KEPERAWATAN KRITIS
(Sistem Pernapasan (TBC) & Sistem Resipirasi (Faringitis))
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK A
Agustino Fransisko Kainama Asstric Adam
Aritrisna Kakiay Aprilia Aitonam
Berry Riruma Peronika Ruspana
Alfileks Angkotamony Angel Madubun
Ansell Ratulohain Syanel Tripuata
Andre Romer Anita Siahaya
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah pada sistem
pernapasan dan sistem respirasi dengan baik, Makalah ini kami buat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis. Kami menyadari bahwa makalah
yang kami buat masih jauh dari kata sempurna , untuk itu kami sangat
mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Penyusun
KELOMPOK A
ii
DAFTAR ISI
JUDUL .............................................................................................................
BAB I ............................................................................................................ 1
A. FORMAT PENGKAJIAN SISTEM PERNAPASAN ........................... 1
B. FORMAT PENGKAJIAN SISTEM RESPIRASI ................................ 18
BAB II ......................................................................................................... 37
A. ANALISA PICO HASIL PENELITIAN PERNAPASAN……………37
B. ANALISA PICO HASIL PENELITIAN SISTEM RESPIRASI.......... 47
DAFTAR TABEL
BAB I
KASUS BAYANGAN
A. SISTEM PERNAPASAN
FORMAT PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Nama Mahasiswa : KELOMPOK A
Rumah Sakit : RSUD dr. M. HAULUSSY AMBON
Ruangan : 01
Tanggal Pengkajian : Jam:
B. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kiriman dari Puskesmas dengan TB paru sudah setahun dan minum
OAT, pasien di rumah selama 15 hari lemas lagi. Lalu dibawa ke RS masuk
IGD dengan kondisi lemas(+), batuk(+), BB 54kg lalu diberikan perawatan
setelah itu langsung dipindah kebangsal untuk rawat Inap.
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien mengatakan di rumahnya hanya batuk biasa dan menganggap sepele
setelah keadaan memburuk yaitu lemas, baru kemudian pasien dibawa ke
RS terdekat, disitu dirawat 1 minggu dirawat di RS sudah ± 1 bulan terakhir.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang sakit / ada penyakit
yang seperti dialami pasien, pasien juga tidak mempunyai penyakit yang
menurun, misalnya : DM, Hipertensi, Jantung, TB dll
2
C. PEMERIKSAAN FISIK
- Nadi Reguler Iregular HR
Meningkat ….. cm
Kardiovaskuler
- JVP Normal
- Murmur Ya Tidak
- Gallop Ya Tidak
- Akral hangat Dingin
- Oedem Ya, lokasi Tidak
- Bentuk dada Simetris
- Bunyi nafas Bronkial Bronkovesikular Vesikular
Suara nafas tambahan
- Whezing Tidak Ya, (kanan/kiri)
Respiratory
Nutrisi
4
Konsep Diri
- Citra diri / body image Tanggapan tentang tubuh Pasien merasa tidak
percaya diri pada perubahan bentuk tubuh klien
yang dulunya gemuk sekarang kurus
E. TERAPI
1. Inf NaCl 0,9% 20 tmp
2. Inf aminofel
3. Ranitidin 50 mg 2 x 1 / tiap 12 jam (injeksi)
4. Vit B-Comples tab 3 x 1 oral
5. Curcuma tab 3 x 1 oral
Tanda Tangan
Mahasiswa
……………………….
NIM.
6
ANALISA DATA
DO :
- TD : 90/60 mmHg
- N : 78x/menit
- S : 36,3oC
- RR : 24x / menit
- Ketika beraktifitas tampak
dibantu orang lain
7
DO :
- Ketika batuk pasien tidak
mutup mulut, membuang
dahak sembarangan.
- Alat makan masih dipakai
bersama
8
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan secret.
2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan otot.
3 Nyeri akut berhubungan dengan batuk terus menerus.
4 Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan minimnya informasi.
9
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi TTV - Adanya perubahan fungsi respirasi
selama 3 x 24 jam pasien dapat 2. Ajarkan teknik ROM - Kemampuan mengeluarkan secret
mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan 3. Kompres hangat pada menimbulkan timbulnya penumpukan
dengan KH : Pasien mengatakan badan tidak persendiaan berlebihan pada saluran nafas
terasa lemas, aktifitas pasien dapat dilakukan 4. Anjurkan untuk aktifitas yang - Untuk memberikan kesempatan para
sendiri ringan berkembang
- R : 16-20x / menit 5. Kolaborasi dengan tim medis - Batuk efektif mempermudah
- N : 60 – 100x/ menit dalam pemberan fisioterapi ekspektorasi muskus
- TD dan rentang normal Bertujuan untuk mengencerkan dahak
- (110-720 / 70-80 mmHg)
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji tingkat nyeri (PQRST) - Adanya perubahan fungsi respirasi
Selama 3 x 24 jam pasien dapat diharapkan : 2. Posisikan pasien semi fowler - Kemampuan mengeluarkan secret
Tujuan : nyeri hilang atau berkurang 3. Ajarkan relaksasi distraksi dan menimbulkan timbulnya penumpukan
KH : pasien tampak rileks skala nyeri 0 atau nafas dalam berlebihan pada saluran nafas
berkurang 4. Kolaborasi dengan pemberian - Untuk memberikan kesempatan para
obat anti nyeri berkembang
- Batuk efektif mempermudah
ekspektorasi muskus
Bertujuan untuk mengencerkan dahak
11
4 Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Berikan informasi tentang - Adanya perubahan fungsi respirasi
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan penyakit TB - Kemampuan mengeluarkan secret
Tujuan : Pasien dan keluarga tau tentang 2. Berikan informasi tentang menimbulkan timbulnya penumpukan
perawatan TB perawatan penyakit TB berlebihan pada saluran nafas
KH : pasien dan keluarga dapat melakukan 3. Berikan informasi tentang - Untuk memberikan kesempatan para
perawatan TB secara mandiri pencegahan penyakit TB berkembang
4. Berikan informasi tentang - Batuk efektif mempermudah
penularan penyakit TB ekspektorasi muskus
Bertujuan untuk mengencerkan dahak
12
TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn. K
Umur : 57 tahun/bulan
Tanggal/Jam No. Dx. T i n d a k a n Keperawatan
Senin, / 2 2014 1,2,3 Mengobservasi tanda vital dan pemberian O2
14.20 1,2,3 Memberikan posisi semi fowler
14.40 1,2 Menganjurkan tirah baring
15.20 3 Mengajarkan relaksasi distraksi
15.25 1,2,3 Membagikan obat oral
15.30 4 Memberikan penkes tentang penyakit TB
15.40 4 Memberikan penkes perawatan penyakit TB
16.30 2 Mengajarkan ROM
19.30 1 Mengajarkan batuk efektif
20.40 1,2,3 Memberikan lingkungan yang nyaman
Selasa 1,2,3 Memberikan infeksi Ronitidin 50 mg 2 x 1 tiap 12 jam
25/2/2014
08.15
08.20 1,2,3 Mengobservasi TTV
09.00 4 Memberikan penkes tentang pencegahan penyakit TB
09.10 4 Memberkan penkes tentang penularan penyakit TB
10.40 3 Mengajarkan relaksasi distraksi
11.50 2 Mengajarkan ROM
13.20 1,2,3, Memberikan lingkungan yang nyaman
13.45 4 Mengobservasi cara batuk pasien
Rabu 1,2,3,4 Mengobservasi keadaan umum pasien
26/2/2014
14.15
1,2,3 Mengobservasi TTV
15.00 4 Memberikan penkes tentang perawatan, pencegahan dan penularan
penyakit TB
15.45 Lakukan pelepasan infus
16.00 Mengingatkan pasien kontrol
16.10 Mengantarkan pasien pulang
13
EVALUASI
Nama Pasien : Tn. K
Umur : 57 tahun/bulan
Tanggal/Jam No. Dx. Per Evaluasi
S : Pasien mengatakan batuk berkurang
O : TD = 120 / 80 mmHg N = 80x/menit
S = 36,3oC R = 20x/menit
A : Masalah teratasi sebagian
P : anjurkan pasien control hari sabtu (BLPL)
S : Pasien mengatakan lemas berkurang
O : TD = 120/80 mmHg N = 80x/menit
S = 36,3oC R = 20x/mnt
Pasien dapat beraktifitas mandiri
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan pasien control hari sabtu (BLPL)
S : Pasien mengatakan nyeri sudah hilang
O : Skala nyeri 1
P = batuk terus menerus sudah hilang
Q = Rasa tertusuk-tusuk sudah hilang
R = Nyeri bagian abdomen kiri atas sudah hilang
T=-
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan pasien control hari rabu (BLPL)
S : Pasien mengatakan sudah tahu tentang penyakit
O : Pasien tampak memakai maske
- Ketika batuk menutup mulut dengan tisur dan
membuang tisu ke WC
- Pasien tidak menggunakan alat makan bergantian
A : Masalah teratasi
P:-
14
No Prioritas
Masalah Keperawatan Intervensi Evaluasi
masalah
No : Ketidakefektifan 1. Observasi TTV S : Pasien
Tgl : bersihan jalan nafas 2. Observasi mengatakan batuk
Jam : berhubungan dengan kemampuan berkurang
penumpukan secret mengeluarkan secret O : TD = 120 / 80
DS : Pasien mengatakan dan batuk secara mmHg N=
batuk berdahak efektif 80x/menit
DO : Kesadaran CM 3. Berikan posisi semi S = 36,3oC
TD : 90/60 fowler R = 20x/menit
mmHg 4. Ajarkan batuk efektif A : Masalah teratasi
N : 78 x / menit 5. Kolaborasi dalam sebagian
S : 36,3oC pemberian inhalasi P : anjurkan pasien
R: 24 x/menit nebulizer control hari sabtu
Terdapat hasil lab (BLPL)
sputum
Criteria hasil : Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x
24 jam diharapkan
Tujua: pertahankan
jalan nafas
KH : pasien
mengatakan batuk
berkurang frekuensi
nafas 20x/menit
No : Intoleransi aktivitas 1. Observasi TTV S : Pasien
Tgl : berhubungan dengan 2. Ajarkan teknik ROM mengatakan lemas
Jam : otot berkurang
15
B. SISTEM RESPIRASI
FORMAT PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
B. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Klien mengeluh panas
Kronologis keluhan
Klien datang ke RSUD dr. M. HAULUSSY AMBON pada tanggal 14 Januari 2020
dengan keluhan panas, sakit tenggorokan dan filek. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang
lalu, sebelumnya klien di bawa berobat ke puskesmas, namun karena keadaan klien tidak
kunjung membaik akhirnya klien di bawa ke RST Puspa Kelas 2A. dengan diagnosa
faringitis.
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 14 januari 2020 pukul 21.00 WIB, keadaan klien
tampak lemah, klien mengeluh masih panas sakit tenggorokan,dan pilek. Adapun hasil
dari pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut:
Suhu : 39,2˚ C
19
C. PEMERIKSAAN FISIK
- Suara jantung S1 S2 Tunggal S3 S4
- Nadi Reguler Iregular HR …..
- Capilary refill < 3 detik > 3 detik
- JVP Normal Meningkat ….. cm
Kardiovaskuler
- Murmur Ya Tidak
- Gallop Ya Tidak
- Akral hangat Dingin
- Oedem Ya, lokasi…………………. Tidak
- CVP ………………………………...
- Lain- lain ………………………………...
20
- Turgor Baik……………………………………
- Jejas tidak ada, ……cm. lokasi…………
- Luka tidak ada …….cm lokasi…………
- Luka bakar tidak ada ….%, grade… lokasi
- Pupil Isokor Anisokor
Reflek cahaya ……………………………………………………
Diameter ………………..…………………………………..
- GCS ……………………………………………………
Neurologi
Abdomen
- Kontur Abdomen Normal distensi
- Jejas Tidak ya,……cm, lokasi……..
- Bising usus Tidak ada, 18x/mt
- Meteorismus Tidak ya
- Nyeri tekan Tidak ya, lokasi………
- Pembesaran Hepar Tidak ya, ……..cm bawah arcus costae
- Pembesaran Limpa Tidak ya
- Teraba Massa Tidak ya, lokasi………………………..
- Ascites Tidak ya
- BAB frekwensi/ konsistensi …………………………………………
Gastrointestinal
Nutrisi
Pola makan
- Jenis Diet/ kalori …………………………………………..
- Mendapat makanan tambahan Tidak Ya,……………………..
- Klien makan Makanan yang
disajikan Habis………….porsi
- Kesulitan menelan Tidak ya
- TB/BB ……………………………………………
- Terpasang Alat Bantu Tidak ya………………………
- Lain – lain ……………………………………………
23
Konsep Diri
Tanggapan tentang tubuh Pasien merasa tidak
- Citra diri / body image percaya diri pada perubahan bentuk tubuh klien
yang dulunya gemuk sekarang kurus
- URINE
LENGKAP
- Warna 1,020 KUNING
25
- BD 6,5 KUNING
- PH --/NEG NEGATIF
- Keton --/NEG NEGATIF
- Nitrit +/POSI NEGATIF
- Albumin --/NEG NEGATIF
- Reduksi --/NEG NEGATIF
- Urobilin --/NEG NEGATIF
- Bilirubin
SEDIMEN
- Leukosit 3 0-4/LPB
- Erytrosit 2--3 0-4LPB
- Silinder 0- -1 NEGATIF
- Epitel cel +/POSI POSITIF
- - Kristal --/NEG NEGATIF
E. TERAPI
- Infus RL 20 tts/ menit
- Cefotaxim 2x 1/ 600 mg
- Antrain 2x1 250 mg
……………………….
NIM.
26
ANALISA DATA
Impuls disampaikan ke
hypothalamus bagian
termoregulator
Hiperthermi
Proses Inflamasi
Sakit Tenggorok
Nyeri menelan
3 DS : Klien tidak mau makan Gangguan nutrisi Virus / Bakteri
karena sakit saat menelan (kurang dari keb
DO : Klien tampak lemas utuhan) Lapisan epitel dinding
porsi makan tidak habis faring
Faringtis
Disfagia,
Faringtis
Penumpukan secret
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya peradangan
2 Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi pada tenggorokan
3 Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan intake yang
kurang dengan kesulitan menelan
4 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret
29
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Kaji ulang tingkat nyeri - Agar tepat dalam memilih tindakan
selama 3 x 24 jam nyeri berkurang - Ajarkan teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri
dengan kriteria hasil: - Kaji TTV - Meningkatkan relaksasi dan
- Nyeri klien berkurang dari - Kolaborasi dalam pemberian analgetik mengurangi nyeri
skala 3 menjadi 1 - Untuk mengetahui keaadaan
- Klien tidak tampak rewel umum klien
- TTV normal Untuk mengurangi nyeri
- Suhu : 36 ˚C
- Nadi:60-100 x /menit
30
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Kaji intake makanan klien - Untuk mengetahui adanya
selama 3 x 24 jam, kebutuhan nutrisi - Anjurkan klien untuk makan makanan peningkatan nafsu makan
terpenuhi dengan kriteria hasil : yang tinggi kalori dan serat - Untuk memenuhi kebutuhan
- Klien mengatakan tidak sakit - Anjurkan makan sedikit tapi sering dan nutrisi klien
dalam menelan makanan dalam keadaan hangat - Untuk mengurangi rasa
- Klien makan dengan lahap sakit tapi makanan bias masuk
- Nafsu makan klien meningkat
- Klien nampak lebih segar
4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Identifikasi kualitas atau kedalaman naf - Untuk mengetahui keadaan nafas kl
selama 3x24 jam as klien. ien.
diharapkan klien dapat bernafas dengan - Anjurkan untuk minum air hangat. - Untuk mencairkan secret agar
lancer/efektif dengan kriteria hasil : - Ajari klien untuk batuk efektif. mudah keluar.
- Klien dapat mengeluarkan sputum - Kolaborasi untuk pemberian terapi - Untuk melegakan saluran nafas.
- Klien mengatakan dapat bernapas - Untuk mengencerkan dahak.
dengan lancer
31
TINDAKAN KEPERAWATAN
EVALUASI
BAB II
HASIL PENELITIAN
Metode PICO :
No Poin Analisa Analisa Jurnal Berdasarkan PICO
1 Problem/Population Salah satu program rehabilitasi paru yang dapat
diterapkan pada pasien TB adalah latihan
endurance atau ketahanan yang dapat memperbaiki
efisiensi dan kapasitas system transportasi oksigen.
Efek latihan endurance yang dilakukan selain
terjadi pembesaran serabut otot juga terjadi
pembesaran mitokondria yang akan meningkatkan
sumber energi kerja otot sehingga otot tidak mudah
lelah. Salah satu latihan ketahahanan yang dapat
dilakukan yaitu home based exercise Riset terkait
kualitas hidup pada pasien dengan penyakit paru
telah banyak dilakukan di Indonesia.
2 Intervention Penelitian ini menggunakan desain quasi
experiment dengan pendekatan post test only non
equivalent ontrol group. Dalam penelitian ini,
42
3 Comparisson -
4 Outcome Masalah keperawatan yang dijumpai pada pasien
TB adalah bersihan jalan nafas tidak efektif,
gangguan pertukaran gas, resiko tinggi infeksi, dan
penyebaran infeksi , intake nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, serta kurang pengetahuan tentang
kondisi , pengobatan dan pencegahan. Salah satu
manajemen bagi pasien TB adalah pengobatan.
