Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi
obat untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah menimbulkan reaksi
obat yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek samping.
Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru disamping
penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan maut juga.
Hipokalemi, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi anafilaktik
merupakan contoh-contoh efek samping yang potensial bebahaya. Gatal-gatal
karena alergi obat, mengantuk karena pemakaian antihistamin merupakan
contoh lain reaksi efek samping yang ringan. Diperkirakan efek samping
terjadi pada 6 sampai 15% pasien yang dirawat di rumah sakit, sedangkan
alergi obat berkisar antara 6-10% dari efek samping. 40-60% disebabkan oeh
gigitaan serangga, 20-40% disebabkan oleh zat kontrasradiografi, 10-20%
disebabkan oleh penicillin.
Syok anafilaktik merupakan bentuk terberat dari reaksi obat. Anafilaktis
memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari 500
kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam,
khususnya penisilin. Penisilin merupakan reaksi yang fatal pada 0,002 %
pemakaian. Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoik yang tersering adalah
pemekaian media kontras untuk pemeriksaan radiologi. Media kontraksi
menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang
fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus
kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar.
Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan 6
kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun
1959 – 1984. Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi
selama periode 1985-1989.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 1


Anafilaktif memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-
tiba, tidak terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan
dan kesiapan menghadapai keadaan tersebut sangat diperlukan. Berangkat
dari insiden tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut
tentang syok anafilaktik dengan tujuan agar mahasiswa pun pembaca
mengetahui tentang konsep teori dari anafilaksis dan menerapkan asuhan
keperawatan yang tepat pada pasien syok anafilaktik. (Tabrani Rab. 2007)

1.2 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui pentingnya
mempelajari mengenai definisi syok anafilaksis, etiologi, diagnosa banding,
penatalaksanaan, hingga edukasi kepada pasien.

1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari laporan ini, yaitu:
1. Agar mengetahui definisi syok anafilaksis
2. Agar mengetahui etiologi syok anafilaksis
3. Agar mengetahui patofisiologi syok anafilaksis
4. Agar mengetahui gejala dan tanda dari syok anafilaksis
5. Agar mengetahui tatalaksana dari syok anafilaksis
6. Agar mengetahui edukasi dari syok anafilaksis

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 2


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data tutorial

Hari/Tanggal
 Sesi 1 : Senin, 5 November 2018
 Sesi 2 : Rabu, 7 November 2018
Tutor : dr. Ida Ayu Made Mahayani, S.Ked
Moderator : Ilman Rahaswin Bolkiah
Sekretaris : Luh Putu Pande Sintia Indriyani

2.2 Skenario LBM

LBM 8

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA

Tn. Mura 32 tahun dibawa ke UGD oleh keluarganya dikeluhkan tiba –


tiba pingsan 20 menit yang lalu. Awalnya dikatakan 5 menit setelah disuntik obat
anti nyeri di mantri desanya, Tn. Mura mengeluhkan gatal – gatal dan ruam
kemerahan yang tiba – tiba muncul pada kulitnya, kemudian wajah dan kelopak
mata membengkak, napas terasa berat, dan pingsan. Keluarganya cepat – cepat
membawa Tn. Mura ke UGD.

Keluarga Tn. Mura tidak mengetahui tentang riwayat alergi obat yang
diderita Tn. Mura, dan Tn. Mura baru pertama kali ini mendapatkan obat melalui
suntikan.

Dokter kemudian segera melakukan penanganan kegawatdaruratan pada


Tn. Mura. Dari hasil pemeriksaan fisik, TD : 60 / 40 mmHg, N : 130 x/menit,

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 3


RR : 28 x / menit, T : 37,8. Ruam kemerahan pada tangan, kaki, dan badan pasien
dengan ukuran bervariasi 1 – 4 cm. Edema pada wajah dan kelopak mata.

Dokter kemudian memberikan penatalaksanaan lanjutan kepadaTn. Mura


dan menjelaskan tentang kondisi Tn. Mura kepada keluarganya.

2.3. Pembahasan LBM

I. Klarifikasi Istilah

Alergi : Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas


yang diawali oleh mekanisme imunologis,
yakni akibat induksi oleh Ig-E yang spesifik
terhadap antigen tertentu yang berikatan
dengan sel mast. (Price, 2006)
Edema : Akumulasi cairan di dalam jaringan yang
menyebabkan pembengkakan. (Price, 2006)
Ruam : Kondisi kulit yang ditandai dengan iritasi yang
diketahui dengan adanya warna merah / gatal.
Terbagi menjadi 2 yakni, ruam primer (yang
disebabkan oleh tidak adanya trauma) dan ruam
sekunder (yang disebabkan oleh adanya trauma
atau kelanjutan dari ruam primer). (Price, 2006)
Mantri : Pegawai yang kerjanya sebagai pembantu
dokter dalam pelayanan kesehatan; perawat
kepala (biasanya laki-laki). (KBBI)
Gatal-gatal : Berasa sangat geli yang merangsang pada kulit
tubuh (karena kutu dan sebagainya).(KBBI)

