Anda di halaman 1dari 141

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS
(Sistem Pernapasan (TBC) & Sistem Resipirasi (Faringitis))

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK A
Agustino Fransisko Kainama Asstric Adam
Aritrisna Kakiay Aprilia Aitonam
Berry Riruma Peronika Ruspana
Alfileks Angkotamony Angel Madubun
Ansell Ratulohain Syanel Tripuata
Andre Romer Anita Siahaya

PROGRAM STUDY KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
AMBON
2020
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah pada sistem
pernapasan dan sistem respirasi dengan baik, Makalah ini kami buat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis. Kami menyadari bahwa makalah
yang kami buat masih jauh dari kata sempurna , untuk itu kami sangat
mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Ambon, 20 Juli 2020

Penyusun
KELOMPOK A
ii

DAFTAR ISI

JUDUL .............................................................................................................

KATA PENGANTAR ...................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................ii


DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii

BAB I ............................................................................................................ 1
A. FORMAT PENGKAJIAN SISTEM PERNAPASAN ........................... 1
B. FORMAT PENGKAJIAN SISTEM RESPIRASI ................................ 18

BAB II ......................................................................................................... 37
A. ANALISA PICO HASIL PENELITIAN PERNAPASAN……………37
B. ANALISA PICO HASIL PENELITIAN SISTEM RESPIRASI.......... 47

BAB III PENUTUP .................................................................................... 54


Kesimpulan ............................................................................................... 54
iii

DAFTAR TABEL

TABEL 1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium .................................................. 4


TABEL 2 Terapi Pemberian Obat ................................................................ 24
1

BAB I
KASUS BAYANGAN

A. SISTEM PERNAPASAN
FORMAT PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Nama Mahasiswa : KELOMPOK A
Rumah Sakit : RSUD dr. M. HAULUSSY AMBON
Ruangan : 01
Tanggal Pengkajian : Jam:

A. IDENTITAS PASIEN IDENTITAS PENANGGUNG


JAWAB
Nama : Tn. K Nama : Tn. H
Umur : 57 Tahun Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa Suku : Jawa
Agama : Budha Agama : Budha
Pendidikan : SD Pendidikan : SMA
No. Rekam Medik :
Alamat :

B. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kiriman dari Puskesmas dengan TB paru sudah setahun dan minum
OAT, pasien di rumah selama 15 hari lemas lagi. Lalu dibawa ke RS masuk
IGD dengan kondisi lemas(+), batuk(+), BB 54kg lalu diberikan perawatan
setelah itu langsung dipindah kebangsal untuk rawat Inap.
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien mengatakan di rumahnya hanya batuk biasa dan menganggap sepele
setelah keadaan memburuk yaitu lemas, baru kemudian pasien dibawa ke
RS terdekat, disitu dirawat 1 minggu dirawat di RS sudah ± 1 bulan terakhir.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang sakit / ada penyakit
yang seperti dialami pasien, pasien juga tidak mempunyai penyakit yang
menurun, misalnya : DM, Hipertensi, Jantung, TB dll
2

C. PEMERIKSAAN FISIK
- Nadi Reguler Iregular HR
Meningkat ….. cm
Kardiovaskuler
- JVP Normal
- Murmur Ya Tidak
- Gallop Ya Tidak
- Akral hangat Dingin
- Oedem Ya, lokasi Tidak
- Bentuk dada Simetris
- Bunyi nafas Bronkial Bronkovesikular Vesikular
Suara nafas tambahan
- Whezing Tidak Ya, (kanan/kiri)
Respiratory

- Ronchi Tidak Ya, (kiri)


- Stridor Tidak Ya,
- Snoring Tidak Ya,
Batuk Tidak Ya, Produktif/ tidak, secret
Pemakaian otot Bantu nafas Tidak Ya, …
- RR 20x/menit
- Kelembaban lembab berkeringat kering
- Turgor Baik
Integumen

- Jejas tidak ada, ……cm. lokasi…………


- Luka tidak ada …….cm lokasi…………
- Luka bakar tidak ada ….%, grade…
- Pupil Isokor Anisokor
Neurolo
gi
3

- Kemampuan pergerakan sendi Bebas Terbatas


- Parese Ya Tidak
- Paralise Ya Tidak
- Hemiparese Ya Tidak
- Kontraktur Ya Tidak
Muskuloskeletal

Ekstremitas Tidak ada kelainan Peradangan


- Atas Patah tulang Perlukaan
Lokasi…………………….
Tidak ada kelainan Peradangan
- Bawah Patah tulang Perlukaan
Lokasi Kaki

- Tulang belakang Tidak ada kelainan Peradangan


Patah tulang Perlukaan
Lokasi…………………….
Abdomen
- Kontur Abdomen Normal distensi
- Jejas Tidak ya,……cm, lokasi……..
- Bising usus Tidak ada, 18x/mt
- Meteorismus Tidak ya
- Nyeri tekan Tidak ya, lokasi………
Gastrointestinal

- Pembesaran Hepar Tidak ya, ……..cm bawah arcus costae


- Pembesaran Limpa Tidak ya
- Teraba Massa Tidak ya, lokasi………………………..
- Ascites Tidak ya
- BAB frekwensi/ konsistensi …………………………………………
- Mual/ muntah Tidak ya
- Lain – lain

Nutrisi
4

Konsep Diri
- Citra diri / body image Tanggapan tentang tubuh Pasien merasa tidak
percaya diri pada perubahan bentuk tubuh klien
yang dulunya gemuk sekarang kurus

- Identitas Status klien dalam keluarga


anak istri suami
kepuasan klien terhadap status dan posisinya
dalam keluarga puas tidak puas
kepuasan klien terhadap jenis kelaminya
puas tidak puas
- Peran tanggapan klien terhadap perannya
senang tidak senang
kemampuan / kesanggupan klien melaksanakan
perannya sanggup tidak sanggup
kepuasan klien melaksanakan perannya
puas tidak puas
Psikososial

- Ideal diri/harapan Harapan kliean terhadap tubuhnya klein ingin


tubuhnya sehat
status (dalam keluarga) Kepala Rumah Tangga
- Sosial /interaksi Klien sering dikunjungi oleh keluarga
Hubungan klien dengan keluarga baik
Dukungan keluarga terhadap klien

D. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG ( LABORATORIUM, X-RAY,


DLL) : Tanda 24 Februari 2020
Tabel 1
No Nama Hasil Normal Satuan
1 Gula darah sewaktu 94 75-115 Mg/dl
2 SGOT *72 <31 u/l (37o)
3 SGPT 32 <32 u/l (37o)
5

4 Ureum *26 10-15 mg/dl


5 Kreatinin 0,73 0,5 – 0,9 mg/dl
6 HbsAg - -
7 Golongan Darah B -
8 WBC 0,8 - k/ul
9 Lym 0,9 13,3 M
10 MID 0,4 6,4 L

E. TERAPI
1. Inf NaCl 0,9% 20 tmp
2. Inf aminofel
3. Ranitidin 50 mg 2 x 1 / tiap 12 jam (injeksi)
4. Vit B-Comples tab 3 x 1 oral
5. Curcuma tab 3 x 1 oral

Tanda Tangan
Mahasiswa

……………………….
NIM.
6

ANALISA DATA

Nama Pasien : Tn. K


Umur : 57 tahun/bulan
N DATA ( DS/DO) MASALAH ETIOLOGI
O
DS : Pasien mengatakan batuk Ketidakefektifan Penumpukan secret
1 berdahak bersihan jalan
nafas
DO :
- Kesadaran CM
TD : 90/60 mmHg
N : 78 x / menit
S : 36,3oC
R: 24 x/menit
- Terdapat hasil lab sputum
2 DS : Intoleransi Kelemahan otot
- Pasien mengatakan lemas dan aktivitas
seluruh aktivitas dibantu
orang lain

DO :
- TD : 90/60 mmHg
- N : 78x/menit
- S : 36,3oC
- RR : 24x / menit
- Ketika beraktifitas tampak
dibantu orang lain
7

3 DS : Nyeri akut Batuk terus menerus


- Pasien mengatakan nyeri
perut bagian kiri atas
- P : Batuk terus – menerus
- Q : Tertusuk – Tusuk
- R : Abdomen bagian kiri atas
- S:4
- T : Ketika batuk

4 DS : Kekurangan Minimnya informasi


- Pasien mengatakan belum pengetahuan
tahu tentang bagaimana
perawatan TB keluarga
pasien mengatakan alat
makan masih dipakai
bersama

DO :
- Ketika batuk pasien tidak
mutup mulut, membuang
dahak sembarangan.
- Alat makan masih dipakai
bersama
8

DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan secret.
2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan otot.
3 Nyeri akut berhubungan dengan batuk terus menerus.
4 Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan minimnya informasi.
9

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Nama Pasien : Tn. K
Umur : 57 Tahun/bulan
DIAGNOSA KEPERAWATAN :
..............................................................................................................................................................................................................

No. Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional


Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi TTV - Adanya perubahan fungsi respirasi
1 selama 3 x 24 jam diharapkan 2. Observasi kemampuan - Kemampuan mengeluarkan secret
Tujua: pertahankan jalan nafas mengeluarkan secret dan batuk menimbulkan timbulnya penumpukan
KH : pasien mengatakan batuk berkurang secara efektif berlebihan pada saluran nafas
frekuensi nafas 20x/menit 3. Berikan posisi semi fowler - Untuk memberikan kesempatan para
4. Ajarkan batuk efektif berkembang
5. Kolaborasi dalam pemberian - Batuk efektif mempermudah
inhalasi nebulizer ekspektorasi muskus
Bertujuan untuk mengencerkan dahak
10

2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi TTV - Adanya perubahan fungsi respirasi
selama 3 x 24 jam pasien dapat 2. Ajarkan teknik ROM - Kemampuan mengeluarkan secret
mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan 3. Kompres hangat pada menimbulkan timbulnya penumpukan
dengan KH : Pasien mengatakan badan tidak persendiaan berlebihan pada saluran nafas
terasa lemas, aktifitas pasien dapat dilakukan 4. Anjurkan untuk aktifitas yang - Untuk memberikan kesempatan para
sendiri ringan berkembang
- R : 16-20x / menit 5. Kolaborasi dengan tim medis - Batuk efektif mempermudah
- N : 60 – 100x/ menit dalam pemberan fisioterapi ekspektorasi muskus
- TD dan rentang normal Bertujuan untuk mengencerkan dahak
- (110-720 / 70-80 mmHg)
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji tingkat nyeri (PQRST) - Adanya perubahan fungsi respirasi
Selama 3 x 24 jam pasien dapat diharapkan : 2. Posisikan pasien semi fowler - Kemampuan mengeluarkan secret
Tujuan : nyeri hilang atau berkurang 3. Ajarkan relaksasi distraksi dan menimbulkan timbulnya penumpukan
KH : pasien tampak rileks skala nyeri 0 atau nafas dalam berlebihan pada saluran nafas
berkurang 4. Kolaborasi dengan pemberian - Untuk memberikan kesempatan para
obat anti nyeri berkembang
- Batuk efektif mempermudah
ekspektorasi muskus
Bertujuan untuk mengencerkan dahak
11

4 Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Berikan informasi tentang - Adanya perubahan fungsi respirasi
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan penyakit TB - Kemampuan mengeluarkan secret
Tujuan : Pasien dan keluarga tau tentang 2. Berikan informasi tentang menimbulkan timbulnya penumpukan
perawatan TB perawatan penyakit TB berlebihan pada saluran nafas
KH : pasien dan keluarga dapat melakukan 3. Berikan informasi tentang - Untuk memberikan kesempatan para
perawatan TB secara mandiri pencegahan penyakit TB berkembang
4. Berikan informasi tentang - Batuk efektif mempermudah
penularan penyakit TB ekspektorasi muskus
Bertujuan untuk mengencerkan dahak
12

TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn. K
Umur : 57 tahun/bulan
Tanggal/Jam No. Dx. T i n d a k a n Keperawatan
Senin, / 2 2014 1,2,3 Mengobservasi tanda vital dan pemberian O2
14.20 1,2,3 Memberikan posisi semi fowler
14.40 1,2 Menganjurkan tirah baring
15.20 3 Mengajarkan relaksasi distraksi
15.25 1,2,3 Membagikan obat oral
15.30 4 Memberikan penkes tentang penyakit TB
15.40 4 Memberikan penkes perawatan penyakit TB
16.30 2 Mengajarkan ROM
19.30 1 Mengajarkan batuk efektif
20.40 1,2,3 Memberikan lingkungan yang nyaman
Selasa 1,2,3 Memberikan infeksi Ronitidin 50 mg 2 x 1 tiap 12 jam
25/2/2014
08.15
08.20 1,2,3 Mengobservasi TTV
09.00 4 Memberikan penkes tentang pencegahan penyakit TB
09.10 4 Memberkan penkes tentang penularan penyakit TB
10.40 3 Mengajarkan relaksasi distraksi
11.50 2 Mengajarkan ROM
13.20 1,2,3, Memberikan lingkungan yang nyaman
13.45 4 Mengobservasi cara batuk pasien
Rabu 1,2,3,4 Mengobservasi keadaan umum pasien
26/2/2014
14.15
1,2,3 Mengobservasi TTV
15.00 4 Memberikan penkes tentang perawatan, pencegahan dan penularan
penyakit TB
15.45 Lakukan pelepasan infus
16.00 Mengingatkan pasien kontrol
16.10 Mengantarkan pasien pulang
13

EVALUASI
Nama Pasien : Tn. K
Umur : 57 tahun/bulan
Tanggal/Jam No. Dx. Per Evaluasi
S : Pasien mengatakan batuk berkurang
O : TD = 120 / 80 mmHg N = 80x/menit
S = 36,3oC R = 20x/menit
A : Masalah teratasi sebagian
P : anjurkan pasien control hari sabtu (BLPL)
S : Pasien mengatakan lemas berkurang
O : TD = 120/80 mmHg N = 80x/menit
S = 36,3oC R = 20x/mnt
Pasien dapat beraktifitas mandiri
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan pasien control hari sabtu (BLPL)
S : Pasien mengatakan nyeri sudah hilang
O : Skala nyeri 1
P = batuk terus menerus sudah hilang
Q = Rasa tertusuk-tusuk sudah hilang
R = Nyeri bagian abdomen kiri atas sudah hilang
T=-
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan pasien control hari rabu (BLPL)
S : Pasien mengatakan sudah tahu tentang penyakit
O : Pasien tampak memakai maske
- Ketika batuk menutup mulut dengan tisur dan
membuang tisu ke WC
- Pasien tidak menggunakan alat makan bergantian
A : Masalah teratasi
P:-
14

Nama Pasien : Tn. K


Umur : 57 Tahun
Diagnosa medis :TB (Tuberculosis) Paru

No Prioritas
Masalah Keperawatan Intervensi Evaluasi
masalah
No : Ketidakefektifan 1. Observasi TTV S : Pasien
Tgl : bersihan jalan nafas 2. Observasi mengatakan batuk
Jam : berhubungan dengan kemampuan berkurang
penumpukan secret mengeluarkan secret O : TD = 120 / 80
DS : Pasien mengatakan dan batuk secara mmHg N=
batuk berdahak efektif 80x/menit
DO : Kesadaran CM 3. Berikan posisi semi S = 36,3oC
TD : 90/60 fowler R = 20x/menit
mmHg 4. Ajarkan batuk efektif A : Masalah teratasi
N : 78 x / menit 5. Kolaborasi dalam sebagian
S : 36,3oC pemberian inhalasi P : anjurkan pasien
R: 24 x/menit nebulizer control hari sabtu
Terdapat hasil lab (BLPL)
sputum
Criteria hasil : Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x
24 jam diharapkan
Tujua: pertahankan
jalan nafas
KH : pasien
mengatakan batuk
berkurang frekuensi
nafas 20x/menit
No : Intoleransi aktivitas 1. Observasi TTV S : Pasien
Tgl : berhubungan dengan 2. Ajarkan teknik ROM mengatakan lemas
Jam : otot berkurang
15

DS : Pasien mengatakan 3. Kompres hangat pada O : TD = 120/80


lemas dan seluruh persendiaan mmHg N =
aktivitas dibantu orang 4. Anjurkan untuk 80x/menit
lain aktifitas yang ringan S = 36,3oC
DO : TD : 90/60 5. Kolaborasi dengan tim R = 20x/mnt
mmHg medis dalam pemberan Pasien dapat
N : 78x/menit fisioterapi beraktifitas mandiri
S : 36,3oC A : Masalah teratasi
RR : 24x / menit P : Anjurkan pasien
Ketika beraktifitas control hari sabtu
tampak dibantu orang (BLPL)
lain
Criteria hasil :
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam
pasien dapat
mentoleransi aktivitas
yang biasa dilakukan
dengan KH : Pasien
mengatakan badan tidak
terasa lemas, aktifitas
pasien dapat dilakukan
sendiri
R : 16-20x / menit
N : 60 – 100x/ menit
TD dan rentang normal
(110-720 / 70-80
mmHg)
16

No : Nyeri akut berhubungan 1. Kaji tingkat nyeri S : Pasien


Tgl : dengan batuk terus (PQRST) mengatakan nyeri
Jam : menerus. 2. Posisikan pasien semi sudah hilang
DS : Pasien mengatakan fowler O : Skala nyeri 1
nyeri perut bagian kiri 3. Ajarkan relaksasi P = batuk terus
atas distraksi dan nafas menerus sudah hilang
P : Batuk terus – dalam Q = Rasa tertusuk-
menerus 4. Kolaborasi dengan tusuk sudah hilang
Q : Tertusuk – Tusuk pemberian obat anti R = Nyeri bagian
R : Abdomen bagian nyeri abdomen kiri
kiri atas atas sudah
S:4 hilang
T : Ketika batuk T=-
Setelah dilakukan A : Masalah teratasi
tindakan keperawatan P : Anjurkan pasien
Selama 3 x 24 jam control hari rabu
pasien dapat diharapkan (BLPL)
:
Tujuan : nyeri hilang
atau berkurang
KH : pasien tampak
rileks skala nyeri 0 atau
berkurang
No : Kurangnya pengetahuan 1. Berikan informasi 𝑺 : Pasien
Tgl : berhubungan dengan tentang penyakit TB mengatakan sudah
Jam : minimnya informasi 2. Berikan informasi tahu tentang
DS : pasien mengatakan tentang perawatan penyakit
belum tahu tentang penyakit TB O : Pasien tampak
bagaimana perawatan 3. Berikan informasi memakai maske
TB keluarga pasien tentang pencegahan - Ketika batuk
mengatakan alat makan penyakit TB menutup
masih dipakai bersama mulut dengan
DO : tisur dan
17

ketika batuk pasien 4. Berikan informasi membuang


tidak mutup mulut, tentang penularan tisu ke WC
membuang dahak penyakit TB - Pasien tidak
sembarangan menggunakan
Alat makan masih alat makan
dipakai bersama bergantian
Setelah dilakukan A : Masalah teratasi
tindakan asuhan P:-
keperawatan selama 3 x
24 jam diharapkan
Tujuan : Pasien dan
keluarga tau tentang
perawatan TB
KH : pasien dan
keluarga dapat
melakukan perawatan
TB secara mandiri
18

B. SISTEM RESPIRASI
FORMAT PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Nama Mahasiswa : KELOMPOK A


N P M :
Rumah Sakit : RSUD dr. M. HAULUSSY AMBON
Ruangan : Ruang Puspa
Tanggal Pengkajian : 14 Januari 2020 Jam: ……… WIB

A. IDENTITAS PASIEN IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB


Nama : An. T Nama : Tn. A
Umur : 8 Tahun Umur : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa Suku : Jawa
Agama : Budha Agama : Budha
Pendidikan : SD Pendidikan :-
No. Rekam Medik : No Rekam Medik : -
Alamat : Alamat :-

B. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Klien mengeluh panas
Kronologis keluhan
Klien datang ke RSUD dr. M. HAULUSSY AMBON pada tanggal 14 Januari 2020
dengan keluhan panas, sakit tenggorokan dan filek. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang
lalu, sebelumnya klien di bawa berobat ke puskesmas, namun karena keadaan klien tidak
kunjung membaik akhirnya klien di bawa ke RST Puspa Kelas 2A. dengan diagnosa
faringitis.
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 14 januari 2020 pukul 21.00 WIB, keadaan klien
tampak lemah, klien mengeluh masih panas sakit tenggorokan,dan pilek. Adapun hasil
dari pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut:
Suhu : 39,2˚ C
19

Berat badan : 24 Kg.


Nadi : 92x/menit
Respirasi : 22x/menit
Tekanan darah : Tidak Terkaji

2. Riwayat Penyakit Sebelumnya


Klien mengatakan sebelumnya klien belum pernah dirawat di rumah sakit dengan penyakit
yang sama seperti sekarang, klien tidak pernah menderita penyakit lain, klien juga tidak
mempunyai riwayat alergi terhadap makanan maupun obat.

3. Riwayat Kesehatan Keluarga


Menurut klien, dikeluarganya tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan klien,
dan klien pun tidak memiliki riwayat penyakit kronis.

4. Riwayat psikososial dan spiritual


keluarga klien mengatakan sosialisasi klien dengan keluarga dan orang lain sangat baik,
klien terlihat cemas dengan keadaan yang di alaminya sekarang. Keluarga selalu berharap
dan berdoa agar klien cepat sembuh.

C. PEMERIKSAAN FISIK
- Suara jantung S1 S2 Tunggal S3 S4
- Nadi Reguler Iregular HR …..
- Capilary refill < 3 detik > 3 detik
- JVP Normal Meningkat ….. cm
Kardiovaskuler

- Murmur Ya Tidak
- Gallop Ya Tidak
- Akral hangat Dingin
- Oedem Ya, lokasi…………………. Tidak
- CVP ………………………………...
- Lain- lain ………………………………...
20

- Bentuk dada Simetris


- Bunyi nafas Bronkial Bronkovesikular Vesikular
Suara nafas tambahan
- Whezing Tidak Ya, (kanan/kiri)
Respiratory

- Ronchi Tidak Ya, (kanan/kiri)


- Stridor Tidak Ya,
- Snoring Tidak Ya,
Batuk Tidak Ya, Produktif/ tidak, secret……
Pemakaian otot Bantu nafas Tidak Ya, …
RR 22x/menit
- Warna kulit ….....................................................
- Kelembaban lembab berkeringat kering
- Icterus Tidak ya, lokasi……….
Integumen

- Turgor Baik……………………………………
- Jejas tidak ada, ……cm. lokasi…………
- Luka tidak ada …….cm lokasi…………
- Luka bakar tidak ada ….%, grade… lokasi
- Pupil Isokor Anisokor
Reflek cahaya ……………………………………………………
Diameter ………………..…………………………………..
- GCS ……………………………………………………
Neurologi

- Reflek patologis babinski chadock regresi……………


- Reflek fisiologis bisep trisep achiles patela
- Meningeal Sign kernig kaku kuduk Brudzinki I
- Parestesia tidak ada, ……cm. lokasi…………
- Gangguan N I s/d N XII …………………………………………………
- Lain – lain …………………………………………………
21

- Riwayat pertumbuhan dan Perubahan ukuran kepala, tangan atau kaki


perkembangan fisik pada waktu dewasa
Kekeringan kulit atau rambut
Exopthalmus Goiter Hipoglikemia
Endokrin

Tidak toleran terhadap panas


Tidak toleran terhadap dingin
Polidipsi Poliphagi Poliuri
- Lain – lain ………………………………….

- Kemampuan pergerakan sendi Bebas Terbatas


- Parese Ya Tidak
- Paralise Ya Tidak
- Hemiparese Ya Tidak
- Kontraktur Ya Tidak

Ekstremitas Tidak ada kelainan Peradangan


Muskuloskelet

- Atas Patah tulang Perlukaan


Lokasi…………………….

- Bawah Tidak ada kelainan Peradangan


Patah tulang Perlukaan
Lokasi Kaki
- Tulang belakang Tidak ada kelainan Peradangan
Patah tulang Perlukaan
Lokasi…………………….
22

Abdomen
- Kontur Abdomen Normal distensi
- Jejas Tidak ya,……cm, lokasi……..
- Bising usus Tidak ada, 18x/mt
- Meteorismus Tidak ya
- Nyeri tekan Tidak ya, lokasi………
- Pembesaran Hepar Tidak ya, ……..cm bawah arcus costae
- Pembesaran Limpa Tidak ya
- Teraba Massa Tidak ya, lokasi………………………..
- Ascites Tidak ya
- BAB frekwensi/ konsistensi …………………………………………
Gastrointestinal

- Mual/ muntah Tidak ya


- Lain – lain ………………………………………….

Nutrisi
Pola makan
- Jenis Diet/ kalori …………………………………………..
- Mendapat makanan tambahan Tidak Ya,……………………..
- Klien makan Makanan yang
disajikan Habis………….porsi
- Kesulitan menelan Tidak ya
- TB/BB ……………………………………………
- Terpasang Alat Bantu Tidak ya………………………
- Lain – lain ……………………………………………
23

Konsep Diri
Tanggapan tentang tubuh Pasien merasa tidak
- Citra diri / body image percaya diri pada perubahan bentuk tubuh klien
yang dulunya gemuk sekarang kurus

Status klien dalam keluarga


anak istri suami
- Identitas kepuasan klien terhadap status dan posisinya
dalam keluarga puas tidak puas
kepuasan klien terhadap jenis kelaminya
puas tidak puas
- Peran tanggapan klien terhadap perannya
senang tidak senang
lain – lain……………………………………..
kemampuan / kesanggupan klien melaksanakan
perannya sanggup tidak sanggup
kepuasan klien melaksanakan perannya
puas tidak puas
lain- lain…………………………………………
Psikososial

- Ideal diri / harapan posisi(dalam pekerjaan) SISWA SD


status (dalam keluarga) ANAK
tugas/ pekerjaan BELAJAR

- Sosial / interaksi Klien sering dikunjungi oleh keluarga ya


Hubungan klien dengan keluarga baik
Dukungan keluarga terhadap klien
24

D. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG ( LABORATORIUM, X-RAY, DLL) :


1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 14 januari 2020
Tabel 2
Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan
- HEMATOLOGI
- DARAH RUTIN 12,2 gr% W 12-16 gr%
- Hemoglobin 11,5ribu / mm³ 4.0-10.0 ribu / mm³
- Leukosit 5,16 juta / mm³ W 4-4,5 juta/mm³
- Erytrosit 36 % W 37-43 %
- Haematokrit 158ribu / mm³ 150-390 ribu / mm³
- Trombosit
- SEROLOGI
- WIDAL + 1 / 160
- S.TY.H -- / NEG
- S.PA.H + 1 / 160
- S.PB.H -- / NEG
- S.PC.H + 1 / 160
- S.TY.O + 1 / 160
- S.PA.O + 1 / 160
- S.PB.O + 1 / 160
- S.PC.O
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal
- HEMATOLOGI
- DARAH RUTIN
- Hemoglobin 11,6 gram % 10,12-16 gram %
- Leukosit 8,1 ribu/mm³ 4,0-10,0 ribu/mm³
- Erytrosit 5,18 juta 4-4,5 juta
- Haematokrit 35,8 % 37-43 %
- Trombosit 150 ribu/mm³ 150-390 ribu/mm³

- URINE
LENGKAP
- Warna 1,020 KUNING
25

- BD 6,5 KUNING
- PH --/NEG NEGATIF
- Keton --/NEG NEGATIF
- Nitrit +/POSI NEGATIF
- Albumin --/NEG NEGATIF
- Reduksi --/NEG NEGATIF
- Urobilin --/NEG NEGATIF
- Bilirubin

SEDIMEN
- Leukosit 3 0-4/LPB
- Erytrosit 2--3 0-4LPB
- Silinder 0- -1 NEGATIF
- Epitel cel +/POSI POSITIF
- - Kristal --/NEG NEGATIF

E. TERAPI
- Infus RL 20 tts/ menit
- Cefotaxim 2x 1/ 600 mg
- Antrain 2x1 250 mg

Tanda Tangan Mahasiswa

……………………….
NIM.
26

ANALISA DATA

Nama Pasien : Tn. K


Umur : 57 tahun/bulan
NO DATA ( DS/DO) MASALAH ETIOLOGI
DS : Peningkatan suhu Virus / Bakteri
1 - Mengeluh badannya panas tubuh
DO : Lapisan epitel dinding
- Klien tampak lemah faring
- S = 39.2 ˚ C
- N = 92x/menit proses inflamasi radang
- R : 22x/menit

bakteri melepas endotoksi


merangsang tubuh untuk
melepas zat pathogen oleh
leukosit

Impuls disampaikan ke
hypothalamus bagian
termoregulator

Hiperthermi

Peningkatan suhu tubuh


27

2 DS: klien mengeluh nyeri Nyeri menelan Virus / Bakteri


tenggorokan
Lapisan epitel dinding
DO : klien tampak rewel faring
Skala nyeri 3 (0-5)
S = 39.2 ˚ C Faringtis
N = 92x/menit
R : 22x/menit

Proses Inflamasi

Sakit Tenggorok

Nyeri menelan
3 DS : Klien tidak mau makan Gangguan nutrisi Virus / Bakteri
karena sakit saat menelan (kurang dari keb
DO : Klien tampak lemas utuhan) Lapisan epitel dinding
porsi makan tidak habis faring

Faringtis

Disfagia,

Gangguan Nutrisi Kurang


dari keb. Tubuh
28

4 DS: klien mengatakan saluran Bersihan jalan Virus / Bakteri


hidung tersumbat karena adanya nafas tidak
secret efektif Lapisan epitel dinding
DO: Terdengar suara ronchi faring

Faringtis

Penumpukan secret

Bersihan jalan napas tidak


efektif

DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya peradangan
2 Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi pada tenggorokan
3 Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan intake yang
kurang dengan kesulitan menelan
4 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret
29

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Nama Pasien : Tn. K
Umur : 57 tahun/bulan
DIAGNOSA KEPERAWATAN :
..............................................................................................................................................................................................................

No. Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional


Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Ukur tanda-tanda vital - Untuk mengetahui keadaan pasien
1 selama 3 x 24 jam Suhu tubuh dalam batas - Monitor temperature Mengetahui perkembangan suhu
normal, dengan kriteria hasil : tubuh secara teratur tubuh Membantu dalam proses
- Suhu: 36,8-37,2 C - Kolaborasi pemberian antibiotik, penyembuhan
antipiretik

2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Kaji ulang tingkat nyeri - Agar tepat dalam memilih tindakan
selama 3 x 24 jam nyeri berkurang - Ajarkan teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri
dengan kriteria hasil: - Kaji TTV - Meningkatkan relaksasi dan
- Nyeri klien berkurang dari - Kolaborasi dalam pemberian analgetik mengurangi nyeri
skala 3 menjadi 1 - Untuk mengetahui keaadaan
- Klien tidak tampak rewel umum klien
- TTV normal Untuk mengurangi nyeri
- Suhu : 36 ˚C
- Nadi:60-100 x /menit
30

3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Kaji intake makanan klien - Untuk mengetahui adanya
selama 3 x 24 jam, kebutuhan nutrisi - Anjurkan klien untuk makan makanan peningkatan nafsu makan
terpenuhi dengan kriteria hasil : yang tinggi kalori dan serat - Untuk memenuhi kebutuhan
- Klien mengatakan tidak sakit - Anjurkan makan sedikit tapi sering dan nutrisi klien
dalam menelan makanan dalam keadaan hangat - Untuk mengurangi rasa
- Klien makan dengan lahap sakit tapi makanan bias masuk
- Nafsu makan klien meningkat
- Klien nampak lebih segar
4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Identifikasi kualitas atau kedalaman naf - Untuk mengetahui keadaan nafas kl
selama 3x24 jam as klien. ien.
diharapkan klien dapat bernafas dengan - Anjurkan untuk minum air hangat. - Untuk mencairkan secret agar
lancer/efektif dengan kriteria hasil : - Ajari klien untuk batuk efektif. mudah keluar.
- Klien dapat mengeluarkan sputum - Kolaborasi untuk pemberian terapi - Untuk melegakan saluran nafas.
- Klien mengatakan dapat bernapas - Untuk mengencerkan dahak.
dengan lancer
31

TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama Pasien : An. T


Umur : 8 tahun/bulan
Tanggal/Jam No. Dx. T i n d a k a n Keperawatan
• Mengukur tanda-tanda vital
1 • Memonitor temperature tubuh secara teratur
• Kolaborasi pemberian antibiotik, antipiretik
15-01-2020 2 • Mengkaji ulang tingkat nyeri
• Mengajarkan teknik relaksasi
• Mengkaji TTV
• Berkolaborasi dalam pemberian analgetik
3 • Mengkaji intake makanan klien
• Menganjurkan keluarga klien untuk memberimakanan
yang tinggi kalori dan serat kepada klien
4 • Mengidentifikasi kualitas atau kedalaman nafas klien.
• Megnjurkan untuk minum air hangat.
• Mengajarkan klien untuk batuk efektif.
32

EVALUASI

Nama Pasien : Tn. K


Umur : 57 tahun/bulan
Tanggal/Jam No. Dx. Per Evaluasi
15-01-2020 1 S : klien mengatakan badannya sudah tidak panas
O: keadaan klien sedang
S = 36,6 ˚ C
A : masalah teratasi
P : pertahankan intervensi
15-01-2020 2 S:klien mengeluh masih nyeri tenggorokan
O : klien tampak rewel
A: masalah belum teratasi
P :lanjutkan intervensi
15-01-2020 3 S : klien mengatakan masih saki tpada saat menelan makanan
O : - Nafsu makan menurun
- Klien tampak lemas
A : masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
15-01-2020 4 S : klien mengatakan saluran hidung tersumbat karena adanya
secret
O : terdengar suara ronchi
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi

16-01-2020 2 S:klien mengatakan sudah tidak nyeri tenggorokan


O : keadaan klien sedang
A: masalah teratasi sebagian
P :lanjutkan intervensi
16-01-2020 3 S : klien mengatakan sudah tidak sakit saat menelan
O : klien mengatakan nafsu makan agak membaik
- Keadaan klien sedang
33

A : masalah teratasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi
16-01-2020 4 S: klien mengatakan saluran hidungnya sudah tidak tersumbat
O : sudah tidak terdengar suara ronchi
A: masalah teratasi
P: hentikan intervensi
34

Nama Pasien : An. T


Umur : 8 Tahun
Diagnosa medis : Faringitis
No Prioritas
Masalah Keperawatan Intervensi Evaluasi
masalah
No : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya • Ukur tanda-tanda vital S : klien mengatakan badannya
Tgl : peradangan • Monitor temperature sudah tidak panas
Jam : klien mengeluh badannya panas tubuh secara teratur O: keadaan klien sedang
DO: klien tampak lemah • Kolaborasi pemberian S = 36,6 ˚ C
S = 39.2 ˚ C antibiotik, antipiretik A : masalah teratasi
N = 92x/menit P : pertahankan intervensi
R : 22x/menit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam Suhu tubuh dalam batas normal, dengan kriteria hasil :
- Suhu: 36,8-37,2 C
No : Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi pada • Kaji ulang tingkat nyeri S:klien mengeluh masih nyeri
Tgl : tenggorokan • Ajarkan teknik relaksasi tenggorokan
Jam : DS: klien mengeluh nyeri tenggorokan • Kaji TTV O : klien tampak rewel
A: masalah belum teratasi
35

DO : klien tampak rewel • Kolaborasi dalam pemberia P :lanjutkan intervensi


Skala nyeri 3 (0-5) n analgetik
S = 39.2 ˚ C
N = 92x/menit
R : 22x/menit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
nyeri berkurang dengan kriteria hasil:
- Nyeri klien berkurang dari skala 3 menjadi 1
- Klien tidak tampak rewel
- TTV normal: Suhu : 36 ˚C
Nadi:60-100 x /menit
No : Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan • Kaji intake makanan klien S: klien mengatakan saluran
Tgl : intake yang kurang dengan kesulitan menelan • Anjurkan klien untuk hidungnya sudah tidak tersumbat
Jam : DS : Klien tidak mau makan karena sakit saat menelan makan makanan yang O : sudah tidak terdengar suara
DO : Klien tampak lemas tinggi kalori dan serat ronchi
porsi makan tidak habis • Anjurkan makan sedikit tap A: masalah teratasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 i sering dan dalam keadaan P: hentikan intervensi
jam, kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria hasil : hangat.
- klien mengatakan tidak sakit dalam menelan makanan
36

- klien makan dengan lahap


- Nafsu makan klien meningkat
- klien nampak lebih segar
No : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan • . Identifikasi kualitas ata S : klien mengatakan saluran
Tgl : dengan penumpukan secret u kedalaman nafas klien. hidung tersumbat karena adanya
Jam : DS: klien mengatakan saluran hidung tersumbat karena adanya • Anjurkan untuk minum air secret
secret hangat. O : terdengar suara ronchi
DO: Terdengar suara ronchi • Ajari klien untuk batuk efe A: masalah belum teratasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam ktif. P: lanjutkan intervensi
diharapkan klien dapat bernafas dengan lancer/efektif dengan • Kolaborasi untuk pemberia
kriteria hasil : n terapi
- Klien dapat mengeluarkan sputum
- Klien mengatakan dapat bernapas dengan lancar
37

BAB II
HASIL PENELITIAN

A. SISTEM PERNAPASAN (TBC)


1. Analisi Jurnal I TBC
Penulis : Helper Sahat P Manalu
Tahun Penelitian : 2018
Judul Penelitian : Faktor-faktor Yang mempengaruhi Kejadian TB
Paru dan Upaya Penaggulangannya.
Metode PICO :

No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO


1 Problem/Population • Masalah Klinik dari jurnal ini adalah untuk
mengetahui faktor - faktor yang menpengaruhi
kejadian TB Paru dan upaya penangulangannya.
• Populasi/Patient pada jurnal ini adalah pasien
dengan besar sampel 30 responden yang terbagi
dalam dua kelompok di RSUD Kota Kendari
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2018.
2 Intervention • Penelitian ini menggunakan desain quasi
experiment dengan pendekatan post test only non
equivalent control group
• Teknik pengambilan sampel adalah
nonprobability sampling dengan metode
consecutive sampling. Kriteria dalam penelitian
ini adalah: pasien TB paru yang sedang menjalani
pengobatan 2 minggu,SaO2 ≥95%,usia 18-60
tahun dan dapat berkomunikasi dengan baik.
• Instrumen yang digunakan dalam penelitian
adalah St. George Respiratory Questionnaire
(SGRQ) yang valid dan reliabel sebagai
instrumen pengumpul data untuk mengukur
38

kualitas hidup pasien TB dengan nilai alpha


cronbach untuk masing-masing bagian dari
instrumen SGRQ diatas 0,7.
3 Comparisson Rancangan ini dimaksud untuk mengetahui
pengaruh Home based Exercise Training Terhadap
Kualitas Hidup Pasien TB Paru di RSUD Kota
Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2018
4 Outcome Hasil menunjukan bahwa rerata skor kualitas hidup
dengan responden TB Paru pada kelompok control
adalah 60,63 dengan nilai minimum kualitas hidup
23 dan nilai maksimum kualitas hidup 89.
Sedangkan pada kelompok intervensi,rerata
kualitas hidup TB Paru adalah 21,82 dengan nilai
minimum 7 dan nilai maksimum kualitas hidupnya
57. Hal ini menunjukan bahwa rerata responden
pada kelompok intervensi memiliki kualitas hidup
yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok
control karena semakin rendah scor kualitas hidup
maka semakin baik kualitas hidup

2. Analisi Jurnal TBC


Penulis : Yulinda Nur Maulidya, Endang Sri Redjeki, Erianto Fanani
Tahun Penelitian :-
Judul Penelitian : Faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pengobatan tuberculosis (TB) paru pada pasien pasca pengobatan di
puskesmas dinoyo Kota Malang
Metode PICO :
No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO
1 Problem/Population Penelitian case control dengan 20 orang pada
kelompok kasus dan 10 orang pada kelompok
kontrol. Kelompok kasus merupakan pasien tb paru
yang telah dinyatakan sembuh dan kelompok
39

kontrol merupakan pasien tb paru yang dinyatakan


tidak sembuh (gagal, drop out, putus berobat).
2 Intervention Analisa menggunakan uji kolmogorov smirnov dan
uji fisher’s exact menunjukkan bahwa sikap pasien
dan ada/tidaknya PMO memiliki hubungan yang
signifikan dengan keberhasilan pengobatan TB
paru. Sedangkan usia, pendidikan, penghasilan, tipe
pengobatan dan pengetahuan tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan keberhasilan
pengobatan TB paru. Pasien yang memiliki sikap
yang “baik” memiliki kesempatan untuk sembuh
4,3 kali lipat daripada pasien yang memiliki sikap
“tidak baik” atau “cukup baik”.
3 Comparisson Dari data uji kolmogorov smirnov dan uji fisher’s
exact diperbandingankan menurut sikap pasien dan
ada atau tidaknya PMO, dengan usia, pengetahuan,
penghasilan, tipe pengobatan dan pengetahuan
pasien merupakan hubungan yang signifikan
dengan keberhasilan pengobatan TB paru.
4 Outcome Pasien yang memiliki PMO juga cenderung
memiliki kesempatan untuk sembuh 13,5 kali lebih
besar dibandingkan pasien yang tidak memiliki
PMO Sedangkan usia, pendidikan, penghasilan,
tipe pengobatan dan pengetahuan tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan keberhasilan
pengobatan TB paru
40

3. Analisi Jurnal III TBC


Penulis : Ondri Dwi Sampurno
Judul Penelitian : Tinjauan Farmakogenomik Rifampisin Dalam
Pengobatan Tuberkulosis Paru”
Metode PICO :
No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO
1 Problem/Population Tuberkulosis (TB) paru baru ditandai dengan basili
tahan asam (BTA) positif yang jika diberikan obat
TB berkualitas baik dengan dosis yang sesuai dan
patuh minum obat serta sensitif terhadap rifampisin
seharusnya menunjukkan konversi dahak pada
akhir pengobatan tahap intensif, ternyata tidak
semua pasien menunjukan konversi dahak. Angka
konversi TB nasional tahun 2010, 2011, dan 2012
yaitu berturut-turut 88,2%, 85,5%, dan 82,3%.
2 Intervention Bahan pustaka tinjauan diperoleh dengan
melakukan penelusuran pustaka melalui internet..
Kata kunci yang digunakan untuk penelusuran yaitu
“pharmacogenomics”, “rifampicin” “tuberculosis”.
Selanjutnnya pustaka yang relevan yaitu berupa
artikel hasil penelitian, artikel hasil review, laporan,
dan buku yang diterbitkan dalam jurnal 5 tahun
terakhir, diunduh sebagai naskah lengkap. Adapun
sistematika penulisan mencakup gen dan protein;
konsep dasar farmakogenomik; mekanisme
pengaruh variasi genetik terhadap respon obat;
epidemiologi TB di Indonesia; dan pengaruh gen
terhadap konsentrasi maksimum rifampisin dalam
plasma.
3 Comparisson Pengaruh Gen Terhadap Konsentrasi Maksimum
Rifampisin Dalam Plasma.
41

4 Outcome Subyek Indonesia menunjukkan adanya


polimorfisme gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
dengan frekuensi C 30% dan A 70%. Variasi
genetik antar individu ini diduga dapat
menyebabkan variasi respon rifampisin antar
individu pasien TB paru baru yang berdampak
adanya variasi outcome klinis, dalam hal ini
konversi dahak.

