Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan di Perbatasan, “Nasionalisme Anak di Perbatasan Justru Lebih Besar”

Sun 08/2015 12:43:00

Ketika mendengar kata “Perbatasan”, mungkin pandangan sebagian banyak orang adalah
lemahnya rasa nasionalisme yang mereka miliki. Sebagian orang tersebut mungkin berpikir
bahwa masyarakat disana mempunyai rasa nasionalisme yang lemah terhadap negaranya sendiri
dan malah mencintai negara sebelahnya.
Ketika di seberang sana masyarakat melihat negara tetangganya yang ramai dengan hiruk pikuk,
kebutuhan yang mudah didapat, sarana yang cukup lengkap hingga listrik yang setiap hari selalu
menyala dan menerangi gelapnya ketika saat tiba waktu malam. Keadaan tersebut justru
berbanding terbalik dengan dengan kondisi tempat tinggalnya yaitu Indonesia. Suasana yang
sepi, kebutuhan yang serba terbatas, hingga listrik yang terkadang mati ketika saat malam
menjadi keseharian yang mereka alami dan mereka rasakan.
Tetapi dibalik cerita tersebut dan dengan kondisi seperti itu, jangan pernah berpikir bahwa rasa
nasionalisme itu luntur atau bahkan hilang. Justru dengan kondisi seperti itulah yang malah
membuat nasionalisme masyarakat dan anak-anak semakin tinggi.
Mungkin anak-anak disana (diluar daerah perbatasan) menganggap nasionalisme itu hanya
sebuah materi pelajaran yang harus diikuti dan dipelajari, yang hanya bisa diucapkan tanpa bisa
memaknai nasionalisme tersebut. “Saya cinta indonesia” merupakan hal yang sering mereka
ucapkan, tetapi mereka tidak tahu apa dibalik ucapannya tersebut. Terutama bagaimana cara
mengamalkan bahwa aku mencintai indonesia. Berbeda dengan anak-anak di perbatasan ini,
mereka merasakan sendiri bagaimana perih dan susahnya menjalani kesehariannya di Indonesia.
Rasa nasionalisme bukan mereka anggap sebagai mata pelajaran, tetapi rasa nasionalisme itu
harus tertanam di dalam hati-hati mereka. Apabila rasa nasionalime anak-anak di perbatasan
hanya sekedar dijadikan mata pelajaran, mungkin daerah tersebut tidak lagi bernama Indonesia.
Salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain adalah Kabupaten Nunukan.
Nunukan merupakan salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia
bagian Sabah dan Serawak. Nunukan merupakan sebuah kabupaten yang cukup luas, dengan luas
daerah 14.263,68 Km2. Memang apabila kita cermati karakteristik fisik pulau Kalimantan,
banyak sekali daerah-daerah yang masih belum bisa terjangkau dengan jalan darat. Padahal
pulau Kalimantan ini merupakan daratan terbesar yang dimiliki negara Indonesia. Bahkan di
Nunukan sendiri, ada daerah yang hanya bisa dijangkau melalui jalur udara, karena belum
adanya akses melewati jalur darat maupun laut.
Banyak daerah di Kabupaten Nunukan yang bisa dikategorikan sebagai daerah terpencil karena
sulitnya akses menuju kesana. Tetapi di daerah terpencil inilah kita bisa melihat perjuangan
masyarakat yang begitu besar dalam menjalani kesehariannya. Terutama anak-anak yang masih
bersekolah. Di daerah yang terpencil, setiap hari kita bisa melihat semangat anak-anak yang
begitu besar dalam menuntut ilmu. Seakan-akan mereka mempunyai semangat dan kekuatan
besar yang mendorong mereka untuk terus semangat menuntut ilmu.
“Capek”. Itu merupakan kata yang sudah lama mereka lupakan. Seakan kata capek tersebut
sudah tidak pernah mereka ucapkan lagi. Bagaimana tidak, hampir setiap hari anak-anak di
perbatasan ini harus berjuang lebih keras untuk menuju sekolah dibandingkan anak-anak yang
berada di perkotaan. Jarak yang jauh menuju sekolah bukan menjadi penghalang mereka dalam
