saya

lakukan dimana penelitian ini memiliki Variabel Independen Low

ImpactAerobic Exercise yang merupakan bagian dari salah satu jenis

atau macam- macam aktivitas fisik.Penelitian ini juga bertujuan kepada

pasien penyakit paru obstruktif Kronik.

Low Impact Aerobic Exercise dipilih sebagai intervensi dalam

penelitian ini dikarenakan dalam variasi gerakannya dilakukan dengan

irama Low (rendah) yaitu lebih lambat , gerakan dasar tidak ada

loncatan sama sekali dan salah satu selalu menapak dilantai setiap

waktu. Low Impact mempunyai banyak manfaat , diantaranya untuk

menguatkan otot-otot jantung dan stamina tubuh (Hartini 2012).

Penderita PPOK mengalami ketidakmampuan mendasar pernafasan

berupa sesak nafas, batuk kronik, produksi sputum kronik, serta

keterbatasan aktivitas. Latihan fisik bagi penderita PPOK bertujuan


utama menurunkan gejala, meningkatkan kualitas hidup dan

meningkatkan aktifitas sehari-hari.

Keterkaitan antar variabel pada penlitian ini adalah Low Impact Aerobic

Exercise dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita PPOK dan

menurunkan gejala PPOK. Latihan secara intensif dalam jangka waktu

tertentu pada pasien PPOK akan terjadi perubahan kardiorespirasi

terutama system transport oksigen yaitu system sirkulasi , respirasi dan

jaringan tubuh. Rehabilitasi paru akan menurunkan gejala sesak napas

pada pasien penderita PPOK sehingga kapasitas fungsional dan kualitas

hidup juga meningkat. Dengan kondisi ini maka penerita PPOK akan

memiliki kemampuan beraktivitas dan berkurang keluhan berupa gejala

yang dialami sehingga mampu melakukan berbagai fungsi dan berbagai

peran yang dingginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran

tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan desain

Quasy-Experiment dengan rancangan penelitian pre-post test control

group design

Analisa Penelitian

Gambaran Karakteristik Responden


Tabel diatas menunjukkan bahwa jenis kelamin responden sebagian besar

adalah laki-laki yaitu 82.4% baik pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol, adapun perempuan sebesar 17.6% pada kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol. Responden pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol sebagian besar berusia diatas 50 tahun.

Gejala Sangat Berat 6 35,3 6 35,3

Tabel diatas menunjukkan bahwa klasifikasi gejala PPOK berdasarkan

perhitungan skor CATs diperoleh sebagian besar responden baik pada

kelompok perlakuan dan kontrol tergolong PPOK dengan gejala berat yaitu

64.7% dan 58.8%. Sedangkan gejala sangat berat pada kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol sebesar 35.3%.


Berikut ini dilakukan analisis untuk mengetahui Pengaruh Exercise

Training LowImpact Aerobic terhadap gejala PPOK menggunakan uji t-

test.

Tabel 3. Distribusi rata-rata nilai gejala sebelum dan sesudah i ntervensi

Mean SD SE P Value
Perlakuan
28.59 3.809 .924 <0.001*
Pre test
Post Test 14.82 3.226 .782

Kontrol
25.88 5.407 1.311 0.713*
Post Test 21.71 6.162 1.495
Perlakuan 14.82 3.226 .782 <0.001*
Kontrol 21.71 6.162 1.495

Tabel diatas menunjukkan perubahan nilai gejala pasien PPOK pre dan post

test pada kelompok perlakuan dengan uji statistik paired T-test diperoleh

p=<0.001 yang berarti ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan

gejala antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok perlakuan. Hasil uji

statistik pada kelompok kontrol dengan menggunakan uji paired T-test

diperoleh nilai p=0.713, yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan terhadap penurunan gejala PPOK pada pengukuran pertama dan

kedua. Hasil uji Independent T-test sesudah intervensi pada kedua kelompok

didapatkan p=<0.001 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan

terhadap penurunan gejala pasien PPOK antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol setelah mendapatkan Exercise Training Low Impact Aerobic

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Helvi Darsi.(2018) Pengaruh Senam

Aerobic Low Impact terhadap peningkatan V02MAX. Penelitian ini

bertujuan untuk melihat pengaruh latihan senam aerobic low


impactterhadap peningkatan kapasitas VO2Max. Populasi dalam

penelitian ini adalah siswa SMK Negeri 1 Curup yang mengikuti

ekstrakulikuler senam aerobic. Pengambilan sampel dilakukan tekhnik

”purposive randome sampling” yang berjumlah sebanyak 24 orang.

Analisa dilakukan dengan cara mengukur kemampuan VO2Max

melalui tes bleep test sebelum dan sesudah diberikan latihan senam

aerobic low impact. Data dianalisis dengan rumus uji beda (uji t). Hasil

dari penelitian diperoleh thitung 6.04 > t tabel 1.714 (maka H0 ditolak dan

Ha diterima artinya hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh yang

berarti antara Latihan senam aerobik low impact terhadap peningkatan

VO2max siswa SMK Negeri 1 Curup diterima kebenarannya secara

empiris). Hasil penelitian yakni terdapat pengaruh yang signifikan oleh

latihan senam aerobic low impact terhadap peningkatan VO2Max Siswa

SMK Negeri 1 Curup yang mengikuti ekstrakulikuler senam aerobic.

Sepahaman saya tentang penelitian ini adalah senam aerobic low impact

adalah senam yang dilakukan dengan gerakan lambat , sehingga

memudahkan pasien untuk mengikuti gerakan tersebut. Selain dapat

meringankan Gejala pada pasien PPOK , senam aerobic low impact juga

dapat melatih kekuatan otot jantung, terutama pada orang yang memiliki

penyakit jantung dan ingin memperkuatfungsi jantung . Manfaat

selanjutnya juga bisa menlenturkan sendi sendi jika sering melakukan

latihan senam tersebut


4.2.3 Pembahasan Jurnal Ketiga

Judul : Pengaruh Pemberian Pursed Lip-Breathing,

Diaphragmatic Breathing,danUpper Limb Stretching

Terhadap Skala Dispnea pada Pasien PPOK.

Peneliti : Imron Rosyadi , Defriman Djafri , Dally Rahman

Publikasi : Pengaruh Pemberian Pursed Lip-Breathing,

Diaphragmatic Breathing,danUpper Limb Stretching

Terhadap Skala Dispnea pada Pasien PPOK. NERS. Jurnal

Keperawatan Volume.15 No. 2 Oktober 2019

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang saya lakukan

dilihat dari Varibel Independen maupun variabel dependen

Penurunan kemampuan dan ketahanan saat melakukan aktivitas dapat

diperbaiki dengan melakukan latihan pernapasan secara rutin

(Heydari, Farzad,& Ahmadi Hosseini, 2015).

Latihan pernapasan yang dapat dilakukan berupa pursed lip breathing,

latihan pernapasan diafragma, dan dapat juga disertai dengan

peregangan pada otot tubuh bagian atas (Amin & Zedan, 2017;

Zuwallack & Celli,2016).

Peregangan otot tubuh bagian atas juga mampu mengoptimalkan fungsi

neuromekanik dari otot pernapasan yang menurun pada pasien PPOK

(Kaymaz et al., 2018).


Keterkaitan dari setiap variabel pada penelitian ini adalah otot

pernapasan pasien PPOK yang mengalami kelemahan dapat kembali

dioptimalkan. Salah satu upaya dalam meningkatkan kekuatan otot

pernapasan adalah dengan melakukan latihan otot pernapasan (pursed

lip breathing, diaphragmatic breathing, dan upper limb stretching)

secara rutin. Latihan otot pernapasan yang dilakukan secara rutin,

disertai dengan gaya hidup yang sehat dapat membantu

meningkatkan kemampuan aktivitas pasien PPOK dalam kehidupan

sehari-hari.

Metode : Penelitian ini menggunakan Randomized Control Trial (RCT)

dengan randomisasi pada saat pengambilan sampel (simple random

sampling) dan pengelompokan subjek penelitian (allocation random).

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak

38 orang dengan kriteria inklusi pasien laki- laki dengan usia 55 -

69 tahun. Untuk melihat perbedaan antara skala dispnea pada saat

pretest dan posttest dilakukan uji beda menggunakan Wilcoxon test

Hasil

Selama proses penelitian berlangsung, 2 orang sampel dieksklusi

dari penelitian karena mengalami kelelahan dan penurunan kondisi

kesehatan (1 sampel dari kelompok intervensi dan 1 sampel dari

kelompok kontrol). Perbedaan skala dispnea pada saat pretest dan

posttest pada kelompok intervensi dapat dilihat pada tabel 1 dan


perbedaan skala dispnea pada saat pretest dan posttest pada kelompok

kontrol dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 1.Skala Dispnea kelompok intervensi pada saat pretest dan

postest

Dispnea Pretest Posttest Value

Ringan 0 1

Sedang 11 16 0,008

Berat 7 1

Tabel.2 Skala Dispnea kelompok kontrol pada saat pretest dan postest

Dispnea Pretest Posttest Value

Ringan 0 0

Sedang 13 12 0,655

Berat 5 6

Adanya penurunan skala dispnea berat dari 7 orang pada saat

pretest menjadi 1 orang pada saat posttest. Sedangkan pada kelompok

kontrol terjadi peningkatan skala dispnea berat dari 5 orang pada

saat pretest menjadi 6 orang pada saat posttest

Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Sieve (2018) Program

latihan otot pernapasan seperti IMT mampu mengurangi gejala

Dispnea pada pasien PPOK. Pursed Lip Breathing , pernapasan

diafragma dan peregangan otot bagian atas mampu memperbaiki

proses pertukaran gas dalam paru , meningkatkan kekuatan otot


diafragma saat inspirasi dan ekspirasi dan mengoptimalkan fungsi otot

otot pernapasan dan otot bantu pernapasan . Setelah menjalani

program latihan otot pernapasan, derajat dispnea yang dirasakan oleh

pasien PPOK akan menurun dan mampu meningkatkan ketahanan dan

kapasitas saat melakukan aktivitas atau latihan (exercise).

