Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar
1. Pengertian
a. Asthma Bronkiale
Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap bebagai
macam rangsangan, yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang
tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya dapat berubah secara sepontan atau
setelah mendapat pengobatan,(Tjen Daniel, 1991).
b. Status Astmatikus
Status Asthmatikus merupakan serangan asthma berat yang tidak dapat diatasi
dengan pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat medik ,bila
tidak diatasi dengan cepat akan terjadi gagal pernafasan,(Aryanto Suwondo,
karnen B. Baratawidjaja, 1995).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
a. Anatomi dan fisiologi
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh.
Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi
(Lorraine M.wilson,1995).
Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona
konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring,trakea, bronkus, bronkiolus
segmentalis dan berakir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona
respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir
pada sakus alveulus terminalis (N.L.G.Yasmin, 1995 dan Syaifuddin,1997).
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan
fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epiotel thorak yang
bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan
mukus yang sisekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang
kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung.
Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk
kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan
mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan
dibawahnya yang kaya dengan pembulu darah, sehingga bila udara mencapai
faring hampir bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapanya
mencapai 100%(Lorraine M. Wilson, 1995).
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat
persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah
selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat follikel
getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil
kiri dan kanan dari tekak, (Syaifuddin,1997).
Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan
suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan
masuk ke trakea di bawahnya (Syaifuddin,1997). Laring merupakan rangkaian
cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara.
Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan
bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan
dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun
berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih
bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan
membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan
bagian bawah, (Larroin M.W, 1995).
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang
berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm),
lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubaungkan oleh
jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu
getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan
dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan
mukusa, (Syaifuddin,1997).
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yamg terdapat pada
ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea
bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina
memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang . Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar
dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga
cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin
serta mempunyai dua cabang,(Syaifuddin,1997).
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak
mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus
tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos
sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung
sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona
konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung
lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang
dilanjutkan oleh nervus vagus,(Lorraine M. Wilson,1995).
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit
fungsional paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus
respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan
struktur akhir dari paru. (Lorraine M.Wilson,1995 ).
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga
proses yang terjadi. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar
masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen
sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena
adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tianggi ke
tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena
diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan
menurunan tekanan intra pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfir) menjadi sekita –8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra
pulmunal menurun –2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih
tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir
kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir.
Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume
torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar paru,(Lorraine M.
Wilson,1995).
Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke
kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir
dari tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan
partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi
dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi
tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya
karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli,(John Gibson,1995).
Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari
kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah. Oksigen dapat masik ke
jaringan melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara
kimiawi berikata dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan
karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium
bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah.
Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi
hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml
oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi
mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan
karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam
cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel
sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan
dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida
dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida
mengalir dari cairan jaringan kedalam darah (Lorraine M.Wilson, 1995).
Fungsi sebagain pengaturan keseimbangan asam basa : pH darah
yang normal berkisar 7,35 – 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam
rentang pH 7,0 – 7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi
maupun tambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru
menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan
terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak
dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius
adalah suatu keadaan Pa CO2 turun akibat hiper ventilasi, (Hudak dan
Gallo,1997 ).

b. Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan
alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin
E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh
melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja
sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC,
alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada
sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel
plasma dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan
basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka
orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah
rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen
tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan
basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca ++ kedalam sel dan perubahan
didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi
sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang
meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A),
eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini
akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos
baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan
bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam
terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran
nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus.
Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang
tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat
alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap
yangsangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai
dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat
diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan
obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan asthma intrinsik
( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat
sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca,
aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik
lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ).
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering.
Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada
stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai
dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas,
berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi
(wheezing ). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir
tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai
membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara
nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan
tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ).
c. Penatalaksanaan
Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non
farmakologik dan pengobatan farmakologik.
1. Penobatan non farmakologik
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien
tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari
faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan
berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma
yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan
mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup
bagi klien.
c) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran
mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi
dada.

2. Pengobatan farmakologik
a) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak
antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk
obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ).
b) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini
diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
c) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik,
harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol
( beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot tiap
hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping
maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak .
Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
e) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari.
Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
f) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan
bersifat bronkodilator.
(Evelin dan joyce L. kee, 1994 ; Karnen baratawijaja, 1994 )
3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit
dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20
mg/kg bb/24 jam.
d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f) Antibiotik spektrum luas.
(Pedoman penatalaksanaan status asthmatikus UPF paru RSUD Dr
Soetomo Surabaya ).
Dampak masalah
a. Pada klien
Penderita asthma harus merubah gaya hidup sehari-hari untuk
menghindari faktor pencetus. Perubahan ini dimulai dari lingkungan hidup
sanpai dengan lingkungan kerja. Pada klien dengan serangan asthma, maka
terjadi penurunan nafsu makan, minum sehingga mempengarui status nutrisi
klien. Dalam istirahat klien sangat terganggu sehingga dapat menyebabkan
kelelahan. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan
oksigen mempengarui toleransi dalam melakukan aktivitas, kelelahan cepat
lelah dan ketidak mampuan memenuhi ADL. Klien dapat tumbuh dan
berkembang menjadi rendah diri, merasa tidak mampu, berkepribadian
labil,mudah tersinggung,gelisah dan cemas. Adanya keterbatasan aktifitas, klien
lebih tergantung pada orang lain, terkadang klien tidak dapat berperan sesuai
dengan peranya, (Antony C. 1997 ; Tjen daniel, 1991).
b. Pada keluarga
Melihat kondisi klien dengan gejala asthma dan dirawat dirumah sakit,
tentang penyebab, prognosa penyakit dan keberhasilan dari terapi, akan
menimbulkan kecemasan pada keluarga. Perlunya klien dirawat dirumahsakit
menimbulkan respon kehilangan pada keluarga yang ditinggalkan. Peran klien
dalam keluarga sebagai sumber ekonomi akan terganggu karena klien tidak bisa
masuk kerja serta perawatan dan biaya rumah sakit yang tidak sedikit akan
menjadi beban bagi keluarga.

B. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan
kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga, atau masyarakat untuk mencapai
derajat kesehatan yang, optimal didalam memberikan asuhan keperawatan dugunakan
metode proses keperawatan yang meliputi:pengkajian, diagnosa keperawatanm,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian
a. Pengumpulan data.
1) Identitas klien.
Pengajian mengenai nama, umur danjenis kelamin perlu di kaji pada
penyakit status asthmatikus. Serangan asthma pada usia dini memberikan
implikasi bahwa sangat mungkin terdapat status atopi. Sedangkan serangan
pada usia dewasa di mingkinkan adanya faktor non atopi. Alamat
menggambarkan kondisi lingkungan tempat klien berada, dapat mengetahui
kemungkinan faktor pencetus serangan asthma. Status perkawinan,
gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau lingkungan
merupakan faktor pencetus serangan asthma, pekerjaan, serta bangsa perlu
juga digaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan elergen. Hal lain
yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam Medik, dan
Diagnosa medis. (Antony C, 1997; M Amin 1993; karnen B 1994).
2) Riwayat penyakit sekarang.
Klien dengan serangan asthma datang mencari pertolongan dengan
keluhan, terutama sesak napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti
dengan gejala-gejala lain yaitu : Wheezing, Penggunaan otot bantu
pernapasan, Kelelahan, gangguan kesadaran, Sianosis serta perubahan
tekanan darah. Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan.
3) Riwayat penyakit dahulu.
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi
saluran napas atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, polip hidung.
Riwayat serangan asthma frekuensi, waktu, alergen-alergen yang dicurigai
sebagai pencetus serangan serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk
meringankan gejala asthma (Tjen Daniel, 1991)
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang
riwayat penyakit asthma atau penyakit alergi yang lain pada anggota
keluarganya karena hipersensitifitas pada penyakit asthma ini lebih
ditentukan oleh faktor genetik oleh lingkungan, (Hood Alsagaf, 1993)
5) Riwayat spikososial
Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus
bagi serangan asthma baik ganguan itu berasal dari rumah tangga,
lingkungan sekitar sampai lingkungan kerja. Seorang yang punya beban
hidup yang berat berpotensial terjadi serangan asthma. yatim piatu, ketidak
harmonisan hubungan dengan orang lain sampai ketakutan tidak bisa
menjalankan peranan seperti semula, (Antony Croket, 1997 dan Tjen
Daniel, 1991).
