Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS AIRLANGGA

DIREKTORAT PENDIDIKAN
Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga
Kampus C Mulyorejo Surabaya

page 1 / 4
UNIVERSITAS AIRLANGGA
DIREKTORAT PENDIDIKAN
Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga
Kampus C Mulyorejo Surabaya

EDITORIAL BOARD
Susunan Dewan Redaksi

Pengarah/ Advisor Seger Handoyo Ilham Nur Alfian Samian Endah Mastuti Mitra Bestari/ Reviewers
Fendy Suhariadi (UNAIR) MMW. Tairas (UNAIR) Suryanto (UNAIR) Pimpinan Redaksi/ Chief Editor
Herison P. Purba Redaksi Pelaksana/ Managing Editor Ike Herdiana Hamidah Cholichul Hadi Dewi
Retno Suminar Alamat Redaksi Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga Jl. Airlangga 4-6, Surabaya 60286 Telp. + 6231-5032770/ Faks.
+6231-5025910 email: redaksipkkm@gmail.com

page 2 / 4
UNIVERSITAS AIRLANGGA
DIREKTORAT PENDIDIKAN
Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga
Kampus C Mulyorejo Surabaya

Table of Contents
No Title Page

1 Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Kualitas Hidup Penderita Skizofrenia 99 - 106

2 Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, dan PBC Mahasiswa terhadap Intensi Plagiat 107 -
dalam Tugas Akademik 112
3 Dinamika Psychological Wellbeing pada Remaja yang Mengalami 113 -
Perceraian Orangtua Ditinjau dari Family Conflict yang Dialami 120

page 3 / 4
UNIVERSITAS AIRLANGGA
DIREKTORAT PENDIDIKAN
Tim Pengembangan Jurnal Universitas Airlangga
Kampus C Mulyorejo Surabaya

Vol. 2 - No. 3 / 2013-12


TOC : 3, and page : 113 - 120

Dinamika Psychological Wellbeing pada Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua Ditinjau dari
Family Conflict yang Dialami

Dinamika Psychological Wellbeing pada Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua Ditinjau dari
Family Conflict yang Dialami

Author :
Aryani Tri Wrastari | aryani.wrastari@psikologi.unair.ac.id
Fakultas Psikologi
Kartika Ayu Primasti | kartikaprimasti@gmail.com
Fakultas Psikologi

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika psychological wellbeing pada remaja yang
mengalami perceraian orangtua ditinjau dari family conflict yang dialami. Penelitian ini juga
diperjelas dengan pertanyaan apakah perceraian mengakhiri family conflict atau tidak mengakhiri
family conflict pada remaja dan bagaimana akhirnya mempengaruhi psychological wellbeing remaja.
Family conflict ini didasari oleh dua macam bentuk konflik yaitu marital conflict dan konflik orangtua
remaja. Agar dapat memfokuskan penelitian ini penulis menggunakan batasa masalah, seperti
menggunakan subjek remaja yang mengalami perceraian orangtua. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Penelitian ini melibatkan empat orang
partisipan yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu mengalami perceraian orangtua dan
berusia remaja dan empat orang significant others. Teknik penggalian data ini menggunakan
wawancara dengan pertemuan sebanyak dua kali masing-masing partisipan dan satu pertemuan
untuk masing-masing significant others. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis tematik dengan pendekatan theory driven. Hasil penelitiain ini menunjukkan bahwa
perceraian tidak mengakhiri family conflict. Pada keempat partisipan, family conflict tetap ada
meskipun orangtua partisipan bercerai. Meskipun partisipan tetap mengalami family conflict, ketiga
partisipan dapat mencapai psychological well being yang tinggi meskipun dengan cirri-ciri berbeda
tiap dimensinya satu sama lain. Sedangkan satu partisipan yang lain, family conflict yang ada
mengakibatkan psychological wellbeing yang rendah pada dirinya. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan psychological wellbeing partisipan antara lain, peer support, kebutuhan akan cinta
dan kematangan menuju dewasan

Keyword : Remaja, Perceraian, Konflik, Keluarga, Psychological, Wellbeing, ,

Daftar Pustaka :
1. Aminah, (2012). Proses Penerimaan Anak (Remaja Akhir) terhadap Perceraian Orangtua dan
Konsekuensi Psikosial yang Menyertainya. 1.(3) : Jurnal Imiah Psikologi Candrajiwa