4. Analisi Jurnal IV TBC


Penulis : Dewi Sartiya Rini
Tahun Penelitian :-
Judul Penelitian : Pengaruh Home Based Exercise Training
Terhadap Kualitas Hidup Pasien Tb Paru

Metode PICO :
No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO
1 Problem/Population Salah satu program rehabilitasi paru yang dapat
diterapkan pada pasien TB adalah latihan
endurance atau ketahanan yang dapat memperbaiki
efisiensi dan kapasitas system transportasi oksigen.
Efek latihan endurance yang dilakukan selain
terjadi pembesaran serabut otot juga terjadi
pembesaran mitokondria yang akan meningkatkan
sumber energi kerja otot sehingga otot tidak mudah
lelah. Salah satu latihan ketahahanan yang dapat
dilakukan yaitu home based exercise Riset terkait
kualitas hidup pada pasien dengan penyakit paru
telah banyak dilakukan di Indonesia.
2 Intervention Penelitian ini menggunakan desain quasi
experiment dengan pendekatan post test only non
equivalent ontrol group. Dalam penelitian ini,
42

besar sampel sebanyak 30 responden yang terbagi


dalam dua kelompok dengan teknik pengambilan
sampel adalah nonprobability sampling dengan
metode consecutive sampling. Kriteria dalam
penelitian ini adalah: pasien TB paru yang sedang
menjalani pengobatan 2 minggu,SaO2 =95%,usia
18-60 tahun dan dapat berkomunikasi dengan baik.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah
St. George Respiratory Questionnaire (SGRQ)
yang valid dan reliable sebagai instrumen
pengumpul data untuk mengukur kualitas hidup
pasien TB dengan nilai alpha cronbach untuk
masing-masing bagian dari instrumen SGRQ diatas
0,7. Intervensi dilakukan dalam tiga kali seminggu
dan berlangsung selama tiga minggu. Proses analisa
data dimulai dengan uji normalitas data
menggunakan uji normalitas skewness selanjutnya
dilakukan uji homogenitas atau kesetaraan pada
setiap variabel data numerik antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol dengan
menggunakan levene’s test kemudian digunakan uji
T independen (pooled t test ).
3 Comparisson Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian yang
serupa yaitu penelitian Hill (2015) pada pasien
PPOK yang terbagi dalam dua kelompok penelitian
yaitu kelompok perlakuan yang mendapat
intervensi berjalan kaki selama 8 minggu dalam
waktu 45 menit setiap satu sesi latihan dan
kelompok yang tidak mendapat perlakuan. Hasil
yang diperoleh setelah dilakukan intervensi tersebut
selama 8 minggu adalah adanya perbaikan kualitas
hidup pada pasien yang masuk dalam kelompok
43

intervensi dibandingkan kelompok control


Penelitian Anokye (2012) yang terkait dengan
aktivitas fisik dan kualitas hidup juga menyatakan
bahwa melakukan aktivitas fisik seperti berjalan
kaki selama tiga minggu dapat memberi efek yang
positif terhadap perubahan kualitas hidup individu.
Latihan endurance di rumah yaitu berjalan kaki
secara terstruktur selama tiga bulan mengalami
peningkatan energi dalam beraktivitas dan juga
penurunan nyeri yang dirasakan sehingga mayoritas
kelompok intervensi latihan fisik di rumah dalam
riset ini memiliki kualitas hidup yang lebih baik
daripada kelompok control Dari data yang
diperoleh peneliti dilapangan diketahui bahwa
kelompok yang melakukan home based exercise
training memiliki kualitas hidup yang baik. Secara
fisiologi, bergerak secara teratur dan terstruktur
meningkatkan ventilasi. Reseptor sendi dan otot
yang tereksitasi selama kontraksi otot secara refleks
merangsang pusat pernapasan dan meningkatkan
ventilasi secara spontan. Bahkan gerakan pasif
anggota badan dapat meningkatkan ventilasi
beberapa kali lipat melalui pengaktifan reseptor-
reseptor ini. Oleh karena itu, proses-proses ekanis
selama melakukan latihan terstruktur atau olahraga
berperan penting dalam mengkoordinasi aktivitas
pernapasan sehingga sesak napas berkurang.
4 Outcome Dari data yang diperoleh peneliti dilapangan
diketahui bahwa kelompok yang melakukan home
based exercise training memiliki kualitas hidup
yang baik. Secara fisiologi, bergerak secara teratur
dan terstruktur meningkatkan ventilasi. Reseptor
44

sendi dan otot yang tereksitasi selama kontraksi otot


secara refleks merangsang pusat pernapasan dan
meningkatkan ventilasi secara spontan. Bahkan
gerakan pasif anggota badan dapat meningkatkan
ventilasi beberapa kali lipat melalui pengaktifan
reseptor-reseptor ini. Oleh karena itu, proses-proses
ekanis selama melakukan latihan terstruktur atau
olahraga berperan penting dalam mengkoordinasi
aktivitas pernapasan sehingga sesak napas
berkurang.

5. Analisi Jurnal V TBC


Penulis : Devi Darliana
Tahun Penelitian :-
Judul Penelitian : MANAJEMEN PASIEN TUBERKOLOSIS
PARU ( Management of lung TB for Patient )
Metode PICO :
No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO
1 Problem/Population TB merupakan salah satu penyakit menular yang
menyebabkan angka kematian dan morbiditas lebih
tinggi dengan perawatan yang lama. Pasien dapat
menunjukan banyak gejala misalnya; batuk
produktif, demam, keringt malam, dyspnue, nyeri
dada, anoreksia, dan penurunan BB. Dampak
penyakit ini bukan hanya mempengaruhi fisik tetapi
juga psikologis. Karena itu, dibutuhkan manajemen
yang baik bagi pasien TB untuk dapat mengatasi
masalah tersebut.
2 Intervention Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah yang dihadapi oleh pasien TB Paru adalah
sebagai berikut :
45

1. Peningktan bersihan jalan nafas, sekresi yang


sangat banyak dapat menyumbat jalan nafas
pada pasien TB paru dn mengganggu
pertukaran gas. Meningkatkan masukan
masukan cairan memberikan hidrasi sistemik
dan berfungsi sebagai ekspetoran yang efektif.
Pasien diberitahu posisi posisi yang dapat
memudahkan drainase secret. Humidifier atau
face mask dengan kelembapan tinggi dapat
membantu mengencerkan secret.
2. Mendukung kepatuhan terhadap pengobatan,
pasien harus memahai bahwa TB Paru adalah
penyakit menular sehingga meminum obat
secara tepat dan teratur adalah cara efektif
dalam pencegahan penularan. Pengertian
tentang obat obatan, jadwal dan efek samping
harus dijelaskan pada pasien. Selain itu
penjelasan tentang pentingnya tindakan
higienis, termasuk oral hygiene, menutup mulut
ketika bersin serta mencuci tangan harus
diberitahukan kepada pasien.
3. Meningkatkan aktivitas dan nutrisi yang
adekuat, pasien TB sering merasa sangat lemah
karena penyakit kronis dan juga gangguan
pemenuhan nutrisi. Pasien dapat diatur jadwal
aktivitas secara progresif dengan berfokus pada
peningkatan toleransiaktivitas dengan kekuatan
otot. Anoreksia, penurun berat badan dan
malnutrisi biasa terjadi pada pasien tb paru.
Keinginan untuk makan dapat terganggu oleh
keletihan akibat batuk berat , pembentukan
sputum, nyeri dada atau kelemahan. Pemberian
46

nutrisi dalam porsi sedikit tapi sering dapat


dijadwalkan. Suplemen nutrisi cair dapat
membantu memenuhi kebutuhan kalori dasar.
4. Penyuluhan pasien dan pertimbangan
perawatan dirumah, perawat mempunyai peran
yang sangat penting dalam merawat pasien TB
paru dan keluarganya, termasuk mengkaji
kemampuan pasien untuk melanjutkan terapi
dirumah. Perawat mengkaji pasien terhadap
reaksi obat yang merugikan dan ikut serta dalam
mensurvei rumah dan lingkungan kerja pasien
untuk mengindentifikasi individu lain yang
mungkin telah kontak dengan pasien seama
tahap infeksius.

3 Comparisson -
4 Outcome Masalah keperawatan yang dijumpai pada pasien
TB adalah bersihan jalan nafas tidak efektif,
gangguan pertukaran gas, resiko tinggi infeksi, dan
penyebaran infeksi , intake nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, serta kurang pengetahuan tentang
kondisi , pengobatan dan pencegahan. Salah satu
manajemen bagi pasien TB adalah pengobatan.
Pengobatan TB Paru terbagi atas 2 fase, yaitu
faseintensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7
bulan. Paduan obat yang digunakan adalah paduan
obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
(lini I) adalah INH, rifamfisin, pirazinamid,
sterptomisisin, etambutol, sedankan obat tambahan
lainnya adalah: kanamisin, amikasin, kuinolon.
47

B. SISTEM RESPIRASI (FARINGITIS)


1. Analisi Jurnal I Faringitis
Penulis : Ratih Wirdia N*, Niken Fitri A, Nuansa Amalia, Rian Rizki M,
Nita Mudiana, Ahmad Fuad M ProdiS1 Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi “Yayasan Pharmasi Semarang”
Tahun Penelitian : 2017
Judul Penelitian : Ekstrak Kulit Bawang Merah Sebagai Obat Herbal
Pengobatan Infeksi Bakteri Penyebab Faringitis
Metode PICO :

No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO


1 Problem/Population Dalam jurnal ini problem atau masalah yang
ditemukan tentang ekstrak obat herbal(kulit bawang
merah) untuk pengobatan infeksi bakteri penyebab
Faringitis.
2 Intervention Berdasarkan studi ini bahwa kulit bawang
merah(Allium cepa L) merupakan bagian tanaman
yang diidentifikasi mengandung senyawaflavonoid,
tannin, dan saponin.

Kulit bawang merah diektsraksi menggunakan


etanol 96% dengan metode maserasi, formulasi
granul effervescent dan uji karakteristik fisik granul
effervescent. Formulasi granul effervescent dibuat
dengan konsentrasi efektif: 5% ekstrak kulit dari
Allium cepa L. Uji karakteristik fisikgranul
effervescent meliputi: tanggapan rasa, waktu larut,
kelembaban, volume bulk, pengetapan, waktu alir
dan sudut diam. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ekstrak kulit bawang merah memiliki
aktivitas antibakteri terhadap S. pyogenes penyebab
48

faringitis dan formulasi granul effervescent


memenuhi seluruh uji karakteristik fisik sediaan.
3 Comparisson Tidak ada jurnal pembanding

4 Outcome Berdasarkan jurnal tersebut bahwa Ekstrak etanol


kulit bawang merah dapat berkhasiat sebagai
antibakteri terhadap spesies Streptococcus
pyogenes pada pengujian secara mikrobiologi.
Granul effervescent dari ekstrak etanol kulit
bawang merah konsentrasi 5% memenuhi syarat uji
karakteristik fisik, namun masih diperlukan
penelitian lebih lanjut.

2. Analisi Jurnal II Faringitis


Penulis : Ida Lisni12, Entris Sutrisno2,
Tahun Penelitian : 2015
Judul Penelitian : Evaluasi Pengunaan Antibiotik Pada Pasien
Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung
Metode PICO :

No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO


1 Problem/Population Berdasarkan hasil penelitian pada periode bulan
Januari sampai April 2015 diperoleh 56 pasien yang
diteliti. Diketahui jumlah pasien yang menderita
faringitis yaitu pasien anak 53,57% dan pasien
dewasa 46,43%. Semua pasien yang diteliti
menerima terapi antibiotik. Antibiotik yang banyak
digunakan adalah golongan sefalosporin (89,29%),
dengan sefiksim (60,71%). Hasil dari analisis
kualitatif diketahui bahwa pasien menerima
antibiotika sesuai indikasi adalah 100 %, dosis yang
sesuai sebesar 96,49%, lama terapi yang sesuai
49

sebesar 87,72%, penggunaan antibiotika kombinasi


yang memiliki efek sinergis sebanyak 1(satu)
pasien. Tidak terdapat duplikasi, namun terdapat
potensi interaksi obat dengan jumlah 14 kasus.
2 Intervention Penelitian ini dilakukan melalui metode
observasional dengan penyajian data secara
deskriptif dan pengumpulan data secara
retrospektif.bahwa ekstrak kulit bawang merah
memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. pyogenes
penyebab faringitis dan formulasi granul
effervescent memenuhi seluruh uji karakteristik
fisik sediaan.
3 Comparisson Dalam jurnal ini tidak ada jurnal pembanding
untuk membandingkan jurnal tsb.
4 Outcome Dari hasil penelitian Penggunaan Obat Antibiotika
pada pasien faringitis pada 56 pasien yang diteliti
meliputi pasien anak 53,57% dan pasien dewasa
46,43%. Seluruh pasien yang diteliti (100,00%)
menerima terapi antibiotik. bawang merah
konsentrasi 5% memenuhi syarat uji karakteristik
fisik, namun masih diperlukan penelitian lebih
lanjut.

3. Analisi Jurnal III Faringitis


Penulis : Bangkit Sasangka1, Arita Witanti2
Tahun Penelitian : 2017
Judul Penelitian : Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut Pada Anak Menggunakan Teorema Bayes
Metode PICO :
No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO
1 Problem/Population Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan
penyebab utama morbiditas dan moralitaspenyakit
50

menular pada anak-anak. ISPA terutama terjadi di


negara-negara dengan pendapatanperkapita rendah
dan menengah termasuk Indonesia. Saat ini masih
banyak orang tua yang belummengetahui penyakit
khususnya penyakit ISPA yang menimpa pada buah
hati mereka. Pada penelitian ini digunakan metode
Teorema Bayes.

2 Intervention Bahan yang digunakan pada sistem pakar diagnosa


penyakit infeksi saluran pernafasan akut pada anak
dengan metode Teorema Bayesadalah sebagai
berikut :

Jurnal dan buku yang membahas mengenai


penyakit infeksi saluran pernafasan akut, sistem
pakar, dan metode teorema bayes.

Data hasil wawancara dengan dokter Syarifa di


Puskesmas Depok 3 mengenai gejala penentu
diagnosa penyakit infeksi saluran pernafasan akut.

Data rekam medis pasien sejumlah 30 data yang


diperoleh dari Puskesmas Depok 3.

3 Comparisson Akuisisi pengetahuan merupakankegiatan untuk


mencari dan megumpulkan data untuk analisis
kebutuhan perangkat lunak yang bersumber dari
seorang pakar.

4 Outcome Dalam Perancangan sistem pakar ini menggunakan


metode teorema bayes. Teorema bayes dimulai dari
mencari nilai semesta total bobot gejala dari tiap
penyakit lalu menghitung nilai semesta P(Hi) di
lanjutkan dengan menghitung probalitas (H) tanpa
memandang evidence apapun barulah mencari nilai
P (Hi |E) dan langkah terakhir menjumlahkan nilai
bayes. Dalam proses perhitungan teorema bayes
pada sistem pakar diagnosa penyakit infeksi saluran
pernafasan akut
51

4. Analisi Jurnal IV Faringitis


Penulis : Nurwulan Adi Ismaya.
Tahun Penelitian : 2016
Judul Penelitian : Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien ISPA
Non-Pneumonia Anak Rawat Jalan Di RSUD Kota Tangerang Selatan
Metode PICO :

No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO


1 Problem/Population Penelitian ini termasuk dalam kategori deskriptif
retrospektif yaitu berdasarkan data yang sudah ada
dan tertulis dalam catatan medis pasien. Pada Tahun
2016 terdapat 130 pasien anak yang masuk dalam
kriteria penelitian
2 Intervention Antibiotik yang paling banyak digunakan sebagai
terapi ISPA non-pneumonia pada anak adalah
sefiksim sebanyak 67 antibiotik (51,3%). Sefiksim
merupakan golongan sefalosporin golongan III
yang memiliki sifat bakterisid dan berspektrum luas
terhadap mikroorganisme gram postif dan gram
negatif. Pada urutan kedua antibiotik yang paling
banyak digunakan adalah azitromisin sebanyak 40
antibiotik (30,7%). Azitromisin merupakan
golongan makrolida memiliki aktivitas yang lebih
poten terhadap bakteri gram negatif dengan volume
distribusi lebih luas dan waktu paruh yang lebih
panjang. Urutan ketiga antibiotik yang paling
banyak digunakan adalah sefadroksil sebanyak 21
antibiotik (16,2%). Sefadroksil merupakan
antibiotik golongan sefalosporin golongan I yang
aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif
serta bakterisid. Urutan keempat adalah antibiotik
eritromisin sebanyak 1 antibiotik (0,77%) dan
52

urutan kelima antibiotik claneksi sebanyak 1


antibiotik (0,77%).

3 Comparisson Berdasarkan evaluasi Gyssens menunjukan terdapat


63 (48,5%) kasus antibiotik sudah rasional
(kategori 0), selanjutnya terdapat 54 (41,5%) kasus
penggunaan antibiotik tidak tepat dosis (kategori
IIA), kemudian terdapat 8 (6,2%) kasus
penggunaan antibiotik terlalu lama (kategori IIIA),
dan terdapat 5 (3,8%) kasus ada antibiotik yang
lebih efektif untuk pasien (kategori IVA).
4 Outcome Berdasarkan hasil penelitian ini, kerasionalan
penggunaan antibiotik pada pasien Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) non-pneumonia anak di
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tangerang
Selatan 49,2% sudah rasional.

5. Analisi Jurnal V Faringitis


Penulis : Elsi Winer1, Roslaii2, Yustini Alioes3
Tahun Penelitian : 2013
Judul Penelitian : Perbandingan Daya Hambat Madu Alami Dengan
Madu Kemasan Secara In Vitro Terhadap Streptococus Beta Hemoliticus
Group A Sebagai Penyebab Faringitis
Metode PICO :

No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO


1 Problem/Population Madu merupakan substansi alam yang di hasilkan
alam lebah yang di ketahui memiliki manfaat,salah
satunya untuk mengobati faringitis yang di
sebabkan oleh steptococus beta hemoliticus group
A, madu alami dan madu kemasan dapat
menghambat pertumbuhan streptococus
53

hemoloticus group A dengan diameter daya hambat


terbesar pada madu alami 14 mm dan madu
kemasan 11 mm
2 Intervention Rancangan penilitian statistik dengan
menggunakan uji independen sampe kuskal-
waublis yang di lanjutkan dengan uji post-hoc mann
whitney berupa di dapatkan perbedaan daya hambat
yang signifikan antara madu alami dan madu
kemasan yaitu p=0,025( 0,05) hal ini menunjukan
bahwa madu alami lebih kuat dibandingkan madu
kemasan.
3 Comparisson Madu yang mengalami proses pengeceran masih
memiliki efek anti bacteri pengenceran dengan
konsentrasi kecil 50% dapat meningkatkan kadar
enzim glukosa oksidase
4 Outcome Madu alami memiliki antibacteri terhadap bacteri
steptococus beta hemoliticus group A sebagai
faringitis.
Madu alami memiliki efek anti bacteri yang lebih
kuat terhadap bacteri streptococus beta hemoliticus
group A di bandingkan dengan madu kemasan
54

PENUTUP
KESIMPULAN
TBC (Tuberkulosis) yang juga dikenal dengan TB adalah penyakit paru-paru
akibat kuman Mycobacterium tuberculosis. TBC akan menimbulkan gejala berupa
batuk yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu), biasanya berdahak dan
terkadang mengeluarkan darah. Pada kasus didapat beberapa masalah dan juga
bebrapa diagnose keperawatan yang bias diambil. Pada jurnal yang kelompok kami
dapatkan, lebih mengarah kepada faktor pencetus dan juga pengobatan farmakologi
yang bias diterapkan dan dipakai untuk memenuhi tingkat kesembuhan yang
diinginkan. Diupayakan, dalam pembuatan intervensi hingga melaksanakan
implementasi, juga diharapkan dilakukan dan dikerjakan dengan prosedur
pengobatan dan perawatan Tb Paru dengan benar.
Faringitis adalah perandangan pada tenggorokan atau faring. Kondisi ini
disebut juga radang tenggorokan, yang ditandai dengan tenggorokan terasa nyeri,
gatal dan sulit menelan. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko
seseorang mengalami faringitis, antara lai; anak-anak berusia 3 – 15 tahun, sering
terpapar asap rokok atau polusi, memiliki riwayat alergi dll. Oleh sebab itu kami
mengusahakan membuat asuhan keperawatan yang juga sesuai, yang diharapkan
adalah proses pemulihan yang signifikan. Pasien dengan faringitis, akan tetap
dipantau secara berskala.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TB PARU
DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

Factors Affecting The Occurrence Of Pulmonary Tb


And Efforts To Overcome

Helper Sahat P Manalu*

Abstract. Pulmonary TB disease remains a public health problem in Indonesia. In recent years, the
prevalence of TB increases. The increased prevalence was influenced by many factors including
community socio-economic and cultural, related to tuberculosis. Data obtained from several sources, such
as literature reviews and researches, and narratively presented. From several sources had known that most
patients with pulmonary TB had less addressed the prevention of pulmonary tuberculosis. Not all comunity
know and used the program free of pulmonary tuberculosis treatment in health centers. Due to the lack of
TB socialization or there is no charge to come to the clinic. Community knowledge about TB is still low.
This paper obtained that community participation and use to increase intensive counseling. Lung TB
counselling program must be also addressed properly.

Keywords: Incidence of pulmonary TB, Prevention Efforts

PENDAHULUAN mengalami krisis ekonomi atau pergolakan


masyarakat. (c) Perubahan demografik
Di Indonesia Tuberkulosis masih
karena meningkatnya penduduk dunia dan
merupakan salah satu penyakit yang
perubahan struktur umur kependudukan. (d)
menimbulkan masalah kesehatan di
Dampak pandemik HIV. (Depkes 2007)
masyarakat. Penderita TB di Indonesia
merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia Berbagai masalah di masyarakat
setelah India dan Cina dengan jumlah penderita TB anak tidak terdeteksi atau
pasien, sekitar 10 % dari total jumlah pasien terlambat diketahui, dan sulitnya dokter
TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, mendiagnosa kasus TB pada anak disamping
ada 539.000 kasus baru dan kematian masyarakat sendiri yang belum mengetahui
101.000 orang. Insiden kasus TB BTA epidemiologi penularan TB. Masih banyak
positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. orang yang tidak mengetahui secara benar
(Depkes,2007) bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini
menyebabkan sebagian masyarakat tidak
Penyebab utama meningkatnya
mewaspadai ada penderita TB dewasa di
masalah TB antara lain adalah : (a)
sekitar tempat tinggalnya. Hal itu menjadi
Kemiskinan pada berbagai kelompok
sumber penularan yang paling berbahaya
masyarakat, seperti pada Negara yang
adalah orang dewasa yang positif menderita
sedang berkembang. (b) Kegagalan TB
TB (disitir dari http://www.pikiran
selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak
rakyat.com/cetak0304/28hikmah/lainnya02.
memadainya komitmen politik dan
htm).
pendanaan, tidak memadainya organisasi
pelayanan TB ( kurang terakses oleh Undang-Undang Kesehatan 1992,
masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang telah menggariskan bahwa kesehatan adalah
tidak standar, obat tidak terjamin keadaan sejahterajasmani, rohani dan sosial
penyediaannya, tidak dilakukan yang memungkinkan setiap orang hidup
pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang produktif secara sosial dan ekonomis.
standar, dan sebagainya), tidak memadainya Selanjutnya Dwi Hapsari mengatakan, setiap
tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin
obat yang tidak standar, gagal bertempat tinggal dan mendapat lingkungan
menyembuhkan kasus yang didiagnosis), hidup yang baik dan sehat serta berhak
salah persepsi terhadap manfaat dan mendapat pelayanan kesehatan. Namun
efektifitas BCG, infrastruktur kesehatan menjaga kualitas kesehatan masyarakat
yang buruk pada Negara-negara yang dipengaruh oleh berbagai faktor yang saling

* Peneliti pada Puslitbang Ekologi & Status Kesehatan

1340
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 - 1346

terkait, dan seperti lingkungan, gaya hidup, BASIL DAN PEMBAHASAN


demografi, pendidikan, ekonomi dan sosial
budaya. Kebiasaan masyarakat yang berkaitan
dengan TB paru
Upaya penanggulangan penyakit TB
sudah dilakukan melalui berbagai program Tuberkulosis adalah suatu penyakit
kesehatan di tingkat Puskesmas, berupa infeksi yang disebabkan oleh bakteri
pengembangan strategi penanggulangan TB berbentuk batang (basil) yang dikenal
yang dikenal sebagai strategi DOTS dengan nama Mycobacterium Tuberculosis.
(directly observed treatment, Short course = Penularan penyakit ini melalui dahak
pengawasan langsung menelan obat jangka penderita yang mengandung basil
pendek), yang telah terbukti dapat menekan tuberkulosis paru tersebut. Pada waktu
penularan, juga mencegah penderita batuk, butir-butir air ludah
perkembangannya MDR (multi drugs beterbangan di udara yang mengandung
resistance = kekebalan ganda terhadap obat basil TBC dan terhisap oleh orang yang
sehat dan masuk ke dalam paru yang
)-TB, tetapi hasilnya masih dirasakan belum
sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena kemudian menyebabkan penyakit
tuberkulosis paru. Kejadian kasus
itu diharapkan adanya perhatian dari pihak-
tuberkulosis paru ini paling banyak terjadi
pihak terkait dalam upaya meningkatkan
pada kelompok masyarakat dengan sosial
keterlibatan peran pelayanan penanganan
ekonomi lemah (di sitir dari
TB paru selanjutnya.
http://library.usu.ac.id/download/fkm-
Penularan dan pemberantasan hiswani6.pdf 2009). Berdasarkan hasil
penyakit TB paru juga tidak lepas dari aspek pengamatan pada penelitian Helper Manalu
sosial budaya masyarakat yang dkk, penderita TB paru mempunyai
bersangkutan. Disamping itu para petugas kebiasaan sering tidak menutup mulut saat
kesehatan seperti dokter diharapkan selalu batuk, hal ini tentunya dapat membuat
menambah pengetahuan dan keterampilan penularan TB pada orang-orang yang sehat
agar dapat lebih sempurna untuk mendeteksi di sekitarnya.
serta mendiagnosa penyakit TB pada
Terjadinya peningkatan kasus TB
stadium dini. Oleh karena itu tulisan ini
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status
dibuat untuk mengungkapkan masalah
gizi dan kebersihan diri individu dan
faktor sosial budaya terutama menyangkut kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal
kebiasaan dan atau tindakan masyarakat
(disitir dari
yang kurang menunjang upaya http://librarv.usu.ac.id/download/fkm-
pemberantasan penyakit TB paru. hiswani6.pdf 2009). Menurut Tjandra Yoga
(2007), TB juga mudah menular pada
mereka yang tinggal di perumahan padat,
BAHAN DAN CARA kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya
Tulisan ini dibuat dengan cara buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya
menelusuri laporan penelitian /artikel yang dan sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa
berkaitan dengan kejadian TB paru. Dan bertahan selama 1-2 jam. Tjandra Yoga juga
berikutnya dilakukan seleksi pada laporan menyatakan bahwa di Indonesia setiap tahun
yang terkumpul, sehingga dapat ditelaah ditemukan 582.000 penderita baru TB
sebanyak 17 atikel terpilih. Dari laporan dengan angka kematian 41 orang /100.000
terpilih, ditentukan aspek-aspek yang sebagian besar penderita TB atau sebesar 75
menunjukkan hubungan antara kebiasaan % adalah penduduk usia produktif antara
masyarakat yang berkaitan dengan TB paru ; 15-49 tahun.
faktor-faktor penyebab kejadian TB dan
upaya penanggulangan TB yang dilakukan
saat ini.

1341
Faktor-faktor yang Mempengaruhi...(Helper)

Ketepatan dan kecepatan tuberculosis (TB), seperti dituturkan lewat


mendapatkan pengobatan juga penelitian tersebut diatas. Sehingga muncul
mempengaruhi tingkat kesembuhan desakan untuk membuat undang-undang
penderita TB. Penderita seringkali datang lebih ketat untuk masalah rokok di negara
berobat sudah dalam keadaan terlambat dan tersebut. (disitir dari
banyak komplikasi, hal ini membuat http://www.waspada.co.id/index2.php7optio
penderita tidak sabar dalam melakukan n=com content&do pdf=l&id=48857
pengobatan dan ingin cepat sembuh, tetapi 4/30/2010).
mereka ini mengalami kecewa dan putus asa
karena apa yang diharapkan penderita tidak
sesuai dengan kenyataan perjalanan Faktor-faktor yang berkaitan dengan
pengobatan (Herryanto, 2004). Disinilah kejadian TB
yang membuat kebanyakan keluarga
Menurut Antoni Lamini (2002) ada
penderita merasa jenuh dan bosan dalam
2 gejala TB paru yaitu : gejala umum dan
mencari/menjalankan pengobatan TB jika
gejala khusus. Gejala umum secara klinis
salah seorang anggota keluarganya sakit TB.
mempunyai gejala sbb : (a) batuk selama
Hasil penelitian di Kabupaten lebih dari 3 minggu, (b) demam, (c) berat
Tangerang (2009), penderita TB paru sering badan menurun tanpa sebab, (d) berkeringat
berpindah-pindah tempat pelayanan pada waktu malam, (e) mudah capai, (f)
kesehatan untuk mencari kesembuhan, hal hilangnya nafsu makan. Sedangkan Gejala
ini terjadi oleh karena penderita TB kurang khusus dapat digambarkan sbb : (a)
yakin pada pelayanan kesehatan. Karena tergantung dari organ tubuh mana yang
proses pengobatan yang tidak teratur , terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
membuat mereka tidak sembuh. Hal ini bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
diperparah dengan kebiasaan tidak akibat penekanan kelenjar getah bening
menghabiskan obat, karena merasa yang membesar, (b) akan menimbulkan
badannya sudah sehat (Helper Manalu, suara "mengi", suara nafas melemah yang
2009). Adapun alasan penderita TB paru disertai sesak, kalau ada cairan dirongga
pindah berobat hampir sama dengan alasan pleura (pembungkus paru-paru), dapat
diantara mereka yang tidak menyelesaikan disertai dengan keluhan sakit dada, (c) bila
pengobatannya yaitu karena tidak kunjung mengenai tulang, maka akan terjadi gejala
sembuh, dan bahkan bertambah parah. seperti infeksi tulang yang pada suatu saat
Herryanto (2004), dalam hasil penelitiannya dapat membentuk saluran dan bermuara
menggambarkan 20,8 % pengobatan TB pada kulit di atasnya, pada muara ini akan
yang dilakukan penderita putus berobat oleh keluar cairan nanah, (d) pada anak-anak
yang tidak meninggal pindah berobat dapat mengenai otak (lapisan pembungkus
dengan alasan karena tidak ada perubahan otak dan disebut sebagai menginitis (radang
dan penderita tidak sembuh. selaput otak), gejala adalah demam tinggi,
Menurut Tjandra Yoga 2007, adanya penurunan kesadaran dan kejang-
ternyata TB tidak hanya menyerang paru, kejang. Disamping itu, masih banyak faktor
tetapi juga dapat menyerang organ tubuh yang mempengaruhi pemberantasan TB
yang lain seperti kulit (TB kulit), tulang (TB paru antara lain sikap petugas kesehatan
tulang), otak dan saraf (TB otak dan saraf), dalam menangani pasien, ketersediaan obat
mata (TB mata), dan Iain-lain. dan faktor penderitanya sendiri. Berkaitan
dengan apa yang di uraikan diatas, 53, 83
Penelitian lain yang dilakukan oleh % program penanggulangan TB paru
Hsien-Ho Lin di Taiwan (2009) tentang disebabkan oleh : (a) Penderita TB
perokok, mendapatkan hampir 18.000 orang menganggap sakit batuk biasa, sehingga
yang mewakili populasi umum selama lebih tidak segera berobat ke Puskesmas, (b)
dari tiga tahun terakhir. "ditemukan Puskesmas belum dipercaya oleh
peningkatan dua kali lipat resiko TB aktif masyarakat, dan obat yang diberikan oleh
pada perokok dibandingkan dengan mereka puskesmas masih di anggap tidak manjur,
yang tidak pernah merokok", ternyata kaum (c) Kinerja puskesmas belum optimal dalam
perokok lebih berpotensi terkena penyakit upaya penanggulangan tuberculosis, (d)

1342
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 -1346

Masih banyak praktek pengobatan yang kematian yang disebabkan oleh TB-paru
belum menggunakan strategi DOTS, (e) dibandingkan dengan akibat proses
Kemampuan pemerintah daerah dalam kehamilan dan persalinan. Pada jenis
menyediakan dana sangat terbatas. (disitir kelamin laki-laki penyakit ini lebih
dari :http ://tesis- tinggi karena merokok tembakau dan
skripsi.blogspot.com/2008/05/analisis minum alkohol sehingga dapat
faktor-faktor yang.htm/). menurunkan system pertahanan tubuh,
sehingga lebih mudah terpapar dengan
Hiswani (2009) mengatakan bahwa
agent penyebab TB-paru. (disitir dari
keterpaparan penyakit TBC pada seseorang
http://library.usu.ac.id/download/fkm-
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
hiswani6.pdf 2009). Demikian
status sosial ekonomi, status gizi, umur,
penelitian Herryanto (2004), terdapat
jenis kelamin dan faktor sosial lainnya,
proporsi menurut jenis kelamin, laki-
untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai
laki sebesar 54,5 % dan perempuan
berikut:
sebesar 45,5 % yang menderita TB paru,
1. Faktor Sosial Ekonomi : Disini sangat sebagian besar mereka tidak bekerja
erat dengan keadaan rumah, kepadatan 34,9 % dan berpendidikan rendah (tidak
hunian, lingkungan perumahan, sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD)
lingkungan dan sanitasi tempat kerja sebesar 62,9 %.
yang buruk dapat memudahkan
Menurut Amira Permatasari, (2005)
penularan TBC. Pendapatan keluarga mengemukakan disamping faktor medis.
sangat erat juga dengan penularan TBC,
Faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap
karena pendapatan yang kecil membuat
dan perilaku yang sangat mempengaruhi
orang tidak dapat layak dengan keberhasilan pengobatan sebagaimana
memenuhi syarat-syarat kesehatan.
diuraikan di bawah ini:
2. Status gizi : Keadaan malnutrisi atau A . Faktor Sarana : (1)
kekurangan kalori, protein, vitamin, zat Tersedianya obat yang cukup dan kontinu,
besi dan Iain-lain, akan mempengaruhi (2) Dedikasi petugas kesehatan yang baik ,
daya tahan tubuh seseorang sehingga (3) Pemberian regiment OAT yang adekuat.
rentan terhadap penyakit termasuk TB-
paru. Keadaan ini merupakan faktor B. Faktor penderita : (1)
penting yang berpengaruh di negara Pengetahuan penderita yang cukup
miskin, baik pada orang dewasa maupun mengenai penyakit TB paru. Cara
anak-anak. pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak
adekuat, (2) Cara menjaga kondisi tubuh
3. Umur : Penyakit TB paru paling sering yang baik dengan makanan bergizi. cukup
ditemukan pada usia muda atau usia istirahat, hidup teratur dan tidak minum
produktif 15-50 tahun . Dengan alcohol atau merokok. (3) Cara menjaga
terjadinya transisi demografi saat ini kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak
menyebabkan usia harapan hidup lansia membuang dahak sembarangan, bila batuk
menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut menutup mulut dengan saputangan, jendela
lebih dari 55 tahun system imunolosis rumah cukup besar untuk mendapat lebih
seseorang menurun, sehingga sangat banyak sinar matahari. (4) Sikap tidak perlu
rentan terhadap berbagai penyakit, merasa rendah diri atau hina karena TB paru
termasuk penyakit TB-paru. adalah penyakit infeksi biasa dan dapat
4. Jenis kelamin: Penderita TB-paru disembuhkan bila berobat dengan benar. (5)
cenderung lebih, tinggi pada laki-laki Kesadaran dan tekad penderita untuk
dibandingkan perempuan. Menurut sembuh.
Hiswani yang dikutip dari WHO, C. Faktor keluarga dan
sedikitnya dalam periode setahun ada masyarakat lingkungan : (1) Dukungan
sekitar 1 juta perempuan yang keluarga sangat menunjang keberhasilan
meninggal aicibat TB paru, dapat pengobatan seseorang dengan cara selalu
disimpulkan bahwa pada kaum mengingatkan penderita agar makan obat,
perempuan lebih banyak terjadi pengertian yang dalam terhadap penderita

1343
Faktor-faktor yang Mempengaruhi... ( Helper)

yang sedang sakit dan memberi semangat positif bahkan masih rendah sekali dan
agar tetap raj in berobat. masih adanya droup out (lalai) dan
kegagalan dalam pengobatan. Dari uraian di
Dari hasil Riskesdas 2007, diketahui
atas diketahui belum semua petugas P2 TB
bahwa prevalensi TB paru cenderung
-Paru atau baru 50 % mendapat pelatihan
meningkat sesuai dengan bertambahnya
tentang P2 TB-Paru dan belum terampilnya
umur dan prevalensi tertinggi pada usia
petugas untuk melaksanakan protap
lebih dari 65 tahun . Prevalensi TB paru
penemuan penderita TB-Paru di Puskesmas.
pada laki-laki 20 % lebih tinggi
Beberapa petugas program P2 TB-Parupun
dibandingkan perempuan, selain itu
mengatakan beban kerja cukup berat,
prevalensi tiga kali lebih tinggi di pedesaan
pekerjaan merangkap program lainnya, tidak
dibandingkan perkotaan serta empat kali
adanya kompensasi yang bermakna terhadap
lebih tinggi pada pendidikan rendah
prestasi yang mereka capai.
dibandingkan pendikan tinggi.
Dari hasil penelitian Herryanto dkk
(2004), mengemukakan tentang karakteristik Upaya penanggulangan TB
kasus kematian penderita TB paru yang
Upaya penanganan dan
hampir tersebar pada semua kelompok
pemberantasan TB paru telah dilakukan
umur, dan paling banyak pada kelompok
pada awal tahun 1990 -an WHO telah
usia 20-49 tahun (58,3 %) yang merupakan
mengembangkan strategi penanggulangan
usia produktif dan usia angkatan kerja.
TB yang dikenal sebagai strategi DOTS.
Sebagaimana diuraikan diatas Focus utama DOTS adalah penemuan dan
penyakit menular yang dapat menimbulkan penyembuhan pasien, dengan prioritas
kerugian sosial ekonomi ini, berdasarkan pasien TB tipe menular. Strategi ini akan
data dari program sejak tahun 1995 memutuskan penularan TB dan diharapkan
sebenarnya telah ada obatnya, yang efektif menurunkan insidens TB di masyarakat.
dan murah, namun pengobatan TBC yang Menemukan dan menyembuhkan pasien
harus dilakukan selama 6 bulan harus diikuti merupakan cara terbaik dalam upaya
dengan manajemen kasus dan tatalaksana pencegahan penularan TB (Depkes, 2007).
pengobatan yang baik. Angka drop-out
Tjandra Yoga (2007),
(DO) pengobatan TBC paru secara nasional
mengemukakan bahwa seseorang yang sakit
diperkirakan tinggi. Hal ini sangat
TB dapat disembuhkan dengan minum obat
berbahaya, karena penelitian telah
secara lengkap dan teratur. Obat disediakan
memperlihatkan bahwa pengobatan yang
oleh pemerintah secara gratis di sarana
dilakukan dengan tidak teratur akan
pelayanan kesehatan yang telah menerapkan
memberi efek yang lebih buruk dari pada
strategi Dots (Directly Observed Tretment
tidak diobati sama sekali. Resistensi obat
Short course) seperti di Puskesmas, Balai
terjadi akibat seseorang tidak berobat tuntas
pengobatan Penyakit Paru dan beberapa
atau bila diberi obat yang keliru akan
rumah sakit.
memberikan dampak buruk tidak hanya
kepada yang bersangkutan tetapi juga Menurut Ahmad tahun (2008)
kepada epidemiologi TBC di daerah perbaikan sosial ekonomi, peningkatan taraf
tersebut. (Kajian riset operasional hidup dan lingkungan serta kemajuan
intensifikasi pemberantasan penyakit teknologi banyak membawa perubahan. Di
menular tahun 1998-1999-2003 kerjasama Negara-negara maju, jauh sebelum
Ditjen P2M & PLP dan Balitbangkes). ditemukan obat anti TB (tuberkulostatika
dan tuberkulosid) berkat perbaikan sosial
Syafei Hari Kusnanto (2006) dalam
ekonomi, jumlah penderita menurun 10-15
studi analisisnya menggambarkan bahwa
% per tahun. Dengan demikian dapat
angka pencapaian indikator program P2 TB-
disimpulkan bahwa penyakit TB sebenarnya
Paru Dinas Kesehatan Kota Jambi secara
dapat hilang dengan sendirinya jika ada
keseluruhan dapat memberikan gambaran
perbaikan sosial ekonomi tanpa
dimana ada beberapa indikator yang belum
"Obat".(disitir dari http ://yasirblogspot
mencapai target yaitu penemuan suspek TB-
com.blogspot.com/2009/04). Julianti
Paru, penemuan TB-Paru dengan BTA

1344
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 - 1346

Pradono berdasarkan hasil penelitiannya pendidikan dan pelatihan khusus program


pada tahun 2007, bahwa keluarga yang P2 TB terhadap petugas yang belum dilatih.
mempunyai pendapatan yang lebih tinggi Upaya meningkatkan peranserta pasien dan
akan lebih mampu untuk menjaga masyarakat dalam upaya penanggulangan
kebersihan lingkungan rumah tangganya, TB dan memberi peningkatan informasi
menyediakan air minum yang baik, membeli yang tepat dan lengkap melalui penyuluhan
makanan yang jumlah dan kualitasnya yang intensif. Dan petugas P2 TB-Paru
memadai bagi keluarga mereka, serta diharapkan tidak merangkap tugas-tugas
mampu membiayai pemeliharaan kesehatan lain. Serta melakukan pemeriksaan secara
yang mereka perlukan. aktif, khususnya pada kelompok risiko
tinggi dan status gizi kurang untuk
Program pemberantasan TB yang
mengurangi risiko penularan TB paru.
telah dilaksanakan melalui paket program,
namun di puskesmas belum secara efektif
dapat menjangkau seluruh masyarakat atau
UCAPAN TERIMA KASIH
penderita. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Helper Manalu dkk (2009), Ucapan terima kasih saya
sampai saat ini masih ada anggota sampaikan kepada teman-teman yang telah
masyarakat yang belum mengetahui ada mendorong dan memotivasi saya sehingga
program pelayanan kesehatan TB paru gratis tulisan ini dapat terselesaikan.
di .Puskesmas. Demikian pula hasil survei
prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan
bahwa lebih dari 80 % responden ternyata DAFTAR PUSTAKA
tidak mengetahui adanya program obat anti Amira Permatasari (2005), Pemberantasan Penyakit
TBC gratis. Dan hanya 19 % yang TB paru dan strategi Dots. Bagian Paru
mengetahui adanya pemberian obat anti Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
TBC gratis. (Depkes. 2004). Rendahnya Utara.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja
pengetahuan ini akan menghambat penderita Puskesmas dalam Penemuan BTA positif
TBC mencari pengobatan gratis atau Tuberkulosis paru di Kabupaten Malang.
menjadi penyebab putus berobat. Http ://tesis
skripsi.blogspot.com/2008/05/analisis
faktor-faktor vang.htm/).
Antoni Lamini (2002) TBC Penyakit yang dapat
KESIMPULAN DAN SARAN disembuhkan dan bukan penyakit keturunan.
Http/antonilamini.word press.com/
TB paru masih merupakan masalah
Depkes (2004), Badan Litbangkes, Ditjen P2
di negara berkembang, bahkan di negara PL,WHO, Project DOTS Expansion GF
maju masalah ini kembali muncul dengan ATM, Survei Prevalensi Tuberkulosis di
adanya HIV-AIDS. Berbagai upaya telah Indonesia.
dilakukan melalui bermacam-macam Depkes RI ( 2007), Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis edisi 2.
pendekatan untuk mengobati atau paling Depkes RI (2008), Laporan Hasil Riset Kesehatan
tidak mengurangi timbulnya TB. Seperti Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007
program strategi DOTS diharapkan dapat Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2008.
memberikan kesembuhan dan mencegah Dwi Hapsari, Puti Sari H, Tin Afifah, Oster
Suriani.2007. Gambaran Kebijakan
penularan. Namun dalam pelaksanaan di
Penyelenggaraan Kota Sehat pada Lima
lapangan, keberhasilan pengobatan dengan Kota di Indonesia. Media Litbang Kesehatan
strategi DOTS ini mengalami beberapa Volume XVII Nomor 3 tahun 2007.
hambatan seperti putus berobat (termasuk Gambaran Pengetahuan pasien TB paru tentang
pindah berobat) dan meninggal sehingga keteraturan minum obat di desa Pamah
Belitua Kabupaten Deli Serdang. Http
tidak memberikan hasil yang maksimal. ://vasirblogspot
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi com.blogspot.com/2009/04).
keberhasilan pengobatan yaitu faktor sarana, Helper Manalu dkk (2009). Penelitian Mengenai
faktor penderita dan faktor keluarga dan Faktor Sosial Budaya Yang Mempengaruhi
Ketaatan Berobat Penderita TB Paru.
masyarakat lingkungan. Akan tetapi bila Laporan Penelitian. Pusat Penelitian
melihat realitas yang ada membuktikan Pengembangan Ekologi dan Status
bahwa pengobatan tuberkulosis tidaklah Kesehatan, Badan Litbangkes Kementerian
semudah yang dipikirkan. Perlu dilakukan Kesehatan RI.

