Anda di halaman 1dari 26

BAB I

DASAR TEORI

1.1. Definisi dan Fungsi Drainase


Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti
mengalirkan, menguras, membuang, atau, mengalihkan air. Dalam bidang teknik
sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai sesuatu tindakan teknis
untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal air hujan, rembesan, maupun
kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/ lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan
tidak terganggu. Drainase juga dapat diartikan sebagai usaha untuk mengontrol
kualitas air tanah dalam kaitannya dengan sanitasi. Jadi, drainase menyangkut
tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah.
Drainase yang berasal dari Bahasa Inggris drainage mempunyai arti
mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Drainase dapat juga
diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah. Jadi, drainase
menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah (Suripin,2004:7).
Secara umum, sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian
bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air
dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Dirunut dari hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima
(interceptor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima (receiving
waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-
gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan
trjun, kolam tando, dan stasiun pompa. Pada sistem yang lengkap, sebelum masuk
ke badan air penerima, air diolah dahulu di instalasi pengolah air limbah (IPAL),
khusunya untuk sistem tercampur. Hanya air yang telah memenuhi baku mutu
tertentu yang dimasukkan ke badan air penerima, sehingga tidak merusak
lingkungan. Ada beberapa pengertian drainase diantaranya :
- Menurut Dr. Ir. Suripin, M.Eng. (2004;7) Drainase mempunyai arti
mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum,
drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi

1
untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan
atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga
diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam
kaitannya dengan salinitas.
- Menurut Suhardjono (1948:1) Drainase yaitu suatu cara pembuangan
kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara
penangggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.
- Menurut SK menteri PU No. 233 tahun 1987 Drainase kota adalah
jaringan pembuangan air yang berfungsi mengeringkan bagian-bagian
wilayah administrasi kota dan daerah urban dari genangan air, baik dari
hujan lokal maupun luapan sungai melintas di dalam kota.
1.2. Fungsi Drainase
Menurut (H.A. Halim Hasmar 2012 : 1) Drainase memiliki banyak fungsi
diantaranya:
a. Mengeringkan bagian wilayah kota yang permukaan lahannya rendah
dari genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negative berupa
kerusakan infrastruktur kota dan harta benda milik masyarakat.
b. Mengalirkan kelebihan air permukaan ke badan air terdekat secepatnya
agar tidak membanjiri/menggenangi kota yang dapat merusak selain
harta bendamasyarakat juga infrastruktur perkotaan.
c. Mengendalikan sebagian air permukaan akibat hujan yang dapat
dimanfaatkan untuk persediaan air dan kehidupan akuatik.
d. Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian air tanah.

Fungsi dari drainase menurut (H.A Halim Hasmar.2011) ada 2 yaitu :


1. Single Purpose
Single purpose adalah saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis air
buangan saja. Contoh : saluran air hujan, limbah domestic, limbah
industri dll

2
2. Multy Purpose
Multy purpose adalah saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis
buangan, baik secara bercampur maupun bergantian. Contoh : saluran air
kotor yang terbentuk di tengah kota.

1.3. Analisa Hidrologi


Secara harafiah “hidrologi” berasal dari bahasa Yunani, yakni “hydro” dan
“loge”. Hydro berarti sesuatu yang berhubungan dengan air dan loge berarti
pengetahuan. Jadi hidrologi adalah kajian atau pengetahuan tentang air.
Analisa hidrologi yaitu penjelasan tentang pengolahan data-data hidrologi
yang tersedia sehingga didapat debit perencanaan yang diperlukan. Analisis
hidrologi merupakan faktor yang paling berpengaruh untuk merencanakan
besarnya sarana penampungan dan pengaliran. Hal ini diperlukan untuk dapat
mengatasi aliran permukaan yang terjadi agar tidak mengakibatkan terjadinya
genangan.
Data hidrologi salah satunya adalah data curah hujan untuk menganalisis
jumlah debit yang ada. Data curah hujan diambil dari dua stasiun hujan. Data
kemudian diurutkan menurut fungsi waktu sehingga merupakan data deret
berkala. Data deret berkala tersebut kemudian dilakukan pengetesan/pengujian
tentang (Soewarno, 1995:23): 1. Konsistensi, dan 2. Kesamaan jenis
(homogenitas). Hasil analisis hidrologi adalah besarnya debit air yang harus
ditampung oleh selokan samping.
Untuk melakukan perencanaan drainase diperlukan penggunaan metode
yang tepat. Ketidaksesuaian dalam penggunaan metode dapat mengakibatkan hasil
perhitungan tidak tepat digunakan pada kondisi yang sebenarnya. Analisis
hidrologi merupakan faktor yang paling berpengaruh untuk merencanakan
besarnya sarana penampungan dan pengaliran. Hal ini diperlukan untuk dapat
mengatasi aliran permukaan yang terjadi agar tidak mengakibatkan terjadinya
genangan. Beberapa aspek yang perlu ditinjau antara lain:

3
1.3.1. Melengkapi Data Hujan yang Tidak Lengkap
Data yang ideal adalah data yang untuk dan sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Tetapi dalam praktek sangat sering dijumpai data yang tidak
lengkap (incomplete record) hal ini dapat disebabkan beberapa hal, antara
lain yaitu kerusakan alat, kelalaian petugas, penggantian alat, bencana
(pengrusakan) dan sebagainya. Keadaan tersebut menyebabkan pada bagian–
bagian tertentu dari data runtut waktu terdapat data yang kosong (missing
record). Dalam memperkirakan besarnya data yang hilang, harus
diperhatikan pula pola penyebaran hujan pada stasiun yang bersangkutan
maupun stasiun-stasiun sekitarnya.
Keadaan data hujan hilang ini untuk kepentingan tertentu dapat
mengganggu. Misalnya pada suatu saat terjadi banjir, sedangkan data hujan pada
satu atau beberapa stasiun pada saat yang bersamaan tidak tersedia (karena
berbagai sebab). Keadaan demikian tidak terasa merugikan bila data tersebut tidak
tercatat pada saat yang dipandang tidak penting. Menurut Soewarno (2000) dalam
bukunya “Hidrologi Operasional Jilid Kesatu”, analisis hidrologi memang tidak
selalu diperlukan pengisian data yang kosong atau hilang. Misal terdapat data
kosong pada musim kemarau sedang analis data hidrologi tersebut menghitung
debit banjir musim penghujan maka dipandang tidak perlu melengkapi data pada
periode kosong musim kemarau tersebut, tetapi bila untuk analisis kekeringan
maka data kosong pada musim kemarau tersebut harus diusahakan untuk
melengkapi. Data hujan yang hilang dapat diestimasi apabila di sekitarnya ada
stasiun penakar hujan (minimal 2 stasiun) yang lengkap datanya atau stasiun
penakar yang datanya hilang diketahui hujan rata-rata tahunannya. (Montarcih,
2010) Pengisian data kosong dapat dilakuan dengan menggunakan beberapa
metode diantaranya metode rata-rata aljabar, metode inversed square distance,
koefisien korelasi, dan lain-lain.
a. Metode Rata-rata Aljabar
Metode rata-rata aljabar adalah metode yang paling praktis
digunakan untuk mencari data curah hujan yang hilang. Pengukuran yang
dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan

4
dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun, stasiun yang digunakan dalam
hitungan biasanya masih saling berdekatan (Saputro, 2011). Metode rata-
rata aljabar ini digunakan bila kedekatan data antar stasiun hujan pada tahun
yang sama adalah kecil (kurang dari 10%) (Suripin, 2004). Pengisian data
kosong dilakukan dengan merata-ratakan data stasiun tetangga yang sama
waktu datanya.
p1 + p2 + p 3 + … p n
p= ................................................................................................................................... (1.1)
n
Keterangan:
p = curah hujan yang hilang
p1, p2, p3... pn = hujan di stasiun 1,2,3, ...., n
n = jumlah stasiun hujan
b. Metode Inversed Square Distance
Metode Inversed Square Distance adalah salah satu metode yang
digunakan untuk mencari data yang hilang. Metode perhitungan yang
digunakan hampir sama dengan Metode Normal Ratio yakni
memperhitungkan stasiun yang berdekatan untuk mencari data curah hujan
yang hilang di stasiun tersebut. Jika pada Metode Normal Ratio yang
digunakan adalah jumlah curah hujan dalam 1 tahun, pada metode ini
variabel yang digunakan adalah jarak stasiun terdekat dengan stasiun yang
akan dicari data curah hujan yang hilang. Rumus Metode Inversed Square
Distance untuk mencari data curah hujan yang hilang sebagai berikut
(Harto, 1993; Fahmi, 2015;Ashruri, 2015):

................................................................................. (1.2)
Keterangan:

5
Px = Hujan yang hilang di stasiun x
pi = Data hujan di stasiun sekitarnya pada periode yang sama
Li = Jarak antara stasiun
c. Koefisien Korelasi
Koefesien korelasi merupakan ukuran yang dipakai untuk
menyatakan seberapa kuat hubungan variabel-variabel (terutama data
kuantitatif). Analisa korelasi sukar dipisahkan dari analisa regresi, karena
apabila variabel hasil pengamatan ternyata memiliki kaitan
yang erat dengan variabel lainnya, maka kita dapat meramalkan nilai
variabel pada suatu individu lain berdasarkan nilai variabel-variabelnya. Hal
ini dilakukan dengan analisa regresi (Walpole, 1993; Fauzi, 2012).
Besaran koefisien korelasi didefinisikan sebagai :