Copy alamat URL di bawah ini untuk download fullpaper :

journal.unair.ac.id/filerPDF/jpksc1e8f5e568full.pdf

page 4 / 4

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)


Dinamika Psychological Wellbeing pada Remaja yang
Mengalami Perceraian Orangtua Ditinjau dari Family
Conflict yang Dialami
Kartika Ayu Primasti
Aryani Tri Wrastari
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstract.
This research aims to look at the dynamics of psychological wellbeing in adolescents who have
experienced parental divorce in terms of family conflict. The study also made clear with the question
of whether a divorce ends the family conflict or did not end the family conflict in adolescents and
how to ultimately affect the psychological wellbeing of youth. Family conflict is based on two kinds
of forms of conflict that is involving marital conflict and the conflict of adolescent’s parents. In order
to focus the study authors use limitation problem, such as using the subject of adolescent who have
experienced parental divorce. This study uses qualitative methods with a case studies research. This
research involves four participants were selected based on certain criteria, namely through a divorce
parent and adolescents and four significant others.This data mining techniques using interviews
with meetings twice each participant and one meeting to their respective significant others.
Analysis techniques used in this research is the analysis of the thematic approach to driven theory.
This research results showed that divorce did not end the family conflict. The fourth participant,
family conflict persists despite participants ‘ parents are divorced. Although the participants still
had a third conflict, family participants can achieve the psychological well being of high although
with different characteristics each dimensions to each other. While one participant to the other,
family conflict that is resulting in psychological wellbeing are low on him. Factors that can enhance
psychological wellbeing participants are, for example, peer support, the need for love and maturity
towards adulthood.

Keyword : Adolescent, Divorce; Family Conflict; Psychological Wellbeing

Abstrak.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika psychological wellbeing pada remaja yang
mengalami perceraian orangtua ditinjau dari family conflict yang dialami. Penelitian ini juga
diperjelas dengan pertanyaan apakah perceraian mengakhiri family conflict atau tidak mengakhiri
family conflict pada remaja dan bagaimana akhirnya mempengaruhi psychological wellbeing
remaja. Family conflict ini didasari oleh dua macam bentuk konflik yaitu marital conflict dan
konflik orangtua remaja. Agar dapat memfokuskan penelitian ini penulis menggunakan batasan

Korespondensi :
Kartika Ayu Primasti, email : kartikaprimasti@gmail.com
Aryani Tri Wrastari, em-ail : aryani.wrastari@psikologi.unair.ac.id
Fakultas Psikologi. Universitas Airlangga, Jalan Airlangga 4-6, Surabaya - 60286
Dinamika Psychological Wellbeing pada Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua Ditinjau dari Familiy Conflict yang DIalami

masalah, seperti menggunakan subjek remaja yang mengalami perceraian orangtua. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Penelitian ini melibatkan empat
orang partisipan yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu mengalami perceraian orangtua
dan berusia remaja dan empat orang significant others. Teknik penggalian data ini menggunakan
wawancara dengan pertemuan sebanyak dua kali masing-masing partisipan dan satu pertemuan
untuk masing-masing significant others. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis tematik dengan pendekatan theory driven. Hasil penelitiain ini menunjukkan
bahwa perceraian tidak mengakhiri family conflict. Pada keempat partisipan, family conflict tetap
ada meskipun orangtua partisipan bercerai. Meskipun partisipan tetap mengalami family conflict,
ketiga partisipan dapat mencapai psychological well being yang tinggi meskipun dengan cirri-ciri
berbeda tiap dimensinya satu sama lain. Sedangkan satu partisipan yang lain, family conflict yang
ada mengakibatkan psychological wellbeing yang rendah pada dirinya. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan psychological wellbeing partisipan antara lain, peer support, kebutuhan akan cinta
dan kematangan menuju dewasa.