1345
Faktor-faktor yang Mempengaruhi...( Helper)

Herryanto, D.Anwar Musadad dan Freddy M.Komalig Pikiran rakyat (2004) Waspadai Penyakit TB paru,
(2004), Riwayat pengobatan penderita TB Seorang Penderita TB Dewasa Bisa
paru meninggal di Kabupaten Bandung, Menulari Sepuluh Anak. Http.'/Avww.pikiran
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No. 1, April rakvat.com/cetak0304/28hikmah/lainnva02.
2004: 1-6 htm).
Hiswani (2009). Tuberkulosis merupakan Penyakit Syafei, Hari Kusnanto (2006), Studi Analisis Faktor
Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kinerja Petugas di Kota Jambi, KMPK
Kesehatan masyarakat. Universitas Gajah Mada.
Http://librarv.usu.ac.id/download/fkm- Tjandra Yoga (2007). Diagnosis TB pada anak lebih
hiswani6.pdf 2009). sulit, Mediakom info sehat untuk semua
Julianty Pradono (2007), kesehatan dalam Departemen Kesehatan RI.
pembangunan berkelanjutan, Jurnal Ekologi Waspada (2009) Perokok berpotensi dua kali lipat
Kesehatan . Vol.6 No.2 Agustus 2007. terjangkit TB aktif.
Kajian riset operasional intensifikasi pemberantasan Http://waspada.co.id/index2.php?0ption=co
penyakit menular tahun 1998-1999-2003 m content&do_pdf=l&id=48857).
kerjasama Ditjen P2M &PLP dan
Balitbangkes).

1346
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN
PENGOBATAN TUBERKULOSIS (TB) PARU PADA PASIEN
PASCA PENGOBATAN DI PUSKESMAS DINOYO
KOTA MALANG
Yulinda Nur Maulidya
Endang Sri Redjeki
Erianto Fanani
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang
email: yulinmaulidya30@gmail.com

Abstract: Pulmonary tuberculosis (TB) become the most important health problem
in the world. However, seeing the large number of cases of illness and death form
TB, the disease can still be cured through treatment..The indicator used as a
treatment evaluation is the success rate of treatment, and there are many factors
that can influence the success of TB treatment. This study aims to determine the
factors that can influence the success of treatment seen from aspects of age,
education, income, type of treatment, knowladge, attitude of patients and the
presence or absence of drug supevisor (PMO) in patients with post-treatment
pulmonary TB in Puskesmas Dinoyo. This research is a case control study with 20
people in case group and 10 people in the control group. Tha case group is a
pulmonary TB patients who has been declared cured and the control group is a
pulmonary TB patients who otherwise not cured (failed, dropped out, stopped
treatment).Analysis using Kolmogorov Smirnov test and Fisher’s Exact test
indicates that patients attitude and presence/absence of drug supervisor (PMO)
have a significant relationship with successful treatment of pulmonary TB. While
age, education, income, type of treatment and knowledge have no significant
relationship with the successful treatment of pulmonary TB. Patients with a “good”
attitude have an opportunity to recover 4.3 times more than patients who have
“bad” or “good enough” attitudes. Patients who have drug supervisor (PMO) also
tend to have an opportunity to recover 13.5 times greater than patients who do not
have a drug supervisor (PMO)

Abstrak: Penyakit tuberkulosis (TB) paru menjadi masalah kesehatan yang paling
utama didunia. Namun, melihat banyaknya jumlah kasus kesakitan dan kematian
akibat TB, penyakit ini masih dapat disembuhkan melalui pengobatan. Indikator
yang digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan,
dan ada banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan
TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pengobatan dilihat dari aspek usia, pendidikan,
penghasilan, tipe pengobatan, pengetahuan, sikap pasien serta ada/tidaknya
Pengawas Minum Obat (PMO) pada pasien TB paru pasca pengobatan di Puskesmas
Dinoyo. Penelitian ini berupa penelitian case control dengan 20 orang pada
kelompok kasus dan 10 orang pada kelompok kontrol. Kelompok kasus merupakan
pasien TB paru yang telah dinyatakan sembuh dan kelompok kontrol merupakan
pasien TB paru yang dinyatakan tidak sembuh (gagal, drop out, putus berobat).
Hasil analisis menggunakan uji kolmogorov smirnov dan uji fisher’s exact
menunjukkan bahwa sikap pasien dan ada/tidaknya PMO memiliki hubungan yang
signifikan dengan keberhasilan pengobatan TB paru. Sedangkan usia, pendidikan,
penghasilan, tipe pengobatan dan pengetahuan tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan keberhasilan pengobatan TB paru. Pasien yang memiliki sikap
yang “baik” memiliki kesempatan untuk sembuh 4,3 kali lipat daripada pasien yang
memiliki sikap “tidak baik” atau “cukup baik”. Pasien yang memiliki PMO juga
cenderung memiliki kesempatan untuk sembuh 13,5 kali lebih besar dibandingkan
pasien yang tidak memiliki PMO.
Kata Kunci: tuberkulosis (TB) paru, faktor resiko, keberhasilan pengobatan
Penyakit TB telah menjadi masalah Berdasarkan data angka kesembuhan
kesehatan yang paling utama di dunia. dan keberhasilan pengobatan TB BTA
Berdasarkan laporan World Health Positif di Indonesia tahun 2008-2014,
Organization (WHO) dalam Global dapat disimpulkan bahwa terdapat
Tuberculosis Report 2015, death rate penurunan angka keberhasilan
atau angka kematian yang disebabkan pengobatan pada tahun 2014
oleh penyakit TB didunia memang telah dibandingkan 6 tahun sebelumnya. Pada
menurun hingga sebesar 47% sejak tahun 2014 angka keberhasilan
tahun 1990 hingga tahun 2000. Namun, pengobatan sebesar 81,3%. WHO
pada tahun 2014 angka kejadian dan menetapkan standar angka keberhasilan
angka kematian yang disebabkan oleh pengobatan sebesar 85%. Dengan
TB masih sangat tinggi dan bahkan demikian pada tahun 2014, Indonesia
menjadi salah satu dari lima penyakit belum mencapai standar tersebut dan
yang mematikan pada wanita usia 20-59 harus memenuhi 3,7% target yang
tahun. Diperkirakan, jumlah penderita kurang. Sementara Kementerian
kasus TB sebesar 9,6 juta kasus, dimana Kesehatan menetapkan target Renstra
1,5 diantaranya meninggal akibat minimal 88% untuk angka keberhasilan
penyakit TB (WHO, 2015). pengobatan pada tahun 2014.
Berdasarkan laporan World Berdasarkan hal tersebut, capaian angka
Health Organization (WHO) dalam keberhasilan pengobatan tahun 2013
Global Tuberculosis Report 2015, yang sebesar 81,3% juga tidak
Indonesia merupakan salah satu dari 3 memenuhi target Renstra tahun 2014
negara yang memiliki Burden of Disease (Kemenkes RI, 2015).
jumlah kasus TB tertinggi di dunia Ada banyak faktor yang dapat
setelah China dan India. Diperkirakan mempengaruhi keberhasilan pengobatan
pada tahun 2014, jumlah kematian TB. Tinggi rendahnya TSR atau
akibat TB sebesar 100 ribu kasus atau Treatment Success Rate dipengaruhi
sekitar 41 kasus per 100.000 penduduk oleh beberapa faktor, antara lain; 1)
(bagi penderita TB tanpa HIV) dan 22 Faktor pasien: pasien tidak patuh minum
ribu kasus atau sekitar 8,5 per 100.000 obat anti TB (OAT), pasien pindah
penduduk (bagi penderita TB disertai fasilitas pelayanan kesehatan, dan TB
HIV) (WHO, 2015). nya termasuk yang resisten terhadap
Berdasarkan survey yang OAT. 2) Faktor pengawas minum obat
dilakukan oleh Kementrian Kesehatan (PMO): PMO tidak ada, PMO ada tapi
RI tentang cakupan penemuan kasus kurang memantau. 3) Faktor obat: suplai
penyakit TB Paru, diperoleh hasil bahwa OAT terganggu sehingga pasien
cakupan penemuan semua kasus TB di menunda atau tidak meneruskan minum
Indonesia pada tahun 2014 adalah obat, dan kualitas OAT menurun karena
sebesar 285.254 kasus. Sedangkan penyimpanan tidak sesuai standar
jumlah kasus baru TB Paru BTA Positif (Kemenkes RI, 2014).
adalah sebesar 176.677 kasus. Di Kota Malang, jumlah
Prosentase CDR atau Case Detection penderita TB meningkat dari tahun 2015
Rate kasus TB di Indonesia ini adalah hingga tahun 2016. Hingga akhir tahun
sebesar 70,08% (Kemenkes RI, 2015). 2015, jumlah penderita TB yang tercatat
Salah satu upaya untuk mencapai 1.368 penderita sedangkan
mengendalikan dan menanggulangi pada triwulan ketiga tahun 2016
banyaknya penderita TB yaitu dengan meningkat menjadi 1.382 penderita
pengobatan. Indikator yang digunakan (Dinkes Kota Malang, 2016).
sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka
keberhasilan program (success rate).
Angka keberhasilan pengobatan ini
dibentuk dari angka kesembuhan (cure
rate) dan angka pengobatan lengkap.
Berdasarkan survey awal yang faktor-faktor apasajakah yang dapat
dilakukan oleh peneliti, Puskesmas mempengaruhi keberhasilan pengobatan
Dinoyo merupakan salah satu TB di Puskesmas Dinoyo. Dengan
puskesmas dengan jumlah penderita TB harapan, peneliti dapat memberikan
tertinggi di Kota Malang. Berdasarkan pengetahuan dan manfaat pada berbagai
data yang diperoleh, diketahui bahwa pihak termasuk pihak pemberi layanan
pada tahun 2015, jumlah penderita TB
kesehatan dan penderitanya. Maka dari
sebanyak 81 pasien dengan 58
diantaranya merupakan pasien TB Paru. itu, peneliti ingin melakukan penelitian
Sedangkan pada tahun 2016 jumlah analitik observasional yang berjudul
penderita TB adalah 80 orang dengan 66 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
diantaranya merupakan pasien TB Paru. Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis
Angka kesembuhan di Puskesmas (TB) Paru pada Pasien Pasca
Dinoyo ini terhitung sekitar 72% dari Pengobatan di Puskesmas Dinoyo Kota
total seluruh pasien di tahun 2016. Malang.
Berdasarkan data tersebut,
peneliti ingin melihat gambaran terkait

METODE
Desain penelitian yang penelitian ini. Instrumen penelitian
digunakan adalah analitik observasional yang digunakan adalah kuisioner
dengan pendekatan penelitian case penelitian yang telah diuji reliabilitas
control. Populasi dalam penelitian ini dan validitasnya, serta rekam medis
terdiri dari populasi kasus dan populasi pasien TB Puskesmas Dinoyo.
kontrol. Populasi kasus merupakan Penelitian ini dilaksanakan di wilayah
pasien TB paru yang telah dinyatakan kerja Puskesmas Dinoyo selama 2 bulan,
sembuh pada tahun 2016 di Puskesmas yaitu bulan Februari-Maret 2017.
Dinoyo, yaitu sebanyak 34 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan
Sedangkan populasi kontrol merupakan membagikan instrumen penelitian yang
pasien TB paru yang dinyatakan tidak berupa kuisioner pada masing-masing
sembuh (gagal, drop out, putus berobat) responden. Analisis data yang digunakan
selama tahun 2016 di Puskesmas adalah analisis univariat dan analisis
Dinoyo, yaitu sebanyak 10 orang. bivariat menggunakan uji kolmogorov-
Teknik sampling yang digunakan adalah smirnov dan uji fisher’s exact dengan
total sampling, sehingga seluruh aplikasi SPSS vw 16.
populasi dijadikan sebagai sampel dalam

HASIL
Karakteristik Responden
alamat tidak jelas) maka jumlah akhir
Responden dalam penelitian ini yang berhasil menjadi responden dalam
berjumlah 44 pasien. Jumlah responden penelitian ini adalah; responden kasus
kasus adalah sebanyak 34 pasien, dan sebanyak 20 orang dan responden
jumlah responden kontrol adalah kontrol sebanyak 10 orang. Berikut
sebanyak 10 pasien. Namun, karena satu adalah karakteristik responden dalam
dan lain hal (tidak bersedia menjadi penelitian ini:
responden, pindah tempat tinggal, dan
Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Total
Jenis Kelamin Sembuh Tidak Sembuh Total
N % N % N %
Laki-laki 9 45% 6 60% 15 50%
Perempuan 11 55% 4 40% 15 50%
Total 20 100% 10 100% 30 100%

Berdasarkan hasil penelitian 55% sedangkan pada kelompok kontrol


diperoleh data responden berdasarkan (pasien tidak sembuh) lebih banyak ada
jenis kelamin, pada kelompok kasus pada pasien berjenis kelamin laki-laki
(pasien sembuh) yang berjenis kelamin yaitu sebanyak 6 orang atau 60%.
perempuan yaitu sebanyak 11 orang atau

Usia

Tabel 2. Tabulasi Silang Usia dengan Keberhasilan Pengobatan TB Paru


Keberhasilan Pengobatan TB Paru
Usia Sembuh Tidak Sembuh Total P value
N % N % N %
15-19 tahun 1 5% 1 0% 2 7%
20-24 tahun 6 30% 4 60% 10 33%
25-29 tahun 2 10% 2 20% 4 13%
30-34 tahun 2 10% 1 0% 3 10%
35-39 tahun 1 5% 1 0% 2 7%
40-44 tahun 1 5% 0 0% 1 3%
0,775
45-49 tahun 2 10% 0 0% 2 7%
50-54 tahun 0 0% 1 20% 1 3%
55-59 tahun 2 10% 0 0% 2 7%
60-64 tahun 1 5% 0 0% 1 3%
> 64 tahun 2 10% 0 0% 2 7%
Total 20 100% 10 100% 30 100%

Berdasarkan tabel diatas, dapat sebanyak 4 orang (60%). Berdasarkan


terlihat bahwa baik pada kelompok hasil analisis menggunakan uji
kasus (pasien sembuh) maupun kolmogorov-smirnov diperoleh nilai p
kelompok kontrol (pasien tidak sembuh) value (0,775) > α (0,05) sehingga dapat
mayoritas responden berada pada diinterpretasikan bahwa tidak ada
kategori usia 20-24 tahun. Yaitu hubungan antara usia dengan
sebanyak 6 (30%) orang pada kelompok keberhasilan pengobatan TB paru di
kasus, dan pada kelompok kontrol Puskesmas Dinoyo.
Pendidikan

Tabel 3. Tabulasi Silang Pendidikan dengan Keberhasilan Pengobatan TB Paru


Keberhasilan Pengobatan TB Paru
Pendidikan Sembuh Tidak Sembuh Total P value
N % N % N %
Tidak Menempuh Jenjang
Pendidikan Formal 1 5% 0 0% 1 3%
SD/MI/Paket A 6 30% 1 10% 7 23%
SMP/MTs/Paket B 2 10% 2 20% 4 13% 0,645
SMA/MA/SMK/Paket C 7 35% 6 60% 13 43%
Diploma/Perguruan Tinggi 4 20% 1 10% 5 17%
Total 20 100% 10 100% 30 100%

Berdasarkan hasil tabulasi sebanyak 7 orang (35%) dan pada


diketahui bahwa baik pada kelompok kelompok kontrol (tidak sembuh)
kasus (pasien sembuh) maupun pada sebanyak 6 orang (60%). Hasil analisis
kelompok kontrol (pasien tidak sembuh) menggunakan uji kolmogorov-smirnov
sebagian besar responden (43%) diperoleh nilai p value (0,645) > α (0,05)
memiliki pendidikan formal terakhir sehingga dapat diinterpretasikan bahwa
hingga SMA/MA/SMK/ Paket C. Dari tidak ada hubungan antara pendidikan
ke 13 responden (43%) yang dengan keberhasilan pengobatan TB
berpendidikan SMA/MA/SMK/ Paket C, paru di Puskesmas Dinoyo.
pada kelompok kasus (sembuh)

Penghasilan

Tabel 4. Tabulasi Silang Tingkat Penghasilan dengan Keberhasilan Pengobatan TB Paru


Total
Tingkat Penghasilan Sembuh Tidak Sembuh Total P value
N % N % N %
< Rp. 1.500.000 15 75% 8 80% 23 77%
Rp. 1.500.000 sd Rp. 2.500.000 0 0% 1 10% 1 3%
Rp. 2.500.000 sd Rp. 3.500.000 2 10% 1 10% 3 10% 0,387
> Rp. 3.500.000 3 15% 0 0% 3 10%
Total 20 100% 10 100% 30 100%

Berdasarkan hasil tabulasi pada kelompok kontrol (tidak sembuh)


diketahui bahwa baik pada kelompok sebanyak 8 orang (80%). Hasil uji
kasus (pasien sembuh) maupun pada mengguakan uji kolmogorov-smirnov
kelompok kontrol (pasien tidak sembuh) diperoleh nilai p value (0,387) > α (0,05)
sebagian besar responden (77%) sehingga dapat diinterpretasikan bahwa
berpenghasilan rendah (< Rp. tidak ada hubungan antara tingkat
1.500.000). Dari ke 23 responden (77%) penghasilan dengan keberhasilan
yang memiliki tigkat penghasilan rendah pengobatan TB paru di Puskesmas
(< Rp. 1.500.000) pada kelompok kasus Dinoyo.
(sembuh) sebanyak 15 orang (75%) dan
Tipe Pengobatan

Tabel 5. Tabulasi Silang Tipe Pengobatan dengan Keberhasilan Pengobatan TB Paru


Keberhasilan Pengobatan TB Paru
Tipe Pengobatan Sembuh Tidak Sembuh Total P value
N % N % N %
Kategori I 17 85% 7 70% 24 80%
Kategori II 3 15% 3 30% 6 20% 0,306
Total 20 100% 10 100% 30 100%

Berdasarkan hasil tabulasi orang (85%) dan yang dikatakan tidak


diketahui bahwa baik pada kelompok sembuh sebanyak 7 orang (70%). Hasil
kasus (pasien sembuh) maupun uji menggunakan uji fisher’s exact
kelompok kontrol (pasien tidak sembuh) diperoleh nilai p value (0,306) > α (0,05)
sebagian besar responden (80%) sehingga dapat diinterpretasikan bahwa
mendapatkan tipe pengobatan kategori I. tidak ada hubungan antara tipe
Dari ke 24 responden (80%) yang pengobatan dengan keberhasilan
mendapatkan tipe pengobatan kategori I, pengobatan TB paru di Puskesmas
yang dinyatakan sembuh sebanyak 17 Dinoyo.

Pengetahuan

Tabel 6. Tabulasi Silang Pengetahuan dengan Keberhasilan Pengobatan TB Paru


Keberhasilan Pengobatan TB Paru
Pengetahuan Sembuh Tidak Sembuh Total P value
N % N % N %
Cukup Baik 3 15% 5 50% 8 27%
Baik 17 85% 5 50% 22 73% 0,078
Total 20 100% 5 100% 30 100%

Berdasarkan hasil tabulasi (85%) dan yang yang dinyatakan tidak


diketahui bahwa baik pada kelompok sembuh adalah sebanyak 5 orang (50%).
kasus (pasien sembuh) maupun pada Hasil analisis menggunakan uji fisher’s
kelompok kontrol (pasien tidak sembuh) exact diperoleh nilai p value (0,078) > α
sebagian besar responden (73%) (0,05) sehingga dapat diinterpretasikan
dinyatakan memiliki pengetahuan yang bahwa tidak ada hubungan antara
“baik”. Dari 22 responden (73%) pengetahuan dengan keberhasilan
tersebut yang berhasil dinyatakan pengobatan TB paru di Puskesmas
sembuh adalah sebanyak 17 oarng Dinoyo.
Sikap Pasien

Tabel 7. Tabulasi Silang Sikap Pasien dengan Keberhasilan Pengobatan TB Paru


Keberhasilan Pengobatan TB Paru
Sikap Pasien Sembuh Tidak Sembuh Total P value OR (95% IK)
N % N % N %
Cukup Baik 0 0% 4 40% 4 13%
4,333
Baik 20 100% 6 60% 26 87% 0,008
(2,148-8,742)
Total 20 100% 10 100% 30 100%

Berdasarkan hasil tabulasi fisher’s exact diperoleh nilai p value


diketahui bahwa baik pada kelompok (0,008) < α (0,05) sehingga dapat
kasus (pasien sembuh) maupun pada diinterpretasikan bahwa ada hubungan
kelompok kontrol (pasien tidak sembuh) antara sikap pasien dengan keberhasilan
mayoritas responden (87%) dinyatakan pengobatan TB paru di Puskesmas
memiliki sikap yang “baik” saat Dinoyo. Sedangkan besar resiko bagi
menjalani pengobatan. Dari 26 pasien yang memiliki sikap yang “baik”
responden (87%) tersebut, yang berhasil selama menjalani pengobatan adalah
dinyatakan sembuh adalah sebanyak 20 4,333 kali lebih besar untuk sembuh
responden (100%) dan yang dinyatakan dibandingkan dengan pasien yang
tidak sembuh adalah sebanyak 6 orang memiliki sikap “kurang baik” maupun
(60%). Hasil analisis menggunakan uji “cukupbaik”..

Ada/Tidaknya PMO

Tabel 8. Tabulasi Silang Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Keberhasilan Pengobatan
TB Paru
Pengawas Keberhasilan Pengobatan TB Paru
P OR (95%
Minum Obat Sembuh Tidak Sembuh Total value IK)
(PMO) N % N % N %
Ada 18 90% 4 40% 22 73% 13,5
Tidak Ada 2 10% 6 60% 8 27% 0,026 (1,955-
93,246)
Total 20 100% 10 100% 30 100%

Berdasarkan hasil tabulasi dinyatakan tidak sembuh. Hasil analisis


diketahui bahwa pada kelompok kasus menggunakan uji fisher’s exact
(pasien sembuh) sebagian besar diperoleh nilai p value (0,026) < α (0,05)
responden yaitu sebanyak 22 orang sehingga dapat diinterpretasikan bahwa
(73%) menyatakan memiliki PMO, ada hubungan antara ada/tidaknya
sedangkan pada kelompok kontrol Pengawas Minum Obat (PMO) dengan
(pasien tidak sembuh) sebagian besar keberhasilan pengobatan TB paru di
menyatakan tidak memiliki PMO yaitu Puskesmas Dinoyo. Sedangkan besar
sebanyak 6 orang (60%). Dari 22 orang resiko bagi pasien yang memiliki PMO
(73%) yang menyatakan memiliki PMO, adalah 13,5 kali lebih besar untuk
18 orang diantaranya berhasil sembuh dibandingkan pasien yang tidak
dinyatakan sembuh, sedangkan 4 sisanya memiliki PMO.
PEMBAHASAN
Hubungan Pendidikan dengan
Hubungan Usia dengan Keberhasilan Keberhasilan Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB Paru
Hasil penelitian menunjukkan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan
usia dengan keberhasilan pengobatan pengobatan TB paru di Puskesmas
TB paru di Puskesmas Dinoyo. Hasil Dinoyo. Hasil ini didasarkan pada uji
ini didasarkan pada uji kolmogorov- kolmogorov-smirnov yang diperoleh
smirnov yang diperoleh p value p value (0.645) (dimana lebih besar
(0,775) (yang lebih besar dari α dari α 0,05).
0,05).
Hasil penelitian ini sesuai
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kholifah (2009) yang
oleh Diana (2014) yang menyatakan menyatakan bahwa tidak ada
bahwa tidak ada hubungan antara hubungan antara tingkat pendidikan
umur dengan kepatuhan berobat dengan kesembuhan penderita TB
pasien TB. Hasil penelitian paru (Kholifah, 2009:66). Penelitian
menunjukkan bahwa p value (0,948) lain yang dilakukan oleh Harnanik
> α (0,05) (Diana, 2014: 247). (2014) juga menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara pendidikan
Kemenkes RI (2014) dengan keberhasilan pengobatan TB
menyatakan bahwa sekitar 15,49% paru, didasarkan pada hasil analisis p
pasien TB paru adalah kelompok value (0,056) (lebih besar dari α
usia yang termasuk usia produktif 0,05) (Harnanik, 2014).
secara ekonomis, yaitu 15-24 tahun
(Kemenkes RI, 2014). Usia produktif Berdasarkan hasil penelitian
merupakan masa yang berperan yang didapatkan oleh peneliti,
penting dimana mereka cenderung mayoritas responden menganggap
sering keluar rumah dan bahwa penyakit TB paru merupakan
penyakit yang berbahaya dan
memudahkan proses penularan TB
menakutkan, sehingga baik
paru (Tirtana, 2011). Namun jika
responden yang bersekolah hingga
dibandingkan dengan hasil dari SD maupun yang berpendidikan
penelitian diatas, usia bukanlah satu- hingga lulus SMA atau perguruan
satunya alasan atau faktor seseorang tinggi, mereka merasa terdorong
terkena penyakit tuberkulosis, juga untuk memeriksakan diri ke fasilitas
bukan merupakan satu-satunya faktor pelayanan kesehatan dan menjalani
yang berpengaruh pada keberhasilan pengobatan selama 6-8 bulan. oleh
pengobatan. Sehingga dapat sebab itu, pada dasarnya tingkat
disimpulkan bahwa berapapun usia pendidikan seseorang tidak
pasien, tetap mempunyai kesempatan berpengaruh secara langsung
untuk sembuh jika didukung oleh terhadap keberhasilan pengobatan
kepatuhan minum obat dan menjalani TB paru.
pengobatan.
Hubungan Tingkat Penghasilan Hubungan Tipe Pengobatan
dengan Keberhasilan Pengobatan dengan Keberhasilan Pengobatan
TB Paru TB Paru
Hasil penelitian menunjukkan Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat penghasilan dengan tipe pengobatan dengan keberhasilan
keberhasilan pengobatan TB paru di pengobatan TB paru di Puskesmas
Puskesmas Dinoyo. Hasil ini Dinoyo. Hasil ini didasarkan pada uji
didasarkan pada uji kolmogorov fisher’s exact yang diperoleh nilai p
smirnov yang diperoleh p value value (0,306) (dimana lebih besar
(0,387) (dimana lebih besar dari α dari α 0,05).
0,05). Hasil penelitian ini sesuai
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kholifah (2009), yang
oleh Nurna (2015) yang menyatakan menyatakan bahwa tidak ada
bahwa tidak ada hubungan antara hubungan antara riwayat pengobatan
tingkat pendapatan penderita TB (tipe pengobatan) dengan
paru dengan kepatuhan kesembuhan penderita TB paru
memeriksakan dahak selama (Kholifah, 2009:70). Klasifikasi tipe
menjalani pengobatan yang pengobatan ditentukan untuk
didasarkan pada analisis p value panduan OAT atau panduan minum
(0,48) > α (0,05) (Nurna, 2015:127). obat. Berdasarkan panduan kategori
Penelitian yang dilakukan oleh Dhina OAT, kategori I memerlukan waktu
Nurlita (2015) juga menyatakan hasil 6 bulan pengobatan dan kategori II
yang sama, yaitu tidak ada hubungan memerlukan waktu 8 bulan
antara penghasilan dengan pengobatan dengan dosis obat yang
kesembuhan penderita TB paru. berbeda-beda (Kemenkes RI, 2014:
Didukung dengan nilai p value 24-25) untuk menjamin kesembuhan
(0,059) (dimana lebih besar dari α selama periode pengobatan, obat
0,05). Dalam penelitian ini harus diminum dan penderita diawasi
disebutkan bahwa pada dasarnya secara ketat oleh Pengawas Minum
pengobatan tuberkulosis merupakan Obat (PMO) baik dari teman maupun
program penanggulangan penyakit keluarga agar terjamin kepatuhan
secara nasional sehingga biaya yang penderita dalam minum obat
dikeluarkan tidak besar, dan akses (Fachmi, 2004 dalam Kholifah,
menuju pelayanan kesehatan juga 2009: 80-81).
tidak menjadi masalah, sehingga baik Pada dasarnya setiap penderita
pasien dengan tingkat penghasilan TB memiliki kesempatan yang sama
yang rendah maupun pasien dengan untuk sembuh setelah menjalani
tingkat penghasilan yang tinggi sama pengobatan baik pada pasien kategori
sama memiliki kesempatan untuk I maupun pasien kategori II, selama
dapat mengakses pengobatan dengan pasien selalu patuh dalam
baik (Nurlita, 2015:146). mengonsumsi OAT dan dalam
menjalani pengobatan. Sehingga dari
beberapa hasil penelitian diatas dapat
disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara tipe pengobatan
dengan keberhasilan pengobatan TB value (0,008) (dimana kurang dari α
paru. 0,05), dan meningkatkan resiko
sebesar 4,33 kali lipat untuk sembuh
Hubungan Pengetahuan dengan apabila memiliki sikap yang “baik”
Keberhasilan Pengobatan TB Paru selama menjalani pengobatan (IK
Hasil penelitian menunjukkan 95% OR = 2,148-8,742).
bahwa tidak ada hubungan antara Hasil penelitian ini didukung
pengetahuan dengan keberhasilan oleh penelitian terkait yang
pengobatan TB paru di Puskesmas dilakukan oleh Kholifah (2009) yang
Dinoyo. Hasil ini didasarkan pada uji menyatakan bahwa penderita TB
fisher’s exact yang diperoleh nilai p paru yang mempunyai sikap cukup
value (0,078) (dimana lebih besar dan baik (97,4% responden) berhasil
dari α 0,05). menjalani pengobatan hingga
Hasil penelitian ini sesuai dinyatakan sembuh. Sedangkan
dengan penelitian yang dilakukan responden yang mempunyai sikap
oleh Diana (2014) yang menyatakan kurang baik selama menjalani
bahwa tidak ada hubungan antara pengobatan memiliki resiko 11,483
pengetahuan dengan kepatuhan kali untuk tidak sembuh
berobat pasien TB. Hasil analisis dibandingkan responden yang
menyatakan nilai p value (0,619) > α mempunyai sikap cukup dan baik
(0,05) (Diana, 2014:247). Didukung selama menjalani pengobatan
dengan penelitian terdahulu yang (Kholifah, 2009: 75-76).
dilakukan oleh Nurmala (2002) yang Berdasarkan teori yang dikemukakan
menyatakan bahwa pengetahuan oleh M. Hariwijaya, dkk (2007)
responden tidak berpengaruh dalam Kholifah (2009), penyakit
terhadap keberhasilan program tuberkulosis pada dasarnya dapat
penanggulangan TB paru, dimana disembuhkan secara tuntas apabila
nilai p value (0,284) juga lebih dari α pasien/penderita selalu mengikuti
(0,05). Disebukan didalamnya bahwa anjuran dan arahan dari tenaga
hal yang diduga menjadi penyebab kesehatan untuk minum obat secara
tidak adanya pengaruh antara teratur dan rutin sesuai dengan dosis
pengetahuan terhadap kesembuhan yang dianjurkan, serta mengonsumsi
pasien adalah karena pengetahuan makanan yang bergizi cukup untuk
pasien tidak ditindak lanjuti dengan meningkatkan daya tahan tubuh
sikap. Hal ini berarti semakin tinggi pasien (Kholifah, 2009: 66-67).
atau rendahnya pengetahuan Hasil penelitian lain yang
penderita, tidak mempengaruhi mendukung adalah penelitian yang
kesembuhannya (Nurmala, 2002:46- dilakukan oleh Okanurak (2008)
47). yang mengaitkan antara tingkat
pengetahuan dan sikap pasien
Hubungan Sikap Pasien dengan terhadap keberhasilan pengobatan
Keberhasilan Pengobatan TB Paru tuberkulosis. Okanurak (2008)
Hasil penelitian menunjukkan menyatakan bahwa tingkat
bahwa ada hubungan antara sikap pengetahuan pasien terkait penyakit
pasien dengan keberhasilan TB berkonstribusi pada keberhasilan
pengobatan TB paru di Puskesmas pengobatan. Pengetahuan yang baik
Dinoyo. Hal ini didasarkan pada uji dibutuhkan untuk merubah sikap
fisher’s exact yang diperoleh nilai p
seseorang terhadap sesuatu. Sikap ini Sormin, dkk (2014) mengaitkan
dapat mempengaruhi intensi antara peranan PMO terhadap
seseorang untuk berperilaku lebih kepatuhan minum obat. Hasil analisis
baik. Sehingga secara tidak langsung menunjukkan bahwa peran PMO
sikap pasien dalam hal ini juga yang baik dapat berpengaruh pada
mempengaruhi keberhasilan kepatuhan berobat penderita TB paru
pengobatan TB paru (Okanurak, (Sormin, 2014). Didukung oleh
2008:1163). penelitian yang dilakukan oleh
Muniroh. N, dkk (2012) yang
Hubungan Ada/Tidaknya PMO menyatakan bahwa ada hubungan
dengan Keberhasilan Pengobatan antara kepatuhan minum obat dengan
TB Paru kesembuhan TB paru. Dalam
Hasil penelitian menunjukkan penelitian ini disebutkan bahwa
bahwa ada hubungan antara semua penderita secara teoritis dapat
ada/tidaknya PMO dengan sembuh dari TB paru, asalkan rajin
keberhasilan pengobatan TB paru di dan patuh dalam mengonsumsi obat
Puskesmas Dinoyo. Hal ini sampai fase pengobatan selesai
didasarkan pada uji fisher’s exact dijalankan (Muniroh, 2012:38).
yang diperoleh nilai p value (0,026) Secara keseluruhan dapat
(dimana kurang dari α 0,05). Besar disimpulkan bahwa pasien yang
resiko bagi pasien yang memiliki memiliki PMO cenderung lebih
PMO adalah 13,5 kali lebih besar teratur dalam minum obat dan patuh
untuk sembuh dibandingkan pasien dalam menjalani pengobatan. Dalam
yang tidak memiliki PMO (IK 95% hal ini peran PMO yang dapat
OR = 1,955-93,246). menjalankan tugasnya dengan baik
Hal ini sesuai dengan teori sangat berpengaruh dalam
yang dikemukakan oleh M. keberhasilan pengobatan TB paru.
Hariwijaya dan Sutano (2007) dalam
Kholifah (2009) bahwa untuk
menjamin keteraturan dalam KESIMPULAN
meminum obat dan dalam menjalani 1. Kejadian kasus TB paru yang
pengobatan diperlukan seorang PMO diteliti sebanyak 30 responden
(Kholifah, 2009:83). Penelitian yang dengan distribusi karakteristik
dilakukan oleh Ma’arif (2012) juga rata-rata pada kelompok usia 20-
menyatakan bahwa kecenderungan 24 tahun sebanyak 10 orang
semakin baik peran PMO maka (33%), tingkat pendidikan
keberhasilan pengobatan semakin formal terakhir mayoritas pada
meningkat dan sebaliknya apabila jenjang SMA/MA/SMK/Paket C
semakin buruk peran PMO maka sebanyak 13 orang (43%),
keberhasilan pengobatan semakin mayoritas responden memiliki
kecil. Berdasarkan analisis yang tingkat penghasilan rendah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa (<Rp. 1.500.000) sebanyak 23
terdapat pengaruh peranan PMO orang (77%), mayoritas
terhadap keberhasilan pengobatan responden memiliki tipe
penderita TB paru (Ma’arif, pengobatan kategori I sebanyak
2012:11). 24 orang (80%), rata-rata
Sedangkan penelitian yang responden
dilakukan oleh Pandapotan P.
memiliki pengetahuan yang yang mempengaruhi
“baik” sebanyak 22 orang keberhasilan pengobatan TB
(73%), dan sikap yang “baik” paru. Selain itu, penelitian ini
pula sebanyak 26 orang (87%), dilakukan dengan jumlah sampel
sementara proporsi responden yang relatif sedikit sehingga
yang memiliki PMO (Pengawas penambahan sampel sangat
Minum Obat) adalah sebanyak disarankan.
22 orang (73%). 2. Bagi pihak Puskesmas Dinoyo,
2. Hasil penelitian menunjukkan hasil dari penelitian ini bisa
bahwa faktor-faktor yang paling menjadi evaluasi selama
mempengaruhi keberhasilan menjalani pengobatan TB paru,
pengobatan tuberkulosis (TB) baik bagi petugas kesehatan
paru pada pasien pasca maupun bagi pasien sendiri.
pengobatan di Puskesmas Hasil penelitian ini juga bisa
Dinoyo secara berturut-turut diinformasikan kepada pasien
berdasarkan besar nilai OR (Odd TB paru terkait, sehingga pasien
Ratio) adalah; 1) Ada/Tidaknya bisa lebih sadar akan pentingnya
PMO (OR = 13,5), 2) Sikap menjaga kepatuhan dalam
Pasien (OR = 4,3), 3) Tipe mengonsumsi OAT dan dalam
Pengobatan (OR = 2,43), 4) menjalani pengobatan.
Pengetahuan (OR = 0,17), 5) 3. Bagi Jurusan Ilmu Kesehatan
Penghasilan, 6) Pendidikan, dan Masyarakat, penelitian ini masih
7) Usia. merupakan penelitian awal dari
3. Hasil analisis jika dibandingkan penelitian-penelitian lainnya.
dengan kelompok kontrol Sehingga diharapkan penelitian
(pasien tidak sembuh) ini bisa dijadikan sebagai
menunjukkan bahwa sikap referensi bagi peneliti lain dan
pasien dan ada/tidaknya bagi perbendaharaan ilmu
Pengawas Minum Obat (PMO) kesehatan masyarakat sendiri.
memiliki hubungan yang cukup Agar penelitian yang telah
signifikan dengan keberhasilan dilakukan ini bisa lebih
pengobatan TB paru pada pasien bermanfaat bagi orang lain.
pasca pengobatan di Puskesmas
Dinoyo. Faktor usia, pendidikan, DAFTAR RUJUKAN
penghasilan, tipe pengobatan
dan pengetahuan tidak memiliki Diana, Ida. 2014. Hubungan
hubungan yang signifikan Pengetahuan dan Sikap dengan
dengan keberhasilan pengobatan Kepatuhan Berobat pada
TB paru pada pasien pasca Pasien TB Paru yang Rawat
pengobatan di Puskesmas Jalan di Jakarta Tahun 2014.
Dinoyo. Media Litbangkes, 26 (4): 243-
248.
SARAN Dinas Kesehatan Kota Malang.
2016. Laporan Triwulan
1. Bagi peneliti selanjutnya, Penemuan Pasien TB. Malang:
penelitian ini bisa menjadi Dinas Kesehatan Kota Malang.
penelitian pendahuluan untuk Haniyah, S, dkk. 2012. Kaitan
menganalisis faktor-faktor lain Tingkat Pendidikan dengan
Kepatuhan Minum Obat pada Kesehatan Universitas
Pasien Tuberkulosis (TB) Muhammadiyah Surakarta.
Paru di Puskesmas Bobotsari Muniroh. N, dkk. 2012. Faktor-faktor
Kabupaten Purbalingga. yang Berhubungan dengan
Purwokerto: Program Studi Kesembuhan Penyakit
Keperawatan SI STIKES Tuberkulosis (TBC) Paru di
Harapan Bangsa Wilayah Kerja Puskesmas
Harnanik. 2014. Analisis Faktor- Mangkang Semarang Barat.
faktor yang Mempengaruhi Jurnal Keperawatan
Keberhasilan Pengobatan TB Komunitas, 1 (1): 38-39
Paru di Puskesmas Purwodadi Nurmala H.S. 2002 Faktor-faktor
II Kabupaten Grobogan. yang Mempengaruhi
Yogyakarta: Program Studi Keberhasilan Program
Ilmu Keperawatan Sekolah Penanggulangan Tuberkulosis
Tinggi Ilmu Kesehatan (TB) Paru di Puskesmas
‘Aisyiyah Medan Helvetia. Sumatera
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Utara: Fakultas Kesehatan
Pedoman Masional Masyarakat Universitas
Pengendalian Tuberkulosis. Sumatera Utara.
Jakarta: Kementerian Nurlita, Dhina, dkk. 2015. Faktor-
Kesehatan RI faktor yang Berhubungan
Kementerian Kesehatan RI. 2014. dengan Status Kesembuhan
Pedoman Nasional Penderita Tuberkulosis Paru.
Pengendalian Tuberkulosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Jakarta: Kementerian (e-journal), 3 (3): 141-151.
Kesehatan RI Nurna, Dea. 2015. Hubungan antara
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Karakteristik Penderita TB
Profil Kesehatan Indonesia dengan Kepatuhan
2014. (Online), Memeriksakan Dahak selama
(http://www.kemenkes.go.id), Pengobatan. Jurnal Berkala
diakses pada tanggal 18 Epidemiologi, 3 (2): 122-133.
September 2016 Okanurak K, dkk. 2008. Factors
Kholifah, Nur. 2009. Analisis Faktor contributing to treatment
yang Berhubungan dengan success among tuberculosis
Kesembuhan Penderita TB Patients: a Prospective Cohort
Paru (Studi Kasus di BP4 Study in Bangkok. The
Salatiga Tahun 2008). International Journal of
Semarang: Jurusal Ilmu Tuberculosis and Lung
Kesehatan Masyarakat Disease, 12 (10):1160-1165.
Universitas Negeri Semarang Somin, Pandapotan, dkk. 2014.
Ma’arif, Kholifatul. 2012. Pengaruh Gambaran Peran Serta
Peranan Pengawas Menelan Petugas Kesehatan terhadap
Obat (PMO) terhadap Kepatuhan Berobat Penderita
Keberhasilan Pengobatan TB TB Paru di Kelurahan Gambir
Paru di Wilayah Kerja Baru Kecamatan Kisaran
Puskesmas Baki Sukaharjo. Timur Tahun 2014. Medan:
Surakarta: Fakultas Ilmu Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Dipenogoro
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian World Health Organization (WHO).
Kuantitatif, Kualitatif dan 2015. Global Tuberculosis
R&D. Bandung: CV Alfabeta. Report 2015. (Online),
Tirtana, Bertin. 2011. Faktor-faktor (www.who.int), diakses pada
yang Mempengaruhi tanggal 4 September 2016
Keberhasilan Pengobatan Yeti. Anita, dkk. 2015. Pengetahuan
pada Pasien Tuberkulosis Paru Pasien Tuberkulosis
dengan Resistensi Obat Berimplikasi terhadap
Tuberkulosis di Wilayah Jawa Kepatuhan Berobat. Jurnal
Tengah. Semarang: Fakultas Care, 3 (2): 37-42
Kajian

