Anda di halaman 1dari 13

Referat

RINOSINUSITIS

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2020
RINOSINUSITIS

I. DEFINISI
Rinosinusitis merupakan inflamasi yang terjadi pada hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala (hidung tersumbat,
hidung berair, nyeri pada wajah, atau hiposmia/anosmia), dapat ditemukan polip,
sekret mukopurulen pada meatus medius dan superior, atau edema mukosa pada
pemeriksaan endoskopi, dan/atau disertai perubahan gambaran CT-scan.1

II. ANATOMI
Sinus paranasal merupakan rongga yang dibentuk oleh tulang kranii dan
tulang wajah dan terletak pada daerah sekitar hidung. Sinus paranasal berjumlah
empat pasang, yaitu sinus maksila (M), sinus frontal (F), sinus etmoid (E), dan
sinus sfenoid (S) kanan dan kiri. Sinus paranasal ini dilapisi oleh membran
mukosa yang berhubungan langsung dengan mukosa hidung. Sinus etmoid
posterior melalui infundibulum etmoid dan sinus frontal bermuara langsung pada
meatus superior, sedangkan sinus etmoid anterior dan sinus maksila bermuara
langsung pada meatus media.2
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius,
terdapat muara-muara saluran dari sinus paranasal. Daerah ini dinamakan
kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di
belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. Anatomi sinus maksila dan
KOM ditunjukkan pada gambar 1.

1
F
F

E S
E

M
M

Gambar 1. Anatomi KOM dan sinus paranasal.2

III. EPIDEMIOLOGI
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan. Berdasarkan
data dari National Health Interview Survey tahun 2009, di Amerika Serikat
dilaporkan bahwa 13% penduduk dewasa menderita sinusitis.1 Di Indonesia, hasil
penelitian dari RSUP Haji Adam Malik Medan, terdapat sekitar 31,6% penderita
rinosinusitis dalam rentang umur 31-45 tahun, dan 54,2% dari kasus tersebut
adalah perempuan.3

IV. PATOGENESIS
Mekanisme infeksi sinus hampir sama dengan mekanisme infeksi pada
umumnya. Mikroorganisme akan menginfeksi sel host dan memicu pelepasan
mediator inflamasi (sitokin, eosinofil, neutrofil, dan sel T). Pelepasan mediator
inflamasi akan menimbulkan edema lokal sehingga menimbulkan obstruksi pada
kompleks ostiomeatal. Obstruksi ini akan menyebabkan hipoksia jaringan dan
mengganggu bahkan merusak sel silia sehingga klirens mukosa menjadi
terganggu.4 Apabila imunitas host baik, maka inflamasi akan mengalami resolusi
dan sembuh. Akan tetapi apabila kondisi ini menetap, maka akan berlanjut
menjadi kronis.
Rinosinusitis kronis dimulai ketika adanya infeksi akut yang selanjutnya
dapat menetap akibat beberapa faktor predisposisi yang mendukung. Diantara

2
faktor predisposisi tersebut adalah: deformitas struktural, kemampuan
pembersihan sel silia (klirens mukosilier) mukosa yang menurun, fibrosis,
osteitis/osteomielitis, infeksi gigi, asma, dan alergi. 4 Deformitas struktural seperti
deviasi septum dan konka bullosa mendasari terjadinya proses obstruksi kompleks
ostiomeatal. Obstruksi tersebut merupakan mekanisme patogenik rinosinusitis dan
menjadi penyebab hipoksia rongga sinus serta pH menjadi lebih asam.1,4 Kondisi
tersebut secara bersama-sama akan menyebabkan diskinesia sel silia sehingga
mukus akan tertahan dan menumpuk. Tumpukan mukus akan memudahkan
infeksi dan perkembangan bakteri meningkat. Saat obstruksi terus berlanjut,
infeksi akan menjadi persisten.