Kata Kunci: Remaja; Perceraian; Konflik Keluarga; Psychological Wellbeing

PENDAHULUAN 2012, banyaknya jumlah kasus perceraian terus


bertambah, yaitu terdapat 2.709 kasus pada 2008,
Angka perceraian pasangan di Indonesia terus sejumlah 2.946 kasus pada tahun 2009, sejumlah
meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama 3.471 kasus pada tahun 2010, sejumlah 3.945 kasus
(Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama pada tahun 2011 dan mencapai 4.039 kasus tahun
periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan 2012 (BPS, 2013).
perceraian hingga 70%. Pada tahun 2010, terjadi Remaja dengan latar belakang orangtua yang
285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab tidak bercerai akan berdampak pada perkembangan
pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling kesehatan psikologis pada remaja dimana hal
banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak itu dapat meningkatkan psychological wellbeing
91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 remaja (Demo, David H., & Alan C. Acock, 1996).
perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan
Tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional remaja yang memiliki latar belakang keluarga
masih di angka 216.286 perkara. Angka faktor bercerai, tidak semua aspek-aspek yang terdapat
penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 pada psychological wellbeing dapat dicapai. Hasil
perkara, tidak ada tanggung jawab 61.128 perkara, penelitian yang dilakukan Aminah (2012) di Malang
dan faktor ekonomi 43.309 perkara (Antara, 2012). menyatakan bahwa remaja yang berasal dari orang
Permasalahan mengenai perceraian tua utuh memiliki nilai psychological well-being
diperkuat dengan data semakin banyaknya yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja
perceraian yang terjadi di Indonesia dari tahun yang orangtuanya bercerai. Penelitian lain yang
ke tahun. Data statistik Indonesia tahun 2009 dilakukan di Jogjakarta (Dewi, Dewi, Utami &
menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Timur Listiyanto, 2008) menemukan bahwa remaja yang
menempati urutan tertinggi nasional untuk kasus tinggal bersama orang tua tunggal yang bercerai juga
talak dan cerai dengan jumlah kasus mencapai cenderung memiliki psychological well-being yang
65.334 kasus (BPS, 2010). Di kota Surabaya sendiri, rendah dan agresivitas yang tinggi dalam kehidupan
angka perceraian selalu meningkat setiap tahunnya. sehari-hari mereka (dalam Aminah, 2012). Hal ini
Data dari Kantor Pengadilan Agama kota Surabaya mendukung hasil penelitian yang dilakukan Glenn
menunjukkan bahwa sejak tahun 2008 hingga & Krammer (1985), bahwa perceraian orangtua yang

