C - Asma Bronkial

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 28

“ASMA BRONKIAL”

Disusun Oleh:
Yunica Pratiwi
1102013318

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


2020
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;
penyempitan ini bersifat sementara/reversible. Asma bronkial adalah suatu
penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan
derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciri-
ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari
yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas,
yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri
patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap
pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau
perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam.

3.2. Epidemiologi
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada
awal kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10
tahun dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia
anak-anak, terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun
perbandingan ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda
antara satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang sama. Di Indonesia
prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %.
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan
asma. Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi
maupun keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula

2
disertai dengan reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang
terdapat di udara, dan dapat pula disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam
serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi
antigen spesifik.
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik
dan empisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000
dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.

3.3. Etiologi dan Faktor Resiko

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Secara
umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik

3
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,
bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diobati maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma

4
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktiviatas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musin kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status ekonomi

3.4. Patogenesis Asma


Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada
beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena
degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan
beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot
polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan
pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga
terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus
dan stimulasi refleks saraf.

5
Gambar 1. Anatomi dan Obstruksi Saluran Nafas Pada Asma

1. Inflamasi Saluran Napas


Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat
kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi
antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.
a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas
humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit
B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol
fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas
sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel
limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1dan Th2. Sel Th1 mensekresi
interleukin-2 (IL-2), IL-3, Granulocytet Monocyte Colony Stimulating Factor
(GMCSF), interferon- (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor-(TNF-) sedangkan
Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons
imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang

6
merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/
APC).

b. Mekanisme limfosit T-IgE


Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit T dengan
bantuan Major Histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa
ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi.
Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan me-
ngontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen
pada limfosit B dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit
B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama
akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan
berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel
tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator
yang berperan pada reaksi inflamasi.

Gambar 2. Respon Immun Pada Asma

c. Mekanisme limfosit Tnon IgE


Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-
9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling
berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi
eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran

7
napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas
(Airway Hyperresponsiveness/AHR).

2. Hiperesponsivitas Saluran Napas


Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu
berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun
nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma
seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik
saluran napas. Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas
melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran
napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar,
kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot
polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi
hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast
sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major
basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF).

Gambar 3. Penyempitan Saluran Napas Pada Asma

3. Sel Inflamasi
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap
sel yang tepat belum pasti.

8
a. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak
didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen
saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis. Sel mast melepaskan
berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5,
GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan
meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi
mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive
intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting
granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam
mekanisme anti inflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan
eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek
alergi dan menurunkan AHR.

b. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor
IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan
alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE dependent sehingga berperan
dalam proses infla-masi. Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain
LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi
komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai pengatur
proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan
menghantarkan alergen pada limfosit.

c. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-
5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas
penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain.
Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam
kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL). Didapatkan
hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan
AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan
protein dasar dan oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator

9
LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP)
dan Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel
saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast. Eosinofil yang teraktivasi
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.

d. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil
menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit
oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa
mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF. Neutrofil dalam jumlah
besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama
eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL
menunjukkan bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran
napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.

e. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma
yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus
penderita asma stabil mendapatkan limfosit intra epitelial atipik yang diduga
merupakan limfosit teraktivasi. Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan
mengeluarkan berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin
seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi
sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup
eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.

f. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang
melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit
peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan
alergen.

10
g. Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan
memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel
dendrit akan mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan
membawa ke limfonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik
alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di
bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe
lokal di bawah pengaruh GMCSF.

h. Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan
fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan
mediator lipid pada respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio
fibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat
hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal retikular.

4. Mediator Inflamasi
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh
pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF,
leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan
sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap
mediator memiliki beberapa pengaruh.

a. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan
basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor.
Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi
refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel.
Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein.
Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta
menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast.

11
b. Prostaglandin
Prostaglandin (PG) D2 dan PGF2 merupakan bronkokonstrikstor poten.
Prostaglandin E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo,
menyebabkan bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan
merangsang saraf aferen saluran napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi
otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor tromboksan
prostaglandin.

c. Platelet activating factor (PAF)


Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dapat
dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro
ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas,
jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas.
Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder
edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular yang disebabkan
rangsangan PAF. Platelet activating factor juga dapat merangsang akumulasi
eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel,
merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi
reseptor IgE terhadap eosinofil dan monosit.

d. Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan
penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan
aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui
mekanisme non histamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4dan
LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi eosinofil,
merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel
pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.

e. Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat
menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam
inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan oleh limfosit T, makrofag, sel mast,
basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel

12
mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF berperan
mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang
limfosit B membentuk IgE.

f. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan
mediator peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan
bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma.
Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas,
meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.

g. Nitric oxide (NO)


Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf,
diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai
vasodilator, neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO
pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang
normal.

h. Radikal bebas oksigen


Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida,
hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida,
oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa
oksigen reaktif. Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam
proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. Jumlah
oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan
bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta
peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak
DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan
menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas.

i. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh
kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran

13
napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma
bradikinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan
batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi
sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C
sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.

j. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-
related peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A
menyebabkan bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran
mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.

k. Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada
penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan
berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast.