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Kritina L (2018) Pengaruh Pulsed Breathing Exercise Terhadap

Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis

(PPOK) di RSU Royal Prima Medan

Sepahaman saya tentang penelitian ini yaitu saat kita melakukan

latihan pernapasan ataupun latihan otot bagian atas , tentu itu sangat

memiliki banyak manfaat kesehatan khusus nya pada pasien penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK). Tentunya akan mengurangi sesak

napas atau Dispnea pada pasien tersebut , sebab dengan melakukan

latihan pernapasan itu dapat membantu memperbaiki pertukaran gas

didalam paru , menguatkan otot otot diafragma , serta mengoptimalkan

otot-otot bantu pernapasan .Jika latihan dilakukan secara teratur dan

benar tentu dapat membuat pasien tidak akan mengalami gejala saat

melakukan aktivitas fisik dan dapat mengoptimalkan peran nya di

lingkungan masyarakat.
4.2.4 Pembahasan Jurnal Keempat

Judul : Relaksasi Pernafasan Dengan Teknik Ballon Blowing

Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pada Pasien

PPOK

Peneliti : Ni Made Dwi Yunica Astriani , Putu Indah Sintya Dewi ,

Kadek Hendri Yanti

Publikasi : Relaksasi Pernafasan Dengan Teknik Ballon Blowing

Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pada Pasien

PPOK.Jurnal Keprawatan Silampari Volume 3 , Nomor 2 ,

Juni 2020. e-ISSN : 2581 – 1975 , p-ISSN :2597-7482

Penelitian ini mempunyai 2 Variabel , yaitu Variabel Independen

‘’Relaksasi pernapasan dengan teknik Ballon Blowing’’ dan Variabel

dependen ‘’Saturasi Oksigen pada pasien PPOK’’. Penelitian yang

dilakukan oleh Ni Made Dwi Yunica Astriani memiliki kesamaan

dengan penelitian yang saya lakukan . Kesamaan tersebut terletak pada

Variabel Dependen yaitu sama-sama mengkaji tentang pernapasan pada

pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Tujuan dari mengkaji

Saturasi oksigen atau status pernapasan pada pasien PPOK adalah untuk

mengetahui atau mengevaluasi Keadaan pasien tersebut.

pursed lip breathing berguna untuk memperbaiki ventilasi,

meningkatkan kerja otot abdoman dan toraks. Penelitian ini juga


menyatakan terdapat peningkatan saturasi oksigen setelah diberikan

intervensi meniup balon dan lip breathing.

Keterkaitan antar variabel pada penelitian ini adalah Relaksasi

pernapasan mempunyai banyak teknik salah satunya adalah dengan

menggunakan balon (ballon blowing). Teknik relaksasi dengan meniup

balon dapat membantu otot intracosta mengelevasikan otot diafragma

dan kosta. Sehingga memungkinkan untuk menyerap oksigen ,

mengubah bahan yang masih ada dalam paru untuk mengeluarkan

karbondioksida yang ada didalam paru. Meniup balon sangat fektif

untuk membantu ekspansi paru sehingga mampu mensuplai oksigen dan

mengeluarkan karbondiokasida yang terjebak dalam paru pada pasien

dengan fungsi gangguan pernapasan. Peningkatan ventilasi alveoli dapat

meningkatkan suplai oksigen, sehingga dapat dijadikan sebagai terapi

dalam peningkatan sarurasi oksigen. Dalam hal ini perawat

menganjurkan kepada klien relaksasi pernafasan yaitu nafas dalam

dengan teknik meniup balon (Tunik et al, 2017).

Desain yang digunakan pada penelitian ini menggunakan yaitu One

Group Pre-test dan Post- test


Analisa

Tabel. 1

Distribusi Frekuensi Usia

N Mean Min Max Sd

Usia 30 61,87 45 80 9.558

Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan tabel 1 didapatkan hasil bahwa rata-rata umur responden

yaitu 61,87 dengan rentang umur 45- 80 tahun.

Tabel. 2

Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Usia Frekuensi (f) Persentase (%)

Laki-laki 22 73,3
Perempuan 8 26,7
Total 30 100

Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan tabel 2 didapatkan dari 30 responden, distribusi

frekuensi responden sebagian besar responden berjenis kelamin laki

laki dan sebagian kecil responden berjenis kelamin perempuan

Tabel. 3

Saturasi Oksigen Responden Sebelum

Diberikan Teknik Ballon Blowing

N Mean Min Max SD 95% CI


Pre Test 30 89,27 86 93 1,999 88,52-90,01
Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata nilai saturasi

oksigen pasien PPOK sebelum diberikan intervensi adalah 89,27

dengan standar deviasi 1,999. Nilai saturasi oksigen terendah 86 dan

tertinggi 93.

Tabel. 4

Saturasi Oksigen Responden Sebelum

DiberikanTeknik Ballon Blowing.(Posttest)

N Mean Min Max SD 95%CI


30 94,53 91 99 2,417 93,63-95,44
Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan rata-rata nilai saturasi oksigen

sesudah diberikan intervensi dari 30 responden adalah 94,53 dengan

standar deviation 2,417 nilai saturasi oksigen terendah 91 dan tertinggi

99 . Data ini menunjukkan nilai saturasi oksigen pasien PPOK setelah

diberikan intervensi sebagian besar mengalami peningkatan nilai

saturasi oksigen menjadi SaO2 normal.

Tabel. 5

Hasil Analisis Pre dan Post Test

Mean P. Value

Pair 1 Pretest 89.27 0,000

Posttest 94.53 0,000

Sumber: Data Primer (2019)


Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa ada pengaruh pada intervensi

relaksasi pernafasan dengan teknik ballon blowing terhadap saturasi

oksigen pasien PPOK. Hasil perhitungan yang didapat dengan program

komputer menunjukkan p-value 0,000 maka dapat disimpulkan nilai p

lebih kecil dari 0,05 ( p<0,05) yang berarti terdapat pengaruh relaksasi

penafasan dengan teknik ballon blowing terhadap saturasi oksigen

pasien PPOK di ruang poli paru RSUD Kabupaten Buleleng.

Penelitian yang pernah dilakukan Juniadin et al, (2019) mengenai

penelitiannya tentang “pengaruh pursed lip breathing dan meniup

balon terhadap kekuatan otot pernapasan saturasi oksigen dan

respiratory rate pada pasien ppok” dengan responden pasien dewasa,

rata-rata umur ditas 65 tahun menggunakan rancangan pre dan pos test

desain yang menyatakan latihan pernafasan pursed lip breathing

berguna untuk memperbaiki ventilasi, meningkatkan kerja otot abdoman

dan toraks. Penelitian ini juga menyatakan terdapat peningkatan saturasi

oksigen setelah diberikan intervensi meniup balon dan lip breathing.

Adapun penelitian yang mendukung asumsi diatas yaitu menurut

Tarigan, Juliandi(2018) yang berjudul ”pernapasan pursed lip breathing

meningkatkan saturasi oksigen penderita PPOK” dengan hasil terdapat

peningkatan saturasi oksigen setelah diberika intervensi. Dengan rata-

rata saturasi oksigen sebelum diberikan intervensi yaitu 96,72%. rata–

rata saturasi oksigen setelah diberikan intervensi yaitu 98,11%, ada


pengaruh latihan nafas pursed lip breathing terhadap peningkatan

saturasi oksigen penderita PPOK dengan nilai p= 0,00.