Pengobatan TB Paru terbagi atas 2 fase, yaitu
faseintensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7
bulan. Paduan obat yang digunakan adalah paduan
obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
(lini I) adalah INH, rifamfisin, pirazinamid,
sterptomisisin, etambutol, sedankan obat tambahan
lainnya adalah: kanamisin, amikasin, kuinolon.
47
PENUTUP
KESIMPULAN
TBC (Tuberkulosis) yang juga dikenal dengan TB adalah penyakit paru-paru
akibat kuman Mycobacterium tuberculosis. TBC akan menimbulkan gejala berupa
batuk yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu), biasanya berdahak dan
terkadang mengeluarkan darah. Pada kasus didapat beberapa masalah dan juga
bebrapa diagnose keperawatan yang bias diambil. Pada jurnal yang kelompok kami
dapatkan, lebih mengarah kepada faktor pencetus dan juga pengobatan farmakologi
yang bias diterapkan dan dipakai untuk memenuhi tingkat kesembuhan yang
diinginkan. Diupayakan, dalam pembuatan intervensi hingga melaksanakan
implementasi, juga diharapkan dilakukan dan dikerjakan dengan prosedur
pengobatan dan perawatan Tb Paru dengan benar.
Faringitis adalah perandangan pada tenggorokan atau faring. Kondisi ini
disebut juga radang tenggorokan, yang ditandai dengan tenggorokan terasa nyeri,
gatal dan sulit menelan. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko
seseorang mengalami faringitis, antara lai; anak-anak berusia 3 – 15 tahun, sering
terpapar asap rokok atau polusi, memiliki riwayat alergi dll. Oleh sebab itu kami
mengusahakan membuat asuhan keperawatan yang juga sesuai, yang diharapkan
adalah proses pemulihan yang signifikan. Pasien dengan faringitis, akan tetap
dipantau secara berskala.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN TB PARU
DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Abstract. Pulmonary TB disease remains a public health problem in Indonesia. In recent years, the
prevalence of TB increases. The increased prevalence was influenced by many factors including
community socio-economic and cultural, related to tuberculosis. Data obtained from several sources, such
as literature reviews and researches, and narratively presented. From several sources had known that most
patients with pulmonary TB had less addressed the prevention of pulmonary tuberculosis. Not all comunity
know and used the program free of pulmonary tuberculosis treatment in health centers. Due to the lack of
TB socialization or there is no charge to come to the clinic. Community knowledge about TB is still low.
This paper obtained that community participation and use to increase intensive counseling. Lung TB
counselling program must be also addressed properly.
1340
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 - 1346
1341
Faktor-faktor yang Mempengaruhi...(Helper)
1342
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 -1346
Masih banyak praktek pengobatan yang kematian yang disebabkan oleh TB-paru
belum menggunakan strategi DOTS, (e) dibandingkan dengan akibat proses
Kemampuan pemerintah daerah dalam kehamilan dan persalinan. Pada jenis
menyediakan dana sangat terbatas. (disitir kelamin laki-laki penyakit ini lebih
dari :http ://tesis- tinggi karena merokok tembakau dan
skripsi.blogspot.com/2008/05/analisis minum alkohol sehingga dapat
faktor-faktor yang.htm/). menurunkan system pertahanan tubuh,
sehingga lebih mudah terpapar dengan
Hiswani (2009) mengatakan bahwa
agent penyebab TB-paru. (disitir dari
keterpaparan penyakit TBC pada seseorang
http://library.usu.ac.id/download/fkm-
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
hiswani6.pdf 2009). Demikian
status sosial ekonomi, status gizi, umur,
penelitian Herryanto (2004), terdapat
jenis kelamin dan faktor sosial lainnya,
proporsi menurut jenis kelamin, laki-
untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai
laki sebesar 54,5 % dan perempuan
berikut:
sebesar 45,5 % yang menderita TB paru,
1. Faktor Sosial Ekonomi : Disini sangat sebagian besar mereka tidak bekerja
erat dengan keadaan rumah, kepadatan 34,9 % dan berpendidikan rendah (tidak
hunian, lingkungan perumahan, sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD)
lingkungan dan sanitasi tempat kerja sebesar 62,9 %.
yang buruk dapat memudahkan
Menurut Amira Permatasari, (2005)
penularan TBC. Pendapatan keluarga mengemukakan disamping faktor medis.
sangat erat juga dengan penularan TBC,
Faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap
karena pendapatan yang kecil membuat
dan perilaku yang sangat mempengaruhi
orang tidak dapat layak dengan keberhasilan pengobatan sebagaimana
memenuhi syarat-syarat kesehatan.
diuraikan di bawah ini:
2. Status gizi : Keadaan malnutrisi atau A . Faktor Sarana : (1)
kekurangan kalori, protein, vitamin, zat Tersedianya obat yang cukup dan kontinu,
besi dan Iain-lain, akan mempengaruhi (2) Dedikasi petugas kesehatan yang baik ,
daya tahan tubuh seseorang sehingga (3) Pemberian regiment OAT yang adekuat.
rentan terhadap penyakit termasuk TB-
paru. Keadaan ini merupakan faktor B. Faktor penderita : (1)
penting yang berpengaruh di negara Pengetahuan penderita yang cukup
miskin, baik pada orang dewasa maupun mengenai penyakit TB paru. Cara
anak-anak. pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak
adekuat, (2) Cara menjaga kondisi tubuh
3. Umur : Penyakit TB paru paling sering yang baik dengan makanan bergizi. cukup
ditemukan pada usia muda atau usia istirahat, hidup teratur dan tidak minum
produktif 15-50 tahun . Dengan alcohol atau merokok. (3) Cara menjaga
terjadinya transisi demografi saat ini kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak
menyebabkan usia harapan hidup lansia membuang dahak sembarangan, bila batuk
menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut menutup mulut dengan saputangan, jendela
lebih dari 55 tahun system imunolosis rumah cukup besar untuk mendapat lebih
seseorang menurun, sehingga sangat banyak sinar matahari. (4) Sikap tidak perlu
rentan terhadap berbagai penyakit, merasa rendah diri atau hina karena TB paru
termasuk penyakit TB-paru. adalah penyakit infeksi biasa dan dapat
4. Jenis kelamin: Penderita TB-paru disembuhkan bila berobat dengan benar. (5)
cenderung lebih, tinggi pada laki-laki Kesadaran dan tekad penderita untuk
dibandingkan perempuan. Menurut sembuh.
Hiswani yang dikutip dari WHO, C. Faktor keluarga dan
sedikitnya dalam periode setahun ada masyarakat lingkungan : (1) Dukungan
sekitar 1 juta perempuan yang keluarga sangat menunjang keberhasilan
meninggal aicibat TB paru, dapat pengobatan seseorang dengan cara selalu
disimpulkan bahwa pada kaum mengingatkan penderita agar makan obat,
perempuan lebih banyak terjadi pengertian yang dalam terhadap penderita
1343
Faktor-faktor yang Mempengaruhi... ( Helper)
yang sedang sakit dan memberi semangat positif bahkan masih rendah sekali dan
agar tetap raj in berobat. masih adanya droup out (lalai) dan
kegagalan dalam pengobatan. Dari uraian di
Dari hasil Riskesdas 2007, diketahui
atas diketahui belum semua petugas P2 TB
bahwa prevalensi TB paru cenderung
-Paru atau baru 50 % mendapat pelatihan
meningkat sesuai dengan bertambahnya
tentang P2 TB-Paru dan belum terampilnya
umur dan prevalensi tertinggi pada usia
petugas untuk melaksanakan protap
lebih dari 65 tahun . Prevalensi TB paru
penemuan penderita TB-Paru di Puskesmas.
pada laki-laki 20 % lebih tinggi
Beberapa petugas program P2 TB-Parupun
dibandingkan perempuan, selain itu
mengatakan beban kerja cukup berat,
prevalensi tiga kali lebih tinggi di pedesaan
pekerjaan merangkap program lainnya, tidak
dibandingkan perkotaan serta empat kali
adanya kompensasi yang bermakna terhadap
lebih tinggi pada pendidikan rendah
prestasi yang mereka capai.
dibandingkan pendikan tinggi.
Dari hasil penelitian Herryanto dkk
(2004), mengemukakan tentang karakteristik Upaya penanggulangan TB
kasus kematian penderita TB paru yang
Upaya penanganan dan
hampir tersebar pada semua kelompok
pemberantasan TB paru telah dilakukan
umur, dan paling banyak pada kelompok
pada awal tahun 1990 -an WHO telah
usia 20-49 tahun (58,3 %) yang merupakan
mengembangkan strategi penanggulangan
usia produktif dan usia angkatan kerja.
TB yang dikenal sebagai strategi DOTS.
Sebagaimana diuraikan diatas Focus utama DOTS adalah penemuan dan
penyakit menular yang dapat menimbulkan penyembuhan pasien, dengan prioritas
kerugian sosial ekonomi ini, berdasarkan pasien TB tipe menular. Strategi ini akan
data dari program sejak tahun 1995 memutuskan penularan TB dan diharapkan
sebenarnya telah ada obatnya, yang efektif menurunkan insidens TB di masyarakat.
dan murah, namun pengobatan TBC yang Menemukan dan menyembuhkan pasien
harus dilakukan selama 6 bulan harus diikuti merupakan cara terbaik dalam upaya
dengan manajemen kasus dan tatalaksana pencegahan penularan TB (Depkes, 2007).
pengobatan yang baik. Angka drop-out
Tjandra Yoga (2007),
(DO) pengobatan TBC paru secara nasional
mengemukakan bahwa seseorang yang sakit
diperkirakan tinggi. Hal ini sangat
TB dapat disembuhkan dengan minum obat
berbahaya, karena penelitian telah
secara lengkap dan teratur. Obat disediakan
memperlihatkan bahwa pengobatan yang
oleh pemerintah secara gratis di sarana
dilakukan dengan tidak teratur akan
pelayanan kesehatan yang telah menerapkan
memberi efek yang lebih buruk dari pada
strategi Dots (Directly Observed Tretment
tidak diobati sama sekali. Resistensi obat
Short course) seperti di Puskesmas, Balai
terjadi akibat seseorang tidak berobat tuntas
pengobatan Penyakit Paru dan beberapa
atau bila diberi obat yang keliru akan
rumah sakit.
memberikan dampak buruk tidak hanya
kepada yang bersangkutan tetapi juga Menurut Ahmad tahun (2008)
kepada epidemiologi TBC di daerah perbaikan sosial ekonomi, peningkatan taraf
tersebut. (Kajian riset operasional hidup dan lingkungan serta kemajuan
intensifikasi pemberantasan penyakit teknologi banyak membawa perubahan. Di
menular tahun 1998-1999-2003 kerjasama Negara-negara maju, jauh sebelum
Ditjen P2M & PLP dan Balitbangkes). ditemukan obat anti TB (tuberkulostatika
dan tuberkulosid) berkat perbaikan sosial
Syafei Hari Kusnanto (2006) dalam
ekonomi, jumlah penderita menurun 10-15
studi analisisnya menggambarkan bahwa
% per tahun. Dengan demikian dapat
angka pencapaian indikator program P2 TB-
disimpulkan bahwa penyakit TB sebenarnya
Paru Dinas Kesehatan Kota Jambi secara
dapat hilang dengan sendirinya jika ada
keseluruhan dapat memberikan gambaran
perbaikan sosial ekonomi tanpa
dimana ada beberapa indikator yang belum
"Obat".(disitir dari http ://yasirblogspot
mencapai target yaitu penemuan suspek TB-
com.blogspot.com/2009/04). Julianti
Paru, penemuan TB-Paru dengan BTA
1344
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 - 1346
1345
Faktor-faktor yang Mempengaruhi...( Helper)
Herryanto, D.Anwar Musadad dan Freddy M.Komalig Pikiran rakyat (2004) Waspadai Penyakit TB paru,
(2004), Riwayat pengobatan penderita TB Seorang Penderita TB Dewasa Bisa
paru meninggal di Kabupaten Bandung, Menulari Sepuluh Anak. Http.'/Avww.pikiran
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No. 1, April rakvat.com/cetak0304/28hikmah/lainnva02.
2004: 1-6 htm).
Hiswani (2009). Tuberkulosis merupakan Penyakit Syafei, Hari Kusnanto (2006), Studi Analisis Faktor
Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kinerja Petugas di Kota Jambi, KMPK
Kesehatan masyarakat. Universitas Gajah Mada.
Http://librarv.usu.ac.id/download/fkm- Tjandra Yoga (2007). Diagnosis TB pada anak lebih
hiswani6.pdf 2009). sulit, Mediakom info sehat untuk semua
Julianty Pradono (2007), kesehatan dalam Departemen Kesehatan RI.
pembangunan berkelanjutan, Jurnal Ekologi Waspada (2009) Perokok berpotensi dua kali lipat
Kesehatan . Vol.6 No.2 Agustus 2007. terjangkit TB aktif.
Kajian riset operasional intensifikasi pemberantasan Http://waspada.co.id/index2.php?0ption=co
penyakit menular tahun 1998-1999-2003 m content&do_pdf=l&id=48857).
kerjasama Ditjen P2M &PLP dan
Balitbangkes).
1346
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN
PENGOBATAN TUBERKULOSIS (TB) PARU PADA PASIEN
PASCA PENGOBATAN DI PUSKESMAS DINOYO
KOTA MALANG
Yulinda Nur Maulidya
Endang Sri Redjeki
Erianto Fanani
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang
email: yulinmaulidya30@gmail.com
Abstract: Pulmonary tuberculosis (TB) become the most important health problem
in the world. However, seeing the large number of cases of illness and death form
TB, the disease can still be cured through treatment..The indicator used as a
treatment evaluation is the success rate of treatment, and there are many factors
that can influence the success of TB treatment. This study aims to determine the
factors that can influence the success of treatment seen from aspects of age,
education, income, type of treatment, knowladge, attitude of patients and the
presence or absence of drug supevisor (PMO) in patients with post-treatment
pulmonary TB in Puskesmas Dinoyo. This research is a case control study with 20
people in case group and 10 people in the control group. Tha case group is a
pulmonary TB patients who has been declared cured and the control group is a
pulmonary TB patients who otherwise not cured (failed, dropped out, stopped
treatment).Analysis using Kolmogorov Smirnov test and Fisher’s Exact test
indicates that patients attitude and presence/absence of drug supervisor (PMO)
have a significant relationship with successful treatment of pulmonary TB. While
age, education, income, type of treatment and knowledge have no significant
relationship with the successful treatment of pulmonary TB. Patients with a “good”
attitude have an opportunity to recover 4.3 times more than patients who have
“bad” or “good enough” attitudes. Patients who have drug supervisor (PMO) also
tend to have an opportunity to recover 13.5 times greater than patients who do not
have a drug supervisor (PMO)
Abstrak: Penyakit tuberkulosis (TB) paru menjadi masalah kesehatan yang paling
utama didunia. Namun, melihat banyaknya jumlah kasus kesakitan dan kematian
akibat TB, penyakit ini masih dapat disembuhkan melalui pengobatan. Indikator
yang digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan pengobatan,
dan ada banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan
TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pengobatan dilihat dari aspek usia, pendidikan,
penghasilan, tipe pengobatan, pengetahuan, sikap pasien serta ada/tidaknya
Pengawas Minum Obat (PMO) pada pasien TB paru pasca pengobatan di Puskesmas
Dinoyo. Penelitian ini berupa penelitian case control dengan 20 orang pada
kelompok kasus dan 10 orang pada kelompok kontrol. Kelompok kasus merupakan
pasien TB paru yang telah dinyatakan sembuh dan kelompok kontrol merupakan
pasien TB paru yang dinyatakan tidak sembuh (gagal, drop out, putus berobat).
Hasil analisis menggunakan uji kolmogorov smirnov dan uji fisher’s exact
menunjukkan bahwa sikap pasien dan ada/tidaknya PMO memiliki hubungan yang
signifikan dengan keberhasilan pengobatan TB paru. Sedangkan usia, pendidikan,
penghasilan, tipe pengobatan dan pengetahuan tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan keberhasilan pengobatan TB paru. Pasien yang memiliki sikap
yang “baik” memiliki kesempatan untuk sembuh 4,3 kali lipat daripada pasien yang
memiliki sikap “tidak baik” atau “cukup baik”. Pasien yang memiliki PMO juga
cenderung memiliki kesempatan untuk sembuh 13,5 kali lebih besar dibandingkan
pasien yang tidak memiliki PMO.
