Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

RETINOPATI DIABETIK DENGAN KATARAK

Oleh:
Mugen Adi Suryo, S.Ked
NIM. 1808436243

Pembimbing :
dr. R. Handoko Pratomo, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2020

0
BAB I

PENDAHULUAN

Prevalensi global diabetes melitus (DM) diperkirakan akan meningkat secara

dramatis dalam beberapa dekade kedepaan, mulai dari yang sebelumnya diperkirakan

sebanyak 382 juta penderita DM pada tahun 2013 menjadi 592 juta pada tahun 2035. 1

Menurut International Federation of Diabetes (IFD), bahkan pada tahun 2040,

diperkirakan penderita DM di seluruh dunia akan mencapai 642 juta. 2 Hasil Riskesdas

2018 di Indonesia, menyatakan bahwa prevalensi diabetes melitus berdasarkan

diagnosis dokter adalah 1,5% dari seluruh penduduk Indonesia tanpa memandang usia

dengan perbandingan lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki (1,2% dan

1,8%) dan lebih banyak dijumpai pada penduduk perkotaan dibandingan pedesaan

(1,9% dan 1,0%).3


Pasien yang menderita diabetes menderita banyak komplikasi-komplikasi yang

dapat membatasi kegiatan (life-limiting) dan membahayakan nyawa (life threatening),

yang terkait komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler salah satunya merupakan

retinopati diabetik (RD). Retinopati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler

tersering dari diabetes. Meskipun beberapa penelitian menyatakan bahwa telah terjadi

penurunan gangguan penglihatan akibat RD dalam beberapa tahun terakhir di Amerika

Serikat akibat kontrol sistemik yang membaik. RD masih tetap merupakan masalah

didunia.2 Prevalensi dari RD bervariasi diantara tiap-tiap penelitian, RD hingga saat ini

terjadi pada hampir 100 juta orang di seluruh dunia dan pada suatu penelitian di

Indonesia sendiri menemukan bahwa angka kejadian RD diperkirakan sekitar 43,1%.

RD juga merupakan penyebab tersering kebutaan diantara orang dewasa antara usia 20-

74 tahun.4-6

1
Selain menyebabkan RD, diabetes dapat memberikan efek buruk pada seluruh

jaringan okuler meliputi lensa. Pasien dengan diabetes dilaporkan memiliki resiko

menderita diabetes hingga 5 kali lipat untuk terjadinya katarak yang lebih dini dimana

pasien-pasien dengan diabetes dilaporkan dapat menderita katarak hingga 20 tahun lebih

cepat dibandingkan orang normal. Selain itu, hingga saat ini katarak masih merupakan

penyebab kebutaan terbanyak didunia, dengan perkiraaan diderita oleh 18 juta orang. 7

Mengingat cukup tingginya angka kejadian RD serta katarak yang menyebabkan

kebutaan, maka penting untuk mempelajari kasus-kasus RD secara lebih mendalam

demi deteksi dini kasus-kasus RD dan mencegah kebutaan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)


2.1.1 Definisi

Diabetic Retinopathy (DR) adalah suatu keadaan yang terjadi pada pasien

diabetik, dimana terjadinya kerusakan sel-sel retina ketika kadar gula darah tidak

normal. DR klasifikasikan sebagai non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan

diabetic retinopathy (PDR). NPDR merupakan stadium dini dari RD dimana terjadi

kebocoran cairan atau darah pada pembuluh darah.6

2
2.1.2 Epidemiologi

Retinopati diabetik (RD) merupakan komplikasi utama dari DM, dimana masih

merupakan penyebab utama kebutaan pada populasi usia produktif pada sebagian besar

negara.6,7 Prevalensi RD pada pasien diabetes beragam diantara tiap-tiap penelitian,

namun diperkirakan sekitar 40% dari seluruh pasien diabetes. Penelitian di Indoensia

oleh Sasangko et al menunjukkan bahwa 41,3% dari pasien diabetes yang tinggal di

Yogyakarta menderita RD.5

2.1.3 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan resiko terjadinya RD yaitu:4

 Durasi diabetes

 Kontrol diabetes yang buruk

 Kehamilan

 Hipertensi

 Nephropathy

 Faktor resiko lainnya

2.1.4 Klasifikasi6

Klasifikasi RD yang digunakan secara luas di dunia biasanya merupakan

klasifikasi dari Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETRDS – the modified

Airlie House classification). Versi klasifikasi yang telah disingkat dapat dilihat pada

Tabel 1, yang telah dikombinasikan dengan guidelines terapi. Selain klasifikasi dari

ETRDS, terdapat kategori deskripsi deskriptif lainnya yang biasanya digunakan secara

luas pada praktek klinis sehari-hari:

 Background diabetic retinopathy (BDR)

3
 Diabetic maculopathy
 Preproliferative diabetic retinopathy (PPDR)
 Proliferative diabetic retinopathy (PDR)
 Penyakit mata diabetes tingkat lanjut/advanced diabetic eye lanjut

Tabel 1. Versi singkat dari klasifikasi retinopati diabetik berdasarkan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS).4

