DASAR TEORI
1
untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan
atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga
diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam
kaitannya dengan salinitas.
- Menurut Suhardjono (1948:1) Drainase yaitu suatu cara pembuangan
kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara
penangggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.
- Menurut SK menteri PU No. 233 tahun 1987 Drainase kota adalah
jaringan pembuangan air yang berfungsi mengeringkan bagian-bagian
wilayah administrasi kota dan daerah urban dari genangan air, baik dari
hujan lokal maupun luapan sungai melintas di dalam kota.
1.2. Fungsi Drainase
Menurut (H.A. Halim Hasmar 2012 : 1) Drainase memiliki banyak fungsi
diantaranya:
a. Mengeringkan bagian wilayah kota yang permukaan lahannya rendah
dari genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negative berupa
kerusakan infrastruktur kota dan harta benda milik masyarakat.
b. Mengalirkan kelebihan air permukaan ke badan air terdekat secepatnya
agar tidak membanjiri/menggenangi kota yang dapat merusak selain
harta bendamasyarakat juga infrastruktur perkotaan.
c. Mengendalikan sebagian air permukaan akibat hujan yang dapat
dimanfaatkan untuk persediaan air dan kehidupan akuatik.
d. Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian air tanah.
2
2. Multy Purpose
Multy purpose adalah saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis
buangan, baik secara bercampur maupun bergantian. Contoh : saluran air
kotor yang terbentuk di tengah kota.
3
1.3.1. Melengkapi Data Hujan yang Tidak Lengkap
Data yang ideal adalah data yang untuk dan sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Tetapi dalam praktek sangat sering dijumpai data yang tidak
lengkap (incomplete record) hal ini dapat disebabkan beberapa hal, antara
lain yaitu kerusakan alat, kelalaian petugas, penggantian alat, bencana
(pengrusakan) dan sebagainya. Keadaan tersebut menyebabkan pada bagian–
bagian tertentu dari data runtut waktu terdapat data yang kosong (missing
record). Dalam memperkirakan besarnya data yang hilang, harus
diperhatikan pula pola penyebaran hujan pada stasiun yang bersangkutan
maupun stasiun-stasiun sekitarnya.
Keadaan data hujan hilang ini untuk kepentingan tertentu dapat
mengganggu. Misalnya pada suatu saat terjadi banjir, sedangkan data hujan pada
satu atau beberapa stasiun pada saat yang bersamaan tidak tersedia (karena
berbagai sebab). Keadaan demikian tidak terasa merugikan bila data tersebut tidak
tercatat pada saat yang dipandang tidak penting. Menurut Soewarno (2000) dalam
bukunya “Hidrologi Operasional Jilid Kesatu”, analisis hidrologi memang tidak
selalu diperlukan pengisian data yang kosong atau hilang. Misal terdapat data
kosong pada musim kemarau sedang analis data hidrologi tersebut menghitung
debit banjir musim penghujan maka dipandang tidak perlu melengkapi data pada
periode kosong musim kemarau tersebut, tetapi bila untuk analisis kekeringan
maka data kosong pada musim kemarau tersebut harus diusahakan untuk
melengkapi. Data hujan yang hilang dapat diestimasi apabila di sekitarnya ada
stasiun penakar hujan (minimal 2 stasiun) yang lengkap datanya atau stasiun
penakar yang datanya hilang diketahui hujan rata-rata tahunannya. (Montarcih,
2010) Pengisian data kosong dapat dilakuan dengan menggunakan beberapa
metode diantaranya metode rata-rata aljabar, metode inversed square distance,
koefisien korelasi, dan lain-lain.
a. Metode Rata-rata Aljabar
Metode rata-rata aljabar adalah metode yang paling praktis
digunakan untuk mencari data curah hujan yang hilang. Pengukuran yang
dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan
4
dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun, stasiun yang digunakan dalam
hitungan biasanya masih saling berdekatan (Saputro, 2011). Metode rata-
rata aljabar ini digunakan bila kedekatan data antar stasiun hujan pada tahun
yang sama adalah kecil (kurang dari 10%) (Suripin, 2004). Pengisian data
kosong dilakukan dengan merata-ratakan data stasiun tetangga yang sama
waktu datanya.
