Anda di halaman 1dari 11

Faktor Prediksi Hipokalsemia pasca Total Tiroidektomi -

Analisis Kohort Retrospektif


Abstrak
Hipokalsemia pasca tindakan total tiroidektomi adalah komplikasi yang paling
sering terjadi dan menyebabkan pasien dirawat inap lebih lama. Oleh karena itu
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko klinis prediktif pada
hipokalsemia yang persistens dan jangka panjang setelah melewati tindakan total
tiroidektomi. Metode penelitian ini menggunakan analisis retrospektif pasien yang
menjalani total tiroidektomi dari tahun 2005 hingga 2013. Ukuran hasil yang
digunakan adalah hipokalsemia pasca operasi pada fase awal yang dimana nilai kadar
kalsium serum di bawah 2,0 mmol/l setelah melalui prosedur total tiroidektomi dalam
48 jam dan hipokalsemia persisten didefinisikan dengan nilai kalsium serum di bawah
2,0 mmol/l dan berlangsung selama enam bulan atau lebih yang butuh tambahan
kalsium dan suplemen vitamin D.

Hipokalsemia pasca operasi awal muncul pada 160 dari 702 pasien (22,8%)
dengan 91 pasien (13%) yang memperlihatkan adanya gejala hipokalsemia. 48 pasien
(6,8%) mengalami hipokalsemia persisten di atas enam bulan. Pasien yang
memperlihatkan gejala awal hipokalsemia pasca operasi menunjukkan secara
signifikan lebih sering mengalami persisten hipokalsemia dibandingkan dengan
pasien asimtomatik dengan hipokalsemia secara biokimia (38 pasien (41,8%) vs 10
pasien (14,5%), p <0,001). Analisis secara regresi menunjukkan bahwa jenis kelamin
perempuan (OR 2,4; CI95% 1,5 - 3,8), operasi yang berlangsung lama atau > 189
menit (OR 1,8; CI95% 1,2 - 2,6) dan pasien dengan reimplantasi paratiroid (OR2.4;
CI95% 1,2 - 4,7) lebih dikaitkan dengan terjadinya hipokalsemia awal sementara
hanya hipokalsemia awal yang bersifat simtomatik yang terbukti berhubungan secara
independen dengan terjadinya persisten hipokalsemia (OR 40,9; CI95% 18,5 - 90,4).

Waktu operasi yang lama tampaknya berkorelasi dengan terjadinya


hipokalsemia awal pasca operasi dan secara independen terkait dengan penyakit yang

3
mendasarinya serta keterampilan dalam operasi tetapi tidak mempengaruhi terjadinya
persistensi hipokalsemia. Hipokalsemia pasca operasi yang memperlihatkan gejala
atau simptomatik setelah melalui prosedur total tiroidektomi diketahui memiliki
keterkaitan dengan tingkat persisten hipokalsemia yang tinggi.

Pendahuluan
Dalam rangka mencegah kekambuhan, tindakan total tiroidektomi sebagai
prosedur standar untuk penyakit tumor pada thyroid lebih banyak digunakan
dibandingkan dengan subtotal reseksi tiroid dalam beberapa tahun terakhir. Namun
karena prosedur ini lebih radikal, peningkatan resiko terjadinya hipokalsemia pasca
operasi pada pasien lebih besar kemungkinan terjadinya. Presentase terjadinya
hipokalsemia sementara setelah tindakan total tiroidektomi berada pada angka 15-
30%, yang mengakibatkan ketidaknyamanan pada pasien, waktu rawat inap
memanjang dan biaya perawatan bertambah banyak.

Pada banyak kasus, persisten hipokalsemia yang terjadi selama 6 hingga 12


bulan membutuhkan vitamin D dan suplemen kalsium hingga 5%. Faktor resiko yang
terkait dengan terjadinya hipokalsemia pasca operasi total tiroidektomi adalah jenis
kelamin perempuan, patologi dan luasnya penyakit tiroid yang mendasari, kegagalan
untuk mempertahankan kelenjar paratiroid dan riwayat memiliki kadar vitamin D
yang rendah sebelumnya. Selain itu dampak potensial dari lama waktu operasi yang
memanjang pada kasus hipokalsemia pasca operasi sebagai salah satu faktor resiko
masih kontroversial. Karena itu kami menganalisis secara kohort dari kasus tindakan
total tiroidektomi berturut-turut untuk mengidentifikasi lebih lanjut faktor risiko
potensial yang menyebabkan hipokalsemia pasca operasi total tiroidektomi.