Kata Kunci: tuberkulosis (TB) paru, faktor resiko, keberhasilan pengobatan
Penyakit TB telah menjadi masalah Berdasarkan data angka kesembuhan
kesehatan yang paling utama di dunia. dan keberhasilan pengobatan TB BTA
Berdasarkan laporan World Health Positif di Indonesia tahun 2008-2014,
Organization (WHO) dalam Global dapat disimpulkan bahwa terdapat
Tuberculosis Report 2015, death rate penurunan angka keberhasilan
atau angka kematian yang disebabkan pengobatan pada tahun 2014
oleh penyakit TB didunia memang telah dibandingkan 6 tahun sebelumnya. Pada
menurun hingga sebesar 47% sejak tahun 2014 angka keberhasilan
tahun 1990 hingga tahun 2000. Namun, pengobatan sebesar 81,3%. WHO
pada tahun 2014 angka kejadian dan menetapkan standar angka keberhasilan
angka kematian yang disebabkan oleh pengobatan sebesar 85%. Dengan
TB masih sangat tinggi dan bahkan demikian pada tahun 2014, Indonesia
menjadi salah satu dari lima penyakit belum mencapai standar tersebut dan
yang mematikan pada wanita usia 20-59 harus memenuhi 3,7% target yang
tahun. Diperkirakan, jumlah penderita kurang. Sementara Kementerian
kasus TB sebesar 9,6 juta kasus, dimana Kesehatan menetapkan target Renstra
1,5 diantaranya meninggal akibat minimal 88% untuk angka keberhasilan
penyakit TB (WHO, 2015). pengobatan pada tahun 2014.
Berdasarkan laporan World Berdasarkan hal tersebut, capaian angka
Health Organization (WHO) dalam keberhasilan pengobatan tahun 2013
Global Tuberculosis Report 2015, yang sebesar 81,3% juga tidak
Indonesia merupakan salah satu dari 3 memenuhi target Renstra tahun 2014
negara yang memiliki Burden of Disease (Kemenkes RI, 2015).
jumlah kasus TB tertinggi di dunia Ada banyak faktor yang dapat
setelah China dan India. Diperkirakan mempengaruhi keberhasilan pengobatan
pada tahun 2014, jumlah kematian TB. Tinggi rendahnya TSR atau
akibat TB sebesar 100 ribu kasus atau Treatment Success Rate dipengaruhi
sekitar 41 kasus per 100.000 penduduk oleh beberapa faktor, antara lain; 1)
(bagi penderita TB tanpa HIV) dan 22 Faktor pasien: pasien tidak patuh minum
ribu kasus atau sekitar 8,5 per 100.000 obat anti TB (OAT), pasien pindah
penduduk (bagi penderita TB disertai fasilitas pelayanan kesehatan, dan TB
HIV) (WHO, 2015). nya termasuk yang resisten terhadap
Berdasarkan survey yang OAT. 2) Faktor pengawas minum obat
dilakukan oleh Kementrian Kesehatan (PMO): PMO tidak ada, PMO ada tapi
RI tentang cakupan penemuan kasus kurang memantau. 3) Faktor obat: suplai
penyakit TB Paru, diperoleh hasil bahwa OAT terganggu sehingga pasien
cakupan penemuan semua kasus TB di menunda atau tidak meneruskan minum
Indonesia pada tahun 2014 adalah obat, dan kualitas OAT menurun karena
sebesar 285.254 kasus. Sedangkan penyimpanan tidak sesuai standar
jumlah kasus baru TB Paru BTA Positif (Kemenkes RI, 2014).
adalah sebesar 176.677 kasus. Di Kota Malang, jumlah
Prosentase CDR atau Case Detection penderita TB meningkat dari tahun 2015
Rate kasus TB di Indonesia ini adalah hingga tahun 2016. Hingga akhir tahun
sebesar 70,08% (Kemenkes RI, 2015). 2015, jumlah penderita TB yang tercatat
Salah satu upaya untuk mencapai 1.368 penderita sedangkan
mengendalikan dan menanggulangi pada triwulan ketiga tahun 2016
banyaknya penderita TB yaitu dengan meningkat menjadi 1.382 penderita
pengobatan. Indikator yang digunakan (Dinkes Kota Malang, 2016).
sebagai evaluasi pengobatan yaitu angka
keberhasilan program (success rate).
Angka keberhasilan pengobatan ini
dibentuk dari angka kesembuhan (cure
rate) dan angka pengobatan lengkap.
Berdasarkan survey awal yang faktor-faktor apasajakah yang dapat
dilakukan oleh peneliti, Puskesmas mempengaruhi keberhasilan pengobatan
Dinoyo merupakan salah satu TB di Puskesmas Dinoyo. Dengan
puskesmas dengan jumlah penderita TB harapan, peneliti dapat memberikan
tertinggi di Kota Malang. Berdasarkan pengetahuan dan manfaat pada berbagai
data yang diperoleh, diketahui bahwa pihak termasuk pihak pemberi layanan
pada tahun 2015, jumlah penderita TB
kesehatan dan penderitanya. Maka dari
sebanyak 81 pasien dengan 58
diantaranya merupakan pasien TB Paru. itu, peneliti ingin melakukan penelitian
Sedangkan pada tahun 2016 jumlah analitik observasional yang berjudul
penderita TB adalah 80 orang dengan 66 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
diantaranya merupakan pasien TB Paru. Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis
Angka kesembuhan di Puskesmas (TB) Paru pada Pasien Pasca
Dinoyo ini terhitung sekitar 72% dari Pengobatan di Puskesmas Dinoyo Kota
total seluruh pasien di tahun 2016. Malang.
Berdasarkan data tersebut,
peneliti ingin melihat gambaran terkait
METODE
Desain penelitian yang penelitian ini. Instrumen penelitian
digunakan adalah analitik observasional yang digunakan adalah kuisioner
dengan pendekatan penelitian case penelitian yang telah diuji reliabilitas
control. Populasi dalam penelitian ini dan validitasnya, serta rekam medis
terdiri dari populasi kasus dan populasi pasien TB Puskesmas Dinoyo.
kontrol. Populasi kasus merupakan Penelitian ini dilaksanakan di wilayah
pasien TB paru yang telah dinyatakan kerja Puskesmas Dinoyo selama 2 bulan,
sembuh pada tahun 2016 di Puskesmas yaitu bulan Februari-Maret 2017.
Dinoyo, yaitu sebanyak 34 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan
Sedangkan populasi kontrol merupakan membagikan instrumen penelitian yang
pasien TB paru yang dinyatakan tidak berupa kuisioner pada masing-masing
sembuh (gagal, drop out, putus berobat) responden. Analisis data yang digunakan
selama tahun 2016 di Puskesmas adalah analisis univariat dan analisis
Dinoyo, yaitu sebanyak 10 orang. bivariat menggunakan uji kolmogorov-
Teknik sampling yang digunakan adalah smirnov dan uji fisher’s exact dengan
total sampling, sehingga seluruh aplikasi SPSS vw 16.
populasi dijadikan sebagai sampel dalam
HASIL
Karakteristik Responden
alamat tidak jelas) maka jumlah akhir
Responden dalam penelitian ini yang berhasil menjadi responden dalam
berjumlah 44 pasien. Jumlah responden penelitian ini adalah; responden kasus
kasus adalah sebanyak 34 pasien, dan sebanyak 20 orang dan responden
jumlah responden kontrol adalah kontrol sebanyak 10 orang. Berikut
sebanyak 10 pasien. Namun, karena satu adalah karakteristik responden dalam
dan lain hal (tidak bersedia menjadi penelitian ini:
responden, pindah tempat tinggal, dan
Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Total
Jenis Kelamin Sembuh Tidak Sembuh Total
N % N % N %
Laki-laki 9 45% 6 60% 15 50%
Perempuan 11 55% 4 40% 15 50%
Total 20 100% 10 100% 30 100%
Usia
Penghasilan
Pengetahuan
Ada/Tidaknya PMO
Tabel 8. Tabulasi Silang Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Keberhasilan Pengobatan
TB Paru
Pengawas Keberhasilan Pengobatan TB Paru
P OR (95%
Minum Obat Sembuh Tidak Sembuh Total value IK)
(PMO) N % N % N %
Ada 18 90% 4 40% 22 73% 13,5
Tidak Ada 2 10% 6 60% 8 27% 0,026 (1,955-
93,246)
Total 20 100% 10 100% 30 100%
*Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan, Indonesia
Email: ondri19@gmail.com
Abstract
Pharmacogenomics is the study of genetic influences of individual variations in drug response. The influence of
genetic in drug response has been showed about 20%–95% of variations in drug pharmacokinetics and effects.
Activity of rifampicin as bactericidal against Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) have been demonstrated
plasma concentration-dependent. ‘Concentration-dependent ’ means that increasing doses followed by
increasing rifampicin plasma concentration above the M.tb’s minimum inhibition concentration (MIC) induces
more rapid bactericidal effect against the M.tb. indicated by sputum conversion. On standard tuberculosis
therapy, among patients have been showed wide intersubject variation of rifampicin plasma concentration. The
variation was related to genetic difference among patients. Rifampicin is a substrate of organic anion
transporting polypeptide 1B1 (OATP1B1) which is expressed on the sinusoidal membrane of human
hepatocytes. OATP1B1 is coded by for the solute carrier organic anion 1B1 (SLCO1B1) gene. A large number
of sequence variants have been found in the SLCO1B1 gene. SLCO1B1 rs4149032 and c.463 C>A was present
in most patients pulmonary tuberculosis and was associated with substantially reducing rifampicin plasma
concentration.The allele frequency of the SLCO1B1 c.463 C>A polymorphism in Indonesian subject was
showed C 30% A 70%. Individual genetic variation may cause variation in individual rifampicin response
among individual pulmonary tuberculosis patient. It will impact variation in clinical outcome, in this case is
sputum conversion.
Abstrak
Farmakogenomik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh genetik terhadap variasi antar individu pada
respon obat. Pengaruh genetik tiap individu terhadap respon obat ditunjukkan dengan adanya variasi berkisar
20--95% pada peruraian obat dalam tubuh dan efeknya. Efektivitas rifampisin sebagai bakterisida terhadap
Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) sangat bergantung pada konsentrasi rifampisin dalam plasma. Peningkatan
dosis akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi rifampisin dalam plasma di atas konsentrasi hambat minimal
(MIC) M.tb dapat menginduksi lebih cepat efek bakterisida terhadap M.tb dan diindikasikan dengan outcome
klinis (konversi dahak). Pada standar terapi tuberkulosis, konsentrasi rifampisin dalam plasma antar pasien TB
menunjukkan variasi yang lebar. Variasi antar pasien ini erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-
masing pasien tersebut. Rifampisin merupakan substrat dari protein polipeptida transporter organik anion
(OATP1B1) yang diekspresikan pada membran sinusoidal hepatosit. Gen solute carrier organic anion 1B1
(SLCO1B1) merupakan gen penyandi OATP1B1 dan diketahui terdapat variasi urutan gen. SLCO1B1
rs4149032 dan c.463 C>A dijumpai pada sebagian besar pasien tuberkulosis paru dan berhubungan dengan
penurunan kadar rifampisin dalam plasma. Pada subyek Indonesia menunjukkan adanya polimorfisme gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A 70%. Variasi genetik antar individu ini diduga dapat
menyebabkan variasi respon rifampisin antar individu pasien tuberkulosis paru yang berdampak adanya variasi
outcome klinis, dalam hal ini konversi dahak.
DNA yang dapat ditranskripsikan menjadi manusia.35-36 Skema alur dari DNA
RNA fungsional dan protein, pada waktu menjadi protein seperti terlihat pada
dan tempat yang sesuai selama Gambar 1.
pertumbuhan dan perkembangan
11
Gambar 1. Alur DNA menjadi protein
Protein adalah molekul makro yang terhadap respon obat. Pengaruh faktor
berperan dalam hampir semua fungsi sel, genetik terhadap respon obat ditunjukkan
yaitu bahan pembangunan struktur sel dan dengan adanya variasi antar individu
membentuk enzim-enzim yang berkisar 20--95% pada peruraian obat
mengkatalisis reaksi-reaksi kimia di dalam dalam tubuh dan efeknya. 32 Beberapa
sel, meregulasi ekspresi gen, serta individu pasien memerlukan pemberian
memungkinkan sel untuk bergerak dan obat dengan dosis yang lebih tinggi
berkomunikasi antar sel. 35 daripada individu pasien lain untuk
DNA berada di inti sel (nukleus) dan mencapai keberhasilan terapi. Disamping
tidak dijumpai di sitoplasma. Sedangkan itu, beberapa individu pasien dapat timbul
protein yang berperan dalam metabolisme efek yang tidak dikehendaki meskipun
ada di sitoplasma dan tidak ada di diberikan obat dengan dosis yang lebih
inti.Perlu adanya penghubung antara DNA rendah daripada individu pasien yang
dengan protein yaitu molekul yang lain.36,37 Secara genetik diketahui bahwa
dijumpai di inti maupun sitoplasma. variasi antar individu tersebut karena
Penghubung antara DNA dengan protein adanya variasi urutan gen yang mengkode
yang RNA. 36 enzim metabolisme obat, transporter obat,
atau target obat. 32
Konsep Dasar Farmakogenomik Gen adalah fragmen DNA yang
mengandung informasi terkait satu sifat
Farmakogenetik adalah ilmu yang
spesifik yang secara genetik dipindahkan
mempelajari mengenai pengaruh genetik
dari orang tua ke anak. Hal ini pada
61
umumnya mengandung 2 allel yang transpor. Variasi genetik pada setiap tahap
masing-masing ditempatkan pada 1 proses tersebut akan mengubah konsentasi
kromosom dari pasangan kromosom. obat dalam plasma dan akan mengubah
Dengan demikian variasi genetik respon obat yang dapat berupa respon yang
disebabkan oleh karena mutasi, yaitu dikehendaki atau sebaliknya berupa respon
adanya perbedaan allel. Allel yang banyak obat yang tidak dikehendaki. 36
terdapat di populasi dinyatakan dengan Absorpsi, distribusi dan eliminasi
istilah wild type dan lainnya disebut obat dimodulasi oleh transporter melalui
dengan varian allel. 38 Pada tingkat pengendalian influx dan eflux obat ke
molekular, variasi genetik dapat mengubah dalam sel. Belakangan ini telah banyak
struktur protein target melalui mutasi pada diungkapkan hasil penelitian yang
daerah penyandi gen atau sejumlah protein menunjukkan polimorfisme genetik
diekspresikan oleh modulasi gen regulasi, transporter dapat mempunyai dampak
sehingga akan mengubah fungsi protein yang bermakna pada peruraian obat,
atau kecepatan dan konstanta kinetik efikasi obat dan keamanan obat. 37
enzim. 37
Mutasi diistilahkan sebagai Farmakodinamik berkaitan dengan
polimorfisme jika terdapat perpindahan ke efek farmakologi obat dengan reseptor,
generasi berikutnya dengan frekuensi enzim dan saluran ion. Obat akan di
sekurang-kurangnya 1%. Gen pada absorpsi dan di transpor ke tempat target
manusia merupakan subyek genetik obat. Efek obat akan berubah apabila
polimorfisme yang lebar, dengan sejumlah terdapat perbedaan respon obat di tempat
polimorfisme yang menghasilkan efek target obat. Oleh karena itu, adanya
fungsional secara bermakna. Terdapat 3 polimorfisme pada gen yang menyandi
tipe utama keberadaan mutasi genetik target obat kemungkinan akan mengubah
yaitu polimorfisme nukleotida tunggal respon individu terhadap pengobatan 36).
(SNPs); variabel jumlah tandem yang Polimorfisme genetik juga dimungkinkan
berulang; dan basa yang disisipkan atau mengubah status penyakit yang merupakan
dihilangkan pada satu atau lebih target terapi obat. Variasi genetik pada
nukleotida. Istilah SNPs terkait dengan status penyakit juga perlu mendapat
perbedaan antara allel hanya pada 1 perhatian untuk mengkaitkan terapi obat
nukleotida tunggal. Sampai saat ini, dengan spesifik genotipe yang
banyak penelitian farmakogenetik yang berhubungan dengan penyakit dan respon
mengkaitkan SNPs dengan respon obat. obat. 36
Sekelompok SNPs yang berada dalam
wilayah kromosom yang sama dikenal Epidemiologi TB di Indonesia
sebagai haplotipe yang dimungkinkan
untuk dianalisis guna lebih menjelaskan WHO Global Tuberculosis Report
variasi farmakogenetik. 38 melaporkan estimasi insiden, prevalen dan
mortalitas TB di Indonesia pada tahun
Mekanisme Pengaruh Variasi Genetik 2013 dalam angka mutlak, yaitu berturut-
Terhadap Respon Obat turut 460 (95% CI 410 - 520), 680 (95%
CI 340 – 1.100), dan 64 (95% CI 36 - 93).
