Anda di halaman 1dari 18

Evaluasi terhadap etiologi dari iritis persisten setelah operasi katarak

Kristin Neatrout, Allison McAlpine, Timothy Boorks Owens, Rupal H. Trivedi dan Lynn

J. Poole Perry

Abstrak

Latar belakang: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pasien-pasien

dengan iritis persisten setelah operasi katarak untuk menentukan insidensinya dan

faktor-faktor resikonya. Dengan menyesuaikan manajemen dari pasien-pasien dengan

resiko dapat memberikan kesempatan bagi klinisi untuk dapat mengetahui hasil akhir

(outcome) dan perjalanan post-operatif yang dapat diprediksi. Tinjauan rekam medis

restrospektif dibuat dari pasien-pasien yang mengalami post-operatif iritis selama elbih

dari 1 bulan setelah operasi katarak selama periode 2 tahun pada Storm Eye Institute

pada Medical University of South Caroline (MUSC) di Charleston, Carolina Selatan.

Data demografik pasien dan beragam faktor-faktor pre-operatif, intra-operatif, dan post-

operatif juga diperiksa sebagai hal yang biasa lazim dilakukan (trend).

Hasil penelitian: Tiga puluh sembilan pasien (49 mata) sesuai dengan kriteria inklusi

penelitian, dan pada kelompok ini dibandingkan dengan kelompok kohort terkontrol

yang terdiri dari 40 pasien (66 mata) yang tidak mengalami iritis persisten setelah

operasi katarak. Insidensi secara keseluruhan dari iritis post-operatif adalah 1,75%. Pada

semua pasien dengan iritis post-operatif yang bertahan lebih dari 1 bulan, ras Afrika

Amerika dan penggunaan alat pelebar pupil (pupil expansion device) merupakan faktor

resiko yang signifikan. Setelah mengeksklusi pasien-pasien dengan riwayat dari

inflamasi okuler atau diketahui adanya riwayat diagnosis bersifat inflammasi atau

autoimummune (insidensi 1,20%), masih terdapat proporsi yang secara signifikan lebih

tinggi pada ras Afika Amerika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ketika pasien-
pasien dengan iritis post-operatif dengan durasi dibawah dari 6 bulan dieklusikan lagi,

insidensinya menjadi 0,32%, dan riwayat diabetes ditemukan secara signifikan lebih

tinggi sebagai tambahan dari faktor ras.

Kesimpulan: Faktor-faktor resiko dari iritis persisten setelah operasi katarak meliputi

diabetes, dengan latar belakang Afrika Amerika, dan penggunaan alat pelebar pupil

(pupil expansion device). Pasien-pasien tersebut dapat secara lebih baik diberikan

informasi akan resiko tinggi dari inflammasi lebih lama pada perjalanan post-

operatifnya, dan manajemen peri-operatif dapat disesuaikan.

Kata kunci: uveitis post-operatif, manajemen post-operatif, iritis, inflammasi, faktor

resiko, komplikasi operasi katarak, pseudophakia, epidemiologi, insidensi.

Latar belakang

Teknik operasi katarak telah berkembang secara signifikan selama beberapa tahun

terakhir. Perkembangan operasi modern dan pengobatan telah membuat peningkatan dari

manajemen peri-operatif dari inflammasi dan hasil akhir yang lebih baik, bahkan dengan

tantangan berupa mata yang uveitik (uveitic eyes). Operasi katarak rutin menyebabkan

pelepasan dari mediator-mediator inflammatorik, yang sehingga beberapa derajat dari

inflammasi post-operatif dari semua pasien. Inflammasi post-operatif ini biasanya dapat

dengan mudah dikendalikan dengan steroid topikal yang ditappering off (topical steroid

tapers) dan biasanya dapat sembuh dalam 1 bulan setelah operasi.