r=
∑ (x−x́)( y− ý ) ............................................................................... (1.3)
√∑ ¿ ¿ ¿ ¿
Keterangan:
x = Data terukur hujan
y = Data hasil perhitungan
1.3.2. Tes Konsentrasi
Menurut Soewarno dalam bukunya Hidrologi Operasional Jilid Kesatu,
data hujan yang diperlukan untuk analisis disarankan minimal 30 tahun data
runtut waktu. Data itu harus tidak mengandung kesalahan dan harus dicek
sebelum digunakan untuk analisis hidrologi lebih lanjut. Agar tidak mengandung
kesalahan (error) dan harus tidak mengandung data kosong (missing record).
Oleh karena itu harus dilakukan pengecekan kualitas data (data quality control).
Beberapa kesalahan yang mungkin terjadi dapat disebabkan oleh faktor
manusia, alat dan faktor lokasi. Bila terjadi kesalahan maka data itu dapat
disebut tidak konsisten (inconsistency). Uji konsistensi (consistency test) berarti
menguji kebenaran data. Data hujan disebut konsisten (consistent) berarti data
yang terukur dan dihitung adalah teliti dan benar serata sesuai dengan fenomena
saat hujan itu terjadi. Beberapa cara untuk mengecek kualitas data hujan antara
lain : (a) melaksanakan pengecekan lapangan, (b) melaksanakan pengecekan ke

6
kantor pengolahan data, (c) membandingkan data hujan dengan data iklim untuk
lokasi yang sama, (d) analisis kurva masa ganda (lengkung masa ganda), dan (e)
analisis statistik.
Salah satu cara untuk menguji konsistensi data hujan dengan
menggunakan analisis kurva masa ganda (double mass curve analysis). Pengujian
tersebut dapat diketahui apakah terjadi perubahan lingkungan atau perubahan cara
menakar. Jika hasil uji menyatakan data hujan disuatu stasiun konsisten berarti
pada daerah pengaruh system tersebut tidak terjadi perubahan lingkungan dan
tidak terjadi perubahan cara menakar selama pencatatan data tersebut dan
sebaliknya.
Ketelitian hasil perhitungan dalam ramalan hidrologi sangat diperlukan,
yang tergantung dari konsistensi data itu sendiri. Dalam suatu rangkaian data
pengamatan hujan, dapat timbul non-homogenitas dan ketidaksesuaian, yang
dapat mengakibatkan penyimpangan dalam perhitungan.
Non-homogenitas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
 Perubahan letak stasiun.
 Perubahan system pendataan.
 Perubahan iklim.
 Perubahan dalam lingkungan sekitar.
Metode yang biasa digunakan untuk tes konsistensi, diantaranya:
a. Metode RAPS (Rescaled Adjusted Partical Sums)
Pengujian menggunakan data hujan tahunan rata-rata dari stasiun hujan
itu sendiri yaitu dengan uji kumulatif penyimpangan kuadratnya dengan
reratanya. Syaratnya adalah stasiun hujan yang berpengaruh harus
berjumlah ≤ 2 (Standalone Station).

7
Tabel 1.1 Nilai Q/n0,5 dan R/n0,5

Sumber: Harto, 1993: 168


b. Metode Kurva Massa Ganda (Double Curve Analysis)
Uji konsistensi ini dapat diselidiki dengan cara membandingkan curah
hujan tahunan komulatif dari stasiun yang diteliti dengan harga
komulatif curah hujan rata-rata dari suatu jaringan stasiun dasar yang
bersesuaian. Pada umumnya, metode ini disusun dengan urutan
kronologis mundur dan dimulai dari tahun yang terakhir atau data yang
terbaru hingga data terakhir
Jika data hujan tidak konsisten karena perubahan atau gangguan lingkungan
di sekitar tempat penakar hujan dipasang, misalnya, penakar hujan terlindung oleh
pohon, terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan penakaran dan
pencatatan, pemindahan letak penakar dan sebagainya, memungkinkan terjadi
penyimpangan terhadap trend semula. Hal ini dapat diselidiki dengan
menggunakan lengkung massa ganda.
Kalau tidak ada perubahan terhadap lingkungan maka akan diperoleh garis
ABC berupa garis lurus dan tidak terjadi patahan arah garis, maka data hujan
tersebut adalah konsisten. Tetapi apabila pada tahun tertentu terjadi perubahan
lingkungan, didapat garis patah ABC’. Penyimpangan tiba-tiba dari garis semula
menunjukkan adanya perubahan tersebut, yang bukan disebabkan oleh perubahan
iklim atau keadaan hidrologis yang dapat menyebabkan adanya perubahan trend.
Sehingga data hujan tersebut dapat dikatakan tidak konsisten dan harus dilakukan
koreksi. Apabila data hujan tersebut tidak konsisten, maka dapat dilakukan
koreksi dengan menggunakan rumus :

8
Yz=Fk x Y ........................................................................................................ (1.4)

Fk= ( tantanαα )..................................................................................................... (1.5)


0

Keterangan:
Yz = Data hujan yang diperbaiki, mm
Y = Data hujan hasil pengamatan, mm
Tgα = Kemiringan sebelum ada perubahan
Tg αc = Kemiringan setelah ada perubahan

Gambar 1. Lengkung Massa Ganda


Sumber: Materi Kuliah Hidrologi Teknik Dasar

Keterangan :
- Pola yang terjadi berupa garis lurus dan tidak terjadi patahan arah garis
itu, maka data hujan pos X adalah konsisten.
- Pola yang terjadi berupa garis lurus dan terjadi patahan arah garis itu,
maka data hujan pos X adalah tidak konsisten dan harus dilakukan
koreksi.

