Anda di halaman 1dari 38

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG

Di Amerika, ektremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak

dipelajari untuk sindrom kompartemen. Dianggap sebagai yang kedua paling sering

untuk trauma sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen (2000), sindrom kompartemen

lebih sering didiagnosa pada pria dari pada wanita, tapi hal ini memiliki bias, dimana

 pria lebih sering mengalami luka trauma.

McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindrom kompartemen, 69%


6 9%

 berhubungan dengan fraktur dan sebagian adalah


ad alah fraktur tibia. Ellis pada tahun 1958
19 58

melaporkan bahwa 2 % iskemi. kontraktur terjadi pada fraktur tibia. Detmer dkk

melaporkan bahwa sindrom kompartemen bilateral terjadi pada 82% pasien yang

menderita sindrom kompartemen kronis. Sindrom kompartemen akut sering terjadi

akibat trauma, terutama di daerah tungkai bawah dan tungkai atas. Pada tahun 1981,

Delee dan Stiehl menemukan bahwa 6 % pasien dengan fraktur tibia terbuka

 berkembang menjadi sindrom kompartemen, sedangkan 1,2 % fraktur tibia tertutup.

A.  Rumusan Masalah

Bagaimana manajemen kegawatdaruratan pasien dengan sindrome

kompartemen dihubungkan dengan asuhan keperawatan NANDA NIC-NOC?

  1
 

B.  Tujuan

1.  Tujuan umum

Mahasiswa/ (i) dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir secara

ilmiah dalam melaksanakan praktik manajemen kegawatdaruratan pasien dengan

sindrome kompartemen 
kompartemen  serta mendapatkan pengalaman dalam memecahkan

masalah. 

2.  Tujuan khusus

Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang sindrome

kompartemen: 

a.  Pengertian

 b.  Etiologi

c.  Web Of Caution (WOC)

d.  Tanda dan gejala

e.  Pemeriksaan fisik (fokus pada penyakit)

f.  Pemeriksaan penunjang

g.  Komplikasi

h.  Asuhan Keperawatan

i.  Algoritma penanganan kasus (mandiri dan kolaborasi)


kolabo rasi)

 j.  SOP

k.   Evidance Based Nursing (EBN)

  2
 

C.  Manfaat

1.  Bagi Penulis

Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan pengetahuan

dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan sindrome

kompartemen. 

2.  Bagi Institusi Pelayanan

Menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan kegawat-daruratan

 pada pasien sindrome kompartemen. 

3.  Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas

 pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan asuhan

keperawatan kegawatdaruratan pada pasien sindrome kompartemen. 

D.  Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:  

Bab I : Berisi pendahuluan yang


yang terdiri dari latar belakang

 belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika

 penulisan.

Bab II : Berisi tinjauan


tinjauan pustaka yang terdiri
terdiri dari konsep dasar
dasar

dasar penyakit 
penyakit  dan  asuhan keperawatan kegawat-

daruratan pasien dengan sindrome kompartemen.

  3
 

Bab III : Berisi tinjauan kasus yang terdiri dari bentuk asuhan

keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan sindrome

kompartemen.

Bab IV : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

  4
 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.  Anatomi Kompartemen

Daerah ekstermitas memiliki banyak kompartemen yang didalamnya terdapat

otot,saraf,dan pembuluh darah. Itu semua diselubungi oleh membran yang keras dan

tidak elastis yang disebut dengan fasia. Kompartemen sindrom terjadi apabila terjadi

 peningkatan tekanan dalam kompartemen. (ENA,2000:533)  

Kompartemen adalah merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang,

interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, syaraf dan pembuluh

darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana fascia ini melindungi

semua serabut otot dalam satu kelompok. Secara anatomik, sebagian besar

kompartemen terletak di anggota gerak. Terletak di lengan atas (kompartemen anterior

dan posterior), dilengan bawah (yaitu kompartemen flexor superficial, fleksor

 profundus, dan kompartemen ekstensor). Di anggota gerak bawah, terdapat : tiga

kompartemen ditungkai atas (kompartemen anterior, medial, dan kompartemen

 posterior), empat ditungkai bawah (kompartemen anterior, lateral,


lateral, posterior
posterior superfisial,
superfisial,

 posterior profundus).