Kategori/deskripsi Manajemen penyakit


Non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
Tanpa NPDR Nilai ulang keadaan pasien dalam 12
bulan
NPDR sangat ringan Nilai ulang sebagian besar pasien
Hanya dengan mikroaneurisma dalam 12 bulan
NPDR ringan Penilaian ulang terhadap pasien dalam
Dengan atau adanya semua dari: dilakukan dalam rentang 6-12 bulan,
mikroaneurisma, pendarahan retina, tergantung derajat berat tanda yang
eksudat, cotton wool spots, hingga tampak, stabilitas, faktor sistemik, dan
pada tingkat NPDR sedang. Tidak situasi personal pasien
terdapat intraretinal microvascular
anomalies (IRMA) atau vena
berbentuk seperti manik-manik yang
signifikan (significant venous
beading)
NPDR Sedang
Pendarahan retina berat (lebih dari
fotografi standar ETDRS 2A: sekitar
20 medium-large setiap kuadran) pada
1-3 kuadran atau IRMA ringan
Dapat dijumpai significant venous
beading pada tidak lebih dari 1
kuadran
Cotton wool spots biasanya sering
dijumpai
NPDR Berat Nilai ulang pasien dalam 4 bulan
Gunakan aturan 4-2-1; satu atau lebih PDR dapat terjadi pada hingga 50%
tanda dari: pasien, PDR resiko tinggi hingga pada
- Pendarahan berat pada seluruh 15% pasien dalam kurun waktu 1
4 kuadran tahun
- Significant venous beading
pada 2/lebih kuadran
- IRMA sedang pada satu atau
lebih kuadran
NPDR sangat berat Nilai ulang pasien dalam 2-3 bulan.
Dua atau lebih kriteria dari NPDR Resiko tinggi terjadinya PDR hingga
berat 45% dalam kurun waktu 1 tahun.
Proliferative diabetic retinopathy (PDR)

4
Kategori/deskripsi Manajemen penyakit
PDR ringan-sedang Tatalaksana yang diberikan
Pembuluh darah baru pada diskus/new dipertimbangkan berdasarkan derajat
vessels on the disc (NVD) atau beratnya tanda, stabilitas, faktor
pembuluh darah lainnya dilain sistemik, dan keadaan personal pasien
tempat/new vessels elsewhere (NVE), seperti kerelaan pasien untuk datang
namun luasnya tidak cukup untuk dalam kontrol ulang. Jika tidak
memenuhi kriteria resiko tinggi ditatalaksana, nilai ulang pasien
hingga maksimal 2 bulan.
PDR resiko tinggi Tatalaksana yang disarankan – sesuai
Terdapat NVD lebih dari fotografi pustaka
standart ETDRS 10A (lebih kurang ½ Sebaiknya dilakukan secepat mungkin,
area diskus) dan pada hari yang sama bila pasien
NVD apapun dengan pendarahan yang simptomatik masih memiliki
vitreous tampilan retina yang bagus
NVE lebih besar dari ½ daerah diskus
dengan pendarahan vitreous

2.1.5 Patogenesis8

Retinopati diabetik merupakan sebuah komplikasi mikrovaskuler dari DM.

Gambaran mikrovaskuler yang utama dari NPDR meliputi pendarahan intraretina,

mikroaneurisma, abnormalitas kaliber/lebar venaa, terbentuknya intraretinal

microvascular abnormalities (IRMA), eksudat lemak dari pembuluh darah yang rusak,

kapiler non perfusi disertai dengan infark neuronal yang ditandai dengan cotton-wool

spots, dan neovaskularisasi retina. (Gambar 1)

5
Gambar 1. Lesi patologik dari retinopati diabetik. Gambaran ilustrasi dari retina normal

dibandingkan dengan NPDR dengan diabetic macular edema (DME). Retina yang normal

meliputi terdapatnya pembuluh darah retina yang sehat, elemen-elemen sel glia meliputi sel

Muller, elemen neuronal meliputi fotoreseptor, dan resting microglia. Sawar darah retina

bagian dalam dan luar tampak intak. Sebaliknya, pada retina dengan RD menunjukkan

berbagai abnormalitas, meliputi perubahaan vaskuler (mikroaneurisma, venous beading,

degenrasi kapiler, dan neovaskulrasisasi), lesi-lesi yang berhubungan dengan kerusaka

vaskuler (cotton wool spots dan eksudat), disfungsi glia meliputi pembengkakan sel Muller,

kerusakan neuronal, mikroglia teraktivasi, kerusakan epitel pigmen retina, penipisan

choriokapilaris. Terdapat disfungsi sawar darah retina yang menyebabkan penumpukan cairan

pada retina yang ditandai dengan penebalan lapisan retina, kista dan cairan subreina.

Gambar 2. Fotografi fundus disertai gambar OCT dari retina orang sehat yang normal

dan retina dengan NPDR berat dengan keterlibatan sentral DME.

6
Beberapa proses patologik vaskuler retina pada RD memiliki dampak langsung

pada penglihatan. Pada NPDR, terjadi nonperfusi yang terus berlanjut pada vascular

bed, ditandai dengan menurunnya intergritas pembuluh darah, yang kemudian

menyebabkan okulasi atau degenerasi dari kapiler-kapiler. Adanya kapiler lokal yang

tidak mendapatkan perfusi mendapatkan daerah tersebut mengalami gangguan

oksigenasi dan menyebabkan neuron retina pada daerah tersebut menjadi iskemia.

Kapiler-kapiler yang tidak memiliki perfusi (progressive capillary nonperfusion) yang

progresif dan dampaknya yaitu iskemiaa menyebabkan progresi terhadap PDR, dimana

mula-mula diinduksi oleh hipoksia dan ekspresi dari proangiogenic growth factors,

dimana menstimulasi terbentuknya pembuluh darah baru pada retina yang menjulur

hingga ruang preretina. Neovaskularisasi retina dapat menyebabkan penuruanan

penglihatan yang berat ketika terjadi pendarahan vitreous atau ablasio retina traksional.