p1 + p2 + p 3 + … p n
p= ................................................................................................................................... (1.1)
n
Keterangan:
p = curah hujan yang hilang
p1, p2, p3... pn = hujan di stasiun 1,2,3, ...., n
n = jumlah stasiun hujan
b. Metode Inversed Square Distance
Metode Inversed Square Distance adalah salah satu metode yang
digunakan untuk mencari data yang hilang. Metode perhitungan yang
digunakan hampir sama dengan Metode Normal Ratio yakni
memperhitungkan stasiun yang berdekatan untuk mencari data curah hujan
yang hilang di stasiun tersebut. Jika pada Metode Normal Ratio yang
digunakan adalah jumlah curah hujan dalam 1 tahun, pada metode ini
variabel yang digunakan adalah jarak stasiun terdekat dengan stasiun yang
akan dicari data curah hujan yang hilang. Rumus Metode Inversed Square
Distance untuk mencari data curah hujan yang hilang sebagai berikut
(Harto, 1993; Fahmi, 2015;Ashruri, 2015):
................................................................................. (1.2)
Keterangan:
5
Px = Hujan yang hilang di stasiun x
pi = Data hujan di stasiun sekitarnya pada periode yang sama
Li = Jarak antara stasiun
c. Koefisien Korelasi
Koefesien korelasi merupakan ukuran yang dipakai untuk
menyatakan seberapa kuat hubungan variabel-variabel (terutama data
kuantitatif). Analisa korelasi sukar dipisahkan dari analisa regresi, karena
apabila variabel hasil pengamatan ternyata memiliki kaitan
yang erat dengan variabel lainnya, maka kita dapat meramalkan nilai
variabel pada suatu individu lain berdasarkan nilai variabel-variabelnya. Hal
ini dilakukan dengan analisa regresi (Walpole, 1993; Fauzi, 2012).
Besaran koefisien korelasi didefinisikan sebagai :
r=
∑ (x−x́)( y− ý ) ............................................................................... (1.3)
√∑ ¿ ¿ ¿ ¿
Keterangan:
x = Data terukur hujan
y = Data hasil perhitungan
1.3.2. Tes Konsentrasi
Menurut Soewarno dalam bukunya Hidrologi Operasional Jilid Kesatu,
data hujan yang diperlukan untuk analisis disarankan minimal 30 tahun data
runtut waktu. Data itu harus tidak mengandung kesalahan dan harus dicek
sebelum digunakan untuk analisis hidrologi lebih lanjut. Agar tidak mengandung
kesalahan (error) dan harus tidak mengandung data kosong (missing record).
Oleh karena itu harus dilakukan pengecekan kualitas data (data quality control).
Beberapa kesalahan yang mungkin terjadi dapat disebabkan oleh faktor
manusia, alat dan faktor lokasi. Bila terjadi kesalahan maka data itu dapat
disebut tidak konsisten (inconsistency). Uji konsistensi (consistency test) berarti
menguji kebenaran data. Data hujan disebut konsisten (consistent) berarti data
yang terukur dan dihitung adalah teliti dan benar serata sesuai dengan fenomena
saat hujan itu terjadi. Beberapa cara untuk mengecek kualitas data hujan antara
lain : (a) melaksanakan pengecekan lapangan, (b) melaksanakan pengecekan ke
6
kantor pengolahan data, (c) membandingkan data hujan dengan data iklim untuk
lokasi yang sama, (d) analisis kurva masa ganda (lengkung masa ganda), dan (e)
analisis statistik.