Ketika terdapat adanya beberapa faktor-faktor resiko tertentu, seperti riwayat dari

uveitis, periode dari inflammatori post-operatif ini mungkin dapat menjadi lebih panjang

selama beberapa minggu atau bulan, yang diselingi oleh periode-periode dari inflammasi

“rebound” ketika obat tetes steroid topikal di tappering. Penelitian-penelitian telah

menunjukkan bahwa angka rekurensi dari uveritis yang terjadi setelah operasi katarak
cukup tinggi hingga 51%. Sebuah penelitian yang dilakukan di Vanderbilt University

menemukan adanya hubungan signifikan antara uveritis post operasi dan komplikasi-

komplikasi intra-operatif, juga berhubungan dengan hasil dari ketajaman penglihatan

yang buruk. Waktu median dari inflammasi adalah 10 bulan. Pada sebuah tinjauan dari

pasien-pasien rheumatoid arthritis yang menjalanin operasi katarak, peningkatan dari

titer serum rheumatoid faktor (RF) pre-operatif berhubungan dengan 1+ aqueous cell 1

bulan setelaah operasi. Menariknya, analisis dari pasien-pasien dengan kadar sel post-

operatif ini dan titer RF pre-operatif menunjukkan bahwa 75% dari pasien-pasien

tersebut mempunyai penyakit diabetes.

Ketika tidak terdapat adanya etiologi predisposisi yang diketahui seperti riwayat

dari uveitis atau komplikasi pembedahan sebelumnya, sayangnya, beberapa pasien masih

mengalami perjalanan inflammasi yang lebih panjang setelah oeprasi katarak.

Karakteristik unik yang terdapat pada pasien-pasien ini belum pernah diteliti

sebelumnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pasien-pasien yang

menderita iritis post-operatif yang memanjang (prolonged), namun pada pasien-pasien

yang tidak mempunyai faktor resiko yang diketahui, penelitian ini bertujuan untuk

menentukan insidensi dan etiologi mendasari yang memungkinkan atau faktor-faktor

predisposisi. Untuk meneliti hal ini, dilakukan pembuatan tinjauan rekam medis

restrospektif selama 2 tahun dari pasien-pasien pada Storm Eye Institute di Medical

University Carolina selatan (MUSC) yang menderita iritis post-operatif yang bertahan

selama lebih adri 1 bulan setelah operasi katarak. Demografik pasien dan beberapa

faktor-faktor pre-operatif, intra-operatif, dan post-operatif dievaluasi sebagai suatu hal

yang lazim biasa dilakukan (trends). Hasil dari penelitian ini kemudian dibandingkan
dengan pasien-pasien kohort yang tidak mengalami iritis post-operatif persisiten untuk

mengevaluasi karakteristik yang unik secara statistik.

Metode penelitian

Badan peninjau Institusi MUSC telah menyetujui penelitian retrospektif ini, dan

penelitian mengikuti prinsip-prinsio dari deklarasi Helsinki (Declaration of Helsinki).

Permintaan data penelitian dimasukkan melalui servis, pembiayaan, aplikasi untuk pusat

penelitian (Services, Pricing, and Application for Research Centers) (SPARC) di

MUSC, dan proses ini sesuai dengan aksi portabilitas dan akutanbilitas asuransi

kesehatan (Health Insurance Portability and Accountability Act). Daftar dari nomor

rekam medis didapatkan dari semua pasien-pasien dalam rentang waktu 2 tahun (dari

November 2013 hingga September 2015) yang dimana memiliki kode International

Classification of Diseases (ICD) baik dengan “pseudophakia” (ICD-10 Z96.1) dan

“iridocyclitis” (ICD-10 H20- H20.9). Rekam medis ini kemudian dianlisis terhadap

karakteristik-karakteristik pre-operatif, intra-operatif, dan post-operatif seperti yang

telah dibahas dibawah. Untuk menentukan insidensi dari iritis post-operatif persisten,

data SPARC lainnya digunakan untuk mendapatkan angka dari jumlah total prosedur

yang dilakukan dalam periode 2 tahun yang disesuaikan dengan kode terminologi

prosedural terkini (Current Procedural Terminology) (CPT) yaitu 66982 atau 66984.

Insidensi tersebut dikalkulasikan secar ketat berdasarkan tanggal pembedahan yang

dilakukan selama periode penelitian, sedangkan analisis-analisis berikutnya juga

melibatkan pasien-pasien kohort dengan kunjungan klinik dikarenakan iritis post-

operatif berkepanjangan pada periode penelitian tersebut untuk mendapatkan angka

sampel yang lebih besar.