Sindrom kompartemen yang paling sering di daerah tungkai bawah (yaitu

kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior profundus) serta

lengan atas (kompartemen volar dan dorsal). Setiap kompartemen pada tungkai bawah

memiliki satu nervus mayor. Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus

  5
 

 profundus, kompartemen lateral memiliki nervus peroneus superficial, kompartemen


k ompartemen

 posterior profunda memiliki nervus tibialis posterior dan kompartemen posterior

superficial memiliki nervus suralis. Ketika tekanan kompartemen meningkat, suplai

vaskuler ke nervus akan terpengaruh menyebabkan timbulnya paresthesia

B.  Definisi 

Sindrom Kompartemen merupakan suatu kondisi yang bisa mengakibatkan

kecacatan hingga mengancam jiwa akibat terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam

sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasia


osteofasia yang tertutup. Sebagian besar

terjadi pada daerah lengan bawah dan kaki. Sehingga mengakibatkan berkurangnya

 perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. (ENA,2000:533).

Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan

intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang

tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya

  6
 

 perfusi jaringan dan tekanan


tek anan oksigen jaringan, sehingga
seh ingga terjadi gangguan sirkulasi dan

fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan

 pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang


tulan g dan fascia serta otot-otot individual yang

dibungkus oleh epimisium. Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat,

disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak

di anggota gerak. Paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah

tungkai bawah dan tungkai atas. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen

akut adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar.

Sedangkan sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas yang

 berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket, pemain sepak bola dan

militer.

Beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan terjadinya hipoksia pada sindrom

kompartemen adalah:

1.  Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen.

2.  Theori of critical closing pressure.

3.  Tipisnya dinding vena.

  7
 

Gambar Sindrom Kompartemen Ekstermitas atas

Gambar Sindrom Kompartemen ekstremitas bawah

C.  Klasifikasi

Berikut merupakan klasifikasi sindrom kompartemen berdasar penyebabnya :

1.  Sindrom kompartemen Intrinsik : merupakan sindrom kompartemen yang

 berasal dari dalam tubuh,seperti : pendarahan,fraktur.

2.  Sindrome kompartemen ekstrinsik : merupakan sindrome kompartemen yang

 berasal dari luar tubuh : gift, penekanan lengan terlalu lama.

  8
 

D.  Etiologi 

Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang

kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain:

1.  Penurunan volume kompartemen

Kondisi ini disebabkan oleh:

a.  Penutupan defek fascia

 b.  Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas

2.  Peningkatan tekanan eksternal

Kondisi ini disebabkan oleh :

a.  Balutan yang terlalu ketat

 b.  Berbaring di atas lengan

c.  Gips

3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman

Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:

a.  Pendarahan atau Trauma vaskuler

 b.  Peningkatan permeabilitas kapiler

c.  Penggunaan otot yang berlebihan

d.  Luka bakar

e.  Operasi

f.  Gigitan ular

g.  Obstruksi vena

  9
 

Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,

dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak

 bawah.

E.  Manifestasi Klinis 

1.  Pain (nyeri)

 Nyeri yang
yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada

trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika

munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak

semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak


ban yak dari biasanya). Otot yang

tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.

2.  Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.

3.  Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )

4.  Parestesia (rasa kesemutan)

5.  Paralysis

Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut

dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom. Pasien dengan

sindroma kompartemen kronik mempunyai gejala yang khas. Gejala utama berupa

nyeri yang ditimbulkan akibat berolah raga. Biasanya


Biasan ya hal ini muncul setelah sekitar

20 menit berlari sebelum dirasakan semakin nyeri hingga dimana orang tersebut

tidak dapat melanjutkan aktivitasnya. Nyeri dirasakan seperti kram dimana akibat

dari vasokonstriksi pembuluh darah sehingga darah dan oksigen tidak dapat

  10
 

mencapai otot-otot tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan permanent pada

 jaringan.

Biasanya, nyeri bersifat sementara atau tidak menetap dan akan sembuh dengan

 beristirahat dalam waktu 15-30 menit dari penghentian latihan.


latihan. Parestesia dari saraf

 pada kompartemen bilateral pada sekitar 82 % pasien. Dapat juga terjadi kelemahan

dan atrofi otot. Regangan pasif pada otot yang terkena setelah latihan dapat

meningkatkan nyeri. Dan yang paling pasti bahwa dapat terjadi peningkatan

tekanan kompartemen.