6) Pola fungsi kesehatan
a) Pola resepsi dan tata laksana hidup sehat
Gejala asthma dapat membatasi manusia untuk berprilaku hidup
normal sehingga klien dengan asthma harus merubah gaya hidupnya
sesuai kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan asthma
(Antony Crokett ;1997, Tjien Daniel ;1991, Karnen B;1994)
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Perlu dikaji tentang status nutrisi klien meliputi, jumlah, frekuensi,
dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Serta pada
klien sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi, hal ini karena dipsnea saat makan, laju metabolisme
serta ansietas yang dialami klien, (Hudak dan Gallo;1997)
c) Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna
bentuk, kosentrasi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam
melaksanakannya.
d) Pola tidur dan istirahat
Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat klien meliputi
berapa lama klien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan
yang dialami klien. Adanya wheezing, sesak dan ortopnea dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat klien, ( Antony C;1997)
e) Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian klien seperti olah raga,
bekerja dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus
terjadinya asthma yang disebut dengan Exerase Induced Asthma, (Tjien
Daniel;1991)
f) Pola hubungan dan peran
Gejala asthma sangat membatasi gejala klien untuk menjalani
kehidupan secara normal. Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan
hubungan dan peran klien baik dilingkungan rumah tangga, masyarakat
ataupun lingkungan kerja, (Antony C, 1997)
g) Pola persepsi dan konsep diri
Perlu dikaji tentang persepsi klien tarhadap penyakitnya. Persepsi
yang salah dapt menghambat respon kooperatif pada diri klien. Cara
memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan
klien. Semakin banyak stresor yang ada pada kehidupan klien dengan
asthma meningkatkan kemungkinan serangan asthma yang berulang.
h) Pola sensori dan kognetif
Kelainan pada pola persepsi dan kognetif akan memepengaruhi
konsep diri klien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang
dialami klien sehingga kemungkinan terjadi serangan asthma yang
berulangpun akan semakin tinggi.
i) Pola reproduksi seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila
kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan
klien. Masalah ini akan menjadi stressor yang akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya serangan asthma.
j) Pola penangulangan stress
Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik
pencetus serangan asthma maka perlu dikaji penyebab terjadinya stres.
Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan klien serta cara
penanggulangan terhadap stresor, (Tjien Daniel;1991)
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Kedekatan klien pada sesuatu yang ia yakini dunia percayai dapat
meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan
Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada Nya merupakan metode
penanggulangan stres yang konstruktif
7) Pemeriksaan fisik
a) Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah,
kelemahan suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang
meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu pernapasan sianosis batuk
dengan lendir lengket dan posisi istirahat klien (Laura A. T.; 1995,
Karnen B ;19983).
b) Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi,
turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan,
pruritus, ensim, serta adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis
pada rambut di kaji warna rambut, kelembaban dan kusam. (Karnen B ;
1994, Laura A. Talbot; 1995).
c) Kepala.
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat
trauma, adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kelang ataupun
hilang kesadaran.(Laura A.Talbot;1995).
d) Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres
yang di rasakan klien. Serta riwayat penyakit mata lainya (Laura A.
Talbot ; 1995)).
e) Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung,rinitis alergi dan
fungsi olfaktori (Karnen B.;1994, Laura A. Talbot;1995)
f) Mulut dan laring
Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan
mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara.
(Karnen B.:1994)).
g) Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesran
tiroid serta penggunaan otot-otot pernafasan (Karnen B.;1994).
h) Thorak
(1) Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan adanya
peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot Interkostalis,
sifat dan irama pernafasan serta frekwensi peranfasan.(Karnen
B.;1994, Laura A.T.;1995).
(2) Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan taktil
fremitus (Laura A.T.;1995).
(3) Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma menjadi datar dan rendah. (Laura A.T.;1995).
(4) Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi
lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi
pernafasan dan Wheezing. (Karnen B .;1994).
i) Kardiovaskuler.