Karakteristik-karakteristik pre-operatif meliputi demografik dasar yaitu usia, jenis

kelamin, dan ras. Pada penelitian ini pasien ditanyakan apabila hal ini merupakan
tindakan pembedahan mata yang pertama atau mata yang kedua menjalanin oeprasi

katarak, juga disertai perjalanan dari operasi pada mata yang lainnya, jika

memungkinkan. Jika pasien mempunyai riwayat inflammasi okuler, dilakukan

pencatatan/perekaman/pendataan terhadap diagnosis oftalmik, diagnosis inflammasi

sistemik yang mendasari dengan disertai hasil laboratorium yang mendukung atau

pemeriksaan radiologis, pengobatan dasar sistemik atau topikal anti-inflammasi, dan

regimen profilaksis anti-inflammasi pre-operatif. Tidak terdapat profilaksis yang

diresepkan kecuali pasien mempunyai riwayat uveitis, dimana kami selalu secara rutin

meresepkan prednisolone oral yang diturunkan dosisnya (taper off) menjelaang waktu

operasi. Semua diagnosis-diagnosis oftalmik, riwayat operasi okuler, riwayat trauma

okuler, dan diagnosis medis lainnya juga dimasukkan. Pada pasien-pasien dengan

glaaukoma, terapi medis dan terapi pembedahan juga dicatat. Diagnosis dari diabetes

dilaporkan bersamaan dengan durasi, kadar hemoglobin (HbA1C) peri-operatif, status

diabetik retinopati (DR) meliputi edema makular, dan jika pernah mendapatkan injeksi

intravitreal waktu dekat, informasi ini didapatkan berdasarkan informasi yang tersedia

pada rekam medis. Tipe dari katarak (senile, uveitic, atau traumatik) dan derajat

(berdasarkan klasifikasi nukelar, kortikal, dan subkapsular posterior) juga dicatat.

Secara intra-operatif, nama dokter bedah yang bertanggung jawab atas pasien juga

didokumentasikan pada catatan operasi, namun dokter residen yang ikut berpartisipasi

dalam operasi ini biasanya tidak dimasukkan. Terdapat lima orang dokter bedah katarak

pada MUSC pada durasi penelitian ini. Kami juga mencatat data-data mengenai apabila

tindakan femtosecond laser-assisted cataract surgery (FLACS) dilakukan dan bila

antibiotik intrakamera diberikan, jika diketahui. Adanya temuan apapun yang

terdokumentasikan diluar dari catatan standart operasi juga direkam, termasuk dari

penggunaan alat pelebar pupil (pupil expansion device), intra-operative floppy iris
syndrome (IFIS), terjadinya kerusakan pada kapsula posterior, anterior vitrektomi, dan

fiksasi jahitan intraocular lens (IOL) dan pemakaian triamcinolone, dan jika operasi

katarak dikombinasikan dengan prosedur lainnya, seperti trabeculectomy atau tindakan

pembedahan glaukoma minimal invasif (minimally invasive glaucoma surgery/MISG).

Selain itu, tipe dari IOL yang digunakan (contohnya. SN60WF) dan lokasi implantasi

(ruang posterior/posterior chamber, pada sulkus, atau ruang anterior/anterior chamber)

juga dicatat.

Obat tetes topikal post-operatif yang digunakan pada institusi kami meliputi

pemberian satu bulan dari obat anti-inflammasi non steroid topikal (biasanya berupa

ketorolak empat kali sehari) dan pemberian prednisolone 4 minggu yang diturunkan

dosisnya secara bertahap (taper) (4 kali sehari untuk 1minggu yang diikuti dengan

periode tappering off dari tetesan yang diberikan). Temuan post-operatif meliputi durasi

dari iritis persisten (dalam bulan) dan penyebaran dari sel ruang anterior dan suar mata

(flare) (yang dievaluasi menggunakan pemeriksaan lampu celah yang sesuai dengan

sistem standarisasi nomenklatur uveitis). Gejala-gejala pasien dicatat bila dispesifikasi

dalam rekam medis. Respon terhadap terapi topikal dikategorikan sebagai cepat atau

lambat dan persisten, dan terapi tambahan apapun baik topikal dan/atau sistemik juga

dicatat. Dokumentasi apapun yang menandakan kepatuhan/compliance yang baik

ataupun buruk juga dimasukkan. Terakhir, ketajaman penglihatan terbaik post-operatif

(post-operative best-corrected visual acuity (BCVA)) dan tekanan intraokuler maksimal

juga dicatat.