II. Identifikasi Masalah

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 4


1. Apa yang menyebabkan keadaan Tn. Mura seperti ruam kemerahan pada
tangan, kaki, dan edema pada kelopak mata?
2. Apa efek-efek dasar pemberian obat?
3. Apa saja yg dapat menyebabkan alergi?
4. Apa saja klasifikasi hypersensitifitas?
5. Jika seseorang sudah terjangkit alergi sebelumnya kemudian terpapar
kembali. Apakah akan selamanya alergi?
6. Apa saja tipe-tipe syok?

III. Brain Storming

1. Apa yang menyebabkan keadaan Tn. Mura seperti ruam kemerahan


pada tangan, kaki, dan edema pada kelopak mata?
Jawaban :
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. obat anti nyeri) ke dalam
tubuh seseorang tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang
tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali
alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T
tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E).
Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan oleh
alergen ini maka akan terjadi 2 hal yaitu:
a. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan
efek terhadap  berbagai sel terutama dalam menarik sel- sel radang
misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan
yang menyebabkan panas.
b. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui
pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan
terjadinya gatal karena histamin melakukan penekanan terhadap serabut-

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 5


serabut saraf, kemerahan pada kulit serta ruam yang disebabkan karena
interaksi obat/bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh berinteraksi
dengan reseptor pada permukaan pembuluh darah, maka akan terjadi
vasodilatasi pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan merembes
ke jaringan sekitarnya sehingga terjadi akumulasi cairan dan terjadi
pembengkakan di beberapa bagian tubuh terutama kulit, karena kulit
merupakan bagian lunak pada tubuh, efek lain histamin yaitu , prutitus,
angioderma, urtikaria dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru
paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang
paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini
ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan
bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian. (Siska, 2016)

2. Apa efek-efek dasar pemberian obat?


Jawaban :
Efek samping penggunaan obat
a. Efek samping yang terjadi pada orang normal
Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak di
inginkan tetapi juga tak dapat di hindarkan yang terjadi pada
dosis trapeutik. Misalnya efek mengantuk pada pemberian
antihistamin.
Overdosis yaitu reaksi yang secara langsung berhubungan
kepada efek pemberian dosis obat yang berlebih. Contoh :
depresi pernafasan karena obat sedative.
Efek sekunder yaitu reaksi efek samping yang secara tidak
langsung berhubungan dengan efek farmakologis primer suatu
obat. Contoh : pelepasan antigen atau endotoksin sesudah
pemberian anti biotik.
Interaksi obat atau efek suatu obat yang mempengaruhi respons
satu atau lebih obat-obatan lain misalnya induksi enzim suatu
obat yang mempengaruhi metabolisme obat lain.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 6


b. Efek samping pada orang yang sensitive
Intoleransi yaitu reaksi yang di sebabkan oleh efek
farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala tinnitus pada
pemakaian aspirin dosis kecil.
Indiosikrasi adalah reaksi yang tidak berhubungan dengan efek
farmakologis dan tidak juga di sebabkan oleh efek
immunologis, misalnya primakuin yang menyebabkan anemia
hemolitik.
Reaksi alergi atau hipersensitivitas terdapat pada pasien
tertentu. Gejala yang di timbulkan melalui mekanisme
immunologis. Jadi reaksi alergi obat merupakan sebagian dari
efek samping.
Pseudolergi ( reaksi anafilaktiod ) yaitu terjadinya keadaan
menyerupai reaksi tipe 1 tanpa melalui ikatan antigen dengan
igE. Beberapa obat seperti opiat, vasoviksin, polimiksin B, D
tubokurarin dan zat kontras ( pemeriksaan radiologis ) dapat
menyebabkan sel mast melepaskan mediator ( seperti tipe 1 ).
Proses di atas tanpa melalui sensitasi terlebih dahulu.

3. Apa saja yg dapat menyebabkan alergi?


Jawaban :
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh
mekanisme imunologi. Alergi dapat berupa alergi makanan, obat-obatan,
bubuk sari bunga, debu, dingin . Kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang
yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh  manusia
berkasi  berlebihan  terhadap  lingkungan  atau  bahan-bahan  yang  oleh 
tubuh dianggap asing dan berbahaya. .(Handayani, 2008)
Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen. Alergi disebabkan oleh produksi antibody jenis IgE. Tubuh mulai

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 7


menghasilkan antibody tertentu, yang disebut IgE, untuk mengikat
alergen. Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast.
Sel mast dapat ditemukan di saluran udara, suhu dan ditempat lain.
Kehadiran sel mast dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat
daerah ini lebih rentan terhadap paparan allergen. Mengikat allergen ke
IgE, yang melekat pada sel mast. Hal ini menyebabkan sel mast
melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam darah. Histamine
menyebabkan sebagain besar gejala reaksi alergi.