Sepemahaman saya melakukan latihan teknik pernapasan dengan

meniup balon sangat bermanfaat dengan cara menghirup udara melalui

hidung dan mengeluarkannya melalui mulut hal tersebut dapat

bermanfaat untuk membantu organ sistem pernapasan didalam tubuh ,

dengan kita meniup balon tentu hal tersebut akan menyerap oksigen dari

luar dan mengeluarkan karbondioksida yang ada didalam paru , bahkan

dapat meningkatkan saturasi oksigen pada pasien

4.2.5 Pembahasan Jurnal Kelima

Judul : Pengaruh Senam Asma Terhadap Kemampuan Pernapasan

Penderita Asma di Poli Asma RSUD Bangil

Peneliti : Erik Kusuma , Bayu Herlambang

Publikasi : Pengaruh Senam Asma Terhadap Kemampuan Pernapasan

Penderita Asma di Poli Asma RSUD Bangil.Jurnal Ilmiah

Keperawatan Stikes Hang Tuah Surabaya Vol.15.No.1

Edisi 2020

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang serius diberbagai negara diseluruh dunia. Asma

dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, dapat pula bersifat

menetap dan mengganggu aktivitas harian yang berdampak pada penurunan

produktivitas serta kualitas hidup


Salah satu penatalaksanaan asma yang dapat dibudayakan adalah
dengan menjaga pola hidup sehat dan senam asma yang bersifat
melatih otot pernapasan. Latihan otot pernapasan dapat meningkatkan
fungsi otot pernapasan, mengurangi derajat gangguan pernapasan,
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas dan menurunkan gejala
dipsnea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah mengikuti
senam asma secara teratur pasien asma mendapatkan beberapa
manfaat yaitu frekuensi serangan asma berkurang, pemakaian
obat berkurang, dan gejala asma menjadi ringan.( Price dan Wilson
2012)

Menurut Azilla dkk (2016), Senam Asma Indonesia merupakan

rangkaian senam yang bertujuan untuk melatih dan memperkuat otot

pernapasan agar penderita asma lebih mudah melakukan respirasi dan

ekspetorasi

Senam asma melatih para penderita asma dengan beberapa sesi

termasuk di dalamnya adalah sesi latihan menarik napas dan

menghembuskan napas dengan ekspirasi lebih panjang dua hitungan

dibanding inspirasi. Latihan ini bertujuan melatih cara bernapas

yang baik. Sesi yang lain adalah untuk melenturkan otot pernapasan,

sehingga mempermudah pernapasan dan ekspektorasi. Sesi utama

adalah sesi aerobik yang menggunakan otot-otot besar untuk melatih

sistem kardiovaskular dan respirasi dalam mendistribusikan pasokan

darah (Sudrajat & Nisa, 2016)

Analisis Bivariat
analisis bivariat menggunakan uji paired t-test untuk mengetahui ada

tidaknya perbedaan kemampuan pernapasan sebelum dan sesudah melakukan

senam asma.

Hasil
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Umur N %
25-30 2 6,5
31-35 3 9,7
35-40 5 16,1
41-45 5 16,1
46-50 16 51,6
Jumlah 31 100

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin N %
Laki-laki 14 45,2
Perempuan 17 54,8

Jumlah 31 100

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan


Pekerjaan N %
PNS 2 6,4
Petani 9 29
Nelayan 6 19,4
Swasta 6 19,4
IRT 8 25,8
Jumlah 31 100

Karakteristik umum responden menunjukkan bahwa responden

terbanyak berusia 46-50 tahun (51,6%), sebagian besar berjenis

kelamin perempuan (54,8%) dan sebagian besar bekerja sebagai

petani (29%). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada table yang sudah

dijelaskan pada table 1 , 2 dan 3. Yang ada diatas


Kemampuan pernapasan responden diukur berdasarkan Arus Puncak

Ekspirasi (APE) sebelum dan sesudah mengikuti senam asma. Dari 31

responden didapatkan nilai APE sebelum senam terendah 140 (l/m)

dan nilai APE tertinggi 280 (l/m), dengan rata- rata nilai APE 208

l/m. Sedangkan nilai APE sesudah mengikuti senam asma

terendah200 (l/m) dan tertinggi 400 (l/m) dengan rata-rata 304 l/m.

Dari hasil cross tab menunjukkan bahwa seluruh responden (100%)

mengalami peningkatan kemampuan pernapasan.

Tabel 4 Rerata Nilai Kecepatan Maksimum Arus (APE) Sebelum dan Setelah

Senam

Senam Asma N Max Min Std Dev Rata-rata Nilai APE


(l/m)
Sebelum senam 31 280 140 27.092 208

Setelah senam 31 400 200 59.092 304

Untuk mengetahui pengaruh senam asma terhadap kemampuan pernapasan

penderita asma di Poli Asma RSUD Bangil dilakukan uji analisis data

menggunakan uji statistik paired t-test dengan tingkat signifikansi 0,05 (tabel

6).
Tabel 6. Pengaruh Senam Asma Terhadap Kemampuan Pernapasan

(APE) pada Peserta Senam Asma di Poli Asma RSUD Bangil

Senam Asma Rerata Nilai APE T Nilai p


(l/m)
Sebelum senam 208 - 10,999 0,000
Setelah senam 304

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata APE responden sebelum senam

208 l/m, sedangkan setelah senam rata-rata 304 sehingga rata-rata kenaikan

nilai APE antara sebelum senam dengan setelah senam sebesar 95 l/m. Hasil

analisis statistik menunjukkan ada pengaruh pengaruh senam asma terhadap

kemampuan pernapasan (APE) penderita asma di Poli Asma RSUD Bangil

dengan nilai signifikansi (p) = 0,000 (<0,05).

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Budi Antoro.(2019) dengan

judul Pengaruh Senam Asma Terstruktur Terhadap Jarak Relapse

(Kekambuhan) Pasien Asma. Kekambuhan asma antara lain dapat

bersifat ringan, tidak mengganggu aktivitas, menetap dapat

mengganggu aktivitas, dan menimbulkan disability (kecacatan)

hingga kematian. Penatalaksanaan bertujuan untuk mencegah

kekambuhan penyakit hingga mencegah kematian dapat dilakukan

dengansenam asma terstruktur. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi pengaruh senam asma terstruktur terhadap jarak

kekambuhan pada pasien asma di perkumpulan senam asma RSUD

Hi. Dr.Abdul Moeloek. Penelitian ini menggunakan metode

penelitian quasi eksperimental dengan desain pretest-postest with

control group design. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada


perbedaan bermakna antara jarak kekambuhan (relapse) sebelum

dan sesudah pada kelompok intervensi(p=0.023); tidak ada

perbedaan bermakna antara jarak kekambuhan (relapse) sebelum

dan sesudah pada kelompok kontrol (p=0.059); tidak ada

perbedaan bermakna jarak kembuhan (relapse) antar kelompok

(p=0.375). Sosialisasi serta aplikasi senam asma terstruktur dapat

menjadi salah satu terapi dalam asuhan keperawatan asma.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Dyah Pertiwi .(2020).

Pengaruh Senam Asma Terhadap Peningkatan Arus Puncak

Ekspirasi (APE) dan Peningkatan Kualitas Hidup. Penyandang asma

mengalami sesak napas yang memburuk dengan dibarengi

aktivitas, mengi dan batuk oleh karena penyempitan saluran napas.

Hal ini mengakibatkan perubahan pola pernapasan, penurunan arus

puncak ekspirasi, penurunan kebugaran, penurunan kemampuan

aktivitas fisik dan hilangnya produktivitas sehingga akan

menurunkan kualitas hidup. Namun hal tersebut dapat dicegah

dengan rutin melakukan aktivitas fisik berupa senam asma.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh senam asma

terhadap peningkatan arus puncak ekspirasi (APE) dan peningkatan

kualitas hidup pada komunitas madupahat di Balkesmas Wilayah

Semarang. Metode penelitian : Penelitian quasi experimental dengan

rancangan penelitian Pre and Post Test With Control Group Design

ini dilaksanakan di Balkesmas Wilayah Semarang pada pertengahan


bulan Januari 2020 – Maret 2020 dengan jumlah sampel 26 orang

dan dengan tehnik Total Sampling. Alat yang digunakan adalah

peak flow meter untuk mengukur arus puncak ekspirasi dan mini

AQLQ untuk menilai kualitas hidup. Analisa data menggunakan

uji statistik dependent sample t-test (Paired t-test) untuk

mengetahui perbedaan arus puncak ekspirasi, sedangkan untuk

kualitas hidup menggunakan uji statistik Wilcoxon. Analisis

perbedaan arus puncak ekspirasi antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol menggunakan uji statistik independent samplet-

test (Pooled t test), sedangkan untuk analisis perbedaan kualitas

hidup antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol digunakan

uji statistik Mann Whitney. Hasil : Hasil analisis data perbedaan

Arus Puncak Ekspirasi (APE) pada kelompok intervensi diperoleh

nilai p = 0,002 (p <0,05), sedangkan pada kelompok kontrol

diperoleh nilai p = 0,352 (p > 0,05). Hasil analisis data perbedaan

kualitas hidup penyandang asma pada kelompok intervensi

diperoleh nilai p = 0,014 (p < 0,05), sedangkan kelompok

kontrol diperoleh nilai p = 0,414 (p > 0,05). Hasil analisis data

selisih APE dan kualitas hidup sebelum dan sesudah perlakuan

antara kelompok intervensi dan kontrol, dari APE didapatkan nilai

p = 0,310 (p > 0,05), dari kualitas hidup diperoleh nilai p = 0,159 (p

> 0,05). Kesimpulan : Ada pengaruh senam asma yang dilakukan 3

kali seminggu selama 8 minggu terhadap peningkatan arus puncak


ekspirasi dan peningkatan kualitas hidup penyandang asma pada

komunitas Madupahat di Balkesmas Wilayah Semarang.