Mekanisme pengaruh variasi genetik Sedangkan estimasi angka insiden,
terhadap respon obat dapat dikategorikan prevalen dan mortalitas TB di Indonesia
kedalam 3 rute, yaitu farmakokinetik, pada tahun 2013 yang dinyatakan dalam
farmakodinamik dan pathway penyebab 100.000 penduduk, yaitu berturut-turut
penyakit. 36- 38 Farmakokinetik suatu obat 183 (95% CI 164 - 207), 272 (95% CI 138
berkaitan dengan proses absorpsi, - 450), dan 25 (95% CI 14 - 37). Secara
distribusi, metabolisme, ekskresi dan global, sesuai urutan besarnya angka
63
dilakukan karakterisasi pada tingkat basolateral diangkut masuk ke dalam
molekul serta identifikasi keberadaan di hepatosit. OATP1B1 merupakan
jaringan ataupun di membran sel tubuh transporter influx yang disandi sebagai
manusia. 44 Transporter influx dan efflux gen Solute Carrier Organic Anion
dalam membran plasma sel yang transporter family, member 1B1
terpolarisasi di jaringan, berperan penting (SLCO1B1). Didalam hepatosit, rifampisin
dalam farmakokinetik yang ditunjukkan dimetabolisme dan atau dipompa keluar
dengan pengaruh yang bermakna terhadap melalui PGP ke saluran empedu untuk
absorpsi, distribusi dan eliminasi obat. dieliminasi. Rifampisin dimetabolisme
Transporter ini diketahui secara parsial oleh enzim esterase menjadi turunan
bertanggungjawab dalam penentuan desasetil, selanjutnya bentuk utuh dan
konsentrasi maksimum obat dalam plasma metabolit diekskresi kedalam saluran
dan jaringan perifer sehingga berpengaruh empedu dan dieliminasi kedalam
terhadap efikasi dan toksisitas obat. 44 feses.25,46
Rifampisin diabsorpsi dengan baik Rifampisin tidak hanya merupakan
dari saluran cerna. Untuk masuk ke dalam substrat OATP1B1 tetapi juga
darah, rifampisin harus melewati membran menghambat obat-obat yang dimediasi
enterosit. Membran ini mengandung P- OATP1B1 ke hati. Rifampisin yang telah
glycoprotein (PGP) yang merupakan berada dalam hepatosit, dimungkingkan
transporter efflux. PGP akan mengikat berinteraksi dengan Pregnan X Reseptor
dan selanjutnya menghidrolisa ATP untuk (PXR) yang dapat meningkatkan regulasi
menghasilkan energi yang digunakan beberapa enzim metabolisme dan beberapa
untuk transport rifampisin melintasi pengakut obat. 25
membran sel 46). Rifampisin merupakan Skema lokasi transporter ATP
substrat dan menginduksi protein PGP Binding Cassette (ABC), Solute Carrier
yang disandi sebagai gen ATP Binding (SLC) dan keterlibatannya dalam absorpsi,
Cassette, Subfamily B, member 1 metabolisme dan eliminasi rifampisin
(ABCB1) atau juga dikenal dengan nama seperti gambar berikut:
lain yaitu gen Multidrug Resistance 1
(MDR1). Rifampisin yang telah lolos dari
pompa efflux PGP akan masuk ke dalam
saluran darah, selanjutnya oleh transporter
Organic Anion Polypeptide 1B1
(OATP1B1) yang terletak di membran
Gambar 2. Skema lokasi transporter ABC, SLC dan keterlibatannya dalam absorpsi,
metabolisme dan eliminasi rifampisin11
65
Gambar 3. Lokasi gen SLCO1B1 dalam kromosom 12 20
Keterangan:
Gambar 4. konsentrasi rifampisin dalam plasma antara pasien TB paru dengan gen
c.463C>A genotipe CA dengan genotipe CC48
Keterangan:
67
Pembahasan oleh gen tersebut. Untuk mengetahui pola
variasi genotipe gen SLCO1B1 SNP
Frekuensi varian genotipe
c.463C>A maupun SNP rs4149032 telah
SLCO1B1 SNP c.463C>A dan frekuensi
dilakukan studi pendahuluan
varian genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032
menggunakan 30 orang sehat, 60% laki-
pada populasi dari wilayah yang berbeda
laki, dan berumur 25 – 58 tahun. Hasil
menunjukkan adanya perbedaan. Frekuensi
studi pendahuluan menunjukkan bahwa
varian genotipe SLCO1B1 SNP c.463C>A
gen SLCO1B1 SNP c.463C>A terdapat
pada penelitian Chigutsa et al.
polimorfisme yaitu frekuensi allel C 30%,
diungkapkan kecil (4%) dan frekuensi
allel A 70%, sedangkan pada SNP
varian genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032
rs4149032 tidak terdapat polimorfisme
diungkapkan frekuensinya besar (70%). 31
yaitu frekuensi allel C 100%. Variasi
Hal ini berbeda dengan penelitian Kwara
genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
et al. dan Weiner et al. yang menggunakan
dari subyek yang ada, diperoleh proporsi
pasien TB paru dari wilayah yang berbeda,
genotipe CC 46,7%, CA 46,7%, dan AA
dimana diungkapkan varian genotipe
6,6%. Frekuensi polimorfisme gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A lebih besar
SLCO1B1 SNP c.463C>A dan SNP
daripada pada penelitian Chigutsa et al.
rs4149032 ditentukan menggunakan Real-
Terkait frekuensi genotipe SNP c.463C>A,
time PCR primer yang sesuai 30, 31, 33, 34, 48).
data lain menunjukkan bahwa di populasi
sehat Eropa diketahui berkisar 13-23% di Individu yang diketahui mempunyai
populasi Eropa, 2-10% di Sub Sahara konsentrasi maksimum rifampisin dalam
Afrika/Afrika-Amerika dan 0-3% di Asia plasma yang rendah, dapat dinaikan
Timur.44 Sedangkan terkait dengan dengan penambahan dosis rifampisin
frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP untuk dapat mencapai konsentrasi
rs4149032, di populasi Nigeria sebesar maksimum terapetik dalam plasma (8 - 20
75%, Kaukasia 29% dan Asia 56% 31). µg/ml). Pasien TB yang menunjukkan
Frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP respon yang lambat pada pengobatan
c.463C>A dan SLCO1B1 rs4149032 di dengan obat TB dosis standar, setelah
populasi pasien TB maupun di populasi dinaikkan dosis rifampisin, menunjukkan
orang sehat di Indonesia belum diketahui. perbaikan respon secara klinis, secara
Di samping itu, perbedaan varian genotipe radiografi maupun secara
11,24, 49
SLCO1B1 SNP c.463C>A pada populasi mikrobakterologi. Peningkatan dosis
dari etnik yang berbeda juga menunjukkan rifampisin untuk mencapai konsentrasi
perbedaan frekuensi. Hal ini seperti maksimum rifampisin dalam plasma tidak
diungkapkan Weiner et al. 30) bahwa menimbulkan efek samping.50
proporsi gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
Kesimpulan
genotipe CA pada subyek kulit hitam lebih
besar daripada subyek kulit putih. Subyek Indonesia menunjukkan
adanya polimorfisme gen SLCO1B1 SNP
Variasi genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A
c.463C>A maupun SNP rs4149032 pada 70%. Variasi genetik antar individu ini
populasi pasien TB di Indonesia belum diduga dapat menyebabkan variasi respon
diketahui. Pola variasi genotipe pada
rifampisin antar individu pasien TB paru
populasi pasien TB tidak berbeda dengan baru yang berdampak adanya variasi
pola pada populasi orang sehat 30). Hal ini outcome klinis, dalam hal ini konversi
mengingat gen SLCO1B1 SNPs c.463C>A dahak.
maupun SNPs rs4149032 ada pada semua
orang dan akan beraksi terhadap obat bila Saran
individu terpapar dengan obat yang Marka genetik SLCO1B1 SNP
menjadi substrat dari protein yang disandi c.463C>A dapat digunakan sebagai
prediktor respon rifampisin secara 10. Donald, P.R., Maritz, J.S. & Diacon, A.H.,
individual. Selanjutnya dapat digunakan 2011. The pharmacokinetics and
pharmacodynamics of rifampicin in adults and
sebagai intervensi dan tata laksana children in relation to the dosage recommended
pengobatan TB yaitu digunakan sebagai for children. Tuberculosis, 91(3), pp.196–207.
skrining pada awal pengobatan untuk 11. Franke, R.M., Gardner, E.R. & Sparreboom, A.,
memperhitungkan pemberian dosis 2010. Pharmacogenetics of drug transporters.
rifampisin yang tepat secara individual Curr Pharm Design, 16, pp.220–230.
12. Gengiah, T.N. et al., 2014. Original Article Low
guna pencegahan resistensi rifampisin rifampicin concentrations in tuberculosis
maupun mengoptimalkan efektifitas patients with HIV infection. J Infect Dev Ctries,
rifampisin dalam pengobatan pasien TB 8(8), pp.987–993.
paru baru BTA positif. 13. Gumbo, T. et al., 2007. Concentration-
dependent Mycobacterium tuberculosis killing
and prevention of resistance by rifampin.
Ucapan Terima Kasih Antimicrob Agents Ch, 51(11), pp.3781–3788.
14. Harrison, A.C., 2003. Chapter 15: M .
Terima kasih disampaikan kepada tuberculosis , TB medicines and monitoring. In
Prof. Dr. Herawati Sudoyo, MSc.Ph.D dan Guidelines for Tuberculosis Control in New
Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed, Apt Zealand. pp. 1–47.
15. Heysell, S.K. et al., 2011. Plasma drug activity
yang telah memberikan masukan pada assay for treatment optimization in tuberculosis
penulisan tinjauan ini. patients. Antimicrob Agents Ch, 55(12),
pp.5819–5825.
Daftar Rujukan 16. Heysell, S.K. et al., 2010. Therapeutic drug
monitoring for slow response to tuberculosis
1. Aarnoutse, R., 2011. Pharmacogenetics of treatment in a state control. Emerg Infect Dis,
antituberculosis drugs. Prog Respir Res., 40, 16(10), pp.1546–1553.
p.177. 17. Immanuel, C. et al., 2003. Bioavailability of
2. Agrawal, S. et al., 2004. Bioequivalence trials rifampicin following concomitant
of rifampicin containing formulations: extrinsic administration of ethambutol or isoniazid or
and intrinsic factors in the absorption of pyrazinamide or a combination of the three
rifampicin. Pharmacol Res, 50, pp.317–327. drugs. Indian J Med Res, 118, pp.109–114.
3. Albert, B. et al., 2002. Molecular biology of the 18. Ingen, J. Van et al., 2011. Low-level
cell Fourth Edi., rifampicin-resistant Mycobacterium
4. Babalik, A. et al., 2012. Factors affecting smear tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis, 15(7),
conversion in tuberculosis management. Med pp.990–992.
Sci, 1(4), pp.351–362. 19. Jayaram, R. et al., 2003. Pharmacokinetics-
5. Bouti, K. et al., 2013. Factors influencing pharmacodynamics of rifampin in an aerosol
sputum conversion among smear-positive infection model of tuberculosis. Antimicrob
pulmonary tuberculosis patients in Morocco. Agents Ch, 47(7), pp.2118–2124.
ISRN Pulmonology, 2013, pp.1–5. 20. Kalliokoski, A. & Niemi, M., 2009. Impact of
6. Burhan, E. et al., 2013. Isoniazid, rifampin, and OATP transporters on pharmacokinetics. Brit J
pyrazinamide plasma concentrations in relation Pharmarcol, 158, pp.693–705.
to treatment response in Indonesian pulmonary 21. Kayigamba, F.R. et al., 2013. Adherence to
tuberculosis patients. Antimicrob Agents Ch, tuberculosis treatment , sputum smear
57(8), pp.3614–3619. conversion and mortality: A retrospective
7. Burman, W., Dooley, K.E. & Nuermberger, cohort study in 48 Rwandan Clinics. PLos
E.L., 2011. The Rifamycins: renewed interest in ONE, 8(9), pp.1–10.
an old drug class. Prog Respir Res., 40, pp.18– 22. Kemenkes, 2013. Profil pengendalian penyakit
20. dan penyehatan lingkungan tahun 2012,
8. Chigutsa, E. et al., 2011. The SLCO1B1 Jakarta.
rs4149032 polymorphism is highly prevalent in 23. Kemenkes, 2014. Profil pengendalian penyakit
South Africans and is associated with reduced dan penyehatan lingkungan tahun 2013,
rifampin concentrations: dosing implications. Jakarta.
Antimicrob Agents Ch, 55(9), pp.4122–4127. 24. Khantipongse, J. et al., 2013. Low
9. Crevel, R. Van et al., 2002. Low plasma antitubercular drug levels in newly infected
concentrations of rifampicin in tuberculosis normal hosts. Asian Biomedicine, 7(3), pp.407–
patients in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis, 410.
6(6), pp.497–502.
69
25. Kimmel, S.E., Leufkens, H.G. & Rebbeck, 38. Rang, H., 2003. Pharmacology Fifth., UK: Bath
T.R., 2012. Molecular epidemiology. In B. L. Press.
Strom, S. E. Kimmel, & S. Hennessy, eds. 39. Requena-méndez, A. et al., 2012.
Pharmacoepidemiology. John Wiley & Sons, Pharmacokinetics of rifampin in Peruvian
pp. 601–622. tuberculosis patients with and without comorbid
26. Kuaban, C. et al., 2009. Non conversion of diabetes or HIV. Antimicrob Agents Ch, 56(3),
sputum smears in new smear positive pp.2357–2363.
pulmonary tuberculosis patients in Yaoundé , 40. Ruslami, R. et al., 2007. Pharmacokinetics and
Cameroon. E Afr Med J, 86(5), pp.219–225. tolerability of a higher rifampin dose versus the
27. Kwara, A. et al., 2014. Factors associated with standard dose in pulmonary tuberculosis
variability in rifampin plasma pharmacokinetics patients. Antimicrob Agents Ch, 51(7),
and the relationship between rifampin. pp.2546–2551.
Pharmacotherapy, 34(3), pp.265–271. 41. Singla, R. et al., 2013. Sputum smear positivity
28. Life Technologies, 2014. TaqMan ® SNP at two months in previously untreated
genotyping assays, pulmonary tuberculosis patients. Int J Mycobac,
29. Lin, H. et al., 2014. Impact of food intake on 2(4), pp.199–205. Available at:
the pharmacokinetics of first-line http://dx.doi.org/10.1016/j.ijmyco.2013.08.002.
antituberculosis drugs in Taiwanese 42. Steingart, K.R. et al., 2011. Higher-dose
tuberculosis patients. J Formos Med Assoc, rifampin for the treatment of pulmonary
113(5), pp.291–297. tuberculosis: a systematic review. Int J Tuberc
30. Ma, Q. & Lu, A.Y.H., 2011. Pharmacognetics, Lung Dis, 15(3), pp.305–316.
pharmacogenomics, and individualized 43. Stoneking, M., 2001. Single nuclotide
medicine. Pharmacol Rev, 63(2), pp.437–459. polymorphisms from the evolutionary past.
31. Mcllleron, H. et al., 2006. Determinants of Macmillan Magazine Ltd, 409(February),
rifampin, isoniazid, pyrazinamide, and pp.821 – 822.
ethambutol pharmacokinetics in a cohort of 44. Tostmann, A. et al., 2013. Pharmacokinetics of
tuberculosis patients. Antimicrob Agents Ch, first-line tuberculosis drugs in Tanzanian
50(4), pp.1170–1177. patients. Antimicrob Agents Ch, 57(7),
32. Mehta, J.B. et al., 2001. Utility of rifampin pp.3208–3213.
blood levels in the treatment and follow-up of 45. Triyani, Y. et al., 2002. Penelitian peralihan
active pulmonary tuberculosis in patients who (konversi ) sputum BTA antara pemberian dosis
were slow to respond to routine directly baku (standar) dan tinggi rifampisin pada
observed therapy. Chest, 120(5), pp.1520–1524. pngobatan ( terapi) anti tuberkulosis kelompok
33. Mota, P.C. et al., 2012. Predictors of delayed (kategori) I. Indones J Clin Pathol Med Lab,
sputum smear and culture conversion among a 14(1), pp.1–10.
Portuguese population with pulmonary 46. Um, S. et al., 2007. Low serum concentrations
tuberculosis. Rev Port Pneumol, 18(2), pp.72– of anti-tuberculosis drugs and determinants of
79. their serum levels. Int J Tuberc Lung Dis, 11(9),
34. Niemi, M., Pasanen, M.K. & Neuvonen, P.J., pp.972–978.
2011. Organic anion transporting polypeptide 47. Weiner, M. et al., 2005. Association between
1B1: a genetically polymorphic transporter of acquired rifamycin resistance and the
major importance for hepatic drug uptake. pharmacokinetics of rifabutin and isoniazid
Pharmacol Rev, 63(1), pp.157–181. among patients with HIV and tuberculosis. Clin
35. Nijland, H.M.J. et al., 2006. Exposure to Infect Dis, 40, pp.1481–91.
rifampicin is strongly reduced in patients with 48. Weiner, M. et al., 2010. Effects of tuberculosis ,
tuberculosis and type 2 diabetes. Clin Infect race , and human gene SLCO1B1
Dis, 43, pp.848–54. polymorphisms on rifampin concentrations.
36. Nwokeukwu, H.I. & Awujo, D.N., 2013. Antimicrob Agents Ch, 54(10), pp.4192–4200.
Association of sputum conversion and outcome 49. WHO, 2013. Global tuberculosis report 2012,
with initial smear grading among new smear France: World Health Organization.
positive tuberculosis patients in a Tertiary 50. WHO, 2014. Global tuberculosis report 2013,
Health Facility , South East Zone , Nigeria. J Geneva.
Dent Med Sci, 4(6), pp.4–9.
37. Ramachandran, G. & Swaminathan, S., 2012.
Role of pharmacogenomics in the treatment of
tuberculosis: a review. Pharmacogenomics
Personal Med, 5, pp.89–98.