Proses patologik utama lainnya yaitu diabetic macular edema (DME), dimaana

dikarakteristikkan dengan rusaknya blood retinal barrier (BRB) yang kemudian

menyebabkan edema makula dan pembengkakan oleh karena neuropil, dimana sering

menyebabkan penurunan penglihatan.

2.1.6 Diagnosis

Andalan utama untuk diagnosis DR hingga saat ini adalah pemeriksaan oftalmik

lengkap dan pemeriksaan retina yang didilatasi oleh dokter spelis mata atau dokter

bedah retina. Pada tahap awal DR, pasien biasanya asimptomatik. Pada tahap yang lebih

lanjut dari penyakit, pasien dapat mengeluhkan beberapa gejala seperti floaters,

pandangan kabur, distorsi pandangan, dan penurunan ketajaman penglihatan yang

progressif.9
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pemeriksaan oftalmologi lengkap.

Pemeriksaan tajam penglihatan, lapang pandang, assessing color and contrast vision,

7
tekanan intraokular, pemeriksaan pupil dan funduskopi. Pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan seperti pemeriksaan optical coherence tomography (OCT) dan

ultrasonografi (USG) okuli.5

Tanda objektif dari DR diantaranya adalah:4,9

1. Mikroaneurisma
Biasanya merupakan tanda paling awal dari DR. mikroaneurisma merupakan

dinding kapiler yang menggembung keluar (outpouching), berbentuk sakular

yang dapat timbul sebagai akibat dari filatasi fokal dari dinding kapiler

dimana pericyte tidak ditemukan, atau sebagai akibat dari penggabungan 2

lengkung kapiler. (Gambar 3). Sebagian besar mikroaneurisma terjadi pada

inner capilary plexus (inner nuclear layer), sering berdekatan dengan daerah

dari kapiler non-perfusi (Gambar 4). Kehilangan pericyte (Gambar 5) dapat

juga menyebabkan proliferasi sel endotel dengan disertai dengan

terbentuknya mikroaneurisma “selluler” (Gambar 6). Mikroaneurisma dapat

mengeluarkan komponen-komponen plasma menuju retina sebagai akibat

rusaknya sawar darah ratina, atau mungkin dapat menyumbat (thrombose).

8
Mikroaneurisma – histopatologi. Gambar 3(A). Dua lengkungan kapiler yang

dapat bergabung menjadi mikroaneurisma. Gambar 4(B). Daerah dengan kapiler

non-perfusi dan mikroaneurisma yang berdekatan. Gambar 5(C). Eosinofil

mengdegenerasi pericyte. Gambar 6 (D). Mikroaneurisma dengan proliferasi sel

endotel

2. Pendarahan retina
Pendarahan retina dapat berasal dari lapisan jaringan saraf retina, intraretina.

Pendarahan lapisan jaringan saraf retina berasal dari arteriol pre-kapiler

superfisial sedangkan intraretina berasal dari ujung vena dari kapiler dan

berada pada lapisan tengah dari retina dengan gambaran bintik noda

(dot/blot). (Gambar 7) Adanya gambaran pendarahan yang berwarna lebih

gelap dan bulat (Gambar 8) menandakan suatu infark retina hemoragik.

Gambar 7. Pendarahan intraretina dengan konfigurasi dot/blot; dan Gambar

8. Perdarahan berwarna lebih gelap dan bulat


3. Eksudat
Terkadang dikenal dengan hard exudate. Disebabkan oleh pecahnya sawar

darah retina, sehingga menyebabkan merembesnya protein serum, lipis, dan

protein dari pembuluh darah. (Gambar 9)

9
Gambar 9. Eksudat yang cukup luas – beberapa berhubungan dengan

mikroaneurisma
4. Diabetic macular edema (DME)
Makulopati diabetik merupakan penyebab tersering dari gangguan penglihatan

pada pasien diabetik, terutama diabetes tipe 2. Edema retina difus disebabkan

kebocoran kapiler yang luas dan edema lokal disebabkan perembesan fokal dari

mikroaneurisma dan segmen kapiler yang melebar. Gambar 10.

Gambar 10. Makulopati diabetik difus (A) menunjukkan adanya gambaran

pendarahan dot/blot – dijumpai adanya penebelan retina difus; (B) FA pada

tahap lanjut menunjukkan adanya hiperfluoresensi esktensif pada posterior pole

akibat dari perembesan yang terjadi.


5. Cotton wool spots
Cotton wool spots (CWS) merupakan gambaran bintik yang disebabkan

akumulasi dari debris neuronal dalam lapisan jaringan saraf. CWS disebabkan

oleh disrupsi yang menyebabkan iskemik dari akson saraf. Ketika CWS

sembuh, debris tersebut kemudian dikeluarkan dari tubuh dengan autolysis dan

phagocytosis. (Gambar 11)

10
Gambar 11. Gambaran klinis cotton wool spots

6. Perubahan vena
Anomali vena yang dijumpai pada iskemia meliputi gambaran dilitasi yang luas,

berliku-liku, menglingkar-lingkar, berbentuk seperti rangkaian manik-manik

(beading) dan segmentasi berbentuk seperti sosis (sausage-like segmentation)

(Gambar 12). Luasnya dari daerah retina dengan gambaran perubahan vena

berhubungan dengan kemungkinan terjadinya penyakit proliferatif.