Sepemahaman saya senam asma adalah senam dengan gerakan otot-

otot dan sesi latihan pernapasan . dimulai dengan melakukan

peregangan sekitar selama kurang lebih 7 menit , bertujuan agar otot-

otot tidak langsung digunakan secara berlebihan yang bisa

menyebabkan kerusakan pada otot . Setelah itu melakukan sesi

pernapasan sekitar 5 menit. Senam asma membantu rehabilitasi

pernapasan padapenderita asma , senam asma dianggap mampu

mengurangi obstruksi dan meningkatkan elastisitas dari bronkus dan

otot-otot pernapasan

4.2.6 Pembahasan Jurnal Keenam

Judul : Pengaruh Kombinasi Teknik Pernapasan Buteyko dan

Latihan Berjalan Terhadap Kontrol Asma Pada Pasien

Asma Dewasa

Peneliti : Wiwik Udayani,Muhammad AminMakhfudli

Publikasi : Pengaruh Kombinasi Teknik Pernapasan Buteyko dan

Latihan Berjalan Terhadap Kontrol Asma Pada Pasien

Asma Dewasa. Jurnal Ilmiah Keperawatan (Scientific

Juornal of Nursing) Vol 6 No 1 tahun 2020

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang saya lakukan .

Dapat dilihat dari segi variabel – variabelnya. Penelitian ini juga

mengkaji pengaruh Aktivitas fisik/latihan fisik terhadap pernapasan


pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (ppok). Asma juga

merupakan bagian dari penyakit paru obstruktif kronik (ppok)

Tujuan penatalaksanaan asma jangka panjang adalah mencapai asma

tekontrol. Kontrol asma diperlukan untu meminimalkan risiko

eksaserbasi dan penurunan fungsi paru sehingga pasien asma dapat

beraktivitas secara optimal dalam kehidupan sehari-hari (GINA, 2018).

Kontrol asma yang buruk dapat menurunkan kualitas hidup pasien asma

(GINA, 2018).

Penatalaksanaan nonfarmakologis dapat dilakukan melalui aktivitas

fisik dan latihan napas (GINA, 2018). Latihan napas yang

direkomendasikan untuk asma adalah teknik pernapasan Buteyko

(Godfrey, 2010). Banyak penelitian tentang teknik pernapasan Buteyko

baik di luar negeri maupun Indonesia dan hasil menunjukkan teknik

Buteyko dapat meningkatkan kontrol asma. Teknik Buteyko dapat

menurunkan gejala asma, menurunkan penggunaan bronkodilator

namun sedikit dan tidak signifikan dalam mengurangi responsifitas

bronkial (Cooper et al., 2003; Mohamed, Riad dan Ahmed, 2013).

Latihan fisik berupa berjalan meningkatkan kontrol asma dengan

mengurangi reaksi hiperesponsivitas dan meningkatkan daya tahan

kardiorespirasi (Pakhale, Luks, Burkett, & Turner, 2018)


Metode: Desain penelitian ini adalah quasi experimental dengan

pretest-postest control group design.

Analisa penelitian

Tabel.1

Peningkatan nilai kontrol asma pada kelompok perlakuaan dapat

dipengaruhi karakateristik atau faktor sosio demografik yaitu usia, jenis

kelamin, pendidikan, Indeks Masa Tubuh (IMT)


Perubahan kontrol asma pada kelompok perlakuan lebih besar

dibandingkan kelompok kontrol. Maka dapat disimpulkan pasien

asma yang diberikan latihan kombinasi teknik pernapasan

Buteyko dan latihan berjalan memiliki nilai kontrol asma yang lebih

besar dibandingkan dengan pasien asma yang tidak diberikan latihan

kombinasi teknik pernapasan Buteyko dan latihan berjalan


Penelitian sebelumya dilakukan oleh Sisca Octarini. (2019).Pengaruh

Pernapasan Teknik Butekyo Terhadap Frekuensi Kekambuhan Asma

pada Penderita Asma Bronkhial di UPT Puskesmas Wilayah Kerja

Lima Kaum 1 Kabupaten Tanah Datar . Asma adalah penyakit jalan

nafas obstruktif intermitten reversibel dimana trakea dan bronki

berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Teknik Pernafasan

Buteyko Terhadap Frekuensi Kekambuhan Asma pada Penderita

Asma Bronkhial di UPT Puskesmas Wilayah Kerja Lima Kaum 1

Kabupaten Tanah DatarTahun 2013. Desain penelitian ini adalah pra

eksperimen dengan pendekatan one group pretest –posttest design.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni. Populasi dalam

penelitian ini adalah semua penderita asma yang berada di wilayah

kerja Puskesmas Lima Kaum 1 Kabupaten Tanah Datar. Teknik

pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive

sampling sehingga sampel penelitian ini adalah sebanyak 12

orang. Pengumpulan data dilakukan menggunakan lembar

observasi. Hasil penelitian dengan tabel distribusi frekuensi didapatkan

bahwa dari 12 responden yang mempunyai frekuensi kekambuhan

sedang (75%) sebelum diberikan teknik pernafasan buteyko, dan yang

mempunyai frekuensi kekambuhan ringan (83,3%) sesudah diberikan

teknik pernafasan buteyko. Hasil uji wilcoxon didapatkan nilai

signifikansi P < 0,05 dengan Ho ditolak dan Ha diterima. Terdapat


perbedaan rata-rata frekuensi kekambuhan asma sebelum dan sesudah

diberikan terapi wicara dengan p = 0,020, artinya ada perbedaan

frekuensi kekambuhan asma bronkhial sebelum dan sesudah diberikan

teknik pernafasan buteyko pada pasien asma bronkhial di UPT

Puskesmas Wilayah Kerja Lima Kaum 1 Kabupaten Tanah Datar.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa teknik

pernafasan buteyko berpengaruh terhadap frekuensi kekambuhan asma

bronkhial.

Adapun penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Maskhanah.

(2019). Pengaruh Teknik Pernapasan Buteyko Terhadap

Kekambuhan Asma Bronkial. Asma bronkial merupakan penyakit

yang tidak bisa disembuhkan sehingga perlu pencegahan yang

tepat, salah satunya dengan teknik pernapasan Buteyko yang

mampu mengurangi hiperventilasi. Tujuan penelitian untuk

menganalisis pengaruh pelaksanaan teknik pernapasan Buteyko

terhadap kekambuhan asma bronchial.Rancangan penelitian

menggunakan Quasi Experiment pre and post test without

control. Populasi berjumlah 349 pasien asma rawat jalan

Puskesmas Lempake. Besar sampel berjumlah 8 orang dengan

rumus Roscoe (1975) dan Arikunto (2010) = 11 responden

dengan drop out 3 responden dan menggunakan teknik

consecutive sampling. Instrumen menggunakan lembar observasi

gejala asma yang diadopsi dari penelitian mardhiah (2009). Waktu


penelitian dilakukan 3 kali sehari selama 2 minggu. Data dianalisa

menggunakan uji Paired T-Test. Dari hasil analisa diperoleh p

value pada pretest 0,002; post test1 0,018 dan post test2 0,002.

Ketiga skor tersebut < 0,05 (95% kepercayaan) maka H0 ditolak

sehingga Ha diterima. Teknik pernapasan Buteyko dapat

mengurangi kekambuhan asma. Saran peneliti, bagi

peneliti selanjutnya diharapkan dapat membandingkan teknik

pernapasan Buteyko dengan metode lain dalam hal kekambuhan

asma.

Sepemahaman saya senam bteyko adalah senam untuk

pengobatan asma , tekhnik pernapasan ini muncul sekitar di tahun

1952 ditemukan oleh Pavlovich buteyko.Dengan melakukan

tekhnik pernapasan buteyko maka dapat meringankan gejala pada

pasien asma dan mengurangi ketergantungan terhadap obat-

obatan . Selain dengan tekhnik buteyko , berjalan kaki juga

mampu meringankan gejala pada pasien asma, berjalan kaki

selama 30 menit selama 3 kali seminggu dipercaya mampu

meringankan keluhan terhadap pasien asma.Selain meringankan

keluhan juga dapat membuat tubuh penderita asma lebih bugar

dan sehat.

4.2.7 Pembahasan Jurnal Ketujuh (Jurnal Internasional )


Judul : Melakukan Tes Kinerja Fisik untuk Mengidentifikasi

Pasien PPOK dengan Aktivitas Fisik Rendah dalam Praktek

Klinis

Peneliti : Zinka Matkovic ,Neven Tudoric Danijel Cvetko

Cristina Esquinas Dario Rahelic

Publikasi : Melakukan Tes Kinerja Fisik untuk Mengidentifikasi

Pasien COPD dengan Aktivitas Fisik Rendah dalam

Praktek Klinis. International Journal of Chronic

Obstructive Pulmonary Disease 2020:15 921–929

Penelitian ini meneliti tentang melakukan tes secara signifikan berkorelasi

dengan aktivitas fisik yang diukur secara objektif (Physical Activity)

pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan

berpotensi dapat berfungsi untuk mengidentifikasi pasien PPOK yang

tidak aktif secara fisik dalam praktik klinis rutin.

Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memiliki tingkat dan

intensitas aktivitas fisik (PA) yang lebih rendah dibandingkan dengan

orang sehat yang cocok dengan usia dan bahkan untuk pasien dengan

penyakit kronis lainnya. Ketidakaktifan fisik dan gaya hidup menetap

menjadi lebih jelas dengan meningkatnya Keparahan PPOK sebagai

akibat dari pembatasan ventilasi progresif, gangguan jantung, disfungsi

otot perifer, dan faktor psikologis.(Zinka,2020)


Meski menjadi fokus utama manajemen pasien PPOK

adalah gejala pernapasan dan eksaserbasi, dokter menjadi semakin sadar

akan pentingnya mengamati /mengontrol aktvitas fisik yang kurang

pada pasien PPOK.(Zinka, 2020)

Metode: Penelitian cross-sectional Ini adalah studi Observasi/mengamati pusat

tunggal yang dilakukan pada pasien rawat jalan dengan PPOK stabil

Analisi Tabel.1Karakteristikpasien PPOK


Sebanyak 112 pasien yang memenuhi kriteria penelitian direkrut, dan 111 (76

laki-laki, usia rata-rata 67,7 [SD 7,8] tahun) menyelesaikan semua

prosedur terkait protokol. Tabel 1 menunjukkan karakteristik

pasien.Rata-rata FEV1 adalah48,9% (15%), skor CAT 17,9 (6,4), dan

rata-rata Tingkat dispnea mMRC adalah 2,0 (1,0). Empat puluh dua

(37,8%) pasien menunjukkan setidaknya satu eksaserbasi PPOK pada

tahun sebelumnya, rata-rata 1,2 (1,4), maksimum 8, dan indeks

komorbiditas Charlson adalah 1,8 (1,0). Bronkodilator jangka panjang

adalah obat COPD yang paling umum digunakan, dan 58 pasien (52%)

menerima kortikosteroid inhalasi (Tabel 1).

Gambar 1 Intensitas aktivitas fisik dalam populasi penelitian. (A) Persentase

waktu harian. (B) Persentase waktu aktif aktivitas fisik.

Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa sebagian besar pasien PPOK

menghabiskan jauh lebih sedikit waktu berjalan dibandingkan dengan

rekan-rekan mereka yang sehat, dan ketika mereka benar-benar


berjalan, mereka melakukannya dengan kecepatan yang jauh lebih

lambat.Dalam penelitian kami, rata-rata hitungan langkah harian

adalah 8059 langkah / hari (table 2), yang bukan hasil yang buruk,

meskipun masih jauh lebih sedikit dari 10.000

Namun, yang lebih menarik adalah bahwa rata-rata aktivitas harian di antara

para peserta berkisar dari sangat buruk (minimal 220 langkah/hari)

hingga unggul (maksimum 23.342 langkah / hari). Meskipun

demikian, sejalan dengan penelitian sebelumnya, sebagian besar

aktivitas fisik yang dilakukan oleh pasien kami berada pada tingkat

intensitas rendah, yaitu, mereka menghabiskan 73% waktu aktif

berjalan lambat dan hanya 4% berjalan cepat.

Tabel.2 Kebugaran Fisik dan Fungsi Otot


Hasil berbagai tes kinerja fisik dan fungsi otot / massa ditunjukkan pada Tabel

2. Pasien berjalan rata-rata 376 m (119) dalam 6MWT,

Table.3 Korelasi Antara Hitungan Langkah Harian dan

Parameter Kebugaran Fisik dan Fungsi Otot / Massa

Catatan: Nilai dalam huruf tebal secara statistik signifikan (p <0,05)


Tabel 3 dan Tabel 2 menunjukkan hasil analisis korelasi Spearman antara

aktivitas fisik dan parameter fisiologis dan fungsi otot / massa. Ada

korelasi kuat antara jumlah langkah harian dan jarak 6-minutewalk

(6MWD), dan korelasi sedang antara jumlah langkah harian dan

4MGS, TUGT, dan 30sCST. FFMI dan aktivitas fisik hanya

menunjukkan korelasi yang lemah. Sebaliknya, tidak ada korelasi

yang signifikan antara jumlah langkah harian dan kekuatan pegangan,

CC, AMA dan RFCSA.


Korelasi yang signifikan antara jumlah langkah harian dan parameter

kebugaran fisik dan fungsi / massa otot. (A) Korelasi antara jarak

berjalan 6 menit dan jumlah langkah harian. (B) Korelasi antara

kecepatan berjalan 4 meter dan jumlah langkah harian. (C) Korelasi

antara uji dudukan kursi 30 detik dan jumlah langkah harian. (D)

Korelasi antara tes waktunya dan pergi dan jumlah langkah harian. (E)

Korelasi antara indeks massa bebas lemak dan jumlah langkah harian.

Tabel 4

Tabel4 karakteristik pengoperasian penerima Analisis dari Berbagai Tes yang

Digunakan untuk Mengidentifikasi Pasien PPOK dengan Tingkat

Aktivitas Fisik yang Sangat Rendah (<5000 Langkah / Hari)


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki kinerja fisik atau fungsi

otot / tes massa mana yang secara signifikan berkorelasi dengan

Aktivitas fisik yang diukur secara objektif dan dapat digunakan dalam

praktik klinis rutin untuk mengidentifikasi pasien PPOK dengan

tingkat Aktivitas fisik yang sangat berkurang.

Berdasarkan hasil penelitian kami dan sehubungan dengan keterbatasan yang

disebutkan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa 6MWD, 4MGS,

TUGT, 30sCST, dan FFMI secara signifikan berkorelasi dengan

jumlah langkah harian dalam populasi PPOK. Selain itu, 6MWD

memiliki kekuatan prediksi terbaik untuk mengidentifikasi pasien

COPD yang berjalan kurang dari 5.000 langkah per hari, diikuti oleh

4MGS, TUGT, dan 30sCST. Keempat tes ini mudah dilakukan dan

tersedia dalam pengaturan klinis apa pun dan dapat digunakan sebagai

alat skrining untuk identifikasi pasien PPOK yang tidak aktif secara

fisik.

Hasil: Populasi penelitian (N = 111, 69% pria, usia rata-rata 68 tahun)

berjalanrata-rata 8059 langkah / hari. Hitungan langkah harian sangat

berkorelasi dengan 6MWD (rho = 0,684, p <0,001) dan cukup dengan

4MGS (rho = 0,464, p <0,001), TUGT (rho = .40,463, p <0,001), dan

30sCST ( rho = 0,402, p <0,001). Korelasi dengan FFMI lemah (rho =

0,210, p = 0,027), sedangkan parameter lainnya tidak secara signifikan

berkorelasi dengan jumlah langkah harian. 6MWD memiliki kekuatan


diskriminatif terbaik untuk mengidentifikasi pasien dengan aktivitas

fisik yang sangat rendah didefinisikan sebagai <5000 langkah / hari

(AUC = 0,802 [95% CI: 0,720-0,8884], p <0,001), diikuti oleh TUGT,

4MGS, dan 30sCST.

Kesimpulan: 6MWD, 4MGS, TUGT, dan 30sCST mudah dilakukan dalam

pengaturan klinis apa pun dan dapat digunakan oleh dokter dalam

penyaringan pasien PPOK yang tidak aktif secara fisik.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sheila (2020)

Hubungan Antara Aktivitas Fisik dan Penyakit lainnya Pada Orang

Dengan PPOK yang Berada di Spanyol: A Cross Sectinal Analysis.

(2020). Internasional Juornal Environmental Research and Public

Health 2020

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Putri Tiara Rosha (2018) Faktor-

faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien Penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK)

Sepemahaman saya pada penelitian ini adalah penelitian ini meneliti tingkat

aktivitas fisik pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (ppok),

setelah didapatkan hasil dengan berbagai macam cara perhitungan

maka didapatkan hasil bahwa rata-rata dari pasien penyakit paru

obstruktif kronik memiliki aktivitas fisik yang rendah. Dengan adanya

penelitian ini maka kita bisa memberikan saran kepada responden

untuk selalu melakukan aktivitas atau latihan fisik yang cukup dan
teratur sesuai kemampuan , tujuannya agar mengurangi gejala pada

pasien dan membantu menambah kebugaran tubuh kepada responden.

4.2.8 Pembahasan Jurnal Kedelapan ( Internasional)

Judul : Hubungan Antara Aktivitas Fisik dan Penyakit Pada

Orang Dengan Penyakit ParuObstuktif Kronik yang Berada

di Spanyol: A Cross Sectinal Analysis

Penelitian: Sheila Sinchez Castillo,Lee Smith,Arturo Diaz Suarez ,

and Guillermo Felipe Lopez Sanchez

Publikasi : Hubungan Antara Aktivitas Fisik dan Penyakit lainnya

Pada Orang Dengan PPOK yang Berada di Spanyol: A

Cross Sectinal Analysis.(2020). Internasional Juornal

Environmental Research and Public Health 2020

Penelitian ini memiliki variabel yang sama dengan penelitian yang saya

lakukan yaitu Variabel Independen ‘’Aktivitas Fisik . dan Penelitian

ini juga mengkaji dampak aktivitas fisik terhadap Sistem Pernapasan

pada pasien PPOK

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK ) adalah penyakit yang ditandai

dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya

reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan

berhubungan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang

beracun atau berbahaya.


Aktivitas Fisik adalah pergerakan tubuh dari otot-otot rangka dimana

memerlukan tenaga saat melakukannya . Aktivitas fisik terbagi

beberapa jenis , Aktivitas Harian, Latihan Fisik dan Olahraga.

Aktivitas fisik juga dapat dikategorikan sebagai Aktivitas Berat ,

Sedang dan Ringan.

Keterkaitan antar Variabel ini adalah Dengan Pasien Penyakit paru Obstruktif

Kronis (PPOK) melakukan aktivitas fisik dapat mencegah atau

menghindari resiko penyakit berupa Penyakit Punggung, alergi kronis,

Penyakit tulang, asma dan hipertensi menjadi yang paling umum.

Bahkan Tingkat Aktivitas fisik secara yang sangat kurang signifikan

terkait dengan risiko urin yang lebih tinggi/ kehilangan control

kandung kemih, katarak, kecemasan yang berlebih. Sementara

interaksi kepada pasien PPOK untuk melakukan aktivitas fisik bukan

hal yang mudah bagi pasien, Namun dianjurkan untuk orang PPOK

untuk meningkatkan tingkat aktivitas fisik mereka dalam upaya untuk

mengurangi risiko Penyakit yang akan muncul dan meningkatkan

kualitas hidup pasien

Pada penelitian ini didapatkan hasil untuk menilai kedua variable Aktivitas

fisik dan penyakit pada pasien PPOK, analisis yang dilakukan ada 3

model. Yang pertama tidak disesuaikan, model kedua disesuaikan

untuk usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, merokok,

konsumsi alkohol dan berat badan berlebih (Obesitas) dan model yang
ketiga disesuaikan untuk variabel yang sama dengan model dua dan

juga untuk variabel kehadiran Penyakit lain serta asupan obat.

Penyakit pada pasien penyakit paru kronik(PPOK) yang secara

signifikan terkait dengan aktivitas fisik dalam model 1(menganalisa

aktivitas) juga dianalisis dalam model 2 (menganalisa penyakit )

saling berhubungan. Di model ke 3 emua variabel dimasukkan dalam

model sebagai variabel kategori dengan pengecualian usia dan sisanya

semua nya dimasukkan tanpa ada data yang hilang, hasil dari analisa

perhitungan disajikan dengan rasio ganjil OR (95%) Interval

kepercayaan.
Tabel.1
Sampel terdiri dari 601 orang dewasa dengan Penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK) yang tinggal di Spanyol. Rentang usia sampel adalah 15-69

tahun, dengan rata-rata (SD) 52,8 (14,1) tahun. Sebanyak 52,2%

adalah perempuan dan 47,8% adalah laki-laki. Prevalensi orang yang

melakukan kurang dari 600 MET • min / minggu adalah 37,1%.

Sebanyak 94% dari orang dengan PPOK yang memiliki penyakit lain.

Tabel.2
Perbedaan antara kelompok adalah signifikan untuk pendidikan, status

perkawinan, alkohol, obesitas, adanya komorbiditas, asupan obat dan

Aktivitas Fisik. Secara keseluruhan, prevalensi penyakit lain yang ada

pada mereka dengan Penyakit paru obstruktif kronik ditunjukkan pada

Tabel 2. Nyeri kronis lumbar, alergi kronis, arthrosis, nyeri serviks kronis,

asma dan hipertensi adalah komorbiditas dengan insidensi lebih tinggi,

semuanya dengan lebih dari 30%. Mempertimbangkan klasifikasi ICD

56,2% pasien PPOK menderita gangguan muskuloskeletal, diikuti oleh


penyakit kardiovaskular (48,8%) dan penyakit endokrin dan metabolik

(40,8%).

Tabel.3
Hubungan antara Aktivitas Fisik dan penyakit lain pada penderita PPOK yang diteliti

(Tabel 3) menunjukkan bahwa, ketika model disesuaikan dengan jenis

kelamin, usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, merokok, konsumsi

alkohol dan obesitas, kurang dari 600 MET min / minggu PA dikaitkan

dengan signifikan peluang lebih tinggi untuk inkontinensia urin (OR = 2.179;

95% CI = 1.251-3.796), konstipasi kronis (OR: 2.023; 95% CI = 1.150-3.558),

katarak (OR = 1.918; 95% CI = 1.122-3.279) dan osteoporosis (OR = 1,713;

95% IC = 0,958-3,064).Nyeri lumbar(Tulang punggung) kronis, depresi dan

kecemasan kronis menunjukkan peluang yang signifikan juga. Namun, ketika

model disesuaikan dengan mempertimbangkan juga adanya komorbiditas dan

asupan obat, PA secara signifikan hanya dikaitkan dengan inkontinensia urin,

sembelit kronis, katarak, nyeri lumbar kronis dan kecemasan kronis. Ketika

model tidak disesuaikan, infark miokard memiliki salah satu peluang tertinggi,

tetapi itu tidak signifikan (OR = 2,171; 95% CI = 0,844-5,586).Sebagai

kesimpulan, sembilan dari sepuluh pasien PPOK yang berada di Spanyol

menderita penyakit lain , dengan CBP lumbar, alergi kronis, artrosis, CBP

serviks, asma dan hipertensi menjadi yang paling umum.


Tingkat Aktivitas fisik yang kurang juga secara signifikan dikaitkan dengan risiko

inkontinensia urin yang lebih tinggi, sembelit kronis, katarak, kecemasan

kronis dan lumbar CBP. Sementara interaksi pasien PPOK dengan Aktivitas

fisik bukan hal yang mudah untuk dilakukan pasien, dianjurkan bagi orang

dengan PPOK untuk meningkatkan Aktivitas fisik mereka dalam upaya untuk

mengurangi risiko kemunculan penyakit lainnya dan meningkatkan kualitas

hidup.(Sheila,2019)

Adapun penelitian yang hamper serupa dilakukan oleh Tri Wulandari.(2020). Aktivitas

Rutin untuk Mencegah Penyakit Degeratif. Penyakit degeneratif atau metabolik

adalah penyakit yang disebabkan oleh aktivitas berlebihan yang membuat

orang tidak punya waktu untuk menjaga kesehatan tubuh. Kondisi terus

menerus ini dapat meningkatkan risiko kematian. Fenomena ini banyak

ditemukan dengan adanya obesitas di banyak tempat termasuk di Dusun

Gamping, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.

Baru-baru ini, tren penyakit ini telah meningkat. Oleh karena itu, menciptakan

kesadaran masyarakat tentang masalah ini perlu dilakukan melalui program

pemberdayaan. Program ini diharapkan dapat mengurangi risiko kematian yang

disebabkan oleh penyakit metabolik atau degeneratif terutama bagi ibu rumah

tangga yang memiliki aktivitas yang tidak pernah berakhir. Program

pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui organisasi untuk perempuan

yaitu Program Kesejahteraan Keluarga. Implementasi program ini dilakukan

dalam beberapa tahap yaitu: 1) pemeriksaan kualitas fisik awal (indeks massa

tubuh, tekanan darah, kadar kolesterol, gula darah dan asam urat); 2)
penciptaan kelompok yang memperhatikan kehidupan sehat; 3) sosialisasi

tentang pola hidup sehat; 4) senam rutin psikomotor dua kali seminggu selama

10 minggu; dan 5) pemeriksaan kualitas fisik akhir. Tercatat dari program

pemberdayaan ini bahwa 38,29% menderita obesitas, 6,38% menderita diabetes

mellitus (DM), 36,17% menderita asam urat tinggi dan 10,64% menderita

hiperkolesterolemia. Setelah senam rutin dua kali seminggu dalam 10 minggu,

tercatat bahwa obesitas menurun menjadi 34,04% dan DM menurun menjadi

4,26%, sedangkan hiperkolesterolemia meningkat menjadi 17,02%. Asam urat,

di sisi lain, tetap stabil. Untuk menjaga kesehatan mereka lebih lanjut, senam

rutin terus-menerus, pemeriksaan kesehatan berkala (setidaknya setahun

sekali), terutama untuk orang berusia> 40 tahun. Keberhasilan lain dari

program ini adalah penciptaan Komunitas Peduli Hidup Sehat

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Putri Tiara Rosha (2018) Faktor-faktor

yang mempengaruhi kualitas hidup pasien Penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK).

Sepemahaman saya dari penelitian ini adalah bahwa aktivitas fisik sangat menentukan

penyaikit lainnya yang muncul pada pasien penyakit paru obstruktif kronik

(ppok). Penyakit yang muncul beragam tergantung persentasi aktivitas fisik

yang dilakukn , Namun pasien PPOK dengan aktivitas fisik rendah cenderung

lebih berisiko terkena penyakit lain dibandingkan pasien dengan aktifitas yang

normal atau bagus


4.3 Pembahasan Keterkaitan Masing-masing Jurnal dengan Hipotesis

Penelitian

4.3.1 Jurnal Pertama

Penelitian yang dilakukan oleh Kritina L Silalahi, Tobus Hasiholan Siregar .

(2018). Dengan judul Pengaruh Pulsed Breathing Exercise Terhadap

Penurunan Sesak Napas Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis

(PPOK) di RSU Royal Prima Medan mendapatkan hasil dengan

menggunakan uji Wilcoxon pada saat uji pre test nilai mean 2,13 dan

nilai median 2,00. Pada saat uji post test nilai mean 1,25 dan nilai

median 1,00. Maka didapat nilai Z = -2,646 dengan p value sebesar

0,008 < 0,05 sehingga kesimpulan Ho ditolak dan Ha diterima,

disimpulkan bahwa ada pengaruh pulsed lip breathing exercise terhadap

penurunan sesak napas pada pasien penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK) di Rumah Sakit Umum Royal Prima Medan tahun 2018.