Jantung di kaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising
nafas dan hyperinflasi suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi
yang meningkat serta adanya pulsus paradoksus, (Robert P.;1994, Laura
A. T.;1995).
j) Abdomen.
Perlu di kaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda-tanda infeksi
karena dapat merangsang serangan asthma frekwensi pernafasan, serta
adanya konstipasi karena dapat nutrisi (Hudak dan Gallo;1997, Laura
A.T.;1995).
k) Ekstrimitas.
Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi
pada extremitas karena dapat merangsang serangan asthma,(Laura
A.T.;1995).
8) Pemeriksaan penunjang.
a) Pemeriksaan spinometri.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC
sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma, (Karnen
B;1998).
b) Tes provokasi brokial.
Dilakukan jika pemeriksaan spinometri internal. Penurunan FEV,
sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90
% dari maksimum di anggap bermakna bila menimbulkan penurunan
PEFR 10 % atau lebih,(Karnen B.;1998).
c) Pemeriksan tes kulit.
Untuk menunjukan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik
dalam tubuh, (Karnen B.;1998).
d) Laboratorium.
(1) Analisa gas darah.
Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat
hipoksemia, hyperkapnea, dan asidosis respiratorik,(Karnen
B.;1998).
(2) Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asthma
yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan
transudasi dari adema mukasa, sehingga terlepaslah sekelompok sel
– sel epitel dari perlekatannya. Peawarnaan gram penting untuk
melihat adanya bakteri, diikuti kultur dan uji resistensi terhadap
beberapa antibiotik,(Arjadiono T.;1995).
(3) Sel eosinofil
Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000
– 1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan
hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi
paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan
pengobatan telah tepat,(Arjadiono T.;1995).
(4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya infeksi.
SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena kerusakkan hati
akibat hipoksia atau hiperkapnea,(Arjadiono T.;1995).
e) Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya
proses patologik diparu atau komplikasi asthma seperti pneumothorak,
pneumomediastinum, atelektosis dan lain – lain, (Karnen B.;1998).
f) Elektrokardiogram
Perubahan EKG didapat pada 50% penderita Status Asthmatikus,
ini karena hipoksemia, perubahan pH, hipertensi pulmunal dan beban
jantung kanan . Sinus takikardi – sering terjadi pada asthma.
b. Analisa data
Data yang dikumpulkan harus dianalisa untuk menentukan masalah klien.
Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi pengelompokan data,
mengidentifikasi kesenjangan dan menentukan pola dari data yang terkumpul
serta membandingkan susunan atau kelompok data dengan standart nilai
normal, menginterprestasikan data dan akhirnya membuat kesimpulan. Hasil
dari analisa adalah pernyataan masalah keperawatan.
2. Diagnosa Keperawatan .
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status kesehatan
atau masalah aktual atau potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam
mengidentifikasi dan mensintesis data klinis dan menentukan intervensi
keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan atau mencegah masalah kesehatan
klien yang ada pada tanggung jawabnya, (Lismidar ; 1992).
Berikut adalah diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien status
astmatikus.
a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi kental
peningkatan produksi mukus dan bronkospasme (Lindajual C.;1995).
b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada
dan kelelahan akibat kerja pernafasan, (Hudak dan Gallo ;1997).
c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.
(Lindajual C;1995).
d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan
sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,(Susan Martin
Tucker;1993).
e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas,
(Hudak dan Gallo;1997).
f. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan retensi sekresi, batuk tidak
efektif dan imobilisasi, (Hudak dan Gallo;1997).
g. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO2 hipoksemia,
emosi terfokus pada pernafasan dan apnea tidur, (Hudak dan Gallo;1997).
h. Resiko tinggi ketidak patuhan yang berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang kondisi dan perawatan diri saat pulang,(Susan Martin Tucker;1993).
3. Perencanaan
Setelah pengumpulan data klien, mengorganisasi data dan menetapkan
diagnosis keperawatan maka tahap berikutnya adalah perencanaan . Pada tahap ini
perawat membuat rencana perawatan dan menentukan pendekatan apa yang
digunakan untuk memecahkan masalah klien. Ada tiga pase pada tahap
perencanaan yaitu menentukan prioritas, menentukan tujuan dan merencanakan
tindakan keperawatan, (Lismidar;1992).