Pengukuran tekanan Pengukuran tekanan secara langsung merupakan cara yang

objektif untuk menegakkan diagnosa sindroma kompartemen. Pengukuran intra

kompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak

kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien

dengan multiple trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf

 perifer.

 Normalnya tekanan
tekan an kompartemen adalah nol. Perfusi yang tidak adekuat dan

iskemia relative ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan

diastolic. Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan

diastolic.

Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain:

a.  Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi

Teknik adalah criteria dignostik standard seharusnya menjadi prioritas

utama jika diagnosis masih penuh tanda tanya. Tonometer tekanan stryker

  11
 

 banyak digunakan untuk mengukur tekanan jaringan yang tidak membu


membutuhkan
tuhkan

alat khusus. Alat yang dibutuhkan spoit 20 cc, three way tap, tabung intra vena,

normal saline sterile, manometer air raksa untuk mengukur tekanan darah.

Pertama, atur spoit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai saline sampai

mengisi setengah tabung , tutup three way tap tahan normal saline dalam

tabung. Kedua, anestesi local pada kulit, tapi tidak sampai menginfiltrasi otot.

Masukkan jarum 18 kedalam otot yang diperiksa, hubungkan tabung dengan

manometer air raksa dan buka three way tap. Ketiga, Dorong plunger dan

tekanan akan meningkat secara lambat. Baca manometer air raksa. Saat tekanan

kompartemen tinggi, tekanan air raksa akan naik.

 b.  Teknik Wick kateter

Teknik menggunakannya adalah:

1)  Pertama, masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot

2)  Kedua, tarik jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastic

3)  Dan ketiga, balut wick kateter ke kulit, dan dorong sarung plastik kembali,

isi system dengan normal saline yang mengandung heparine dan ukur

tekanan kompartemen dengan transducer recorder. Periksa ulang patensi

kateter dengan tangan menekan pada otot. Hilangkan semua tekanan

external pada otot yang diperiksa dan ukur tekanan kompartemen, jika

tekanan mencapai 30 mmHg, indikasi fasciotomi.Tekanan arteri rata-rata

yang normal pada kompartemen otot adalah 8,5+6 mmHg. Selama tekanan

 pada salah satu kompartemen kurang dari 30 mmHg (tekanan pengisian

  12
 

kapiler diastolic), kita tidak perlu khawatir tentang sindroma kompartemen.

Tekanan lebih dari 10 mmHg dalam kompartemen yang baru bisa

menimbulkan sindroma kompartemen, dan berarti memerlukan terapi yang

segera.

  13
 

E.  WOC

Faktor interinsik : Faktor Eksterinsik : gift,

 pendarahan,fraktur. 
 pendarahan,fraktur.  penekanan lengan terlalu

Sindrom Kompartemen

Diskontunitas tulang Pergeseran frakmen tulang

Kerusakan frakmen tulang


DX
Perubah jaringan Kerusakan Nyeri
sekitar fraktur tulang
Tekanan sumsum tulang
lebih tinggi dari kapiler

Pergeseran frakmen
Laserasi kulit S asme
asme otot
otot
tulang Reaksi stress
klien
Tekanan
Deformitas DX kapiler
Melepaskan
Kerusakan
ketokolamin
Integritas Pelepasan
Gangguan Kulit histamin
fungsi
Memobilisasi
Putus asam lemak
vena/arteri Protein
DX
plasma hilang
Gangguan
Bergabung
mobilitas fisik Putus dengan
vena/arteri edema trombosit

perdarahan Penekanan emboli


pembuluh darah

Kehilangan
DX DX
volume cairan
 
Resiko syok 14
Gangguan
perfusi jaringan
 

F.  Komplikasi

Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan

menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:

1.   Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen 

2.  Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan

oleh terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga ti


timbul
mbul deformitas

 pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawa.  