menuntut ilmu, begitu juga kondisi yang berbahaya bahkan sudah tidak pernah mereka hiraukan
lagi.
Sei Menggaris merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Nunukan. Dari pusat
kota Kabupaten Nunukan menuju kecamatan Sei Menggaris hanya bisa ditempuh melalui jalur
sungai. Karena tidak ada akses darat menuju Sei Menggaris. Ada beberapa kendaraan yang bisa
digunakan untuk mencapai Sei Menggaris. Sebagian besar masyarakat Sei Menggaris biasa
memakai jasa Speed Boat. Karena waktu di perjalanan terhitung cepat apabila dibandingkan
dengan kapal muatan yang bersubsidi, meskipun ongkos Speed Boat hampir tiga kali lipat
dengan kapal bersubsidi.
Di Sei Menggaris puluhan anak-anak harus berangkat jauh menuju sekolah. Puluhan kilometer
harus mereka lewati menuju sekolah. Itupun bukan jalanan yang bagus serta aman untuk
dilewati. Jalanan yang berdebu sepanjang 21 Km menjadi jalur yang setiap hari mereka lewati.
Diantar oleh tukang ojek yang harus mereka sewa setiap harinya. Apabila tidak ada uang untuk
membayarnya, maka tidak sekolahlah anak tersebut. Setelah itu mereka harus melewati jembatan
yang memang saya rasa sudah tidak layak untuk dilewati. Jembatan yang terbuat dari kayu
dengan kondisi yang sudah miring. Kemiringannya hampir 30 derajat, yang setiap saat bisa
menjatuhkan mereka kedalam sungai.
Tak sampai disitu, mereka setiap hari harus menyeberang juga melewati sungai. Hanya satu
Perahu kecil yang menjadi transportasi utama mereka untuk menyebrang melewati sungai. Satu
Perahu tersebut bergantian mengantarkan anak-anak yang akan berangkat sekolah. Apabila kita
membayangkan perahu tersebut rusak ketika mengantarkan anak-anak yang hendak menyebrang,
itu akan menjadi kondisi yang akan sangat membahayakan. Kita tahu kondisi sungai kalimantan,
Dibawah sungai sana sudah siap hewan-hewan bergigi tajam yang kapan saja bisa memangsa
mereka. Tetapi kondisi tersebut sudah tidak mereka hiraukan lagi. Mereka merasa senang saja
ketika setiap hari harus melewati bahaya.
Namun apalah daya mereka. Fasilitas yang sangat minim bukan menjadi salah satu halangan
mereka untuk berhenti sekolah. Mereka hanya mempunyai mimpi untuk menjadi orang yang
sukses di kemudian harinya. Meskipun orang tuanya tidak mampu, anak-anak tersebut
memaksakan untuk belajar, meski setiap hari mereka tidak bisa jajan seperti anak-anak lain,
Mereka juga tidak bisa berangkat sekolah dengan nyaman seperti anak-anak lain.
Meskipun kondisinya demikian. Itu bukan menjadi alasan mereka untuk tidak mencintai negara
Indonesia tempat kelahirannya. Justru itu menjadi tambahan semangat mereka dalam menuntut
ilmu. Dan bahkan mereka mempunyai keinginan dan cita-cita yang besar untuk memperbaiki dan
memajukan negara Indonesia di generasi yang akan mendatang.
Sungguh apabila kita hayati, perjuangan dan pengorbanan mereka sangatlah besar dalam
menuntut ilmu. Maka tidak heranlah nasionalisme anak-anak di perbatasan ini sungguh sangat
besar. Warna merah yang berarti berani, sudah mengalir didalam darah mereka yang sampai saat
ini mereka masih berani melawan bahaya ketika menuntut ilmu, dan warna putih yang berarti
suci, sudah tertanam didalam hati mereka yang sampai saat ini mereka berusaha untuk menjadi
generasi penerus bangsa. (Dena Fadillah Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa)
https://www.dompetdhuafa.org/post/detail/1259/pendidikan-di-perbatasan--
%E2%80%9Cnasionalisme-anak-di-perbatasan-justru-lebih-besar%E2%80%9D

Anda mungkin juga menyukai