9
1.3.3. Menghitung Hujan Rata-Rata dengan Poligon Theiseen
Metode ini bardasar rata-rata timbang (weighted average). Metode ini
sering digunakan pada analisis hidrologi karena lebih teliti dan obyektif
dibanding metode lainnya, dan dapat digunakan pada daerah yang memiliki titik
pengamatan yang tidak merata. Cara ini adalah dengan memasukkan faktor
pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun hujan yang disebut faktor
pembobotan atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan stasiun hujan yang dipilih
harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun.
Dalam menghitung curah hujan harian dengan metode Polygon Thiessen,
stasiun-stasiun hujan yang ada di dalam DAS dihubungkan satu sama lain
sehingga membentuk poligon. Dari poligon-poligon tersebut akan membentuk
daerah-daerah hujan yang diwakili oleh satu stasiun. Prosedur perhitungan curah
hujan rata-rata DAS dengan metode polygon Thiessen adalah sebagai berikut :
1) Hubungkan setiap stasiun hujan dengan garis lurus sehingga
membentuk poligon segitiga.
2) Tarik garis tegak lurus pa / dan di tengah-tengah poligon-poligon segitiga.
3) Hitung luas masing-masing daerah hujan.
4) Hitung hujan rata-rata DAS dengan rumus :
A1 P1+ A 2 P2 +…+ A n Pn
P= .......................................................................... (1.6)
A 1+ A 2+ …+ A 3
Keterangan:
P = hujan rerata kawasan
P1, P2, ..., Pn = hujan pada stasiun 1, 2,…, n
A1, A2, ..., An = luas daerah yang mewakili stasiun 1,2,…,n

10
Gambar1.2 Poligon Theisen
Pemilihan metode yang paling cocok pada suatu kawasan / DAS dapat
ditentukan dengan mempertimbangkan tiga faktor berikut (Suripin, 2004):
1. Berdasarkan Jumlah Pos Hujan (lihat Tabel 1)
2. Bedasarkan Luas Daerah Aliran Sungai (lihat Tabel 2)
3. Berdasarkan Bentuk Topografi (lihat Tabel 3)
Tabel 1.2 Metode Perhitungan Hujan Wilayah Berdasarkan Jumlah Pos Hujan

Sumber: (Suripin,2004)

11
Tabel 1.3. Metode Perhitungan Hujan Wilayah Berdasarkan Luas DAS

Sumber: (Suripin,2004)
Tabel 1. 4 Metode Perhitungan Hujan Wilayah Berdasarkan Topografi DAS

Sumber: (Suripin,2004)
1.3.4. Menghitung Hujn Harian Maksimum (HHM) dengan Berbagai
Metode
1.3.4.1. Metode Gumbel

Perhitungan curah hujan rencana menurut Metode Gumbel mempunyai


perumusan sebagai berikut :

X = X́ + s K (1.7)
Keterangan:
X́ = harga rata – rata sampel
s = standar deviasi
Nilai K (Faktor probabilitas) untuk harga – harga ekstrim Gumbel dapat
dinyatakan dalam persamaan :

Y Tr −Y n
K= .................................................................................................(1.8)
Sn

12
Keterangan :
Y n = reduced mean yang tergantung jumlah sampel
Sn = reduced standard deviation yang tergantung jumlah sampel
Y Tr = reduced variate, yang dapat dihitung dengan persamaan
T r −1
Y Tr=−ln {−ln } .................................................................................(1.9)
Tr
Tabel 1.5 Hubungan reduce mean (Yn) dengan banyaknya sampel (n)

n. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 ,495 ,449 ,503 ,507 ,510 ,512 ,515 ,518 ,520 ,522
20 ,523 ,525 ,526 ,528 ,529 ,530 ,532 ,533 ,534 ,535

30 ,536 ,537 ,538 ,538 ,539 ,540 ,541 ,541 ,542 ,543

40 ,543 ,544 ,544 ,545 ,545 ,546 ,546 ,547 ,547 ,548

50 ,548 ,549 ,549 ,549 ,550 ,550 ,550 ,551 ,551 ,551

60 ,552 ,552 ,552 ,553 ,553 ,553 ,553 ,554 ,554 ,554

70 ,554 ,555 ,555 ,555 ,555 ,555 ,555 ,556 ,556 ,556

80 ,556 ,557 ,557 ,557 ,557 ,558 ,558 ,558 ,558 ,558

90 ,558 ,558 ,558 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559

100 ,560

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan, Nomor


12/Prt/M/2014)