Gambar 12. Perubahan vena (A) melengkung (B) berbentuk seperti untaian

manik-manik (c) segmentasi berat


7. Abnormalitas mikrovaskuler retina
Abnormlaitas mikrovaskuler retina/intraretinal microvascular abnormalities

(IRMA) merupakan aliran/shunt arteriolar-venular yang berjlan dari arteriol

retina hingga ke venula, sehingga melangkaui pertukaran arteri dan vena pada

capilary bed sehingga sering dijumpai berdekatan dengan daerah-daerah dengan

hipoperfusi kapiler yang jelas (Gambar 13)

11
Gambar 13. IRMA. (A) histologi menunjukkan adanya shunting pada

arteriolar-venular dan beberapa mikroaneurisma (B) gambaran klinis.


8. Perubahan arteri
Dilatasi arteriol retina yang halus dapat merupakan tanda awal adanya disfungsi

sistemik. Ketika terdapat iskemia signikan, dapat dijumpai tanda-tanda meliputi

penyempitan perifer, silver wiring, dan oblisterasi arteri.


2.1.7 Penatalaksanaan

2.1.7.1 Tatalaksana umum

Tujuan utama pengobatan retinopati diabetik ialah untuk mencegah terjadinya

kebutaan permanen dan penuruanan ketajaman penglihatan yang berkelanjutan.

Secara umum, pengobatan DR adalah:4

 Edukasi pasien. Edukasi pasien penting, terkait pasien untuk patuh terhadap

jadwal kontrol dan pengobatan untuk menoptimalisasi hasil akhir penglihatan


 Kontrol diabetes. Seharusnya dioptimalisasi
 Faktor resiko lainnya. Terutama hipertensi (terutama pada diabetes tipe 2) dan

hiperlididaemia sebaiknya dikontrol oleh dokter penyakit dalam pasien


 Fenofibrat. 200 mg setiap harinya telah meunjukkan adanya penurunan

progresi dari retinopati diabetik pada diabetes tipe 2 dan peresepan sebaiknya

dipertimbangkan; keputusan untuk pemberian fenofibrat bersifat independen

dan bergantung apakah pasien telah mendapatkan pengobatan statin.


 Merokok. Sebaiknya dihentikan, meskipun hal ini tidak memiliki bukti

definitif dapat menyebabkan retinopati


 Faktor resiko lainnya. Seperti anaemia dan gagal ginjal sebaiknya

ditatalaksana dengan baik.

12
2.1.7.2 Tatalaksana khusus

 Laser fotokoagulasi
Laser fotokoagulasi dilakukan pada edema makula. Terdapat jenis berupa grid

laser fotokoagulasi dan panretinal fotokoagulasi. Panretinal koagulasi

dilakukan untuk mengurangkan daerah iskemia.10


 Agen anti-VEGF intravitreal
Anti VEGF intravitreal memiliki peran tambahan (adjunct) dalam tatalaksana

PDR dan diabetik makulopati. Indikasi dapat berupa adanya pendarahan

vitreous persisten. Penelitian-penelitian terbaru menggunakan ranibizumab

atau bevacizumab.
 Triamcinolone intravitreal
Triamcinolon merupakan steroid dengan paruh waktu panjang yang berguna

mengurangkan edema makula, penyulit dapat terjadi yaitu endoftalmitis,

katarak dan ablasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada mata

psedophakic pemberian triamcinolon intravitreal yang diikuti dengan terapi

laser memiliki efek yang serupa dengan ranibizumab dalam peningkatan

ketajaman penglihatan dan menurunkan ketebalan retina. Meskipun

demikian, perlu diperhatikan adanya peningkatan tekanan intraokuler setelah

pemberian terapi triamcinolon.


 Vitrektomi
Vitrektomi dilakukan bila terdapat darah dalam badan kaca. Vitrektomi pars

plana dapat diindikasikan ketika edema makula berhubungan dengan traksi

tangential.
 Terapi laser untuk retinopati proliferatif
Merupakan pilih utama terapi PDR, yang dikombinasi dengan pengobatan

lainnya seperti injeksi agen anti-VEGF. Sebagai contoh, penelitian Diabetic

Retinopathy Study (DRS) menunjukkan bahwa NVD berat tanpa pendarahan

13
yang dilakukan panretinal photocoagulation (PRP) terjadi penurunan resiko

terjadinya penurunan penglihatan dari 26% menjadi 9%.


2.2 Katarak
2.2.1 Definisi
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat

hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat keduanya.

Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak

mengalami perubahan dalam waktu lama.10


2.2.2 Etiologi dan faktor resiko

Katarak dapat ditemukan dalam keadaan tanpa adanya kelainan mata atau

sistemik (katarak senil, juvenil, herediter) atau kelainan kongenintal mata. Terdapat

beberapa faktor yang dapat merupakan penyebab terbentuknya katarak lebih cepat,

seperti:

 Diabetes
 Radang mata
 Trauma mata
 Riwayat keluarga dengan katarak
 Pemakaian steroid lama (oral) atau tertentu lainnya
 Merokok
 Pembedahan mata lainnya
 Terpajan banyak sinar ultra violet (matahari)

2.2.3 Klasifikasi katarak

a. Katarak yang berkaitan dengan usia


1. Katarak kongenintal, katarak yang sudah etrlihat pada usia di bawah 1 tahun
2. Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
3. Katarak senilis, katarak setelah usia 50 tahun.
b. Katarak pada penyakit sistemik
1. Katarak diabetes
2. Katarak dengan distrofi miotonik
3. Katarak dengan dermatitis atopik
4. Katarak dengan neurofibromatosis tipe 2
c. Katarak sekunder

14
Katarak yang timbul sebagai komplikasi (sekunder) dari penyakit okuler primer lainnya

sebagai contoh: katarak pada uveitik anterior kronik, katarak pada miopia berat, katarak

pada distrofi fundus herediter.

d. Katarak traumatika

Katarak yang paling sering dijumpai bersifat unilateral pada orang muda, dapat

disebabkan oleh trauma tembus, trauma tumpul, trauma listrik, radiasi infrared, radiasi

ion.