Tinjauan Farmakogenomik Rifampisin Dalam Pengobatan


Tuberkulosis Paru

Ondri Dwi Sampurno*

*Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan, Indonesia
Email: ondri19@gmail.com

Abstract

Pharmacogenomics is the study of genetic influences of individual variations in drug response. The influence of
genetic in drug response has been showed about 20%–95% of variations in drug pharmacokinetics and effects.
Activity of rifampicin as bactericidal against Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) have been demonstrated
plasma concentration-dependent. ‘Concentration-dependent ’ means that increasing doses followed by
increasing rifampicin plasma concentration above the M.tb’s minimum inhibition concentration (MIC) induces
more rapid bactericidal effect against the M.tb. indicated by sputum conversion. On standard tuberculosis
therapy, among patients have been showed wide intersubject variation of rifampicin plasma concentration. The
variation was related to genetic difference among patients. Rifampicin is a substrate of organic anion
transporting polypeptide 1B1 (OATP1B1) which is expressed on the sinusoidal membrane of human
hepatocytes. OATP1B1 is coded by for the solute carrier organic anion 1B1 (SLCO1B1) gene. A large number
of sequence variants have been found in the SLCO1B1 gene. SLCO1B1 rs4149032 and c.463 C>A was present
in most patients pulmonary tuberculosis and was associated with substantially reducing rifampicin plasma
concentration.The allele frequency of the SLCO1B1 c.463 C>A polymorphism in Indonesian subject was
showed C 30% A 70%. Individual genetic variation may cause variation in individual rifampicin response
among individual pulmonary tuberculosis patient. It will impact variation in clinical outcome, in this case is
sputum conversion.

Key words: Pharmacogenomic, Rifampicin, Tuberculosis

Abstrak

Farmakogenomik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh genetik terhadap variasi antar individu pada
respon obat. Pengaruh genetik tiap individu terhadap respon obat ditunjukkan dengan adanya variasi berkisar
20--95% pada peruraian obat dalam tubuh dan efeknya. Efektivitas rifampisin sebagai bakterisida terhadap
Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) sangat bergantung pada konsentrasi rifampisin dalam plasma. Peningkatan
dosis akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi rifampisin dalam plasma di atas konsentrasi hambat minimal
(MIC) M.tb dapat menginduksi lebih cepat efek bakterisida terhadap M.tb dan diindikasikan dengan outcome
klinis (konversi dahak). Pada standar terapi tuberkulosis, konsentrasi rifampisin dalam plasma antar pasien TB
menunjukkan variasi yang lebar. Variasi antar pasien ini erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-
masing pasien tersebut. Rifampisin merupakan substrat dari protein polipeptida transporter organik anion
(OATP1B1) yang diekspresikan pada membran sinusoidal hepatosit. Gen solute carrier organic anion 1B1
(SLCO1B1) merupakan gen penyandi OATP1B1 dan diketahui terdapat variasi urutan gen. SLCO1B1
rs4149032 dan c.463 C>A dijumpai pada sebagian besar pasien tuberkulosis paru dan berhubungan dengan
penurunan kadar rifampisin dalam plasma. Pada subyek Indonesia menunjukkan adanya polimorfisme gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A 70%. Variasi genetik antar individu ini diduga dapat
menyebabkan variasi respon rifampisin antar individu pasien tuberkulosis paru yang berdampak adanya variasi
outcome klinis, dalam hal ini konversi dahak.

Kata kunci: Farmakogenomik, Rifampisin, Tuberkulosis

Diterima: 3 Juni 2015 Direvisi: 2 Juli 2015 Disetujui: 11 Agustus 2015 59


melitus, HIV, umur, berat badan,
Pendahuluan formulasi obat TB, jenis kelamin, dan
interaksi makanan. 2,17-29) Sedangkan
Tuberkulosis (TB) paru baru ditandai
faktor genetik yaitu adanya variasi urutan
dengan basili tahan asam (BTA) positif
gen yang mengkode pengangkut obat. 30- 34
yang jika diberikan obat TB berkualitas
baik dengan dosis yang sesuai dan patuh Pada tulisan ini diuraikan mengenai
minum obat serta sensitif terhadap bagaimana pengaruh genetik terhadap
rifampisin seharusnya menunjukkan penurunan konsentrasi maksimum
konversi dahak pada akhir pengobatan rifampisin dalam plasma dan berdampak
tahap intensif, ternyata tidak semua pasien pada keberhasilan pengobatan TB paru
menunjukan konversi dahak. Angka baru BTA positif dengan indikasi tidak
konversi TB nasional tahun 2010, 2011, konversi dahak pada akhir pengobatan
dan 2012 yaitu berturut-turut 88,2%, tahap intensif.
85,5%, dan 82,3%. 1 Metode
Pasien TB paru baru BTA positif Bahan pustaka tinjauan diperoleh
yang tidak mengalami konversi dahak dengan melakukan penelusuran pustaka
setelah pengobatan tahap intensif 2 bulan melalui internet.. Kata kunci yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor. digunakan untuk penelusuran yaitu
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan “pharmacogenomics”, “rifampicin”
bahwa faktor-faktor tersebut adalah umur “tuberculosis”. Selanjutnnya pustaka yang
(OR 4,4; 95% CI 1,5-13,3), jenis kelamin relevan yaitu berupa artikel hasil
(OR 10,8; 95% CI 1,3–91,1); jumlah pak penelitian, artikel hasil review, laporan,
rokok pertahun (OR 4,11; 95% CI 1,13- dan buku yang diterbitkan dalam jurnal 5
7,94); indeks masa tubuh (IMT); tahun terakhir, diunduh sebagai naskah
kepatuhan minum obat (OR 0,20; 95% CI lengkap. Pustaka dimungkinkan diperoleh
0,10 – 0,84; p 0,023); tingkat BTA (OR dari terbitan lebih dari 5 tahun terakhir
11,7; 95% CI 1,4-100,6), penyakit apabila pustaka tersebut sangat
penyerta HIV (OR 3,0; 95% CI 1,3-6,7), mendukung dalam memperjelas
M. tb. yang resisten; dan penurunan pembahasan. Pustaka berupa artikel hasil
konsentrasi maksimum rifampisin dalam penelitian dan review dilakukan critical
plasma. 2,-13 Memperhatikan faktor ini, appraisal baik mengenai metode, hasil dan
pasien TB paru baru BTA positif yang validitas serta dilakukan juga ekstraksi
tidak mengalami konversi dahak, pada kalimat pernyataan terkait dan sintesis
dasarnya berpangkal pada penurunan beberapa kalimat menjadi suatu tulisan.
konsentrasi maksimum dalam plasma. Adapun sistematika penulisan mencakup
Efektifitas rifampisin terhadap gen dan protein; konsep dasar
Mycobacterium tuberculosis (M.tb) farmakogenomik; mekanisme pengaruh
bergantung konsentrasi rifampisin dalam variasi genetik terhadap respon obat;
plasma.14-16 Penurunan konsentrasi epidemiologi TB di Indonesia; dan
rifampisin akan berpengaruh terhadap pengaruh gen terhadap konsentrasi
konsentrasi hambat minimal (MIC) maksimum rifampisin dalam plasma.
sehingga berpengaruh terhadap
keberhasilan pengobatan TB yang Hasil
diindikasikan dengan konversi dahak. 17
Gen dan protein
Penurunan konsentrasi rifampisin
dalam plasma pada pasien TB dapat Gen terletak secara spesifik dalam
dipengaruhi oleh faktor bukan genetik dan lokus-lokus kromosom. Kromosom
faktor genetik. Faktor bukan genetik merupakan struktur seperti benang pada
diantaranya penyakit penyerta diabetes inti sel. Gen adalah keseluruhan sekuens

60 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

DNA yang dapat ditranskripsikan menjadi manusia.35-36 Skema alur dari DNA
RNA fungsional dan protein, pada waktu menjadi protein seperti terlihat pada
dan tempat yang sesuai selama Gambar 1.
pertumbuhan dan perkembangan

11
Gambar 1. Alur DNA menjadi protein

Protein adalah molekul makro yang terhadap respon obat. Pengaruh faktor
berperan dalam hampir semua fungsi sel, genetik terhadap respon obat ditunjukkan
yaitu bahan pembangunan struktur sel dan dengan adanya variasi antar individu
membentuk enzim-enzim yang berkisar 20--95% pada peruraian obat
mengkatalisis reaksi-reaksi kimia di dalam dalam tubuh dan efeknya. 32 Beberapa
sel, meregulasi ekspresi gen, serta individu pasien memerlukan pemberian
memungkinkan sel untuk bergerak dan obat dengan dosis yang lebih tinggi
berkomunikasi antar sel. 35 daripada individu pasien lain untuk
DNA berada di inti sel (nukleus) dan mencapai keberhasilan terapi. Disamping
tidak dijumpai di sitoplasma. Sedangkan itu, beberapa individu pasien dapat timbul
protein yang berperan dalam metabolisme efek yang tidak dikehendaki meskipun
ada di sitoplasma dan tidak ada di diberikan obat dengan dosis yang lebih
inti.Perlu adanya penghubung antara DNA rendah daripada individu pasien yang
dengan protein yaitu molekul yang lain.36,37 Secara genetik diketahui bahwa
dijumpai di inti maupun sitoplasma. variasi antar individu tersebut karena
Penghubung antara DNA dengan protein adanya variasi urutan gen yang mengkode
yang RNA. 36 enzim metabolisme obat, transporter obat,
atau target obat. 32
Konsep Dasar Farmakogenomik Gen adalah fragmen DNA yang
mengandung informasi terkait satu sifat
Farmakogenetik adalah ilmu yang
spesifik yang secara genetik dipindahkan
mempelajari mengenai pengaruh genetik
dari orang tua ke anak. Hal ini pada

61
umumnya mengandung 2 allel yang transpor. Variasi genetik pada setiap tahap
masing-masing ditempatkan pada 1 proses tersebut akan mengubah konsentasi
kromosom dari pasangan kromosom. obat dalam plasma dan akan mengubah
Dengan demikian variasi genetik respon obat yang dapat berupa respon yang
disebabkan oleh karena mutasi, yaitu dikehendaki atau sebaliknya berupa respon
adanya perbedaan allel. Allel yang banyak obat yang tidak dikehendaki. 36
terdapat di populasi dinyatakan dengan Absorpsi, distribusi dan eliminasi
istilah wild type dan lainnya disebut obat dimodulasi oleh transporter melalui
dengan varian allel. 38 Pada tingkat pengendalian influx dan eflux obat ke
molekular, variasi genetik dapat mengubah dalam sel. Belakangan ini telah banyak
struktur protein target melalui mutasi pada diungkapkan hasil penelitian yang
daerah penyandi gen atau sejumlah protein menunjukkan polimorfisme genetik
diekspresikan oleh modulasi gen regulasi, transporter dapat mempunyai dampak
sehingga akan mengubah fungsi protein yang bermakna pada peruraian obat,
atau kecepatan dan konstanta kinetik efikasi obat dan keamanan obat. 37
enzim. 37
Mutasi diistilahkan sebagai Farmakodinamik berkaitan dengan
polimorfisme jika terdapat perpindahan ke efek farmakologi obat dengan reseptor,
generasi berikutnya dengan frekuensi enzim dan saluran ion. Obat akan di
sekurang-kurangnya 1%. Gen pada absorpsi dan di transpor ke tempat target
manusia merupakan subyek genetik obat. Efek obat akan berubah apabila
polimorfisme yang lebar, dengan sejumlah terdapat perbedaan respon obat di tempat
polimorfisme yang menghasilkan efek target obat. Oleh karena itu, adanya
fungsional secara bermakna. Terdapat 3 polimorfisme pada gen yang menyandi
tipe utama keberadaan mutasi genetik target obat kemungkinan akan mengubah
yaitu polimorfisme nukleotida tunggal respon individu terhadap pengobatan 36).
(SNPs); variabel jumlah tandem yang Polimorfisme genetik juga dimungkinkan
berulang; dan basa yang disisipkan atau mengubah status penyakit yang merupakan
dihilangkan pada satu atau lebih target terapi obat. Variasi genetik pada
nukleotida. Istilah SNPs terkait dengan status penyakit juga perlu mendapat
perbedaan antara allel hanya pada 1 perhatian untuk mengkaitkan terapi obat
nukleotida tunggal. Sampai saat ini, dengan spesifik genotipe yang
banyak penelitian farmakogenetik yang berhubungan dengan penyakit dan respon
mengkaitkan SNPs dengan respon obat. obat. 36
Sekelompok SNPs yang berada dalam
wilayah kromosom yang sama dikenal Epidemiologi TB di Indonesia
sebagai haplotipe yang dimungkinkan
untuk dianalisis guna lebih menjelaskan WHO Global Tuberculosis Report
variasi farmakogenetik. 38 melaporkan estimasi insiden, prevalen dan
mortalitas TB di Indonesia pada tahun
Mekanisme Pengaruh Variasi Genetik 2013 dalam angka mutlak, yaitu berturut-
Terhadap Respon Obat turut 460 (95% CI 410 - 520), 680 (95%
CI 340 – 1.100), dan 64 (95% CI 36 - 93).
Mekanisme pengaruh variasi genetik Sedangkan estimasi angka insiden,
terhadap respon obat dapat dikategorikan prevalen dan mortalitas TB di Indonesia
kedalam 3 rute, yaitu farmakokinetik, pada tahun 2013 yang dinyatakan dalam
farmakodinamik dan pathway penyebab 100.000 penduduk, yaitu berturut-turut
penyakit. 36- 38 Farmakokinetik suatu obat 183 (95% CI 164 - 207), 272 (95% CI 138
berkaitan dengan proses absorpsi, - 450), dan 25 (95% CI 14 - 37). Secara
distribusi, metabolisme, ekskresi dan global, sesuai urutan besarnya angka

62 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

mutlak insiden, Indonesia menduduki Dinkes DKI Jakarta, angka konversi TB di


urutan ke lima setelah India, Tiongkok, DKI Jakarta tahun 2013 sebesar 59,1%
Nigeria dan Pakistan, namun berdasarkan (unpublished). Angka ini dihitung
urutan besarnya angka insiden per 100.000 berdasarkan jumlah pasien TB paru baru
penduduk, Indonesia tidak masuk dalam dengan dahak BTA positif yang berobat ke
10 besar. Angka prevalen TB di Indonesia rumah sakit dan puskesmas. Jika hanya
tahun 2013 mengalami penurunan dihitung berdasarkan pasien TB paru baru
dibandingkan angka prevalen tahun 2012. yang berobat puskesmas di wilayah Jakarta
Angka prevalensi TB tahun 2012 dan 2013 Pusat pada tahun 2013, angka konversi TB
yaitu berturut-turut 297/100.000 dan menjadi lebih rendah yaitu 54,9%
272/100.000. 39- 40 (unpublished).
Jumlah kasus TB yang ditemukan Rifampisin merupakan tulang
dan tercatat pada tahun 2013 yaitu 327.103 punggung pengobatan TB dan aktivitas
kasus, diantaranya 196.310 (60%) kasus rifampisin terhadap Mycobacterium
sebagai kasus TB paru baru BTA positif. tuberculosis (M.tb.) diketahui bergantung
Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan pada konsentrasi rifampisin dalam serum
14, 15, 16)
jumlah kasus TB yang ditemukan di . Penurunan konsentrasi maksimum
Afrika Selatan jumlah kasus TB yang rifampisin dalam plasma akan berpengaruh
ditemukan 328.896 kasus, diantaranya terhadap konsentrasi hambat minimal
109.630 (33,3%) kasus TB paru baru BTA (MIC) sehingga berpengaruh terhadap
positif. 39 respon rifampisin sebagai bakterisida yang
diindikasikan dengan tidak mengalami
Angka konversi TB nasional
konversi dahak 17).
cenderung menurun. Angka konversi TB
nasional tahun 2010, 2011, dan 2012 yaitu Konsentrasi maksimum rifampisin
berturut-turut 88,2%, 85,5%, dan 82,3%. dalam plasma antar pasien TB memiliki
Namun demikian masih di atas target variasi yang lebar (Cmaks 8,1±5,0 µg/ml)
30)
minimal nasional (80%). Ditinjau . Gambaran ini tidak berbeda pada
berdasarkan provinsi, terdapat 21 provinsi pasien TB di Indonesia yaitu Cmaks 9,0
(63,6%) yang mencapai 80% dan 12 µg/ml (95% CI 6,6 – 12,8) 42). Variasi
provinsi lainnya (36,4%) di bawah target antar pasien ini erat kaitannya dengan
minimal nasional 1). Angka konversi TB di perbedaan genetik dari masing-masing
Provinsi DKI Jakarta termasuk yang di pasien tersebut.26, 31-34, 43
bawah target minimal nasional.
Angka konversi TB di DKI Jakarta Pengaruh Gen Terhadap Konsentrasi
selama tiga tahun berurutan masih berada Maksimum Rifampisin Dalam Plasma
di bawah target minimal nasional dan
bahkan perbedaannya cenderung semakin Transporter merupakan protein
lebar. Angka konversi TB di provinsi DKI membran yang memediasi perpindahan
Jakarta tahun 2011, 2012 dan 2013 yaitu obat masuk kedalam dan keluar sel dengan
berturut-turut 74%, 58,3% dan 57,7%. Jika mekanisme pasif atau aktif 44).. Mekanisme
dibandingkan dengan provinsi lain di pasif diantaranya karena pH obat yang
Indonesia, angka konversi TB di DKI lebih rendah daripada pH dalam sel,
Jakarta tahun 2013 berada di bawah 30 sedangkan mekanisme aktif dengan adanya
provinsi lain dan di atas provinsi Papua suatu media yang membawa masuk ke
dan Papua Barat 1, 41). Besarnya angka dalam sel.45 Terdapat lebih dari 400
konversi TB berdasarkan laporan membran transporter dalam 2 superfamili
Kemenkes1) ini tidak jauh berbeda dengan yang dianotasi dalam genom manusia yaitu
catatan yang ada di Dinas Kesehatan ATP Binding Cassette (ABC) dan Solute
(Dinkes) DKI Jakarta. Menurut catatan Carrier (SLC), dan diantaranya telah

63
dilakukan karakterisasi pada tingkat basolateral diangkut masuk ke dalam
molekul serta identifikasi keberadaan di hepatosit. OATP1B1 merupakan
jaringan ataupun di membran sel tubuh transporter influx yang disandi sebagai
manusia. 44 Transporter influx dan efflux gen Solute Carrier Organic Anion
dalam membran plasma sel yang transporter family, member 1B1
terpolarisasi di jaringan, berperan penting (SLCO1B1). Didalam hepatosit, rifampisin
dalam farmakokinetik yang ditunjukkan dimetabolisme dan atau dipompa keluar
dengan pengaruh yang bermakna terhadap melalui PGP ke saluran empedu untuk
absorpsi, distribusi dan eliminasi obat. dieliminasi. Rifampisin dimetabolisme
Transporter ini diketahui secara parsial oleh enzim esterase menjadi turunan
bertanggungjawab dalam penentuan desasetil, selanjutnya bentuk utuh dan
konsentrasi maksimum obat dalam plasma metabolit diekskresi kedalam saluran
dan jaringan perifer sehingga berpengaruh empedu dan dieliminasi kedalam
terhadap efikasi dan toksisitas obat. 44 feses.25,46
Rifampisin diabsorpsi dengan baik Rifampisin tidak hanya merupakan
dari saluran cerna. Untuk masuk ke dalam substrat OATP1B1 tetapi juga
darah, rifampisin harus melewati membran menghambat obat-obat yang dimediasi
enterosit. Membran ini mengandung P- OATP1B1 ke hati. Rifampisin yang telah
glycoprotein (PGP) yang merupakan berada dalam hepatosit, dimungkingkan
transporter efflux. PGP akan mengikat berinteraksi dengan Pregnan X Reseptor
dan selanjutnya menghidrolisa ATP untuk (PXR) yang dapat meningkatkan regulasi
menghasilkan energi yang digunakan beberapa enzim metabolisme dan beberapa
untuk transport rifampisin melintasi pengakut obat. 25
membran sel 46). Rifampisin merupakan Skema lokasi transporter ATP
substrat dan menginduksi protein PGP Binding Cassette (ABC), Solute Carrier
yang disandi sebagai gen ATP Binding (SLC) dan keterlibatannya dalam absorpsi,
Cassette, Subfamily B, member 1 metabolisme dan eliminasi rifampisin
(ABCB1) atau juga dikenal dengan nama seperti gambar berikut:
lain yaitu gen Multidrug Resistance 1
(MDR1). Rifampisin yang telah lolos dari
pompa efflux PGP akan masuk ke dalam
saluran darah, selanjutnya oleh transporter
Organic Anion Polypeptide 1B1
(OATP1B1) yang terletak di membran

64 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

Gambar 2. Skema lokasi transporter ABC, SLC dan keterlibatannya dalam absorpsi,
metabolisme dan eliminasi rifampisin11

Farmakokinetik rifampisin sebagai- C1236T, T44477C, dan PXR C63396T


mana diuraikan di atas diketahui secara bermakna tidak terdapat hubungan
menunjukkan adanya variasi konsentrasi dengan bioavaibilitas relatif rifampisin.
maksimum rifampisin dalam plasma antar Hal yang sama diungkapkan oleh Weiner
individu. Pada 70 – 80% pasien TB et al. 30 bahwa polimorfisme MDR1
diketahui mempunyai konsentrasi c.3435C>T dan SLCO1B3 c.334T>G
maksimum rifampisin dalam plasma menunjukkan tidak ada perbedaan
kurang dari konsentrasi maksimum yang konsentrasi maksimum rifampisin dalam
direkomendasikan atau subterapetik.25 plasma.
Berkaitan dengan variasi ini, Rifampisin merupakan substrat dari
dimungkinkan dapat dijelaskan melalui polipeptida transporter organik anion
pendekatan farmakogenetik. (OATP1B1) yang diekspresikan pada
membran sinusoidal hepatosit. Gen
Chigutsa et al.31 telah melakukan
SLCO1B1 merupakan penyandi
penelitian untuk mengetahui hubungan
OATP1B1 yang terletak di kromosom 12.
ABCB1 dan PXR terhadap variasi
Skema lokasi SLCO1B1 dalam kromoson
konsentrasi maksimum rifampisin dalam
12 seperti pada Gambar 2.
plasma. Hasil penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa polimorfime
ABCB1 dan PXR tidak berhubungan
dengan variasi rifampisin dalam plasma.
Polimofisme ABCB1 C3435T, ABCB1

65
Gambar 3. Lokasi gen SLCO1B1 dalam kromosom 12 20

Gen Gen SLCO1B1 ini setelah c.388A>G, c.1463G>C, c.11187G>A tidak


melalui serangkaian transkripsi dan mempunyai pengaruh terhadap konsentrasi
translasi untuk sintesis protein OATP1B1, maksimum Rifampisin dalam plasma. 30,- 34
akan memediasi transport rifampisin dari Polimorfisme gen SLCO1B1 SNPs
saluran darah ke hati untuk proses c.463C>A ataupun polimorfisme gen
metabolisme dan kemudian ekskresi SLCO1B1 SNPs rs4149032 pada pasien
melalui empedu. 30, 44 Gen SLCO1B1 TB paru berpengaruh terhadap penurunan
ditemukan banyak varian nukleotida konsentrasi maksimum rifampisin dalam
tunggal (SNPs). SNPs terjadi bila satu plasma. Pengaruh polimorfime gen
jenis nukleotida dalam posisi tertentu transporter rifampisin SLCO1B1 SNP
tersubstitusi dengan jenis nukleotida c.463C>A terhadap konsentrasi
lainnya pada individu lain. SNPs maksimum rifampisin diketahui bahwa
merupakan penanda utama dalam variasi konsentrasi maksimum rifampisin dalam
genom antar individu manusia. Sebagian plasma pada pasien TB paru dengan gen
besar perbedaan manusia dipengaruhi oleh c.463C>A genotipe CA lebih rendah 36%
adanya perbedaan SNPs yang terjadi pada dibandingkan dengan pasien TB paru
genomnya, dan hal ini seringkali dengan gen c.463C>A genotipe CC.
dihubungkan dengan adanya perbedaan Rerata konsentrasi maksimum rifampisin
dalam predisposisinya dalam jenis dalam plasma pada pasien TB paru dengan
penyakit tertentu ataupun respon tubuhnya gen c.463C>A genotipe CA < 8µg/ml 30,
terhadap penggunaan obat. 47 Polimorfisme 34)
. Perbedaan konsentrasi rifampisin
beberapa varian diketahui berpengaruh dalam plasma antara pasien TB paru
pada rifampisin yaitu SNPs c.463C>A dengan gen c.463C>A genotipe CA
ataupun SNPs rs4149032. Polimorfisme dengan genotipe CC seperti gambar 4.
varian lainnya seperti SNPs c.521T>C,

66 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

Keterangan:

Gambar 4. konsentrasi rifampisin dalam plasma antara pasien TB paru dengan gen
c.463C>A genotipe CA dengan genotipe CC48

Pada penelitian lain diungkapkan wild type. Median konsentrasi maksimum


bahwa konsentrasi rifampisin dalam rifampisin dalam plasma homozygot dan
plasma pada pasien TB paru gen heterozygot keduanya < 8µg/ml. 31,33
SLCO1B1 SNP rs4149032 heterozygot Perbedaan konsentrasi rifampisin dalam
lebih rendah 18% dibandingkan dengan plasma pada pasien TB paru gen
wild type dan konsentrasi rifampisin dalam SLCO1B1 SNP rs4149032 heterozygot
plasma pada pasien TB paru gen dan homozygot dengan wild type seperti
SLCO1B1 SNP rs4149032 homozygot terlihat pada Gambar 5.
lebih rendah 28% dibandingkan dengan

Keterangan:

Gambar 5. Perbedaankonsentrasi rifampisin dalam plasma pada pasien TB paru


gen SLCO1B1 SNP rs4149032 heterozygot dan homozygot dengan wild
type 8

67
Pembahasan oleh gen tersebut. Untuk mengetahui pola
variasi genotipe gen SLCO1B1 SNP
Frekuensi varian genotipe
c.463C>A maupun SNP rs4149032 telah
SLCO1B1 SNP c.463C>A dan frekuensi
dilakukan studi pendahuluan
varian genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032
menggunakan 30 orang sehat, 60% laki-
pada populasi dari wilayah yang berbeda
laki, dan berumur 25 – 58 tahun. Hasil
menunjukkan adanya perbedaan. Frekuensi
studi pendahuluan menunjukkan bahwa
varian genotipe SLCO1B1 SNP c.463C>A
gen SLCO1B1 SNP c.463C>A terdapat
pada penelitian Chigutsa et al.
polimorfisme yaitu frekuensi allel C 30%,
diungkapkan kecil (4%) dan frekuensi
allel A 70%, sedangkan pada SNP
varian genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032
rs4149032 tidak terdapat polimorfisme
diungkapkan frekuensinya besar (70%). 31
yaitu frekuensi allel C 100%. Variasi
Hal ini berbeda dengan penelitian Kwara
genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
et al. dan Weiner et al. yang menggunakan
dari subyek yang ada, diperoleh proporsi
pasien TB paru dari wilayah yang berbeda,
genotipe CC 46,7%, CA 46,7%, dan AA
dimana diungkapkan varian genotipe
6,6%. Frekuensi polimorfisme gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A lebih besar
SLCO1B1 SNP c.463C>A dan SNP
daripada pada penelitian Chigutsa et al.
rs4149032 ditentukan menggunakan Real-
Terkait frekuensi genotipe SNP c.463C>A,
time PCR primer yang sesuai 30, 31, 33, 34, 48).
data lain menunjukkan bahwa di populasi
sehat Eropa diketahui berkisar 13-23% di Individu yang diketahui mempunyai
populasi Eropa, 2-10% di Sub Sahara konsentrasi maksimum rifampisin dalam
Afrika/Afrika-Amerika dan 0-3% di Asia plasma yang rendah, dapat dinaikan
Timur.44 Sedangkan terkait dengan dengan penambahan dosis rifampisin
frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP untuk dapat mencapai konsentrasi
rs4149032, di populasi Nigeria sebesar maksimum terapetik dalam plasma (8 - 20
75%, Kaukasia 29% dan Asia 56% 31). µg/ml). Pasien TB yang menunjukkan
Frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP respon yang lambat pada pengobatan
c.463C>A dan SLCO1B1 rs4149032 di dengan obat TB dosis standar, setelah
populasi pasien TB maupun di populasi dinaikkan dosis rifampisin, menunjukkan
orang sehat di Indonesia belum diketahui. perbaikan respon secara klinis, secara
Di samping itu, perbedaan varian genotipe radiografi maupun secara
11,24, 49
SLCO1B1 SNP c.463C>A pada populasi mikrobakterologi. Peningkatan dosis
dari etnik yang berbeda juga menunjukkan rifampisin untuk mencapai konsentrasi
perbedaan frekuensi. Hal ini seperti maksimum rifampisin dalam plasma tidak
diungkapkan Weiner et al. 30) bahwa menimbulkan efek samping.50
proporsi gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
Kesimpulan
genotipe CA pada subyek kulit hitam lebih
besar daripada subyek kulit putih. Subyek Indonesia menunjukkan
adanya polimorfisme gen SLCO1B1 SNP
Variasi genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A
c.463C>A maupun SNP rs4149032 pada 70%. Variasi genetik antar individu ini
populasi pasien TB di Indonesia belum diduga dapat menyebabkan variasi respon
diketahui. Pola variasi genotipe pada
rifampisin antar individu pasien TB paru
populasi pasien TB tidak berbeda dengan baru yang berdampak adanya variasi
pola pada populasi orang sehat 30). Hal ini outcome klinis, dalam hal ini konversi
mengingat gen SLCO1B1 SNPs c.463C>A dahak.
maupun SNPs rs4149032 ada pada semua
orang dan akan beraksi terhadap obat bila Saran
individu terpapar dengan obat yang Marka genetik SLCO1B1 SNP
menjadi substrat dari protein yang disandi c.463C>A dapat digunakan sebagai

68 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

prediktor respon rifampisin secara 10. Donald, P.R., Maritz, J.S. & Diacon, A.H.,
individual. Selanjutnya dapat digunakan 2011. The pharmacokinetics and
pharmacodynamics of rifampicin in adults and
sebagai intervensi dan tata laksana children in relation to the dosage recommended
pengobatan TB yaitu digunakan sebagai for children. Tuberculosis, 91(3), pp.196–207.
skrining pada awal pengobatan untuk 11. Franke, R.M., Gardner, E.R. & Sparreboom, A.,
memperhitungkan pemberian dosis 2010. Pharmacogenetics of drug transporters.
rifampisin yang tepat secara individual Curr Pharm Design, 16, pp.220–230.
12. Gengiah, T.N. et al., 2014. Original Article Low
guna pencegahan resistensi rifampisin rifampicin concentrations in tuberculosis
maupun mengoptimalkan efektifitas patients with HIV infection. J Infect Dev Ctries,
rifampisin dalam pengobatan pasien TB 8(8), pp.987–993.
paru baru BTA positif. 13. Gumbo, T. et al., 2007. Concentration-
dependent Mycobacterium tuberculosis killing
and prevention of resistance by rifampin.
Ucapan Terima Kasih Antimicrob Agents Ch, 51(11), pp.3781–3788.
14. Harrison, A.C., 2003. Chapter 15: M .
Terima kasih disampaikan kepada tuberculosis , TB medicines and monitoring. In
Prof. Dr. Herawati Sudoyo, MSc.Ph.D dan Guidelines for Tuberculosis Control in New
Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed, Apt Zealand. pp. 1–47.
15. Heysell, S.K. et al., 2011. Plasma drug activity
yang telah memberikan masukan pada assay for treatment optimization in tuberculosis
penulisan tinjauan ini. patients. Antimicrob Agents Ch, 55(12),
pp.5819–5825.
Daftar Rujukan 16. Heysell, S.K. et al., 2010. Therapeutic drug
monitoring for slow response to tuberculosis
1. Aarnoutse, R., 2011. Pharmacogenetics of treatment in a state control. Emerg Infect Dis,
antituberculosis drugs. Prog Respir Res., 40, 16(10), pp.1546–1553.
p.177. 17. Immanuel, C. et al., 2003. Bioavailability of
2. Agrawal, S. et al., 2004. Bioequivalence trials rifampicin following concomitant
of rifampicin containing formulations: extrinsic administration of ethambutol or isoniazid or
and intrinsic factors in the absorption of pyrazinamide or a combination of the three
rifampicin. Pharmacol Res, 50, pp.317–327. drugs. Indian J Med Res, 118, pp.109–114.
3. Albert, B. et al., 2002. Molecular biology of the 18. Ingen, J. Van et al., 2011. Low-level
cell Fourth Edi., rifampicin-resistant Mycobacterium
4. Babalik, A. et al., 2012. Factors affecting smear tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis, 15(7),
conversion in tuberculosis management. Med pp.990–992.
Sci, 1(4), pp.351–362. 19. Jayaram, R. et al., 2003. Pharmacokinetics-
5. Bouti, K. et al., 2013. Factors influencing pharmacodynamics of rifampin in an aerosol
sputum conversion among smear-positive infection model of tuberculosis. Antimicrob
pulmonary tuberculosis patients in Morocco. Agents Ch, 47(7), pp.2118–2124.
ISRN Pulmonology, 2013, pp.1–5. 20. Kalliokoski, A. & Niemi, M., 2009. Impact of
6. Burhan, E. et al., 2013. Isoniazid, rifampin, and OATP transporters on pharmacokinetics. Brit J
pyrazinamide plasma concentrations in relation Pharmarcol, 158, pp.693–705.
to treatment response in Indonesian pulmonary 21. Kayigamba, F.R. et al., 2013. Adherence to
tuberculosis patients. Antimicrob Agents Ch, tuberculosis treatment , sputum smear
57(8), pp.3614–3619. conversion and mortality: A retrospective
7. Burman, W., Dooley, K.E. & Nuermberger, cohort study in 48 Rwandan Clinics. PLos
E.L., 2011. The Rifamycins: renewed interest in ONE, 8(9), pp.1–10.
an old drug class. Prog Respir Res., 40, pp.18– 22. Kemenkes, 2013. Profil pengendalian penyakit
20. dan penyehatan lingkungan tahun 2012,
8. Chigutsa, E. et al., 2011. The SLCO1B1 Jakarta.
rs4149032 polymorphism is highly prevalent in 23. Kemenkes, 2014. Profil pengendalian penyakit
South Africans and is associated with reduced dan penyehatan lingkungan tahun 2013,
rifampin concentrations: dosing implications. Jakarta.
Antimicrob Agents Ch, 55(9), pp.4122–4127. 24. Khantipongse, J. et al., 2013. Low
9. Crevel, R. Van et al., 2002. Low plasma antitubercular drug levels in newly infected
concentrations of rifampicin in tuberculosis normal hosts. Asian Biomedicine, 7(3), pp.407–
patients in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis, 410.
6(6), pp.497–502.