Corespondensi Author
Keperawatan Medikal Bedah,
Poltekkes Kemenkes Kendari
MT haryono
Email: dewi.sartiya@gmail.com
Keywords :
Home based exercise training; Kualitas hidup; TB paru
Abstrak Program rehabilitasi paru merupakan penanganan standar dalam meningkatkan kualitas hidup
pasien TB paru sehingga dapat menjalankan perannya secara optimal dalam masyarakat. Tujuan penelitian
ini untuk mengidentifikasi pengaruh home based exercise training terhadap kualitas hidup pasien TB paru.
Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan pendekatan post test only non equivalent control
group pada 30 pasien TB paru di RSUD Kota Kendari yang dibagi dalam dua kelompok. Hasil penelitian
menginterpretasikan ada perbedaan yang signifikan kualitas hidup kelompok intervensi dan kontrol setelah
intervensi (p value =0,000) dan rerata perbedaan 38,81. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan edukasi
pada perencanaan pulang pasien TB paru.
Absctract Pulmonary rehabilitation program was the standard treatment in improving the quality of life of
patients with pulmonary TB therefore the patient can optimally perform his role in society. The purpose of this
study to identify the effect of home-based exercise training on quality of life of patients with pulmonary
tuberculosis. Post test only non equivalent control group was applied in this study for 30 patient with
pulmonary tuberculosis in Abunawas Hospital. The result of this study showed that were significant differences
quality of life after intervention between control and intervention groups (p value=0,000) and mean diffrence
38,81. The results of this study could be used as educational material on discharge planning patients with
pulmonary tuberculosis
sosial yang ada di masyarakat akan tetapi juga Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kualitas
dikaitkan dengan ketidakmampuan klien untuk Hidup Pasien TB Paru di RSUD Kota
beraktivitas karena kelelahan atau kelemahan Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun
dihubungkan dengan penurunan energinya. 2018 (n=30)
Oleh karena itu, perlu adanya latihan fisik yang Variabel Mean SD SE Min-
diberikan secara terstruktur pada pasien TB Max
Kualitas Kontrol 60,63 17,32 4,7 23-89
paru yang dapat dilakukan di rumah (home
hidup Intervensi 21,82 18,29 4,4 7-57
based exercise training) yang aman, murah dan
tidak memerlukan keterampilan khusus. Tabel ini menunjukkan bahwa rerata skor
Sehingga penelitian ini bertujuan melihat
kualitas hidup dengan responden TB paru pada
pengaruh home based exercise training kelompok kontrol adalah 60,63 dengan nilai
terhadap kualitas hidup pasien TB paru. minimum kualitas hidup 23 dan nilai
maksimum kualitas hidup 89. Sedangkan pada
Metode
kelompok intervensi, rerata kualitas hidup
Penelitian ini menggunakan desain responden TB paru adalah 21,82 dengan nilai
quasi experiment dengan pendekatan post test minimum 7 dan nilai maksimum kualitas
only non equivalent control group. Dalam hidupnya 57. Hal ini menunjukkan bahwa
penelitian ini, besar sampel sebanyak 30 rerata responden pada kelompok intervensi
responden yang terbagi dalam dua kelompok memiliki kualitas hidup yang lebih baik
dengan teknik pengambilan sampel adalah dibandingkan dengan kelompok kontrol karena
nonprobability sampling dengan metode
semakin rendah skor kualitas hidup maka
consecutive sampling. Kriteria dalam penelitian
ini adalah: pasien TB paru yang sedang semakin baik kualitas hidup seseorang.
menjalani pengobatan 2 minggu,SaO2
≥95%,usia 18-60 tahun dan dapat Tabel 2 Perbedaan Kualitas Hidup Pasien
berkomunikasi dengan baik. TB paru Kelompok Kontrol dan Kelompok
Instrumen yang digunakan dalam Intervensi Setelah Dilakukan Intervensi
penelitian adalah St. George Respiratory
Home Based Exercise Training di RSUD
Questionnaire (SGRQ) yang valid dan reliabel
sebagai instrumen pengumpul data untuk Kota Kendari Tahun 2018 (n=30)
mengukur kualitas hidup pasien TB dengan Variabel N Mean CI SE p
Diff 95% value
nilai alpha cronbach untuk masing-masing
(IC 95%)
bagian dari instrumen SGRQ diatas 0,7.
Kualitas 30 38,81 25,48- 6,5 0,00
Intervensi dilakukan dalam tiga kali
hidup 52,13
seminggu dan berlangsung selama tiga minggu.
Proses analisa data dimulai dengan uji
normalitas data menggunakan uji normalitas Berdasarkan hasil analisis pada tabel 2
skewness selanjutnya dilakukan uji di atas diketahui bahwa perbedaan rerata
homogenitas atau kesetaraan pada setiap kualitas hidup pasien TB paru pada kedua
variabel data numerik antara kelompok kelompok penelitian adalah 38,81 dengan p
intervensi dan kelompok kontrol dengan value = 0,00 artinya p value < 0,05 sehingga
menggunakan levene’s test kemudian
dapat dikatakan bahwa ada perbedaan yang
digunakan uji T independen (pooled t test )
signifikan rerata skor kualitas hidup pasien TB
Hasil Dan Pembahasan paru antara kelompok yang mendapat home
Adapun hasil dalam penelitian ini adalah based exercise training dan yang tidak
sebagai berikut: mendapat home based exercise training.
Artikel Penelitian
Abstrak
Madu merupakan substansi alam yang dihasilkan oleh lebah yang diketahui memiliki manfaat, salah satunya
untuk mengobati faringitis yang disebabkan Streptococcus beta hemoliticus Group A. Efek antibakteri dari madu dapat
menghambat pertumbuhan Streptococcus beta hemoliticus Group A. Berdasarkan cara pembuatannya madu terdiri
dari madu alami dan madu kemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan daya hambat madu alami
dengan madu kemasan secara in vitro terhadap Streptococcus beta hemoliticus Group A. sebagai penyebab faringitis.
Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan posttest only control group design yang dilaksanakan dari
September sampai Desember 2013 di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Hasil
penelitian menunjukan madu alami dan madu kemasan dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus beta
hemoliticus Group A dengan diameter daya hambat terbesar pada madu alami adalah 14 mm dan madu kemasan 11
mm. Berdasarkan uji analisis Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan post-hoc Mann-Whitney terdapat perbedaan
yang signifikan antara daya hambat madu alami dengan madu kemasan dengan nilaip=0,004 (p<0,05). Kesimpulan
hasil penelitian adalah madu alami dan madu kemasan memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan Streptococcus
beta hemoliticus Group A. Madu alami memiliki daya hambat yang lebih kuat dibandingkan madu kemasan.
Kata kunci: madu alami, madu kemasan, Streptococcus beta hemoliticus Group A, antibakteri, faringitis
Abstract
Honey is a natural substance that produced by bees which is known have many benefits, one of them is to
treat pharyngitis that caused by Streptococcus beta hemoliticus Group A. The antibacterial effect of honey can inhibit
bacterial growth. By way of making, honey is divided to natural honey dan packing honey. The purpose of this study
was to see comparison of the antibacterial effect of natural honey and packing honey againt Streptococcus beta
hemoliticus Group A by in vitro. This research was experimental with posttest only with control group design This study
was conducted in September to December 2013 in the laboratory of Microbiology, Faculty of Medicine, Andalas
University. The result showed that natural honey and packing honey have antibacterial effect againt Streptococcus
beta hemoliticus Group A. The biggest inhibition area of the natural honey was 14 mm and the biggest inhibition area
of the packing honey was 11 mm. Both of honey had differences antibacterial effect with p= 0,004 (p<0,05) with
analysis of Kruskal-Wallis test and followed by post-hoc Mann-Whitney. From this study we can conclude that natural
honey and packing honey have antibacterial effect againt Streptococcus beta hemoliticus Group A. Antibacterial of
natural honey is stronger than packing honey to inhibit bacterial growth.
Keywords: natural honey, packing honey, Streptococcus beta hemoliticus Group A, antibacterial, pharyngitis.
lebah madu, diubah dan disimpan di dalam sarang patogen. Madu juga memiliki kandungan fenol,
1
lebah untuk dimatangkan. Madu dikenal sebagai komponen peroksida dan non-peroksida, memiliki
cairan yang menyehatkan dan berkhasiat. Khasiat dari viskositas kental, serta pH yang rendah sehingga
madu diperkenalkan oleh Hippocrates (460 SM-370 dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Sifat
SM) yang memanfaatkan madu sebagai ekspektoran hidroskopik yang dimiliki madu dapat menarik air dari
2
dan pembersih luka pada kulit maupun bisul. lingkungan hidup bakteri yang mengakibatkan bakteri
Masyarakat Indonesia menggunakan madu sebagai mengalami dehidrasi. Madu juga bersifat
campuran pada jamu tradisional untuk meningkatkan imunomodulator yaitu dengan cara memicu makrofag
khasiat penyembuhan penyakit seperti infeksi pada untuk menghasilkan sitokin yang terlibat untuk
saluran cerna dan pernafasan, serta meningkatkan membunuh bakteri dan perbaikan jaringan. Sifat
kebugaran tubuh. Madu juga memiliki kemampuan antibakteri tersebut efektif untuk menghambat
untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan jaringan pertumbuhan bakteri Salmonella typhii, Escherichia
3,4
baru. coli, Enterobacter aerogenes, Staphylococcus aureus
4,8-10
Berdasarkan asal pembuatan, madu terbagi serta Pseudomonas aeruginosa.
atas madu alami dan madu kemasan. Secara fisik Madu juga dapat menghambat pertumbuhan
madu kemasan memiliki kemiripan dengan madu Streptococcus beta hemoliticus Group A sebagai
alami tetapi terdapat perbedaan pada kandungan penyebab faringitis. Faringitis merupakan infeksi yang
nutrisi. Madu alami memiliki kandungan gula yang banyak ditemukan pada unit pelayanan primer dan
tinggi berupa fruktosa 38,19%, glukosa 31%, dan dapat mengenai semua usia. Faringitis menjadi alasan
sukrosa 1,31%. Kandungan gula yang terdapat pada sekitar 1,3% pasien rawat jalan untuk datang
madu alami mengakibatkan viskositas madu alami mengunjungi rumah sakit dan tercatat sekitar 15 juta
menjadi kental dibandingkan madu kemasan, hal ini kunjungan pasien pada tahun 2006 di Amerika Serikat.
disebabkan oleh pada proses pembuatan madu Cara penularan faringitis yaitu melalui sekret pada
kemasan terdapat tahap pemberian air dan campuran saluran nafas bagian atas yang terhirup. Bakteri yang
lainnya agar volume dari madu kemasan menjadi lebih menjadi salah satu penyebab tersering dari faringitis
banyak. Selain itu, madu kemasan tidak mengandung adalah bakteri Streptococcus beta hemoliticus Group
enzim, vitamin dan mineral seperti yang terdapat pada A. Streptococcus beta hemoliticus Group A
5,6
madu alami. menginfeksi 5-15% pasien dewasa dan 20-30%
Berdasarkan data dari Asosiasi Perlebahan pasien anak. Streptococcus beta hemoliticus Group A
Indonesia (API) tahun 2005, angka konsumsi madu dapat menetap pada orofaring, sehingga dapat terjadi
pada masyarakat Indonesia antara 7.000-15.000 ton kolonisasi yang lama, hal ini mengakibatkan pasien
pertahun. Keadaan ini tidak diimbangi oleh produksi tersebut menjadi carrier yang kronik. Pasien carrier
madu di Indonesia yaitu sekitar 4.000-5.000 ton terhadap bakteri Streptococcus beta hemoliticus
pertahun, sehingga madu kemasan diproduksi untuk Group A dapat menyebarkan bakteri kepada orang lain
11-14
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap madu. Hal melalui transmisi udara.
ini mengakibatkan madu alami yang beredar di Faringitis akibat Streptococcus beta
pasaran lebih sedikit dibandingkan madu kemasan hemoliticus Group A yang tidak diobati dapat
7
yaitu sekitar 10%. menimbulkan komplikasi supuratif maupun non
Madu memiliki zat yang bersifat bakterisidal supuratif. Adenitis servikal, abses peritonsilar, abses
dan bakteriostatik seperti antibiotik. Bakteri tidak dapat retrofaringeal, otitis media dan sinusitis merupakan
hidup dan berkembang di dalam madu karena madu komplikasi yang sering muncul pada anak-anak yang
mengandung unsur kalium yaitu unsur yang mencegah tidak mendapat terapi yang adekuat, sedangkan
kelembaban sehingga dapat menghambat komplikasi non-supuratif dari tonsilofaringitis akibat
2
pertumbuhan bakteri. Berdasarkan hasil penelitian Streptococcus beta hemoliticus Group A berupa
telah diketahui bahwa madu memiliki aktivitas demam rematik akut, penyakit jantung rematik dan
17,18
antibiotik spektrum luas untuk melawan bakteri glomerulonefritis akut.
Berdasarkan penelitian Erywiyatno mengenai Design). Variabel yang digunakan adalah jenis madu
konsentrasi minimal madu yang dapat menghambat dan jenis bakteri. Variabel bebas berupa madu alami
pertumbuhan Streptococcus beta hemoliticus Group A dan madu kemasan dengan konsentrasi 100% dan
dengan cara pengenceran madu pada konsentrasi variabel terikat berupa pertumbuhan Streptococcus
10%, 20%, 40%, 60%, dan 100% menunjukan bahwa beta hemoliticus Group A. Alat yang digunakan
Streptococcus beta hemoliticus Group A dapat tumbuh berupa: cawan petri, kertas saring, pelobang kertas,
pada konsentrasi kecil dari 95%. Hal ini jarum ose, lampu spritus, tabung reaksi, lidi kapas
memperlihatkan bahwa nilai Minimal Inhibitory steril, pinset, autoclave, inkubator, mistar, 3 sampel
Concentration (MIC) pada madu terhadap madu alami, 3 sampel madu kemasan, dan kontrol
pertumbuhan bakteri Streptococcus beta hemoliticus berupa amoksisilin.
Group A adalah positif (+) pada konsentrasi 90% dan
Minimal Bactericidal Concentration (MBC) adalah pada HASIL
konsentrasi 95%. Berdasarkan penelitian tersebut Tabel 1. Hasil Diameter Daerah Bebas
bakteri dapat tumbuh pada konsentrasi kecil dari 95%, KumanStreptococcus beta Hemoliticus Group A
karena pada konsentrasi 90% sudah terlihat koloni Jenis Pengulangan
10 No Rata-rata (mm)
bakteri yang menghemolisis darah. Madu I II III
1 MA1 9 10 9 9,33
Berbeda dengan penelitian Molan dan Bang
2 MA2 13 14 11 12,67
menyatakan bahwa madu yang mengalami
3 MA3 13 12 11 12
pengenceran masih dapat ditemukan aktivitas 4 MK1 10 11 11 10,67
antibakteri, karena pada proses pengenceran 30-50% 5 MK2 4 6 4 4,67
Tabel 3. Hasil Analisis Rata-rata Daya Hambat Madu memiliki konsistensi yang lebih cair dibandingkan
Alami, Madu Kemasan Terhadap Streptococcus beta madu alami, madu kemasan masih memiliki daya
hemoliticus Group A dengan Uji Independent Sample hambat terhadap bakteri Streptococcus beta
Kruskal-Wallis hemoliticus Group A. Hal ini terlihat dari tabel 1 bahwa
Median diameter daya hambat terbesar dari madu kemasan
Kelompok n (minimum- p
yaitu 11 mm, dan pada madu alami didapatkan
(21) maksimum)
Perlakuan Kontrol 3 42 (40 - 45)
diameter terbesar yaitu 14 mm.
MA 9 11 (9-14) 0,004 Madu yang mengalami proses pengenceran
MK 9 9,5 (8-11) masih memiliki efek antibakteri. Pengenceran dengan
Keterangan: konsentrasi kecil dari 50% dapat meningkatkan kadar
n : jumlah cakram
Kontrol : Amoksisilin enzim glukosa oksidase. Enzim glukosa oksidase
MA : Madu Alami dapat meningkatkan kadar dari hidrogen peroksida
MK : Madu Kemasan
yang memiliki efek antibakteri. Walaupun demikian,
efek antibakteri pada madu kemasan lebih rendah
Tabel 3 menyajikan hasil analisis uji Kruskal-
dibandingkan madu alami, hal ini diakibatkan oleh
Wallis yang dilanjutkan dengan post-hoc Mann-
madu yang mengalami pengenceran akan mudah
Whitney. Nilai p yang didapatkan setelah dilakukan uji
menyebar pada agar bakteri, sehingga efek antibakteri
Independent Sample Kruskal Wallis adalah: 0,004,
tidak seoptimal madu alam, selain itu pengenceran
karena p < 0,05 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan
paling tidak terdapat perbedaan daya hambat yang
menurunkan kadar gula di dalam madu. Aktivitas
bermakna pada 2 kelompok perlakuan.
hidrogen peroksida juga dipengaruhi oleh kadar gula
15,16
yang terdapat pada madu.