Obstruksi KOM

Tekanan negatif rongga sinus

Hipoksia & pH asam

Klirens mukosilier terganggu

Retensi mukus

Infeksi bakteri

Infeksi sinus persisten

Gambar 2. Patogenesis rinosinusitis.4

V. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis rinosinusitis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
serta dapat ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang gejala utama rinosinusitis, gejala
penyerta, progresifitas, kualitas gejala, dan komplikasi. Berdasarkan kriteria

3
Rhinosinusitis Task Force (RTF), rinosinusitis ditegakkan apabila terdapat 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan ≥ 2 kriteria minor.

Tabel 1. Kriteria diagnosis Rhinosinusitis Task Force.5

Kriteria mayor Kriteria minor


Sekret nasal purulen Nyeri kepala
Post nasal drip Nyeri pada telinga
Hidung tersumbat Halitosis
Nyeri pada daerah wajah Nyeri pada gigi
Hiposmia atau anosmia Batuk
Demam (pada sinusitis akut) Demam
Fatigue

Hampir 92% penderita rinosinusitis mengeluhkan rasa tersumbat pada


hidung.1 Keluhan lain yang menyertai seperti sekret hidung purulen (rinorea),
nyeri atau seperti tertekan pada daerah wajah, penurunan daya pembau
(hiposmia/anosmia), sensasi cairan yang masuk ke tenggorok (post-nasal drip),
hidung terasa gatal, atau bersin.1 Kondisi akut dan kronis dinilai berdasarkan lama
gejala yang muncul. Rinosinusitis akut apabila gejala berlangsung < 12 minggu,
sedangkan rinosinusitis kronis adalah rinosinusitis dengan gejala berlangsung
selama ≥ 12 minggu.
Nyeri pipi menandakan rinosinusitis maksila. Gejala rinosinusitis
maksilaris berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya
reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak,
penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu
naik atau turun tangga.
Rinosinusitis etmoidalis biasanya terjadi pada anak dan seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Gejala biasanya berupa nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola
mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan.
Gejala rinosinusitis frontalis berupa nyeri yang berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian

4
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya mengeluhkan
dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
Apabila pasien mengeluhkan nyeri kepala yang mengarah ke verteks
kranium, dapat dipikirkan adanya rinosinusitis sfenoidalis.
Hal yang juga perlu ditanyakan terkait faktor predisposisi dan fokus
infeksi termasuk riwayat alergi, infeksi gigi, dan kebiasaan merokok (aktif atau
pasif). Penderita mungkin juga memiliki riwayat infeksi saluran nafas, asma,
bronkitis, pneumonia, GERD, adenotonsilitis, dan otitis media.1

2. Pemeriksaan fisik
Rinosinusitis maksilaris ditandai dengan nyeri saat palpasi daerah pipi dan
nyeri ketuk pada gigi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Apabila ditemukan nyeri tekan diantara kedua mata dan diatas
jembatan hidung atau kantus medius, maka infeksi terjadi pada sinus etmoid. Pada
rinosinusitis frontalis ditemukan nyeri tekan pada bagian atap orbita.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis, discharge
purulen, dan edema mukosa. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior juga dapat
dinilai adanya polip, atau kelainan anatomi hidung yang mendukung terjadinya
rinosinusitis seperti deviasi septum.1
Pada rinoskopi posterior akan tampak cairan yang menetes ke dalam
tenggorok (post nasal-drip). Pemeriksaan naso-endoskopi pada rinosinusitis
maksila, rinosinusitis frontal dan rinosinusitis ethmoid anterior akan tampak
nanah keluar dari meatus medius, sedangkan pada rinosinusitis ethmoid posterior
dan rinosinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Hal ini
merupakan tanda khas terjadinya rinosinusitis.6
Pemeriksaan lain yang mungkin dapat membantu adalah transiluminasi
(diaphanoskopi). Transiluminasi sinus dilakukan di ruangan yang gelap. Untuk
pemriksaan sinus maksiloaris, sumber cahaya ditempatkan di mulut pasien pada
satu sisi langit-langit mulut atau pada pipi. Apabila terdapat sinusitis maksilaris,
cahaya yang melewati sinus maksilaris akan muncul lebih suram. 6 Jika sinus
mengandung cairan berlebih, massa, atau mukosa yang menebal, kilauan

5
berkurang. Sinus frontal juga dapat ditransiluminasi dengan mengarahkan cahaya
superior dari bawah aspek medial alis.