Metode
Metode pada penelitian ini menggunakan data pasien di rumah sakit. Terdapat
sekitar 1209 serangkaian pasien berturut-turut yang menjalani operasi tiroid dari
Januari 2005 hingga Desember 2013 di Rumah Sakit dan dianalisis secara retrospektif
menggunakan database elektronik pasien. Semua pasien dengan total tiroidektomi
dimasukkan dalam analisis akhir. Total tiroidektomi dilakukan sesuai dengan standar

4
di rumah dengan teknik konvensional “knot tying technique”. Moniotring saraf
berulang dari saraf laryngeal recurrent dilakukan secara rutin. Selain itu juga
dillakukan identifikasi dan maintanance dari kelenjar paratiroid. Reimplantasi
kelenjar paratiroid hanya dilakukan jika kelenjar secara tidak sengaja direseksi atau
dinilai perlunya devaskularisasi. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yang tidak
termasuk penilaian adalah pasien yang menjalani reseksi tiroid selain total
tiroidektomi, pasien dengan limfadenektomi dan termasuk pasien yang tidak di follow
up selama 6 bulan atau lebih.

Standar tatalaksana yang digunakan untuk pengobatan hipokalsemia pasca


operasi total tiroidektomi selama periode penelitian adalah sebagai berikut: kalsium
oral secara rutin diberikan ketika hipokalsemia pasca operasi yang dibuktikan dengan
nilai atau kadar kalsium di bawah 2,0 mmol/l. Jika klinis tanda dan gejala
hipokalsemia muncul atau tidak membaik seiring waktu, dapat diberikan oral 1,25
OH vitamin D dan jika tidak cukup dapat ditambahkan kalsium intravena.

Definisi
Hipokalsemia secara biokimia pasca operasi didefinisikan sebagai serum
kalsium yang tidak terkoreksi dengan nilai di bawah 2,0 mmol/l dalam waktu 48 jam.
Hipokalsemia persisten didefinisikan sebagai kalsium serum di bawah 2,0 mmol/l dan
atau hipokalsemia dengan kebutuhan suplementasi kalsium dan atau 1,25 OH
vitamin D di atas 6 bulan setelah total tiroidektomi. Selain itu dinilai juga adanya
gejala tetani atau terjadi kram lebih lanjut, pengobatan dengan kalsium oral atau
intravena, pengobatan dengan 1,25 OH vitamin D, jenis kelamin, usia (tahun),
penyakit penyakit tiroid (Struma multinodular, autoimun tiroiditis, kanker tiroid),
operasi tiroid berulang (tiroid subtotal sebelumnya), berat spesimen tiroid (g), waktu
operasi(min), keterampilan operasi (prosedur ahli (ahli bedah melakukan lebih dari 50
prosedur per tahun) vs. prosedur pengajaran dengan kehadiran seorang ahli bedah),
antikoagulasi, perdarahan pasca tindakan yang membutuhkan operasi, terapi obat
thryoistatic pra operatif, jumlah kelenjar paratiroid yang teridentifikasi dan replantasi
paratiroid.

5
Data dianalisis dengan SPSS Statistics 22 for Windows (IBM Corporation,
NY, USA). Data ringkasan disajikan sebagai persentase data mentah, median (IQR).
Proporsi dibandingkan dengan menggunakan tes Chi2 (uji eksak Fisher, analisis dua
sisi) dan median dibandingkan menggunakan tes Mann-Whitney U (Wilcoxon rank
sum test). Nilai cut-off untuk waktu operasi berkorelasi dengan biokimia pasca
operasi awal hipokalsemia ditentukan oleh analisis ROC (Receiver Operating
Characteristic) dan penentuan Youden index. Nilai p <0,05 dianggap menunjukkan
signifikansi statistik. Faktor-faktor yang disebutkan di atas semua dianalisis dalam
analisis regresi univariat jika mereka terkait dengan hipokalsemia awal secara
biokimia pasca operasi dan hipokalsemia persisten. Faktor-faktor diidentifikasi
sebagai signifikan dalam analisis regresi univariat yang dipilih untuk melakukan
analisis regresi ganda. Penelitian dilakukan sesuai dengan persyaratan etika mengenai
perlindungan hak dan kesejahteraan subyek manusia yang berpartisipasi dalam
penelitian medis dan telah dilaporkan sejalan dengan kriteria STROCSS.