3.  Trauma vascular  

4.  Gagal ginjal akut 

5.  Sepsis 

6.  Acute respiratory distress syndrome (ARDS)  

G.  Pemeriksaan Diagnostik

1.  Kreatinin ginjal : sebagai penentu tingkat kerusakan jaringan.  

2.  Blood urea nitrogen (BUN)

3.  Pemeriksaan darah lengkap 

4.  Pemeriksaan urin 

5.  Laboratorium 

Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis

kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya.

a.  Complete Metabolic Profile (CMP)

 b.  Hitung sel darah lengkap

  15
 

c.  Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin

d.  Serum myoglobin

e.  Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak

membantu dalam menentukan terapi pasiennya.

f.  Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke

diagnosis rhabdomyolisis.

g.  Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)

6.  Imaging

a.  Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.

 b.  USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi

Deep Vein Thrombosis (DVT)

H.  Langkah penanganan Kegawatdaruratan sindrom kompartemen

1.  Singkirkan semua tekanan dari luar.

2.  Hilangkan hal-hal yang mengganggu sirkulasi

3.  Hindarkan penggunaan kompres es,karena akan mengakibatkan vasokontriksi.

4.  Hindarkan meninggikan ekstermitas : bisa memperburuk aliran arteri.

5.  Siapkan dan bantu hal-hal yang dapat meminimalisasi fraktur jika diindikasikan.

6.  Berikan analgetik bila diinstruksikan.

7.  Siapkan untuk oprasi faciotomi untuk memperbaiki fungsi neuromuscular.

8.  Berikan pengetahuan pada pasien dan keluarga. (ENA,2000 : 534).

  16
 

I.  Terapi atau pengobatan sindrom kompartemen

Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi

neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan

 bedah dekompresi.

Tindakan nonoperatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti menghilangkan

selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi

 perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk

ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen memiliki individualitas yang

 berpengaruh pada cara untuk menindakinya.

Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom sederhana

yaitu fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai

terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua

ahli bedah setuju bahwa adanya


adan ya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk

melakukan fasciotomi.

Penanganan sindroma kompartemen meliputi :

1.  Terapi Medikal/non operatif

Pemilihan secara medical terapi digunakan apabila masih menduga suatu

sindroma kompartemen, yaitu :

a.  Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian

kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran

darah dan akan lebih memperberat iskemia.

  17
 

 b.  Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan

 pembalut kontriksi dilepas.

c.  Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat

 perkembangan sindroma kompartemen.

d.  Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.

e.  Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat

mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan

memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang

nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.

2.  Terapi pembedahan / operatif

Terapi operatif untuk sindroma kompartemen apabila tekanan

intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan

segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan

memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai

dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya,

kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang

dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau

tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan. Keberhasilan

dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam

fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Tidak ada keuntungan yang

utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering

digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal

  18
 

membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena

 peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat

kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus

dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau

 jaringan sehat, luka dapat di jahit ( tanpa regangan ),


), atau dilakukan pencangkokan

kulit.

Terapi untuk sindrom kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah

operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang

meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut


p embalut

steril) dan ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat

nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit

(tanpa regangan ), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.

Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain

1.  Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat dan Gambaran
Gamb aran

klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien dengan

masalah psikiatrik, dan dibawah pengaruh narkotik) dengan tekanan jaringan

lebih dari 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan

yang normal.

2.  Bila ada indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena

 penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan

intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi.

Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan

  19
 

nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen.

Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran tekanan dan

konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya.

3.  Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua

sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk

mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga

dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi.

Setiap yang berpotensi membatasi ruang, termasuk kulit, dibuka di sepanjang

daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah

 prosedur selesai. Debridemant otot harus


h arus seminimal mungkin selama operasi

dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.

Fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut. Fasciotomi tungkai atas

Teknik Tarlow : 

Insisi lateral dibuat mulai dari distal garis intertrocanterik sampai ke

epikondilus lateral. disesksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos


meng ekspos daerah

iliotibial dan dibuat insisi lurus sejajar dengan insisi kulit sepanjang fascia

iliotibial. Perlahan-lahan dibuka sampai vastus lateralis dan septum

intermuskular terlihat, perdarahan ditangani bila ada. Insisi 1-5 cm dibuat

 pada septum intermuskular lateral, perpanjang ke proksimal dan distal.

Setelah kompartemen anterior dan posterior terbuka, tekanan kompartemen

medial diukur. Jika meningkat, dibuat insisi setengah medial untuk

membebaskan kompartemen adductor.