Salah satu cara untuk menguji konsistensi data hujan dengan
menggunakan analisis kurva masa ganda (double mass curve analysis). Pengujian
tersebut dapat diketahui apakah terjadi perubahan lingkungan atau perubahan cara
menakar. Jika hasil uji menyatakan data hujan disuatu stasiun konsisten berarti
pada daerah pengaruh system tersebut tidak terjadi perubahan lingkungan dan
tidak terjadi perubahan cara menakar selama pencatatan data tersebut dan
sebaliknya.
Ketelitian hasil perhitungan dalam ramalan hidrologi sangat diperlukan,
yang tergantung dari konsistensi data itu sendiri. Dalam suatu rangkaian data
pengamatan hujan, dapat timbul non-homogenitas dan ketidaksesuaian, yang
dapat mengakibatkan penyimpangan dalam perhitungan.
Non-homogenitas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
Perubahan letak stasiun.
Perubahan system pendataan.
Perubahan iklim.
Perubahan dalam lingkungan sekitar.
Metode yang biasa digunakan untuk tes konsistensi, diantaranya:
a. Metode RAPS (Rescaled Adjusted Partical Sums)
Pengujian menggunakan data hujan tahunan rata-rata dari stasiun hujan
itu sendiri yaitu dengan uji kumulatif penyimpangan kuadratnya dengan
reratanya. Syaratnya adalah stasiun hujan yang berpengaruh harus
berjumlah ≤ 2 (Standalone Station).
7
Tabel 1.1 Nilai Q/n0,5 dan R/n0,5
8
Yz=Fk x Y ........................................................................................................ (1.4)
Keterangan:
Yz = Data hujan yang diperbaiki, mm
Y = Data hujan hasil pengamatan, mm
Tgα = Kemiringan sebelum ada perubahan
Tg αc = Kemiringan setelah ada perubahan
Keterangan :
- Pola yang terjadi berupa garis lurus dan tidak terjadi patahan arah garis
itu, maka data hujan pos X adalah konsisten.
- Pola yang terjadi berupa garis lurus dan terjadi patahan arah garis itu,
maka data hujan pos X adalah tidak konsisten dan harus dilakukan
koreksi.
9
1.3.3. Menghitung Hujan Rata-Rata dengan Poligon Theiseen
Metode ini bardasar rata-rata timbang (weighted average). Metode ini
sering digunakan pada analisis hidrologi karena lebih teliti dan obyektif
dibanding metode lainnya, dan dapat digunakan pada daerah yang memiliki titik
pengamatan yang tidak merata. Cara ini adalah dengan memasukkan faktor
pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun hujan yang disebut faktor
pembobotan atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan stasiun hujan yang dipilih
harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun.
Dalam menghitung curah hujan harian dengan metode Polygon Thiessen,
stasiun-stasiun hujan yang ada di dalam DAS dihubungkan satu sama lain
sehingga membentuk poligon. Dari poligon-poligon tersebut akan membentuk
daerah-daerah hujan yang diwakili oleh satu stasiun. Prosedur perhitungan curah
hujan rata-rata DAS dengan metode polygon Thiessen adalah sebagai berikut :
1) Hubungkan setiap stasiun hujan dengan garis lurus sehingga
membentuk poligon segitiga.
2) Tarik garis tegak lurus pa / dan di tengah-tengah poligon-poligon segitiga.
3) Hitung luas masing-masing daerah hujan.