69
25. Kimmel, S.E., Leufkens, H.G. & Rebbeck, 38. Rang, H., 2003. Pharmacology Fifth., UK: Bath
T.R., 2012. Molecular epidemiology. In B. L. Press.
Strom, S. E. Kimmel, & S. Hennessy, eds. 39. Requena-méndez, A. et al., 2012.
Pharmacoepidemiology. John Wiley & Sons, Pharmacokinetics of rifampin in Peruvian
pp. 601–622. tuberculosis patients with and without comorbid
26. Kuaban, C. et al., 2009. Non conversion of diabetes or HIV. Antimicrob Agents Ch, 56(3),
sputum smears in new smear positive pp.2357–2363.
pulmonary tuberculosis patients in Yaoundé , 40. Ruslami, R. et al., 2007. Pharmacokinetics and
Cameroon. E Afr Med J, 86(5), pp.219–225. tolerability of a higher rifampin dose versus the
27. Kwara, A. et al., 2014. Factors associated with standard dose in pulmonary tuberculosis
variability in rifampin plasma pharmacokinetics patients. Antimicrob Agents Ch, 51(7),
and the relationship between rifampin. pp.2546–2551.
Pharmacotherapy, 34(3), pp.265–271. 41. Singla, R. et al., 2013. Sputum smear positivity
28. Life Technologies, 2014. TaqMan ® SNP at two months in previously untreated
genotyping assays, pulmonary tuberculosis patients. Int J Mycobac,
29. Lin, H. et al., 2014. Impact of food intake on 2(4), pp.199–205. Available at:
the pharmacokinetics of first-line http://dx.doi.org/10.1016/j.ijmyco.2013.08.002.
antituberculosis drugs in Taiwanese 42. Steingart, K.R. et al., 2011. Higher-dose
tuberculosis patients. J Formos Med Assoc, rifampin for the treatment of pulmonary
113(5), pp.291–297. tuberculosis: a systematic review. Int J Tuberc
30. Ma, Q. & Lu, A.Y.H., 2011. Pharmacognetics, Lung Dis, 15(3), pp.305–316.
pharmacogenomics, and individualized 43. Stoneking, M., 2001. Single nuclotide
medicine. Pharmacol Rev, 63(2), pp.437–459. polymorphisms from the evolutionary past.
31. Mcllleron, H. et al., 2006. Determinants of Macmillan Magazine Ltd, 409(February),
rifampin, isoniazid, pyrazinamide, and pp.821 – 822.
ethambutol pharmacokinetics in a cohort of 44. Tostmann, A. et al., 2013. Pharmacokinetics of
tuberculosis patients. Antimicrob Agents Ch, first-line tuberculosis drugs in Tanzanian
50(4), pp.1170–1177. patients. Antimicrob Agents Ch, 57(7),
32. Mehta, J.B. et al., 2001. Utility of rifampin pp.3208–3213.
blood levels in the treatment and follow-up of 45. Triyani, Y. et al., 2002. Penelitian peralihan
active pulmonary tuberculosis in patients who (konversi ) sputum BTA antara pemberian dosis
were slow to respond to routine directly baku (standar) dan tinggi rifampisin pada
observed therapy. Chest, 120(5), pp.1520–1524. pngobatan ( terapi) anti tuberkulosis kelompok
33. Mota, P.C. et al., 2012. Predictors of delayed (kategori) I. Indones J Clin Pathol Med Lab,
sputum smear and culture conversion among a 14(1), pp.1–10.
Portuguese population with pulmonary 46. Um, S. et al., 2007. Low serum concentrations
tuberculosis. Rev Port Pneumol, 18(2), pp.72– of anti-tuberculosis drugs and determinants of
79. their serum levels. Int J Tuberc Lung Dis, 11(9),
34. Niemi, M., Pasanen, M.K. & Neuvonen, P.J., pp.972–978.
2011. Organic anion transporting polypeptide 47. Weiner, M. et al., 2005. Association between
1B1: a genetically polymorphic transporter of acquired rifamycin resistance and the
major importance for hepatic drug uptake. pharmacokinetics of rifabutin and isoniazid
Pharmacol Rev, 63(1), pp.157–181. among patients with HIV and tuberculosis. Clin
35. Nijland, H.M.J. et al., 2006. Exposure to Infect Dis, 40, pp.1481–91.
rifampicin is strongly reduced in patients with 48. Weiner, M. et al., 2010. Effects of tuberculosis ,
tuberculosis and type 2 diabetes. Clin Infect race , and human gene SLCO1B1
Dis, 43, pp.848–54. polymorphisms on rifampin concentrations.
36. Nwokeukwu, H.I. & Awujo, D.N., 2013. Antimicrob Agents Ch, 54(10), pp.4192–4200.
Association of sputum conversion and outcome 49. WHO, 2013. Global tuberculosis report 2012,
with initial smear grading among new smear France: World Health Organization.
positive tuberculosis patients in a Tertiary 50. WHO, 2014. Global tuberculosis report 2013,
Health Facility , South East Zone , Nigeria. J Geneva.
Dent Med Sci, 4(6), pp.4–9.
37. Ramachandran, G. & Swaminathan, S., 2012.
Role of pharmacogenomics in the treatment of
tuberculosis: a review. Pharmacogenomics
Personal Med, 5, pp.89–98.

70 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


JURNAL KEPERAWATAN
https://stikesks-kendari.e-journal.id/JK
Volume 03| Nomor 01 | JUNI |2019
ISSN: 2407-4801

Pengaruh Home Based Exercise Training Terhadap Kualitas Hidup Pasien


Tb Paru
Dewi Sartiya Rini1
1
Jurusan Keperawatan Poltekes Kemenkes Kendari

Corespondensi Author
Keperawatan Medikal Bedah,
Poltekkes Kemenkes Kendari
MT haryono
Email: dewi.sartiya@gmail.com

Keywords :
Home based exercise training; Kualitas hidup; TB paru

Abstrak Program rehabilitasi paru merupakan penanganan standar dalam meningkatkan kualitas hidup
pasien TB paru sehingga dapat menjalankan perannya secara optimal dalam masyarakat. Tujuan penelitian
ini untuk mengidentifikasi pengaruh home based exercise training terhadap kualitas hidup pasien TB paru.
Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan pendekatan post test only non equivalent control
group pada 30 pasien TB paru di RSUD Kota Kendari yang dibagi dalam dua kelompok. Hasil penelitian
menginterpretasikan ada perbedaan yang signifikan kualitas hidup kelompok intervensi dan kontrol setelah
intervensi (p value =0,000) dan rerata perbedaan 38,81. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan edukasi
pada perencanaan pulang pasien TB paru.

Absctract Pulmonary rehabilitation program was the standard treatment in improving the quality of life of
patients with pulmonary TB therefore the patient can optimally perform his role in society. The purpose of this
study to identify the effect of home-based exercise training on quality of life of patients with pulmonary
tuberculosis. Post test only non equivalent control group was applied in this study for 30 patient with
pulmonary tuberculosis in Abunawas Hospital. The result of this study showed that were significant differences
quality of life after intervention between control and intervention groups (p value=0,000) and mean diffrence
38,81. The results of this study could be used as educational material on discharge planning patients with
pulmonary tuberculosis

JURNAL KEPERAWATAN | VOLUME 03| NOMOR 01 | JUNI | 2019 8


Dewi Sartiya Rini, Pengaruh Home Based Exercise Training Terhadap Kualitas Hidup Pasien Tb Paru

Pendahuluan memenuhi kebutuhan hidup 4. Hal serupa juga


ditemukan di RSUD Kota Kendari.
Tuberkulosis paru merupakan salah satu Berdasarkan data tahun 2015 diketahui rata-rata
penyakit infeksius yang masih menjadi masalah pasien TB paru di RSUD kota Kendari antara
kesehatan masyarakat di dunia dari tahun 1990 usia 20-60 tahun. Kelompok usia produktif
sampai saat ini. Laporan World Health yang tentunya sangat rentan mengalami
Organization (WHO) 2013 diketahui angka penurunan kapasitas dalam bekerja akibat
kejadian terjangkit penyakit Tuberculosis (TB) gejala penyakitnya ataupun stigma sosial yang
paru tertinggi dunia adalah negara India yaitu melekat padanya. Kemampuan bekerja pada
sebanyak 2-2,4 juta diikuti dengan negara Cina pasien TB paru mengalami penurunan ditandai
pada urutan kedua mencapai 0,9-1,1 juta, mudah lelah dan merasa kehilangan energi.
Afrika Selatan pada urutan ketiga mencapai Selain itu penerimaan masyarakat terhadap
0,4-0,6 juta sementara Indonesia menduduki pasien TB paru masih kurang sehingga
urutan keempat mencapai 0,4-0,5 juta. mayoritas pasien TB paru menghindar dari
Prevalensi TB paru bervariasi diberbagai orang-orang terdekat karena merasa terisolasi
negara namun terlihat kecenderungan bahwa oleh lingkungan dan ketakutan jika penyakit
penderita penyakit TB paru meningkat mereka menular sehingga berdampak pada
jumlahnya mulai dari tahun 1990 mencapai 7,5 penurunan kualitas hidupnya 5.
juta dan terus mengalami peningkatan yang Salah satu program rehabilitasi paru
signifikan setiap tahunnya1. Peningkatan yang dapat diterapkan pada pasien TB adalah
kejadian TB paru juga dialami oleh negara latihan endurance atau ketahanan yang dapat
Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem
(RISKESDAS) Nasional diketahui terjadi transportasi oksigen. Efek latihan endurance
peningkatan 0,4% prevalensi kejadian TB pada yang dilakukan selain terjadi pembesaran
tahun 2013 dibandingkan tahun sebelumnya2. serabut otot juga terjadi pembesaran
Salah satu Provinsi yang memiliki angka mitokondria yang akan meningkatkan sumber
kejadian TB paru cukup tinggi adalah Sulawesi energi kerja otot sehingga otot tidak mudah
Tenggara sebesar 0,3% dengan gejala batuk > 2 lelah. Salah satu latihan ketahahanan yang
minggu sebesar 4,3% dan batuk darah sebesar dapat dilakukan yaitu home based exercise 6–8.
4,4%, ini ditemukan khususnya di daerah kota Smolis et al (2015) dalam risetnya yang
Kendari. Berdasarkan data yang diperoleh dari menyatakan bahwa responden yang diberikan
RSUD Kota Kendari diketahui bahwa pada latihan endurance di rumah yaitu berjalan kaki
tahun 2016 rata-rata pasien rawat inap yang secara terstruktur selama tiga bulan mengalami
terdiagnosa TB paru sebanyak 154 orang dan peningkatan energi dalam beraktivitas dan juga
rawat jalan sebanyak 90 orang. Peningkatan penurunan nyeri yang dirasakan. Sehingga
jumlah penderita TB paru salah satunya mayoritas kelompok intervensi latihan fisik di
disebabkan oleh lingkungan. Penularan TB rumah dalam riset ini mengalami peningkatan
paru yang terjadi melalui udara memiliki resiko kualitas hidup9.
sebesar 18,96 kali TB paru pada lingkungan Riset terkait kualitas hidup pada pasien
yang tidak sehat3. dengan penyakit paru telah banyak dilakukan di
Riset yang dilakukan di Australia Indonesia. Namun, umumnya riset yang
memberikan bukti bahwa mayoritas pasien TB meneliti pasien TB paru lebih mengarah pada
paru berada dalam kelompok usia dewasa, yaitu pengaruh psikososial terhadap kualitas
kelompok usia produktif yang mampu bekerja hidupnya. Padahal kualitas hidup pada pasien
dan menghasilkan barang atau jasa untuk TB paru tidak hanya dikaitkan dengan stigma

JURNAL KEPERAWATAN | VOLUME 03| NOMOR 01 | JUNI | 2019 9


Dewi Sartiya Rini, Pengaruh Home Based Exercise Training Terhadap Kualitas Hidup Pasien Tb Paru

sosial yang ada di masyarakat akan tetapi juga Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kualitas
dikaitkan dengan ketidakmampuan klien untuk Hidup Pasien TB Paru di RSUD Kota
beraktivitas karena kelelahan atau kelemahan Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
dihubungkan dengan penurunan energinya. 2018 (n=30)
Oleh karena itu, perlu adanya latihan fisik yang Variabel Mean SD SE Min-
diberikan secara terstruktur pada pasien TB Max
Kualitas Kontrol 60,63 17,32 4,7 23-89
paru yang dapat dilakukan di rumah (home
hidup Intervensi 21,82 18,29 4,4 7-57
based exercise training) yang aman, murah dan
tidak memerlukan keterampilan khusus. Tabel ini menunjukkan bahwa rerata skor
Sehingga penelitian ini bertujuan melihat
kualitas hidup dengan responden TB paru pada
pengaruh home based exercise training kelompok kontrol adalah 60,63 dengan nilai
terhadap kualitas hidup pasien TB paru. minimum kualitas hidup 23 dan nilai
maksimum kualitas hidup 89. Sedangkan pada
Metode
kelompok intervensi, rerata kualitas hidup
Penelitian ini menggunakan desain responden TB paru adalah 21,82 dengan nilai
quasi experiment dengan pendekatan post test minimum 7 dan nilai maksimum kualitas
only non equivalent control group. Dalam hidupnya 57. Hal ini menunjukkan bahwa
penelitian ini, besar sampel sebanyak 30 rerata responden pada kelompok intervensi
responden yang terbagi dalam dua kelompok memiliki kualitas hidup yang lebih baik
dengan teknik pengambilan sampel adalah dibandingkan dengan kelompok kontrol karena
nonprobability sampling dengan metode
semakin rendah skor kualitas hidup maka
consecutive sampling. Kriteria dalam penelitian
ini adalah: pasien TB paru yang sedang semakin baik kualitas hidup seseorang.
menjalani pengobatan 2 minggu,SaO2
≥95%,usia 18-60 tahun dan dapat Tabel 2 Perbedaan Kualitas Hidup Pasien
berkomunikasi dengan baik. TB paru Kelompok Kontrol dan Kelompok
Instrumen yang digunakan dalam Intervensi Setelah Dilakukan Intervensi
penelitian adalah St. George Respiratory
Home Based Exercise Training di RSUD
Questionnaire (SGRQ) yang valid dan reliabel
sebagai instrumen pengumpul data untuk Kota Kendari Tahun 2018 (n=30)
mengukur kualitas hidup pasien TB dengan Variabel N Mean CI SE p
Diff 95% value
nilai alpha cronbach untuk masing-masing
(IC 95%)
bagian dari instrumen SGRQ diatas 0,7.
Kualitas 30 38,81 25,48- 6,5 0,00
Intervensi dilakukan dalam tiga kali
hidup 52,13
seminggu dan berlangsung selama tiga minggu.
Proses analisa data dimulai dengan uji
normalitas data menggunakan uji normalitas Berdasarkan hasil analisis pada tabel 2
skewness selanjutnya dilakukan uji di atas diketahui bahwa perbedaan rerata
homogenitas atau kesetaraan pada setiap kualitas hidup pasien TB paru pada kedua
variabel data numerik antara kelompok kelompok penelitian adalah 38,81 dengan p
intervensi dan kelompok kontrol dengan value = 0,00 artinya p value < 0,05 sehingga
menggunakan levene’s test kemudian
dapat dikatakan bahwa ada perbedaan yang
digunakan uji T independen (pooled t test )
signifikan rerata skor kualitas hidup pasien TB
Hasil Dan Pembahasan paru antara kelompok yang mendapat home
Adapun hasil dalam penelitian ini adalah based exercise training dan yang tidak
sebagai berikut: mendapat home based exercise training.

JURNAL KEPERAWATAN | VOLUME 03| NOMOR 01 | JUNI | 2019 10


Dewi Sartiya Rini, Pengaruh Home Based Exercise Training Terhadap Kualitas Hidup Pasien Tb Paru

Hasil penelitian ini relevan dengan Simpulan Dan Saran


penelitian yang serupa yaitu penelitian Hill Keterbatasan dalam penelitian ini adalah
(2015) pada pasien PPOK yang terbagi dalam peneliti tidak dapat mengontrol aktivitas fisik
dua kelompok penelitian yaitu kelompok lainnya yang mungkin saja dilakukan oleh
responden yang masuk dalam kelompok yang
perlakuan yang mendapat intervensi berjalan
tidak mendapatkan intervensi seperti berjalan
kaki selama 8 minggu dalam waktu 45 menit kaki dan berlari yang menjadi bagian dari
setiap satu sesi latihan dan kelompok yang tidak kehidupan masyarakat dipinggiran kota kendari
mendapat perlakuan. Hasil yang diperoleh yang mungkin bisa disetarakan dengan home
setelah dilakukan intervensi tersebut selama 8 based exercise training.
minggu adalah adanya perbaikan kualitas hidup Ada perbedaan yang signifikan kualitas
pada pasien yang masuk dalam kelompok hidup responden pada kelompok intrevensi dan
kelompok kontrol setelah home based exercise
intervensi dibandingkan kelompok kontrol10.
training (p value 0,000). Hasil penelitian ini
Penelitian Anokye (2012) yang terkait dengan dapat menjadi bahan edukasi pada perencanaan
aktivitas fisik dan kualitas hidup juga pulang pasien TB paru.
menyatakan bahwa melakukan aktivitas fisik
seperti berjalan kaki selama tiga minggu dapat Daftar Rujukan
memberi efek yang positif terhadap perubahan 1. WHO. Global Tuberculosis Report.
kualitas hidup individu11. Latihan endurance di 2013;
rumah yaitu berjalan kaki secara terstruktur 2. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
selama tiga bulan mengalami peningkatan
(Riskesdas). 2013.
energi dalam beraktivitas dan juga penurunan 3. Harfadhilah D, Noor NN, I Nyoman
nyeri yang dirasakan sehingga mayoritas Sunarka. Analisa faktor risiko
kelompok intervensi latihan fisik di rumah lingkungan terhadap kejadian
dalam riset ini memiliki kualitas hidup yang tuberkulosis paru. 2012;7–13.
lebih baik daripada kelompok kontrol9 4. Negin J, Abimbola S, Marais BJ.
Dari data yang diperoleh peneliti di Tuberculosis among older adults - time
to take notice. Int J Infect Dis.
lapangan diketahui bahwa kelompok yang
2015;32:135–7.
melakukan home based exercise training 5. Hansel NN, Wu AW, Chang B, Diette
memiliki kualitas hidup yang baik. Secara GB. Quality of life in tuberculosis:
fisiologi, bergerak secara teratur dan terstruktur Patient and provider perspectives. Qual
meningkatkan ventilasi. Reseptor sendi dan Life Res An Int J Qual Life Asp Treat
otot yang tereksitasi selama kontraksi otot Care Rehabil. 2013;13(3):639–52.
6. Masumoto S, Yamamoto T, Ohkado A,
secara refleks merangsang pusat pernapasan
Yoshimatsu S, Querri AG, Kamiya Y.
dan meningkatkan ventilasi secara spontan. Factors associated with health-related
Bahkan gerakan pasif anggota badan dapat quality of life among pulmonary
meningkatkan ventilasi beberapa kali lipat tuberculosis patients in Manila, the
melalui pengaktifan reseptor-reseptor ini. Oleh Philippines. Qual Life Res.
karena itu, proses-proses mekanis selama 2014;23(5):1523–33.
melakukan latihan terstruktur atau olahraga 7. Louw J, Peltzer K, Naidoo P, Matseke
G, Mchunu G, Tutshana B. Quality of
berperan penting dalam mengkoordinasi
life among tuberculosis (TB), TB
aktivitas pernapasan sehingga sesak napas retreatment and/or TB-HIV co-infected
berkurang 12. primary public health care patients in
three districts in South Africa. Health
Qual Life Outcomes. 2012;10(1):77.
8. Khotimah S. Latihan endurance

JURNAL KEPERAWATAN | VOLUME 03| NOMOR 01 | JUNI | 2019 11


Dewi Sartiya Rini, Pengaruh Home Based Exercise Training Terhadap Kualitas Hidup Pasien Tb Paru

meningkatkan kualitas hidup lebih baik


daripada latihan pernapasan pada pasien
PPOK di BP4 Yogyakarta. J Chem Inf
Model. 2013;53(9):1689–99.
9. Smolis-B k E, D browski R, Piotrowicz
E, Chwyczko T, Dobraszkiewicz-
Wasilewska B, Kowalik I, et al.
Hospital-based and telemonitoring
guided home-based training programs:
Effects on exercise tolerance and quality
of life in patients with heart failure
(NYHA class III) and cardiac
resynchronization therapy. A
randomized, prospective observation.
Int J Cardiol. 2015;199:442–7.
10. Hill K. Supervised walking training
improves health-related quality of life
and exercise endurance in people with
chronic obstructive pulmonary disease.
J Physiother. 2015;
11. Anokye NK, Trueman P, Green C,
Pavey TG, Taylor RS. Physical activity
and health related quality of life. BMC
Public Health. 2012;
12. Black, Joyce M., Hawks JH.
Keperawatan Medikal Bedah Black Vol
3.pdf. Singapore: Elseivier; 2014.

JURNAL KEPERAWATAN | VOLUME 03| NOMOR 01 | JUNI | 2019 12


http://jurnal.fk.unand.ac.id 376

Artikel Penelitian

Perbandingan Daya Hambat Madu Alami dengan Madu


Kemasan secara In Vitro terhadap Streptococcus beta
hemoliticus Group A sebagai Penyebab Faringitis
1 2 3
Elsi Wineri , Roslaili Rasyid , Yustini Alioes

Abstrak
Madu merupakan substansi alam yang dihasilkan oleh lebah yang diketahui memiliki manfaat, salah satunya
untuk mengobati faringitis yang disebabkan Streptococcus beta hemoliticus Group A. Efek antibakteri dari madu dapat
menghambat pertumbuhan Streptococcus beta hemoliticus Group A. Berdasarkan cara pembuatannya madu terdiri
dari madu alami dan madu kemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan daya hambat madu alami
dengan madu kemasan secara in vitro terhadap Streptococcus beta hemoliticus Group A. sebagai penyebab faringitis.
Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan posttest only control group design yang dilaksanakan dari
September sampai Desember 2013 di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Hasil
penelitian menunjukan madu alami dan madu kemasan dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus beta
hemoliticus Group A dengan diameter daya hambat terbesar pada madu alami adalah 14 mm dan madu kemasan 11
mm. Berdasarkan uji analisis Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan post-hoc Mann-Whitney terdapat perbedaan
yang signifikan antara daya hambat madu alami dengan madu kemasan dengan nilaip=0,004 (p<0,05). Kesimpulan
hasil penelitian adalah madu alami dan madu kemasan memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan Streptococcus
beta hemoliticus Group A. Madu alami memiliki daya hambat yang lebih kuat dibandingkan madu kemasan.
Kata kunci: madu alami, madu kemasan, Streptococcus beta hemoliticus Group A, antibakteri, faringitis

Abstract
Honey is a natural substance that produced by bees which is known have many benefits, one of them is to
treat pharyngitis that caused by Streptococcus beta hemoliticus Group A. The antibacterial effect of honey can inhibit
bacterial growth. By way of making, honey is divided to natural honey dan packing honey. The purpose of this study
was to see comparison of the antibacterial effect of natural honey and packing honey againt Streptococcus beta
hemoliticus Group A by in vitro. This research was experimental with posttest only with control group design This study
was conducted in September to December 2013 in the laboratory of Microbiology, Faculty of Medicine, Andalas
University. The result showed that natural honey and packing honey have antibacterial effect againt Streptococcus
beta hemoliticus Group A. The biggest inhibition area of the natural honey was 14 mm and the biggest inhibition area
of the packing honey was 11 mm. Both of honey had differences antibacterial effect with p= 0,004 (p<0,05) with
analysis of Kruskal-Wallis test and followed by post-hoc Mann-Whitney. From this study we can conclude that natural
honey and packing honey have antibacterial effect againt Streptococcus beta hemoliticus Group A. Antibacterial of
natural honey is stronger than packing honey to inhibit bacterial growth.
Keywords: natural honey, packing honey, Streptococcus beta hemoliticus Group A, antibacterial, pharyngitis.

Affiliasi penulis : 1. Pendidikan Dokter FK UNAND (Fakultas PENDAHULUAN


Kedokteran Universitas Andalas Padang), 2. Bagian Mikrobiologi FK
Madu merupakan substansi alam yang
UNAND, 3. Bagian Biokimia FK UNAND
Korespondensi : Elsi Wineri, email : elsi_wineri@yahoo.com, Telp: diproduksi oleh lebah madu yang berasal dari nektar
085263631347 bunga atau sekret tanaman yang dikumpulkan oleh

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 377

lebah madu, diubah dan disimpan di dalam sarang patogen. Madu juga memiliki kandungan fenol,
1
lebah untuk dimatangkan. Madu dikenal sebagai komponen peroksida dan non-peroksida, memiliki
cairan yang menyehatkan dan berkhasiat. Khasiat dari viskositas kental, serta pH yang rendah sehingga
madu diperkenalkan oleh Hippocrates (460 SM-370 dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Sifat
SM) yang memanfaatkan madu sebagai ekspektoran hidroskopik yang dimiliki madu dapat menarik air dari
2
dan pembersih luka pada kulit maupun bisul. lingkungan hidup bakteri yang mengakibatkan bakteri
Masyarakat Indonesia menggunakan madu sebagai mengalami dehidrasi. Madu juga bersifat
campuran pada jamu tradisional untuk meningkatkan imunomodulator yaitu dengan cara memicu makrofag
khasiat penyembuhan penyakit seperti infeksi pada untuk menghasilkan sitokin yang terlibat untuk
saluran cerna dan pernafasan, serta meningkatkan membunuh bakteri dan perbaikan jaringan. Sifat
kebugaran tubuh. Madu juga memiliki kemampuan antibakteri tersebut efektif untuk menghambat
untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan jaringan pertumbuhan bakteri Salmonella typhii, Escherichia
3,4
baru. coli, Enterobacter aerogenes, Staphylococcus aureus
4,8-10
Berdasarkan asal pembuatan, madu terbagi serta Pseudomonas aeruginosa.
atas madu alami dan madu kemasan. Secara fisik Madu juga dapat menghambat pertumbuhan
madu kemasan memiliki kemiripan dengan madu Streptococcus beta hemoliticus Group A sebagai
alami tetapi terdapat perbedaan pada kandungan penyebab faringitis. Faringitis merupakan infeksi yang
nutrisi. Madu alami memiliki kandungan gula yang banyak ditemukan pada unit pelayanan primer dan
tinggi berupa fruktosa 38,19%, glukosa 31%, dan dapat mengenai semua usia. Faringitis menjadi alasan
sukrosa 1,31%. Kandungan gula yang terdapat pada sekitar 1,3% pasien rawat jalan untuk datang
madu alami mengakibatkan viskositas madu alami mengunjungi rumah sakit dan tercatat sekitar 15 juta
menjadi kental dibandingkan madu kemasan, hal ini kunjungan pasien pada tahun 2006 di Amerika Serikat.
disebabkan oleh pada proses pembuatan madu Cara penularan faringitis yaitu melalui sekret pada
kemasan terdapat tahap pemberian air dan campuran saluran nafas bagian atas yang terhirup. Bakteri yang
lainnya agar volume dari madu kemasan menjadi lebih menjadi salah satu penyebab tersering dari faringitis
banyak. Selain itu, madu kemasan tidak mengandung adalah bakteri Streptococcus beta hemoliticus Group
enzim, vitamin dan mineral seperti yang terdapat pada A. Streptococcus beta hemoliticus Group A
5,6
madu alami. menginfeksi 5-15% pasien dewasa dan 20-30%
Berdasarkan data dari Asosiasi Perlebahan pasien anak. Streptococcus beta hemoliticus Group A
Indonesia (API) tahun 2005, angka konsumsi madu dapat menetap pada orofaring, sehingga dapat terjadi
pada masyarakat Indonesia antara 7.000-15.000 ton kolonisasi yang lama, hal ini mengakibatkan pasien
pertahun. Keadaan ini tidak diimbangi oleh produksi tersebut menjadi carrier yang kronik. Pasien carrier
madu di Indonesia yaitu sekitar 4.000-5.000 ton terhadap bakteri Streptococcus beta hemoliticus
pertahun, sehingga madu kemasan diproduksi untuk Group A dapat menyebarkan bakteri kepada orang lain
11-14
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap madu. Hal melalui transmisi udara.
ini mengakibatkan madu alami yang beredar di Faringitis akibat Streptococcus beta
pasaran lebih sedikit dibandingkan madu kemasan hemoliticus Group A yang tidak diobati dapat
7
yaitu sekitar 10%. menimbulkan komplikasi supuratif maupun non
Madu memiliki zat yang bersifat bakterisidal supuratif. Adenitis servikal, abses peritonsilar, abses
dan bakteriostatik seperti antibiotik. Bakteri tidak dapat retrofaringeal, otitis media dan sinusitis merupakan
hidup dan berkembang di dalam madu karena madu komplikasi yang sering muncul pada anak-anak yang
mengandung unsur kalium yaitu unsur yang mencegah tidak mendapat terapi yang adekuat, sedangkan
kelembaban sehingga dapat menghambat komplikasi non-supuratif dari tonsilofaringitis akibat
2
pertumbuhan bakteri. Berdasarkan hasil penelitian Streptococcus beta hemoliticus Group A berupa
telah diketahui bahwa madu memiliki aktivitas demam rematik akut, penyakit jantung rematik dan
17,18
antibiotik spektrum luas untuk melawan bakteri glomerulonefritis akut.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 378

Berdasarkan penelitian Erywiyatno mengenai Design). Variabel yang digunakan adalah jenis madu
konsentrasi minimal madu yang dapat menghambat dan jenis bakteri. Variabel bebas berupa madu alami
pertumbuhan Streptococcus beta hemoliticus Group A dan madu kemasan dengan konsentrasi 100% dan
dengan cara pengenceran madu pada konsentrasi variabel terikat berupa pertumbuhan Streptococcus
10%, 20%, 40%, 60%, dan 100% menunjukan bahwa beta hemoliticus Group A. Alat yang digunakan
Streptococcus beta hemoliticus Group A dapat tumbuh berupa: cawan petri, kertas saring, pelobang kertas,
pada konsentrasi kecil dari 95%. Hal ini jarum ose, lampu spritus, tabung reaksi, lidi kapas
memperlihatkan bahwa nilai Minimal Inhibitory steril, pinset, autoclave, inkubator, mistar, 3 sampel
Concentration (MIC) pada madu terhadap madu alami, 3 sampel madu kemasan, dan kontrol
pertumbuhan bakteri Streptococcus beta hemoliticus berupa amoksisilin.
Group A adalah positif (+) pada konsentrasi 90% dan
Minimal Bactericidal Concentration (MBC) adalah pada HASIL
konsentrasi 95%. Berdasarkan penelitian tersebut Tabel 1. Hasil Diameter Daerah Bebas
bakteri dapat tumbuh pada konsentrasi kecil dari 95%, KumanStreptococcus beta Hemoliticus Group A
karena pada konsentrasi 90% sudah terlihat koloni Jenis Pengulangan
10 No Rata-rata (mm)
bakteri yang menghemolisis darah. Madu I II III
1 MA1 9 10 9 9,33
Berbeda dengan penelitian Molan dan Bang
2 MA2 13 14 11 12,67
menyatakan bahwa madu yang mengalami
3 MA3 13 12 11 12
pengenceran masih dapat ditemukan aktivitas 4 MK1 10 11 11 10,67
antibakteri, karena pada proses pengenceran 30-50% 5 MK2 4 6 4 4,67

terjadi peningkatan kadar glukosa oksidase. Enzim 6 MK3 11 8 9 9,33

glukosa oksidase dapat mengubah glukosa menjadi Keterangan:


asam glukoronat dan hidrogen peroksida. Dengan MA1 : Madu Alami 1
meningkatnya glukosa oksidase akan diikuti dengan MA2 : Madu Alami 2
peningkatan hidrogen peroksida yang memiliki efek MA3 : Madu Alami 3
15,16
antibakteri. MK1 : Madu Kemasan 1
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui MK2 : Madu Kemasan 2
perbandingan daya hambat madu alami dengan madu MK3 : Madu Kemasan 3
kemasan terhadap Streptococcus beta hemoliticus
Group A sebagai penyebab faringitis secara in vitro. Dari tabel 1 didapatkan kesimpulan bahwa
madu alami dan madu kemasan memiliki efek daya
METODE hambat terhadap pertumbuhan Streptococcus beta

Penelitian ini dilakukan di laboratorium hemoliticus Group A.

Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Tabel 2. Diameter Daerah Bebas Kuman
Padang pada bulan September sampai Desember
Streptococcus beta Hemoliticus Group A pada Kontrol
2013. Sampel adalah madu lebah alami yang diambil
Rerata
dari tiga daerah yang berbeda yaitu Barangan di Kota Pengulangan
(mm)
No Kontrol
Pariaman, Madu Koto Tabang-Palak Juha Kabupaten
I II III
Padang-Pariaman, Kuliek-Salisian di Batang Anai,
dan kemasan didapatkan di Pasar Raya Padang dari 1 Amoksisilin 45 40 42 42,3

tiga tempat produksi berbeda. Sampel diambil dengan


menggunakan metode Purposive Sampling. Data diolah dengan uji independent sample
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan tiga kali Kruskal-Wallis terhadap daya hambat madu alami,
pengulangan dengan rancangan Post test dengan madu kemasan, dan kontrol yang dilanjutkan dengan
Kelompok Kontrol (Posttest Only Control Group
uji post-hoc Mann-Whitney.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 379

Tabel 3. Hasil Analisis Rata-rata Daya Hambat Madu memiliki konsistensi yang lebih cair dibandingkan
Alami, Madu Kemasan Terhadap Streptococcus beta madu alami, madu kemasan masih memiliki daya
hemoliticus Group A dengan Uji Independent Sample hambat terhadap bakteri Streptococcus beta
Kruskal-Wallis hemoliticus Group A. Hal ini terlihat dari tabel 1 bahwa
Median diameter daya hambat terbesar dari madu kemasan
Kelompok n (minimum- p
yaitu 11 mm, dan pada madu alami didapatkan
(21) maksimum)
Perlakuan Kontrol 3 42 (40 - 45)
diameter terbesar yaitu 14 mm.
MA 9 11 (9-14) 0,004 Madu yang mengalami proses pengenceran
MK 9 9,5 (8-11) masih memiliki efek antibakteri. Pengenceran dengan
Keterangan: konsentrasi kecil dari 50% dapat meningkatkan kadar
n : jumlah cakram
Kontrol : Amoksisilin enzim glukosa oksidase. Enzim glukosa oksidase
MA : Madu Alami dapat meningkatkan kadar dari hidrogen peroksida
MK : Madu Kemasan
yang memiliki efek antibakteri. Walaupun demikian,
efek antibakteri pada madu kemasan lebih rendah
Tabel 3 menyajikan hasil analisis uji Kruskal-
dibandingkan madu alami, hal ini diakibatkan oleh
Wallis yang dilanjutkan dengan post-hoc Mann-
madu yang mengalami pengenceran akan mudah
Whitney. Nilai p yang didapatkan setelah dilakukan uji
menyebar pada agar bakteri, sehingga efek antibakteri
Independent Sample Kruskal Wallis adalah: 0,004,
tidak seoptimal madu alam, selain itu pengenceran
karena p < 0,05 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan
paling tidak terdapat perbedaan daya hambat yang
menurunkan kadar gula di dalam madu. Aktivitas
bermakna pada 2 kelompok perlakuan.
hidrogen peroksida juga dipengaruhi oleh kadar gula
15,16
yang terdapat pada madu.
Tabel 4. Hasil Uji post-hoc Mann-Whitney Daya
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian
Hambat Madu Alami dan Madu Kemasan Terhadap
statistik dengan menggunakan uji independent sample
Streptococcus beta hemoliticus Group A
Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan uji post-hoc
Kelompok p
Mann-Whitney berupa didapatkan perbedaan daya
Perlakuan Kontrol vs MA 0,012
hambat yang signifikan antara madu alami dengan
Kontrol vs MK 0,012
MA vs MK 0,025 madu kemasan yaitu p=0,025 (<0,05), hal ini

Keterangan: menunjukan bahwa madu alami memiliki efek


n : jumlah cakram antibakteri yang lebih kuat dibandingkan madu
Kontrol : Amoksisilin
MA : Madu Alami kemasan.
MK : Madu Kemasan Ada beberapa hal yang mengakibatkan madu
alami memiliki efek antibakteri yang lebih kuat
Hasil uji post-hoc Mann-Whitney terhadap
dibandingkan madu kemasan. Madu alami memiliki
daya hambat madu dan kontrol terhadap pertumbuhan
kadar gula yang tinggi mengakibatkan viskositas madu
bakteri Streptococcus beta hemoliticus Group A
menjadi lebih kental sehingga dapat menghambat
menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan (p <
perkembangan dari bakteri. Sedangkan madu
0,05) antara kelompok kontrol dengan Madu Alami
kemasan cenderung lebih encer akibat proses
(MA) dan kelompok kontrol dengan madu kemasan
pemberian air. Madu alami memiliki kandungan kalium
(MK) dan antara Madu Alami (MA) dan Madu
yang lebih tinggi dibandingkan madu kemasan,
Kemasan (MK).
sehingga bakteri sulit hidup pada madu alami ,selain
itu madu alami memiliki pH asam yaitu 3,2-4,1 yang
PEMBAHASAN dapat mengganggu perkembangan bakteri
Madu alami dan madu kemasan memiliki efek Streptococcus beta hemoliticus Group A yang hidup
antibakteri terhadap bakteri Streptococcus beta pada pH optimal 7,4-7,6.
3,4,9

hemoliticus Group A. Walaupun madu kemasan

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 380

KESIMPULAN HYPERLINK http://www.medicalhoney.com/


1 Madu alami memiliki efek antibakteri terhadap download/_pdfs/chapter_10.pdf.
bakteri Streptococcus beta hemoliticus Group 9. Suganda J. Uji efektivitas madu terhadap
Asebagai penyebab faringitis. salmonella typhi secara in vitro. Tugas Akhir;
2 Madu kemasan memiliki efek antibakteri terhadap 2005.
bakteriStreptococcus beta hemoliticus Group 10. Erywiyatno L, Djoko, Krihariani D. Pengaruh
Asebagai penyebab faringitis. madu terhadap pertumbuhan bakteri
3 Madu alami memiliki efek antibakteri yang lebih streptococcus pyogenes. Analisis Kesehatan
kuat terhadap bakteri Streptococcus beta Sains. 2012;1(1): 30-7.
hemoliticus Group A dibandingkan dengan madu 11. Shadkam MN, Khosravi HM, Mozayan MR.
kemasan. Comparison of the effect of honey,
dextromethorphan, and diphenhydramine of

DAFTAR PUSTAKA nightly cough and sleep quality in children

1. Johnson S, Nimisha J. Antibiotic residues in and their parents. The Journal of Alternative

honey. Dalam: Center for Science and and Complementary Medicine. 2010; 16(7):

Enviroment. New Delhi: Tughlakabad 787-93.

Institusional Area; 2010. 12. Wessels MR. Streptococcal pharyngitis. The

2. Rio YBP, Djamal A, Estherina. Perbandingan New England Journal of Medicine. 2011;

Efek antibakteri madu asli sikabu dengan (364):648-55.

madu Lubuk Minturun terhadap Escherichia 13. Sevinc I, Enoz M. The prevalence of group a

Coli dan Staphylococcus Aureus secara In beta-hemolytic streptococcus in healthy

vitro. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012;1(2): Turkish children in day-care centers in

59-62. Ankara. Chang Gung Med J. 2008; 31(6):

3. Baskhara AW. Khasiat & Keajaiban 554-8.

Maduuntuk Kesehatan dan Kecantikan. 14. Regoli M, Chiapinni E, Bongsignori F, Galli L,

Yogyakarta: Smile-Books; 2008. Martino Md. Update in management of acute

4. Mandal MD, Mandal S. Honey: its medical the pharyngitis in children. Italian Journal of

property and antibacterial activity. Asian Pediatrics. 2011;37(10): 1-7.

Pasific Journal of Tropical Biomedicine. 2011; 15. Bang LM, Buntting C, Molan, P. the effect of

10.1016/S2221-1691(11) 60016-6: 154-60. dilution on the rate hydrogen peroxide

5. Rachmawaty M. Efektivitas beberapa uji production in honey and its implication for

pemalsuan madu kapuk (skripsi); 2011. wound healing. The Journal of Alternative

6. Gorda IW, Soma IG, Dharmayudha AAGO. and Complimentary Medicine. 2003; 9(2):

The Influence of honey in the incision wound 267-73.

recovery in mice (mus musculus). Asosiasi 16. Molan PC. The antibacterial activity of honey

Farmakologi dan Farmasi Veteriner 1. the nature of the antibacterial activity. Bee

Indonesia; 2011. World. 1992;73(1): 5-28.

7. Rahayu F. Analisis strategi pemasaran air 17. Darrow DH, Buescher ES. Group a

madu Wanajava di perum perhutani unit 1 streptococcal pharyngitis. Otolaryngology &

Jawa Tengah (skripsi); 2012. Head and Neck Surgery. 2002; 449-54.

8. Cooper R, Jones K, Morris K. Immuno- 18. Khan ZZ. Group A streptococcus infection.

modulatory properties of honey that may be 2013 (diunduh 19 Januari 2014).

relevant to wound repair. 2012 (diunduh 9 Tersedia dari: URL: HYPERLINK

November 2013). Tersedia dari: URL: http://www.ncbi.nih.gov/pubmed/19024040

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)


Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2

GRANUL EFFERVESCENT EKSTRAK KULIT BAWANG MERAH


(Allium cepa L.) SEBAGAI OBAT HERBAL PENGOBATAN INFEKSI
BAKTERI Streptococcus pyogenes PENYEBAB FARINGITIS
(EFFERVESCENT GRANULES of ONION SKIN EXTRACTS (Allium cepa L.) AS HERBAL
MEDICINE TREATMENT of BACTERIAL INFECTIONS Streptococcus pyogenes
PHARYNGITIS CAUSES)

Ratih Wirdia N*, Niken Fitri A, Nuansa Amalia, Rian Rizki M, Nita Mudiana, Ahmad Fuad M
ProdiS1 Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi “Yayasan Pharmasi Semarang”
ratihwirdia_ningsih@yahoo.com

ABSTRAK

Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) seperti faringitis merupakan peradangan


pada membran mukosa yang mendasari struktur tenggorokan, mempunyai gejala nyeri kepala
yang hebat, demam atau menggigil, malaise, nyeri menelan, muntah dan mungkin batuk tapi
jarang. Faringitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus pyogenes. Kulit
bawang merah (Allium cepa L.)merupakan bagian tanaman yang diidentifikasi mengandung
senyawaflavonoid, tanin dan saponin. Senyawa tersebut memiliki aktivitas antibakteri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi antibakteri ekstrak etanol kulit bawang
merah dalam berbagai konsentrasi terhadap Streptococcus pyogenessecara in vitro. Kulit
bawang merah diektsraksi menggunakan etanol 96% dengan metode maserasi, formulasi
granul effervescent dan uji karakteristik fisik granul effervescent. Formulasi granul
effervescent dibuat dengan konsentrasi efektif: 5% ekstrak kulit dari Allium cepa L. Uji
karakteristik fisikgranul effervescent meliputi: tanggapan rasa, waktu larut, kelembaban,
volume bulk, pengetapan, waktu alir dan sudut diam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak kulit bawang merah memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. pyogenes penyebab
faringitisdan formulasi granul effervescent memenuhi seluruh uji karakteristik fisik sediaan.

kata kunci: antibakteri, faringitis, granul effervescent, kulit bawang merah, Streptococcus
pyogenes.