2.2.4 Katarak senilis

Katarak senilis didefinisikan sebagai katarak yang terjadi pada orang berusia >50 tahun,

tidak berhubungan dengan adanya riwayat trauma mekanik, kimia, atau radiasi.

Semakin menjadi progresif, lebih berat, dan semakin sering dijumpai pada orang usia

lanjut dan merupakan penyebab 48% kebutaan di dunia. Berdasarkan maturitasnya,

katarak senilis dapat dibagi menjadi:10,11

1. Katarak Insipien

2. Katarak imatur

3. Katarak matur

4. Katarak hipermatur
Tabel 2 Perbedaan stadium katarak.10

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan Lensa Normal Bertambah (air Normal Berkurang (air+masa
masuk) lensa keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata Depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut Bilik Mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow Test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Penyulit - Glaukoma - Uveitis+glaukoma

2.2.5 Katarak diabetes

15
Katarak diabetik merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit

diabetes melitus.10 Diabetes berhubungan dengan 2 tipe katarak yaitu katarak senilis

yang timbul lebih dini dan memiliki progesitifitas lebih cepat dan true diabetic

cataract.12

Katarak pada diabetes melitu dapat terjadi dalam 3 bentuk:10,12

 Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis, dan hiperglikemia nyata, pada lensa

akan terlihat kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa yang berkerut. Bila

dehidrasi lama akana terjadi kekeruhan lensa, kekerihan akan hilang bila terjadi

rehidrasi dan kadar gula normal kembali


 Pasien diabetes juvenil dan tua tidak terkontrol, dimana terjadi katarak serentak

pada kedua amta dalam 48 jam, bentuk dapat berupa snow flake atau berupa

piring subkapsular yang terdapat pada true diabetic cataract.


 Katarak pada pasien diabetes dewasa dimana gambaran secara histologik dan

biokimia sama dengan katarak pasien nondiabetik

Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia terdapat

penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa.10

Pada mata terlihat meningkatkan insidens maturasi katarak yang lebih pada

pasien diabetes. Jarang ditemukan “true diabetic” katarak. Pada lensa akan terlihat

kekeruhan terbaran salju subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan.

Diperlukan pemeriksaan tes urin dan pengukuran kadar gula darah puasa.10

2.2.6 Diagnosis

Adanya opasifitas pada lensa dapat timbul tanpa menyebabkan gejala apapun pada

pasien, dan terkadang dapat dijumpai pada pemeriksaan mata rutin. Beberapa gejala-

gejala katarak adalah sebagai berikut: 12

16
a. Glare (silau), merupakan gangguan visual yang paling awal pada katarak. Pasien

akan merasakan silau akibat intoleransi cahaya seperti sinar matahari, lampu

kendaraan bermotor.

b. Uniocular polyopia, atau penglihatan ganda. Merupakan salah satu gejala yang

awal dirasakan. Hal ini disebabkan pembiasan cahaya oleh lensa yang tidak

teratur karena adanya katarak.

c. Coloured halos (halo berwarna), pasien dapat merasakan adanya lingkaran yang

berwarna karena pecahnya cahaya putih menjadi spektrum berwarna karena

adanya tetesan air dilensa

d. Black spots di depan mata, dapat dirasakan oleh beberapa pasien

e. Buram, dapat terjadi pada tahap awal katarak

f. Kehilangan penglihatan (loss of vision), kehilangan penglihatan yang progresif

terutama pada katarak senilis dapat terjadi secara bertahap dan tidak nyeri.

Dalam menelusuri tanda pada pasien, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah: 12

a. Menguji ketajaman penglihatan. Hal ini tergantung pada lokasi dan maturitas

katarak. Tajam penglihatan berkisar antara 6/9 hingga dengan pin hole.

b. Pemeriksaan degan pencahayaan, dapat terlihat variasi dari warna lensa diarea

pupil dalam berbagai jenis katarak

c. Iris shadow test, ketika cahaya diberikan ke pupil akan tampak bayangan bulan

sabit pada batas pupil dan iris yang berasal dari opasitas lensa yang keabu-

abuan. Jika lensa transaparan atau benar-benar buram, maka Iris shadow tidak

akan terbentuk.

d. Pemeriksaan dengan menggunakan ofthalmoskop direk, akan tampak cahaya

yang berwarna kuning kemerahan tanpa adanya opasitas di bagian tengah. Pada

17
lensa katarak parsial akan tampak bayangan hitam diantara cahaya merah

didaerah katarak. Pada katarak yang penuh tidak ditemukan adanya cahaya

merah.

e. Pemeriksaan dengan slitlamp, dilakukan pada pupil yang dilatasi penuh.