Untuk kelompok kontrol, permintaan data SPARC yang serupa juga diajukan

untuk semua daftar pasien yang pada waktu periode yang sama dimana rekam medis dan

kode ICD untuk pseudophaakia namun bukan iritis. Sebuah generator bilangan bulat

acak digunakan untuk memilih 40 pasien (66 mata) untuk kelompok kontrol.
Karakteristik-karateristik pre-operatif dan intraoperatif yang sama dan BCVA post-

operatif dan tekanan intraokuler maksimal juga dicatat.

Karateristik pasien dan peri-operatif dianalisis dengan kalkulasi statistik deskriptif.

Variabel kontinu dianalisis dengan menggunakan two-tailed t test dan variabel

katergorik dievaluasi dengan tes Fisher exact. Ketajaman penglihatan diukur

berdasarkan kartu Snellen dikonversikan menjadi satuan logaritma dari sudut minimal

perbaikan (logarithm of the minimum angle of resolution/logMAR). Nilai p dibawah

<0,05 pada analisis dinilai signifikan secara statistik.

Hasil penelitian

Selama periode 2 tahun, 2169 operasi katarak telah dilakukan pada MUSC. Dari kasus-

kasus tersebut, 38 mata terjadi iritis post-operatif yang bertahan selama lebih adri 1

bulan (1,75%). Dengan mengeliminiasi pasien dengan riwayat mata yang pernah

menderita inflammasi okuler atau mempunyai riwayat inflammasi sistemik yang sudah

ada sebelumnya atau riwayat diagnosis autoimmun membuat angka insidensi menjadi

1,20% (26 mata). Setelah mengeklusikan mata baik dengan iritis post-operatif dalam

durasi dibawah 6 bulan dan riwayat inflammasi sebelumnya, insidensi dari iritis post-

operatif menjadi 0,32% (7 mata).

Tiga puluh sembilan pasien (49 mata) diminta untuk datang kembali ke klinik

untuk evaluasi dan tatalaksana dari iritis post-opartif yang berkepanjangan selama masa

periode penelitian. Gambar 1 menunjukkan distribusi relatif dari psien-pasien yang

dikategorikan sesuai dengan durasi dari iritis post-operatif. Enam pasien di eksklusikan

dari bagian dari analisis karena tiga pasien lepas dari follow-up dan 3 pasien masih

menderita iritis (on-going) pada saat waktu pengambilan data (n=43). Durasi rata-rata

dari bagian analisis yaitu 7.2 (± 7.7) bulan, dan nilai mediannya yaitu 4 bulan.
Gambar 1. Jumlah mata dibandingkan dengan lama dari iritis. Legenda: Gambar. 1

menunjukkan distribusi pasien-pasien dengan inflammasi yang memanjang berdasarkan

dari durasi iritis dalam satuan bulan

Analisis untuk semua pasien ketika membandingkan kasus-kasus pada inflammasi

post-operatif yang berkepanjangan dengan kasus-kasus kontrol menunjukkan bahwa ras

Afrika Amerika dan penggunaan alat pelebar pupil intra-operatif (intra-operative pupil

expansion device) terjadi peningkatan signifikan secara statistik. Ketika pasien-pasien

dengan riwayat inflammasi okuler sebelumnya atau adanya diagnosis yang sebelumnya

ada dieksklusikan, ras Afrika Amerika tetap lebih signifikan secara statistik. Setelah

mengeksklusikan lagi pasien-pasien yang menderita iritis selama kurang dari 6 bulan

post operasi, riwayat diabetes menjadi faktor yang signifikan, sebagai tambahan ras

Afrika Amerika pada Tabel 1 mengrangkumkan data demografik apsien dan

karakteristik-karakteristik pre-operatif/intra-operatif.
Tabel 1. Perbandingan dari karakteristik-karakteristik antara pasien-pasien dengan iritis

post-operatif persisten dibandingkan dengan kelompok kontrol dihubungan dengan nilai

p/p value.