Tabel 4. Hasil Uji post-hoc Mann-Whitney Daya
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian
Hambat Madu Alami dan Madu Kemasan Terhadap
statistik dengan menggunakan uji independent sample
Streptococcus beta hemoliticus Group A
Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan uji post-hoc
Kelompok p
Mann-Whitney berupa didapatkan perbedaan daya
Perlakuan Kontrol vs MA 0,012
hambat yang signifikan antara madu alami dengan
Kontrol vs MK 0,012
MA vs MK 0,025 madu kemasan yaitu p=0,025 (<0,05), hal ini
1. Johnson S, Nimisha J. Antibiotic residues in and their parents. The Journal of Alternative
honey. Dalam: Center for Science and and Complementary Medicine. 2010; 16(7):
2. Rio YBP, Djamal A, Estherina. Perbandingan New England Journal of Medicine. 2011;
madu Lubuk Minturun terhadap Escherichia 13. Sevinc I, Enoz M. The prevalence of group a
4. Mandal MD, Mandal S. Honey: its medical the pharyngitis in children. Italian Journal of
Pasific Journal of Tropical Biomedicine. 2011; 15. Bang LM, Buntting C, Molan, P. the effect of
5. Rachmawaty M. Efektivitas beberapa uji production in honey and its implication for
pemalsuan madu kapuk (skripsi); 2011. wound healing. The Journal of Alternative
6. Gorda IW, Soma IG, Dharmayudha AAGO. and Complimentary Medicine. 2003; 9(2):
recovery in mice (mus musculus). Asosiasi 16. Molan PC. The antibacterial activity of honey
Farmakologi dan Farmasi Veteriner 1. the nature of the antibacterial activity. Bee
7. Rahayu F. Analisis strategi pemasaran air 17. Darrow DH, Buescher ES. Group a
Jawa Tengah (skripsi); 2012. Head and Neck Surgery. 2002; 449-54.
8. Cooper R, Jones K, Morris K. Immuno- 18. Khan ZZ. Group A streptococcus infection.
Ratih Wirdia N*, Niken Fitri A, Nuansa Amalia, Rian Rizki M, Nita Mudiana, Ahmad Fuad M
ProdiS1 Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi “Yayasan Pharmasi Semarang”
ratihwirdia_ningsih@yahoo.com
ABSTRAK
kata kunci: antibakteri, faringitis, granul effervescent, kulit bawang merah, Streptococcus
pyogenes.
ABSTRACT
1181
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2
pharyngitis and effervescent granules formulation filled all the physical characteristics of the
test preparations.
1182
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2
1183
1183
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2
1184 1184
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2
Hasil menunjukkan bahwa serbukdan ekstrak etanol kulit bawang merah positif
mengandung senyawa fitokimia flavonoid, tanin, saponin dan terpenoid.
1185
1185
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2
1186 1186
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2
SARAN
o o[12] Perlu penelitian lebih lanjut mengenai
rentang 25 -30 .
jenis senyawa yang berperan dalam
Pengetapan aktivitas antibakteri dari ekstrak kulit
Hasil : V0 = 100 ml ; V1 = 95 ml ; bawang merah. Pembuatan sediaan lain
V2 = 94 ml ; V3 = 94 dengan menggunakan ekstrak kulit bawang
ml%Pengetapan = V0-Vk x 100% merah.
V0
= 100 ml – 94 ml x100% UCAPAN TERIMAKASIH
100 ml = 6% Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kesimpulan : granul effervescent Kebudayaan atas dana bantuan penelitian.
memiliki sifat free
flowing, karena DAFTAR PUSTAKA
masuk rentang % 1. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS,
indeks pengetapan Morse SA, Mietzner TA. Jawetz,
5%-15% [13]. Melnick & Adelberg's. 2010. Medical
Microbiolog. Atlanta: Mc Graw Hill.
Kandungan Lembab 2. Cunningham, M. W. 2000.
(MoistureContent) Pathogenesis of Group A
Hasil : 2,03 % Streptococcal Infection.Washington,
Kesimpulan : baik, karena masuk D.C : Clin Micobiol.
kurang dari 10%[14]. 3. Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee,
G. R. Matzke. B. G. Wells. L. M.
Waktu Larut Posey. 2008. Pharmacotherapy, A
Hasil : 00:05.83 Pathophysiologic Approach Seventh
Kesimpulan : baik, karena kurang
dari 120 detik [15].
1187
1187
Media Farmasi Indonesia Vol 12 No 2
1188 1188
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung
ABSTRAK
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius baik di dunia
maupun di Indonesia. Angka kejadian ISPA di Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah sebesar 25,0%. Infeksi
saluran pernapasan seperti faringitis mewakili sebagian besar kasus. Faringitis sebagian besar disebabkan
bakteri Streptococcus group A β-Haemolytic. Salah satu obat utama untuk mengobati faringitis adalah antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam pengobatan faringitis dapat menyebabkan terjadinya resistensi
dan berbagai efek samping, maka perlu dilakukan evaluasi penggunaan obat sebagai bentuk jaminan mutu
penggunaan obat untuk menilai kesesuaian penggunaan antibiotika pada pengobatan faringitis. Penelitian
dilakukan menggunakan metode observasional dengan penyajian data secara deskriptif dan pengumpulan data
secara retrospektif. Berdasarkan hasil penelitian pada periode bulan Januari sampai April 2015 diperoleh 56
pasien yang diteliti. Diketahui jumlah pasien yang menderita faringitis yaitu pasien anak 53,57% dan pasien
dewasa 46,43%. Semua pasien yang diteliti menerima terapi antibiotik. Antibiotik yang banyak digunakan adalah
golongan sefalosporin (89,29%), dengan sefiksim (60,71%). Hasil dari analisis kualitatif diketahui bahwa pasien
menerima antibiotika sesuai indikasi adalah 100 %, dosis yang sesuai sebesar 96,49%, lama terapi yang
sesuai sebesar 87,72%, penggunaan antibiotika kombinasi yang memiliki efek sinergis sebanyak 1(satu) pasien.
Tidak terdapat duplikasi, namun terdapat potensi interaksi obat dengan jumlah 14 kasus.
ABSTRACT
Acute respiratory infections (ARI) is a very serious health problem in the world or in Indonesia. Period prevalence
of ARI in Indonesia according Riskesdas 2013 amounted to 25.0%. Respiratory tract infections such as
pharyngitis represent the vast majority of cases. Pharyngitis is largely caused by the bacterium Streptococcus
group A β-haemolytic. One of the main drug is an antibiotic to treat pharyngitis. Improper use of antibiotics in the
treatment of pharyngitis can lead to resistance and side effects, it is necessary to drugs use evaluate as a form
of quality assurance of drug use to assess the suitability of the use of antibiotics in the treatment of pharyngitis.
Research conducted an observational study with descriptive data presentation and data collection
retrospectively. Based on the results of research in the period January to April 2015 obtained 56 patients studied.
Patients with pharyngitis is pediatric (53.57%) and 46.43% is adult patients. All patients studied using antibiotic
therapy. Antibiotics are widely used cephalosporins (89.29%), with sefiksim (60.71%). Results of the qualittive
analysis known that patients received appropriate indication of antibiotic is 100%, appropriate doses of 96.49%,
duration of therapy appropriate for 87.72%, the use of antibiotic combination that has a synergistic effect in
1(one) patient. There is no duplication, but there are 14 cases that have the potential occur drug interactions.
43
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung
Kemudian dilakukan pengumpulan data, Pada tabel 1 diketahui bahwa jumlah pasien
pengorganisasian dan analisis data serta faringitis berjenis kelamin perempuan lebih banyak
pengambilan kesimpulan. Penelitian ini dilakukan yaitu 67,86% sedangkan laki-laki 32,14%. Jenis
melalui metode observasional dengan penyajian kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan
data secara deskriptif dan pengumpulan data terhadap persentase klinis faringitis karena faingitis
secara retrospektif. bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan,
namun pada kasus ini penderita faringitis paling
HASIL DAN PEMBAHASAN banyak terjadi pada perempuan. Hal ini
dikarenakan penderita infeksi saluran pernapasan
1. Analisis Kuantitatif Pasien
umumnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh
Penelitian ini dilakukan terhadap pasien rawat jalan menurun, serta dapat pula disebabkan oleh faktor
dengan diagnosis faringitis di salah satu rumah intrinsik seperti faktor-faktor hormonal dan faktor
sakit di kota Bandung pada bulan Januari sampai keturunan.
April 2015. Dari hasil pengumpulan data, diperoleh
jumlah total pasien sebanyak 56. Berdasarkan Berdasarkan suatu studi menemukan bahwa laki-
distribusi usiaterdapat 18 pasien faringitis (30,36%) laki lebih banyak menderita faringitis dibandingkan
usia 0-5 tahun, pasien usia 5-11 tahun sebanyak 9 perempuan, mirip dengan hasil penelitian di
orang (16,07%) dan jumlah pasien usia 17 - 25 Indonesia sebelumnya. Namun, dua studi dari
tahun sebanyak 8 orang (14,29%). negara lain menemukan bahwa lebih banyak
perempuan dibandingkan laki-laki menderita
Tabel 1. Jumlah Pasien Berdasarkan JenisKelamin faringitis. Beberapa penelitian pada faringitis
dan Kelompok Usia Streptococcus group A β-Haemolytic tidak
menampilkan data tentang jenis kelamin, mungkin
Kriteria ∑Pasien % karena kurangnya perbedaan yang signifikan dalam
Jenis jumlah laki-laki dan perempuan (Malino et.al.,
Laki-laki
Kelamin 18 32,14 2013).
Perempuan 38 67,86
*Usia Balita (0 - 5 tahun) 17 30,36
Alberta Medical Association, 2008 memaparkan
Masa Anak-anak
9 16,07 bahwa streptococcus group A β-haemolytic adalah
(5 - 11 tahun)
Masa Remaja Awal penyakit dengan 50 persen dari pasien dalam
4 7,14
(12 - 16 tahun) kelompok usia 5 sampai 15 tahun. Insiden puncak
Masa Remaja Akhir selama beberapa tahun pertama sekolah. Ini
8 14,29
(17 - 25 tahun)
Masa Dewasa Awal adalah bakteri patogen yang paling umumpada
6 10,71 musimgugur, musim dingin dan musim semi dan
(26 - 35 tahun)
Masa Dewasa Akhir hampir selalu diperoleh melalui kontak langsung
7 12,50
(36 - 45 tahun) dengan sekresi pernapasan.
Masa Lansia Awal
1 1,79
(46 - 55 tahun)
Masa Lansia Akhir Menurut penelitian Malino dkk., 2013 faringitis lebih
2 3,57
(56 - 65 tahun) umum pada subyek rentang usia 3-6 tahun.
Masa Manula Demikian pula, studi India menemukan bahwa
2 3,57
( > 65 tahun)
insiden tertinggi streptococcus group A β-
Total
Pasien 56 haemolytic faringitis berada di 4-6 tahun (14,1%).
Keterangan : % = Persentase terhadap total pasien Tanz dkk, melaporkan bahwa streptococcus group
*)= Klasifikasi usia berdasarkan A β-haemolytic faringitis terjadi pada semua
Departeman Kesehatan Republik
kelompok umur, tetapi terutama selama usia
Indonesi tahun 2009
sekolah 5-11 tahun, mungkin karena penularan
45
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung
tinggi dari satu anak ke anak yang lain ditemui pada tubuh itu tentunya menimbulkan bermacam-macam
pasien usia lebih dari 3 tahun. Streptococcus group efek buruk bagi tubuh (Fitria, 2012).
A β-Haemolytic paling sering terjadi.
2. Analisis Penggunaan Obat Antibiotik pada
Dilihat dari distribusi usia hasil penelitian ini Pasien Faringitis
diketahui pasien dengan diagnosa faringitis yang
terbanyak adalah golongan usia balita (0-5 tahun) Dalam pengobatan faringitis sangat penting untuk
sebesar 30,36%. Kemudian pada golongan masa memastikan penyebabnya dalam menentukan
anak-anak (5 - 11 tahun) sebesar 16,07% dan pengobatan yang tepat. Antibiotika diberikan pada
golongan masa remaja akhir (17 - 25 tahun) pasien dengan faringitis yang disebabkan oleh
sebesar 14,29%. Hal ini sesuai dengan beberapa bakteri. Penggunaan antibiotika yang kurang tepat
penelitian yang lain, karena faringitis yang dalam pengobatan faringitis juga dapat
disebabkan oleh bakteri streptococcus group A β- menyebabkan terjadinya resistensi. Antibiotika yang
haemolytic bisa terjadi pada semua kelompok umur digunakan dalam terapi faringitis pada penelitian ini
terutama pada usia balita (0-5 tahun), golongan adalah sebagai berikut:
masa anak-anak (5 - 11 tahun) dan golongan masa
remaja akhir (17 - 25 tahun). Tabel 2.Jumlah Pasien Berdasarkan Golongan
AntibiotikYang Digunakan
Pada bayi yang berumur kurang dari satu tahun,
kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan Golongan Antibiotik ∑Pasien (%)
terjadi karena sistem kekebalan tubuh yang belum Penisilin
terbentuk dengan sempurna. Streptococcus group
Aminopenisilin Amoksisilin 2 3,57
A β-haemolytic merupakan bakteri yang paling
Makrolida Azitromisin 3 5,36
sering menyebabkan gangguan saluran
Sefalosporin
pernapasan, salah satunya adalah faringitis,
imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada Generasi I Sefadroksil 15 26,79
saluran pernapasan yaitu immunoglobulin A (IgA), Sefaleksin 1 1,79
pada anak-anak immunoglobulin ini belum Generasi III Sefiksim 34 60,71
berkembang secara sempurnadibandingkan orang Makrolida +
Sefalosporin Azitromisin+
dewasa. Hal inilah yang menyebabkan faringitis
Generasi III Sefiksim 1 1,79
banyak terjadi pada balita dan anak-anak (Dewi, et.
Total Pasien 56
al.,2013)
Keterangan : % = Persentase terhadap total pasien
∑ = Jumlah pasien
Sedangkan pada orang berumur 17-24 tahun atau
lebih dari 24 tahun terjadi kemungkinan karena Pada Tabel 2 diketahui bahwa penggunaan
tingkat imunitas seseorang dan aktivitas yang lebih antibiotik terbanyak yaitu antibiotik golongan
banyak di luar rumah sehingga lebih banyak sefalosporin sebesar 89,29%. Sefalosporin
terpapar udara yang mengandung agen penyakit generasi ke I sebesar 28,58% dan sefalosporin
ISPA. Pada usia dewasa terjadi peningkatan generasi ke III sebesar 60,71%. Obat-obat yang
aktivitas dan menyebabkan tubuh menjadi lelah digunakan pada sefalosporin generasi ke I adalah
sehingga mudah terserang infeksi dikarenakan sefadroksil dan sefaleksin, dan pada sefalosporin
daya tahan tubuh yang menurun. Selain itu asupan generasi ke III yaitu sefiksim. Hal ini disebabkan
nutrisi yang menurun menyebabkan penderita karena faringitis yang paling umum disebabkan
mengalami gizi kurang/buruk yang berakibat oleh bakteri Streptococcus pyogenes yang
penurunan kekebalan tubuh. Penurunan kekebalan merupakan Streptococcus group A β-Haemolytic.
Bakteri lain yang mungkin terlibat adalah Streptocci
46
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung
Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara
Gonorrhoeae (Depkes RI, 2005). berikatan dengan subunit 50s ribosom bakteri,
sehingga menghambat translokasi
Banyaknya kejadian resistensi terhadap golongan peptida.Makrolida aktif terhadap bakteri Gram
penisilin sehingga golongan sefalosporin digunakan positif, tetapi juga dapat menghambat beberapa
sebagai alternatif pengobatan. Sefalosporin Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian
generasi ke I dan sefalosporin generasi ke III besar Gram-negatif aerob resisten terhadap
dianggap obat pilihan untuk infeksi bakteri serius makrolida, namun azitromisin dapat menghambat
yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Salmonela. Azitromisin dapat menghambat
H.influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas
Seperti halnya antibiotik betalaktam lain, terbesar (Menkes RI, 2011).
mekanisme kerja sefalosporin yaitu menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat ialah Ketika memilih antimikroba untuk pengobatan
reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian faringitis Streptococcus group A β-Haemolytic,
reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin aktif masalah penting untuk dipertimbangkan termasuk
terhadap kuman gram positif maupun gram negatif, keberhasilan, keselamatan, spektrum antimikroba
tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat (sempit atau lebar), pemberian dosis, kepatuhan
bervariasi. terkait dengan terapi, dan biaya. Faktor-faktor ini
mempengaruhi efektivitas biaya terapi antimikroba.