4. Apa saja klasifikasi hypersensitifitas?


Jawaban :
Klasifikasi hipersensitivitas berdasarkan mekanismenya
 Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau
Anafilataksis)

Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi


karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 8


Terpapar dengan cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak
langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas
tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma.
Antibodi ini akan berikatan dengan respetor IgE pada permukaan
jaringan sel mast dan basofil. Selmast dan basofil yang dilapisi oleh
IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi), karena sel B memerlukan
waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak
terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit
hingga 10-20 jam. Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi
sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke
aliran darah dan berikatan dengan reseptor disel mastosit dan basofil
sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat
kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE
yang berikatan dengan antibodi di sel mastosit atau basofil dan
menyebabkan terjadinya granulasi (Abbas, 2004).

Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan


sekunder.

1. Mediator inflamasi primer yaitu Histamin, yang merupakan


mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan
meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan
meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk
neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks
granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya,
triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen
komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi
tambahan (misalnya, C3a).
2. Mediator Sekunder  yaitu Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen
vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 9


molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin
dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat
kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.

Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak


dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini
menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi
mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator
sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan
histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik
untuk neutrofil dan eosinofil. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast
(TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting
pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya
merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF
merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi,
dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel
mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi
hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-
anafilaksis (ECF-A= eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed
mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neotrophil
chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan
metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang
berperan pada reaksi tipe I (Arwin dkk, 2008).
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi
menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 10


a) Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi
hipersensitivitas yang terjadi beberapa menit setelah pajanan
antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam
walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.
b) Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat  Mekanisme terjadinya
reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar
diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang
menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi
alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase
cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan
sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi.
Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan
permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
 Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik

Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau


sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari
membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan
metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi yang

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 11


terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang
dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan
melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai
manifestasi klinik (Baratawidjaja, 2009).

Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat
reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan
jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah
sebagai berikut :

i. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau


immune adherence

ii. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell)


yang mempunyai reseptor untuk Fc

iii. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaitu

o Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4


golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa
golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang
mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B
mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang
mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB
tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan
golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang
dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi
tersebut disebut isohemaglutinin. Aglutinin tersebut timbul

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 12


secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang
paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada
ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis
reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi
panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma.
Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang
menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.

o Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh


yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh
yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang
dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan
melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu
partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan
membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan
anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat
melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada
permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan
aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah
dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit.
Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi
lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering
diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

o Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa


orang membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui
fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang
progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 13


dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan
streptomisin dapat diabsorbsi nonspesifik pada protein
membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang
selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan
komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif
(Baratawidjaja, 2009).

o Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada


permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan
kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan
Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit
dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel
darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel
darah merah.

o Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang


bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi
tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan
endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen. Ciri sindrom
ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran
paru. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan
pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi
yang disusul dengan transplantasi.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 14


 Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imun

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks


antigencantibodi c (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan
akumulasi leukosit polimorfonuklear.Kompleks imun dapat
melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen
endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam
sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk
di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks
imun in situ). Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika
kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam
berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya,
ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan
mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola
distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun,
urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya
kompleks imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks imun dalam
sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan di sana
dimusnahkanoleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan
paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 15


dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam
hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu
dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa ganggua
fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks
tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam
sirkulasi untuk jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya.
Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di
jaringan (Baratawidjaja, 2009).

 Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme Manifestasi


klinopatologi
Lupus DNA, Inflamasi diperantarai Nefritis, vaskulitis,
eritematosus nukleoprotein komlplemen dan artritis
reseptor Fc
Poliarteritis Antigen permukaan Inflamasi diperantarai Vaskulitis
nodosa virus hepatitis B komplemen dan
reseptor Fc
Glomreulonefriti Antigen dinding sel Inflamasi diperantarai nefritis
s post- streptokokus komplemen dan
streptokokus reseptor Fc

(Dikutip dari Abbas,2004)

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 16


 Hipersensitivitas Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell


mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau
reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan
dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi
tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan
dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut
limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi
besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang
mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi
kerusakan jaringan.

Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa


jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler
(virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat
menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 17


carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh
antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah
berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel
limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu
(sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh
mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman
(tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes),
infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa
(leishmaniasis, schitosomiasis). Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh
antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel T  CD4+ dan
CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat
mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang
diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T
CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga
terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih
dominan adalah sel T CD8+ (Abbas, 2004)

Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan


kategori hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen.
Reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi
kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya
berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana
inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi
inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1 akan didominasi oleh
makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan
didominasi oleh neutrofil (Abbas, 2004). Reaksi yang terjadi di
hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap: Proliferasi
dan diferensiasi sel T CD4+ sel T CD4+ mengenali susunan peptida
yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang
berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi
proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan antara antigen-

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 18


stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada produksi
sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan
makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi
diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1
dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1,
IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β
untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari
diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di
memory pool selama waktu yang lama (Abbas, 2004).

Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi


pajanan antigen yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari
antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan
sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak
manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi
makrofag yang akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme
yang telah ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut
mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari
antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan
kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. Makrofag juga
memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon dari TH1.

Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk


mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus
menerus maka inflamasi kan berlanjut dan jaringan yang luka akan
menjadi semakin luas. TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen
mikrobial dan bisa juga oleh self-antigen dalam penyakit autoimun.
Sel TH17 akan mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa
sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang
akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga memproduksi
IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).
Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 19


antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting
dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I.
CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut
yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan.
Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi
virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul
MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+.
Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya
infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas,
2004).

Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang  terinfeksi yang


dimediasi oleh sel T melibatkan perforins dan granzymes yang
merupakan granula seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali
sel target akan mensekresikan kompleks yang berisikan perforin ,
granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan
masuk ke sel target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target
perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks.
Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi
caspase, yang akan menginduksi apoptosis dari sel target.
Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan Fas Ligand, molekul
yang homolog denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas expressed
pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi
sitokin (IFN-γ) yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH,
khususnya terhadap infeksi virus dan terekspos oleh beberapa agen
kontak (Abbas, 2004).

Reaksi hipersensitivitas menurut waktu (Karnen, 2006).


Dapat dibagi menurut waktu terjadinya reaksi, yaitu reaksi cepat, intermediet,
dan lambat.
Reaksi cepat

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 20


Terjadi dalam hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam.
Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi
pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasinya dapat berupa anafilaksis
sistemik atau anafilaksis lokal seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan
eksema.
Reaksi intermediet
Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini
melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan
melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh IgG yang
disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK.
Manifestasinya berupa:
a)    Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun.
b)   Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.

Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen.
Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin
yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Manifesstasi klinisnya yaitu dermatitis kontak, reaksi
mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandu

5. Jika seseorang sudah terjangkit alergi sebelumnya kemudian


terpapar kembali. Apakah akan selamanya alergi?
Jawaban :
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas yang alamiah yang
bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik adalah sistem
imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang
memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG,IgA, IgM,IgD, dan IgE) dan

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 21


sistem imun seluler yang di hantarkan oleh sel limfosit T, di mana jika sel
ini bertemu dengan antigen akan menyebabkan diferensiasi dan
menghasilka zat limfokin yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut. Apabila kondisi pertahanan tubuh kita
baik maka alergen masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon tubuh
untuk menghancurkan antigen tersebut yang di perankan oleh sel Limfosit
T , hal tersebut berdampak positif terhadap tubuh. Fenomena ini biasanya
terjadi pada individu yang alergi terhadap makanan terutama makanan
yang mengandung protein tinggi.
Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat terjadi apabila sekresi
enzim untuk mencerna zat yang terkandung dalam makanan khususnya
protein belum dapat bekerja secara maksimal sehingga menimbulkan
alergi dan biasanya banyak di jumpai pada usia anak-anak namun kondisi
ini seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia alergi tersebut akan
membaik secara bertahap karena adanya maturasi enzim dan barier yang
berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tingkat IgE tertinggi terjadi pada masa kanak-kanak
dan cepat turun antara umur 10 hingga 30. (Bakula A., dkk. 2015)
Reaksi alergen akan selamanya terjadi apabila reaksi ini bersifat
herediter. Beberapa individu yang mengalami penyakit atropik atau
bersifat herediter ini akan langsung berhubungan dengan antibodi IgE
yang memberikan respon secara berlebihan terhadap bahan yang dianggap
sebagai alergen seperti penyakit rinitis alergika dan asma alergika,
sehingga penyakit atropik ini dapat itandai dengan kecenderungan tubuh
menghasilkan antibody IgE terhadap factor alergen yang memicu
pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan efek patologi terhadap
tubuh. Faktor pencetus reaksi alergen yang bersifat herediter adalah
apabila salah satu orang tua mengalami riwayat alergi, maka risiko anak
terkena alergi meningkat menjadi 20-40 %, namun apabila kedua orang
tua mengalami riwayat alergi, maka risiko anak mendapat alergi
meningkat lagi menjadi 60-80 persen.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 22