Analisis terhadap pasien-pasien uveitis menunjukkan bahwa 13 pasien mempunyai

riwayat inflammasi okuler sebelumnya. Tipe-tipe dari kasus uveritis yang dilaporkan

adalah sebagai berikut: panuveritis (1); iritis (4); anterior dan intermediate uveitis (2);

episcleritis (2); dan uveitis, yang tidak spesifikasi lebih lanjut (5). Empat pasien

mendapatkan prednisolone atau obat-obatan antirheumatik modifikasi terhadap penyakit

sebagai baseline. Empat dari katarak dideskripsikaan sebagai uveitik. Pada intra-

operatif, alat pelebar pupil digunakan pada 6 kasus (5 kait pupil (iris hooks) dan 1

malyugin ring). Tidak ada kasus yang terdapat komplikasi berupa robekan kapsular

posterior atau vitrektomi anterior. Durasi rata-rata dari iritis diantara pasien-pasien

tersebut yaitu 5.8 (± 5.0) bulan, dan terdapat 7 kasus iritis yang bertahan selama lebih

dari 6 bulan. Pada post-operatif, sekitar 50% pasien melaporkan gejala-gejala iritis (6
pasien/8 kasus) yang meliputi nyeri, fotofobia, dan/atau pandangan berkabur. Sebagai

tambahan, 50% menunjukkan adanya perbaikan yang cepat dengan tambahan terapi.

Tabel 2 memberikan gambaran rangkuman detail dari temuan yang didapat dari

pasien-pasien diabetik dengan iritis dan kelompok kontrol.

Tabel 2. Perbandingan riwayat diabetik dan demografik diantara kelompok iritis dan

kontrol.

Terdapat 19 pasien yang didiagnosa dengan glaukoma atau sebagai kasus

kecurigaan glaukoma yang telah mendapatkan pengobatan. Tabel 3 merangkum

perbedaan tatalaksana antara iritis dan kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan

bermakna secara statistik antara kedua kelompok tersebut.

Tabel 3. Perbandingan terapi pada pasien glaukoma dan curiga glaukoma (suspected)

Pasien-pasien dengan iritis yang berkepanjangan dibagi menjadi kelompok-

kelompok berdasarkan apakah satu atau kedua mata yang terganggu (lihat Gambar 2).

Kelompok 1 (10 pasien) menderita iritis post-operatif pada kedua mata yang persisten.
Kelompok 2 (14 pasien) yang dimana dioperasi kedua matanya, namun hanya satu mata

yang mengalami iritis persisten, dimana yang secara merata terbagi antara mata pertama

atau mata kedua yang terganggu. Kelompok 3 (15 pasien) menderita iritis persisten pada

satu mata, namun masih “phakic” pada mata lainnya. Semua pasien pada kelompok satu

merupakan perempuan, sedangkan mayoritas pasien pada kelompok 2 merupakan laki-

laki. Kelompok 2 dibandingkan terhadap kelompok 1 untuk menilai karakteristik-

karateristik dari kasus-kasus dimana kedua mata menjalani operasi katarak dan

terganggunya satu mata dibandingkan dengan kedua mata. Pada kelompok 2, 2 pasien

menderita iritis hanya pada mata dimana digunakan alat pelebar pupil dibandingkan

dengan mata lainnya dimana tidak dilakukan penggunaan alat tersebut. Serupa dengan

hal tersebut, pasien yang mempunyai riwayat trauma okuler sebelumnya menderita iritis

yang berkepanjangan hanya pada mata yang terganggu. Analisis berikut menyarankan

bahwa faktor-faktor tersebut mungkin memiliki korelasi dengan iritis persisten pada

bagian dari pasien-pasien, namun ukuran sampel yang terlalu kecil untuk menyatakan

suatu signifikansi secara statistik. Riwayat diabetes tidak secara statistik signifikan

antara kelompok 1 dan 2.


Gambar 2. Persentase psien berdasarkan kelompok. Legenda: Pasien pada kelompok

post-iritis memanjang dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan perjalanan penyakit pada

mata lainnya dan apabila kedua mata menjalanin operasi.