Pemeriksaan ini untuk melihat morfologi dari opasitas seperti lokasi, ukuran,

pola warna dan kekerasan nukleus.

2.2.7 Tatalaksana

Tatalaksana utama untuk pengobatan katarak pada saat ini adalah dengan

pengeluaran lensa yang berkatarak dengan pembedahan. Meskipun demikian terdapat

beberapa tindakan non-bedah yang mungkin dapat membantu hingga pembedahan dapat

dilakukan

2.2.7.1 Tindakan non-bedah

Terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan berupa:12

 Tatalaksana penyebab dari katarak.


Pada katarak yang didapatkan, harus dilakukan pencarian mendalam penyebab

dari katarak. Tatalaksana dari penyakit kausatif, terkadang dapat menghambat

progresi dari katarak dan terkadang pada stadium dini bahkan dapat

menyebabkan regresi dari perubahan kataraktous dan sehingga tidak

memerlukan terapi bedah. Beberapa contohnya adalah kontrol diabetes yang

adekuat, penghentian obat-obatan katarogenik seperti kortikosteroid,

menghindari iradiasi (infrared/x-ray), terapi dini dan adekuat unutk penyakit

okuler seperti uveritis


 Tindakan untuk meningkatan penglihatan pada kasus katarak insipien atau

katarak immatur. Beberapa tinndakan yang dapat dilakukan berupa: perbaikan

refraksi, pengaturan dari penerangan/ilmuniasi pada aktivitas, penggunaan

18
kacamata hitam pada pasien dengan opasitas sental, dan pemberian obat-obatan

sikloplegik.
2.2.7.2 Tindakan bedah

Terdapat beberapa indikasi dilakukannya pembedahan, yaitu :12

a. Perbaikan visual (Visual improvement)

Tindakan bedah dilakukan bila sudah megganggu aktivitas. Perbaikan visual pada

tiap individu bervariasi, tergantung pada kebutuhan visual individu.

b. Indikasi medis

Indikasi medis untuk dilakukan operasi katarak adalah jika terjadi komplikasi

seperti glaukoma, fakolitik, uveitis, dislokasi lensa ke bilik mata depan dan

katarak yang sudah sangat padat yang dapat menghalangi gambaran fundus,

sehingga menghalangi untuk melihat adanya retinopati diabetik atau glaukoma.

c. Kosmetik

Terkadang pasien dengan katarak matur memilih untuk dilakukan ekstraksi

katarak meskipun tanpa harapan untuk mendapatkan visual.

Pilihan jenis operasi katarak adalah: 12

1. Ekstraksi katarak intrakapsuler (EKIK) atau intracapsular cataract extraction

(ICCE)

Ekstraksi katarak intrakapsuler (EKIK) merupakan jenis operasi katarak dengan

cara membuang lensa beserta kapsul secara keseluruhan. Prosedur ini harus

dilakukan pada zonula yang lemah dan sudah mengalami degenerasi, sehingga

tidak bisa digunakan pada pasien dengan usia muda.

2. Ekstraksi katarak ekstrakapsuler (EKEK) atau extracapsular cataract extraction

(ECCE).

19
Pada teknik ini sebagian epitel kapsul anterior, nukleus dan korteks dibuang

namun kapsul posterior di tinggalkan. Tekhnik ini adalah operasi pilihan untuk

saat ini karena dapat digunakan pada semua usia kecuali jika ada kontraindikasi

(subluksasi lensa).

a. Prosedur konvensional

Ekstraksi katarak ekstrakapsuler (EKEK) merupakan salah satu jenis operasi

katarak dengan membuang nukleus dan kotreks lensa melalui lubang yang dibuat

di kapsul anterior. Proses ini akan meninggalkan kapsul sebagai tempat untuk

meletakkan lensa intraokular (IOL).

b. Small incision cataract surgery (SICS)

Prosedur ini merupakan pengembangan dari teknik EKEK namun dengan lebar

isrisan yang lebih kecil (7-8 mm). Dengan irisan yang kecil tersebut maka tidak

dibutuhkan jahitan dengan proses penyembuhan yang lebih cepat dibanding

EKEK konvensional. Metode ini dapat mengeluarkan nukleus lensa dengan cara

utuh atau dihancurkan terlebih dahulu. Teknik ini tidak membutuhkan peralatan

yang mahal, dilakukan dengan anestesi topikal dan dapat digunakan pada nukleus

yang padat.

c. Fakoemulsifikasi

Prosedur EKEK dengan teknik fakoemulsifikasi menggunakan alat tip ultrasonik

untuk memecahkan nukleus lensa dengan membuat sayatan 2,5-3 mm.

Selanjutnya nukleus yang sudah dipecah akan diaspirasi bersamaan dengan

korteks lensa melalui insisi kecil. Kemudian dilakukan pemaasangan IOL ruang

posterior kedalam kantong kapsul.

20
Kelebihan teknik ini adalah penyembuhan luka yang lebih cepat, perbaikan

penglihatan lebih baik serta tidak menimbulkan astigmatisma.

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi operasi dapat berupa komplikasi preoperatif, intraoperatif, postoperatif dan

komplikasi yang berkaitan dengan lensa intra okular (intra ocular lens, IOL).