6. Apa saja tipe-tipe syok?
Jawaban :
Syok adalah kondisi di mana tekanan darah turun secara drastis,
sehingga terjadi gangguan aliran darah dalam tubuh. Aliran darah yang
terganggu membuat pasokan nutrisi dan oksigen yang berperan pada sel
dan organ tubuh agar berfungsi secara normal, menjadi terhambat. Syok
dapat memburuk dengan cepat, maka penanganannya harus segera
dilakukan. Jika tidak, syok dapat menyebabkan komplikasi bahkan
kematian.

Penyebab Syok

Penyebab syok dapat berbeda-beda. Berikut adalah penyebab syok


berdasarkan tipenya:

 Syok kardiogenik. Disebabkan oleh gangguan pada jantung, seperti


serangan jantung atau gagal jantung.
 Syok neurogeni. Disebabkan oleh cedera saraf tulang belakang,
akibat kecelakan atau cedera saat beraktivitas.
 Syok anafilaktik. Disebabkan oleh alergi akibat gigitan serangga,
penggunaan obat-obatan, atau makanan maupun minuman.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 23


 Syok sepsis. Disebabkan oleh infeksi yang masuk ke aliran darah,
sehingga tubuh mengalami peradangan atau inflamasi.
 Syok hipovolemik. Disebabkan oleh hilangnya cairan atau darah
dalam jumlah banyak, misalnya akibat diare, perdarahan pada
kecelakaan, atau muntah darah.

Gejala Syok

Pasokan nutrisi dan oksigen yang turun akibat syok dapat


mengakibatkan gejala, antara lain:

 Sesak napas.
 Jantung berdebar, serta denyut nadi menjadi lemah.
 Pusing.
 Kelelahan.
 Bicara kacau, pingsan hingga hilang kesadaran.
 Tekanan darah menurun.
 Bibir dan kuku jari membiru.
 Kulit berkeringat, dingin, dan pucat.

Tergantung penyebabnya, masing-masing dari tipe syok dapat memberikan


gejala tambahan, berupa:

 Syok sepsis: Demam, nyeri otot.


 Syok hipovolemik: Diare, muntah, perdarahan.
 Syok kardiogenik: Denyut jantung melemah, urin yang keluar
hanya sedikit atau tidak sama sekali, nyeri dada.
 Syok neurogenik: Nyeri dada, irama jantung melambat, suhu
tubuh menurun (hipotermia).
 Syok anafilaktik: Kesulitan menelan dan bernapas, sakit pada
perut, hidung berair dan bersin-bersin, bengkak pada lidah atau
bibir, kesemutan pada tangan, kaki, mulut, atau kulit kepala.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 24


IV. Rangkuman Permasalahan
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh
mekanisme imunologis, yakni akibat induksi oleh Ig-E yang spesifik
terhadap antigen tertentu yang berikatan dengan sel mast. Reaksi
hipersensitivitas merupakan peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang belum pernah atau sudah terpajan sebelumnya.
Reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan menjadi empat tipe yakni, cepat,
sitotoksik, kompleks imun, dan lambat. Untuk menghindari terjadinya
alergi terutama karena injeksi obat maka diperlukan skin test terhadap
pasien yang memiliki faktor resiko terjadinya reaksi hipersensitivitas.

Suntikan Pembawa
Petaka

Hipersensitivitas

Definisi, Tanda Diagnosis Komplikasi


Klasifikasi Pemeriksaan Deferensial Patofisiologi Pathogenesis Penatalaksanaan
Dan
Dan Etiologi Gejala Penunjang Dan Diagnosis