Penilaian dari tipe dan derajat dari katarak menunjukkan bahwa semua pasien pada

kelompok kontrol menderita katarak senilis (senile cataract), dimana 4 pasien pada

kelompok iritis persisten menderita katarak uveitik (sisanya merupakan senilis). Dua

puluh sembilan dari 66 mata (43,9%) pada kelompok kontrol menderita katarak derajat

3 atau lebih dibandingkan dengan 15 dari 49 mata (30,6%) pada kelompok iritis

persisten.

Karakteristik-karakteristik intra-operatif pada kedua kelompok dianalisis.

Pembedahan Femtosecond laser-assisted digunakan untuk 23 kasus pada kelompok

kontrol dan 2 kasus pada kelompok iritis. Tabel 4 merangkum tipe dari alat pelebaran

pupil yang digunakan. Satu pasien pada kelompok iritis terjadi IFIS yang membutuhkan

vitrektomi anterior (tidak ada kasus tindakan IFIS pada kelompok kontrol). Kasus

tersebut juga merupakan satu-satunya kasus dimana intraocular lens (IOL) sulkus

diletakkan (dibandingkan IOL ruang posterior pada semua pasien lainnya di kedua

kelompok). Sembilan dari pembedahan pada kelompok kontrol dikombinasikaan dengan

prosedur lainnya (misalnya. Trabekulektomi) dibandingkan dengan hanya 3 dari


kombinasi pembedahan pada pasien yang menderita iritis persisten. Pada kelompok iritis

persisten, antibiotik intrakamera diberikan pada 85,7% kasus dari kelompok iritis

persisten dan 95,4% kasus dari kelompok kontrol.

Tabel 4. Alat pelebar pupil yang digunakan pada kasus-kasus iritis dan kelompok

keontrol dan perbandingan dari pilihan alat yang digunakan berdasarkan riwayat

inflammasi

Secara post-operatif, nilai rata-rata BCVA pada kelompok kontrol adalah 0.16 (±

0.17) logMAR, dan nilai rata-rata BCVA pada kelompok iritis persisten yaitu 0.26 (±

0.43) log MAR. Tekanan intraokuler maksimal rata-rata adalah 20 paada kelompok

kontrol dan 16 pada kelompok iritis. Analisis lebih lanjut terhadap iritis persisten

dirangkumkan pada Tabel 5. Nilai derajat kepatuhan ditentukan berdasarkan kehadiran

pasien pada jadwal follow-up kunjungan yang sedang ditentukan dan disertai dengan

kepatuhan terhadap ergimen pengobatannya. Dua pasien (2 mata) didata/dicatat sebagai

pasien yang memiliki derajat kepatuhan yang buruk.


Tabel 5. Temuan pemeriksaan simptomatologi post-operatif dan pilihan terapi pada

kelompok iritis yang memanjang.

PEMBAHASAN

Ini merupakan laporan pertama terhadap faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan

iritis post-operatif yang berkepanjangan pada pasien-pasien yang menjalani operasi

karatarak tanpa komplikasi dengan phacoemulsification dan pada pasien yang tidaak

memiliki riwayat uveitis atau kelainaan inflammasi yang mendasari lainnya. Iritis post-

operatif yang berkepanjangan menggambarkan beban signifikan diantara kasus-kasus

uveitis yang ditemukan pada southeastern part of USA. Pada suatu penelitian terhadap

diagnosis dari uveitis pada University of Virginia selama lebih dari periode 30 tahun

menunjukkan bahwa 10% dari semua kasus uveritis disebabkan oleh “post-procedural,”

dengan 48,7% dari kasus tersebut (kurang lebih 5% dari total beban) berhubungan

dengan ekstraksi katarak dan implantasi IOL. Pada penelitian kami, terdapat hubungan

signifikan antara diagnosis dari diabetes terhadap lamanya waktu iritis post-operatif

yang bertahan lebih dari 6 bulan. Ras Afrika dan Amerika juga secara signifikan

berhubungan dengan iritis post-oepratif ketika faktor-faktor predisposisi seperti adanya

riwayat diketahuinya episodik-episodik uveitis sebelumnya atau penyakit inflammatorik

yang mendasari dieklusikan.