  20
 

Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen tungkai bawah:

fibulektomy, fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan fasciotomi insisi ganda.

Fibulektomi  adalah prosedur radikan dan jarang dilakukan, dan jika ada,

termasuk indikasi pada sindrom kompartemen akut. Insisi tunggal dapat

digunakan untuk jaringan lunak pada ektremitas. Teknik insisi ganda lebih

aman dan efektif.

Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler) :

Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal

caput fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada

 bagian anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal superficial.

Dibuat fasciotomy longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral.

Berikutnya kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan fasciotomi

kompartemen posterior superficial. Batas antara kompartemen superficial dan

lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula.

Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang. Kemudian

diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke fibula dan dilakukan inisisi secara

longitudinal.

Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara


an tara

fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos

fascia kompartemen. Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular

lateral dan identifikasi nervus peroneal superficial pada bagian posterior

septum. Buka kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis

  21
 

tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke

arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula.

Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.

Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena

dan nervus saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk

mengidentifikasi septum antara kompartemen posterior profunda dan

superficial. Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen.

Dibuat insisi lain pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh

kompartemen posterior profunda. Setelah kompartemen posterior dibuka,

identifikasi kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan

tekanan pada kompartemen ini, segera dibuka.

fasciotomi pada lengan bawah 

 pendekatan volar (Henry)

Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat

dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa

antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen

dapat diukur selama operasi untuk mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada

 penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial ke tendon bicep,

 bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjang kea

rah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan ke palmar. Kemudian

kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm di atas

siku kearah bawah sampai di pergelangan.

  22
 

Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya

kemudian ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri

radialis ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum

 profundus fleksor pollicis longus, pronatus quadratus, dan pronatus teres.

Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan kompartemen fleksor

 profunda, harus dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk

memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan.

Pendekatan Volar Ulnar 

Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan

Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon

 bisep, melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah,

dan sampai ke carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada

fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal

tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan

fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat

arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia pada

kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi.

Pendekatan Dorsal 

Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah

didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal

(ekstensor). Hal ini lebih baik ditentukan dengan pengukuran tekanan

kompartemen intraoperatif setelah dilakukan fasciotomi kompartemen

  23
 

fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal yang terus

meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi.

Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan.Batas

antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis

diidentifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.

Fasciotomi untuk sindrom kompartemen kronik  

fasciotomi insisi tunggal : Teknik Fronek

Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput


kapu t tibia atau melalui

defek fascia jika terdapat hernia muskuler pada daerah keluarnya nervus

 peroneal. Nervus peroneal segera dicari dan lewatkan fasciotom ke

kompartemen anterior pada garis otot tibialis anterior. Pada kompartemen

lateral, fasciotome diarahkan ke posterior nervus peroneal superficial pada

garis fibular. Tutup kulit dengan cara biasa dan pasang pembalut steril.

Fasciotomi insisi ganda: Teknik Rorebeck  

Dibuat 2 insisi pada tungkai bawah 1 cm dibelakang garis posteromedial tibia.

Kemudian dicari vena saphenus pada insisi proksimal dan tarik ke anterior

 bersama dengan saraf. Masuk dan dibuka kompartemen superficial. Fascia

 profunda kemudian diinsisi. Kompartemen profunda diekspos, termasuk o


otot
tot

digitorum longus dan tibialis posterior dangan merobek sambungan soleus.

Kumparan neurovaskuler dan tendo tibialis posterior kemudian diinsisi ke

 proksimal dan distal fascia pada terdon tersebut. Tibialis posterior adalah

kunci dekompresi kompartemen posterior dan biasanya berkontraksi ke

  24
 

 proksimal antara fleksor hallucis longus, lebarkan batas antaranya untuk

memeriksa kontraksinya. Tutup luka diatas drain untuk meminimalkan

 pembentukan hematom.

Perawatan pasca operasi: 

Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari, kalau terdapat nekrosis otot, dapat

dilakukan debridemen, kalau jaringan itu sehat, luka dapat dijahit (tanpa

tegangan), atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan

intensi sekunder.

J.  KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1.  Pengkajian 

a.  Primery survey 

1)  Airway 

Look: pasien dapat berbicara dengan spontan, tidak terlihat adanya

kesulitan bernapas, tidak agitasi, tidak sianosis, tidak ada retraksi.