V. Learning Issue

1. Apakah definisi dan klasifikasi Hypersensitivitas?

2. Bagaimana etiologi dari hypersensitivitas?

3. Apakah gejala dan tanda hypersensitifitas?

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 25


4. Apakah pemeriksaan penunjang yg tepat untuk Tn. Mura?

5. Apakah DD dan diagnosis dari keadaan Tn. Mura?

6. Bagaimana patofisiologi dari diagnosis Tn. Mura?

7. Apakah penatalaksanaan keadaan Tn. Mura?

8. Apakah komplikasi dari keadaan Tn. Mura

VI. Referensi

Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah respon imunologi yang


berlebihan terhadap suatu bahan dimana seorang individu pernah
tersensitasi oleh bahan tersebut. Saat pasien kontak dengan bahan
tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan bahan vasoaktif lainnya
dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi anafilaktoid secara klinik tak
dapat dibedakan dengan anafilaksis, tetapi reaksi ini dimediasi langsung
oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak melalui sensitasi antibodi IgE
(Bakta, 2014).
Pelepasan sejumlah kecil histamin secara langsung sering dijumpai
pada pemberian obat seperti morfin dan relaksan otot non depolarisasi
(tubokurare, alkuronium, atrakurium). Manifestasi klinik biasanya ringan,
terdiri dari urtikaria (kemerahan dan pembengkakan kulit), biasanya
sepanjang vena, kemerahan pada tubuh dan kadang-kadang hipotensi
ringan (Bakta, 2014).
Berbagai macam obat secara potensial dapat menyebabkan reaksi
alergi tidak terkecuali bahan yang digunakan dalam praktek anestesi, yang
terlibat dalam menyebabkan reaksi anafilaktik antara lain tiopenton,
suksametonium, obat pelumpuh otot non depolarisasi, anestetik lokal
golongan ester, antibiotik, plasma ekspander (dextran, kanji dan glatin)
serta lateks (Bakta, 2014).

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 26


Manifestasi anafilaksis yaitu kesulitan bernafas, edema laring, dan
atau bronkospasme, sering diikuti dengan turunnya tekanan darah atau
syok. Manifestasi pada kulit adanya rasa gatal dan urtikaria dengan atau
tanpa pembengkakan merupakan reaksi anafilaktik sistemik. Manifestasi
pada pencernaan termasuk mual, muntah, kram perut dan diare (Bakta,
2014).
Secara klinis anafilaksis berlangsung cepat dan ditandai dengan
gejala yang tiba-tiba yaitu gatal-gatal, memerah pada wajah, sianosis,
urtikaria diikuti dengan turunnya tekanan darah dengan cepat lalu dapat
juga terdapat edema dengan peningkatan permeabilitas vaskular,
berkembang menjadi obstruksi trakea yang menyebabkan gangguan
pernapasan dilanjutkan dengan hilangnya kesadaran hingga kematian
(Bakta, 2014).

VII. Pembahasan Learning Issue

1. Apakah definisi dan klasifikasi Hypersensitivitas?

Jawaban :
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Klasifikasi reaksi hipersensitivitas menurut Gell & Coombs yang paling
banyak digunakan sebagai acuan membagi reaksi hipersensitivitas menjadi
empat jenis, yakni :
 Reaksi Tipe I
Merupakan reaksi hipersensitivitas tercepat yang melibatkan Ig-E
untuk merilis atau mengeluarkan histamin dan mediator lain dari
sel mast dan basofil. Manifestasi klinisnya berupa :
- Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Terkadang disertai
kejang laring. Bila disertai dengan edema, maka pasien
akan sangat sulit untuk bernapas.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 27


- Urtikaria
- Angiodema
- Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaksis dapat terjadi
beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin diberikan.
 Reaksi Tipe II
Merupakan reaksi hipersensitivitas sitotoksik yang melibatkan Ig-
G dan Ig-M dan terikat pada permukaan sel antigen dengan
memfiksasi komplemen berikutnya.
Manifestasi klinisnya berupa :
- Kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia,
dan eosinofilia.
- Nefritis interstisial.
 Reaksi Tipe III
Merupakan reaksi kompleks imun yang melibatkan sirkulasi
kompleks antigen – antibodi yang tersimpan dalam venula
postcapillary dengan memfiksasi komplemen berikutnya.
Manifestasi klinisnya berupa :
- Urtikaria, angiodema, eritema, dll.
- Demam
- Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi.
- Kejang perut, mual, dll.
 Reaksi Tipe IV
Merupakan reaksi hipersensitivitas lambat yang dimediasi oleh sel
T. Manifestasi klinisnya adalah :
- Paling sering terjadi adalah reaksi dermatitis
- Reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, dll. (Sudoyo,
2015)