A B

Gambar 3. Transiluminasi (A) sinus maksila dan (B) sinus frontal.2

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri
atas berbagai macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital
kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang
petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita.

Gambar 4. Foto polos Caldwell.7

6
b. Foto kepala lateral
Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar
kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu
sama lain. Pada sinusitis tampak: penebalan mukosa, air fluid level (kadang-
kadang), perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal, penebalan
dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).

Gambar 5. Foto polos lateral.7

c. Foto kepala posisi waters


Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis
orbito meatus membentuk sudut 370 dengan film. Pada foto ini, secara ideal
piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maxillaris sehingga
sinus maxillaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Waters umumnya
dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan
dapat menilai dinding posterior sinus sfenoid dengan baik.
Pemeriksaan Foto Waters merupakan pemeriksaan yang paling baik untuk
mengevaluasi sinus maksilaris. William et al menyimpulkan bahwa Foto Waters
dapat diterima untuk mendiagnosis suatu kelainan di sinus maksilaris.
Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat
radiasi yang minimal. Sensitifitas dan spesifisitasnya yaitu 85% dan 80%.
Berdasarkan gambaran radiologis dengan Foto Waters dapat menilai kondisi
sinus maksilaris yang memperlihatkan perselubungan, air fluid level, dan
penebalan mukosa.

7
Gambar 6. Foto polos Waters.7

Selain foto polos kepala, pemeriksaan radiologi lain adalah CT scan sinus
paranasal. Pemeriksaan CT scan sinus paranasal merupakan gold standard pada
kasus rinusitis. Hasil CT scan menunjukkan gambaran hiperdens dengan
penebalan ≥ 5 mm pada mukosa sinus, atau terdapat fluid-level merupakan tanda
sinusitis.7 Pada pasien dengan indikasi operasi, pemeriksaan CT scan sangat
berguna untuk melihat variasi anatomi sinus serta untuk menilai sejauh mana,
pola, dan kemungkinan penyebab mekanik dari rinosinusitis.

Gambar 7. Gambaran CT scan rinosinusitis7

VI. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis adalah mengurangi edema,
memperlancar aliran sekret dari sinus, dan menekan infeksi. Terapi dapat
menggunakan antibiotik dan irigasi hidung dikombinasikan dengan steroid atau
dekongestan. Alur penatalaksanaan rinosinusitis terlampir pada Lampiran 1.12
1. Antibiotik
Terapi antibiotik lini pertama pada rinosinusitis adalah dengan Amoksilin
klavulanat 625 mg tiap 8 jam. Pada pasien alergi penisilin, dapat diberikan
alternatif doksisiklin 100 mg/12 jam atau levofloksasin 500 mg dosis tunggal.

8
Terapi lini kedua pada rinosinusitis berupa doksisiklin, klindamisin, dan sefiksim.
Antibiotik dapat diberikan selama 10–14 hari.6
2. Dekongestan
Efedrin agonis α1 dan xylometazoline agonis α2 (nasal spray atau nasal
drop) adalah obat simpatomimetik yang meningkatkan vasokonstriksi,
dikombinasikan dengan steroid topikal, pada penggunaan jangka pendek sangat
membantu mengurangi gejala hidung tersumbat.8
3. Steroid topikal
Penggunaan steroid topikal dalam bentuk nasal spray pada kasus
rinosinusitis menunjukkan perbaikan gejala klinis dengan efek samping minimal. 1
Steroid topikal dan sistemik mengurangi kemotaksis eosinofil pada mukosa dan
meningkatkan apoptosis eosinofil. Steroid juga mengurangi migrasi leukosit,
produksi mediator inflamasi, produksi antibodi, pelepasan histamin, sehingga
dapat mengurangi pembengkakan melalui berbagai mekanisme. Prosedur
penggunaan nasal spray ditunjukkan pada gambar 7.