Hubungan antara diabetes dengan waktu inflammasi post-operatif yang

memanjang setelah operasi katarak mungkin tidak terlalu mengejutkan dikarenakan

adanya hubungan antara inflammasi dan diabetes. Pada tahun-tahun terakhir, teori

mengenai bahwa obesitas menyebabkan inflmmasi sistemik kronik dengan aktivasi dari
sistem imun disertai dengan pelepasan dari mediator-mediator inflammatorik, dan

dengan demikian meningkatkan resiko terhadap gangguan metabolik seperti diabetes,

dan telah secara jelas dipublikasikan. Beberapa-beberapa penelitian telah memastikan

tingkat yang lebih tinggi dari suar (flare) mata yang berhubungan dengan marker-marker

pada cairan aqueous pada pasien yang diabetes dibandingkan dengan pasien non-

diabetes. Tingkatan yang lebih tinggi dari suar mata (flare) berhubungan dengan

pecahnya blood aqeous barrier/sawar darah aqueous pada pasien diabetes dan dapat

bertahan selama beberapa bulan setelah operasi katarak. Dapat diteorikan bahwa

hiperglikemia persisten dan keadaan pro-inflammasi sistemik kronik merupakan suatu

predisposisi bagian pasien diabetes terhadap perjalanan penyakit yang memanjang dari

iritis post-operatif refrakter terhadap terapi standart 1 bulan dari steroid topikal yang di

turunkan dosisnya secara perlahan (tapers).

Terdapat beberapa penelitian-penelitian yang telah meneliti perbedaan antara

penanda aqueous pada pasien-pasien diabetik dan non-diabetik setelah oeprasi katarak.

Miric et al, meneliti penanda stress oksidatif lensa pada pasien-pasien setelah ektraksi

katarak senilis. Kadar serum dan lensa terhadap xanthine oksidase ditemukan lebih

tinggi pada pasien kelompok diabetik dan non-diabetik, dan nilai tersebut secara positif

berhubungan dengan konsentrasi HbA1C, sehingga memungkinkan bahwa suatu kondisi

diabetik dapat mungkin berkontribusi untuk terbentuknya katarak yang lebih dini.

Sebagai tambahan, Mitrovic et al menemukaan adaanya perubahan kadar dari mediator

inflammasi secara signifikan pada aqueous humor pada pasien diabetes setelah

menjalani operasi katarak, sehingga menyebabkan predisposisi terhadap edema kornea.

Meskpun mekanisme yang sesuai yang menyebabkan peningkatan dari inflammasi pada

mata diabetes masih tidak diketaahui, terdapat beberapa jalur-jalur yang mungkin

terlibat. Inflammasi yang berkepanjangan pada mata mungkin tidak mengikuti pola
patofisiologi yang sama seperti dengan pola inflammasi di lokasi lain di tubuh oleh

karena sifat keadaan keuntungan imun (immune-privileged state).

Ras Afrika Amerika masih tetap merupakan faktor yang signifikan secara statistik

dibandingkan faktor lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena fakta bahwa ras

Afrika Amerika merupakan faktor resiko independen untuk adanya stress oksidatif dan

inflammasi, menyebabkan respon inflammasi pada pasien-pasien tersebut setelah

menjalani operasi katarak lebih besar/kuat.

Bukan hal yang mengejutkan, penggunaan alat pelebar pupil intra-operatif

berhubungan dengan iritis post-operatif yang memanjang, hal ini mungkin disebabkan

oleh karena trauma pada iris pada saat pemasukan dan manipulasi dari alat pelebar pupil

yang menyebabkan kerusakan dari sawar darah aqueous (blood-aqueous barrier).

Densitas dari katarak atau riwayat adanya trauma okular sebelumnya tampak tidak

menyebabkan peningkatan resiko terhadap inflammasi post-operatif pada penelitian ini.

Insidensi dari iritis persisten pada penelitian kami adalah 0.32%, dimana hampir

menyerupai dengan laporan yang sebelumnya pernah dilaporkan oleh Patel et al.