Perencanaan dari diagnosis – diagnosis keperawatan diatas adalah sebagai
berikut:
a. Ketidak efektifan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi kental
peningkatan produksi mukus bronkospasme.
1) Tujuan
Jalan nafas menjadi efektif.
2) Kriteria hasil
(a) menentukan posisi yang nyaman sehingga memudahkan peningkatan
pertukaran gas.
(b) dapat mendemontrasikan batuk efektif
(c) dapat menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi
(d) tidak ada suara nafas tambahan
3) Rencana tindakan
(a) Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum
(b) Instruksikan klien pada metode yang tepat dalam mengontrol batuk.
(c) Ajarkan klien untuk menurunkan viskositas sekresi
(d) Auskultasi paru sebelum dan sesudah tindakan
(e) Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik drainage postural,perkusi dan
fibrasi dada.
(f) Dorong dan atau berikan perawatan mulut
4) Rasional
(a) Karakteristik sputrum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi
(b) Batuk yang tidak terkontrol melelahkan dan inefektif serta menimbulkan
frustasi
(c) Sekresi kental sulit untuyk dikeluarkan dan dapat menyebabkan
sumbatan mukus yang dapat menimbulkan atelektasis.
(d) Berkurangnya suara tambahan setelah tindakan menunjukan
keberhasilan
(e) Fisioterpi dada merupakan strategi untuk mengeluarkan sekret.
(f) Hygiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan mencegah bau
mulut.
b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada,
dan kelelahan akibat peningkatan kerja pernafasan.
1) Tujuan
Klien akan mendemontrasikan pola nafas efektif
2) Kriteria hasil
(a) Frekuensi nafas yang efektif dan perbaikan pertukaran gas pada paru
(b) Menyatakan faktor penyebab dan cara adaptif mengatasi faktor-faktor
tersebut
3) Rencana tindakan
(a) Monitor frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
(b) Posisikan klien dada posisi semi fowler
(c) Alihkan perhatian individu dari pemikiran tentang keadaan ansietas dan
ajarkan cara bernafas efektif
(d) Minimalkan distensi gaster
(e) Kaji pernafasan selama tidur
(f) Yakinkan klien dan beri dukungan saat dipsnea
4) Rasional
(a) Takipnea, irama yang tidak teratur dan bernafas dangkal menunjukkan
pola nafas yang tidak efektif
(b) Posisi semi fowler akan menurunkan diafragma sehingga memberikan
pengembangan pada organ paru
(c) Ansietas dapat menyebabkan pola nafas tidak efektif
(d) Distensi gaster dapat menghambat kontraksi diafragma
(e) Adanya apnea tidur menunjukkan pola nafas yang tidak efektif
(f) Rasa ragu–ragu pada klien dapat menghambat komunikasi terapeutik.
c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.
1) Tujuan
Asietas berkurang atau hilang.
2) Kriteria hasil
(a) Klien mampu menggambarkan ansietas dan pola fikirnya.
(b) Munghubungkan peningkatan psikologi dan kenyaman fisiologis.
(c) Menggunakan mekanisme koping yang efektif dalam menangani
ansietas.
3) Rencana tindakan.
(a) Kaji tingkat ansietas yang dialami klien.
(b) Kaji kebiasaan keterampilan koping.
(c) Beri dukungan emosional untuk kenyamanan dan ketentraman hati.
(d) Implementasikan teknik relaksasi.
(e) Jelaskan setiap prosedur tindakan yang akan dilakukan.
(f) Pertahankan periode istirahat yang telah di rencanakan.

4) Rasional.
(a) Mengetahui tinggkat kecemasan untuk memudahkan dalam perencanaan
tindakan selanjutnya.
(b) Menilai mekanisme koping yang telah dilakukan serta menawarkan
alternatif koping yang bisa di gunakan.
(c) Dukungan emosional dapat memantapkan hati untuk mencapai tujuan
yang sama.
(d) Relaksasi merupakan salah satu metode menurunkan dan
menghilangkan kecemasan
(e) Pemahaman terhadap prosedur akan memotifasi klien untuk lebih
kooperatif.
d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan
sekresi, peningkatan pernafasan, dan proses penyakit.