Listen: tidak ada suara napas tambahan (seperti: mendekur,

 berkumur, ataupun besiul), tidak ada disfonia, tidak berkata-kata

kasar (gaduh,gelisah)

Feel: trakea berada ditengah.

2)  Breathing

  25
 

Look: pernapasan pasien spontan dan teratur, tampak pergerakan

hemithoraks kiri dan kanan simetris, tidak ada dispea.

Listen: suara napas vesikuler, tidak ada takipnea

Feel: teraba gerakan kedua hemithoraks simetris dengan RR 16-

20x/menit

3)  Circulation

Look: pasien sadar, kulit terlihat pucat

Listen: -

Feel: teraba nadi 60-100x/menit,teratur, isi cukup, equal kanan dan


kiri, akral hangat, crt <2 detik, tekanan darah 130/80 mmHg.

4)  Disability

Look: dapat membuka mata spontan , dapat bergerak mengikuti

 perintah,pupil isokor, reflek cahaya langsung +/+, reflek cahaya

tidak langsung +/+

Listen: dapat berkomunikasi benar

Feel: -

5)  Exposure

Look: tampak pembengkakan dan memar pada ektremitas bawah.

Listen: -

Feel: Nyeri tekan (+) pada lengan kiri bawah,suhu tubuh normal.

  26
 

 b.  Secondary Survey

1)  B1

Compos mentis, pasien merasa gelisah karena nyeri bagian kaki

2)  B2

Tekanan darah: 130/80 mmHg, Nadi: 95 x/menit, RR: 23 x/menit

Pasien terlihat pucat,

3)  B3

Pasien terlihat gelisah sambil mengeluhkan nyeri pada ekstemitas

 
4) B4
Pasien belum BAK

5)  B5

Pasien belum makan, tidak ada nafsu makan

6)  B6

Pasien tidak dapat berjalan karena ektremitas bawah sulit

digerakan,bengkak,merah,nyeri pada kaki.

DIAGNOSA

1.   Nyeri b/d peningkatan tekanan kompartemen dan iskemik jaringan ditandai

dengan keluhan nyeri (00132)

2.  Gangguan perfusi jaringan b/d peningkatan tekanan intrakompartemen ditandai

dengan rasa kesemutan,oedema (00204)

3.  Resiko syok b/d kehilangan volume cairan /Hipovolemia (00205)

  27
 

4.  Gangguan mobilitas fisik

5.  Kerusakan integritas kulit b/d faktor mekanik peningkatan intrakompartemen

(00046)

INTERVENSI

Dx : Gangguan perfusi jaringan berkurangnya aliran darah akibat adanya trauma

 jaringan atau tulang 

Intervensi : 

 
1. Pantau nadi distal dari fraktur setelah satu atau dua jam, observasi terhadap warna
dan suhu. 

2.  Kaji pengisian kapiler laporkan temuan normal bandingkan dengan eksterimitas

yang fraktur  

3.  Pertahankan Kesejajaran tubuh observasi terhadap tanda-tanda sindroma

kompertemen (warna jaringan pucat, nadi lemah,


lem ah, nyeri, pati rasa, sianosis). 

4.  Observasi perubahan tanda-tanda vital.  

5.  Observasi tanda-tanda iskemi (penurunan suhu dan peningkatan rasa)

6.  Observasi posisi dan lokasi bidai jangan sampai menekan pembuluh darah.

Dx : Nyeri b/d agen injury fisik

Intervensi :

1.  Lakukan pegkajian nyeri secara kompherensif


komphe rensif termasuk lokasi, karakteristik,

durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

  28
 

2.  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

3.  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

4.  Ajarkan tentang tehnik non farmakologi : nafas dalam, relaksasi, distraksi, kompres

hangat dan kompres dingin

5.  Kolaborasi analgetik untuk mengurangi nyeri

6.  Tingkatkan istirahat

7.  Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik pertama kali.