Komplikasi operasi katarak dapat berupa :12

1. Posterior capsule opacification (PCO)


2. Glaucoma sekunder
3. Peradangan area mata
4. IOL malposisi
5. Endoftalmitis
2.3. Retinopati Diabetik dan Katarak
Ketika menangani katarak pada pasien dengan diabetes, perlu diingat bahwa

operasi katarak dapat menyebabkan perburukan pada retinopati pasien. Mata dengan

NPDR mild hingga moderate memiliki resiko yaang rendah, namun pada pasien dengan

NPDR severe dan PDR memiliki resiko menjadi penyakit yang progresif dengan cepat.

Pada pasien dengan edema makula (clinical significant macular oedema/CSMO) yang

signifikan secara klinis pada saat pembedahan cenderung memberat sedangkan pada

pasien dengan edema makula yang telah ditangani cenderung untuk terjadi rekurensi.

Hasil akhir penglihatan juga cenderung untuk memburuk pada penelitian-penelitian

dimana CSMO tidak ditatalaksana dengan baik sebelum operasi. Resiko tersebut akan

semakin meningkat dengan adanya manipulasi yang berlebihan, vitreous loss, atau

inflmmasi post-operatif yang berat. Selain itu, pada pasien diabetes cenderung untuk

terjadi PCO yang berat dibandingkan pasien tanpa diabetes.7,13


Secara ideal, bila katarak tidak menghalangi untuk dilakukan terapi laser, klinisi

sebaiknya mencapai dan mempertahankan kontrol retinopati dan makulopati yang baik

setidaknya 3 bulan sebelum operasi. Selain itu, pasien juga harus tidak memiliki tanda-

tanda/bukti-bukti adanya infeksi okuler/periokuler sebelum operasi. Pada tindakan

21
operasi, phacoemulsifikasi berhubungan dengan hasil penglihatan yang lebih baik,

inflammasi yang lebih sedikit dan berhubungan dengan menurunnya perlunya untuk

dilakukan kapsulotomi dibandingkan tindakan EKEK dan EKIK, dimana banyak

penelitian menunjukkan progresi cepat dari retinopati banyak terjadi pada tindakan

EKEK dan EKIK.7,12


Derajat beratnya katarak terkadang menghambat pemeriksaan dan tatalaksana

adekuat pada retina pada pasien dengan terdiagnosa atau terduga NPDR atau DR berat.

Pada kasus ini, pasien sebaiknya dilakukan pan-retinal photocoagulation (PRP) baik

selama prosedur atau dalam waktu singkat setelah periode operasi. Ketika melakukan

PRP dengan oftalmoskop indirek, klinisi sebaiknya mengisi ruang anterior dengan

viscoelastic dan melakukan penjahitan kornea.7,12


Pada pasien dengan DME dan/atau retinopati tingkat lanjut, pertimbangkan

pemberian triamcinolone intravitreal atau anti-VEGF pada akhir tindakan operasi

katarak untuk menurunkan DME. Triamcinolo menarget inflammasi yang memperberat

edema. Anti-VEGF jugaa menurunkan pembengkakan retina dan dapat meningkatkan

hasil akhir visual. Steroid intravitreal dapat meningkatkan tekanan intraokuler dan agen

anti-VEGF dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi traksionaal pada mata

dengan proliferasi fibrovaskuler.13,14


Pada pasien dengan diabetes, penting untuk meminimalisir inflammasi post-

operatif. Klinisi dapat menggunakan obat anti-inflammasi non-steroid (NSAIDs) topikal

sebagai tambahan dari pemberian steroid topikal, terutama pada pasien dengan DME

yang sudah ada sebelum operasi. Banyak penelitian telah menunjukkan dengan

memberikan NSAIDs topikal preoperatif dan dilanjutkan selama 4 minggu postoperatif

berhubungan menurunnya resiko terjadinya komplikasi postoperatif seperti cystoid

macular edema.13,15
Tabel 3. Rekomendasi menurunkan komplikasi katarak pada pasien diabetes 14

22
RAHASIA

STATUS BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. T Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Umur : 59 tahun Pendidikan : Tamat SD

Jenis kelamin : Perempuan MR : 01031XXX

Alamat : Pekanbaru Tanggal pemeriksaan : 16/01/2020

Keluhan Utama :

Penglihatan kabur sejak 2 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:

23
Penglihatan kabur perlahan-lahan pada kedua mata sejak 2 tahun yang lalu.

Tidak disertai mata merah, mula-mula tampak seperti melihat helai-helai rambut halus.

Pasien juga mengeluhkan pandangan terasa sedikit berbintik-bintik hitam dan berasap.

Pasien juga mengeluhkan mata sedikit berair. Penglihatan kabur dirasakan semakin

lama semakin memberat, keluhan terkadang disertai dengan nyeri pada mata dan nyeri

kepala, silau bila melihat cahaya disangkal, belekan disangkal, mual dan muntah

disangkal.

Pasien juga mengeluhkan sering haus, sering buang air kecil, dan sering makan

banyak tetapi tidak naik berat badan. Pasien sebelumnya mempunyai riwayat penyakit

kencing manis yang sudah di diagnosis sejak 20 tahun yang lalu. Pasien mengaku tidak

rutin minum obat dan kontrol ulang sesekali. Keluhan mata pasien dirasakan semakin

memberat 2 minggu SMRS, sehingga pasien pergi berobat ke Dokter spesialis mata di

RS Kerinci, dan diberikan obat. Namun karena keluhan tidak berkurang pasien

kemudian datang kembali ke PBEC 1 hari SMRS dan kemudian di rujuk RSUD Arifin

Achmad untuk dilakukan pemeriksaan OCT.