114 Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial


Vol.02 No. 03, Desember 2013
Kartika Ayu Primasti, Aryani Tri Wrastari

dialami oleh remaja akan mengakibatkan perasaan akan berujung pada psychological wellbeing yang
tidak nyaman, rendahnya self esteem, dan beberapa buruk (Emery, 1982 dalam Mechanic & Hensell,
karakteristik yang serupa yang akhirnya berujung 1989). Dari fakta-fakta yang dipaparkan diatas
pada psychological wellbeing yang rendah. Efek yang dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah suatu
dialami remaja tersebut nantinya akan berlanjut paradoks bagi psychological wellbeing remaja.
hingga dewasa. Menurut Woofolk (2008, dalam Disatu sisi perceraian menyebabkan rendahnya
Aminah, 2012) bagaimanapun juga perceraian psychological wellbeing remaja sementara disisi lain
adalah sesuatu yang tidak mudah bagi remaja hal ini justru dianggap sebagai solusi menghindari
sehingga dibutuhkan proses atau tahapan yang konflik yang mengakibatkan tingginya psychological
membantu remaja mencapai tahap penerimaan well being remaja.
diri terhadap keputusan orangtua untuk bercerai.
Remaja yang mengalami perceraian orangtua Konsep Perceraian
cenderung tidak memiliki kepuasan dalam hidup, Perceraian dapat diartikan sebagai
lemahnya self control, dan tidak ada kebahagiaan pecahnya suatu unit keluarga atau retaknya struktur
(Amato & Sobolowski, 2001). Beberapa hal tersebut peran sosial saat satu atau beberapa anggota
yang nantinya akan mempengaruhi tiap dimensi keluarga tidak dapat menjalankan kewajiban peran
yang berada pada psychological wellbeing. secukupnya. Salah satu contoh macam utama
Namun demikian penelitian lain dari kekacauan keluarga adalah perceraian dimana
Mechanic & Hansel (1989) pada remaja yang terputusnya keluarga disini karena salah satu atau
mengalami orang tua bercerai mengungkakan hasil kedua pasangan tersebut memutuskan untuk
yang sedikit berbeda terkait dengan perceraian dan saling meninggalkan saat berhenti melaksanakan
well being. Menurut Mechanic & Hansel, perceraian kewajiban perannya (Goode, 2004). Perceraian
bukanlah aspek tunggal yang menyebabkan (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan
rendahnya psychological well being remaja, karena secara resmi antara pasangan suami-istri dan
ada faktor lain yang terkait, yaitu family conflict. mereka berketetapan untuk tidak menjalankan
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Glenn & tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Perceraian
Krammer (1985) yang menyatakan bahwa keluarga berasal dari kata kerja “cerai” yang dapat diartikan
yang tidak bercerai tapi memiliki banyak konflik “berpisah” dan dikenal juga dengan istilah “broken
memiliki psychlogical well being yang lebih rendah home”. Perceraian adalah berakhirnya sebuah ikatan
daripada keluarga yang bercerai tapi tidak memiliki pernikahan yang diakui secara hukum. Mereka
konflik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama,
efek family conflict itu sendiri lebih membahayakan karena tidak ada ikatan yang resmi.
dari perceraian (Mechanic & Hensell, 1989).
Dari segi family conflict, perceraian adalah Konsep Family Conflict
jalan keluar untuk mengakhiri konflik keluarga Konflik merupakan kondisi terjadinya
dimana hal itu dapat meningkatkan psychological ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan
wellbeing remaja. Mengapa? karena perceraian yang hendak dicapai, baik yang ada dalam individu
adalah jalan untuk mengakhiri tekanan batin maupun dalam hubungannya dengan orang lain
yang dihadapi oleh remaja semasa keluarganya (Killman & Thomas, dalam Lestari, 2012). Konflik
berkonflik. Perceraian dianggap salah satu solusi sering kali dipandang sebagai perselisihan yang
bagi remaja untuk menghilangkan efek negatif yang bersifat permusuhan dan membuat hubungan tidak
ada di hidupnya semasa orang tuanya berkonflik berfungsi dengan baik. Thomas (1992, dalam Lestari
sehingga remaja dapat hidup dengan tenang dan 2012) mendefinisikan konflik sebagai proses yang
dapat menjalankan kegiatan sehari-harinya dengan bermula saat salah satu pihak menganggap pihak
baik. Perceraian yang diakibatkan oleh banyaknya lain menggagalkan atau berupaya meninggalkan
family conflict dan ketidakharmonisan keluarga kepentingannya. Adapun McCollum (2009, dalam
juga menimbulkan depresi bagi anak yang nantinya Lestari 2012) mendefinisikan konflik sebagai

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial 115


Vol.02 No. 03, Desember 2013
Dinamika Psychological Wellbeing pada Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua Ditinjau dari Familiy Conflict yang DIalami