Dx : Kehilangan Volume cairan b/d


Intervensi :

1.  Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

2.  Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah

ortostatik ), jika diperluka

3.  Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas

urin, albumin, total protein )

4.  Monitor vital sign setiap 15menit  –  1


 1 jam

5.  Kolaborasi pemberian cairan IV

6.  Monitor status nutrisi\

7.  Berikan cairan oral

8.  Atur kemungkinan tranfusi

9.  Pasang kateter jika perlu

10.  Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

  29
 

Dx : Resiko Syok

Intervensi :

1.  Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR, dan

ritme, nadi perifer, dan kapiler refill.

2.  Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan

3.  Monitor suhu dan pernafasan

4.  Monitor input dan output

 
5. Pantau nilai labor : HB, HT, AGD dan
d an elektrolit
6.  Monitor hemodinamik invasi yng sesuai

7.  Monitor tanda dan gejala asites

8.  Monitor tanda awal syok

9.  Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk peningkatan preload

dengan tepat

10.  Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas

11.  Berikan cairan IV dan atau oral yang tepat

Dx : Gangguan Mobilitas Fisik

Intervensi :

1.  Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
la tihan

2.  Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan

kebutuhan

  30
 

3.  Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera

4.  Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

5.  Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

6.  Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs


AD Ls secara mandiri sesuai kemampuan

7.  Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.

8.  Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.

9.  Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan.

  31
 

I.  Algoritma

Tn. A datang ke IGD dengan keluhan kaki kanan bengkak beserta nyeri akibat terjatuh

dari atap rumah ketika sedang memperbaiki genteng rumah. kurang lebih 3 jam yang

lalu saat di periksa didapatkan. TD : 120/80 mmHg, N : 90 x/i, RR : 20x/i, T : 36,6  oC,

kesadaran : Composmentis, Spo2 : 98%, akral : dingin  

Primary survey

Airway Breathing
Circulation
Tidak ada sumbatan - RR : 20 x/i
- TD :
Jalan napas - Tida
Tidak
k ada
ada tari
tarik
kan di
din
ndi
ding
ng
dada 120/80mmHg
- N : 90x/i
- Ti
Tid
dak aad
da Pe
Pern
rnaapasan
- CRT : > 2 detik
cuping hidung
- Akral Dingin
- Sua
Suara napa
napass vesic
esicu
ular
lar
intervensi
- SPo2 : 98%
- Pemasangan
terapi cairan

Exposure
Folley Kateter
- Defo
Deform
rmit
itas
as : peru
peruba
bah
han
Pemasangan selang  bentuk kaki Disability
kateter - Open WoWound : tid
tidak ada
ada
luka terbuka - Kesadaran
- Te
Tenndelnes : ada
ada nyeri composmentis
tekan - GCS : 15
- Sweling : ada
 pembengkakan

Gastric
Heart Monitor
- Tidak ada
 perdarahan Pemantauan perekaman
lambung EKG
- Tidak dilakukan
 pemasangan
 NGT/OGT

  32
 

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


KALIMANTAN TIMUR

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

No. Dokumen No. Revisi Halaman

SOP Tanggal Terbit Ditetapkan

Penanganan sindrom Ketua Prodi Sarjana Terapan


kompartemen Keperawatan,

KELOMPOK 4 

PENGERTIAN Sindrom Kompartemen adalah kumpulan gejala yang tejadi saat

tekanan ruang tertutup kompartemen otot meningkat sampai tingkat


 berbahaya

TUJUAN Mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu


mengembalikan aliran darah lokal

PERSIAPAN ALAT APD:

Sarung tangan

  33
 

Masker

PROSEDUR 1.  Cuci tangan

PELAKSANAAN 2.  Menggunakan APD


3.  Lepaskan semua plaster yang mengikat tungkai bawah
4.  Letakkan tungkai pada posisi sejajar dengan jantung, karena
 posisi lebih tinggi dari jantung dapat menurunkan aliran darah
arterial ke otot dan akan memperburuk keadaan iskemia.
5.  Lakukan imobilisasi fraktur dengan posisi paling relaks,
dengan menyangga kaki dan posisi sedikit fleksi plantaris (kaki
condong ke arah bawah)
6.  Lakukan tindakan fasiotomy(pemotongan pada fascia) apabila
Perawat IGD dan Dokter IGD ada indikasi. Indikasi
dekompresi dengan fasiotomy adalah apabila tekanan
kompartemen naik menjadi 30mmHg.
PELAKSANA Perawat IGD

TERMINASI Evaluasi respon verbal dan non verbal pasien

Rapikan pasien dan alat

Cuci tangan

DOKUMENTASI Kesadaran pasien

TINDAK LANJUT Observasi ketat keadaan pasien

Konsultasi dokter spesialis atau dokter penanggung jawab

  34
 

BAB IV

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Sindrom kompartemen adalah kondisi yang terjadi akibat meningkatnya

tekanan di dalam kompartemen otot, sehingga dapat mengakibatkan cedera di

dalam kompartemen otot yang meliputi jaringan otot sendiri, pembuluh darah, dan

saraf. Kompartemen otot dikelilingi oleh lapisan atau membran, disebut  fascia
 fascia,,

yang tidak dapat mengembang. Sehingga pembengkakan dalam kompartemen


akan meningkatkan tekanan di dalamnya. Kondisi ini dapat menyerang bagian

tangan, lengan, bokong, tungkai, dan kaki. Kebanyakan penderita lebih sering

mengalaminya di bagian lutut ke bawah. Kondisi ini harus segera ditangani untuk

menghindari risiko iskemia
risiko iskemia dan nekrosis (kematian jaringan).

Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan pasien

dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas


p rioritas adalah mempertahankan

 jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol

 pendarahan.

Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal . Puncak

morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.

Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah besar, otak,

atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan jumlah pasien yang

dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian terjadi dalam hitungan

  35
 

menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian dalam periode ini terjadi pada

umumnya karena memar intrakranial atau pendarahan yang tidak terkontrol akibat

 patah tulang panggul, robekan pada solid


pada  solid organ (organ padat) atau beberapa luka.

Perawatan yang diterima dalam satu jam pertama ( golden period) sesudah


period) sesudah cedera

sangat penting untuk mempertahankan nyawa pasien. The Trauma Nursing Core

Course   (TNCC) dan  Advanced Trauma Life Support (ATLS) menggunakan


Course

 pendekatan  primary
 primary   dan  secondary survey.
survey. Pendekatan ini berfokus pada

 pencegahan kematian dan cacat pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma.

Puncak morbiditas ketiga terjadi beberapa hari sampai minggu sesudah trauma.
Kematian pada periode ini terjadi karena sepsis, kegagalan beberapa organ dan

 pernapasan, atau komplikasi lain.

B.  Saran

1.  Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang

gangguan pada sistem muskuloskeletal, baik dari konsep maupun pengkajian

dan pemeriksaan fisik serta penatalaksanaan awal yang harus diberikan,

sehingga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa dan update ilmu

 pengetahuan. 

2.  Bagi Tenaga Kesehatan

Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan

hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.  

  36
 

3.  Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui pengkajian dan pemeriksaan fisik

kegawatdaruratan muskuloskeletal sehingga dapat menerapkannya pada

 praktik klinik keperawatan di kemudian hari. 

  37
 

DAFTAR PUSTAKA

Courtney M T, Daniel R B, Mark B E, Kenneth L M. 2005. Buku


2005.  Buku Saku Ilmu Bedah SABISTON.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.

Martin S T, Marry M C, Vargo E P, Fife M W. 1998. STANDAR PERAWATAN PASIEN (Proses


keperawatan, diagnose, dan evaluasi) Edisi V.Jakarta.
V. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

https://emedicine. medscape.com/article/829008-medication#showall (Richard Paula, MD;


Chief. Medscape. 17 september
september 2014)

Jenkins, T. P. N. 2005. Volume 63, 11:873-876. Http://pmj.bmj/content/36/416/388.short.

Kumalasari, Arief Muttaqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Salemba Medika: Jakarta.


Paula, Richard MD. 2009. Abdominal Compartment Syndrome. Available at
www.emedicine.com / 829008-overview.htm
Pleva, J. ír, M. Mayzlík,
Mayzlík, J. 2004. Abdominal Compartment Syndrome inPolytrauma. In:
In:
Biomed. Papers 148(1), 81±84 (2004). Available
athttp://publib.upol.cz/~obd/fulltext/Biomed/2004/1/81.pdf
Wilkinson, M. Judith. 2006. NIC NOC: Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 7. Jakarta:
EGC
Wilkinson, Judith, M. 2002. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria NOC. Jakarta: EGC

  38

Anda mungkin juga menyukai