Sefalosporin mempunyai aktifitas bakterisid dalam
fase pertumbuhan kuman dengan menghambat Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti telah
sintesa peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk menunjukkan bahwa azitromisin sekali sehari dan
ketangguhan dinding sel sehingga bakteri akan rejimen sehari sekali beberapa sefalosporin
mengalami lisis. Mempunyai kepekaan terhadap (misalnya, sefadroksil, sefiksim, seftibuten,
beta laktamase yang lebih rendah dari pada sefpodoksim, sefprozil, dan cefdinir), efektif dalam
penisilin. Spektrum antibakterinya lebih luas. pemberantasan faringitis streptokokus. Saat ini,
Sefalosporin terdiri dari 4 generasi. hanya azitromisin, sefadroksil, sefiksim, dan cefdinir
yang disetujui FDA sebagai terapi sekali sehari
Golongan yang lain yang digunakan untuk pasien untuk streptokokus faringitis pada anak-anak
faringitis yaitu antibiotik golongan penisilin dan (Bisno, A.L et.al., 2002).
makrolida. Golongan penisilin yang digunakan yaitu
Analisis Kesesuaian Indikasi Terapi
amoksisilin, yang memiliki mekanisme kerja
menghambat pembentukan mukopeptida yang Jumlah pasien berdasarkan kesesuian indikasi
diperlukan untuk sintesis dinding mikroba. antibiotika pada pasien faringitis adalah sebagai
Golongan ini terhadap bakteri yang sensitif penisilin berikut:
akan menghasilkan efek bakterisid (membunuh
Indikasi dalam dunia kedokteran memiliki dua
kuman) pada mikroba yang sedang aktif membelah
definisi yang berbeda yaitu pertanda atau alasan.
sedangkan pada mikroba dalam keadaan metabolik
tidak lengkap tidak aktif (tidak membelah) praktis Dalam definisi yang pertama orang dengan kondisi
tidak dipengaruhi oleh penisilin kalau pun ada tertentu menampilkan indikasi atau tanda-tanda
pengaruhnya hanyak bersifat bakteriostatik bahwa mereka harus diperlakukan dengan cara
(menghambat pertumbuhan bakteri) Setiabudy, R tertentu. Selain itu gejala bisa juga menjadi indikasi
et.al., 2007). suatu penyakit dan dokter dapat menggunakan
gejala sebagai metode untuk mendiagnosa suatu
penyakit. Dalam definis kedua, indikasi adalah
Golongan makrolida yang digunakan yaitu alasan untuk membenarkan pengobatan atau terapi
Azitromisin, yang memiliki mekanisme kerja tertentu. Dokter dapat melakukan pemeriksaan fisik
47
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung
meningkatkan efek samping antibiotika tersebut menyebabkan timbulnya resistensi pasien karena
dan dapat menyebabkan peningkatan efek toksik. tidak terjamin apakah mikroorganisme sudah
Dalam penelitian ini atu orang pasien menerima musnah atau belum sehingga akan memperlama
antibiotik dua macam (kombinasi) dan 55 pasien kesembuhan (Almasdy, D, et.al., 2013).
menerima antibiotik satu macam sehingga total
jumlah R/ antibiotika yang direseplak adalah 57 R/ Penghentian penggunaan antibiotik yang tidak tepat
dapat menyebabkan terjadinya resistensi.
4. Analisis Kesesuaian Lama Terapi Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap zat
antimikroba tertentu. Resistensi dapat terjadi
Kesesuaian lama terapi ditetpkan berdasarkan melalui beberapa mekanisme : mikroorganisme
kriteria penggunaan obat antibiotika untuk pasien menghasilkan enzim yang merusak zat aktif,
faringitis. Kriteria penggunaan obat yaitu mengacu mikroorganisme mengubah permaebilitas membran
kepada pustaka atau standar penggunaan terhadap obat, perubahan struktur sasaran obat,
antibiotika pada pasien faringitis seperti Clinical perubahan lintasan metabolisme, dan
Practice Guideline for the Diagnosis and mikroorganisme mengubah enzim yang berfungsi
Management of Group A Streptococcal Pharyngitis, untuk metabolismenya menjadi kurang aktif
AHFS Drug Information, United States of America terhadap obat.
dan beberapa pustaka lain.Kesesuaian lama terapi
penggunaan antibiotika pada pasien faringitis 5. Analisis Kombinasi Obat Antibiotik
adalah sebagai berikut:
Kombinasi obat adalah penggunaan obat secara
Tabel 5.Jumlah R/ Antibiotik Berdasarkan bersamaan lebih dari satu jenis obat yang memiliki
Kesesuaian Lama Terapi efek terapi sama dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Kombinasi obat ini dapat menguntungkan
Lama Lama Lama bila memperlihatkan efek yang sinergis dimana
Golongan Terapi Terapi Terapi
Obat Nama Obat Sesuai Kurang Lebih obat akan memberikan efek yang lebih besar
Antibiotik dibandingkan apabila diberikan secara tunggal.
∑ % ∑ % ∑ %
Penicillin Kombinasi obat biasanya diberikan pada infeksi
Amoksisilin 2 3,51 0 0 0 0
Makrolida
campuran, untuk mengatasi resistensi, untuk
Azitromisin 3 5,26 0 0 1 1,75
menghambat resistensi serta untuk mengurangi
Sefalosporin
toksisitas. Kerugian dari kombinasi obat yaitu
Generasi I Sefadroksil 14 24,56 0 0 1 1,75 apabila antibiotik yang bekerja secara bakterisid
Sefaleksin 0 0 1 1,75 0 0 pada mikroorganisme yang sedang tumbuh
Generasi III Sefiksim 31 54,39 4 7,02 0 0 dikombinasikan dengan antibiotika kedua yang
Total R/ Kesesuaian Lama
Terapi 50 87,72 5 8,77 2 3,50 bersifat bakteriostatik yang menghambat
Total R/ Antibiotik 57 pertumbuhan mikroorganisme sehingga kerja obat
Keterangan : % = Persentase terhadap total R/ antibiotik pertama yang bersifat bakterisidal akan terhambat.
∑ = Jumlah R/ Antibiotik Kombinasi antara antibiotika bakterisid-bakterisid
menghasilkan efek sinergis, bakteriostatik-
Lama terapi antibiotika sangat tergantung pada bakteriostatik menghasilkan efek aditif, dan
tingkat keparahan infeksi dan jenis bakteri yang bakterisid-bakteriostatik menghasilkan efek
menginfeksi. Secara umum ketidak tepatan lama antagonis.
pemberian ini adalah karena lama pemberian
antibiotika yang kurang dari yang telah ditetapkan Penggunaan kombinasi antibiotik pada pasien
oleh standar. Lama pemberian antibiotika yang faringitis adalah sebagai berikut:
pendek dapat menyebabkan munculnya kembali
gejala klinis yang telah hilang, bahkan dapat juga
49
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
Lisni: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Faringitis Di Suatu Rumah Sakit Di Kota Bandung
Halim, Fitria. (2012) : Hubungan Faktor Lingkungan Siregar, Charles. J.P., dan Amalia, Lia. (2003)
Fisik Dengan Kejadian Infeksi Saluran :Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan,
Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pekerja Di Jakarta, EGC.
Industri Mebel Dukuh Tukrejo, Desa Bondo, Tatro, D.S. (2001) : Drug Interaction Facts, Edisi
Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, kelima, St Louis Missouri, A Wolters Kluwer
Propinsi Jawa Tengah 2012, Skripsi, Fakultas Company.
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Depok.
Ismayati, Shadiah Nurul. (2010) : Evaluasi Antibiotik
Pada Pasien Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Dewasa di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr.
Moewardi Surakarta Tahun 2008, Skripsi,
Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Malino, I. Y., Utama, D. L., dan Soenarto, Y. (2013):
McIsaac criteria for diagnosis of acute group-A
β-hemolytic streptococcal pharyngitis.
Paediatrica Indonesiana, 53, 258-263.
Menteri Kesehatan., Republik Indonesia. (2011) :
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011.
Jakarta.
Menteri Kesehatan., Republik Indonesia. (2014) :
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah
Sakit. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 58. Jakarta.
Noor, Nur Nasry Prof. Dr. M.PH. (2008) :
Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta.
Setiabudy, R., S.G. Gunawan., Nafrialdi., dan
Elysabeth. (2007) : Farmakologi dan Terapi,
edisi 5, Jakarta, Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Shulman, S. T., Bisno, A. L., Clegg, H. W., Gerber,
M. A., Kaplan, E. L., dan Lee, G. (2012) :
Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and
Management of Group A Streptococcal
Pharyngitis: 2012 Update by the Infectious
Diseases Society of America. Clinical Infectious
Diseases Society of America, 1-17.
Siregar, Charles. J.P., dan Kumulosasi, E. (2005) :
Farmasi Klinik Teori dan Penerapan, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
52
Jurnal Farmasi Galenika Volume 02 No. 01
ISSN: 2406-9299
45
Sasangka & Witanti, Sistem Pakar
Diagnosa Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Menggunakan Teorema Bayes
Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak
Menggunakan Teorema Bayes
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama morbiditas dan moralitas
penyakit menular pada anak-anak. ISPA terutama terjadi di negara-negara dengan pendapatan
perkapita rendah dan menengah termasuk Indonesia. Saat ini masih banyak orang tua yang belum
mengetahui penyakit khususnya penyakit ISPA yang menimpa pada buah hati mereka. Pada
penelitian ini digunakan metode Teorema Bayes. Teorema Bayes adalah teorema yang digunakan
dalam statistika untuk menghitung peluang suatu hipotesis. Untuk variabel yang digunakan dalam
penghitungan yakni 17 gejala dan 4 penyakit serta bobot-bobot gejala terhadap masing-masing
penyakit. Berdasarkan 30 data yang telah diujikan terhadap pakar dan sistem, sistem dapat mendeteksi
4 penyakit yaitu influenza like common, bronkhitis, faringitis dan tonsilitis. untuk pasien yang
menderita penyakit ISPA dan sesuai dengan validasi dokter adalah 25 pasien dan yang tidak sesuai
adalah 5 pasien. Berdasarkan hasil validasi pakar (dokter) dan sistem, diperoleh akurasi 83,33% data
kasus yang sesuai.
ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) is the main cause of morbidity and morality of infectious diseases in
children. ARI mainly occurs in countries with low and middle income per capita, including Indonesia.
Currently, there are still many parents who do not know about diseases, especially ARI that infects
their children. In this study, the Bayes Theorem method was used. Bayes theorem is the theorem used
in statistics to calculate the probability of a hypothesis. The variables used in the calculation were 17
symptoms and 4 diseases as well as symptom weights for each disease. Based on 30 data that have
been tested on experts and systems, the system can detect 4 diseases, namely influenza like common,
bronchitis, pharyngitis and tonsillitis. For patients suffering from ARI and in accordance with the
doctor's validation, there were 25 patients and those who did not match were 5 patients. Based on the
validation results of the experts and the system, the accuracy was 83.33% .
manusia (yang dalam hal ini adalah seorang DFD level 0 yang merupakan penjabaran
expert atau pakar), yang ditujukan untuk dari diagram konteks, dapat dilihat pada
mencari sebuah atau beberapa buah solusi yang Gambar 2.
memuaskan user-nya seperti ketika seorang
pakar atau ahli memberikan penjelasan kepada
murid atau penanyaannya. (Dini, 2015)
3. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan yang digunakan pada sistem pakar
diagnosa penyakit infeksi saluran pernafasan
akut pada anak dengan metode Teorema Bayes
adalah sebagai berikut : Gambar 2. DFD Level 0.
1. Jurnal dan buku yang membahas
mengenai penyakit infeksi saluran 3.2.2 Basis Pengetahuan
pernafasan akut, sistem pakar, dan Basis pengetahuan dirancang dengan
metode teorema bayes. beberapa data yaitu data penyakit, data gejala,
2. Data hasil wawancara dengan dokter data rule, dan bayes, data dapat dilihat pada
Syarifa di Puskesmas Depok 3 Tabel 1.
mengenai gejala penentu diagnosa
penyakit infeksi saluran pernafasan Tabel 1 Data penyakit
akut. Kode Penyakit Nama Peyakit
3. Data rekam medis pasien sejumlah 30 PNY01 Influenza Like
data yang diperoleh dari Puskesmas Common (ILI)
Depok 3. PNY02 Bronkhitis
PNY03 Faringitis
3.1. Akuisisi Pengetahuan PNY04 Tonsilitis
Akuisisi pengetahuan merupakan
kegiatan untuk mencari dan megumpulkan data Tabel 2. Data Rule
untuk analisis kebutuhan perangkat lunak yang Kode
bersumber dari seorang pakar. Aturan
Penyakit
IF GJ01 AND GJ02 AND GJ03 ANG
3.2. Representasi Pengetahuan GJ04 AND GJ05 AND GJ06 AND GJ09
3.2.1. Perancangan DFD PNY01 AND GJ10 ANG GJ11 THEN PNY01
Data Flow Diagram (DFD) merupakan
IF GJ 01 AND GJ02 AND GJ03 AND
diagram alir data yang menggambarkan
GJ04 AND GJ 05 AND GJ06 AND GJ12
bagaimana data di proses oleh sistem. Data
PNY02 AND GJ13 THEN PNY02
Flow Diagram juga menggambarkan notasi
IF GJ01 AND GJ02 AND GJ03 AND
aliran data di dalam sistem.
GJ06 AND GJ07 AND GJ08 AND GJ16
Diagram konteks memiliki sebuah proses
PNY03 AND GJ15 THEN PNY03
untuk penentuan penyakit kulit pada manusia
IF GJ01 AND GJ02 AND GJ04 AND
dengan tiga entity yaitu pasien, admin dan user
GJ06 AND GJ07 AND GJ08 AND GJ14
seperti pada Gambar 1
PNY04 AND GJ16 AND GJ17 THEN PNY04
Tabel 3. Bayes
No Nilai Teorema Bayes
Bayes
1. 0 – 0.2 Tidak ada
2. 0.3 – 0.4 Mungkin
3. 0.5 – 0.6 Kemungkinan Besar
4. 0.7 – 0.8 Hampir Pasti
Gambar 1. Diagram Context 5. 0.9 - 1 Pasti
48
Jurnal Multimedia & Artificial Intelligence, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2019
Dari Tabel 6 hasil hitung diambil nilai Apriana, R. (2013). Perancangan Sistem Pakar
paling tinggi dari setiap gejala terpilih yang Diagnosa Penyakit Paru-Paru pada
dihitung berdasarkan penyakit yang ada, Anak Forward Chaining dan Backward
didapatkan bahwa penyakit “FARINGITIS” Chaining. Jurnal INFOTEKMESIN, 24-
mendapat nilai paling tinggi yaitu 0.717, 33.
selanjutnya dicocokan dengan Tabel aturan
Depkes. (2008). Buku Bagan Manajemen
bayes yaitu nilai 0.7-0.8 adalah “Hampir pasti".
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta.
Maka pasien dengan nama PSN01 didiagnosa
menderita penyakit “Faringitis”. Dini. (2015, Desember 30). Pengertian Sistem
Pakar. Sistem Pakar, hal. 1-3.
5. KESIMPULAN Kemenkes, & Ditjen. (2012). Lihat dan
Dari penelitian yang dilakukan, Dengarkan dan Selamatkan Balita
kesimpulan yaitu sistem yang dirancang dengan Indonesia dari Kematian; Modul
implementasi metode teorema bayes dapat Tatalaksana Standar Pneumonia.
digunakan untuk membantu dalam diagnosis PP&PL.
penyakit infeksi saluran pernafasan akut pada
anak, hasil implementasi dapat berjalan sesuai Marianti. (2018). Infeksi Saluran Sernapasan
dengan desain, berdasarkan 30 data yang telah Akut (ISPA). ISPA, hal. 1-5.
diujikan terhadap pakar dan sistem, untuk Mutsaqof, A. A. (2015, Juni). Sistem Pakar
pasien yang menderita penyakit infeksi saluran Untuk Mendiagnosis Penyakit Infeksi
pernafasan akut dan sesuai dengan validasi Menggunakan Forward Chaining.
dokter adalah 30 pasien dan yang tidak sesuai JURNAL ITSMART, Vol 4. No 1., 43-
adalah 5 pasien. Sehingga untuk tingkat akurasi 47.
sistem berdasarkan hasil validasi pakar (dokter)
dan sistem, diperoleh presentase 83.33% data Octavina dkk. (2014). Sistem Pakar Untuk
kasus yang sesuai, serta 16.67% data kasus Mendiagnosa Penyakit Pada Saluran
yang tidak sesuai. Pernafasan dan Paru Menggunakan
Metode Certainty Factor. Jurnal
6. UCAPAN TERIMA KASIH Sarjana Teknik Informatika, 1123-
Dengan selesainya penelitian penulis 1132.
ucapakan terima kasih kepada Dokter Syarifah Samsudin. (2017). Aplikasi Sistem Pakar
Nur yang telah membantu pembuatan serta Diagnosa Penyakit Pernafasan
memberian data dan bobot untuk sistem pakar Menggunakan Metode Case-Based
infeksi saluran pernafasan aku pada anak di Reasoning. JURNAL IPTEKS
Puskesmas Depok III. TERAPAN, 272-282.
DAFTAR PUSTAKA Zulmiyusrini, P. (2015, Februari 07). Definisi
Amborowati, A. (2016, Februari). ANALISIS Infeksi. Infeksi, hal. 1-4.
DAN PERANCANGAN SISTEM Zunaidi, M. (2017). Penerapan Sistem Pakar
PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT Untuk Mendeteksi Penyakit Infeksi
MEMATIKAN PADA PEREMPUAN Saluran Pernafasan Dengan Metode
MENGGUNAKAN METODE BAYES Dempster Shafer. Jurnal Ilmiah
(Studi Kasus : Asri Medical Center). Saintikom, 163-171.