perilaku seseorang dalam rangka beroposisi dengan Konsep Psychological Wellbeing


pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain. Keluarga Ryff & Singer (1998, 2000, dalam Ryan &
merupakan salah satu unit sosial yang hubungan Deci, 2001) telah melakukan pendalaman terhadap
antar anggotanya terdapat saling ketergantungan masalah wellbeing dalam konteks perkembangan
yang tinggi karena itulah tak heran jika kehidupan rentang hidup seseorang (life span). Mereka
keluarga tidak terlepas dari konflik. Konflik keluarga terpengaruh oleh pandangan Aristotle, bahwa
dapat terjadi ketika dua atau lebih anggota keluarga wellbeing bukanlah hal yang sederhana seperti
merasa bahwa keinginannya tidak sama dengan sebuah usaha untuk memperoleh kesenangan,
anggota lain. Biasanya konflik keluarga melibatkan tetapi perjuangan untuk menjadi sempurna yang
perilaku saling menyakiti satu sama lain. Konflik dicerminkan mewujudkan potensi diri yang sejati
keluarga juga bisa berkembang karena adanya (true potensial) (Ryff 1995, dalam Ryan & Deci,
perbedaan yang cukup besar dalam hal sikap dan 2001). Ryff & Keyes (1995) menyatakan bahwa untuk
nilai. Konflik juga timbul ketika perilaku anggota mengukur psychological wellbeing (PWB) seseorang
keluarga yang lain dalam mencapai tujuan yang digunakan pendekatan multidimensi yang terdiri
diinginkan. Pada akhirnya, definisi family conflict dari enam aspek yang berbeda dari aktualisasi
atau konflik keluarga adalah ketidaksesuaian yang diri manusia: autonomy, personal growth, self-
diungkapkan oleh orang-orang yang memiliki acceptance, life purpose, enviromental mastery, dan
keterikatan biologis, hukum atau hubungan sekitar positive relationship with others. Keenam konstruk
(Canary, 2013). ini menjelaskan PWB baik secara teoritis ataupun
Pada umumnya hubungan antara anggota operasional dan mereka menghubungkanya dengan
keluarga merupakan jenis hubungan yang sangat hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental
dekat dan memiliki intensitas yang sangat tinggi. dan fisik (Ryff & Singer 1998, dalam Ryan & Deci,
Keterikatan antara pasangan, orangtua-anak, atau 2001). Sebagai buktinya mereka menyatakan bahwa
sesama saudara berada dalam tingkat tertinggi kehidupan eudaimonic, yang direpresentasikan
dalam hal kelekatan, afeksi, maupun komitmen. oleh PWB, dapat mempengaruhi sistem fisiologis
Kompleksitas yang dimaksud disini adalah seberapa yang spesifik yang berhubungan dengan fungsi
rumit konflik yang dialami dalam keluarga itu imunologi dan hal-hal yang menunjang kesehatan.
sendiri misalnya saja, konflik-konflik seperti KDRT Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi psychological
(Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang akhirnya wellbeing menurut Ryff (1995, dalam Ryan & Deci,
bisa saja berakibat hingga ke pengadilan. Sedangkan 2001) adalah keadaan individu dalam potensi diri
durasi merupakan dampak yang dirasakan dari yang sejati (true potensial) yang ditandai ia dapat
konflik keluarga sering kali bersifat jangka panjang. mandiri dalam berperilaku dan mampu mengelak
Bahkan seandainya konflik dihentikan dengan dari tekanan sosial (autonomy), mampu merasakan
mengakhiri hubungan, misalnya berupa perceraian peningkatan kualitas diri dari waktu ke waktu
atau keluar dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis (personal growth), menerima kelemahan dan
konflik tetap membekas. kelebihan dirinya (self-acceptance), memiliki tujuan
Konflik di dalam keluarga lebih sering dan hidup yang berdampak pada keterarahan sikap dan
mendalam bila dibandingkan dengan konflik dalam perilakunya (purpose in live), mampu menciptakan
konteks sosial yang lain (Sillars dkk., 2004 dalam dan memilih lingkungan yang sesuai dengan nilai
Lestari, 2012). Misalnya, penelitian Adam dan dan kebutuhan pribadi (environmental mastery) dan
Laursen (2001, dalam Lestari 2012) menemukan mampu menikmati dan menjalin hubungan yang
bahwa konflik dengan orang tua lebih sering harmonis dengan orang lain (positive relationship
dialami remaja bila dibanding dengan sebaya. Oleh with others).
karena sifat konflik yang normatif, artinya tidak bisa
dielakkan, maka vitalitas hubungan dalam keluarga METODE PENELITIAN
sangat tergantung pada respon masing-masing
terhadap konflik. Penelitian ini menggunakan metode