Insidensinya pada penelitiaan oleh Patel adalah 0,24% dengan kriteria eksklusi hampir

sama dengan yang digunakan pada penelitian kami: durasi dari iritis dibawah 6 bulan,

riwyat uveitis atau penyakit sistemik yang mendasari, trauma penetrasi/tusuk,

endophthalmitis, benda asing yang tertahan di lensa (retained lens material), glaukoma

neovaskuler, dan riwayat operasi intraokuler sebelumnya.

Penelitian ini terdapat batasan pada ukuran sampel juga pada batasan yang sudah

diperkirakan sebelumnya oleh karena pengumpulan data yang bersifat retrospektif. Hasil

yang didapatkan pada penelitian ini hanya terbatas pada informasi yang terdapat pada

rekam medik elektrik dan bersifat sangat beragam tergantung dari yang melakukan

dokumentasi data tersebut (contoh. gaya dokumentasi dari pemeriksaan yang dilakukan,
skala derajat, dan pengkodean), dimana dapat menyebabkan suatu bias. Angka insidensi

mungkin dapat kurang terukur oleh karena rekam medik untuk data CPT tidak semuanya

ditinjau, sehingga beberapa kasus-kasus dari inflammasi post-operatif yang memanjang

mungkin dapat terlalaikan. Beberapa parameter tertentu seperti simptomatologi pasien

dan kepatuhan pasien terhadap regimen pengobatan tidak dapat dievaluasi kecuali hal

tersebut secara sengaja dilaporkan pada rekam medis. Analisis multivariat tidak dapat

dilakukan oleh karena jumlah sampel yang relatif kecil, dimana sebagian disebabkan

oleh karena ketidakmampuan untuk melakukan tinjauan rekam medis komprehensif

karenaa beberapa informasi tidak bisa didapatkan atau tidak dapat dengan mudah dicari

selama atau pada saat sebelum dilakukan konversi menjadi rekam medis elektrik.

Meskipun terdapat batasan-batasan ini, penelitiaan ini memberikan langkah awal yang

sangat-sangat penting dalam mengevaluasi faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan

iritis post-operatif yang memanjang, dimana sebelumnya tidak pernah dilaporkan pada

literatur-literatur.

Secara keseluruhan, pada kedua kelompok, hasil akhir (outcomes) dari post-

operatif refrakter sangat bagus. Hasil akhir jangka panjang refraktif setelah operasi

katarak bergantung oleh banyak faktor-faktor, termasuk mobiditas okuler yang sudah

ada, komplikasi-komplikasi intra-operatif, dan terbentukannya sekuale-sekuale (sisa-

sisa) post-operatif seperti edema makular cystoid atau terlepasnya retina (retinal

detachment). Ketika terjadi perjalanan inflammatorik post-operatif yang memanjang

mungkin tidak menyebabkan hasil akhir ketajaman penglihatan yang buruk, hal tersebut

dapat berhubungan dengan penyembuhan visual post-operatif yang lebih lama dan

berhubungan dengan ketidaknyamanan pasien. Pengobatan peri-operatif

tambahan/supplementari dapat meningkatkan kendali terhadap hasil akhir post-operatif


pada pasien-pasien yang memiliki resiko tinggi pada fase pre-operatif untuk terjadinya

iritis post-operatif yang memanjang atau rebound.

Kesimpulan

Analisis pada penelitian ini menunjukkan bawha diabetes merupakan faktor resiko

independen yang signifikan untuk terbentukannya iritis kronik yang bertahan selama

lebih dari 6 bulan pada pasien tanpa riwayat dari inflammasi. Sebagai tambahan, ras

Afrika Amerika secara signifikan berhubungan dengan iritis post-operatif yang bertahan

lebih dari 1 bulan. Kami menyarankan dengan menyesuaikan regimen terapi peri-

operatif terhadap pasien-pasien yang diabetik dan/atau berras Afrika Amerika mgunkin

dapat memperpendek dan meningkatkan penyembuhan post-operatifnya. Penelitiaan

lebih lanjut dengan skala yang lebih besar dan bersifat prospektif dapat memberikan

analisis statistik yang lebih besar dan dapat membantu untuk menjelaskan mengapa

faktor-faktor tersebut dapat berhubungan dengan inflammasi post-operatif.

Anda mungkin juga menyukai