4) Hitung hujan rata-rata DAS dengan rumus :
A1 P1+ A 2 P2 +…+ A n Pn
P= .......................................................................... (1.6)
A 1+ A 2+ …+ A 3
Keterangan:
P = hujan rerata kawasan
P1, P2, ..., Pn = hujan pada stasiun 1, 2,…, n
A1, A2, ..., An = luas daerah yang mewakili stasiun 1,2,…,n
10
Gambar1.2 Poligon Theisen
Pemilihan metode yang paling cocok pada suatu kawasan / DAS dapat
ditentukan dengan mempertimbangkan tiga faktor berikut (Suripin, 2004):
1. Berdasarkan Jumlah Pos Hujan (lihat Tabel 1)
2. Bedasarkan Luas Daerah Aliran Sungai (lihat Tabel 2)
3. Berdasarkan Bentuk Topografi (lihat Tabel 3)
Tabel 1.2 Metode Perhitungan Hujan Wilayah Berdasarkan Jumlah Pos Hujan
Sumber: (Suripin,2004)
11
Tabel 1.3. Metode Perhitungan Hujan Wilayah Berdasarkan Luas DAS
Sumber: (Suripin,2004)
Tabel 1. 4 Metode Perhitungan Hujan Wilayah Berdasarkan Topografi DAS
Sumber: (Suripin,2004)
1.3.4. Menghitung Hujn Harian Maksimum (HHM) dengan Berbagai
Metode
1.3.4.1. Metode Gumbel
X = X́ + s K (1.7)
Keterangan:
X́ = harga rata – rata sampel
s = standar deviasi
Nilai K (Faktor probabilitas) untuk harga – harga ekstrim Gumbel dapat
dinyatakan dalam persamaan :
Y Tr −Y n
K= .................................................................................................(1.8)
Sn
12
Keterangan :
Y n = reduced mean yang tergantung jumlah sampel
Sn = reduced standard deviation yang tergantung jumlah sampel
Y Tr = reduced variate, yang dapat dihitung dengan persamaan
T r −1
Y Tr=−ln {−ln } .................................................................................(1.9)
Tr
Tabel 1.5 Hubungan reduce mean (Yn) dengan banyaknya sampel (n)
n. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 ,495 ,449 ,503 ,507 ,510 ,512 ,515 ,518 ,520 ,522
20 ,523 ,525 ,526 ,528 ,529 ,530 ,532 ,533 ,534 ,535
30 ,536 ,537 ,538 ,538 ,539 ,540 ,541 ,541 ,542 ,543
40 ,543 ,544 ,544 ,545 ,545 ,546 ,546 ,547 ,547 ,548
50 ,548 ,549 ,549 ,549 ,550 ,550 ,550 ,551 ,551 ,551
60 ,552 ,552 ,552 ,553 ,553 ,553 ,553 ,554 ,554 ,554
70 ,554 ,555 ,555 ,555 ,555 ,555 ,555 ,556 ,556 ,556
80 ,556 ,557 ,557 ,557 ,557 ,558 ,558 ,558 ,558 ,558
90 ,558 ,558 ,558 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559
100 ,560
13
Hubungan periode ulang untuk t tahun dengan curah hujan rata - rata dapat
dilihat pada table 1.6
2 0,3665
5 1,4999
10 2,2504
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001
14
Nilai bi, dapat dicari melalui persamaan:
Rs . R t−R 2i
b i= ......................................................................(1.11)
2 Ri−(Rs −Rt )
Nilai b, dapat dicari melalui persamaan:
n
1
b= ∑ b (1.12)
m i=1 i
d. Menghitung nilai 1/c dengan persamaan:
1 2 n −2 −2
c
=
√
n−1
( x −x0 ) .......................................................................(1.13)
15
- Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan rumus :
log X T =log X́ + K . s .........................................................................(1.20)
Dimana :
K = Variabel standar (standardized Variable) untuk X besarnya
tergantung koefisien kemencengan G
Tabel 1.7 Nilai K untuk distribusi Log-Pearson III
Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang)
16
0,0 -2,326 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,751 2,051 2,326
17
dan periode ulang 2-100 tahun. Rumus Bell dapat dinyatakan dalam persamaan
(Subarkah, 1980) :
RtT =( 0,21 ln T +0,52)(0,54 t 0,25+ 0,50) R60 menit
10 tahun ........................................(1.21)
18
I = intensitas hujan (mm/jam),
R24 = curah hujan harian maksimum (mm/24jam).
Dengan persamaan di atas dapat dibuat suatu kurva intensitas durasi hujan
dimana Van Breen mengambil kota Jakarta sebagai basis untuk kurva IDF.