ABSTRACT

Upper respiratory tract infections (ISPA) such as pharyngitis is an inflammation of


the mucous membranes of the underlying structure of the throat, has a headache, fever or
chills, malaise, pain swallowing, vomiting and maybe the cough but rarely. Pharyngitis can
be caused by a bacterial infection of Streptococcus pyogenes. Onion skin (Allium cepa L.)is
part of the plant that containscompounds identified flavonoids,tannins, saponins and
compounds have antibacterial activity. This research aims to know the antibacterial potential
of ethanol extracts of onion skin in various concentrations against Streptococcus pyogenes in
vitro. Onion skin extracted using ethanol96% by the method of maceration, effervescent
granules formulation and physical characteristics test of effervescent granules. Physical
effervescent granules formulation made with effective: 5% concentration of skin extracts from
Allium cepa L. effervescent granules characteristics test includes: responses of taste, a late
time, moisture, bulk volume, pengetapan, time drift and angle still. The results showed that
onion skin extract has antibacterial activity against Streptococcus pyogenes causes

1181
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2

pharyngitis and effervescent granules formulation filled all the physical characteristics of the
test preparations.

keywords: antibacterial,pharyngitis,effervescent granules, onion skin, Streptococcus


pyogenes.

PENDAHULUAN effervescent ekstrak kulit bawang merah


Faringitis merupakan peradangan (Allium cepa L.).
pada membran mukosa yang mendasari
struktur tenggorokan.Faringitis akut yang METODOLOGI PENELITIAN
disebabkanbakteri mempunyai gejala nyeri Penelitian ini dilakukan di
kepala yang hebat, demam atau menggigil, Laboratorium Kimia Farmasi, Laboratorium
Biologi Farmasi dan Laboratorium
malaise, nyeri menelan, muntah dan
Teknologi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu
mungkin batuk tapi jarang [4]. Farmasi “Yayasan Pharmasi Semarang”
Streptococcus adalah kelompok pada bulan Maret-Juni 2017.
besar dan beraneka ragam dari kokus gram Peralatan yang digunakan dalam
positif yang tumbuh secara berpasangan penelitian ini adalah cawan petri, rotary
atau berantai. Sebagian merupakan flora
evaporator, otoklaf, pipet volume, beaker
normal, sebagian lain berkaitan dengan
infeksi penting pada manusia. glass, inkubator, batang pengaduk, cawan
Streptococcus pyogenes berkolonisasi di porselen, lampu bunsen, gelas ukur, neraca
tenggorokan dan kulit manusia dan digital, ose bulat dan jangka sorong, mortir
membentuk mekanisme virulensi yang dan stamper, loyang, ayakan no. 30 dan
kompleks untuk melawan sistem pertahanan 40, almari pengering, neraca
tubuh. Penyakit yang umum disebabkan
analitik,corong alirdan moisture meter..
oleh bakteri ini adalah faringitis bakterial
dan impetigo[5]. Bahan yang digunakan dalam
Ekstrak metanol yang difermentasi penelitian ini adalah kulit bawang
merah(Allium cepa L.),etanol, aquadestilata,
dari kulit bawang merah (Allium cepa L.)
media Mueller Hinton Agar (MHA), media
memiliki potensi besar sebagai antibakteri Nutrient Agar (NA),media Nutrient Broth
dan dapat digunakan dalam pengobatan (NB), larutan Mc Farland, biakan
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteriStreptococcus pyogenes, Avicel pH
mikroorganisme resisten. [6]Pernyataan 101, PVP, asam sitrat, laktosa, natrium
tersebut diperkuat oleh penelitianyang bikarbonat, aspartam, essence mint danobat
komersil (siprofloksasin).
dilakukan Misna dan Diana (2016) bahwa
Jenis penelitian ini merupakan
ekstrak kulit bawang merah (Allium eksperimental laboratorium dengan
cepaL.) mampu menghambatpertumbuhan memperoleh data yang dianalisia secara
bakteri Staphylococcus aureus. statistik menggunakan metode two way
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ANOVA dengan program Statistical Produtc
tertarik untuk melakukan penelitan Services Solution (SPSS 16) dengan taraf
mengenai aktivitas antibakteri ekstrak kulit kepercayaan 95% dilanjutkan dengan uji
Pasca ANOVA.
bawang merah (Allium cepa L.) terhadap
bakteri Streptococcus pyogenes penyebab
faringitis dengan membuat sediaan granul

1182
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2

Determinasi Tanaman dan Penyiapan kembali. Media MHA dalam tabung


Simplisia Kulit Bawang Merah dituang dalam cawan petri.
Determinasi tanaman bawang
merah dilakukan di Laboratorium Biologi Peremajaan Bakteri Streptococcus
Farmasi. Diambil kulit bawang merah pyogenes
yang segar, dilakukan sortasi basah, Media agar miring NA steril
kemudian dicuci dengan air mengalir. disiapkan dalam tabung reaksi, diambil
Setelah itu, kulit bawang merah satu ose biakan bakteri Streptococcus
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, pyogenes dengan ose bulat kemudian
lalu dilakukan sortasi kering. Kulit bawang digoreskan pada permukaan NA miring
merah yang telah disortasi kering selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC
kemudian diserbukkan, diayak dengan selama 24 jam.
ayakan No. 30/40 mesh dan siap
diekstraksi. Sterilisasi Alat dan Media
Proses sterilisasi untuk menjamin
Penyarian Ekstrak Etanol Kulit terhindarnya dari kontaminasi mikroba
Bawang Merah dengan menggunakan otoklaf pada suhu
Metode ekstraksi yang digunakan 1210C selama 15 menit yang termasuk
adalah maserasi.Serbuk kulit bawang metode panas basah. Metode ini
merahdirendam menggunakan etanol 96% memanfaatkan uap air untuk mengkoagulasi
selama 3 hari dan sesekali diaduk. Perlu protein penyusun dinding sel mikroba
dilakukan pengadukan sesekali agar ada hingga sel tersebut mati.
kontak antara senyawa dengan cairan
penyari untuk menghasilkan ekstrasi yang Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
maksimal.Hasil maserat yang telah Etanol Kulit Bawang Merah
disaring menggunakan corong dipekatkan Metode yang digunakan dalam uji aktivitas
dengan rotary evaporator dan diuapkan antijamur adalah sumuran. Ekstrak etanol
diatas waterbath dibawah suhu 500C. kulit bawang merah yang dibuat dalam
konsentrasi 5%, 10% dan 15%.Dimethyl
Skrining Fitokimia Serbuk dan Ektrak Sufoxide (DMSO) sebagai kontrol negative
Etanol Kulit Bawang Merah dan siprofloksasin sebagai kontrol positif.
Dilakukan uji bebas etanol terlebih Ditambahkan suspensi Streptococcus
dahulu. Skrining kandungan senyawa yang pyogenessebanyak 1µl ke dalam 20 ml
terdapat dalam ekstrak kulit bawang merah media MHA selanjutnya diinkubasi selama
meliputi identifikasi senyawa saponin, 1 x 24 jam pada suhu 370C. Kemudian
tanin, flavonoid, terpenoid, alkaloid. diamati konsentrasi ekstrak yang dapat
menghambat pertumbuhan Streptococcus
Pembuatan Media MHA (Mueller pyogenes dengan adanya zona bening.
Hinton Agar)
Media MHA merupakan media Analisis Data Aktivitas Antibakteri
pertumbuhan bakteri Streptococcus Ekstrak Etanol Kulit Bawang Merah
pyogenes. Media MHA dibuat dengan Data hasil uji didapatkan berupa
menimbang serbuk MHAsebanyak 3,8 diameter zona bening dari sumuran ekstrak
gdilarutkan dalam 100 ml aquadest, etanol kulit bawang merah yang diukur
dipanaskan hingga mendidih di atas menggunakan alat jangka sorong.Data
hotplate. Media dimasukkan ke dalam tersebut dianalisis menggunakan program
tabung, disterilkan dengan autoklaf, dan SPSS 16 dengan metode dua jalan ANOVA
disimpan dalam lemari es. Jika akan kemudian dilanjutkan dengan uji Pasca
dipergunakan, dipanaskan hingga mencair ANOVA.

1183
1183
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2

Pembuatan Sediaan Granul Effervescent Pengujian tanggapan rasa. Diambil satu


Ekstrak Etanol Kulit Bawang Merah sachet granul effervescent (15 gram)
Kulit Bawang Merah dilarutkan dalam 200 ml air pada suhu
Ekstrak kering kulit bawang merah
kamar tanpa pengadukan. Dicatat rasa
(Allium cepa L.) ditambah dengan asam
sitrat, laktosa, aspartam, serta sebagian yang dihasilkan.
PVP yang dibasahi dengan essence mint di
HASIL DAN PEMBAHASAN
dalam alkohol 70% (1:4) hingga massa
Hasil Ekstraksi Etanol Kulit Bawang
dapat dikepal. Komponen basa yaitu
Merah
natrium bikarbonat dan sisa PVP dibasahi
Maserat diperoleh dari penyarian
dengan essence mint dalam alkohol 70%
serbuk kulit bawang merahsebanyak 250
(1:4) hingga massa dapat dikepal. Masing-
gram dalam 2 liter pelarut etanol
masing komponen diayak dengan ayakan
96%.Diperoleh ekstrak kental sebanyak
No. 20 dan 24, lalu granul yang diperoleh
13,9126 gram dengan rendemen ekstrak
dikeringkan dalam almari pengering
kental 12,65%.
selama 24 jam. Granul asam dan granul
basa yang telah kering ditambahkan aerosil
dan dicampur hingga homogen.

Uji Karakteristik Fisik Sediaan Granul


Effervescent Ekstrak Etanol Kulit
Bawang Merah
Pengujian waktu alir. Ditimbang 100
gram granul, dimasukkan ke dalam corong
yang tertutup ujung tangkainya. Dibuka
tutup corong, dicatat waktu yang
diperlukan oleh granulat yang mengalir
seluruhnya.
Pengujian sudut diam. Ditimbang 100
gram granul, dimasukkan ke dalam corong Gambar 1. Ekstrak kental
yang tertutup ujung tangkainya.Dibuka
tutup corong, dibiarkan granul mengalir Hasil Bebas Etanol dan Skrining
membentuk kerucut yang stabil.Diukur Fitokimia Serbuk dan Ekstrak Etanol
tinggi kerucut (h) dan jari-jari (r), dihitung Kulit Bawang Merah
dengan rumus tan α = h/r. Ekstrak kental kulit bawang merah
dilakukan uji bebas etanol terlebih dahulu
Pengujian kandungan lembab. Sejumlah untuk memastikan tidak adanya etanol
5,0 gram granul dimasukkan ke dalam alat yang terkandung dalam sampel, kemudian
pengukur kadar air Hallogen Moisture dilakukan skrining fitokimia untuk
Analyzer Mettler Roledo HB tipe 43. Alat mengetahui senyawa apa saja yang
dijalankan kemudian dibaca kandungan terkandung. Hasil uji bebas etanol
lembab dalam granul dengan alat disajikan pada tabel 1 dan skrining
Moisture Meter. fitokimia serbuk dan ekstrak kulit bawang
merah disajikan pada tabel 2.
Pengujian waktu larut. Diambil satu
sachet granul effervescent (15 gram)
dilarutkan dalam 200 ml air pada suhu
kamar tanpa pengadukan. Dicatat waktu
larut granul.

1184 1184
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2

Tabel 1. Hasil Uji Bebas Etanol


No Pereaksi Hasil Positif Literatur Hasil Uji Ket

1. Ekstrak etanol + asam Larutan berwarna merah Larutan -


sulfanilat + HCl (p) + frambos (Schoorl, 1988 : 48) berwarna
NaNO2 + NaOH coklat

2. Ekstrak etanol + asam Bau pisang (Schoorl, 1988 : Tidak -


asetat + H2SO4 (p) 48) berbau
pisang

Tabel 2. Hasil Skrining Fitokimia


Golongan
Hasil Positif Literatur Hasil Uji Kesimpulan
Senyawa
Lapisan amil
Lapisan amil alkohol yang berwarna
Flavonoid alkohol berwarna +
merah, kuning, jingga (Majumdar, 2005)
merah
Warna biru tua atau hijau kehitaman
Tanin Hijau kehitaman +
(Jones dan Kinghorn, 2006)
Terbentuk buih mantap selama 10 menit
Saponin Buih stabil +
(Depkes RI, 1995: 336).
Adanya terpenoid ditandai dengan
Terpenoid terbentuknya warna merah atau ungu Warna merah +
(Rahayu, 2015).
Mayer : Endapan putih Mayer : Kuning
-
jingga
Wagner : warna kuning merah lembayung Wagner : Cokelat
Alkaloid -
Dragendorff : endapan merah bata Dragendorff :
-
(Rahayu, 2015) kuning jingga

Hasil menunjukkan bahwa serbukdan ekstrak etanol kulit bawang merah positif
mengandung senyawa fitokimia flavonoid, tanin, saponin dan terpenoid.

Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Bawang Merah


Hasil uji aktivitas antibakteri ektsrak etanol kulit bawang merah terhadap pertumbuhan
Streptococcus pyogenes disajikan pada tabel 2.

Tabel 2.Diameter Zona Bening Hasil Uji Aktivitas Antibakteri


Zona Hambat (cm)
Replikasi
5% 10% 15% Kontrol (+) Kontrol (-)
II 0,686 0,826 1,133 1,428 0,000
III 0,688 0,833 1,136 1,421 0,000
IV 0,678 0,831 1,140 1,430 0,000
V 0,693 0,838 1,130 1,416 0,000
VI 0,669 0,822 1,146 1,418 0,000
Rata-rata 0,683 0,830 1,137 1,423 0,000

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa pada konsentrasi


ekstrak etanol kulit bawang merah 15% memiliki diameter zona bening yang

1185
1185
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2

terbesar dibandingkan yang lainnya. Hal diduga melibatkan pemecahan membran


tersebut terjadi karena semakin tinggi oleh komponen-komponen lipofilik[10].
konsentrasi maka semakin banyak Hasil Analisis Data Aktivitas
senyawa antibakteri yang terkandung di Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit
dalamnya. Konsentrasi efektif yang Bawang Merah
digunakan dealam pembuatan sediaan Analisis data menggunakan
granul effervescent adalah 5%, konsentrasi program SPSS16. Uji statistika bahwa data
efektif adalah konsentrasi terkecil namun berdistribusi normal disajikan pada tabel
tetap menunjukkan adanya zona bening. 3dan homogen disajikan pada tabel 4.
Selanjutnya dilakukan uji pasca ANOVA,
disajikan pada tabel 3.

Tabel 3.Uji Normalitas

Gambar 2.Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak


Kulit Bawang Merah Terhadap
Streptococcus pyogenes
Tabel 4.Uji Homogenitas
Mekanisme penghambatan per-
tumbuhan bakteri dari ekstrak etanol kulit
bawang merah karena kandungan senyawa
fitokimia seperti senyawa flavonoid, tanin,
saponin dan terpenoid. Senyawa flavonoid
memiliki mekanisme kerja membentuk
senyawa kompleks dengan protein
ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat
merusak membrane sel bakteri dan diikuti
dengan keluarnya senyawa intraseluler[7].
Senyawa tanin memiliki mekanisme kerja Tabel 5.Uji Pasca ANOVA
menghambat enzim reverse transkriptase
dan DNA topoisomerase sehingga sel
bakteri tidak dapat terbentuk[8]. Senyawa
saponin memiliki mekanisme kerja
menurunkan tegangan permukaan
sehingga mengakibatkan naiknya
permeabilitas atau kebocoran sel dan
mengakibatkan senyawa intraseluler akan
keluar[9].. Sedangkan senyawa terpenoid
juga diketahui aktif melawan bakteri,
tetapi mekanisme antibakterial Hasil menunjukkan bahwa ada
triterpenoid masih belum benar-benar perbedaan signifikan antar kelompok baik
diketahui. Aktifitas antibakteri terpenoid pada ekstrak etanol kulit bawang merah
konsentrasi 5%, 10%, 15% dan kontrol

1186 1186
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2

positif siprofloksasin. Perbedaan  Tanggapan Rasa


signifikan ditunjukkan dengan nilai Hasil : Manis sedikit asin
signifikan < 0,05.
Uji Karakteristik Fisik Sediaan Granul Hasil uji organoleptis
Effervescent Ekstrak Etanol Kulit menunjukkan granul effervescent
Bawang Merah memiliki waktu alir, sudut diam,
Hasil uji karakteristik fisik sediaan kandungan lembab dan waktu larut yang
granul effervescent ekstrak etanol kulit baik. Granul effervescent memiliki
bawang merah sebagai berikut. karakteristik fisik free flowing dan
menimbulkan rasa manis sedikit asin
 Uji Waktu Alir ketika dikonsumsi.
Hasil : 100 gram/8.38
detik KESIMPULAN
Kesimpulan : baik karena <10 detik Ekstrak etanol kulit bawang merah
[11]
. dapat berkhasiat sebagai antibakteri
 Sudut Diam terhadap spesies Streptococcus pyogenes
Hasil :tan α = h/r = 2,6 cm/5cm pada pengujian secara mikrobiologi.
Α = 27,47 º Granul effervescent dari ekstrak etanol
kulit bawang merah konsentrasi 5%
Kesimpulan : baik, karena masuk memenuhi syarat uji karakteristik fisik.

SARAN
o o[12] Perlu penelitian lebih lanjut mengenai
rentang 25 -30 .
jenis senyawa yang berperan dalam
 Pengetapan aktivitas antibakteri dari ekstrak kulit
Hasil : V0 = 100 ml ; V1 = 95 ml ; bawang merah. Pembuatan sediaan lain
V2 = 94 ml ; V3 = 94 dengan menggunakan ekstrak kulit bawang
ml%Pengetapan = V0-Vk x 100% merah.
V0
= 100 ml – 94 ml x100% UCAPAN TERIMAKASIH
100 ml = 6% Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kesimpulan : granul effervescent Kebudayaan atas dana bantuan penelitian.
memiliki sifat free
flowing, karena DAFTAR PUSTAKA
masuk rentang % 1. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS,
indeks pengetapan Morse SA, Mietzner TA. Jawetz,
5%-15% [13]. Melnick & Adelberg's. 2010. Medical
Microbiolog. Atlanta: Mc Graw Hill.
 Kandungan Lembab 2. Cunningham, M. W. 2000.
(MoistureContent) Pathogenesis of Group A
Hasil : 2,03 % Streptococcal Infection.Washington,
Kesimpulan : baik, karena masuk D.C : Clin Micobiol.
kurang dari 10%[14]. 3. Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee,
G. R. Matzke. B. G. Wells. L. M.
 Waktu Larut Posey. 2008. Pharmacotherapy, A
Hasil : 00:05.83 Pathophysiologic Approach Seventh
Kesimpulan : baik, karena kurang
dari 120 detik [15].

1187
1187
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2

4. Edition. United States of America : Salmonella typhi ATCC 1408. Jurnal


The McGrawHill Companies, Inc. Ilmu – ilmu Pertanian. 5: 26 – 37.
5. Rusmarjono, Efiaty, A.S. 10. Bobbarala, V. 2012. Antimicrobial
2007.Faringitis, Tonsilitis, dan Agents. Intech, Croatia.
Hipertrofi Adenoid. Dalam : Buku 11. Siregar, Charles J. P. 2008. Teknologi
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Farmasi Sediaan Tablet. Jakarta :
Tenggorokan, Kepala dan leher.Edisi Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6.Jakarta : FK UI. 12. Sulaiman, Teuku Nanda Saifullah.
6. Misna dan Diana, K.2016. Aktivitas (2007). Teknologi Formulasi Sediaan
Antibakteri Ekstrak Kulit Bawang Tablet. Yogyakarta : MUCOMM.
Merah (Allium Cepa L.) Terhadap 13. Purwandari, L.E. 2007. Optimasi
Bakteri Staphylococcus aureus. Campuran Asam Sitrat-Asam Tartrat
Galenika Journal of Pharmacy Vol. 3 dan Natrium Bikarbonat sebagai
(1) : 84-90. Eksipien dalam pembuatan Granul
7. Machavarapu, M and Vangalapati, M. Effervescent Ekstrak Rimpang
2015. Antibacterial Activityof Temulawak (Curcuma xanthorrizha
Fermented Methanolic Extracts of Roxb.) secara Granulasi Basah dengan
Skin of Allium Cepa. India : World Metode Desain Faktorial. Skripsi.
Journal of Pharmacy and Yogyakarta : Fakultas Farmasi
Pharmaceutical Sciences. Universitas Sanata Dharma.
8. Cowan, M.M. 1999. Plant Products as 14. Lieberman, H.A., L. Lachman dan
Antimicrobial Agents. Clinical J.B. Schwart, 1992. Pharmaceutical
Microbiology Reviews. 12: 564 – 582. Dosage Forms. Volume 1. New York
9. Nuria, M.C., A. Faizatun., dan : Marcel Dekker Inc.
Sumantri. 2009. Uji Antibakteri 15. Mohrle, R. 1980. Effervescent tablets.
Ekstrak Etanol Daun Jarak Pagar ( In Lieberman HA and Lachman (eds).
Jatropha cuircas L) terhadap Bakteri Pharmaceutical dosage forms :
Staphylococcus aureus ATCC 25923, Tablets. Volume I. New York : Marcel
Escherichia coli ATCC 25922, dan Dekker inc.

1188 1188
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Faringitis


Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

Ida Lisni1,2, Silvana Octavia Iriani2, Entris Sutrisno2


1PraktisiRS Muhammadiyah,2Sekolah Tinggi Farmasi Bandung
jfg@stfb.ac.id

ABSTRAK

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius baik di dunia
maupun di Indonesia. Angka kejadian ISPA di Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah sebesar 25,0%. Infeksi
saluran pernapasan seperti faringitis mewakili sebagian besar kasus. Faringitis sebagian besar disebabkan
bakteri Streptococcus group A β-Haemolytic. Salah satu obat utama untuk mengobati faringitis adalah antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam pengobatan faringitis dapat menyebabkan terjadinya resistensi
dan berbagai efek samping, maka perlu dilakukan evaluasi penggunaan obat sebagai bentuk jaminan mutu
penggunaan obat untuk menilai kesesuaian penggunaan antibiotika pada pengobatan faringitis. Penelitian
dilakukan menggunakan metode observasional dengan penyajian data secara deskriptif dan pengumpulan data
secara retrospektif. Berdasarkan hasil penelitian pada periode bulan Januari sampai April 2015 diperoleh 56
pasien yang diteliti. Diketahui jumlah pasien yang menderita faringitis yaitu pasien anak 53,57% dan pasien
dewasa 46,43%. Semua pasien yang diteliti menerima terapi antibiotik. Antibiotik yang banyak digunakan adalah
golongan sefalosporin (89,29%), dengan sefiksim (60,71%). Hasil dari analisis kualitatif diketahui bahwa pasien
menerima antibiotika sesuai indikasi adalah 100 %, dosis yang sesuai sebesar 96,49%, lama terapi yang
sesuai sebesar 87,72%, penggunaan antibiotika kombinasi yang memiliki efek sinergis sebanyak 1(satu) pasien.
Tidak terdapat duplikasi, namun terdapat potensi interaksi obat dengan jumlah 14 kasus.

Kata kunci: Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), Faringitis, Antibiotik

ABSTRACT

Acute respiratory infections (ARI) is a very serious health problem in the world or in Indonesia. Period prevalence
of ARI in Indonesia according Riskesdas 2013 amounted to 25.0%. Respiratory tract infections such as
pharyngitis represent the vast majority of cases. Pharyngitis is largely caused by the bacterium Streptococcus
group A β-haemolytic. One of the main drug is an antibiotic to treat pharyngitis. Improper use of antibiotics in the
treatment of pharyngitis can lead to resistance and side effects, it is necessary to drugs use evaluate as a form
of quality assurance of drug use to assess the suitability of the use of antibiotics in the treatment of pharyngitis.
Research conducted an observational study with descriptive data presentation and data collection
retrospectively. Based on the results of research in the period January to April 2015 obtained 56 patients studied.
Patients with pharyngitis is pediatric (53.57%) and 46.43% is adult patients. All patients studied using antibiotic
therapy. Antibiotics are widely used cephalosporins (89.29%), with sefiksim (60.71%). Results of the qualittive
analysis known that patients received appropriate indication of antibiotic is 100%, appropriate doses of 96.49%,
duration of therapy appropriate for 87.72%, the use of antibiotic combination that has a synergistic effect in
1(one) patient. There is no duplication, but there are 14 cases that have the potential occur drug interactions.

Keywords: Acute Respiratory Infections (ARI), Pharyngitis, Antibiotics

43
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

PENDAHULUAN infeksi bakteri Streptococcus group A β-Haemolytic


(Bisno, A.L et. al., 2002). Persentase faringitis pada
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan orang dewasa 5%-15% dan 20% -30% pada anak-
masalah kesehatan yang sangat serius baik di anak (Shulman, S.T et., al, 2012).
dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF
dan WHO melaporkan bahwa ISPA merupakan Untuk menjamin mutu obat yang beredar di rumah
penyebab kematian paling besar pada manusia, sakit dilaksanakan berbagai program, salah satu
jika dibandingkan dengan total kematian akibat diantaranya adalah Evaluasi Penggunaan Obat
AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA (EPO). Program EPO merupakan suatu proses
ini terjadi pada negara-negara kurang berkembang jaminan mutu yang terstruktur, yang dilakukan
dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika dan secara terus menerus dan secara organisasi diakui
Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. serta ditujukan untuk menjamin agar obat-obatan
Untuk Sub Sahara sendiri terjadi 1.022.000 kasus digunakan secara tepat, aman dan efektif. Salah
per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai satu unsur utama dari EPO adalah pemantauan
702.000 kasus per tahun (Depkes RI, 2013). yang sistematik, terencana dan terus menerus,
serta analisispenggunaan obat untuk mencari solusi
Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun
masalah yang timbul di rumah sakit dengan
waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi di Indonesia
menggunakan kriteria yang dapat diukur dan
dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur
objektif (Charles 2015).
(41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa
Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Penggunaan antibiotik pada pasien faringitis juga
Period prevalence ISPA Indonesia menurut perlu dilakukan evaluasiuntuk menjamin atau
Riskesdas 2013 adalah sebesar 25,0%. (Depkes memastikan bahwa antibiotika yang digunakan
RI, 2013). secara tepat dan aman bagi pasien faringitis.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) antibiotik pada
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi pasien faringitis dilakukan untuk menilai kesesuaian
terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). penggunaan antbiotik meliputi kesesuaian indikasi,
Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki- kesesuaian dosis, kesesuaian lama terapi dan
laki dan perempuan (Depkes RI, 2013). mengetahui potensi terjadinya interaksi obat
dengan obat.
Tujuh puluh tiga persen dari dokter meresepkan
antibiotik untuk faringitis, yang sebagian besar
METODOLOGIPENELITIAN
disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang,
antibiotik diresepkan untuk 44-97% dari pasien Metodologi penelitian meliputi penetapan kriteria
rawat inap, kadang-kadang dengan dosis yang pasien, kriteria obat, dan standar penggunaan
tidak tepat. Penggunaan antibiotik tidak tepat obat.Kriteria pasien terdiri dari kriteria inklusi yaitu
(indikasi, seleksi, lama pemberian, dan dosis yang semua pasien faringitis rawat jalan dan kriteria
tidak tepat) dapat menyebabkan efek samping eksklusi yaitu pasien faringitis rawat jalan yang
seperti alergi atau diare, meningkatkan biaya tidak menerima terapi antibiotik. Kriteria obat
perawatan kesehatan, dan meningkatkan adalah obat yang dievaluasi yaitu semua obat
kemungkinan seleksi untuk resisten antibiotik antibiotik yang digunakan oleh pasien faringitis dan
(Malino, I.Y et.al., 2013). standar penggunaan obat adalah pedoman yang
digunakan sebagai acuan dalam penilaian
Infeksi saluran pernafasan seperti faringitis ketepatan penggunaan obat antibiotik yang
mewakili sebagian besar kasus. Meskipun digunakan oleh pasien faringitis.
penyebab faringitis pada sebagian besar pasien
adalah virus sekitar 5% dan 17% disebabkan oleh
44
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

Kemudian dilakukan pengumpulan data, Pada tabel 1 diketahui bahwa jumlah pasien
pengorganisasian dan analisis data serta faringitis berjenis kelamin perempuan lebih banyak
pengambilan kesimpulan. Penelitian ini dilakukan yaitu 67,86% sedangkan laki-laki 32,14%. Jenis
melalui metode observasional dengan penyajian kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan
data secara deskriptif dan pengumpulan data terhadap persentase klinis faringitis karena faingitis
secara retrospektif. bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan,
namun pada kasus ini penderita faringitis paling
HASIL DAN PEMBAHASAN banyak terjadi pada perempuan. Hal ini
dikarenakan penderita infeksi saluran pernapasan
1. Analisis Kuantitatif Pasien
umumnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh
Penelitian ini dilakukan terhadap pasien rawat jalan menurun, serta dapat pula disebabkan oleh faktor
dengan diagnosis faringitis di salah satu rumah intrinsik seperti faktor-faktor hormonal dan faktor
sakit di kota Bandung pada bulan Januari sampai keturunan.
April 2015. Dari hasil pengumpulan data, diperoleh
jumlah total pasien sebanyak 56. Berdasarkan Berdasarkan suatu studi menemukan bahwa laki-
distribusi usiaterdapat 18 pasien faringitis (30,36%) laki lebih banyak menderita faringitis dibandingkan
usia 0-5 tahun, pasien usia 5-11 tahun sebanyak 9 perempuan, mirip dengan hasil penelitian di
orang (16,07%) dan jumlah pasien usia 17 - 25 Indonesia sebelumnya. Namun, dua studi dari
tahun sebanyak 8 orang (14,29%). negara lain menemukan bahwa lebih banyak
perempuan dibandingkan laki-laki menderita
Tabel 1. Jumlah Pasien Berdasarkan JenisKelamin faringitis. Beberapa penelitian pada faringitis
dan Kelompok Usia Streptococcus group A β-Haemolytic tidak
menampilkan data tentang jenis kelamin, mungkin
Kriteria ∑Pasien % karena kurangnya perbedaan yang signifikan dalam
Jenis jumlah laki-laki dan perempuan (Malino et.al.,
Laki-laki
Kelamin 18 32,14 2013).
Perempuan 38 67,86
*Usia Balita (0 - 5 tahun) 17 30,36
Alberta Medical Association, 2008 memaparkan
Masa Anak-anak
9 16,07 bahwa streptococcus group A β-haemolytic adalah
(5 - 11 tahun)
Masa Remaja Awal penyakit dengan 50 persen dari pasien dalam
4 7,14
(12 - 16 tahun) kelompok usia 5 sampai 15 tahun. Insiden puncak
Masa Remaja Akhir selama beberapa tahun pertama sekolah. Ini
8 14,29
(17 - 25 tahun)
Masa Dewasa Awal adalah bakteri patogen yang paling umumpada
6 10,71 musimgugur, musim dingin dan musim semi dan
(26 - 35 tahun)
Masa Dewasa Akhir hampir selalu diperoleh melalui kontak langsung
7 12,50
(36 - 45 tahun) dengan sekresi pernapasan.
Masa Lansia Awal
1 1,79
(46 - 55 tahun)
Masa Lansia Akhir Menurut penelitian Malino dkk., 2013 faringitis lebih
2 3,57
(56 - 65 tahun) umum pada subyek rentang usia 3-6 tahun.
Masa Manula Demikian pula, studi India menemukan bahwa
2 3,57
( > 65 tahun)
insiden tertinggi streptococcus group A β-
Total
Pasien 56 haemolytic faringitis berada di 4-6 tahun (14,1%).
Keterangan : % = Persentase terhadap total pasien Tanz dkk, melaporkan bahwa streptococcus group
*)= Klasifikasi usia berdasarkan A β-haemolytic faringitis terjadi pada semua
Departeman Kesehatan Republik
kelompok umur, tetapi terutama selama usia
Indonesi tahun 2009
sekolah 5-11 tahun, mungkin karena penularan
45
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

tinggi dari satu anak ke anak yang lain ditemui pada tubuh itu tentunya menimbulkan bermacam-macam
pasien usia lebih dari 3 tahun. Streptococcus group efek buruk bagi tubuh (Fitria, 2012).
A β-Haemolytic paling sering terjadi.
2. Analisis Penggunaan Obat Antibiotik pada
Dilihat dari distribusi usia hasil penelitian ini Pasien Faringitis
diketahui pasien dengan diagnosa faringitis yang
terbanyak adalah golongan usia balita (0-5 tahun) Dalam pengobatan faringitis sangat penting untuk
sebesar 30,36%. Kemudian pada golongan masa memastikan penyebabnya dalam menentukan
anak-anak (5 - 11 tahun) sebesar 16,07% dan pengobatan yang tepat. Antibiotika diberikan pada
golongan masa remaja akhir (17 - 25 tahun) pasien dengan faringitis yang disebabkan oleh
sebesar 14,29%. Hal ini sesuai dengan beberapa bakteri. Penggunaan antibiotika yang kurang tepat
penelitian yang lain, karena faringitis yang dalam pengobatan faringitis juga dapat
disebabkan oleh bakteri streptococcus group A β- menyebabkan terjadinya resistensi. Antibiotika yang
haemolytic bisa terjadi pada semua kelompok umur digunakan dalam terapi faringitis pada penelitian ini
terutama pada usia balita (0-5 tahun), golongan adalah sebagai berikut:
masa anak-anak (5 - 11 tahun) dan golongan masa
remaja akhir (17 - 25 tahun). Tabel 2.Jumlah Pasien Berdasarkan Golongan
AntibiotikYang Digunakan
Pada bayi yang berumur kurang dari satu tahun,
kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan Golongan Antibiotik ∑Pasien (%)
terjadi karena sistem kekebalan tubuh yang belum Penisilin
terbentuk dengan sempurna. Streptococcus group
Aminopenisilin Amoksisilin 2 3,57
A β-haemolytic merupakan bakteri yang paling
Makrolida Azitromisin 3 5,36
sering menyebabkan gangguan saluran
Sefalosporin
pernapasan, salah satunya adalah faringitis,
imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada Generasi I Sefadroksil 15 26,79
saluran pernapasan yaitu immunoglobulin A (IgA), Sefaleksin 1 1,79
pada anak-anak immunoglobulin ini belum Generasi III Sefiksim 34 60,71
berkembang secara sempurnadibandingkan orang Makrolida +
Sefalosporin Azitromisin+
dewasa. Hal inilah yang menyebabkan faringitis
Generasi III Sefiksim 1 1,79
banyak terjadi pada balita dan anak-anak (Dewi, et.
Total Pasien 56
al.,2013)
Keterangan : % = Persentase terhadap total pasien
∑ = Jumlah pasien
Sedangkan pada orang berumur 17-24 tahun atau
lebih dari 24 tahun terjadi kemungkinan karena Pada Tabel 2 diketahui bahwa penggunaan
tingkat imunitas seseorang dan aktivitas yang lebih antibiotik terbanyak yaitu antibiotik golongan
banyak di luar rumah sehingga lebih banyak sefalosporin sebesar 89,29%. Sefalosporin
terpapar udara yang mengandung agen penyakit generasi ke I sebesar 28,58% dan sefalosporin
ISPA. Pada usia dewasa terjadi peningkatan generasi ke III sebesar 60,71%. Obat-obat yang
aktivitas dan menyebabkan tubuh menjadi lelah digunakan pada sefalosporin generasi ke I adalah
sehingga mudah terserang infeksi dikarenakan sefadroksil dan sefaleksin, dan pada sefalosporin
daya tahan tubuh yang menurun. Selain itu asupan generasi ke III yaitu sefiksim. Hal ini disebabkan
nutrisi yang menurun menyebabkan penderita karena faringitis yang paling umum disebabkan
mengalami gizi kurang/buruk yang berakibat oleh bakteri Streptococcus pyogenes yang
penurunan kekebalan tubuh. Penurunan kekebalan merupakan Streptococcus group A β-Haemolytic.
Bakteri lain yang mungkin terlibat adalah Streptocci
46
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara
Gonorrhoeae (Depkes RI, 2005). berikatan dengan subunit 50s ribosom bakteri,
sehingga menghambat translokasi
Banyaknya kejadian resistensi terhadap golongan peptida.Makrolida aktif terhadap bakteri Gram
penisilin sehingga golongan sefalosporin digunakan positif, tetapi juga dapat menghambat beberapa
sebagai alternatif pengobatan. Sefalosporin Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian
generasi ke I dan sefalosporin generasi ke III besar Gram-negatif aerob resisten terhadap
dianggap obat pilihan untuk infeksi bakteri serius makrolida, namun azitromisin dapat menghambat
yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Salmonela. Azitromisin dapat menghambat
H.influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas
Seperti halnya antibiotik betalaktam lain, terbesar (Menkes RI, 2011).
mekanisme kerja sefalosporin yaitu menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat ialah Ketika memilih antimikroba untuk pengobatan
reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian faringitis Streptococcus group A β-Haemolytic,
reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin aktif masalah penting untuk dipertimbangkan termasuk
terhadap kuman gram positif maupun gram negatif, keberhasilan, keselamatan, spektrum antimikroba
tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat (sempit atau lebar), pemberian dosis, kepatuhan
bervariasi. terkait dengan terapi, dan biaya. Faktor-faktor ini
mempengaruhi efektivitas biaya terapi antimikroba.
Sefalosporin mempunyai aktifitas bakterisid dalam
fase pertumbuhan kuman dengan menghambat Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti telah
sintesa peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk menunjukkan bahwa azitromisin sekali sehari dan
ketangguhan dinding sel sehingga bakteri akan rejimen sehari sekali beberapa sefalosporin
mengalami lisis. Mempunyai kepekaan terhadap (misalnya, sefadroksil, sefiksim, seftibuten,
beta laktamase yang lebih rendah dari pada sefpodoksim, sefprozil, dan cefdinir), efektif dalam
penisilin. Spektrum antibakterinya lebih luas. pemberantasan faringitis streptokokus. Saat ini,
Sefalosporin terdiri dari 4 generasi. hanya azitromisin, sefadroksil, sefiksim, dan cefdinir
yang disetujui FDA sebagai terapi sekali sehari
Golongan yang lain yang digunakan untuk pasien untuk streptokokus faringitis pada anak-anak
faringitis yaitu antibiotik golongan penisilin dan (Bisno, A.L et.al., 2002).
makrolida. Golongan penisilin yang digunakan yaitu
Analisis Kesesuaian Indikasi Terapi
amoksisilin, yang memiliki mekanisme kerja
menghambat pembentukan mukopeptida yang Jumlah pasien berdasarkan kesesuian indikasi
diperlukan untuk sintesis dinding mikroba. antibiotika pada pasien faringitis adalah sebagai
Golongan ini terhadap bakteri yang sensitif penisilin berikut:
akan menghasilkan efek bakterisid (membunuh
Indikasi dalam dunia kedokteran memiliki dua
kuman) pada mikroba yang sedang aktif membelah
definisi yang berbeda yaitu pertanda atau alasan.
sedangkan pada mikroba dalam keadaan metabolik
tidak lengkap tidak aktif (tidak membelah) praktis Dalam definisi yang pertama orang dengan kondisi
tidak dipengaruhi oleh penisilin kalau pun ada tertentu menampilkan indikasi atau tanda-tanda
pengaruhnya hanyak bersifat bakteriostatik bahwa mereka harus diperlakukan dengan cara
(menghambat pertumbuhan bakteri) Setiabudy, R tertentu. Selain itu gejala bisa juga menjadi indikasi
et.al., 2007). suatu penyakit dan dokter dapat menggunakan
gejala sebagai metode untuk mendiagnosa suatu
penyakit. Dalam definis kedua, indikasi adalah
Golongan makrolida yang digunakan yaitu alasan untuk membenarkan pengobatan atau terapi
Azitromisin, yang memiliki mekanisme kerja tertentu. Dokter dapat melakukan pemeriksaan fisik
47
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