116 Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial


Vol.02 No. 03, Desember 2013
Kartika Ayu Primasti, Aryani Tri Wrastari

penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan dengan topik yang diteliti dan bermaksud
kemudian dalam penelitian ini adalah pendekatan melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu
kualitatif deskriptif dengan tipe penelitian hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan
studi kasus instrumental. Studi kasus dalam lain (Banister, dkk., 1994, dalam Poerwandari,
penelitian ini adalah studi kasus instrumental, 2011). Dalam penelitian ini penulis menggunakan
yaitu penelitian pada suatu kasus unik tertentu, pendekatan wawancara dengan pedoman
dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, umum (Patton, 1990, dalam Poerwandari, 2011)
juga untuk mengembangkan dan memperhalus karena wawancara ini dilengkapi pedoman yang
teori (Poerwandari, 2011). Alasan dipilihnya studi mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa
kasus instrumental dikarenakan penelitian ini akan menentukan urutan pertanyaan bahkan mungkin
mengkaji konsep psychological wellbeing dalam tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Penelitian ini
kerangka teori Ryff di konteks perceraian ditinjau menggunakan bentuk wawancara terfokus yakni
dari family conflict yang dialami. wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada
Subjek penelitian diambil dengan kriteria hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari kehidupan
tertentu, dimana peneliti akan mempelajari atau pengalaman subjek (Poerwandari, 2011).
semua kasus yang memenuhi kriteria yang telah Penelitian ini menggunakan pendekatan
ditentukan (Poerwandari, 2011). Kriteria subjek theory driven dimana pengembangan tema dan
dalam penelitian ini adalah remaja yang telah kode yang digunakan dalam penelitian mengacu
mengalami perceraian orangtua. Remaja disini pada teori psychological wellbeing dari Ryff. Untuk
adalah remaja yang berumur 12 hingga 21 tahun kredibilitas data, Penelitian ini menggunakan
(Monks, 2006) dan tidak ada batasan gender. jenis triangulasi data yaitu triangulasi yang
Teknik penggalian data yang digunakan pada digunakan berupa variasi sumber-sumber data
penelitian ini adalah wawancara. Wawancara yang berbeda (Patton, 1990, dalam Poerwandari,
adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan 2011) berupa wawancara dengan significant others.
untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara Hal ini disebabkan karena hasil wawancara dengan
kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk significant others akan menambah kejelasan data
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna psychological wellbeing dan data family conflict
subjektif yang dipahami individu berkenaan pada remaja yang mengalami perceraian orangtua.

PWB TINGGI
Menambah Teori
Family Conflict Perkembangan
Perceraian Remaja :

1. Identitas Diri
2. Peer Support
TEORI
PWBRYFF
RENDAH 3. Kebutuhan akan
Cinta
Marital Orangtua-
Conflict Remaja

1.1 Gambar Ringkasan Hasil Pembahasan

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial 117


Vol.02 No. 03, Desember 2013
Dinamika Psychological Wellbeing pada Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua Ditinjau dari Familiy Conflict yang DIalami