13
Hubungan periode ulang untuk t tahun dengan curah hujan rata - rata dapat
dilihat pada table 1.6

Tabel 1.6 Periode ulang untuk t tahun

Kala ulang (tahun) Faktor reduksi (Yt)

2 0,3665
5 1,4999
10 2,2504
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Sistem


Drainase Perkotaan, Nomor 12/Prt/M/2014)
1.3.4.2. Metode Iway-Kadoya
Metode iwai kadoya dilakukan mula-mula dengan mengurutkan dahulu
data curah hujan yang homogen dari terbesar ke terkecil kemudian dicari log
dari curah hujan tesebut. Berikut adalah langkah perhitungan curah hujan
harian maksimum untuk periode ulang hujan (PUH) dipilih :
a. Menyusun data-data curah hujan (R) mulai dari harga yang terbesar hingga
harga terkecil.
b. Memperkirakan harga X dengan persamaan:
x=log R s...........................................................................................(1.10)
c. Memperkirakan harga b
 Nilai Rt merupakan angka terendah dari curah hujan tahunan.
Banyaknya Rt disesuaikan dengan Rs.

14
 Nilai bi, dapat dicari melalui persamaan:
Rs . R t−R 2i
b i= ......................................................................(1.11)
2 Ri−(Rs −Rt )
 Nilai b, dapat dicari melalui persamaan:
n
1
b= ∑ b (1.12)
m i=1 i
d. Menghitung nilai 1/c dengan persamaan:
1 2 n −2 −2
c
=

n−1
( x −x0 ) .......................................................................(1.13)

e. Nilai b yang telah didapatkan, dijumlahkan dengan data awal, kemudian di


log-kan, dijumlahkan dan dicari rata-ratanya. Dapat dicari dengan
menggunakan persamaan:
1
X o= log ( Ri +b) .......................................................................(1.14)
n∑
f. Menentukan nilai ζ dari tabel Iwai Kadoya dan nilai Rt dapat dilihat pada
persamaan:
1
x t=antilog x o + ..............................................................................(1.15)
c
1.3.4.3. Log Pearson Tipe III
Perhitungan curah hujan rencana menurut metode Log Person III,
mempunyai langkah – langkah perumusan sebagai berikut :
- Ubah data dalam bentuk logaritmis,
x=log x...........................................................................................(1.16)
- Hitung harga rata – rata :
n

∑ log log X i .......................................................................(1.17)


log X́ = i=1
n
- Hitung Harga simpangan Baku
s=¿ ..................................................................................................(1.18)
- Hitung koefisien Kemencengan :
n
G=n ∑ ¿ ¿¿ ....................................................................................(1.19)
i=1

15
- Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan rumus :
log X T =log X́ + K . s .........................................................................(1.20)

Dimana :
K = Variabel standar (standardized Variable) untuk X besarnya
tergantung koefisien kemencengan G
Tabel 1.7 Nilai K untuk distribusi Log-Pearson III
Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang)

1,0101 1,2500 2 5 10 25 50 100


Koef, Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being exceeded)
G
99 80 50 20 10 4 2 1

3,0 -0,667 -0,636 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051

2,8 -0,714 -0,666 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 3,973

2,6 -0,769 -0,696 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 2,889

2,4 -0,832 -0,725 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 3,800

2,2 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705

2,0 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,192 3,605

1,8 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499

1,6 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388

1,4 -1,318 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271

1,2 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149

1,0 -1,588 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022

0,8 -1,733 -0,856 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 2,891

0,6 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755

0,4 -2,029 -0,855 0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615

0,2 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472

16
0,0 -2,326 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,751 2,051 2,326

-0,2 -2,472 -0,830 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178

-0,4 2,615 -0,816 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029

-0,6 -2,755 -0,800 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880

-0,8 -2,891 -0,780 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733

-1,0 -3,022 -0,758 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588

-1,2 -2,149 -0,732 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449

-1,4 -2,271 -0,705 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318

-1,6 -2,388 -0,675 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197

-1,8 -3,499 -0,643 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,087

-2,0 -3,605 -0,609 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990

-2,2 -3,705 -0,574 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905

-2,4 -3,800 -0,537 0,351 0,725 0,795 0,823 0,830 0,832

-2,6 -3,889 -0,490 0,368 0,696 0,747 0,764 0,768 0,769

-2,8 -3,973 -0,469 0,384 0,666 0,702 0,712 0,714 0,714

-3,0 -7,051 -0,420 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667

(Sumber : Suripin, 2004:43)


1.3.5. Menghitung Distribusi Hujan Dengan Berbagai Metode
1.3.5.1. Metode Bell
Data hujan dalam selang waktu yang panjang (paling sedikit 20 tahun)
diperlukan dalam analisis data frekuensi hujan. Bila data ini tidak tersedia dan
besarnya curah hujan selama enam puluh menit dengan periode ulang 10 tahun
diketahui sebagai dasar, maka suatu rumus empiris yang disusun oleh Bell
dapat digunakan untuk menentukan curah hujan dengan durasi 5 – 120 menit