Kurva ini dapat memberikan kecendrungan bentuk kurva untuk daerah lainnya
di Indonesia. Berdasarkan pola kurva Van Breen untuk kota Jakarta, besarnya
intensitas hujan dapat didekati dengan persamaan sebagai berikut :
54 RT +0,007 R 2
I T= T
.....................................................................................(1.25)
t c +0,3 Rt
Keterangan:
IT = intensitas curah hujan pada suatu periode ulang (T tahun),
RT = tinggi curah hujan pada periode ulang T tahun (mm/hari)
1.3.5.3. Metode Hasper-Weduwen
Metode Hasper Der Weduwen merupakan hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Hasper dan Der Weduwen di Indonesia. Penurunan rumus
diperoleh dari kecenderungan curah hujan harian yang dikelompokkan atas
dasar anggapan bahwa curah hujan memiliki distribusi yang simetris dengan
durasi curah hujanlebih kecil dari 1 jam dan durasi curah hujan dari 1 sampai
24 jam. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
11300 R i
Untuk 0< t ≤ 1 jam, R=
√ [ ]
t+ 3,12 100
.................................................(1.26)
11300 t X i
Untuk 1< t ≤ 24 jam, R=
√ [ ]
t+ 3,12 100
...............................................(1.27)
1218 t+54
dan, Ri= X i ( X i (1−t )+1272 t )
.................................................................(1.28)
19
R = curah hujan.
t = durasi curah hujan (jam), dan
Xi = curah hujan harian maksimum yang terpilih (mm/hari)
20
a
I= .................................................................................................(1.33)
√t +b
[ I . √t ] [ I 2 ]−[ I 2 √ t ] [ I ]
a= ..........................................................................(1.34)
N [ I 2 ]−[ I ][I ]
[ I ] [ I . √ t ] −N [ I 2 . √t ]
b= ..........................................................................(1.35)
N [ I 2 ]−[I ][ I ]
Keterangan:
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
adan b = konstanta
N = banyaknya data
1.3.6.3. Metode Sherman
Rumus Sherman dikemukakan oleh professor Sherman pada tahun 1905.
Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih
dari 2 jam. Adapun rumus tersebut
a
I= ................................................................................................(1.36)
tn
a=¿2 ..............................................(1.37)
n=∑ ( log I ) . ∑ ¿ ¿ ¿ ¿ ............................................................................(1.38)
Keterangan:
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam),
N = banyaknya data
21
air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area). Biasanya
sistem ini menampung aliran yang berskala besar dan luas seperti saluran
drainase primer, kanal-kanal atau sungai-sungai. Pada umumnya sistem
drainase mayor ini disebut juga sebagai sistem saluran pembuangan utama.
Sistem ini merupakan penguhubung antara drainase dan pengendalian
banjir. Debit rencana dipakai dengan periode ulang lebih besar dari 10
tahun.
b. Sistem Drainase Mikro
Sedangkan drainase mikro adalah sistem saluran dan bangunan
pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah
tangkapan hujan dimana sebagian besar di dalam wilayah kota. Secara
keseluruhan yang termauk dalam sistem drainase mikro dalah: saluran di
sepanjang sisi jalan, saluran/ selokan air hujan di sekitar bangunan, gorong-
gorong, saluran drainase kota dan lain sebagainya dimana de bit air yang
dapat ditampungnya tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase mikro ini
direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2,5 dan 10 tahun tergantung
pada tata guna tanah yang ada. Sistem drainase untuk lingkungan
pemukiman lebih cenderung sebagai sistem drainase mikro.
1.3.2. Penentuan Sistem Pengaliran
a. Sistem Saluran Tertutup
Sistem ini cukup bagus digunakan di daerah perkotaan terutama untuk
kota yang tinggi kepadatannya seperti kota Metropolitan dan kota-kota besar
lainnya. Lahan yang tersedia sudah begitu terbatas dan mahal harganya,
sehingga kadang-kadang tidak memungkinkan lagi untuk membuat sistem
saluran terbuka. Walaupun tertutup sifat alirannya merupakan sifat aliran
pada saluran terbuka yang mengalir secara gravitasi.