HASIL DAN BAHASAN remaja, serta sumber tekanan untuk perilaku


orang tua, adalah teman sebaya. Remaja cenderung
Berikut ini pembahasan hasil analisis data mencari nasihat untuk masalahnya dari teman-
penelitian ini mengacu kepada fokus penelitian, teman seumurannya. Pengaruh teman sebaya
hasil penelitian kali ini berbeda dengan penemuan cenderung kuat di awal-awal masa remaja daripada
teori yang terdahulu. pengaruh orangtua itu sendiri. Selama adanya
Dari gambar diatas tersebut dapat family conflict yang terjadi pada remaja, remaja
dijelaskan bahwa perceraian orangtua tidak selalu mencari dukungan dari teman-temannya dan
mengakhiri family conflict yang ada pada remaja. menganggap bahwa lingkungan dengan teman
Pada penelitian ini perceraian mengakibatkan sebaya itu lebih penting dari keluarga itu sendiri.
family conflict pada remaja yaitu marital conflict Penemuan yang lain itu adanya dukungan dari
dan konflik orangtua remaja. Dengan adanya orang terdekat partisipan yaitu pacar. Salah satu
hal tersebut ketiga partisipan mampu mencapai hal yang mengakibatkan mempengaruhi wellbeing
psychological wellbeing yang tinggi dan satu adalah hubungan asmara pada remaja. Penelitian
partisipan yang mencapai psychological wellbeing menemukan bahwa hubungan asmara memiliki
yang rendah. Hal ini tentu berbeda dengan yang kaitan yang kuat terhadap perubahan-perubahan
dikatakan oleh Emery (1982, dalam Mechanic & fungsi diri remaja (Zimmer-Gembeck, Siebenbruner
Hensell, 1989), Emery mengatakan bahwa remaja & Collins, 2001 dalam Zimmer & Gallaty, 2006).
mampu mencapai psychological wellbeing yang Dalam tahap perkembangan psikososial keintiman
tinggi setelah perceraian orangtua jika tidak ada versus isolasi, mereka mendambakan hubungan-
family conflict. Namun dari hasil penemuan diatas hubungan yang intim dan akrab. Nilai cinta muncul
meskipun setelah perceraian terdapat family selama tahap perkembangan keintiman. Ritualisasi
conflict, partisipan mampu mencapai psychological tahap ini adalah afiliasi dimana remaja dapat berbagi
wellbeing yang tinggi. Hal-hal tersebut dipengaruhi bersama dalam masalah pribadi, persahabatan, dan
oleh pengguanaan teori Ryff yang mengacu cinta (Hall & Lindzey, 1993)
pendekatan multidimensi yang terdiri dari enam Hal yang ketiga adalah tuntutan remaja
aspek yang berbeda dari aktualisasi diri manusia: untuk menjadi mandiri dan matang secara dewasa
autonomy, personal growth, self-acceptance, sehingga pada penemuan ini partisipan merasa
life purpose, enviromental mastery, dan positive dapat menyikapi segala sesuatunya dengan lebih
relationship with others. Keenam konstruk ini dewasa. Partisipan juga hidup lebih mandiri
menjelaskan PWB baik secara teoritis ataupun pada usianya yang masih remaja. Menurut tahap
operasional dan mereka menghubungkanya dengan perkembangan Psikososial Erikson (tt, dalam
hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental Hall & Lindzey, 1993), masa remaja berada pada
dan fisik (Ryff & Singer 1998, dalam Ryan & Deci, tahap remaja tertarik untuk mengetahui siapa
2001). Sedangkan pada penelitian terdahulu yang dirinya, bagaimana dirinya, dan kemana ia menuju
dilakukan oleh Mechanic & Hensell (1989) melihat dalam kehidupannya. Hal yang penting tentang
psychological wellbeing dari simptom-simptom identitas pada masa remaja, khususnya pada akhir
negatif yaitu kecemasan, depresi, penerimaan masa remaja, ialah bahwa untuk pertama kalinya
diri dan simptom fisik. Teori Ryff mengacu pada perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan
simptom-simptom positif yang akhirnya mengacu perkembangan sosial maju ke titik dimana individu
pada aktualisasi diri. dapat memilah-milah dan mensintesiskan identitas
Kedua, hal yang dapat mempengaruhi dan identifikasi masa anak-anak untuk membangun
psychological wellbeing partisipan tinggu adalah suatu jalan menuju kematangan orang dewasa dan
tahapan perkembangan remaja dimana pada usia lebih mandiri.
remaja, Robinson (tt, Papalia, 2009) menemukan
bahwa sumber penting yaitu berupa dukungan
emosional selama transisi kompleks pada masa

118 Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial


Vol.02 No. 03, Desember 2013
Kartika Ayu Primasti, Aryani Tri Wrastari

SIMPULAN DAN SARAN yang ketiga, perceraian tidak menyelesaikan family


conflict namun memunculkan family conflict yang
Berdasarkan hasil pembahasan, perceraian baru yaitu konflik pasangan (marital conflict)
yang dialami keempat partisipan tidak mengakhiri dan konflik orangtua-remaja. Keadaan tersebut
family conflict. Jenis family conflict yang muncul masih bisa membuat partisipan tiga mencapai
setelah perceraian pada partisipan berbeda-beda. psychological wellbeing yang tinggi, hal itu
Pada partisipan yang pertama family conflict disebabkan karena partisipan tiga berkembang dari
yang terjadi setelah perceraian adalah konflik waktu ke waktu ke arah yang lebih baik misalnya
orangtua-remaja yang berujung pada psychological saja dari segi akademis. Pada partisipan yang
wellbeing yang tinggi. Hal itu disebabkan karena terakhir, perceraian yang terjadi pada orangtua
partisipan dituntut untuk mandiri dan berpikir tidak menyelesaikan family conflict yang ada yaitu
dewasa sehingga partisipan mampu mengelola melanjutkan konflik pasangan (marital conflict)
kehidupannya sehari-hari. Pada partisipan yang dan menimbulkan konflik baru yaitu konflik
kedua family conflict yang terjadi setelah perceraian orangtua-remaja. Partisipan mampu mencapai
adalah konfik pasangan (marital conflict) yang psychological wellbeing yang tinggi dengan keadaan
berujung pada psychological wellbeing yang rendah. keluarga yang masih berkonflik, hal itu disebabkan
Hal ini disebabkan karena partisipan tidak bisa karena partisipan mampu memilah-milah masalah
mengelola lingkungan dengan baik sehingga yang ada di rumah dan lingkungan luar rumah serta
partisipan menjadi individu yang pergaulannya mampu berpikir dewasa dengan masalah yang ada.
bebas dan suka mabuk-mabukkan. Pada partisipan