Hasil
Dari total 1209 pasien yang menjalani operasi tiroid, 702 pasiena khirnya
dianalisis. Sekitar 474 pasien dengan reseksi tiroid unilateral atau subtotal, 24 pasien
dengan limfadenektomi dan 9 pasien dengan tindak lanjut yang tidak lengkap
dikecualikan. Karakteristik pasien dan detail bedah ditampilkan masing-masing
dalam tabel 1 dan tabel 2. Kadar kalsium serum sebelum dan sesudah operasi pada
pasien yang tidak mengalami hipokalsemia secara biokimia, hipokalsemia biokimia
awal pasca operasi dan hipokalsemia biokimia persisten ditunjukkan pada gambar 1.
Kadar serum kalsium preoperatif tidak berbeda antara pasien dengan atau tanpa
hipokalsemia pasca operasi.

6
Tabel 1. Karakteristik Pasien

Tabel 2. Detail Operasi Bedah

7
Gambar 1. Kadar Kalsium Pasien

Hipokalsemia awal pasca operasi operasi muncul pada 160 pasien (22,8%)
dengan 91 pasien (13,0%) menunjukkan gejala hipokalsemia. Pada 92 pasien (14,6%)
diperlukan pemberian kalsium secara oral, kalsium intravena pada 36 pasien (5%)
dan vitamin D pada 29 pasien (4%). Tujuh pasien menerima kalsium oral meskipun
memiliki kadar kalsium yang normal dan tidak ada tanda-tanda gejala. Analisis ROC
dengan Youden Index menunjukkan nilai cut-off 189 menit untuk operasi waktu
berkorelasi dengan hipokalsemia pasca operasi (Youden-Index 0,138; AUC 0,565 (CI
95% CI: 0,515 - 0,615). Pasien dengan waktu operasi ≥189 menit secara signifikan
lebih sering mengalami hipokalemia pasca operasi dibandingkan dengan waktu
operasi yang lebih pendek (18,3% vs 28,3%, p = 0,002). Pasien dengan reimplantasi
kelenjar paratiroid juga memiliki tingkat hipokalsemia pasca operasi yang signifikan
lebih tinggi (45% vs 21,5%, p = 0,001). Dalam analisis regresi multivariat, hanya
lama waktu operasi, jenis kelamin wanita dan reimplantasi kelenjar paratiroid yang

8
menjadi faktor prediktor independen yang signifikan untuk menimbulkan
hipokalsemia pasca operasi (tabel 3).

Tabel 3. Analisis Multivariat dari Variabel yang Dihubungkan dengan


Hipokalsemia Post Operatif

Persisten Hipokalsemia dan atau hipokalsemia yang membutuhkan


suplementasi dengan kalsium dan atau Vitamin D terjadi pada 48 dari 702 pasien
(6,8%). Dari jumlah tersebut, 19 pasien memiliki normocalcemia dengan
suplementasi kalsium dan atau vitamin D dan 29 pasien menunjukkan hipokalsemia
yang persisten walaupun dengan suplementasi dengan kalsium dan / atau vitamin D
pada 13 pasien. Hipokalsemia post operatif awal disertai dengan gejala dan atau
kebutuhan untuk kalsium intravena secara signifikan lebih sering dikaitkan dengan
persisten hipokalsemia dibandingkan dengan hipokalsemia pasca operasi tanpa gejala
(38/91 pasien (41,8%) vs 10/69 pasien (14,5%); p <0,001). Dalam logistik
bineranalisis regresi hanya biokimia pasca operasi simptomatik awalhipokalsemia
terbukti menjadi faktor independen yang terkait dengan pengembanganhipokalsemia
persisten (tabel 4).