17
dan periode ulang 2-100 tahun. Rumus Bell dapat dinyatakan dalam persamaan
(Subarkah, 1980) :
RtT =( 0,21 ln T +0,52)(0,54 t 0,25+ 0,50) R60 menit
10 tahun ........................................(1.21)

Intensitas hujan (mm/jam) menurut Bell dihitung dengan menggunakan


persamaan :
60 t
I tT = R ...............................................................................................(1.22)
t T
Keterangan:
R = curah hujan rata-rata (mm),
T = periode ulang/ PUH (tahun) (2 ≤ T ≤ 100 ) tahun,
t = durasi hujan (menit) (5 ≤ t ≤ 120 ) menit,
R1 R2 = besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 1 menurut Tanimoto
Fungsi untuk menguji keandalan masing masing metode dengan
menggunakan fungsi mean square error. Fungsi ini merupakan pengukuran
implisit dari perbandingan besar/ jarak puncak, volume dan waktu dari puncak
dari dua buah hydrograph (US Army Corps of Engineers, 2000).
Z=¿ (1.23)
Keterangan:
Z = nilai uji peak-weight root mean square error,
NI = jumlah data intensitas hujan,
Io = nilai intensitas hujan hasil pengukuran,
Is = nilai intensitas hujan menngunakan metode,
Io(mean) = nilai rata-rata intensitas hujan yang diobservasi.
1.3.5.2. Metode Van Breen
Penurunan rumus yang dilakukan oleh Van Breen di Indonesia didasarkan
atas anggapan bahwa lamanya durasi hujan yang terjadi di Pulau Jawa selama 4
jam dengan hujan efektif sebesar 90% dari jumlah curah hujan selama 24 jam.
Dengan persamaan sebagai berikut (Asy’ari, 2008):
90 % . R24
I= ...........................................................................................(1.24)
4
Keterangan:

18
I = intensitas hujan (mm/jam),
R24 = curah hujan harian maksimum (mm/24jam).
Dengan persamaan di atas dapat dibuat suatu kurva intensitas durasi hujan
dimana Van Breen mengambil kota Jakarta sebagai basis untuk kurva IDF.
Kurva ini dapat memberikan kecendrungan bentuk kurva untuk daerah lainnya
di Indonesia. Berdasarkan pola kurva Van Breen untuk kota Jakarta, besarnya
intensitas hujan dapat didekati dengan persamaan sebagai berikut :
54 RT +0,007 R 2

I T= T
.....................................................................................(1.25)
t c +0,3 Rt
Keterangan:
IT = intensitas curah hujan pada suatu periode ulang (T tahun),
RT = tinggi curah hujan pada periode ulang T tahun (mm/hari)
1.3.5.3. Metode Hasper-Weduwen
Metode Hasper Der Weduwen merupakan hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Hasper dan Der Weduwen di Indonesia. Penurunan rumus
diperoleh dari kecenderungan curah hujan harian yang dikelompokkan atas
dasar anggapan bahwa curah hujan memiliki distribusi yang simetris dengan
durasi curah hujanlebih kecil dari 1 jam dan durasi curah hujan dari 1 sampai
24 jam. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
11300 R i
Untuk 0< t ≤ 1 jam, R=
√ [ ]
t+ 3,12 100
.................................................(1.26)

11300 t X i
Untuk 1< t ≤ 24 jam, R=
√ [ ]
t+ 3,12 100
...............................................(1.27)

1218 t+54
dan, Ri= X i ( X i (1−t )+1272 t )
.................................................................(1.28)

Sedangkan untuk menentukan intensitas hujan digunakan persamaan


sebagai berikut:
R
I= ................................................................................................(1.29)
t
Keterangan:
I = intensitas hujan,

19
R = curah hujan.
t = durasi curah hujan (jam), dan
Xi = curah hujan harian maksimum yang terpilih (mm/hari)

1.3.6. Menghitung Lengkung Intensitas Hujan Rencana Yang Dipilih


Dengan Berbagai Cara
1.3.6.1. Metode Talbot
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu.
Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya
cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula
intensitasnya.
Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik
secara statistic maupun secara empiris. Biasanya intensitas hujan
dihunbungkan dengan durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit,
60 menit dan jam – jaman. Maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus
Talbot :
a
I= ....................................................................................................(1.30)
t+b
Keterangan :
[ I .t ] [ I 2 ] −[I 2 . t ][I ]
a= ............................................................................(1.31)
N [ I 2 ]−[I ][I ]
[ I ][ I . t ] −N [ I 2 . t]
b= ..............................................................................(1.32)
N [ I 2 ]−[I ][I ]
Keterangan :
I = intensitas hujan (mm/jam)
T = lamanya hujan (jam)
N = Konstanta
1.3.6.2. Ishiguro
Rumus Ishiguro ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro tahun 1953. Adapun
rumus tersebut :