atau hanya mendengarkan keluhan pasien untuk


menentukan tindakan terbaik. Kesesuaian indikasi Pada Tabel 4 menunjukan adanya kasus dosis
ini ditetapkan berdasarkan kriteria penggunaan kurang, kasus dosis kurang yang terjadi sebesar
obat yang disusun berdasarkan pustaka mutakhir 3,51% pemberian dosis yang kurang akan
yaitu American Society of Health-System mengakibatkan tidak tercapainya efek terapi yang
Pharmacists (AHFS Drug Information).
diinginkan dari obat tersebut dan tidak berefeknya
Jumlah pasien yang sesuai dengan indikasi antibiotik karena tidak dapat mencapai KHM (Kadar
sebesar 100,00%. Hal ini artinya terapi atau Hambat Minimum) dalam cairan tubuh, sehingga
pengobatan yang diberikan terhadap pasien telah mikroorganisme yang menginfeksi tidak mati,
sesuai denganJumlah pasien yang sesuai dengan kurangnya dosis dapat mengakibatkan resistensi
indikasi sebesar 100,00%. Hal ini artinya terapi atau bakteri yang tersisa dalam tubuh. Perhitungan dosis
pengobatan yang diberikan terhadap pasien telah dilakukan berdasarkan berat badan dan umur
sesuai dengan indikasinya, dengan demikian terapi pasien serta membandingkan dengan literatur atau
akan berjalan dengan baik dan rasional karena obat pustaka yang sah dan mutakhir.
antibiotik yang diberikan telah sesuai dengan
indikasi terapi dengan diagnosis faringitis. Kasus dosis kurang terjadi kepada dua orang
pasien dengan mengkonsumsi obat antibiotik
sefadroksil yaitu : pasien 1 dengan jenis kelamin
3. Analisis Kesesuaian Dosis perempuan, usia 3 tahun dan memiliki berat badan
13 kg, dimana dosis anak usia 1-6 tahun dalam
Kesesuaian dosis ditetapkan mengacu kepada
pustaka adalah 250 mg dua kali sehari, di dalam R/
beberapa pustaka yang sah dan mutakhir seperti
tertulis sefadroksil dry syrup 125mg/5mL sehari dua
AHFS Drug Information, United States of America.
kali satu sendok teh, setelah dilakukan perhitungan
Kesesuaian dosis antibiotika yang digunakan oleh
pemberian dosis didalam R/ pasien diberikan dosis
pasien faringitis adalah sebagai berikut:
1 sendok teh (5mL) atau 1 kali minum 125 mg dan
Tabel 4.Jumlah R/ Antibiotik Berdasarkan 1 hari minum 250 mg, sedangkan dalam pustaka
Kesesuaian Dosis dosis 1 kali minum 250 mg dan 1 hari minum 500
mg, sehingga dapat dikatakan pasien menerima
Golongan Nama Obat Dosis Dosis Dosis dosis kurang dilihat dari hasil perhitungan dengan
Obat Sesuai Kurang Lebih
Antibiotik ∑ % ∑ % ∑ % dosis dalam R/.
Penicilin Amoksisilin 2 3,51 0 0 0 0
Makrolida Azitromisin 4 7,02 0 0 0 0 Dan pasien 2 dengan jenis kelamin perempuan,
Sefalosporin
Generasi I Sefadroksil 13 22,81 2 3,51 0 0
usia 8 tahun 2 bulan dan memiliki berat badan 22
Sefaleksin kg, dimana dosis anak usia ≥6 tahun dalam
Generasi III pustaka adalah 500 mg dua kali sehari, di dalam R/
Sefiksim 35 61,40 0 0 0 0
tertulis cefat forte dry syrup 250mg/5mL sehari dua
Total R/ Kesesuaian Dosis 55 96,49 2 3,51 0 0
Total R/ Antibiotik 57 kali satu sendok teh, setelah dilakukan perhitungan
Keterangan : % = Persentase terhadap total R/ Antibiotik pemberian dosis didalam R/ pasien diberikan dosis
∑ = Jumlah R/ Antibiotik 1 sendok teh (5mL) atau 1 kali minum 250 mg dan
1 hari minum 500 mg, sedangkan berdasarkan
Pada evaluasi ini obat dikategorikan sesuai dosis pustaka dosis 1 kali minum 500 mg dan 1 hari
ketika jumlah yang diberikan berada pada rentang minum 1000 mg, sehingga dapat dikatakan pasien
dosis menurut pustaka. Dosis dinyatakan berlebih menerima dosis kurang dilihat dari hasil
jika jumlah yang diberikan lebih tinggi dari dosis perhitungan dengan dosis dalam R/. Penggunaan
tertinggi yang boleh diberikan dan dinyatakan antibiotika yang melebihi dosis maksimal akan
kurang jika lebih rendah dari dosis terendah yang
boleh diberikan.
48
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

meningkatkan efek samping antibiotika tersebut menyebabkan timbulnya resistensi pasien karena
dan dapat menyebabkan peningkatan efek toksik. tidak terjamin apakah mikroorganisme sudah
Dalam penelitian ini atu orang pasien menerima musnah atau belum sehingga akan memperlama
antibiotik dua macam (kombinasi) dan 55 pasien kesembuhan (Almasdy, D, et.al., 2013).
menerima antibiotik satu macam sehingga total
jumlah R/ antibiotika yang direseplak adalah 57 R/ Penghentian penggunaan antibiotik yang tidak tepat
dapat menyebabkan terjadinya resistensi.
4. Analisis Kesesuaian Lama Terapi Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap zat
antimikroba tertentu. Resistensi dapat terjadi
Kesesuaian lama terapi ditetpkan berdasarkan melalui beberapa mekanisme : mikroorganisme
kriteria penggunaan obat antibiotika untuk pasien menghasilkan enzim yang merusak zat aktif,
faringitis. Kriteria penggunaan obat yaitu mengacu mikroorganisme mengubah permaebilitas membran
kepada pustaka atau standar penggunaan terhadap obat, perubahan struktur sasaran obat,
antibiotika pada pasien faringitis seperti Clinical perubahan lintasan metabolisme, dan
Practice Guideline for the Diagnosis and mikroorganisme mengubah enzim yang berfungsi
Management of Group A Streptococcal Pharyngitis, untuk metabolismenya menjadi kurang aktif
AHFS Drug Information, United States of America terhadap obat.
dan beberapa pustaka lain.Kesesuaian lama terapi
penggunaan antibiotika pada pasien faringitis 5. Analisis Kombinasi Obat Antibiotik
adalah sebagai berikut:
Kombinasi obat adalah penggunaan obat secara
Tabel 5.Jumlah R/ Antibiotik Berdasarkan bersamaan lebih dari satu jenis obat yang memiliki
Kesesuaian Lama Terapi efek terapi sama dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Kombinasi obat ini dapat menguntungkan
Lama Lama Lama bila memperlihatkan efek yang sinergis dimana
Golongan Terapi Terapi Terapi
Obat Nama Obat Sesuai Kurang Lebih obat akan memberikan efek yang lebih besar
Antibiotik dibandingkan apabila diberikan secara tunggal.
∑ % ∑ % ∑ %
Penicillin Kombinasi obat biasanya diberikan pada infeksi
Amoksisilin 2 3,51 0 0 0 0
Makrolida
campuran, untuk mengatasi resistensi, untuk
Azitromisin 3 5,26 0 0 1 1,75
menghambat resistensi serta untuk mengurangi
Sefalosporin
toksisitas. Kerugian dari kombinasi obat yaitu
Generasi I Sefadroksil 14 24,56 0 0 1 1,75 apabila antibiotik yang bekerja secara bakterisid
Sefaleksin 0 0 1 1,75 0 0 pada mikroorganisme yang sedang tumbuh
Generasi III Sefiksim 31 54,39 4 7,02 0 0 dikombinasikan dengan antibiotika kedua yang
Total R/ Kesesuaian Lama
Terapi 50 87,72 5 8,77 2 3,50 bersifat bakteriostatik yang menghambat
Total R/ Antibiotik 57 pertumbuhan mikroorganisme sehingga kerja obat
Keterangan : % = Persentase terhadap total R/ antibiotik pertama yang bersifat bakterisidal akan terhambat.
∑ = Jumlah R/ Antibiotik Kombinasi antara antibiotika bakterisid-bakterisid
menghasilkan efek sinergis, bakteriostatik-
Lama terapi antibiotika sangat tergantung pada bakteriostatik menghasilkan efek aditif, dan
tingkat keparahan infeksi dan jenis bakteri yang bakterisid-bakteriostatik menghasilkan efek
menginfeksi. Secara umum ketidak tepatan lama antagonis.
pemberian ini adalah karena lama pemberian
antibiotika yang kurang dari yang telah ditetapkan Penggunaan kombinasi antibiotik pada pasien
oleh standar. Lama pemberian antibiotika yang faringitis adalah sebagai berikut:
pendek dapat menyebabkan munculnya kembali
gejala klinis yang telah hilang, bahkan dapat juga
49
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

Tabel 6.Jumlah Kombinasi Penggunaan Antibiotik Jenis


Berdasarkan Nama Antibiotik Potensi Interaksi ∑ Interaksi
Sefiksim + Lansoprazol 1 Minor
Nama ∑
Jenis Kombinasi Antibiotik Obat Sefiksim + Meloxicam 4 Minor
Azitromisin Sefadroksil + Becambion syrup 3 Minor
Sinergis 1 (komposisi Vit B1, vit B6, vit B5)
+ Sefiksim
Jumlah Total Kombinasi Obat 1 Sefadroksil + Elkana CL Emulsi
1 Minor
Jumlah Total Pasien 56 (komposisi vit B1, vit B6)
Keterangan : ∑ = Jumlah Kombinasi Obat Sefadroksil + ibuprofen 2 Minor
Sefadroksil + Na. Picosulfat 1 Moderat
Pada Tabel 6, kombinasi sinergis obat yang terjadi
Azitromisin + Setirizin 1 Minor
sebanyak 1 kejadian yaitu kombinasi antara
Azitromisin + Rhinofed
sefiksim dengan Azitromisinyaitu keduanya
(Komposisi Pseudoephedrin + 1 Moderat
mempunyai indikasi yang sama sebagai anti Terfenadin)
bakterial. Dan mempunyai cara kerja yang sama
Total Interaksi Obat 14
yaitu sefiksim mempunyai aktivitas antimikroba Total Pasien 56
bakterisid dan Azitromisinmempunyai aktivitas Keterangan : ∑ = Jumlah Kejadian Potensi Interaksi
antimikroba bakterisid sehingga bekerja dengan
efek sinergis. Mekanisme kerja sefiksim Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat
menghambat sintesis atau merusak dinding sel akibat pemakaian obat lain, makanan, obat
mikroba sedangkan Azitromisin merupakan tradisional, atau senyawa kimia lain. Hasil yang
golongan makrolida mempengaruhi sintesis protein terjadi dapat berbahaya jika interaksi tersebut
bakteri dengan cara berikatan dengan subunit 50s meningkatkan toksisitas dari obat. Selain
ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peningkatan toksisitas dapat pula terjadi penurunan
peptida (Menkes RI, 2011). Penggunaan antibiotika efek yang tidak kalah berbahaya pula pada
kombinasi ini sangat bermanfaat pada terapi infeksi penggunaan obat tertentu. Namun selain
empirik yang belum diketahui jenis mikroorganisme menghasilkan efek suatu efek yang tidak
penyebab infeksi. Selain itu dapat juga untuk dibutuhkan dan merugikan, interaksi juga dapat
mengobati infeksi campuran dan memperlambat menguntungkan pada saat suatu obat dapat
timbulnya resistensi (Almasdy, 2013). mencapai efek yang diinginkan apabila digunakan
secara bersamaan dengan obat lainnya (Baxter K,
6. Analisis Potensi Interaksi Obat 2008). Pada penelitian ini interaksi terjadi antara
obat dengan obat.
Potensi interaksi obat yang ditemukan pada
pemberian antibiotika dan obat lain yang digunakan Pada Tabel 7, Jumlah Potensi Interaksi Antibitoik
pasien faringitis adalah sebagai berikut Berdasarkan Tingkat Keparahan dan Nama Obat
Antibiotik. Berdasarkan tabel tersebut dapat
diketahui bahwa frekuensi potensi interaksi tertinggi
adalah sefiksim + meloxicam dengan jumlah
kejadian sebanyak 4 dimana jenis interaksi minor
yaitu tidak begitu bermasalah dan dapat diatasi
dengan baik. Derajat keparahan akibat interaksi
diklasifikasikan menjadi minor (tidak begitu
masalah,dapat diatasi dengan baik), moderat (efek
Tabel 7.Jumlah Potensi Interaksi Antibiotik sedang, dapat menyebabkan kerusakan organ),
Berdasarkan Tingkat Keparahan dan mayor (efek fatal, dapat menyebabkan kematian)
Nama Obat Antibiotik (Tatro D.S, 2001).
50
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

sebanyak 1 (satu) pasien. Tidak terdapat duplikasi,


Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila namun terdapat potensi interaksi obat dengan
berakibat mengingkatkan toksisitas atau jumlah 14 kasus dengan kategori minor.
mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi.
Insiden interaksi obat yang penting dalam klinik DAFTAR PUSTAKA
sukar diperkirakan karena dokumentasinya masih
kurang juga sering lolos dari pengamatan karena Alberta Medical Association. (2008) : The Diagnosis
kurangnya pengetahuan profesional kesehatan and Management of Acute Pharyngitis. Alberta
akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya Clinical Practice Guidelines Program.
interaksi obat sehingga interaksi obat berupa Almasdy, Dedi., Deswinar, dan Helen. (2013) :
peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Suatu
reaksi terhadap salah satu obat sedangkan Rumah Sakit Pemerintah di Kota Padang.
interaksi berupa penurunan efektvitas seringkali Prosiding Seminar Nasional Perkembangan
diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit. Terkini Sains Farmasi dan Klinik III, ISSN: 2339-
2592, 7-15.
7. Analisis Duplikasi Obat Antibiotik American Society of Health-System Pharmacists.
(2008) : AHFS Drug Information, United States
Duplikasi obat adalah penggunaan dua atau lebih of America.
obat dalam satu golongan atau obat golongan lain Baxter, K. (2008) : Stockley’s Drug Interactions
tetapi memiliki mekanisme kerja yang sama pada Eighth Edition. UK PhP Pharmaceutical Press,
waktu bersamaan. Kasus duplikasi ini terjadi pada London
umunya terjadi ketika menggunakan dua jenis Bisno, A. L., Gerber, M. A., Gwaltney, J. M.,
antibiotika yang hanya berbeda nama dagang. Kaplan, J. E., dan Schwartz, R. H. (2002) :
Kasus duplikasi penggunaan antibiotika seharusnya Practice Guidelines for the Diagnosis and
dihindari karena selain penggunaan antibiotika Management of Group A Streptococcal
yang tidak efisien, kemungkinan meningkatnya efek Pharyngitis. Clinical Infectious Diseases, 35,
samping dan timbulnya reaksi toksisitas obat besar 113-125.
sehingga merugikan pasien. Kasus duplikasi juga Departemen Kesehatan RI. (2005) : Pharmaceutical
merugikan pasien dalam meningkatkan biaya Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
perawatan. Pada penelitian ini tidak ditemukan Pernapasan, Jakarta, Direktorat Jenderal Bina
duplikasi pemberian obat antibiotik pada pasien Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
faringitis. Departemen Kesehatan RI. (2013) : Riskesdas,
Jakarta, Departemen Kesehatan RI.
KESIMPULAN Dertarani, Vindi. (2009) : Evaluasi Penggunaan
Antibiotik Berdasarkan Kriteria Gyssens Di
Hasil Evaluasi Penggunaan Obat Antibiotika pada Bagian Ilmu Bedah Rsup Dr Kariadi. Laporan
pasien faringitis pada 56 pasien yang diteliti Akhir Penelitian Karya Tulis Ilmiah, Fakultas
meliputi pasien anak 53,57% dan pasien dewasa Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang.
46,43%. Seluruh pasien yang diteliti (100,00%) Dewi, A.A. Agustia Sinta., Noviyani, Rini., Niruri,
menerima terapi antibiotik. Antibiotik yang banyak Rasamaya., Suherman, F.S., dan Triyasa, I
digunakan adalah golongan sefalosporin (89,29%), Putu. (2013) : Penentuan Streptococcus Group
dengan sefiksim (60,71%). Semua pasien A Penyebab Faringitis Pada Anak
menerima antibiotika dengan indikasi sesuai, Menggunakan McIsaac dan Rapid Antigen
kesesuaian dosis sebesar 96,49%, kesesuaian Detection Test (RADT) Dalam Upaya
lama terapi sebesar 87,72%, penggunaan Penggunaan Antibiotika Secara Bijak. Jurnal
antibiotika kombinasi yang memiliki efek sinergis Biologi, 17, 6-9.
51
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung

Halim, Fitria. (2012) : Hubungan Faktor Lingkungan Siregar, Charles. J.P., dan Amalia, Lia. (2003)
Fisik Dengan Kejadian Infeksi Saluran :Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan,
Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pekerja Di Jakarta, EGC.
Industri Mebel Dukuh Tukrejo, Desa Bondo, Tatro, D.S. (2001) : Drug Interaction Facts, Edisi
Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, kelima, St Louis Missouri, A Wolters Kluwer
Propinsi Jawa Tengah 2012, Skripsi, Fakultas Company.
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Depok.
Ismayati, Shadiah Nurul. (2010) : Evaluasi Antibiotik
Pada Pasien Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Dewasa di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr.
Moewardi Surakarta Tahun 2008, Skripsi,
Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Malino, I. Y., Utama, D. L., dan Soenarto, Y. (2013):
McIsaac criteria for diagnosis of acute group-A
β-hemolytic streptococcal pharyngitis.
Paediatrica Indonesiana, 53, 258-263.
Menteri Kesehatan., Republik Indonesia. (2011) :
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011.
Jakarta.
Menteri Kesehatan., Republik Indonesia. (2014) :
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah
Sakit. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 58. Jakarta.
Noor, Nur Nasry Prof. Dr. M.PH. (2008) :
Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta.
Setiabudy, R., S.G. Gunawan., Nafrialdi., dan
Elysabeth. (2007) : Farmakologi dan Terapi,
edisi 5, Jakarta, Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Shulman, S. T., Bisno, A. L., Clegg, H. W., Gerber,
M. A., Kaplan, E. L., dan Lee, G. (2012) :
Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and
Management of Group A Streptococcal
Pharyngitis: 2012 Update by the Infectious
Diseases Society of America. Clinical Infectious
Diseases Society of America, 1-17.
Siregar, Charles. J.P., dan Kumulosasi, E. (2005) :
Farmasi Klinik Teori dan Penerapan, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

52
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
45
Sasangka & Witanti, Sistem Pakar
Diagnosa Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Menggunakan Teorema Bayes
Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak
Menggunakan Teorema Bayes

Expert System to Diagnose Acute Respiratory Infection in Children


Using the Bayes Theorem

Bangkit Sasangka1, Arita Witanti2


12
Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta,
Jl. Wates Km. 10 Yogyakarta 55753, Indonesia
Email: 1bangkitsasangka13@gmail.com, 2arita@mercubuana-yogya.ac.id

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama morbiditas dan moralitas
penyakit menular pada anak-anak. ISPA terutama terjadi di negara-negara dengan pendapatan
perkapita rendah dan menengah termasuk Indonesia. Saat ini masih banyak orang tua yang belum
mengetahui penyakit khususnya penyakit ISPA yang menimpa pada buah hati mereka. Pada
penelitian ini digunakan metode Teorema Bayes. Teorema Bayes adalah teorema yang digunakan
dalam statistika untuk menghitung peluang suatu hipotesis. Untuk variabel yang digunakan dalam
penghitungan yakni 17 gejala dan 4 penyakit serta bobot-bobot gejala terhadap masing-masing
penyakit. Berdasarkan 30 data yang telah diujikan terhadap pakar dan sistem, sistem dapat mendeteksi
4 penyakit yaitu influenza like common, bronkhitis, faringitis dan tonsilitis. untuk pasien yang
menderita penyakit ISPA dan sesuai dengan validasi dokter adalah 25 pasien dan yang tidak sesuai
adalah 5 pasien. Berdasarkan hasil validasi pakar (dokter) dan sistem, diperoleh akurasi 83,33% data
kasus yang sesuai.

Kata Kunci : Anak-anak, ISPA, Teorema Bayes.

ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) is the main cause of morbidity and morality of infectious diseases in
children. ARI mainly occurs in countries with low and middle income per capita, including Indonesia.
Currently, there are still many parents who do not know about diseases, especially ARI that infects
their children. In this study, the Bayes Theorem method was used. Bayes theorem is the theorem used
in statistics to calculate the probability of a hypothesis. The variables used in the calculation were 17
symptoms and 4 diseases as well as symptom weights for each disease. Based on 30 data that have
been tested on experts and systems, the system can detect 4 diseases, namely influenza like common,
bronchitis, pharyngitis and tonsillitis. For patients suffering from ARI and in accordance with the
doctor's validation, there were 25 patients and those who did not match were 5 patients. Based on the
validation results of the experts and the system, the accuracy was 83.33% .

Keywords: Naïve Bayes, Skull cap, SPK

1. PENDAHULUAN tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%),


Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara
adalah terinfeksinya saluran pernafasan atas Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%).
maupun disaluran pernafasan bawah yang Proporsi kematian anak yang disebabkan oleh
disebabkan oleh virus, yang sering terjadi pada ISPA mencapai 20-30%. (Depkes, 2008)
anak usia 2-5 tahun. Infeksi Saluran Pernafasan Berbagai upaya telah dilakukan oleh
Akut (ISPA) disebabkan oleh virus atau bakteri. pemerintah untuk mengendalikan penyakit
Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah ISPA, dimulai sejak tahun 1984 bersamaan
satu atau lebih gejala misalnya tenggorokan dengan diawalinya pengendalian ISPA
sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau ditingkat global oleh WHO. Namun sampai
berdahak. ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 saat, upaya tersebut belum memperlihatkan
bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA hasik yang signifikan. Kasus ISPA masih
46
Jurnal Multimedia & Artificial Intelligence, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2019

banyak ditemukan ditempat pelayanan 2.3. Torema Bayes


kesehatan, baik tingkat puskesmas maupun Teorema Bayes adalah teorema yang
ditingkat rumah sakit. Keluarga memiliki digunakan dalam statistika untuk menghitung
peranan penting dalam melakukan upaya peluang untuk suatu hipotesis. Bayes Optimal
pencegahan dan perawatan anak yang Classifier menghitung peluang dari suatu kelas
menderita ISPA. Hal ini dikarenakan usia anak dari masing-masing kelompok atribut yang ada,
belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan menentukan kelas mana yang paling
sehingga membutuhkan bantuan dari orang lain, optimal (Hulaifah, Nasution, & Anra, 2016).
terutama ibu. Ibu adalah pemberi asuhan primer Dalam teorema bayes langkah awal dari
bagi anak yang sakit kronik. (Kemenkes & perhitungan yag dilakukan adalah mencari nilai
Ditjen, 2012) semesta hipotesa (H) yang terdapat pada
Kondisi diatas mendorong munculnya evidence kemudian dijumlahkan semua nilai
penelitian Sistem Pakar Diagnosa Penyakit probabilitas evidence dari pakar. Untuk langkah
Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak – langkah lebih jelasnya dapat dilihat pada
Menggunakan Teorema Bayes”. Persamaan 2.3 sampai Persamaan 2.7, adalah
sebagai berikut :
2. TINJAUAN PUSTAKA a. Mencari nilai semesta
2.1. Tinjauan Pustaka
2.2. Infeksi = 01 + 02 + 03 + ⋯
Infeksi merupakan proses invasi dan
multiplikasi berbagai mikroorganisme ke dalam ( 1)
tubuh (seperti bakteri, virus, jamur, dan b. Menghitung nilai semesta P(Hi)
parasit), yang saat dalam keadaan normal, 1,2, …
mikroorganisme tersebut tidak terdapat di P(H1,2, . . . ) =

dalam tubuh. Sebenarnya, di beberapa tempat
( 2)
dalam tubuh kita pun, seperti di dalam mulut
c. Menghitung probabilitas H
atau usus, terdapat banyak mikroorganisme
yang hidup secara alamiah dan biasanya tidak
= ( )× ( | )−
menyebabkan infeksi. Namun, dalam beberapa
kondisi, beberapa mikroorganisme tersebut juga
( 3)
dapat menyebabkan penyakit. Bakteri, virus,
d. Mencari nilai P(Hi|E)
jamur, dan parasit memiliki berbagai cara untuk ( | )× ( )
masuk ke dalam tubuh. Cara penularannya ( | )=
dibagi menjadi kontak langsung dan tidak ( )
langsung. Kontak langsung terdiri atas ( 4)
penyebaran orang ke orang (misalnya dari e. Menghitung total nilai bayes
bersin, kontak seksual, atau semacamnya),
= 1+ 2+⋯
hewan ke orang (gigitan atau cakaran binatang,
kutu dari binatang peliharaan), atau dari ibu ( 5)
hamil ke anaknya yang belum lahir melalui 2.4. Sistem Pakar
plasenta. Kontak tidak langsung terdiri atas Sistem pakar adalah sebuah sistem atau
gigitan serangga yang hanya menjadi pembawa sebuah program komputer, yang dirancang
dari mikroorganisme atau vektor (seperti untuk memodelkan kemampuan menyelesaikan
nyamuk, lalat, kutu, tungau) dan kontaminasi masalah, seperti peran dari seorang pakar di
air atau makanan. Setelah masuk ke dalam bidang ilmunya masing – masing. Sistem pakar
tubuh, mikroorganisme tersebut mengakibatkan dibuat dan dikembangkan untuk mempermudah
beberapa perubahan. Mikroorganisme tersebut user atau pengguna komputer agar mampu
memperbanyak diri dengan caranya masing- memahami berbagai macam hal yang ingin
masing dan menyebabkan cedera jaringan diketahui, namun user tidak memiliki akses
dengan berbagai mekanisme yang mereka langsung terhadap pakar atau ahli yang
punya, seperti mengeluarkan toksin, memahami tentang keingintahuannya. Sistem
mengganggu DNA sel normal, dan sebagainya. pakar sengaja dibuat dan dikembangkan dengan
(Zulmiyusrini, 2015) cara mengadopsi pola pikir dan pengetahuan
47
Sasangka & Witanti, Sistem Pakar
Diagnosa Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Menggunakan Teorema Bayes

manusia (yang dalam hal ini adalah seorang DFD level 0 yang merupakan penjabaran
expert atau pakar), yang ditujukan untuk dari diagram konteks, dapat dilihat pada
mencari sebuah atau beberapa buah solusi yang Gambar 2.
memuaskan user-nya seperti ketika seorang
pakar atau ahli memberikan penjelasan kepada
murid atau penanyaannya. (Dini, 2015)

3. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan yang digunakan pada sistem pakar
diagnosa penyakit infeksi saluran pernafasan
akut pada anak dengan metode Teorema Bayes
adalah sebagai berikut : Gambar 2. DFD Level 0.
1. Jurnal dan buku yang membahas
mengenai penyakit infeksi saluran 3.2.2 Basis Pengetahuan
pernafasan akut, sistem pakar, dan Basis pengetahuan dirancang dengan
metode teorema bayes. beberapa data yaitu data penyakit, data gejala,
2. Data hasil wawancara dengan dokter data rule, dan bayes, data dapat dilihat pada
Syarifa di Puskesmas Depok 3 Tabel 1.
mengenai gejala penentu diagnosa
penyakit infeksi saluran pernafasan Tabel 1 Data penyakit
akut. Kode Penyakit Nama Peyakit
3. Data rekam medis pasien sejumlah 30 PNY01 Influenza Like
data yang diperoleh dari Puskesmas Common (ILI)
Depok 3. PNY02 Bronkhitis
PNY03 Faringitis
3.1. Akuisisi Pengetahuan PNY04 Tonsilitis
Akuisisi pengetahuan merupakan
kegiatan untuk mencari dan megumpulkan data Tabel 2. Data Rule
untuk analisis kebutuhan perangkat lunak yang Kode
bersumber dari seorang pakar. Aturan
Penyakit
IF GJ01 AND GJ02 AND GJ03 ANG
3.2. Representasi Pengetahuan GJ04 AND GJ05 AND GJ06 AND GJ09
3.2.1. Perancangan DFD PNY01 AND GJ10 ANG GJ11 THEN PNY01
Data Flow Diagram (DFD) merupakan
IF GJ 01 AND GJ02 AND GJ03 AND
diagram alir data yang menggambarkan
GJ04 AND GJ 05 AND GJ06 AND GJ12
bagaimana data di proses oleh sistem. Data
PNY02 AND GJ13 THEN PNY02
Flow Diagram juga menggambarkan notasi
IF GJ01 AND GJ02 AND GJ03 AND
aliran data di dalam sistem.
GJ06 AND GJ07 AND GJ08 AND GJ16
Diagram konteks memiliki sebuah proses
PNY03 AND GJ15 THEN PNY03
untuk penentuan penyakit kulit pada manusia
IF GJ01 AND GJ02 AND GJ04 AND
dengan tiga entity yaitu pasien, admin dan user
GJ06 AND GJ07 AND GJ08 AND GJ14
seperti pada Gambar 1
PNY04 AND GJ16 AND GJ17 THEN PNY04

Tabel 3. Bayes
No Nilai Teorema Bayes
Bayes
1. 0 – 0.2 Tidak ada
2. 0.3 – 0.4 Mungkin
3. 0.5 – 0.6 Kemungkinan Besar
4. 0.7 – 0.8 Hampir Pasti
Gambar 1. Diagram Context 5. 0.9 - 1 Pasti
48
Jurnal Multimedia & Artificial Intelligence, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2019

Tabel 4. Data Gejala 4. PEMBAHASAN


Dalam Perancangan sistem pakar ini
menggunakan metode teorema bayes. Teorema
bayes dimulai dari mencari nilai semesta total
bobot gejala dari tiap penyakit lalu menghitung
nilai semesta P(Hi) di lanjutkan dengan
menghitung probalitas (H) tanpa memandang
evidence apapun barulah mencari nilai P (Hi |E)
dan langkah terakhir menjumlahkan nilai bayes.
Dalam proses perhitungan teorema bayes
pada sistem pakar diagnosa penyakit infeksi
saluran pernafasan akut adalah sebagai berikut :

Tabel 5 Sampel data


No Nama Umur Gejala
Pasien
1 Pasien 3 GJ01, GJ02,
01 GJ04, GJ06,
GJ07, GJ15 &
GJ16

3.2.3. Perancangan Database Keterangan:


Perancangan database dapat dilihat pada Langkah-langkah perhitungannya adalah
Gambar 3. sebagai berikut :
a. Step 1 Permasalahan
Diketahui daftar penyakit pada Tabel 5
 Rule sistem
- Rule gejala terpilih adalah :
► GJ01, GJ02, GJ04 & GJ06 pada PNY01
► GJ01, GJ02, GJ04 & GJ06 pada PNY02
► GJ01, GJ02, GJ06, GJ07, GJ15 & GJ16
pada PNY03
Gambar 3. Database ► GJ01, GJ02, GJ04, GJ06, GJ07 & GJ15
pada PNY04
3.2.4. Flowchart sistem - Rule Sistem
Flowchart sistem dapat dilihat pada Gambar 4 ► Rule PNY01 adalah GJ01 AND GJ02
AND GJ03 AND GJ04 AND GJ05
AND GJ06 AND GJ09 AND GJ10
AND GJ11 THAN PNY01.
► Rule PNY02 adalah GJ01 AND GJ02
AND GJ03 AND GJ04 AND GJ05
AND GJ06 AND GJ12 AND GJ13
THAN PNY02.
► Rule PNY03 adalah GJ01 AND GJ02
AND GJ03 AND GJ06 AND GJ07
AND GJ08 AND GJ16 AND GJ15
THAN PNY03.
► Rule PNY04 adalah GJ01 AND GJ02
AND GJ04 AND GJ06 AND GJ07
AND GJ08 AND GJ14 AND GJ16
AND GJ17 THAN PNY04.
Gambar 4. Flowchart sistem - Dimana
► GJ01 = Demam
► GJ02 = Batuk-batuk
49
Sasangka & Witanti, Sistem Pakar
Diagnosa Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Menggunakan Teorema Bayes

► GJ04 = Sakit kepala/pusing - Mencari nilai P(Hi|E)


► GJ06 = Sakit tenggorokan/nyeri telan ► P(H1|E) = ( P(H1) *
► GJ07 = Nafsu makan berkurang/susah P(E|H1)/H=(0.263*0.5)/0.496 = 0.265
makan ► P(H2|E) = ( P(H1) *
► GJ15 = Nyeri telinga P(E|H1)/H=(0.312*0.6)/0.496 = 0.377
► GJ16 = Tenggorokan merah dan ► P(H3|E) = ( P(H1) *
bengkak P(E|H1)/H=(0.263*0.5)/0.496 = 0.265
► P(H4|E) = ( P(H1) *
b. Step 3 nilai probabilitas pakar gejala P(E|H1)/H=(0.157*0.3)/0.496 = 0.094
terhadap penyakit. - Menghitung total nilai bayes
Nilai probabilitas yang diberikan pakar Nilai Bayes = (0.5*0.265) + (0.6*0.377) +
untuk masing-masing gejala terhadap (0.5*0.265) + (0.3*0.094)
penyakit. = 0.132 + 0.226 + 0.132 + 0.028
- nilai probabilitas gejala pada PNY01. = 0.518
►GJ01= 0.5 Pada GJ01, GJ02, GJ04, dan GJ06 pada rule
►GJ02= 0.6 PNY01 diperoleh nilai 0.518, jika dicocokkan
►GJ04= 0.5 dengan Tabel aturan bayes maka hasilnya 0.5-
►GJ06= 0.3 0.7 yang artinya “Kemungkinan Besar”.
- nilai probabilitas gejala pada PNY02.  GJ01, GJ02, GJ04 & GJ06 pada rule PNY02.
►GJ01= 0.3 - Mencari nilai semesta
►GJ02= 0.7 Nilai Semesta = 0.3+0.7+0.7+0.5
►GJ04= 0.7 = 2.2
►GJ06= 0.5 - Menghitung nilai semesta P(Hi)
- nilai probabilitas gejala pada PNY03. ► P(H1) = 0.3/2.2 = 0.136
►GJ01= 0.6 ► P(H2) = 0.7/2.2 = 0.318
►GJ02= 0.7 ► P(H3) = 0.7/2.2 = 0.318
►GJ06= 0.7 ► P(H4) = 0.5/2.2 = 0.227
►GJ07= 0.3 - Menghitung probabilitas H tanpa tanpa
►GJ15= 0.8 memandang evidence apapun
►GJ16= 0.8 ► P(H1) * P(E|H1)= 0.136 * 0.3 = 0.040
- nilai probabilitas gejala pada PNY04. ► P(H2) * P(E|H2)= 0.318 * 0.7 = 0.222
►GJ01= 0.5 ► P(H3) * P(E|H3)= 0.318 * 0.7 = 0.222
►GJ02= 0.5 ► P(H4) * P(E|H4)= 0.227 * 0.5 = 0.113
►GJ04= 0.5 Total Hipotesa (H) = 0.597
►GJ06= 0.8 - Mencari nilai P(Hi|E)
►GJ07= 0.4 ► P(H1|E) = ( P(H1) *
►GJ15= 0.5 P(E|H1)/H=(0.136*0.3)/0.597 = 0.067
Langkah perhitungan adalah sebagai berikut : ► P(H2|E) = ( P(H1) *
 GJ01, GJ02, GJ04 & GJ06 pada rule PNY01. P(E|H1)/H=(0.318*0.7)/0.597 = 0.371
- Mencari nilai semesta ► P(H3|E) = ( P(H1) *
Nilai Semesta = 0.5+0.6+0.5+0.3 P(E|H1)/H=(0.318*0.7)/0.597 = 0.371
= 1.9 ► P(H4|E) = ( P(H1) *
- Menghitung nilai semesta P(Hi) P(E|H1)/H=(0.227*0.5)/0.597 = 0.189
► P(H1) = 0.5/1.9 = 0.263 - Menghitung total nilai bayes
► P(H2) = 0.6/1.9 = 0.312 Nilai Bayes = (0.3*0.067) + (0.7*0.371) +
► P(H3) = 0.5/1.9 = 0.263 (0.7*0.371) + (0.5*0.189)
► P(H4) = 0.3/1.9 = 0.157 = 0.020 + 0.259 + 0.259 + 0.094
- Menghitung probabilitas H tanpa = 0.632
memandang evidence apapun Pada GJ01, GJ02, GJ04, dan GJ06 pada rule
► P(H1) * P(E|H1)= 0.263 * 0.5 = 0.131 PNY01 diperoleh nilai 0.632, jika dicocokkan
► P(H2) * P(E|H2)= 0.312 * 0.6 = 0.187 dengan Tabel aturan bayes maka hasilnya 0.5-
► P(H3) * P(E|H3)= 0.263 * 0.5 = 0.131 0.7 yang artinya “Kemungkinan Besar”.
► P(H4) * P(E|H4)= 0.157 * 0.3 = 0.047  GJ01, GJ02, GJ06, GJ07, GJ15 & GJ16 pada
Total Hipotesa (H) = 0.496 rule PNY03.
50
Jurnal Multimedia & Artificial Intelligence, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2019

- Mencari nilai semesta ► P(H1) = 0.4/3.2 = 0.125


Nilai Semesta = 0.6+0.7+0.7+0.3+0.8+0.8 ► P(H2) = 0.5/3.2 = 0.156
= 3.9 - Menghitung probabilitas H tanpa tanpa
- Menghitung nilai semesta P(Hi) memandang evidence apapun
► P(H1) = 0.6/3.9 = 0.153 ► P(H1) * P(E|H1)= 0.156 * 0.5 = 0.078
► P(H2) = 0.7/3.9 = 0.179 ► P(H2) * P(E|H2)= 0.156 * 0.5 = 0.078
► P(H3) = 0.7/3.9 = 0.179 ► P(H3) * P(E|H3)= 0.156 * 0.5 = 0.078
► P(H4) = 0.3/3.9 = 0.076 ► P(H4) * P(E|H4)= 0.25 * 0.8 = 0.2
► P(H5) = 0.8/3.9 = 0.205 ► P(H5) * P(E|H3)= 0.125 * 0.4 = 0.05
► P(H6) = 0.8/3.9 = 0.205 ► P(H6) * P(E|H4)= 0.156 * 0.5 = 0.078
- Menghitung probabilitas H tanpa tanpa Total Hipotesa (H) =0.562
memandang evidence apapun - Mencari nilai P(Hi|E)
► P(H1) * P(E|H1)= 0.153 * 0.6 = 0.091 ►P(H1|E) = ( P(H1) *
► P(H2) * P(E|H2)= 0.179 * 0.7 = 0.125 P(E|H1)/H=(0.156*0.5)/0.562 = 0.138
► P(H3) * P(E|H3)= 0.179 * 0.7 = 0.125 ► P(H2|E) = ( P(H1) *
► P(H4) * P(E|H4)= 0.076 * 0.3 = 0.022 P(E|H1)/H=(0.156*0.5)/0.562 = 0.138
► P(H5) * P(E|H3)= 0.205 * 0.8 = 0.164 ► P(H3|E) = ( P(H1) *
► P(H6) * P(E|H4)= 0.205 * 0.8 = 0.164 P(E|H1)/H=(0.156*0.5)/0.562 = 0.138
Total Hipotesa (H) = 0.691 ► P(H4|E) = ( P(H1) *
- Mencari nilai P(Hi|E) P(E|H1)/H=(0.25*0.8)/0.562 = 0.355
► P(H1|E) = ( P(H1) * ► P(H5|E) = ( P(H1) *
P(E|H1)/H=(0.153*0.6)/0.691 = 0.131 P(E|H1)/H=(0.125*0.4)/0.562 = 0.088
► P(H2|E) = ( P(H1) * ► P(H6|E) = ( P(H1) *
P(E|H1)/H=(0.179*0.7)/0.691 = 0.180 P(E|H1)/H=(0.156*0.5)/0.562 = 0.138
► P(H3|E) = ( P(H1) * - Menghitung total nilai bayes
P(E|H1)/H=(0.179*0.7)/0.691 = 0.180 Nilai Bayes = (0.5*0.138) + (0.5*0.138) +
► P(H4|E) = ( P(H1) * (0.5*0.138) + (0.8*0.355) +
P(E|H1)/H=(0.076*0.3)/0.691 = 0.031 (0.4*0.088) + (0.5*0.138)
► P(H5|E) = ( P(H1) * = 0.069+ 0.069 + 0.069 + 0.284 +
P(E|H1)/H=(0.205*0.8)/0.691 = 0.237 0.035 + 0.069
► P(H6|E) = ( P(H1) * = 0.595
P(E|H1)/H=(0.205*0.8)/0.691 = 0.237 Pada GJ01, GJ02, GJ06, GJ07, GJ15 dan GJ16
- Menghitung total nilai bayes pada rule PNY04 diperoleh nilai 0.595, jika
Nilai Bayes = (0.6*0.131) + (0.7*0.180) + dicocokkan dengan Tabel aturan bayes maka
(0.7*0.180) + (0.3*0.031) + (0.8*0.237) + hasilnya 0.5-0.7 yang artinya “Kemungkinan
(0.8*0.237) Besar”.
= 0.078+ 0.126 + 0.126 + 0.009 + Dari hasil perhitungan data sampel pengujian
0.189 + 0.189 diatas didapat bahwa diagnosa kemungkinan
= 0.717 penyakit infeksi saluran penafasan akut pada
Pada GJ01, GJ02, GJ06, GJ07, GJ15 dan anak pasien dengan nama Pasien 1 dapat dilihat
GJ16 pada rule PNY03 diperoleh nilai 0.717, pada Tabel berikut:
jika dicocokkan dengan Tabel aturan bayes
maka hasilnya 0.7-0.9 yang artinya “Hampir Tabel 6. Hasil Hitung
Pasti”. Nama Hasil Hasil Aturan
 GJ01, GJ02, GJ06, GJ07, GJ15 & GJ16 pada Pasien penyakit hitung inferensi
rule PNY04. Pasien Influenza 0.518 Kemungkinan
- Mencari nilai semesta 1 Like Besar
Nilai Semesta = 0.5+0.5+0.5+0.8+0.4+0.5 Common
= 3.2 Bronkhitis 0.632 Kemungkinan
- Menghitung nilai semesta P(Hi) Besar
► P(H1) = 0.5/3.2 = 0.156 Faringitis 0.717 Hampir
► P(H2) = 0.5/3.2 = 0.156 pasti
► P(H3) = 0.5/3.2 = 0.156 Tonsilitis 0.595 Kemungkinan
► P(H4) = 0.8/3.2 = 0.25 Besar
51
Sasangka & Witanti, Sistem Pakar
Diagnosa Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Menggunakan Teorema Bayes

Dari Tabel 6 hasil hitung diambil nilai Apriana, R. (2013). Perancangan Sistem Pakar
paling tinggi dari setiap gejala terpilih yang Diagnosa Penyakit Paru-Paru pada
dihitung berdasarkan penyakit yang ada, Anak Forward Chaining dan Backward
didapatkan bahwa penyakit “FARINGITIS” Chaining. Jurnal INFOTEKMESIN, 24-
mendapat nilai paling tinggi yaitu 0.717, 33.
selanjutnya dicocokan dengan Tabel aturan
Depkes. (2008). Buku Bagan Manajemen
bayes yaitu nilai 0.7-0.8 adalah “Hampir pasti".
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta.
Maka pasien dengan nama PSN01 didiagnosa
menderita penyakit “Faringitis”. Dini. (2015, Desember 30). Pengertian Sistem
Pakar. Sistem Pakar, hal. 1-3.
5. KESIMPULAN Kemenkes, & Ditjen. (2012). Lihat dan
Dari penelitian yang dilakukan, Dengarkan dan Selamatkan Balita
kesimpulan yaitu sistem yang dirancang dengan Indonesia dari Kematian; Modul
implementasi metode teorema bayes dapat Tatalaksana Standar Pneumonia.
digunakan untuk membantu dalam diagnosis PP&PL.
penyakit infeksi saluran pernafasan akut pada
anak, hasil implementasi dapat berjalan sesuai Marianti. (2018). Infeksi Saluran Sernapasan
dengan desain, berdasarkan 30 data yang telah Akut (ISPA). ISPA, hal. 1-5.
diujikan terhadap pakar dan sistem, untuk Mutsaqof, A. A. (2015, Juni). Sistem Pakar
pasien yang menderita penyakit infeksi saluran Untuk Mendiagnosis Penyakit Infeksi
pernafasan akut dan sesuai dengan validasi Menggunakan Forward Chaining.
dokter adalah 30 pasien dan yang tidak sesuai JURNAL ITSMART, Vol 4. No 1., 43-
adalah 5 pasien. Sehingga untuk tingkat akurasi 47.
sistem berdasarkan hasil validasi pakar (dokter)
dan sistem, diperoleh presentase 83.33% data Octavina dkk. (2014). Sistem Pakar Untuk
kasus yang sesuai, serta 16.67% data kasus Mendiagnosa Penyakit Pada Saluran
yang tidak sesuai. Pernafasan dan Paru Menggunakan
Metode Certainty Factor. Jurnal
6. UCAPAN TERIMA KASIH Sarjana Teknik Informatika, 1123-
Dengan selesainya penelitian penulis 1132.
ucapakan terima kasih kepada Dokter Syarifah Samsudin. (2017). Aplikasi Sistem Pakar
Nur yang telah membantu pembuatan serta Diagnosa Penyakit Pernafasan
memberian data dan bobot untuk sistem pakar Menggunakan Metode Case-Based
infeksi saluran pernafasan aku pada anak di Reasoning. JURNAL IPTEKS
Puskesmas Depok III. TERAPAN, 272-282.
DAFTAR PUSTAKA Zulmiyusrini, P. (2015, Februari 07). Definisi
Amborowati, A. (2016, Februari). ANALISIS Infeksi. Infeksi, hal. 1-4.
DAN PERANCANGAN SISTEM Zunaidi, M. (2017). Penerapan Sistem Pakar
PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT Untuk Mendeteksi Penyakit Infeksi
MEMATIKAN PADA PEREMPUAN Saluran Pernafasan Dengan Metode
MENGGUNAKAN METODE BAYES Dempster Shafer. Jurnal Ilmiah
(Studi Kasus : Asri Medical Center). Saintikom, 163-171.
Seminar Nasional Teknologi Informasi
dan Multimedia 2016, 6-7.
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ISPA
NON-PNEUMONIA ANAK RAWAT JALAN
DI RSUD KOTA TANGERANG SELATAN

Nurwulan Adi Ismaya


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kharisma Persada
Tangerang Selatan, 15417
E-mail: wulan.ismaya@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi Saluran Pernapasan Akut masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak
ditemukan di Indonesia dan merupakan penyebab kematian paling tinggi pada anak balita. Tujuan Penelitian :
Mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) non-
pneumonia anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tangerang Selatan. Metode : Penelitian ini termasuk
dalam kategori deskriptif retrospektif yaitu berdasarkan data yang sudah ada dan tertulis dalam catatan medis
pasien. Pada Tahun 2016 terdapat 130 pasien anak yang masuk dalam kriteria penelitian. Hasil Penelitian :
Hasil penelitian menggunakan kategori Gyssens menunjukan penggunaan antibiotik yang sudah rasional
sebanyak 63 pasien (49,2%), tidak tepat dosis 54 pasien (40,8%), pemberian antibiotik terlalu lama 8 pasien
(6,2%), dan terdapat antibiotik yang lebih efektif 5 pasien (3,8%). Diskusi : Sebanyak 63 pasien dikatakan
sudah rasional berdasarkan kriteria yang sudah tercantum dalam metode Gyssens yaitu kriteria antibiotik
rasional (kategori 0). Kesimpulan : berdasarkan hasil penelitian ini, kerasionalan penggunaan antibiotik pada
pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) non-pneumonia anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Tangerang Selatan 49,2% sudah rasional.