Tabel 4. Analisis Multivariat dari Variabel yang Dihubungkan dengan


Persisten Hipokalsemi Post Tiroidektomi

9
Diskusi
Selama beberapa dekade terakhir, total tiroidektomi semakin banyak
digunakan untuk penyakit tumor tiroid jinak untuk menghindari kekambuhan
penyakit dan operasi ulang. Namun dengan prosedur yang lebih radikal ini, risiko
hipokalsemia pasca operasi tampaknya juga meningkat dan mengakibatkan
ketidaknyamanan pasien yang lebih tinggi, perpanjangan rawat inap pasien, konsumsi
sumber daya kesehatan yang lebih tinggi dan biaya perawatan yang lebih tinggi.
Penelitian ini yang menganalisis 702 pasien pasca tindakan total tiroidektomi
menunjukkan hipokalsemia awal pasca operasi simptomatik atau yang menunjukkan
gejala adalah satu-satunya faktor independen terkait dengan persisten hipokalsemia.
Selain faktor-faktor risiko yang diketahui seperti jenis kelamin perempuan,
reimplantasi kelenjar paratiroid dan waktu operasi yang lama juga terkait dengan
hipokalsemia awal pasca operasi.

Permasalahan dalam melaporkan hipokalsemia pasca operasi adalah kekurang


dalam penyeragaman definisi hipokalemia pasca operasi awal dan persisten
hipokalsemia. Definisi hipokalsemia pasca operasi setelah operasi tiroid yang
digunakan pada sebagian besar laporan sangat tidak konsisten, mulai dari rentang
referensi laboratorium kimia sederhana, nilai untuk kadar kalsium serum dan adanya
gejala klinis tetani. Mahenna dkk. menunjukkan bahwa tergantung pada definisi
hipokalsemia pasca operasi, tingkat pasca operasi bervariasi dari 0-46% dalam
kelompok yang sama. Lorente-Poch dkk. mengusulkan untuk mengklasifikasikan
disfungsi paratiroid persisten pasca operasi berdasarkan tingkat serum parathormon
menjadi aparathyroidism (PTH tidak terdeteksi) dan hypoparathyroidism (subnormal
PTH) dan insufisiensi paratiroid relatif (PTH normal dan serum subnormal kalsium)
pada titik waktu yang berbeda (penyelesaian yang panjang setelah satu bulan dan
permanen setelah satu tahun). Namun klasifikasi yang berbeda ini hanya didasarkan
pada parameter laboratorium terlepas dari gejala pasien dan kegunaannya dalam
rutinitas klinis masih diragukan. Saat insufisiensi paratiroid terjadi, hal ini

10
menghasilkan nilai serum kalsium di bawah normal, sehingga kadar kalsium serum
dapat digunakan sebagai parameter pengganti untuk hipoparatiroidisme pasca operasi.
Pengukuran tingkat dan nilai serum parathormon sendiri tampaknya tidak dapat
menyelesaikan masalah persisten hipokalsemia, karena secara klinis pasien yang
menunjukkan adanya tanda gejala dapat menampilkan tingkat parathormon
subnormal ke normal. Hal Ini juga digarisbawahi oleh tinjauan sistematis baru-baru
ini oleh Mathur et al. yang menyimpulkan ambang nilai PTH tunggal bukan
merupakan ukuran hipokalsemia dan pengukuran PTH untuk memprediksi
hipokalsemia post thyroidectomy juga sangat heterogen. Oleh karena itu, tingkat
parathormon postoperatif tidak dinilai dalam pekerjaan ini untuk lebih membedakan
diagnosis hipokalsemia pasca operasi sebagai kesimpulan yang bernilai lebih valid.

Dalam telaah pustaka kami, persisten hipokalsemia terbukti menjadi masalah


yang paling relevan setelah tindakan total tiroidektomi. Tinjauan sistematis oleh
Edafe et.al. menunjukkan bahwa kalsium serum pasca operasi rendah yang selalu
dilaporkan dengan hipoparatiroidisme yang permanen setelah tiroidektomi sementara
klinis (misalnya entitas penyakit) dan faktor operasi (misalnya reimplantasi
paratiroid, keahlian bedah, waktu prosedur) dilaporkan secara tidak konsisten dalam
beberapa penelitian sebelumnya. Tingkat persisten hipokalsemia yang agak tinggi
dalam penelitian ini sama dengan laporan dari penlitian di UK, yang menyatakan
bahwa sekitar 7% pasien membutuhkan suplementasi kalsium atau vitamin D enam
bulan setelah total tiroidektomi.