Gambar 8. Prosedur penggunaan nasal spray.8


4. Irigasi intranasal
Irigasi intranasal bermanfaat pada penderita rinosinusitis meskipun tidak
seefektif penggunaan steroid topikal.1 Irigasi berperan membersihkan hidung dari
antigen, biofilm, atau mediator inflamasi, dan meningkatkan klirens mukosiliar

9
sehingga mengurangi gejala pada rinosinusitis akut.9 Irigasi dilakukan dengan
menggunakan larutan salin normal atau NaCl 0,9% rutin setiap hari. Posisi
penggunaan irigasi intra nasal ditunjukkan pada gambar 8.

Gambar 8. Irigasi nasal.9


5. Operatif
Rinosinusitis yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa adalah
indikasi untuk dilakukan tindakan operatif. Tindakan operatif yang dilakukan
adalah FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery). FESS bertujuan
mengembalikan aliran normal sinus dengan cara membuka obstruksi pada
kompleks ostiomeatal sehingga pola fisiologis ventilasi dan klirens mukosiliar
dapat kembali seperti semula.11 Sebelum dilakukan FESS, diperlukan penunjang
radiologi CT scan sinus paranasal untuk memandu operator selama operasi.
Prosedur FESS dilakukan dengan pendekatan visualisasi ke arah antero-
posterior. Diseksi dimulai dengan membersihkan bagian infundibulum kemudian
dilanjutkan sesuai lokasi sinus yang bermasalah, pembersihan ostium sinus
frontal, dan identifikasi atap etmoid. Selanjutnya diseksi dilakukan ke arah
posterior, pengangkatan sisa-sisa sel etmoid dan terakhir ke arah sinus frontal.
Pendekatan ini disebut dengan teknik Messerklinger. Selain itu juga dikenal
teknik Wigand yaitu pendekatan ke arah postero-anterior.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al.


European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps 2020. Rhinol
Suppl. 2020;29:115-184.

2. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy 7th edition.
Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins. 2014:955-965.

3. Arivalagan P, Rambe A. Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam


Malik pada Tahun 2011. [skripsi] Medan. 2011.

4. Dhingra PL, Dhingra S. Disease of Ear, Nose, and Throat & Head and Neck
Surgery 7th edition. Elsevier. New Delhi. 2018:213-222.

5. Report of the Rhinosinusitis Task Force Committee Meeting. Alexandria,


Virginia, August 17, 1996. Otolaryngol Head Neck Surg. 1997 Sep. 117(3 Pt
2):S1-68.

6. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


Bashirudin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI; 2015. p. 127-130.

7. Chiu P, Chen J, Chang C, Wei J, Chang C. The Diagnostic Value of Sinus


Radiography in the Evaluation of Sinusitis. Chin J Radiol. 2010;35:143-148

8. Scadding GK, Durham SR, Mirakian R, Jones NS, Drake-Lee AB, Ryan D,
Nasser SM. BSACI guidelines for the management of rhinosinusitis and nasal
polyposis. Clinical & Experimental Allergy. 2007;38(2):260–275.

9. Aring AM, Chan MM. Current Concepts in Adult Acute Rhinosinusitis. Am


Fam Physician. 2016;94(2):97-105.

10. Rabago D, Zgierska. Saline Nasal Irrigation for Sinus Problems. Am fam
physician. 2009 Nov 15;80(10):1117-1119.

11. Lal D, Stankiewicz JA. Primary Sinus Surgery. In: Flint PW, Haughey BH,
Lund VJ, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, Lesperance MM, editor.
Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery 6th edition. New York:
Elsevier; 2015. p. 752-782.

12. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al.
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol
Suppl. 2012 Mar(23): 1-298.

11
Lampiran 1

12

Anda mungkin juga menyukai