20
a
I= .................................................................................................(1.33)
√t +b
[ I . √t ] [ I 2 ]−[ I 2 √ t ] [ I ]
a= ..........................................................................(1.34)
N [ I 2 ]−[ I ][I ]
[ I ] [ I . √ t ] −N [ I 2 . √t ]
b= ..........................................................................(1.35)
N [ I 2 ]−[I ][ I ]

Keterangan:
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
adan b = konstanta
N = banyaknya data
1.3.6.3. Metode Sherman
Rumus Sherman dikemukakan oleh professor Sherman pada tahun 1905.
Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih
dari 2 jam. Adapun rumus tersebut
a
I= ................................................................................................(1.36)
tn
a=¿2 ..............................................(1.37)
n=∑ ( log I ) . ∑ ¿ ¿ ¿ ¿ ............................................................................(1.38)
Keterangan:
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam),
N = banyaknya data

1.3. Perhitungan Debit dan Dimensi Saluran


1.3.1. Layout Jaringan Drainase
Sistem jaringan drainase di dalam wilayah kota dibagi atas 2 bagian
yaitu drainase utama (major drainage) dan drainase lokal (minor drainage).
a. Sistem Drainase Major
Yang dimaksud dengan sistem drainase utama atau drainase makro
(major drainage) yaitu sistem saluran yang menampung dan mengalirkan

21
air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area). Biasanya
sistem ini menampung aliran yang berskala besar dan luas seperti saluran
drainase primer, kanal-kanal atau sungai-sungai. Pada umumnya sistem
drainase mayor ini disebut juga sebagai sistem saluran pembuangan utama.
Sistem ini merupakan penguhubung antara drainase dan pengendalian
banjir. Debit rencana dipakai dengan periode ulang lebih besar dari 10
tahun.
b. Sistem Drainase Mikro
Sedangkan drainase mikro adalah sistem saluran dan bangunan
pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah
tangkapan hujan dimana sebagian besar di dalam wilayah kota. Secara
keseluruhan yang termauk dalam sistem drainase mikro dalah: saluran di
sepanjang sisi jalan, saluran/ selokan air hujan di sekitar bangunan, gorong-
gorong, saluran drainase kota dan lain sebagainya dimana de bit air yang
dapat ditampungnya tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase mikro ini
direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2,5 dan 10 tahun tergantung
pada tata guna tanah yang ada. Sistem drainase untuk lingkungan
pemukiman lebih cenderung sebagai sistem drainase mikro.
1.3.2. Penentuan Sistem Pengaliran
a. Sistem Saluran Tertutup
Sistem ini cukup bagus digunakan di daerah perkotaan terutama untuk
kota yang tinggi kepadatannya seperti kota Metropolitan dan kota-kota besar
lainnya. Lahan yang tersedia sudah begitu terbatas dan mahal harganya,
sehingga kadang-kadang tidak memungkinkan lagi untuk membuat sistem
saluran terbuka. Walaupun tertutup sifat alirannya merupakan sifat aliran
pada saluran terbuka yang mengalir secara gravitasi.
Saluran tertutup ini dapat berupa pipa beton bertulang, besi
tuang, tanah liat, plastik (PVC) atau bahan-bahan lain yang tahan karat
(korosif). Pemasangannya dilakukan dengan cara menanamkannya
beberapa meter di bawah muka tanah dan harus dapat mendukung beban
lalu-lintas di atasnya. Untuk saluran yang besar atau apabila kondisi
setempat tidak mengijinkan maka sebagai alternatif dapat dipakai box
beton bertulang. Biasanya harganya lebih tinggi dan masa pelaksanaannya
lebih lama.

22
Untuk keperluan pengawasan pemeliharaannya, pada setiap
belokan, perubahan dimensi atau bentuk dan pada setiap pertemuan
saluran serta pada setiap jarak 25 – 50 m dibuat bangunan pemeriksa
(manhole). Dengan sistem saluran tertutup ini kemungkinan terhadap
penyalahgunaan saluran drainase yang biasanya terjadi seperti tempat
pembuangan sampah dapat dihindari serta memungkinkan pemanfaatan
permukaan tanah untuk keperluan-keperluan lain.

b. Sistem Saluran Terbuka

Dibandingkan dengan sistem saluran tertutup biaya pembuatan


sistem saluran terbuka lebih rendah dan tidak memerlukan teknologi yang
begitu rumit sehingga sistem ini cenderung lebih sering digunakan
sebagai alternatif pilihan dalam penanganan masalah drainase perkotaan
mengingat sistem pemeliharaannya relatif mudah dilakukan. Saluran
terbuka cocok dipakai apabila masih tersedia lahan yang cukup. Sistem
saluran terbuka ini biasanya direncanakan hanya untuk menampung dan
mengalirkan air hujan (sistem terpisah). Namun kebanyakan sistem
saluran ini berfungsi sebagai saluran campuran (gabungan) dimana
misalnya sampah dan limbah penduduk dibuang ke saluran tersebut.