1) Tujuan
Klien akan mempertahankan pertukaran gas dan oksigenasi adekuat.
2) Kreteria hasil
(a) Frekuensi nafas 16 – 20 kali/menit
(b) Frekuensi nadi 60 – 120 kali/menit
(c) Warna kulit normal, tidak ada dipnea dan GDA dalam batas normal
3) Rencana tindakan
(a) Pantauan status pernafasan tiap 4 jam, hasil GDA, pemasukan dan
haluaran
(b) Tempatkan klien pada posisi semi fowler
(c) Berikan terapi intravena sesuai anjuran
(d) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 l/mt selanjutnya sesuaikan
dengan hasil PaO2
(e) Berikan pengobatan yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda –
tanda toksisitas
4) Rasional
(a) Untuk mengidentifikasi indikasi kearah kemajuan atau penyimpangan
dari hasil klien
(b) Posisi tegak memungkinkan expansi paru lebih baik
(c) Untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat mengkaji keadaan
vaskular untuk pemberian obat – obat darurat.
(d) Pemberian oksigen mengurangi beban otot – otot pernafasan
(e) Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkus seperti kondisi
sebelumnya
(f) Untuk memudahkan bernafas dan mencegah atelektasis.

e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas

1) Tujuan
Pemenuhan kebutuhan nutrisi terpenuhi
2) Kriteria hasil
(a) Klien menghabiskan porsi makan di rumah sakit
(b) Tidak terjadi penurunan berat badan
3) Rencana tindakan
(a) Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan nafsu makan menurun
misalnya muntah dengan ditemukannya sputum yang banyak ataupun
dipsnea.
(b) Anjurkan klien untuk oral hygiene paling sedikit satu jam sebelum
makan.
(c) Lakukan pemeriksaan adanya suara perilstaltik usus serta palpasi untuk
mengetahui adanya masa pada saluran cerna
(d) Berikan diit TKTP sesuai dengan ketentuan
(e) Bantu klien istirahat sebelum makan
(f) Timbang berat badan setiap hari
4) Rasional
(a) Merencanakan tindakan yang dipilih berdasarkan penyebab masalah.
(b) Dengan perawatan mulut yang baik akan meningkatkan nafsu makan.
(c) Mengetahui kondisi usus dan adanya dan konstipasi.
(d) Memenuhi jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.
(e) Kelelahan dapat menurunakn nafsu makan.
(f) Turunya berat badan mengindikasikan kebutuhan nutrisi kurang.
f. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan retensi sekresi, batuk tidak
efektif dan imobilisasi.
1) Tujuan
Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
2) Kriteria hasil
Tidak ada tanda – tanda infeksi
3) Rencana tindakan
(a) Monitor tanda – tanda infeksi tiap 4 jam.
(b) Gunakan teknik steril untuk perawatan infus. atau tidakan infasif
lainnya.
(c) Pertahankan kewaspadaan umum.
(d) Inspeksi dan catat warna, kekentalan dan jumlah sputum.
(e) Berikan nutrisi yang adekuat
(f) Monitor sel darah putih dan laporkan ketidak normalan
(g) Berikan antibiotik sesuai dengan indikasi
4) Rasional
(a) Adanya rubor, tumor, dolor, kalor menunjukan tanda – tanda infeksi
(b) Teknik steril memutus rantai infeksi nosokomial
(c) Kewaspadaan memberikan persiapan yang cukup bagi perawat untuk
melakukan tindakan bila ada perubahan kondisi klien.
(d) Sputum merupakan media berkembangnya kuman.
(e) Nutrisi yang adekuat memberikan peningkatan daya tahan tubuh.
(f) Sel darh putih yang meningkat menunjukan kemungkinan infeksi.
(g) Tindakan pencegahan terhadap kuman yang masuk tubuh.
g. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan refensi CO2, hypoksemia,
emosi yang terfokus pada pernafasan dan apnea tidur.
1) Tujuan
Klien akan terpenuhi kebutuhan istirahat untuk mempertahankan tingkat
enegi saat terbangun
2) Kriteria hasil
(a) Mampu mendiskusikan penyebab keletihan
(a) Klien dapat tidur dan istirahat sesuai dengan kebutuhan tubuh
(b) Klien dapat rilek dan wajahnya cerah.