Riwayat penyakit dahulu :

Tidak ada keluhan yang sama sebelumnya

Riwayat diabetes mellitus (+) tipe 2 sejak 20 tahun SMRS, tidak rutin berobat

Tidak ada riwayat hipertensi

Tidak Riwayat penyakit jantung

Riwayat infeksi mata sebelumnya disangkal

Riwayat pengobatan :

24
Pasien mengkonsumsi obat diabetes melitus tipe 2 glibenclamid dan metformin, kontrol

ulang sesekali

Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan keluhan pasien sekarang
DM pada keluarga (-)
Hipertensi (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit rigan
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Vital sign : TD : 130/90 mmHg
Nadi : 90x/menit
Nafas : 15x/menit

Suhu : 36,50C

STATUS OPTHALMOLOGI

OD OS
20/200 Visus tanpa 20/200

koreksi
Tidak dapat dikoreksi Visus dengan Tidak dapat dikoreksi

koreksi
Orthophoria Posisi bola mata Orthophoria
Gerakan bola

mata

Baik, kesegala arah Baik, kesegala arah


12 mmHg Tekanan bola 15 mmHg

mata
Tenang Palpebra Tenang

Normal Konjungtiva Normal

25
Jernih Kornea Jernih

Tenang Sklera Tenang


Dalam COA Dalam
Bulat, sentral, Ø 3 mm, Iris/pupil Bulat, sentral, Ø 3 mm,
refleks cahaya langsung dan
refleks cahaya langsung
tidak langsung +/+
dan tidak langsung +/+

Keruh, iris shadow test (-) Lensa Keruh, iris shadow test (-)
Funduskopi
Reflek (+) Refleks fundus Reflek (+)
Keruh Vitreus Keruh
Sulit dinilai Papil Sulit dinilai
Sulit dinilai Retina Sulit dinilai
Sulit dinilai Makula Sulit dinilai

RESUME :

Ny. T usia 59 tahun, penglihatan kabur pada kedua mata sejak 2 tahun yang lalu

yang semakin memberat. Penglihatan berbintik-bintik hitam, berasap dan seperti adanya

helai rambut. Keluhan disertai dengan nyeri pada mata, mata berair, dan kepala terasa

nyeri. Pemeriksaan opthalmologi, pada mata kanan didapatkan visus 20/200 dan kiri

didapatkan visus 20/200, lensa keruh, pada pemeriksaan funduskopi didapatkan vitreous

tampak keruh.

Diagnosis Kerja:

ODS: observasi retinopati diabetik + katarak senilis insipien

Anjuran pemeriksaan penunjang :

26
Optical coherence tomography (OCT), Fundus Fluorescence angiography (FFA), Foto

Fundus (FF), USG Mata

Tatalaksana
Phacoemulsification + IOL ODS
Laser photocoagulation
Konsul IPD untuk kontrol gula darah

Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad kosmetikum : bonam

Daftar Pustaka

1. Corcostegui B, Duran S, Gonzalez-Albarran MOG, Hernandez C, Ruiz-Moreno


JM, Salvador J, et al. Update on Diagnosis and Treatment of Diabetic Retinopathy:
A Consensus Guideline of the Working Group Ocular Health (Spanish Society of
Diabetes and Spanish Vitreous and Retina Soeciety). Journal of Opthalmology.
2017:1-10
2. Duh EJ, Sun JK, Stitt AW. Diabetic retinopathy: current understanding,
mechanisms, and treatment strategies. JCI Insight. 2017;2(14):1-13
3. Kementerian Kesehatan Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan. Hasil
utama riskesdas 2018. Kementeran Kesehatan Republik Indonesia.
4. Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systemic approach eighth edition.
Australia: Elsevier; 2016
5. Sasongko MH, Widyaputri F, Agni AN, Wardhana FS, Kotha S, Gupta P, et al.
Prevalence of diabetic retinopathy and blindness in Indoensian adult with type 2
diabetes. Am J Ophthamol. 2017:1-32
6. Al-Jarrah MA, Shatnawi H. Non-proliferative diabetic retinopathy symptomps
detection and classification using neural network. Journal of Medical Engineerin &
Technology. 2017:1-8
7. Javadi MA, Ghanavati SZ. Cataracts in diabetic patients: a review article. J
Ophthalmic Vis Res. 2008; 3(1):52-65
8. Wang W, Lo ACY. Diabetic retinopathy: pathophysiology and treatments. Int J Mol
Sci. 2018;19:1816-29

27
9. Bhavsar AR, Atebara NH, Drouilhet JH. Diabetic retinopathy [Medscape]. 2019
May, 22. Accessed from: https://emedicine.medscape.com/article/1225122-
overview. Last Accessed: 2020 January, 22
10. Ilyas S, Yulianti S. Ilmu penyakit amta fifth edition. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2015
11. Gupta VB, Rajagopala M, Ravinshankar B. Etiopathogenesis of cataract: an
appraisal. Indian J Ophthalmol. 2014;62(2):103-10
12. Khurana A. Comprehensive Ophthalmology fourth ed. India: New Age
International; 2007
13. Rice J. Cataract and diabetic retinopathy. Community Eye Health. 2011;24(75):9
14. Peterson SR, Silva PA, Murtha TJ, Sun JK. Cataract surgery in patient with
diabetes: management strategies. Semim Ophthalmol. 2018; 33(1):75-82
15. Goldman DA, Trattler WB. Cataract surgery and diabetic retinopathy.
Ophthalmology. 2010;117(4):850

28

Anda mungkin juga menyukai