Kata kunci : Antibiotik, anak, Gyssens

ABSTRACT
Background: Acute Respiratory Tract Infection is still a major health problem commonly found in Indonesia
and it cause of death among children under five. Objective: To know rationality of antibiotic usage in patient of
Acute Respiratory Infection (ISPA) of child non-pneumonia at Tangerang Selatan Regional General Hospital.
Methods: This study belongs to a retrospective descriptive category based on patient's medical records. In the
year 2016 there are 130 pediatric patients who entered the study criteria. Results: The results of the study using
the Gyssens category showed rational use of antibiotics of 63 patients (49.2%), inappropriate doses of 54
patients (40.8%), antibiotics for 8 patients (6.2%), and there are more effective antibiotics 5 patients (3.8%).
Discussion: A total of 63 patients are rational based on Gyssens method of rational antibiotic (category 0).
Conclusion: Based on the results of this study, the rationale of antibiotic use in patients with Acute Respiratory
Infection (ARI) of non-pneumonia of children in Tangerang Selatan Regional General Hospital 49.2% was
rational.

Keywords : Antibiotic, children, Gyssens

LATAR BELAKANG
menyerang salah satu bagian atau lebih
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
dari saluran nafas mulai dari hidung
(ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
hingga alveoli, seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. ISPA masih bagian Rawat Jalan dan Rawat Inap
merupakan masalah kesehatan utama yang Rumah Sakit.
banyak ditemukan di Indonesia dan Berdasarkan hasil RISKESDA 2002
merupakan penyebab kematian paling sampai dengan 2003 dilaporkan bahwa
tinggi pada anak balita (Rustandi, 2011). Angka Kematian Balita (AKBA) di
Menurut Rudan et al Bulletin WHO Indonesia sekitar 35 per 1000 kelahiran
2008 Infeksi Saluran Pernafasan Akut hidup. Pada anak berusia dibawah 5 tahun
(ISPA) merupakan penyakit yang sering tingkat kematian diperkirakan setiap
terjadi pada anak. Penyakit ini sering tahunnya sebanyak 2 per 3 kematian
terjadi pada balita yang diperkirakan tersebut adalah bayi. Hasil keseluruhan
0,29% per tahun di negara berkembang, kematian yang disebakan oleh Infeksi
sedangkan di negara maju diperkirakan Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
0,05% per tahun. Hal ini menujukan mencakup 20% sampai 30% (Kementerian
terdapat 156 juta kasus per tahun, dimana Kesehatan RI, 2011).
151 juta (96,7%) kasus Infeksi Saluran Penyakit infeksi saluran pernafasan
Pernafasan Akut (ISPA) terjadi di negara akut (ISPA) khususnya non-pneumonia
berkembang. Kejadian terbanyak terjadi di (pernafasan akut atas) merupakan jumlah
negara India (43 juta), China (21 juta), kasus yang menurut hasil RISKESDA
Pakistan (10 juta), dan Bangladesh, tahun 2013 menunjukan bahwa jumlah
Nigeria, Indonesia masing-masing 6 juta kasus ISPA yang tertinggi pada kelompok
kejadian penyakit Infeksi Saluran anak umur 1-4 tahun (25,8%), meskipun
Pernafasan Akut (ISPA). Kejadian yang kategori ISPA ini masih di bawah Infeksi
terjadi di masyarakat 7-13% termasuk Saluran Pernafasan Akut Atas (ISPAa),
kejadian yang berat dan memerlukan ISPA bagian bawah (non-pneumonia)
perawatan di rumak sakit. Kejadian batuk dapat menjadi awal dari penyebab infeksi
pilek pada anak di Indonesia diperkirakan yang dapat memperburuk keadaan pasien
sebesar 3 sampai 6 kali setahun. Sebagai sehingga dapat menyebabkan kematian
kelompok penyakit, Infeksi Saluran pada anak.
Pernafasan Akut (ISPA) merupakan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
penyebab utama kunjungan pasien di Akut (ISPA) dalam pengobatannya juga
sarana kesehatan. Sebanyak 40% sampai harus diperhatikan dengan benar, salah
60% kunjungan berobat di Puskesmas dan satu contoh dalam penggunaan antibiotik
15% sampai 30% kunjungan berobat di yang mempunyai peranan penting dalam
proses penyembuhan infeksi.
Permasalahan yang sering terjadi dalam untuk pasien Infeksi Saluran Pernafasan
peresepan antibiotik pada anak seperti Akut (ISPA) non-pneumonia anak.
tidak tepatnya dosis yang diterima pasien Sehingga berdasarkan uraian di atas
anak. Tidak tepatnya dosis yang diterima penelitian ini bertujuan untuk
pasien dapat terjadi kelebihan dan mengevaluasi penggunaan obat antibiotik
kekurangan dosis, apabila dosis terlalu pada pasien Infeksi Saluran Pernafasan
tinggi dapat menyebabkan toksisitas pada Akut (ISPA) non-pneumonia anak di
pasien sedangkan dosis terlalu rendah RSUD Kota Tangerang Selatan di Instalasi
antibiotik tidak dapat mencapai efek terapi Rawat Jalan pada Tahun 2016.
dan hanya akan menyebabkan resistensi.
Sehingga pengobatan yang ideal untuk METODE
anak harus benar-benar memperhatikan Penelitian ini termasuk dalam kategori
kondisi anak tersebut seperti umur, deskriptif retrospektif yaitu berdasarkan
kondisi psikologis, dan berat badan anak. data yang sudah ada dan tertulis dalam
Kondisi tubuh anak memiliki respon yang catatan medis pasien. Pada Tahun 2016
berbeda terhadap obat dibandingkan terdapat 130 pasien anak yang masuk
dengan tubuh orang dewasa. dalam kriteria penelitian. Data dianalisis
dengan menggunakan metode Gyssens.
Berdasarkan hasil survei awal yang
Desain yang digunakan adalah Cross
dilakukan pasien ISPA non-pneumonia
Sectional, yaitu pengumpulan data variabel
anak di RSUD Kota Tangerang Selatan
untuk mendapatkan gambaran rasionalitas
pada tahun 2016 diketahui dengan jumlah
penggunaan antibiotik pada pasien ISPA
penderita ISPA non-pneumonia sebanyak
non-pneumonia pada anak. Data diambil
135 pasien. Di RSUD Kota Tangerang
dari bagian rekam medik RSUD Kota
Selatan belum pernah diadakan penelitian
Tangerang Selatan pada Tahun 2016.
tentang evaluasi penggunaan antibiotik
HASIL

1. Data Demografi Pasien


Tabel 1 Data Demografi Pasien
No Variabel Jumlah N = 130
N %
Berdasarkan Usia
1 0-5 (Balita) 62 47,7
2 5-14 (Anak) 68 52,3
Berdasarkan Jenis Kelamin
3 Laki-Laki 60 46,2
4 Perempuaan 70 53,8
Sumber: Data rekam medik RSUD Kota Tangerang Selatan tahun 2016.

a. Berdasarkan Usia b. Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan data tabel 1, dapat Berdasarkan tabel 4.1, pasein
diketahui pasien Infeksi Saluran yang telah dikelompokkan sesuai jenis
Pernafasan Akut (ISPA) non- kelamin, dari 130 pasien terdapat 60
pneumonia yang terjadi pada (46,2%) pasien laki-laki dan 70
kelompok balita (usia 0 sampai 5 (53,8%) pasien perempuan.
tahun) sebanyak 62 pasien (47,7%) Berdasarkan tabel di atas, penderita
dan kelompok anak (usia 5 tahun Infeksi Saluran Pernafasan Akut
sampai 14 tahun) sebanyak 68 (ISPA) non-pneumonia paling banyak
pasien (52,3%). terjadi pada perempuan.

2. Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Jumlah

Tabel 2 Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Jumlah


No Nama Obat Jumlah Persentase (%)
1 Sefiksim 67 51,3
2 Azitromisin 40 30,7
3 Sefadroksil 21 16,2
4 Eritromisin 1 0,77
5 Claneksi 1 0,77
Total 130 100
Keterangan % = Persentase dihitung dari jumlah total obat

Berdasarkan hasil penelitian disebabkan oleh Streptococus


pada tabel 2, menunjukan bahwa pyogenes.
antibiotik yang paling banyak Pada urutan kedua antibiotik
digunakan sebagai terapi ISPA non- yang paling banyak digunakan
pneumonia pada anak adalah adalah azitromisin sebanyak 40
sefiksim sebanyak 67 antibiotik antibiotik (30,7%). Azitromisin
(51,3%). Sefiksim merupakan merupakan golongan makrolida
golongan sefalosporin golongan III memiliki aktivitas yang lebih poten
yang memiliki sifat bakterisid dan terhadap bakteri gram negatif dengan
berspektrum luas terhadap volume distribusi lebih luas dan
mikroorganisme gram postif dan waktu paruh yang lebih panjang dan
gram negatif. Sefiksim ini juga sesuai dengan pustaka juga dapat
merupakan pilihan untuk pengobatan untuk pengobatan Infeksi Saluran
faringitis dan tosilitis yang
Pernafasan Akut (ISPA) atas terhadap bakteri gram positif dan gram
maupun bawah. negatif serta bakterisid. Urutan keempat
Urutan ketiga antibiotik yang paling adalah antibiotik eritromisin sebanyak 1
banyak digunakan adalah sefadroksil antibiotik (0,77%) dan urutan kelima
sebanyak 21 antibiotik (16,2%). antibiotik claneksi sebanyak 1 antibiotik
Sefadroksil merupakan antibiotik golongan (0,77%).
sefalosporin golongan I yang aktif

3. Berdasarkan Diagnosa dan Penyakit Penyerta


Tabel 3 Data Diagnosa dan Penyakit Penyerta
No Penyakit Utama dan Penyakit Penyerta Jumlah Persentase
(%)
1 Faringitis 81 62,3
2 Tonsilitis 31 23,8
3 Faringitis + Pneumonia Atipikal 8 6,2
4 Faringitis + Bronkhitis 5 3,8
5 Faringitis + Dispepsia 2 1,5
6 Faringitis + Asma Bronkhial 1 0,8
7 Faringitis + Konjungtivitis 1 0,8
8 Faringitis + Ikteria 1 0,8
Total 130 100
Sumber:Data rekam medik RSUD Kota Tangerang Selatan periode tahun2016.

Berdasarkan tabel 3, pasien anak amandel adalah bakteri Streptokokus


yang menderita faringitis tanpa beta hemolitikus grup A,
diagnosa lain sebanyak 81 (62,3%) Haemophilus influenza, dan dari
pasien. Faringitis merupakan golongan bakteri pneumokokus dan
peradangan pada mukosa faring stafilokokus.
banyak dijumpai pada anak usia 4-15 Pada tabel diatas terdapat 8
tahun. Tanda-tanda awal faringitis (6,2%) pasien faringitis dengan
berupa demam, nyeri untuk menelan, pneumonia atipikal. Pneumonia
dan mual yang dialami atipikal merupakan infeksi pada
penderita.Pada tabel di atas terdapat bagian ujung bronkhiol dan alveoli
31 (23,8%) pasien tonsilitis yang dapat disebabkan oleh berbagai
(amandel). Penyakit ini merupakan patogen seperti bakteri, jamur, virus,
infeksi pada amandel yang terkadang dan parasit. Pneumonia atipikal ini
mengakibatkan sakit tenggorokan, sering disebabkan oleh bakteri
nyeri ketika untuk menelan, dan Mycoplasma, Legionella, dan
disertai demam.Penyebab radang Clamydia. Penyakit ini dapat terjadi
karena penyakit penyerta pernafasan keluhan tersebut setidaknya selama
lain dan juga kelainan pada paru tiga bulan terakhir (Futagami S and
serta penyakit ini yang disebabkan Shimpuku M, 2011).
oleh virus banyak dijumpai pada Pada tabel di atas terdapat 1
bayi dan anak. (0,8%) pasien faringitis dengan asma
Pada tabel di atas terdapat 5 bronkhial. Asma bronkhial
(3,8%) pasien faringitis dengan merupakan peradangan kronik
bronkhitis. Bronkhitis merupakan saluran pernafasan yang
gejala peradangan pada daerah menyebabkan hiperaktivitas bronkus
trakheobronkhial. Pada anak dikenal terhadap berbagai rangsangan yang
bronkhiolitis, penyakit ini dengan ditandai dengan gejala episodik
faringitis sering terjadi bersamaan. berupa mengi, batuk, sesak nafas,
Faringitis ditandai dengan nyeri dan rasa berat di dada terutama pada
ketika menelan dan sedangkan malam hari dan bersifat reversibel.
bronkhitis ditandai dengan batuk Pada tabel di atas terdapat 1
yang menetap bertambah parah pada (0,8%) pasien faringitis dengan
malam hari serta biasanya di sertai konjungtivitis. Konjungtivitis
sputum, biasanya disebabkan oleh merupakan peradangan pada
rhinovirus, lesu, lelah, dan demam konjungtiva dan penyakit ini adalah
pada suhu tubuh yang rendah penyakit mata yang paling umum di
disebabkan oleh virus influenza, dunia. Penyakit ini dpat disebabkan
adenovirus, atau infeksi bakteri. oleh bakteri maupun virus dan
Pada tabel di atas terdapat 2 faktor-faktor lingkungan lain yang
(1,5%) pasien faringitis dengan mengganggu (Vaughan, 2010).
dispepsia. Dispepsia merupakan rasa Pada tabel diatas terdapat 1
tidak nyaman yang berasal dari (0,8%) pasien dengan ikteria. Ikteria
daerah abdomen bagian atas. Rasa merupakan perwanaan kuning pada
tidak nyaman tersebut dapat berupa kulit dan mukosa karena terjadinya
salah satu atau beberapa gejala peningkatan kadar bilirubin, ikteria
berikut; nyeri epigastrium, rasa akan tampak ketika nilai bilirubin
terbakar di epigastrium, rasa penuh >5mg/dL. Ikteria lebih mengacu
setelah makan, cepat kenyang, mual, pada gambaran klinis berupa
muntah, dan sendawa.Penyakit ini pewarnaan kuning pada kulit,
dapat didiagnosa dispepsia dengan sedangkan hiperbilirubinemia lebih
mengacu pada kadar bilirubin serum total (Cloherty,2004).

4. Evaluasi Rasionalitas Antibiotik


Tabel 4. Hasil Evaluasi Metode Gyssens
No Kategori Jumlah Persentase
Kasus (%)
0 Penggunaan antibiotik tepat dan 63 48,5
bijak
I Penggunaan antibiotik tidak tepat 0 0
waktu
II A Penggunaan antibiotik tidak tepat 54 41,5
dosis
II B Penggunaan antibiotik tidak tepat 0 0
interval pemberian
II C Penggunaan antibiotik tepat rute 0 0
pemberian
III A Penggunaan antibiotik terlalu lama 8 6,2
III B Penggunaan antibiotik terlalu 0 0
singkat
IV A Ada antibiotik yang lebih efektif 5 3,8
IV B Ada antibiotik yang kurang toksik 0 0
IV D Ada antibiotik yang spektrumnya 0 0
lebih sempit
V Tidak ada indikasi penggunaan 0 0
antibiotik
IV Data rekam medik yang tidak 0 0
lengkap dan tidak dapat dievaluasi
Jumlah 130 100
Keterangan % = Persentase dihitung dari jumlah total pasien

Berdasarkan evaluasi Gyssens pada tabel 4., menunjukan terdapat 63 (48,5%)


kasus antibiotik sudah rasional (kategori 0), selanjutnya terdapat 54 (41,5%) kasus
penggunaan antibiotik tidak tepat dosis (kategori IIA), kemudian terdapat 8 (6,2%)
kasus penggunaan antibiotik terlalu lama (kategori IIIA), dan terdapat 5 (3,8%) kasus
ada antibiotik yang lebih efektif untuk pasien (kategori IVA).

DISKUSI

Dari 130 pasien sebanyak 63 pasien dikatakan sudah rasional berdasarkan kriteria yang
sudah tercantum dalam metode Gyssens yaitu kriteria antibiotik rasional (kategori 0).
Selanjutnya terdapat 54 (41,5%) kasus penggunaan antibiotik tidak tepat dosis (kategori IIA),
kemudian terdapat 8 (6,2%) kasus penggunaan antibiotik terlalu lama (kategori IIIA), dan terdapat 5
(3,8%) kasus ada antibiotik yang lebih efektif untuk pasien (kategori IVA). Masalah – masalah
penggunaan obat dibahas berdasarkan pustaka Pharmaceutical care untuk penyakit infeksi
saluran pernafasan, 2005 dan Pharmacotherapy Handook Ninth Edition, 2008.
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) non-pneumonia anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Tangerang Selatan 49,2% sudah rasional.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara G. Wells, Joseph T. Dipiro, Terry Gyssens IC, Auidit for monitoring the
L. Schwinghammer, Cecily V. Dipiro. quality of antimicrobial prescription.
Pharmacotherapy Handbook. Ninth I.M. Goul, Jos W.M. van der Meer,
Edition. 2008. editor, Antibiotics Policies: Theory and
practice. New York: Spinger US;2005.
Depaertemen Kesehatan RI. Sistem
197-226.
Kesehatan Nasional. Jakarta. 2009.
Habisuan, W.S. 2010. Karakteristik
Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical
Penderita Malaria Dengan Parasit
care untuk Penyakit Infeksi Saluran
Positif Pada Anak Diklinik Malaria
Pernafasan. 2005.
Rayon Panyabungan Kabupaten
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Mandailing Natal Tahun 2009. Fakultas
dan Penyehatan Lingkungan, 2012. Kesehatan Masyarakat. Universitas
Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Sumatra Utara, Medan.
Pernafasan Akut. Jakarta: Kemenkes
Harmita dan Radji, M. Kepekaan Terhadap
RI.
Antibiotik. Edisi III. EGC. 2008.
Drug Information Handbook Edition 7th:
KemenKes RI, 2012, Pedoman
American Pharmacists Assocation.
Pengendalian Infeksi Saluran
2008-2009.
Pernapasan Akut, Jakarta,Kementrian
Futagami S, Shimpuku M, Yin Y, et al. Kesehatan Republik Indonesia.
Phatophisiology of functional
Kementrian Kesehatan RI, 2011. Profil
dyspepsia. J Nippon Med Sch. 2011.
Kesehatan Indonesia 2010.
Garcia-Ferrer, F.J., Schwab, LR., Shetlar,
Kementrian Kesehatan. Riset Kesehatan
D.J. Konjungtiva. Dalam: Vaughan &
Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian
Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17.
dan Pengembangan Kesehatan. 2013.
Jakarta, 2010.
Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Rustandi. ISPA Gangguan Pernafasan
Hipernilirubinemia. Dalam: Cloherty Pada Anak, Panduan bagi Tenaga
Jp. Eichenwald EC, Stark AR, Kesehatan dan Umum. Nuha Medika.
Penyunting. Manual of neonatal care. Yogyakarta. 2011.
Edisi ke 5. Philadelphia: Lippincolt
Santosa G, M.S Makmuri. Efektivitas dan
Wiliams & Wilkins, 2004.
Keamanan Cefixime pada Pengobatan
Notoadmodjo, S. Metodologi Penelitian Infeksi Saluran Pernafasan pada Anak.
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.2012. Cermin Dunia Kedokteran No. 101.
Surabaya, 1995: 37-39.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Stiadi. Prosedur Penelitian Suatu
2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Pendekatan Praktek. Rineka Cipta.
Pedoman Umum Penggunaan 2007.
Antibiotik, 2011.
Sukarmin, dan Riyadi, Sujono. Asupan
Proverawati, Atikah, Eni Rahmawati. Keperawatan Pada Anak Yogyakarta:
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Graha Ilmu. 2009.
(PHBS). Yogyakarta: Nuha Medika.
World Health Organization, 2001, WHO
2012.
Model Prescribing Information Drug
Rudan, Igor., et al. 2008. Insidens global Use in Bacterial Infection, WHO,
dan Asia Tenggara. Bulletin of the Geneva, 14-17.
World Health Organization 2008; 86:
World Health Organization. Pencegahan
408–416.
dan pengendalian ISPA di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 200
Jurnal PSIK – FK Unsyiah Devi Darliana
ISSN : 2087-2879

MANAJEMEN PASIEN TUBERCULOSIS PARU


Management of Lung TB for Patient
Devi Darliana
Bagian Keilmuan Keperawatan Medikal Bedah, PSIK-FK Universitas Syiah Kuala
Surgery and Medical Nursing Department, School of Nursing, Faculty of Medicine, Syiah Kuala University
E-mail: devi.darliana@yahoo.co.id

ABSTRACT
The incidens of tuberculosis is reported increased dramatically in the last decade in the wolrd including
Indonesia. Tuberculosis usually, develops in the developing countries or happens in the population with low
social economic. Tuberculosis is also one of the infectious diseases which caused the higher of mortality and
morbidity with prolong treatment. Patient can show a lot of symptoms for instance; productive cough, fever,
night sweat, dyspneu, chest pain, anorexia and loss of body weight. The impacts of this disease not also
influence of physical but also psychological. It also related with the higher of cost during hospitalized and
recovery at home. Therefore, it takes more responsibility with other professions such as physician, nurse, and
another health team to overcome this problem.

Keywords: Management, increased intracranial pressure, stroke, brain tumor, patients

PENDAHULUAN Di Indonesia tuberculosis merupakan


Laporan WHO menyatakan bahwa penyebab mortalitas nomor satu diantara
jumlah terbesar kasus Tuberculosis Paru penyakit menular dan merupakan penyebab
(TB paru) terjadi di Asia tenggara yaitu mortalitas ke 3 setelah penyakit jantung dan
33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun penyakit pernafasan akut pada semua
bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat kalangan usia. Adapun tujuan penulisan
182 kasus per 100.000 penduduk. ini adalah untuk menggambarkan
Diperkirakan angka kematian akibat TB tentang etiologi, patofisiologi,
paru adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta manifestasi klinis,diagnosis serta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 manajemen pasien dengan TB paru.
menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat penyakit ini di Asia Tuberculosis Paru
Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka Tuberculosis paru adalah penyakit
mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 infeksi yang disebabkan oleh bakteri
penduduk. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
Indonesia menduduki urutan ketiga berbentuk basil dan bersifat tahan asam
setelah India dan China dalam jumlah sehingga dikenal juga sebagai Basil Tahan
penderita TB paru di dunia. Jumlah Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali
penderita TB paru dari tahun ke tahun di ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal
Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang
menit muncul satu penderita baru TB paru, jasanya bakteri tersebut diberi nama basil
dan setiap dua menit muncul satu penderita Koch. TB paru terutama menyerang paru-
baru TB paru yang menular. Bahkan setiap paru sebagai tempat infeksi primer, selain
empat menit sekali satu orang meninggal itu, tuberculosis dapat juga menyerang
akibat TB di Indonesia. kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput
Penyakit TB paru dapat menyerang otak. TB paru menular melalui droplet
siapa saja dan dimana saja. Setiap tahunnya, infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat.
terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian terjadi setiap tahunnya Etiologi
disebabkan oleh TB paru. Indonesia masih Tubercolosis paru adalah penyakit
menempati urutan ke 3 di dunia untuk menular yang disebabkan oleh basil Bakteri
jumlah kasus TB setelah India dan China. Mycobacterium tuberculosa yang

27
Idea Nursing Journal Vol. II No. 1

mempunyai sifat khusus yaitu tahan kurang dari 5 mikron dan akan melayang-
terhadap asam pada pewarnaan (Basil layang di udara. Droplet nuclei ini
Tahan Asam) karena basil TB mempunyai mengandung basil TB.
sel lipoid. Basil TB sangat rentan dengan Saat Mikobakterium tuberkulosa
sinar matahari sehingga dalam beberapa berhasil menginfeksi paru-paru, maka
menit saja akan mati. Basil TB juga akan dengan segera akan tumbuh koloni bakteri
terbunuh dalam beberapa menit jika terkena yang berbentuk globular. Biasanya melalui
alcohol 70% dan lisol 50%. Basil TB serangkaian reaksi imunologis bakteri TB
memerlukan waktu 12-24 jam dalam paru ini akan berusaha dihambat melalui
melakukan mitosis, hal ini memungkinkan pembentukan dinding di sekeliling bakteri
pemberian obat secara intermiten (2-3 hari itu oleh sel-sel paru. Mekanisme
sekali). pembentukan dinding itu membuat jaringan
Dalam jaringan tubuh, kuman ini di sekitarnya menjadi jaringan parut dan
dapat dormant selama beberapa tahun. Sifat bakteri TB paru akan menjadi dormant
dormant ini berarti kuman dapat bangkit (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah
kembali dan menjadikan tubercolosis aktif yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel
kembali. Sifat lain kuman adalah bersifat pada pemeriksaan foto rontgen.
aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman Sistem imun tubuh berespon dengan
lebih menyenangi jaringan yang kaya melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
oksigen, dalam hal ini tekanan bagian apical (neutrofil dan makrofag) menelan banyak
paru-paru lebih tinggi daripada jaringan bakteri; limpospesifik-tubercolosis melisis
lainnya sehingga bagian tersebut (menghancurkan) basil dan jaringan normal.
merupakan tempat predileksi penyakit Reaksi jaringan ini mengakibatkan
tuberkolosis. Kuman dapat disebarkan dari penumpukan eksudat dalam alveoli,
penderita TB paru BTA positif kepada menyebabkan bronkopneumonia dan infeksi
orang yang berada disekitarnya, terutama awal terjadi dalam 2-10 minggu setelah
yang kontak erat. pemajanan.
TB paru merupakan penyakit infeksi Massa jaringan paru yang disebut
penting saluran pernafasan. Basil granulomas merupakan gumpalan basil
mikrobakterium tersebut masuk kedalam yang masih hidup. Granulomas diubah
jaringan paru melalui saluran napas (droplet menjadi massa jaringan jaringan fibrosa,
infection) sampai alveoli, sehingga terjadi bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut
infeksi primer (ghon) yang dapat menyebar tuberkel ghon dan menajdi nekrotik
ke kelenjar getah bening dan terbentuklah membentuk massa seperti keju. Massa ini
primer kompleks (ranke). Keduanya dapat mengalami klasifikasi, membentuk
dinamakan tubercolosis primer, yang dalam skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman,
perjalanannya sebagian besar akan tanpa perkembangan penyakit aktif.
mengalami penyembuhan. Tubercolosis Setelah pemajanan dan infeksi awal,
paru primer adalah terjadinya peradangan individu dapat mengalami penyakit aktif
sebelum tubuh mempunyai kekebalan karena gangguan atau respon yang
spesifik terhadap basil mikrobakterium, inadekuat dari respon system imun.
sedangkan tubercolosis post primer Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi
(reinfection) adalah peradangan bagian paru ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam
oleh karena terjadi penularan ulang pada kasus ini, tuberkel ghon memecah
tubuh sehingga terbentuk kekebalan melepaskan bahan seperti keju dalam
spesifik terhadap basil tersebut. bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar
di udara, mengakibatkan penyebaran
Patofisiologi penyakit lebih jauh. Tuberkel yang
Individu terinfeksi melalui droplet menyerah menyembuh membentuk jaringan
nuclei dari pasien TB paru ketika pasien parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih
batuk, bersin, tertawa. droplet nuclei ini membengkak, menyebabkan terjadinya
mengandung basil TB dan ukurannya bronkopneumonia lebih lanjut.

28
Idea Nursing Journal Devi Darliana

Manifestasi Klinis Pemeriksaan Penunjang


Penderita TB paru akan mengalami 1. Pemeriksaan Radiologis
berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk a. Adanya infeksi primer digambarkan
berdahak kronis, demam, berkeringat tanpa dengan nodul terkalsifikasi pada
sebab di malam hari, sesak napas, nyeri bagian perifer paru dengan
dada, dan penurunan nafsu makan. kalsifikasi dari limfe nodus hilus
Semuanya itu dapat menurunkan b. Sedangkan proses reaktifasi TB akan
produktivitas penderita bahkan kematian. memberikan gambaran: nekrosis,
Pasien TB paru juga sering dijmpai cavitasi (terutama tampak pada foto
konjungtiva mata atau kulit yang pucat posisi apical lordotik), fibrosis dan
karena anemia, badan kurus atau berat retraksi region hilus,
badan menurun. bronchopneumonia, serta infiltrat
interstitial
Klasifikasi Tb Paru
c. Aktivitas dari kuman TB tidak bisa
TB paru BTA (+) adalah:
hanya ditegakkan hanya dengan 1
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3
kali pemeriksaan rontgen dada, tapi
spesimen dahak menunjukkan hasil
harus dilakukan serial rontgen dada.
BTA positif
Tidak hanya melihat apakah
b. Hasil pemeriksaan satu specimen
penyakit tersebut dalam proses
sputum menunjukkan BTA positif
progesi atau regresi.
dan di jumpai adanya kelainan
2. Pemeriksaan darah
radiologi
c. Hasil pemeriksaan satu specimen Pemeriksaan ini kurang mendapat
sputum menunjukan BTA positif perhatian karena hasilnya kadang-kadang
dan biakan positif. meragukan, tidak sensitif, tidak juga
TB paru BTA (-) adalah: spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif)
a. Hasil pemeriksaan sputum 3 kali akan didapatkan jumlah leukosit yang
menunjukkan BTA negatif, sedikit meninggi dengan hitung jenis
gambaran klinis dan kelainan pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih
radiologi menunjukkan gambaran dibawah normal. Laju endap darah mulai
tuberculosis aktif meningkat. Jika penyakit mulai sembuh,
b. Hasil pemeriksaan sputum 3 kali jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah
menunjukkan BTA negatif dan limfosit masih tinggi. Laju endap darah
biakan micobacterium tuberculosis mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga
positif. didapatkan anemia ringan dengan gambaran
normokron dan normositer, gama globulin
meningkat dan kadar natrium darah
Pemeriksaan Fisik
menurun.
Tempat kelainan lesi TB paru yang
perlu dicurigai adalah bagian apeks paru.
Bila dicurigai infiltrat yang agak luas, maka Diagnosis Tb Paru
akan didapatkan perkusi yang redup dan Pemeriksaan sputum adalah penting,
auskultasi nafas bronkial. Selain itu juga diagnosis paru pada orang dewasa dapat
dijumpai suara nafas tambahan berupa ditegakkan dengan ditemukannya BTA
ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi pada pemeriksaan darah secara
bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
pleura, suara nafasnya menjadi vesikular positif apabila sedikitnya dua dari tiga
melemah. specimen SPS BTA hasilnya positif. Bila
Pada limfadenitis tuberculosis, hanya satu specimen positif perlu diadakan
terlihat pembesaran kelenjar getah bening, pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen
paling sering dijumpai pada daerah leher, dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
kadang-kadang dai daerah aksila. a. Kalau hasil rontgen mendukung TB
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi paru, maka penderita didiagnosis
“cold abscess”. sebagai penderita TB paru BTA positif.

29
Idea Nursing Journal Vol. II No. 1

b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung oleh lingkungan, kurang pengetahuan


TB paru maka pemeriksaan SPS tentang infeksi kuman.
diulangi. 4) perubahan kebutuhan nutrisi, kurang
Apabila fasilitas memungkinkan, dari kebutuhan berhubungan dengan
maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, kelelahan, batuk yang sering, adanya
misalnya biakan. produksi sputum,dispnea,anoreksia,
Bila ketiga specimen dahaknya penurunan kemampuan financial.
negatif, diberikan anti biotic spectrum luas Kurang pengetahuan tentang kondisi,
(misalnya kontrimoksazol atau amoksilin) pengobatan, pencegahan berhuibungan
selama 1-2 minggu. Bila tidak ada dengan: tidak ada yang menerangkan,
perubahan, namun gejala klinis tetap interpretasi yang salah, informasi yang
mencurigakan TB paru, ulangi pemeriksaan didapat tidak lengkap/tidak akurat,
dahak SPS: terbatasnya pengetahuan/kognitif.
a. Kalau hasil SPS positif: didiagnosis
sebagai penderita TB paru BTA positif INTERVENSI KEPERAWATAN
b. Kalau hasil SPS tetap negatif: lakukan Intervensi yang dapat dilakukan
pemeriksaan foto rontgen dada, untuk untuk mengatasi masalah yang dihadapi
mendukung diagnosis TB . oleh pasien TB paru adalah sebagai berikut:
c. Bila hasil rontgen mendukung TB paru, 1) Peningkatan bersihan jalan nafas, Sekresi
didiagnosis sebagai penderita TB paru yang sangat banyak dapat menyumbat jalan
paru BTA negatif rontgen positif. nafas pada pasien TB paru dan mengganggu
Bila hasil rontgen tidak mendukung pertukaran gas. Meningkatkan masukan
TB paru: penderita tersebut bukan TB paru masukan cairan memberikan hidrasi
sistemik dan berfungsi sebagai ekspektoran
Pengobatan Tuberculosis Paru yang efektif. Pasien diberitahu posisi-posisi
Pengobatan TB paru terbagi atas 2 yang dapat memudahkan drainase sekret.
fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase Humidifier atau face mask dengan
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang kelembabab tinggi dapat membantu dalam
digunakan adalah paduan obat utama dan mengencerkan sekresi, 2) Mendukung
obat tambahan. Jenis obat utama (lini I) kepatuhan terhadap pengobatan, Pasien
adalah INH, rifamfisin, pirazinamid, harus memahami bahwa TB paru adalah
streptomisisin, etambutol, sedangkan obat penyakit menular sehingga meminum obat
tambahan laninnya adalah: kanamisin, secara tepat dan teratur adalah cara efektif
amikasin, kuinolon. dalam pencegahan penularan. Pengertian
tentang obat-obatan, jadwal dan efek
Diagnosa Keperawatan Umum Pada Pasien samping harus di jelaskan pada pasien.
Dengan Tuberkulosis Selain itu, penjelasan tentang pentingnya
Adapun diagnosa keperawatan yang tindakan higienis, termasuk oral hygiene,
biasa dijumpai pada pasien TB paru adalah: menutup mulut ketika bersin serta mencuci
1) Bersihan jalan napas tidak efektif tangan juga harus diberitahu kepada pasien,
berhubungan dengan: sekret kental atau 3) Meningkatkan aktifitas dan nutrisi yang
sekret darah, kelemahan, upaya batuk adekuat, Pasien TB sering merasa sangat
menurun serta edema trakeal/faringeal. lemah karena penyakit kronis dan juga
2) Gangguan pertukaan gas berhubungan gangguan pemenuhan nutrisi. Pasien dapat
dengan: berkurangnya keefektifan diatur jadwal aktifitas secara progresif
permukaan paru, atelektasis, kerusakan dengan berfokus pada peningkatan toleransi
membrane alveolar kapiler, secret yang aktifitas dan kekuatan otot. Anoreksia,
kental, edema bronchial. penurunan berat badan dan malnutrisi biasa
3) Resiko tinggi infeksi dan penyebaran terjadi pada pasien TB paru. Keinginan
infeksi berhubungan dengan daya tahan untuk makan dapat terganggu oleh keletihan
tubuh menurun, fungsi silia menurun, akibat batuk berat, pembentukan sputum,
kerusakan jaringan akibat infeksi yang nyeri dada atau kelemahan. Pemberian
menyebar, malnutrisi, terkontaminai nutrisi dalam porsi kecil tapi sering dapat di

30
Idea Nursing Journal Devi Darliana

jadwalkan. Suplemen nutrisi cair dapat KEPUSTAKAAN


membantu memenuhi kebutuhan kalori
dasar, 4) Penyuluhan pasien dan Black, J.M., & Hawk, J.H. (2005). Medical
pertimbangan perawatan di rumah, Perawat Surgical Nursing Clinical
mempunyai peran yang sangat penting Management for Positive Outcomes.
dalam merawat pasien TB paru dan (7th Ed), St. Louis, Missouri :
keluarganya, termasuk mengkaji Elsevier Saunders.
kemampuan pasien untuk melanjutkan Ignativius, D.D., & Workman, M.L. (2006).
terapi di rumah. Perawat mengkaji pasien Medical-Surgical Nursing : Critical
terhadap reaksi obat yang merugikan dan Thingking For Collaborative Care.
ikut serta dalam mensurvei rumah dan (4th Ed), St. Louis, Missouri :
lingkungan kerja pasien untuk Elsevier Saunders.
mengidentifikasi individu lain yang
mungkin telah kontak dengan pasien selama Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., &
tahap infeksius. Cheever, K.H. (2008). Brunner &
Suddarth’s Textbook of Medical-
KESIMPULAN Surgical Nursing. (11th Ed),
Tubercolosis paru adalah penyakit Philadelphia : Lippincott Williams &
menular yang disebabkan oleh basil Bakteri Wilkins
Mycobacterium tuberculosa yang
mempunyai sifat khusus yaitu tahan Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi I.,
terhadap asam pada pewarnaan (Basil Simadibrata, M., & Setiati, S., et al.
Tahan Asam) karena basil TB mempunyai (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit
sel lipoid. Dalam. Edisi 4, Jakarta : FKUI.
Adapun masalah keperawatan yang
sering dijumpai adalah bersihan jalan napas Aditama, T.Y., Soedarsono, Thabrani, Z., et
tidak efektif gangguan pertukaan gas, resiko al. (2006). Pedoman Diagnosis dan
tinggi infeksi dan penyebaran infeksi, Penatalaksanaan Di Indonesia.
intake nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
serta kurang pengetahuan tentang kondisi, Jakarta.
pengobatan dan pencegahan.
Pengobatan TB paru terbagi atas 2
fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang
digunakan adalah paduan obat utama dan
obat tambahan. Jenis obat utama (lini I)
adalah INH, rifamfisin, pirazinamid,
streptomisisin, etambutol, sedangkan obat
tambahan laninnya adalah: kanamisin,
amikasin, kuinolon.

31

Anda mungkin juga menyukai