5. Mekanisme Saraf
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui
mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan non adrenergik non
kolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks.

a. Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada
binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik
dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas
oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.
b. Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara
tidak langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme
adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor
adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik
menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan
menyebabkan bronkodilatasi.

14
c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)
Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC)
yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada
asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter
seperti substansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf
NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan
reseptor penghambat saraf NANC menyebabkan pemecahan bahan
neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).

3.5. Patofisiologi
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi
alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma
alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial
paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran nafas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu
10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada
otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T,
sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci fdalam
patogenesis asma.

15
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel
saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus
oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin,
asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek
syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan
dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan Calcitonin Gen-
Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktifasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut antara lain dengan uji
provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan inhalasi zat
nonspesifik.

3.6. Manifestasi Klinis


Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada
sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau
uji provokasi bronkus dengan metakolin.

16
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan
gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang,
infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk
pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang
gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik
bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya.
Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan
tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan
diagnosis.

3.7. Klasifikasi
Derajat asma dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat
sebelumnya.

1. Klasifikasi menurut etiologi


Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan
antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.

2. Klasifikasi menurut derajat berat asma


Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat.

3. Klasifikasi menurut kontrol asma


Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan.

17
Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk
waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.

4. Klasifikasi menurut gejala


Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada
saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru
berguna untuk mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya.
Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma
ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan
(gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis,
dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat
diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan
danobat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat
ringannya serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan
pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan
terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan,
asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu
adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam
melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan
keterbatasan yang ada.

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru


intermitten Bulanan ≤2 kali sebulan APE ≥80%
Gejala <1x/minggu, tanpa VEP1 ≥80% nilai
gejala di luar serangan prediksi APE ≥80%
Serangan singkat nilai terbaik

18
Variabilitas APE <20%
Mingguan APE >80%
Gejala >1x/minggu, tetapi VEP1 ≥80% nilai
<1x/hari prediksi APE ≥80%
Persisten ringan >2 kali sebulan
Serangan dapat nilai terbaik
menggangu aktivitas dan Variabilitas APE 20-
tidur 30%
Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari -VEP1 60-80% nilai
Persisten sedang Serangan menggangu >2 kali sebulan prediksi APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
Bronkodilator setiap hari -Variabilitas APE >30%
Kontinyu APE ≤60%
Gejala terus menerus VEP1 ≤60% nilai
Persisten berat Sering kambuh Sering prediksi APE ≤60%
aktivitas fisik terbatas nilai terbaik
Variabilitas APE >30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma


Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk membungkuk
ke depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin terganggu Biasanya terganggu Biasanya terganggu
Frekuensi Meningkat meningkat Sering >30 kali/menit
napas
Retraksi otot- Umumnya tidak ada Kadang kala ada ada
otot bantu
napas
Mengi Lemah sampai sedang Keras Keras
Frekuensi nadi <100 100-120 >120
Pulsus Tidak ada Mungkin ada (10- Sering ada (>25
paradoksus (<10mmHg) 25mmHg) mmHg)
APE sesudah >80% 60-80% <60%
bronkodilator
(% prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%

Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus


dipenuhi.

3.8. Diagnosis Asma


Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi

19
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus
udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi
dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten
tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut
ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi
klinis serta pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat
asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di
dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan
karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur.
Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga,
apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan
kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau
steroid.

2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas,
dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan:

20
napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas
tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi,
ekspirasi diperpanjang.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

b. Peak flow meter/PFM


Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.
Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM
tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran
napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

c. X-ray toraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.

d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo
sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
e. Petanda inflamasi

21
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis
dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-
kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara
yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi
tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB


Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping
ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya
berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk
nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis
dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui
HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau
kering, histamin dan metakolin.

3.9. Diagnosis Banding


a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam
setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti
tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala
utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur
lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk
pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan

22
kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan
tanda-tanda cor pulmonal.

b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi
jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada
emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan
jasmani. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan
napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat
lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.

c. Gagal jantung kiri akut


Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila
timbul pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien
tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang
atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang
memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Disamping ortopnea
pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi,
gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien
batuk-natuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin,
kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya ortopnea,
takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan
hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara
lain aksis jantung ke kanan.

e. Penyakit lain yang jarang


Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.

3.10. Komplikasi

23
 Pneumothoraks
 Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
 Atelektasis
 Aspergilosis bronkopulmoner alergik
 Gagal napas
 Bronkitis
 Fraktur iga

3.11. Tatalaksana Asma Menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma)


Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam
suatu loka karya Global Initiative For Asthma Management And Prevention yag
dikoordinasikan oleh National Health, Lung And Blood Institute Amerika Serikat
dan WHO. Publikasi loka karya tersebut yang dikenal sebagai GINA diterbitkan
pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998 dan 2002 dan hampir seluruh dunia
mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun cara pengobatan tersebut
masih mahal bagi negara sedang berkembang. Sehingga masing-masing negara
dianjurkan membuat kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta
lingkungannya.

Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu :


a. Penyuluhan kepada pasien
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang, diperlukan
kerjasam antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal ini dapat
tercapai bila pasien dan keluarganya memhami penyakitnya, tujuan
pengobatan, obat-obat yang dipakai serta efek samping.

b. Penilaian derajat beratnya asma


Penilaian derajat beratnya asma baik melaluipengukuran gejala, pemeriksaan
uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil
pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma yang
tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan adanya
obstruksi salura napas.

24
c. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
Di harapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus serangan
asma makin berkurang atau derajat asma makin ringan.

d. Perencanaan obat-obat jangka panjang


Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala
asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan
1) Obat-obat anti asma
2) Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga
3) Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.

e. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)


Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari
yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa
mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari.
Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana
pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor
pencetus. Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
1) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
2) Mengatasi hipoksemia
3) Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin
4) Mencegah terjadinya serangan berikutnya
5) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-
cara mengatasi dan mencegah serangan asma.

f. Berobat secara teratur


Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan pasien asma pada
umumnya memerlukan pengawasanyang teratur daritenaga kesehatan.
Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara
pemakaian obat, cara menghindari faktor pencetus serta oenggunaan alat peak
flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin jarang.

25
OBAT-OBAT ANTI ASMA
Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan
gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain:
1) Pencegah (controller)
yaitu obat-obgat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan aggar gejala asma
persisten tetap terkendali. termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi
dan bronkodilator kerja panjang (long acting).obat-obat anti inflamasi
kususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagai
pencegah. Obat-obat anti alergi,bronkodilator atau obat golongan lain sering
dianggap termasuk obat pencegah. Meskipun sebenarnya kurang tepat, karena
obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya
mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki
fungsi paru, menurunkan reaktifitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup.
Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai
daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan anti inflamasi jangka
panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta
penurunan reaktifitas bronkus lebih baik bila di bandingkan bronkodilator.
Termasuk golongan pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid
sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL),
agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral dan
obat-obat anti alergi.

2) Penghilang gejala (reliever)


yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronko konstriksi dan gejala-gejala
akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu
agosnis beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti
koinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta2 oral kerja pendek.

Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol)


merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum
kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani.
Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma periodik.

26
Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah perburukan
gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau
mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap.
Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain dipakai sebagai tambahan
terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonos beta 2. Teofilin
maupun agonis beta2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa
memakai sediaan hirup.

Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga


Berdasarkan pengobatan sistemik anak tangga, maka mnurut berat ringannya
gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat, obat yang dipakai setiap hari obat-
obat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang,
kortikosteroid oral jangka panjang (tabel 3).

Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tangga

Tahap Obat Pencegah Harian Pilihan Lain


Asma Intermitten Tidak diperlukan
Asma Persisten Kortikosteroid hirup Teofilin lepas lambat
Ringan 500μg BDP Kromolin
(beclomethasone Anti leukotrin
diproprionate) atau
ekuivalen
Asma Persisten Kortikosteroid hirup - Kortikosteroid hirup 500-1000μg BDP atau
Sedang (200-1000 μg BDP atau ekuivalen + teofilin lepas lambat atau
ekuivalen) + LABA - Kortikosteroid hirup 500-1000μg BDP atau
(long acting beta ekuivalen + oral LABA atau
agonist) - Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi
>1000μg BDP atau ekuivalen
- Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi
>1000μg BDP atau ekuivalen + anti leukotrin

Asma Persisten Kortikosteroid hirup (>1000 μg BDP atau ekuivalen) + LABA satu atau
Berat lebih obat berikut bila diperlukan
- Teofilin lepas lambat
- Anti leukotrin
- LABA oral
- Kortikosteroid oral
- Anti IgE

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale.


Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 58; No.11;Nopember 2008.

2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,


Siregar SP, et al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In:
Shaikh WA. Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And
Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher; 2006.707-36.

3. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of


Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of
Bilirubin. Department of Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku
University School of Medicine.

4. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya.

5. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan


Kepustakaan Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Persahabatan: Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 141,
2003.

6. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.

7. Surjanto E. Derajat Asma dan Kontrol Asma. Jurnal Respirologi Indonesia


2008;28. 88-95.

8. Marleen FS, Yunus F. Asma pada Usia Lanjut. Jurnal Respirologi Indonesia
2008;28. 165-73.

9. Respina team. Respiratory Home Care : Integrated Care of Patient. Updated


October 2011. Available at: http//www.respina.org. (Diakses pada tanggal 2
Februari 2019).

10. GINA Team. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention.
Updated Desember 2011. Available at: http://www.ginasthma.org. (Diakses
pada tanggal 2 Februari 2019).

28

Anda mungkin juga menyukai