Seminar Nasional Teknologi Informasi
dan Multimedia 2016, 6-7.
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ISPA
NON-PNEUMONIA ANAK RAWAT JALAN
DI RSUD KOTA TANGERANG SELATAN
ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi Saluran Pernapasan Akut masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak
ditemukan di Indonesia dan merupakan penyebab kematian paling tinggi pada anak balita. Tujuan Penelitian :
Mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) non-
pneumonia anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tangerang Selatan. Metode : Penelitian ini termasuk
dalam kategori deskriptif retrospektif yaitu berdasarkan data yang sudah ada dan tertulis dalam catatan medis
pasien. Pada Tahun 2016 terdapat 130 pasien anak yang masuk dalam kriteria penelitian. Hasil Penelitian :
Hasil penelitian menggunakan kategori Gyssens menunjukan penggunaan antibiotik yang sudah rasional
sebanyak 63 pasien (49,2%), tidak tepat dosis 54 pasien (40,8%), pemberian antibiotik terlalu lama 8 pasien
(6,2%), dan terdapat antibiotik yang lebih efektif 5 pasien (3,8%). Diskusi : Sebanyak 63 pasien dikatakan
sudah rasional berdasarkan kriteria yang sudah tercantum dalam metode Gyssens yaitu kriteria antibiotik
rasional (kategori 0). Kesimpulan : berdasarkan hasil penelitian ini, kerasionalan penggunaan antibiotik pada
pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) non-pneumonia anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Tangerang Selatan 49,2% sudah rasional.
ABSTRACT
Background: Acute Respiratory Tract Infection is still a major health problem commonly found in Indonesia
and it cause of death among children under five. Objective: To know rationality of antibiotic usage in patient of
Acute Respiratory Infection (ISPA) of child non-pneumonia at Tangerang Selatan Regional General Hospital.
Methods: This study belongs to a retrospective descriptive category based on patient's medical records. In the
year 2016 there are 130 pediatric patients who entered the study criteria. Results: The results of the study using
the Gyssens category showed rational use of antibiotics of 63 patients (49.2%), inappropriate doses of 54
patients (40.8%), antibiotics for 8 patients (6.2%), and there are more effective antibiotics 5 patients (3.8%).
Discussion: A total of 63 patients are rational based on Gyssens method of rational antibiotic (category 0).
Conclusion: Based on the results of this study, the rationale of antibiotic use in patients with Acute Respiratory
Infection (ARI) of non-pneumonia of children in Tangerang Selatan Regional General Hospital 49.2% was
rational.
LATAR BELAKANG
menyerang salah satu bagian atau lebih
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
dari saluran nafas mulai dari hidung
(ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
hingga alveoli, seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. ISPA masih bagian Rawat Jalan dan Rawat Inap
merupakan masalah kesehatan utama yang Rumah Sakit.
banyak ditemukan di Indonesia dan Berdasarkan hasil RISKESDA 2002
merupakan penyebab kematian paling sampai dengan 2003 dilaporkan bahwa
tinggi pada anak balita (Rustandi, 2011). Angka Kematian Balita (AKBA) di
Menurut Rudan et al Bulletin WHO Indonesia sekitar 35 per 1000 kelahiran
2008 Infeksi Saluran Pernafasan Akut hidup. Pada anak berusia dibawah 5 tahun
(ISPA) merupakan penyakit yang sering tingkat kematian diperkirakan setiap
terjadi pada anak. Penyakit ini sering tahunnya sebanyak 2 per 3 kematian
terjadi pada balita yang diperkirakan tersebut adalah bayi. Hasil keseluruhan
0,29% per tahun di negara berkembang, kematian yang disebakan oleh Infeksi
sedangkan di negara maju diperkirakan Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
0,05% per tahun. Hal ini menujukan mencakup 20% sampai 30% (Kementerian
terdapat 156 juta kasus per tahun, dimana Kesehatan RI, 2011).
151 juta (96,7%) kasus Infeksi Saluran Penyakit infeksi saluran pernafasan
Pernafasan Akut (ISPA) terjadi di negara akut (ISPA) khususnya non-pneumonia
berkembang. Kejadian terbanyak terjadi di (pernafasan akut atas) merupakan jumlah
negara India (43 juta), China (21 juta), kasus yang menurut hasil RISKESDA
Pakistan (10 juta), dan Bangladesh, tahun 2013 menunjukan bahwa jumlah
Nigeria, Indonesia masing-masing 6 juta kasus ISPA yang tertinggi pada kelompok
kejadian penyakit Infeksi Saluran anak umur 1-4 tahun (25,8%), meskipun
Pernafasan Akut (ISPA). Kejadian yang kategori ISPA ini masih di bawah Infeksi
terjadi di masyarakat 7-13% termasuk Saluran Pernafasan Akut Atas (ISPAa),
kejadian yang berat dan memerlukan ISPA bagian bawah (non-pneumonia)
perawatan di rumak sakit. Kejadian batuk dapat menjadi awal dari penyebab infeksi
pilek pada anak di Indonesia diperkirakan yang dapat memperburuk keadaan pasien
sebesar 3 sampai 6 kali setahun. Sebagai sehingga dapat menyebabkan kematian
kelompok penyakit, Infeksi Saluran pada anak.
Pernafasan Akut (ISPA) merupakan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
penyebab utama kunjungan pasien di Akut (ISPA) dalam pengobatannya juga
sarana kesehatan. Sebanyak 40% sampai harus diperhatikan dengan benar, salah
60% kunjungan berobat di Puskesmas dan satu contoh dalam penggunaan antibiotik
15% sampai 30% kunjungan berobat di yang mempunyai peranan penting dalam
proses penyembuhan infeksi.
Permasalahan yang sering terjadi dalam untuk pasien Infeksi Saluran Pernafasan
peresepan antibiotik pada anak seperti Akut (ISPA) non-pneumonia anak.
tidak tepatnya dosis yang diterima pasien Sehingga berdasarkan uraian di atas
anak. Tidak tepatnya dosis yang diterima penelitian ini bertujuan untuk
pasien dapat terjadi kelebihan dan mengevaluasi penggunaan obat antibiotik
kekurangan dosis, apabila dosis terlalu pada pasien Infeksi Saluran Pernafasan
tinggi dapat menyebabkan toksisitas pada Akut (ISPA) non-pneumonia anak di
pasien sedangkan dosis terlalu rendah RSUD Kota Tangerang Selatan di Instalasi
antibiotik tidak dapat mencapai efek terapi Rawat Jalan pada Tahun 2016.
dan hanya akan menyebabkan resistensi.
Sehingga pengobatan yang ideal untuk METODE
anak harus benar-benar memperhatikan Penelitian ini termasuk dalam kategori
kondisi anak tersebut seperti umur, deskriptif retrospektif yaitu berdasarkan
kondisi psikologis, dan berat badan anak. data yang sudah ada dan tertulis dalam
Kondisi tubuh anak memiliki respon yang catatan medis pasien. Pada Tahun 2016
berbeda terhadap obat dibandingkan terdapat 130 pasien anak yang masuk
dengan tubuh orang dewasa. dalam kriteria penelitian. Data dianalisis
dengan menggunakan metode Gyssens.
Berdasarkan hasil survei awal yang
Desain yang digunakan adalah Cross
dilakukan pasien ISPA non-pneumonia
Sectional, yaitu pengumpulan data variabel
anak di RSUD Kota Tangerang Selatan
untuk mendapatkan gambaran rasionalitas
pada tahun 2016 diketahui dengan jumlah
penggunaan antibiotik pada pasien ISPA
penderita ISPA non-pneumonia sebanyak
non-pneumonia pada anak. Data diambil
135 pasien. Di RSUD Kota Tangerang
dari bagian rekam medik RSUD Kota
Selatan belum pernah diadakan penelitian
Tangerang Selatan pada Tahun 2016.
tentang evaluasi penggunaan antibiotik
HASIL
DISKUSI
Dari 130 pasien sebanyak 63 pasien dikatakan sudah rasional berdasarkan kriteria yang
sudah tercantum dalam metode Gyssens yaitu kriteria antibiotik rasional (kategori 0).
Selanjutnya terdapat 54 (41,5%) kasus penggunaan antibiotik tidak tepat dosis (kategori IIA),
kemudian terdapat 8 (6,2%) kasus penggunaan antibiotik terlalu lama (kategori IIIA), dan terdapat 5
(3,8%) kasus ada antibiotik yang lebih efektif untuk pasien (kategori IVA). Masalah – masalah
penggunaan obat dibahas berdasarkan pustaka Pharmaceutical care untuk penyakit infeksi
saluran pernafasan, 2005 dan Pharmacotherapy Handook Ninth Edition, 2008.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) non-pneumonia anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Tangerang Selatan 49,2% sudah rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara G. Wells, Joseph T. Dipiro, Terry Gyssens IC, Auidit for monitoring the
L. Schwinghammer, Cecily V. Dipiro. quality of antimicrobial prescription.
Pharmacotherapy Handbook. Ninth I.M. Goul, Jos W.M. van der Meer,
Edition. 2008. editor, Antibiotics Policies: Theory and
practice. New York: Spinger US;2005.
Depaertemen Kesehatan RI. Sistem
197-226.
Kesehatan Nasional. Jakarta. 2009.
Habisuan, W.S. 2010. Karakteristik
Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical
Penderita Malaria Dengan Parasit
care untuk Penyakit Infeksi Saluran
Positif Pada Anak Diklinik Malaria
Pernafasan. 2005.
Rayon Panyabungan Kabupaten
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Mandailing Natal Tahun 2009. Fakultas
dan Penyehatan Lingkungan, 2012. Kesehatan Masyarakat. Universitas
Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Sumatra Utara, Medan.
Pernafasan Akut. Jakarta: Kemenkes
Harmita dan Radji, M. Kepekaan Terhadap
RI.
Antibiotik. Edisi III. EGC. 2008.
Drug Information Handbook Edition 7th:
KemenKes RI, 2012, Pedoman
American Pharmacists Assocation.
Pengendalian Infeksi Saluran
2008-2009.
Pernapasan Akut, Jakarta,Kementrian
Futagami S, Shimpuku M, Yin Y, et al. Kesehatan Republik Indonesia.
Phatophisiology of functional
Kementrian Kesehatan RI, 2011. Profil
dyspepsia. J Nippon Med Sch. 2011.
Kesehatan Indonesia 2010.
Garcia-Ferrer, F.J., Schwab, LR., Shetlar,
Kementrian Kesehatan. Riset Kesehatan
D.J. Konjungtiva. Dalam: Vaughan &
Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian
Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17.
dan Pengembangan Kesehatan. 2013.
Jakarta, 2010.
Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Rustandi. ISPA Gangguan Pernafasan
Hipernilirubinemia. Dalam: Cloherty Pada Anak, Panduan bagi Tenaga
Jp. Eichenwald EC, Stark AR, Kesehatan dan Umum. Nuha Medika.
Penyunting. Manual of neonatal care. Yogyakarta. 2011.
Edisi ke 5. Philadelphia: Lippincolt
Santosa G, M.S Makmuri. Efektivitas dan
Wiliams & Wilkins, 2004.
Keamanan Cefixime pada Pengobatan
Notoadmodjo, S. Metodologi Penelitian Infeksi Saluran Pernafasan pada Anak.
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.2012. Cermin Dunia Kedokteran No. 101.
Surabaya, 1995: 37-39.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Stiadi. Prosedur Penelitian Suatu
2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Pendekatan Praktek. Rineka Cipta.
Pedoman Umum Penggunaan 2007.
Antibiotik, 2011.
Sukarmin, dan Riyadi, Sujono. Asupan
Proverawati, Atikah, Eni Rahmawati. Keperawatan Pada Anak Yogyakarta:
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Graha Ilmu. 2009.
(PHBS). Yogyakarta: Nuha Medika.
World Health Organization, 2001, WHO
2012.
Model Prescribing Information Drug
Rudan, Igor., et al. 2008. Insidens global Use in Bacterial Infection, WHO,
dan Asia Tenggara. Bulletin of the Geneva, 14-17.
World Health Organization 2008; 86:
World Health Organization. Pencegahan
408–416.
dan pengendalian ISPA di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. 200
Jurnal PSIK – FK Unsyiah Devi Darliana
ISSN : 2087-2879
ABSTRACT
The incidens of tuberculosis is reported increased dramatically in the last decade in the wolrd including
Indonesia. Tuberculosis usually, develops in the developing countries or happens in the population with low
social economic. Tuberculosis is also one of the infectious diseases which caused the higher of mortality and
morbidity with prolong treatment. Patient can show a lot of symptoms for instance; productive cough, fever,
night sweat, dyspneu, chest pain, anorexia and loss of body weight. The impacts of this disease not also
influence of physical but also psychological. It also related with the higher of cost during hospitalized and
recovery at home. Therefore, it takes more responsibility with other professions such as physician, nurse, and
another health team to overcome this problem.
27
Idea Nursing Journal Vol. II No. 1
mempunyai sifat khusus yaitu tahan kurang dari 5 mikron dan akan melayang-
terhadap asam pada pewarnaan (Basil layang di udara. Droplet nuclei ini
Tahan Asam) karena basil TB mempunyai mengandung basil TB.
sel lipoid. Basil TB sangat rentan dengan Saat Mikobakterium tuberkulosa
sinar matahari sehingga dalam beberapa berhasil menginfeksi paru-paru, maka
menit saja akan mati. Basil TB juga akan dengan segera akan tumbuh koloni bakteri
terbunuh dalam beberapa menit jika terkena yang berbentuk globular. Biasanya melalui
alcohol 70% dan lisol 50%. Basil TB serangkaian reaksi imunologis bakteri TB
memerlukan waktu 12-24 jam dalam paru ini akan berusaha dihambat melalui
melakukan mitosis, hal ini memungkinkan pembentukan dinding di sekeliling bakteri
pemberian obat secara intermiten (2-3 hari itu oleh sel-sel paru. Mekanisme
sekali). pembentukan dinding itu membuat jaringan
Dalam jaringan tubuh, kuman ini di sekitarnya menjadi jaringan parut dan
dapat dormant selama beberapa tahun. Sifat bakteri TB paru akan menjadi dormant
dormant ini berarti kuman dapat bangkit (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah
kembali dan menjadikan tubercolosis aktif yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel
kembali. Sifat lain kuman adalah bersifat pada pemeriksaan foto rontgen.
aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman Sistem imun tubuh berespon dengan
lebih menyenangi jaringan yang kaya melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
oksigen, dalam hal ini tekanan bagian apical (neutrofil dan makrofag) menelan banyak
paru-paru lebih tinggi daripada jaringan bakteri; limpospesifik-tubercolosis melisis
lainnya sehingga bagian tersebut (menghancurkan) basil dan jaringan normal.
merupakan tempat predileksi penyakit Reaksi jaringan ini mengakibatkan
tuberkolosis. Kuman dapat disebarkan dari penumpukan eksudat dalam alveoli,
penderita TB paru BTA positif kepada menyebabkan bronkopneumonia dan infeksi
orang yang berada disekitarnya, terutama awal terjadi dalam 2-10 minggu setelah
yang kontak erat. pemajanan.
TB paru merupakan penyakit infeksi Massa jaringan paru yang disebut
penting saluran pernafasan. Basil granulomas merupakan gumpalan basil
mikrobakterium tersebut masuk kedalam yang masih hidup. Granulomas diubah
jaringan paru melalui saluran napas (droplet menjadi massa jaringan jaringan fibrosa,
infection) sampai alveoli, sehingga terjadi bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut
infeksi primer (ghon) yang dapat menyebar tuberkel ghon dan menajdi nekrotik
ke kelenjar getah bening dan terbentuklah membentuk massa seperti keju. Massa ini
primer kompleks (ranke). Keduanya dapat mengalami klasifikasi, membentuk
dinamakan tubercolosis primer, yang dalam skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman,
perjalanannya sebagian besar akan tanpa perkembangan penyakit aktif.
mengalami penyembuhan. Tubercolosis Setelah pemajanan dan infeksi awal,
paru primer adalah terjadinya peradangan individu dapat mengalami penyakit aktif
sebelum tubuh mempunyai kekebalan karena gangguan atau respon yang
spesifik terhadap basil mikrobakterium, inadekuat dari respon system imun.
sedangkan tubercolosis post primer Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi
(reinfection) adalah peradangan bagian paru ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam
oleh karena terjadi penularan ulang pada kasus ini, tuberkel ghon memecah
tubuh sehingga terbentuk kekebalan melepaskan bahan seperti keju dalam
spesifik terhadap basil tersebut. bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar
di udara, mengakibatkan penyebaran
Patofisiologi penyakit lebih jauh. Tuberkel yang
Individu terinfeksi melalui droplet menyerah menyembuh membentuk jaringan
nuclei dari pasien TB paru ketika pasien parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih
batuk, bersin, tertawa. droplet nuclei ini membengkak, menyebabkan terjadinya
mengandung basil TB dan ukurannya bronkopneumonia lebih lanjut.
28
Idea Nursing Journal Devi Darliana
29
Idea Nursing Journal Vol. II No. 1
30
Idea Nursing Journal Devi Darliana
31