3) Rencana tindakan
(a) Jelaskan sebab – sebab keletihan individu
(b) Hindari gangguan saat tidur.
(c) Menganalisa bersama – sama tingkat kelelahan dengan menggunakan
skala Rhoten (1982).
(d) Indentivikasi aktivitas – aktivitas penting dan sesuaikan antara aktivitas
dengan istirahat.
(e) Ajarkan teknik pernafasan yang efektif.
(f) Pertahankan tambahan O2 bila latihan .
(g) Hindarkan penggunaan sedatif dan hipnotif.
4) Rasional
(a) Diketahuinya faktor–faktor penyebab maka diharapkan bias
menghindarinya.
(b) Tidur merupakan upaya memulihkan kondisi yang telah menurun
setelah aktivitas.
(c) Skala Rhoten untuk mengetahui tingkat kelelahan yang dialami klien.
(d) Kelelahan terjadi karena ketidak seimbangan antara kebutuhan aktifitas
dan kebutuhan istirahat.
(e) Pernafasan efektif membantu terpenuhnya O2 dijaringan.
(f) O2 digunakan untuk pembakaran glukosa menjadi energi.
(g) Sedatif dan hipnotik melemahkan otot–otot khususnya otot pernafasan.
h. Resiko tinggi ketidak patuhan yang berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang kondisi dan perawatan diri pada saat pulang.
1) Tujuan
Klien mampu mendemontrasikan keinginan untuk mengikuti rencana
pengobatan.
2) Kriteria hasil
(a) Klien mampu menyampaikan pengertian tentang kondisi dan perawatan
diri pada saat pulang
(b) Menggunakan alat – alat pernafasan yang tepat
3) Rencana tindakan
(a) Bantu mengidentifikasi faktor – faktor pencetus serangan asthma
(b) Ajarkan tindakan untuk mengatasi asthma dan mencegah perawatan di
rumah sakit
(c) Anjurkan dan beri alternative untuk menghindari faktor pencetus.
(d) Ajarkan dan biarkan klien mendemontrasikan latihan pernafasan .
(e) Jelaskan dan anjurkan untuk menghindari penyakit infeksi.
(f) Instruksikan klien untuk melaporkan bila ada perubahan karakteristrik
sputum, peningkatan suhu, batuk, kelemahan nafas pendek ataupun
peningkatan berat badan atau bengkak pada telapak kaki.
4) Rasional
(a) Diketahuinya faktor pencetus mempermudah cara menghindari serangan
asthma .
(b) Tindakan preventif merupakan salah satu upaya yang di lakukan untuk
memberikan pelayanan secara komprehensif.
(c) Salah satu upaya preventif adalah menghindarkan klien dari faktor
pencetus.
(d) Klien dengan asthma sewring mengalami kecemasan yang
mengakibatkan pola nafas tidak efektif sehingga perlu dilakukan latihan
pernafasan.
(e) Infeksi terutama ISPA menjadi faktor penyebab serangan asthma .
(f) Perubahan yang terjadi menunjukan perlunya penanganan segera agar
tidak mengalami komplikasi.
4. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh
perawat. Seperti tahap – tahap yang lain dalam proses keperawatan , fase
pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan antara lain :
a. Validasi (pengesahan) rencana keperawatan
a. Menulis/ mendokumentasikan rencana keperawatan
b. Memberikan asuhan keperawatan
c. Melanjutkan pengumpulan data
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan yang
merupakan kegiatan sengaja dan terus menerus yang melibatkan klien perawat dan
anggota tim kesehatan lainnya

Tujuan evaluasi adalah :


a. Untuk menilai apakah tujuan dalam rencana perawatan tercapai atau tidak
b. Untuk melakukan pengkajian ulang
Untuk dapat menilai apakah tujuan ini tercapai atau tidak dapat dibuktikan dengan
prilaku klien
a. Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan
pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan
b. Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan prilaku, tetapi
tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan
c. Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali
menunjukkan prilaku yang telah ditentukan

Anda mungkin juga menyukai