PUSTAKA ACUAN

Amato, Paul R., Sobolewski & Juliana, M. (2001). The Effects of Divorce and Marital Discord on Adult
Children’s Psychological Well Being. American Sociological Review; Vol 66 (December: 900-921).
Aminah. (2012). Proses Penerimaan Anak (Remaja Akhir) terhadap Perceraian Orangtua dan Konsekuensi
Psikosial yang Menyertainya. Jurnal Imiah Psikologi Candrajiwa Volume 1, No. 3.
Antara. (2012). Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70%. Republika [on-line].Diakses p a d a
tangan 20 Januari 2012 dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-
angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen.
Badan Pusat Statistik. (2010). Provinsi Jawa Timur dalam angka 2010. Surabaya: Badan Pusat Statistik Provinsi
Jawa Timur.
Badan Pusat Statistik. (2013). Surabaya dalam angka 2013. Surabaya: Badan Pusat Statistik Kota Surabaya.
Boyatzis, R. E. (1998). Transforming Qualitative Information: Thematic Analysis and Code Development.
California: Sage.
Canary, D. (2013). Family Conflict: Managing The Unexpected. Cambridge: Polity Press.
Cripps, K. & Zyromski, B. (2009). Adolescents’ psychological well-being and perceived parental involvement:
implications for parental involvement in middle schools. RMLE Online, 33(4)
Demo, David H., and Alan C. Acock. (1996). Family structure, family process, and adolescent well-being.
Journal of Research on Adolescence, 6, 457-488.
Dewi & Utami. (2006). Subjective Wellbeing Anak dari Orangtua yang Bercerai. Jurnal Psikologi Volume 35,
No.2, 194-212.
Fereday, J., & Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic analysis: a hybrid approach
of inductive and deductive coding and theme development. International Journal of Qualitative

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial 119


Vol.02 No. 03, Desember 2013
Dinamika Psychological Wellbeing pada Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua Ditinjau dari Familiy Conflict yang DIalami

Methods, 5(1), 1-11.


Glenn, Norval D. & Kramer, Kathyrn B. (1985). The Psychological Wellbeing of Adult Children of Divorce.
Journal of Marriage and The Family, 905-912.
Goode, William J. (2004). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.
Hall, C. S. & Lindzey, G. (1993). Teori-Teori Psikodinamik. Yogyakarta. Kanisius
Handayani, Muryantinah M., dkk. (2008). Psikologi Keluarga. Surabaya: Unit Penelitian dan Publikasi
Psikologi.
Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta:
Kencana.
Mechanic & Hensell. (1989). Divorce, Family Conflict and Adolescents’ Well Being. Journal of
Health and Social Behavior, vol 30 no.1, 105 – 116.
Monks, F. J. (2006). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Olson, D. H., DeFrain, J. (2006). Marriages and families. Boston : McGrawHill.
Papalia, D, E. (2009). Human development. Jakarta. Salemba Humanika.
Poerwandari, E. K. (2011). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok:LPSP3.
Ryan, R. M. & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: areview of research on hedonic and
eudaimonic well-being. Annual Reviews Psychology, 52, 141–166.
Ryff, C.D. (1989). Happinnes is everything, or is it ? Exploration on the meaning of Psychological Well-
Being. Journal of Personality and Social Psychology,57, 1069 -1081.
Ryff, C. D. & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality
and Social Psychology, 69 (4), 719-727
Ryff, C. D. & Singer, B. H. (2008). Know thyself and become what you are: a eudaimonic approach to
psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39
Santrock, J.W. (2002). Lifespan Development: Perkembangan Masa Hidup jilid II (5th ed). Jakarta: Airlangga.
Werdyaningrum, Puri. (2013). Psychological Wellbeing pada Remaja yang Orangtua Bercerai dan yang Tidak
Bercerai (Utuh). Jurnal Online Psikologi, Vol. 01, No. 2.
Zimmer, M. J. & Gallaty, K. J. (2006). Hanging out or hanging in?: young females’ socio-emotional functioning
and the changing motives for dating and romance. Advances in Psychology Research, 44.

120 Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial


Vol.02 No. 03, Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai