Anda di halaman 1dari 6

1

KRISIS ILMU BARAT SEKULER DAN ILMU TAUHIDILLAH


Dr. Ir. Harry Hikmat, MSi
Staf Ahli Bidang Dampak Sosial

KRISIS ILMU BARAT SEKULER

Konsep sentral Kuhn ialah paradigma. Menurutnya, Ilmu yang sudah matang
dikuasai oleh paradigma tunggal. Paradigma merupakan cara pandang
terhadap dunia atau praktek ilmiah konkrit. Paradigma membimbing kegiatan
ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science), dimana ilmuwan
berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan
mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal mendasar. Dalam tahap ini
ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas
ilmiahnya. Selama menjalankan riset itu, ilmuwan bisa menjumpai berbagai
fenomena yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Itulah yang disebut
anomali. Jika anomali kian menumpuk dan kualitasnya kian tinggi, maka bisa
timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan.
Dengan begitu sang ilmuwan sudah keluar dari ilmu normal. Untuk mengatasi
krisis itu, sang ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama
sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan suatu pardigma
tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya.
Jika yang terakhir ini terjadi, itulah revolusi ilmiah. Dalam revolusi ini terjadilah
proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru.
Peralihan itu tidak semata-mata karena alasan logis rasional, namun mirip
dengan proses pertobatan dalam agama. Pendapat Khun itu mengimplikasikan
bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif dan evolusioner, melainkan
secara revolusioner. Khun juga menekankan aspek psikologis dan komunal
dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Pemikiran Richard Tarnas, juga demikian yang merupakan upaya pendobrakan


atas filsafat ilmu pengetahuan yang telah bercokol sebelumnya. Perkembangan
baru ini kerap juga dinamakan pemberontakan terhadap positivisme.

Harry Hikmat (2014) Staf Ahli Bidang Dampak Sosial


2

Pandangan tentang ilmu yang bersifat positivistik dikecam keras dan dikritik
keras. Namun bersamaan dengan itu kritik tersebut berkembang bidang
sejarah ilmu. Sejarah ilmu merupakan disiplin ilmu yang semula praktis menjadi
semacam upaya untuk melihat urutan kronologis prestasi-prestasi ilmiah
individual menjadi semakin ketat dan dengan demikian semakin bisa
menemukan banyak fakta sejarah dalam perkembangan ilmu yang ternyata
berperanan besar, namun sebelumnya tak terlihat sedikitpun. Penemuan-
penemuan itu meruntuhkan berbagai mitos ilmiah yang terbentuk sebelumnya
dan telah mengalami krisis kebenaran ilmiah. Atas dasar inilah wajah dan citra
ilmu dikonstruksikan berdasarkan fakta-fakta sejarah ilmu.

Dalam posisi masyarakat dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang
sama dengan posisi agama masa abad pertengahan. Ilmu pengetahuan telah
dianggap punya kuasa mutlak. Kendati dalam masyarakat seseorang boleh
memilih agama bahkan dalam lingkungan masyarakat tertentu boleh beragama
atau tidak beragama ia tetap mau tidak mau tidak bisa memilih atau
mempelajari ilmu pengetahuan. Inilah ciri ilmu sekuler barat. Ilmu pengetahuan
tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai dan
memperbudak manusia. Dengan kungkungan metodologi yang dikembangkan
ilmu pengetahuan saat ini muncullah perbudakan terselubung terhadap
kebebasan individu dalam pengembangan prestasi ilmiahnya.

Penyebab terjadinya krisis tersebut, disebabkan pada landasan berpikir yang


mengagungkan rasionalistas sebagai landasan sains empirikal, yang berupa
individualisme, sekulerisme, naturalisme dan positivisme. Yang disebut terakhir
ini berupa penyempitan diri untuk hanya melihat ke satu arah saja. Ilmu yang
dikembangkan berlandaskan rasionalisme positivisme menjurus ke arah yang
dangkal dan salah. Pengetahuan empirikal yang sudah ada tidak bisa dijadikan
landasan untuk mendeduksi ke arah pengetahuan yang belum ada. Hal inilah
yang mendorong berkembangnya sifat-sifat dan kemajuan ilmu sekuler yang
terlepas dari bimbingan Illahi. Bahwa premis sains empiris Barat berada dalam

Harry Hikmat (2014) Staf Ahli Bidang Dampak Sosial


3

jalur yang salah jika kita memahami premis yang bersumber dari Nas. Tidak
adanya kesadaran inilah, yang membuat terjadinya krisis ilmiah.

UPAYA MENCARI ALTERNATIF BARU

Plato didasarkan pada cara pandang rasionalisme, segala macam yang dapat
dipikirkan secara logika, sedangkan Aristosteles didasarkan cara pandang
pada empirisme, pengalaman yang menimbulkan rangsangan yang dapat
memberikan pengetahuan. Plato menentang bahwa ilmu pengetahuan jangan
diambil dari dunia empiris, karena dunia empiris selalu berubah-ubah.
Pemikiran manusia harus ditentukan oleh pemikiran manusia (logika),
sedangkan Aristosteles akan melahirkan perkembangan manusia ditentukan
oleh materi (benda) dalam dunia empiris. Aristosteles didasarkan pada cara
pandang bahwa melalui penginderaan dapat melahirkan suatu konsepsi.
Kedua pemikiran ini menjadi cikal bakal landasan pemikiran ilmu-ilmu Barat,
walaupun pemikiran Plato lebih memungkinkan menampung pemikiran
agamawan.

Rasionalitas empiris yang melandasi sains empirikal di Barat, rasionalitas itu


netral itu di Barat (dimana ilmu sekuler itu berkembang) dan ternyata meraba
alur yang salah. Inilah hasilnya dari menyudutkan ilmu normatif dan diganti
dengan ilmu nomotetik. Yang terakhir ini melandaskan diri pada paham
positivism, ialah bahwa yang ada itu hanyalah segala apa yang bisa dialami,
maka mereka terjebak pada mono-realita dengan menyatakan bahwa segala
hal yang bersifat transedental adalah nonsense.

Konsepsi ini muncul karena adanya persepsi tentang jagat raya ini, dan ini
sebenarnya bukan keadaan yang sebenarnya. Yang ada dalam benak adalah
kognitif syndrom. Melalui penginderaan, maka suatu fenomena dikonsepsikan
dan selanjutnya dikomunikasikan apa yang sudah dikonsepsikan, akhirnya
dapat dikembangkan hasil-hasil konsepsi. Kondisi ini akan berakibat pada
keterbatasan dalam mengjkonsepsikan suatu fenomena karena terjadi kognitif
syndrom, sesuai dengan disiplin yang digeluti. Ketika konsepsi tersebut

Harry Hikmat (2014) Staf Ahli Bidang Dampak Sosial


4

dikomunikasikan dan setiap orang memberikan pengertian terhadap simbol-


simbol selanjutnya terjadi kerancuan karena tidak sama dalam memberikan
arti, maka akan terjadi yang disebut “semantik confusion”.

Dengan monorealitas ini, mereka mulailah dengan upaya menghubungkan


ilmu. Adapun memulainya ialah apa yang disebut self-evident proposition, ialah
proposisi yang sudah benar dengan sendirinya, sehingga tidak perlu dibuktikan
kebenarannya. Itulah premis-premis ilmu Barat yang sekuler. Ilmu Barat adalah
ilmu mono-realita dengan self evidence proposition sebagai premisnya. Kini,
pada akhir abad 20, landasan tersebut ternyata merupakan alur yang salah.
Masalah enerji, penyakit, krisis ekonomi, dan sebagainya, ternyata tidak
terjawab oleh ilmu Barat. Parahnya ilmuwan-ilmuwan di Indonesia justru
cenderung mengagung-agungkan premis-premis ilmu Barat, kita dapat menjadi
keblinger dengan premis-premis ilmu Barat, padahal banyak tipuan karena
berada pada alur yang semakin salah. Untuk itu harus ada alternatif lain, yaitu
ilmu Tauhidillah, yang niscaya benar dan ini diperlukan suatu penyusunan
epistemologi baru.