Hasil penelitian ini akan mendukung penelitian yang akan saya lakukan dengan

judul ‘’Hubungan Aktivitas Fisik dengan Status Pernapasan pada Pasien

Penyakit Paru Obtruktif Kronik (PPOK). Karena Penelitian ini memiliki

Variabel yang makna nya hampir sama dengan Variabel penelitian yang

akan saya lakukan.

Pursed Lip Breathing Exercise merupakan latihan yang bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan otot-otot pernapasan berguna untuk

meningkatkan ventilasi fungsi paru dan memperbaiki oksigenisasi


Manfaat dari Pursed Lib Breathing Exercise adalah untuk membantu pasien

memperbaiki transport oksigen , menginduksi pola napas lambat dan

dalam , membantu pasien mengontrol pernapasan, mencegah kolaps,

dan melatih otot-otot ekspirasi untuk memperpanjang ekshalasi dan

meningkatkan tekanan jalan napas selama ekspirasi dan mengurangi

jumlah udara yang terjebak (Smeltzer & Bare, 2013)

4.3.2 Jurnal Kedua

Pada penelitian yang dilakukan oleh Irmawan Andri Nugroho, Tintin

Sukartini,Sriyono. (2018). Low Impact Aerobic Exercise Dapat

Menurunkan Keluhan Gejala Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis

didapatkan hasil bahwa gejala pasien PPOK pre dan post test pada

kelompok perlakuan dengan uji statistic paired T-test diproleh P =

<0,001 yang berarti ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan

gejala sebelum dan setelah intervensi pada kelompok perlakuan.

Berdasarkan uraian data diatas maka dapat disimpulkan nahwa hipotesis

pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Irmawan Andri

Nugroho, Tintin Sukartini,Sriyono. (2018). Low Impact Aerobic

Exercise Dapat Menurunkan Keluhan Gejala Pasien Penyakit Paru

Obstruktif Kronis

Hasil penelitian ini akan mendukung penelitian yang akan saya lakukan dengan

judul ‘’Hubungan Aktivitas Fisik dengan Status Pernapasan Pasien

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Karena Variabel pada


penelitian ini hampir memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan

saya lakukan , pada penelitian ini peneliti juga meneliti Latihan fisik

yang merupakan bagian dari ktivitas fisik, peneliti meneliti latihan fisik

berupa Latihan Low Impact Aerobic Exercise terhadap pasien dengan

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

Latihan aerobik adalah latihan yang bergantung terhadap ketersediaan oksigen

untuk membantu proses pembakaran sumber energi sehingga akan

bergantung terhadap kerja optimal dari jantung, pembuluh darah dan

paru-paru sehingga latihan tersebut dapat berlangsung lama (Arista

2019).

Latihan fisik bagi penderita PPOK bertujuan utama menurunkan gejala,

meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan aktifitas sehari-hari

(GOLD 2016).

4.3.3 Jurnal Ketiga

Penelitian yang dilakukan oleh Imron Rosyadi.(2019). Pada Penelitian

ini responden dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi

dan kelompok kontrol . Kelompok intervensi akan diberikan pelatihan

pada kelompok intervensi akan mendapat latihan pursed lip

breathing, diaphragmatic breathing, dan upper limb stretching

sementara pasien kelompok kontrol tidak diberikan intervensi apapun,

namun pasien kelompok kontrol akan diberikan latihan setelah

penelitian selesai dilakukan.


Kelompok intervensi diberikan latihan pursed lip breathing, diaphragmatic

breathing, dan upper limb stretching selama 4 minggu sebanyak 2 kali

dalam 1 minggu, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan latihan.

Skala dispnea diukur menggunakan kuesioner MRC Dyspnea Scale

dan dikategorikan menjadi ringan (skala 1), sedang (skala2-3), dan

berat (skala 4-5). Terdapat perbedaan dispnea (p value 0,008) dan

sekaligus tidak ada perbedaan dispnea pada kelompok kontrol yang

tidak diberikan latihan (p value 0,655). Pursed lip breathing,

diaphragmatic breathing, dan upper limb stretching dapat memberikan

manfaat yang lebih signifikan apabila dilakukan secara berkelanjutan,

khususnya bagi pasien PPOK.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah otot pernapasan pasien PPOK yang

mengalami kelemahan dapat kembali dioptimalkan. Salah satu upaya

dalam meningkatkan kekuatan otot pernapasan adalah dengan

melakukan latihan otot pernapasan (pursed lip breathing,

diaphragmatic breathing, dan upper limb stretching) secara rutin.

Latihan otot pernapasan yang dilakukan secara rutin, disertai dengan

gaya hidup yang sehat dapat membantu meningkatkan kemampuan

aktivitas pasien PPOK dalam kehidupan sehari-hari.

4.3.4 Jurnal Keempat

Penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Dwi Yunica Astriani , Putu Indah

Sintya Dewi ,dan Kadek Hendri Yanti.(2020).dengan judul Relaksasi

Pernafasan Dengan Teknik Ballon Blowing Terhadap Peningkatan


Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK mendapatkan hasil perhitungan

dengan program computer p –valuee 0,000 maka dapat disimpulkan

nilai p lebih kecil dari 0,05(p<0,05) yang berarti terdapat pengaruh

relaksasi pernapsan dengan teknik ballon blowing terhadap saturasi

oksigen pasien PPOK di ruang poli paru RSUD Kabupaten Buleleng .

Berdasarkan hasil tersebut diatas maka dapat disimpulkan hipotesis

pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ni Made Dwi Yunica

Astriani , Putu Indah Sintya Dewi ,dan Kadek Hendri Yanti.(2020)

yaitu pengaruh relaksasi pernapasan dengan teknik ballon blowing

terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK.Berdasarkan hasil tersebut

maka dapat disimpulkan hipotesis pada penelitian ini sejalan dengan

hasil penelitian Ni Made Dwi Yunica , Astriani , Putu Indah Sintya

Dewi ,dan Kadek Hendri Yanti.(2020). Terdapat pengaruh Relaksasi

Pernafasan Dengan Teknik Ballon Blowing Terhadap Peningkatan

Saturasi Oksigen Pada Pasien PPOK

Hasil Penelitian ini akan mendukung penelitian yang akan saya lakukan dimana

penelitian ini memiliki variabel – variabel yang hampir mirip dengan

yang akan saya lakukan.Latihan pernapasan juga merupakan latihan

fisik atau Aktivitas fisik , penelitian ini juga mengkaji tentang status

pernapasan pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yaitu

saturasi oksigen.Hal ini sejalan dengan penelitian yang akan saya

lakukan dengan judul ‘’ Hubungan Aktivitas Fisiki terhadap Status

Pernapasan Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


pursed lip breathing berguna untuk memperbaiki ventilasi, meningkatkan

kerja otot abdoman dan toraks.(Ni made 2020)

Teknik relaksasi dengan meniup balon dapat membantu otot intracosta

mengelevasikan otot diafragma dan kosta. Sehingga memungkinkan

untuk menyerap oksigen , mengubah bahan yang masih ada dalam paru

untuk mengeluarkan karbondioksida yang ada didalam paru.(Tunik et al

2017 )

4.3.5 Jurnal Kelima

Penelitian yang dilakukan oleh Erik Kusuma, Bayu Herlambang.(2020).

dengan judul Pengaruh Senam Asma Terhadap Kemampuan Penderita

Asma di Poli Paru RSUD Bangil mendapatkan hasil perhitungan

dengan. Analisa data menggunakan paired t-test dengan taraf signifikan

α: 0,05. Dari hasil penelitian didapatkan rata-rata kemampuan

pernapasan (APE) sebelum senam 208 lt/mnt dan setelah melakukan senam

naik menjadi 304 lt/mnt, uji statistik didapatkan nilai p : 0,000 (< α :

0,05), artinya ada pengaruh senam asma terhadap kemampuan pernapasan

pada penderita asma di Poli Asma RSUD Bangil. Senam asma secara rutin

dapat meningkatkan kemampuan pernapasan dan memperbaiki kualitas

hidup penderita asma.

senam asma yang bersifat melatih otot pernapasan. Latihan otot pernapasan
dapat meningkatkan fungsi otot pernapasan, mengurangi derajat
gangguan pernapasan, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas dan
menurunkan gejala dipsnea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah mengikuti senam asma secara teratur pasien asma
mendapatkan beberapa manfaat yaitu frekuensi serangan asma
berkurang, pemakaian obat berkurang, dan gejala asma menjadi
ringan.(Erik, 2020)

Senam asma dianggap mampu mengurangi obstruksi dan meningkatkan

elastisitas dari bronkus dan otot- otot prnapasan. melatih para

penderita asma dengan beberapa sesi termasuk di dalamnya adalah

sesi latihan menarik napas dan menghembuskan napas dengan

ekspirasi lebih panjang dua hitungan dibanding inspirasi. Latihan

ini bertujuan melatih cara bernapas yang baik. Sesi yang lain adalah

untuk melenturkan otot pernapasan, sehingga mempermudah

pernapasan dan ekspektorasi. Sesi utama adalah sesi aerobik yang

menggunakan otot-otot besar untuk melatih sistem kardiovaskular dan

respirasi dalam mendistribusikan pasokan darah (Sudrajat & Nisa,

2016).