Saluran tertutup ini dapat berupa pipa beton bertulang, besi
tuang, tanah liat, plastik (PVC) atau bahan-bahan lain yang tahan karat
(korosif). Pemasangannya dilakukan dengan cara menanamkannya
beberapa meter di bawah muka tanah dan harus dapat mendukung beban
lalu-lintas di atasnya. Untuk saluran yang besar atau apabila kondisi
setempat tidak mengijinkan maka sebagai alternatif dapat dipakai box
beton bertulang. Biasanya harganya lebih tinggi dan masa pelaksanaannya
lebih lama.
22
Untuk keperluan pengawasan pemeliharaannya, pada setiap
belokan, perubahan dimensi atau bentuk dan pada setiap pertemuan
saluran serta pada setiap jarak 25 – 50 m dibuat bangunan pemeriksa
(manhole). Dengan sistem saluran tertutup ini kemungkinan terhadap
penyalahgunaan saluran drainase yang biasanya terjadi seperti tempat
pembuangan sampah dapat dihindari serta memungkinkan pemanfaatan
permukaan tanah untuk keperluan-keperluan lain.
23
permukaan daerah yang akan dilalui air Luas Daerah Luas Daerah hujan,
dapat diambil nilai koefisien pengaliran (C). Koefisien Pengaliran C pada
Tabel 2.9. dapat diaplikasikan untuk hujan dengan periode ulang 5 – 10 tahun.
Intensitas hujan tinggi menyebabkan koefisien C tinggi, sebab infiltrasi dan
kehilangan air lainnya hanya berpengaruh kecil pada limpasan. Koefisien C
untuk suatu wilayah permukiman (blok, kelompok) dimana jenis
permukaannya leih dari satu macam, diambil harga rata-ratanya dengan rumus
berikut ini :
C rata−rata=
∑ C i Ai .............................................................................(1.39)
∑ Ai
dimana :
Ci = Koefisien pengaliran untuk bagian daerah yang
ditinjau dengan satu jenis permukaan
Ai = Luas bagian daerah
Kapasitas saluran drainase dihitung dengan menggunakan rumus
Manning dan Kontinuitas
-
Rumus Manning
1
v= . R2/ 3 . S1 /2 ...........................................................................(1.40)
n
- Rumus Kontinuitas
Q= A . v .....................................................................................(1.41)
Keterangan:
v = kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/dt)
R = jari-jari hidrolis (m)
n = koefisien kekerasan manning
A = luas penampang basah (m2)
Q = debit (m3/dt)
1.4. Perhitungan Debit dan Dimensi Saluran
1.4.1. Perhitungan Dimensi dan Elevasi Saluran
Bentuk saluran yang paling ekonomis untuk dainase yaitu:
1. Penampang Berbentuk Persegi yang Paling Ekonomis
Jika B adalah lebar dasar saluran dan h adalah kedalaman air, luas
penampang basah, A dan keliling P dapat dituliskan sebagai berikut :
A = Bh.......................................................................................(1.42)
24
Gambar 1.3 penampang persegi
A
B=
h
..................................................................... (1.43)
A = (B + mh)h.......................................................................................(1.45)
P = B + 2h √ m2+1.................................................................................(1.46)
B=P−2 h √ m2 +1 .................................................................................(1.47)
Atau
A= ( 23 h √ 3+ 13 h √ 3) h=h √ 3...............................................................(1.48)
2
25
Gambar 1.4 Penampang Trapesium
1
V = . R 2/3 . s 1/ 2 ......................................................................................(1.50)
n
As
R= ...................................................................................................(1.51)
P
Keterangan :
V = kecepatan rata – rata aliran didalam saluran (m/det)
N = Koefisien kekasaran Manning
R = jari – jari hidrolis (m)
S = Kemiringan dasar saluran
As = luas penampang saluran (m3)
P = keliling basah saluran (m)
26