Landasan alternatif baru ini adalah hukum normatif (nas-nas), hukum nomotetik
terbenar. Kebenaran hanya satu titik, sedangkan kesalahan banyaknya tak
terhingga. Oleh karena itu, jiwa kita harus sadar akan realita yang benar, yang
bebas dari tipuan duniawi dan selalu mengharapkan keridhoan Allah SWT.

ALTERNATIF BARU ILMU TAUHIDILLAH

Alternatif baru berupa Ilmu Tauhidillah, merupakan sains dan teknologi baru
yang terbebaskan dari filsafat materialisme, naturalisme dan sekulerisme Barat.
Ilmu itu didasarkan pada prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Sunnah, baik dalam
aspek ontologi, epistemologi, lebih-lebih aspek aksiologi ilmu. Ilmu yang objek
kajiannya utamanya adalah wahyu Allah, menjiwai atau tidak terpisahkan dari
ilmu yang objek kajiannya ciptaan Allah. Dalam memilih objek kelimuan dan
dalam mencapai kebenaran keilmuan, pandangan teologik atau norma dan nilai
kewahyuan tetap dijadikan acuan. Proses menemukan kebenaran secara

Harry Hikmat (2014) Staf Ahli Bidang Dampak Sosial


5

ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses


tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang
ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan
akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. Oleh karena
itu proses mencari kebenaran dalam sains empirikal tidak value neutral, seperti
yang diagung-agungkan selama ini. Sains empirikal, ilmu Barat tidak value
neutral melainkan value laden. Karena itu prinsip Nash-nash (dari Al-Qur’an
dan Sunnah) harus dijadikan premis-premis bagi pengembangan ilmu yang
merupakan bagian integral dalam proses mencari kebenaran ilmiah. Premis
tersebut sudah pasti benar, apa yang tidak ditemukan dalam dunia empiris
yang bersifat transedental, adalah nash-nash itu sendiri sebagai premis,
sehingga dapat menghindarkan ilmuwan dari self evident proposition. Selain
dari verifikasi yang bersifat empirikal diperlukan validasi yang berlandaskan Al-
Qur’an dan Sunnah, karena empirikal bisa dikaburkan oleh faktor-faktor internal
dan eksternal dari ilmuwan.

Al-Qur’an dan Sunnah merupakan nilai baku yang kepadanya segala penilaian
harus dikembalikan, kapanpun dan dimanapun. Selanjutnya oleh karena kedua
tuntunan itu universal dan tetap, berlaku dalam setiap zaman, dan setiap
tempat, serta dalam proses kehidupan manusia, maka sifatnya mutlak. Ilmu
dan teknologi atau rasa keadilan dapat bersifat subjektif (tergantung pada
manusia yang merumuskannya), sedangkan agama merupakan hukum moral
yang paling objektif. “Janganlah kamu mencampur adukkan yang hak dan
yang batil dan janganlah kamu sembunyikan hak itu sedang kamu
mengetahui” (Al-Baqarah : 42). Dengan demikian, ketika ilmuwan dihadapkan
pada permasalahan menentukan suatu kebenaran dari kajiannya, maka
kembalikan pada premis-premis yang bersumber dari Al-Qur’an maupun
Sunnah, yang akan menentukan hakekat dari kebenaran. Pada saat ilmuwan
telah memiliki suara batin yang telah terisi oleh moral agama, maka dia akan
selalu diperingatkan tentang haq dan bathil, yang boleh dan tidak boleh
dikerjakan, yang benar dan yang salah. Inilah ciri ilmuwan yang telah meyakini

Harry Hikmat (2014) Staf Ahli Bidang Dampak Sosial


6

ilmu Tauhidillah sebagai alternatif baru menjawab tantangan keilmuan pada


abad 21 dan abad selanjutnya.

Sumber bacaan:
1. Al-Quran
2. Herman Soewardi, 1996. Nalar Kontemplasi dan Realita. Bandung:
UNPAD.
3. Jujun SS. 1994. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
4. Verhaak dan Haryono Iman: 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Gramedia.

Harry Hikmat (2014) Staf Ahli Bidang Dampak Sosial

Anda mungkin juga menyukai