Sementara waktu prosedur yang lama dikaitkan dengan hipokalsemia awal di


penelitian ini, dan tidak memiliki relevansi pada hipokalsemia persisten. Beberapa
fokus laporan hubungan waktu operasi dan hipokalsemia pasca operasi setelah
operasi tiroid memberikan hasil yang kontradiktif. Sebuah analisis dari penelitian
tentang tiroid di Swedia oleh Hallgrimsen dkk. menemukan bahwa pada pasien
dengan Graves’ disease yang mendasari dan waktu operasi yang berkepanjangan
mengakibatkan insiden yang lebih tinggi dari gejala sementara hipokalsemia. Di sisi
lain, penelitian melaporkan tidak ada pengaruh waktu operasi pada pasca operasi

11
hipokalsemia pada kurang lebih dari 200 pasien dalam analisis mereka dan
kesimpulannya tidak pasti. Seperti pada sebagian besar laporan yang ada tentang
pengaruhnya waktu operasi pada hipokalsemia pasca operasi, tidak ada standarisasi
yang jelas dalam prosedur (inklusi total tiroidektomi dan reseksi subtotal) dan teknik
reseksi (knot tying dan klip versus reseksi dengan alat), analisis yang valid sangat
heterogen dan sulit. Dalam analisis penelitian ini semua pasien yang menjalani total
tiroidektomi tanpa ekstensi bedah lebih lanjut (misalnya lymphadenectomy)
menggunakan teknik mengikat simpul standar. Faktor seperti pengalaman ahli bedah,
tingkat operasi (semua total tiroidektomi), patologi penyakit dan berat spesimen tidak
berdampak pada terjadinya hipokalsemia pasca operasi di penelitian ini, korelasi
waktu operasi yang diobservasi tidak dapat dijelaskan oleh kompleksitas prosedur itu
sendiri. Selanjutnya penelitian ini memeriksa waktu operasi yang lama tidak memiliki
korelasi dengan komplikasi lain setelah total tiroidektomi seperti kelumpuhan saraf
rekuren.

Selain itu, beberapa percobaan acak pada penggunaan perangkat diseksi


ultrasonik pada operasi tiroid diamati secara konsisten bahwa tidak hanya waktu
operasi secara signifikan dapat dikurangi dibandingkan dengan teknik diseksi
konvensional tetapi juga tingkat hipokalsemia postoperatif menurun. Jika efek ini
disebabkan oleh perangkat diseksi ultrasonik itu sendiri atau waktu operasi yang lebih
singkat masih belum jelas dan mungkin dapat menjadi topik penelitian lebih lanjut.
Penjelasan hipotetis untuk asosiasi hipokalsemia pasca operasi dengan waktu operasi
yang diamati dalam penelitian ini, lebih pendek waktu prosedur menghasilkan lebih
sedikit trauma jaringan dengan peradangan jaringan yang berkurang, edema lokal dan
iskemia mungkin dikurangi.

Hal yang juga diamati dalam penelitian ini adalah, bahwa pasien yang
menerima obat thyreostatic untuk mencapai euthyreosis lebih mungkin untuk tidak
menimbulkan hipokalsemia awal pasca operasi. Hipertiroidisme sendiri tidak dapat
digambarkan memiliki hubungan dengan hipokalsemia peningkatan pasca operasi.
Namun laporan tentang dampak pada terapi kontrol tirostatik yang cukup masih

12
belum banyak dilaporkan. Mehanna dkk. menggambarkan peningkatan hipokalsemia
pasca operasi setelah hipertiroidisme berkepanjangan dikarenakan adanya hungry
bone syndrome sebelumnya. Ini mungkin menjelaskan mengapa pasien bisa
mengalami pengurangan risiko hipokalsemia pasca operasi oleh pengobatan
thyreostatic yang lama sebelumnya. Untuk mengurangi kejadian hipokalsemia pasca
operasi setelah total tiroidektomi, pemberian profilaksis kalsium dan atau 25OH
vitamin D telah dijelaskan efektif dalam beberapa uji coba terkontrol secara acak.

Secara keseluruhan hipokalsemia pasca operasi yang simtomatik setelah total


tiroidektomi terkait dengan tingkat persisten hipokalsemia yang tinggi. Waktu operasi
yang lama tampaknya berkorelasi dengan hipokalsemia awal pasca operasi secara
independen dari penyakit yang mendasari dan keahlian bedah tetapi tidak
mempengaruhi persistens hipokalsemia.

13

Anda mungkin juga menyukai