4.3.6 Jurnal Keenam

Penelitian yang dilakukan oleh Wiwik Udayani,Muhammad AminMakhfudli.

(2020) dengan judul Pengaruh Kombinasi Teknik Pernapasan Buteyko

dan Latihan Berjalan Terhadap Kontrol Asma Pada Pasien Asma

Dewasa mendapatkan hasil hitung menunjukkan perbedaan yang

signifikan nilai kontrol asma antara sebelum dan sesudah 4 minggu dan

8 minggu intervensi pada kelompok perlakuan dengan didapatkan nilai

p = 0.000 (p <0,05).
Hasil Penelitian ini akan mendukung penelitian yang akan saya lakukan dimana

pada penelitian ini memiliki variabel yang berkaitan dengan penelitian

yang akan saya lakukan . Penelitian ini mengkaji tentang latihan fisik

atau aktivitas fisik terhadap pasien Asma , dimana pasien asma juga

merupakan bagian dari pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Sejalan dengan judul penelitian yang akan saya lakukan dengan judul

‘’Hubungan Aktivitas Fisik dengan Status Pernapasan pada Pasien

penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Kombinasi teknik pernapasan Buteyko dan latihan berjalan meningkatkan

kontrol asmamelaui mekanisme peningkatan CO2 dan produksi

nitric oxide yang berefek bronkodilatasidan melalui penurunan

mediator inflamasi sehingga dapat menurunkan gejala asma.(Wiwik

2020)

Latihan fisik berupa berjalan meningkatkan kontrol asma dengan mengurangi

reaksi hiperesponsivitas dan meningkatkan daya tahan kardiorespirasi

(Pakhale, Luks, Burkett, & Turner, 2013).

4.3.7 Jurnal Ketujuh (Internasional )

Penelitian ini meneliti tentang melakukan tes secara signifikan berkorelasi

dengan aktivitas fisik yang diukur secara objektif (Physical Activity)

pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan


berpotensi dapat berfungsi untuk mengidentifikasi pasien PPOK yang

tidak aktif secara fisik dalam praktik klinis rutin.

Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memiliki tingkat dan

intensitas aktivitas fisik (PA) yang lebih rendah dibandingkan dengan

orang sehat yang cocok dengan usia dan bahkan untuk pasien dengan

penyakit kronis lainnya. Ketidakaktifan fisik dan gaya hidup menetap

menjadi lebih jelas dengan meningkatnya Keparahan PPOK sebagai

akibat dari pembatasan ventilasi progresif, gangguan jantung, disfungsi

otot perifer, dan faktor psikologis.(Zinka,2020)

Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien dengan penyakit PPOK

cenderung memiliki aktivitas fisik rendah , bahkan perhitungan

menggnakan 6MWD, 4MGS, TUGT, 30sCST, dan FFMI secara

signifikan berkorelasi dengan jumlah langkah harian dalam populasi

PPOK. Selain itu, 6MWD memiliki kekuatan prediksi terbaik untuk

mengidentifikasi pasien COPD yang berjalan kurang dari 5.000

langkah per hari, diikuti oleh 4MGS, TUGT, dan 30sCST. Keempat

tes ini mudah dilakukan dan tersedia dalam pengaturan klinis apa pun

dan dapat digunakan sebagai alat skrining untuk identifikasi pasien

PPOK yang tidak aktif secara fisik.

Hasil: Populasi penelitian (N = 111, 69% pria, usia rata-rata 68 tahun)

berjalanrata-rata 8059 langkah / hari. Hitungan langkah harian sangat

berkorelasi dengan 6MWD (rho = 0,684, p <0,001) dan cukup dengan


4MGS (rho = 0,464, p <0,001), TUGT (rho = .40,463, p <0,001), dan

30sCST ( rho = 0,402, p <0,001). Korelasi dengan FFMI lemah (rho =

0,210, p = 0,027), sedangkan parameter lainnya tidak secara signifikan

berkorelasi dengan jumlah langkah harian. 6MWD memiliki kekuatan

diskriminatif terbaik untuk mengidentifikasi pasien dengan aktivitas

fisik yang sangat rendah didefinisikan sebagai <5000 langkah / hari

(AUC = 0,802 [95% CI: 0,720-0,8884], p <0,001), diikuti oleh TUGT,

4MGS, dan 30sCST.

Kesimpulan: 6MWD, 4MGS, TUGT, dan 30sCST mudah dilakukan dalam

pengaturan klinis apa pun dan dapat digunakan oleh dokter dalam

penyaringan pasien PPOK yang tidak aktif secara fisik.

Penelitian ini akan mendukung penelitian yang akan saya lakukan agar lebih

mengobservasi aktivitas fisik yang dilakukan oleh pasien PPOK.

Sebab aktivitas yang kurang tentu mempengaruhi tingkat kesehatan

pasien PPOK , bahkan aktivitas yang kurang bisa menimbulkan

penyakit lain

Peningkatan aktivitas fisik diantara pasien penyakit paru obstruktif kronik

dapat mengurangi risiko kecemasan serta depresi pada pasien tersebut

4.3.8 Jurnal Kedelapan (Internasional )

Pada penelitian ini didapatkan hasil untuk menilai kedua variable Aktivitas

fisik dan penyakit pada pasien PPOK, analisis yang dilakukan ada 3

model. Yang pertama tidak disesuaikan, model kedua disesuaikan untuk


usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, merokok, konsumsi

alkohol dan berat badan berlebih (Obesitas) dan model yang ketiga

disesuaikan untuk variabel yang sama dengan model dua dan juga

untuk variabel kehadiran Penyakit lain serta asupan obat. Penyakit pada

pasien penyakit paru kronik(PPOK) yang secara signifikan terkait

dengan aktivitas fisik dalam model 1(menganalisa aktivitas) juga

dianalisis dalam model 2 (menganalisa penyakit ) saling berhubungan.

Di model ke 3 emua variabel dimasukkan dalam model sebagai variabel

kategori dengan pengecualian usia dan sisanya semua nya dimasukkan

tanpa ada data yang hilang, hasil dari analisa perhitungan disajikan

dengan rasio ganjil OR (95%) Interval kepercayaan.Statistik

signifikansi ditetapkan pada p <0,05 nalisis dilakukan dengan paket

statistik (SPSS).

Sebagai kesimpulan, sembilan dari sepuluh pasien PPOK yang berada di

Spanyol menderita penyakit lain , dengan CBP lumbar, alergi kronis,

artrosis, CBP serviks, asma dan hipertensi menjadi yang paling umum.

Tingkat Aktivitas fisik yang kurang juga secara signifikan dikaitkan

dengan risiko inkontinensia urin yang lebih tinggi, sembelit kronis,

katarak, kecemasan kronis dan lumbar CBP. Sementara interaksi pasien

PPOK dengan Aktivitas fisik bukan hal yang mudah untuk dilakukan

pasien, dianjurkan bagi orang dengan PPOK untuk meningkatkan

Aktivitas fisik mereka dalam upaya untuk mengurangi risiko

kemunculan penyakit lainnya dan meningkatkan kualitas hidup.


Tingkat Aktivitas fisik yang kurang juga secara signifikan dikaitkan dengan

risiko inkontinensia urin yang lebih tinggi, sembelit kronis, katarak,

kecemasan kronis dan lumbar CBP. Sementara interaksi pasien PPOK

dengan Aktivitas fisik bukan hal yang mudah untuk dilakukan pasien,

dianjurkan bagi orang dengan PPOK untuk meningkatkan Aktivitas

fisik mereka dalam upaya untuk mengurangi risiko kemunculan

penyakit lainnya dan meningkatkan kualitas hidup.(Sheila,2019)

Berdasarkan uraian tersebut maka didapatkan hasil bahwa aktivitas fisik pada

pasien penyakit paru obstruktif kronik PPOK akan berpengaruh

terhadap penyakit lain yang akan muncul pada pasien tersebut

4.4 Kesimpulan

Hasil Literatur yang dilakukan oleh peneliti dari 8 jurnal yang menunjukkan hasil

signifikan . Hal ini disebabkan karena Aktivitas fisik baik berupa aktivitas

harian , latihan fisik (Senam yoga, latihan pernapasan) merupakan sesuatu

yang sangan berdampak bagi kesehatan tubuh, baik dari fisik maupun mental

terutama kepada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Aktivitas

fisik juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan sistem pernapasan dan dapat

bermanfaat untuk meringankan gejala atau masalah pada pernapasan.

Aktivitas fisik juga sangat berpengaruh bagi kualitas hidup pasien penyakit

paru obstruktif kronik Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan

jurnal – jurnal yang diambil sebagai bahan penelitian dengan metode studi

literature menunjukkan keterkaitan dengan variabel yang diteliti serta sejalan


dengan hasil hipotesis pada penelitian ini yaitu ada hubungan aktivitas fisik

dengan status pernapasan pada pasien penyakit paru obstruktif kronis

(PPOK).

Anda mungkin juga menyukai