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 28


2. Bagaimana etiologi dari hypersensitivitas?

Jawaban :
Reaksi hipersensitifitas atau reaksi imun patologis disebabkann
oleh berbagai jenis antigen yang berbeda dan dapat menyebabkan
berbagai dasar terjadinya abnormalitas.
 Autoimunitas (reaksi terhadap antigen sendiri)
Pada keadaan normal, sistem imun tidak bereaksi terhadap antigen yang
dihasilkan oleh badan sendiri, fenomena ini disebut self tolerance, yang
berarti bahwa tubuh bersifat toleran terhadap antigen diri. Kadang-kadang
toleransi diri gagal sehingga menyebabkan autoimunitas.
 Reaksi terhadap mikroba
Ada berbagai jenis reaksi terhadap mikroba yang dapat menyebabkan
penyakit. Pada sebagian kasus, reaksi imun yang terlalu kuat atau antigen
mikroba menetap maka antibody akan diproduksi terhadap antigen
sehingga antibodi akan bergabung dengan antigen mikroba untuk
membentuk kompleks imun yang akan mengendap di dalam jaringan dan
memicu terjadinya inflamasi. Sel T yang bereaksi terhadap mikroba yang
persisten dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang parah kadang-kadang
disertai dengan pembentukan granuloma, hal ini akan menjadi penyebab
jejas jaringan pada tuberculosis dan infeksi lainnya.
 Reaksi terhadap antigen lingkungan
Sebagian besar individu tidak terlalu terpengaruh terhadap zat-zat yang
biasa terdapat dilingkungan seperti serbuk sari, bahan dari binatang, debu
rumah, obat-obatan atau makanan Namun hampir 20% populasi
mengalami alergi terhadap zat-zat tersebut dan dapat bertindak sebagai
antigen yang merangsang terjadinya respon kekebalan. Adapula di
temukan beberapa individu yang mengalami penyakit atropik atau bersifat
herediter, dimana penyakit ini berhubungan langsung dengan IgE seperti
penyakit rinitis alergika dan asma alergika. Penyakit atropik ini ditandai
dengan kecenderungan tubuh menghasilkan antibody IgE terhadap factor

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 29


alergen yang memicu pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan
efek patologi terhadap tubuh. (Vinay Kumar., dkk. 2013)
Berikut etiologi berdasarkan klasifikasi hipersensitivitas yaitu :
 Hipersensitivitas tipe I
Terjadi akibat adanya antigen yang masuk ke dalam tubuh dan
mengaktivasi subset Th2 dari sel T-Helper (CD4+) yang menyebabkan
produksi antibodi IgE yang akan berikatan dengan reseptor FcIgE pada
permukaan sel mast untuk mengeluarkan berbagai mediator.
 Hipersensitivitas tipe II
Hipersensitivitas ini di sebabkan oleh adanya produksi antibodi IgG dan
IgM yang mengikat antigen dan dapat meningkatkan fagositosis di
permukaan sel tubuh sehingga mempengaruhi fungsi sel yang normal.
 Hipersensitivitas tipe III
Hipersensitivitas ini di sebabkan oleh adanya pengendapan kompleks
antigen-antibodi di pembuluh darad dan di beberapa organ yang
mengaktivasi komplemen dan menyebabkan peradanga akut akibat
produksi imun yang berlebihan.
 Hipersensitivitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV atau bisa juga disebut hipersensitivitas tipe
lambat yang timbul > 24 jam, merupakan reaksi yang di akibatkan oleh
adanya aktivasi limfosit T yang melepaskan Sitokinin yang menyebabkan
aktivasi makrofag dan inflamasi, serta adanya sitotoksitas seluler yang
diperantarai sel T-sitotoksik yang berperan dalam kerusakan jaringan.
(Vinay Kumar., dkk. 2013).

3. Apakah gejala dan tanda hypersensitifitas?

Jawaban :
Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat.
Gejala alergi yang ringan dapat berupa bersin-bersin, hidung meler, gatal-
gatal baik bersifat lokal atau seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 30


alergi lainnya. Gejala alergi dapat dapat terlihat  pada kulit, mata, hidung,
paru-paru dan perut, tergantung pada jenis alerginya. Gejala-gejala alergi
bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :
 Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini
adalah yang  paling umum gejala alergi obat.
 Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
 Demam.
 Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung
dgn kulit necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
 Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Gejala, seperti
hives dan kesulitan  bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam
setelah minum obat, reaksi cepat tanpa  perawatan, dapat masuk ke
shock.
Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :
o Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
o Adanya biduran
o Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik
kulit.
o Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada
penderita demam berdarah dengue.
o Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
o Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar
matahari
o Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
o Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar
yang dalam klinik disebut nekrolisis epidermal toksik.
Gejala alergi yang berbahaya meliputi rekasi anafilaksis. Reaksi
alergi yang sangat berbahaya adalah gejala anafilaksis, gejalanya dapat
berupa shock berupa tekanan darah secara tiba- tiba dan cepat sehingga
membahayakan nyawa si penderita, kepala  pusing dan sang penderita

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 31


terlihat sangat cemas sehingga perlu penanganan yang cepat dan harus
segera di bawa ke klinik atau RS. Gejala alergi anafilaksis paling sering
terjadi  pada gigitan serangga dan alergi obat tertentu namun reaksi
anafilaksis akibat minum obat tersangat jarang terjadi. Kerasnya reaksi
alergi, gejala dapat sangat bervariasi. Gejala ringan mungkin tidak begitu
terlihat, hanya membuat tubuh merasa sedikit sakit. Gejala sedang dapat
membuat tubuh merasa sakit, seolah-olah mendapat flu atau bahkan
dingin.sedangkan gejala parah dari reaksi alergi akan menimbulkan rasa
yang sangat tidak nyaman, bahkan melumpuhkan. Kebanyakan gejala
reaksi alergi menghilang tak lama setelah berhenti eksposur. Reaksi alergi
yang paling parah disebut anafilaksis. Anafilaksis dapat mengancam jiwa
dan memerlukan perhatian medis segera. Penanganan cepat sangat  penting
untuk anafilaksis. Jika tidak ditangani secara cepat, anafilaksis dapat
menyebabkan koma atau kematian Gejala dapat berkembang pesat. Dalam
anafilaksis, alergen menyebabkan reaksi alergi seluruh tubuh.