Saluran terbuka di dalam kota harus diberi lining dengan beton,


pasangan batu (masonry) ataupun dengan pasangan bata. Penampang
saluran ini biasanya dibuat berbentuk trapesium. Namun kadang-kadang
mengingat kondisi lapangan misalnya karena keterbatasan lahan yang
tersedia sudah tidak memungkinkan lagi maka penampang saluran dibuat
persegi. Dasar saluran dapat berupa setengah lingkaran atau datar maupun
kombinasi keduanya. Apabila diperlukan, saluran ini dapat juga ditutup
dengan plat beton. Tetapi harus dibuat lubang celah pemasukan (drain
inlet) agar air dapat mengalir ke dalam saluran.

1.3.3. Perhitungan Beban Aliran


1.3.3.1. Penentuan Blok Pelayanan
1.3.3.2. Perhitungan Koefisien Aliran dan Daerah Kapasitas Aliran

Koefisien pengaliran adalah perbandingan antara jumlah air yang


mengalir di suatu daerah akibat turunnya hujan dengan jumlah air hujan yang
turun di daerah tersebut. Besarnya koefisien pengaliran tergantung pada
keadaan daerah pengaliran dan karakteristik hujan Dengan menentukan jenis

23
permukaan daerah yang akan dilalui air Luas Daerah Luas Daerah hujan,
dapat diambil nilai koefisien pengaliran (C). Koefisien Pengaliran C pada
Tabel 2.9. dapat diaplikasikan untuk hujan dengan periode ulang 5 – 10 tahun.
Intensitas hujan tinggi menyebabkan koefisien C tinggi, sebab infiltrasi dan
kehilangan air lainnya hanya berpengaruh kecil pada limpasan. Koefisien C
untuk suatu wilayah permukiman (blok, kelompok) dimana jenis
permukaannya leih dari satu macam, diambil harga rata-ratanya dengan rumus
berikut ini :

C rata−rata=
∑ C i Ai .............................................................................(1.39)
∑ Ai
dimana :
Ci = Koefisien pengaliran untuk bagian daerah yang
ditinjau dengan satu jenis permukaan
Ai = Luas bagian daerah
Kapasitas saluran drainase dihitung dengan menggunakan rumus
Manning dan Kontinuitas

-
Rumus Manning
1
v= . R2/ 3 . S1 /2 ...........................................................................(1.40)
n
- Rumus Kontinuitas
Q= A . v .....................................................................................(1.41)
Keterangan:
v = kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/dt)
R = jari-jari hidrolis (m)
n = koefisien kekerasan manning
A = luas penampang basah (m2)
Q = debit (m3/dt)
1.4. Perhitungan Debit dan Dimensi Saluran
1.4.1. Perhitungan Dimensi dan Elevasi Saluran
Bentuk saluran yang paling ekonomis untuk dainase yaitu:
1. Penampang Berbentuk Persegi yang Paling Ekonomis
Jika B adalah lebar dasar saluran dan h adalah kedalaman air, luas
penampang basah, A dan keliling P dapat dituliskan sebagai berikut :
A = Bh.......................................................................................(1.42)

24
Gambar 1.3 penampang persegi
A
B=
h
..................................................................... (1.43)

Jari – jari hidraulik :


A B.h
R= = .........................................................................................(1.44)
P B+2 h

2. Penampang Berbentuk Trapesium yang Paling Ekonomis


Saluran dengan penampang melintang bentuk trapezium dengan lebar
dasar B, kedalaman aliran h, dan kemiringan dinding I : , luas penampang
melintang A dan keliling basah P, dapat dirumuskan sebagai berikut :

A = (B + mh)h.......................................................................................(1.45)
P = B + 2h √ m2+1.................................................................................(1.46)

B=P−2 h √ m2 +1 .................................................................................(1.47)
Atau

A= ( 23 h √ 3+ 13 h √ 3) h=h √ 3...............................................................(1.48)
2

25
Gambar 1.4 Penampang Trapesium

Perhitungan dimensi saluran didasarkan pada debit harus ditampung


oleh saluran (Qs dalam m3/detik) lebih besar atau sama dengan debit rencana
yang diakibatkan oleh hujan rencana (Qr dalam m3/detik). Kondisi demikian
dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :
QS ≥ Qr
Debit yang mampu ditampung oleh saluran (Qs) dapat diperoleh dengan
rumus dibawah ini :
Qs = As . V.............................................................................................(1.49)
Dimana :
As = luas penampang saluran (m2)
V = kecepatan rata – rata aliran didalam saluran (m/det)
Kecepatan rata – rata aliran di dalam saluran dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Manning sebagai berikut :

1
V = . R 2/3 . s 1/ 2 ......................................................................................(1.50)
n
As
R= ...................................................................................................(1.51)
P

Keterangan :
V = kecepatan rata – rata aliran didalam saluran (m/det)
N = Koefisien kekasaran Manning
R = jari – jari hidrolis (m)
S = Kemiringan dasar saluran
As = luas penampang saluran (m3)
P = keliling basah saluran (m)

26

Anda mungkin juga menyukai