4. Apakah pemeriksaan penunjang yg tepat untuk Tn. Mura?

Jawaban :
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien alergi di
bagi menjadi 2 yaitu in vivo dan in vitro:
Pemeriksaan In Vitro
 Pemeriksaan hitung eosinofil total, perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit
alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih
dari 450 eosinofil/µL.1 Hitung eosinofil total dengan kamar hitung
lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan
apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total.
 Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung
merupakan indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia
darah tepi, dan dapat membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 32


penyebab lain. Meskipun demikian tidak dapat menentukan
alergen penyebab yang spesifik. Esinofilia nasal pada anak apabila
ditemukan eosinofil lebih dari 4% dalam apusan sekret hidung,
sedangkan pada remaja dan dewasa bila lebih dari 10%.
 Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit
alergi sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis
penyakit alergi.1,2 Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar
IgE tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih
tinggi dibandingkan rinitis alergi.1 Meskipun rerata kadar IgE
total pasien alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien
non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi
alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total
rendah.1,5 Kadar IgE total didapatkan normal pada 50% pasien
alergi, dan sebaliknya meningkat pada penyakit non-alergi (infeksi
virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).
 Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat
dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro
dengan metode RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA
(Enzyme-linked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim.2,5
Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan
hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit

Pemeriksaan In Vivo

- Uji kulit :
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu
berlekatan dengan reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien
dengan alergi. Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit pasien
yang alergi dengan alergen akan menimbulkan hubungan silang
antara alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya
mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai preformed
dan newly generated mediator.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 33


Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi
wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif).
Reaksi kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam
waktu 20 menit dan mereda setelah 20-30 menit. Terdapat 3 cara
untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (skin
prick test/SPT), dan uji gores (scratch test).
- Uji kulit intradermal:
0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke dalam lapisan
dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm.1,6 Dimulai
dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu
ditingkatkan berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga
berindurasi 5-15 mm.Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif
dibanding skin prick test (SPT), namun tidak direkomendasikan
untuk alergen makanan karena dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.
Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena kurang
akurat.

5. Apakah DD dan diagnosis dari keadaan Tn. Mura?

Jawaban :
Jadi dari gejala, tanda, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan terhadap Tn. Mura, Diagnosis Differensialnya
yaitu, Hipersensitivitas tipe 1, Anafilaksis, Syok anafilaktik,
Hipoglikemia, Syok hipovolemik, Reaksi vasofagal dan Infark miokard.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 34


Syok
Hipersensitivitas tipe 1 Anafilaksis Hipoglikemia
anafilaktik
Definisi Tubuh terlalu Bentuk terberat Manifestasu Terminologi
hipersensitif dalam dari reaksi obat klinis dari glinis akibat
berekasi secara yang merupakan anafilaksis menurunya
imunologi terhadap keadaan darurat kadar glukosa
bahan-bahan yang yang dapat darah sampai
nonimunologi mengancam nyawa. tingkat tertentu.
Etiologi Reaksi antigen dengan Penyebab Sifat allergen Obat-obatan
IgE utamanya obstruksi diabetes.
Riwayat atopi
saluran nafas.
dan Intake kalori
keseimbangan yang kurang.
paparan alergen
Infeksi berat,
gagal ginjal dan
hepar.

Manifestasi Kejang bronkus, kejang Lesu, lemah, rasa Hipotensi Gemetaran


klinik laring tak enak di dada
Kolaps sirkulasi Kulit lembab
dan perut.
Urtikaria sirkulasi dan pucat
Hidung gatal,
Angiodema Bintik Rasa cemas
bersin, suara serak,
kemerahan
Pingsan dan hipotensi sesak nafas, stridor Keringat
dan edem. Pembengkakan berlebih
bibir, uvula
Pingsan, sinkop, Rasa lapar
palpitasi, TD menurun
takikardia, Mudah
hipotensi sampai RR : terangsang
syok. bronkospasme
Pengelihatan
Mual, muntah, kabur.
kolik, diare yang di
sertai darah.
Tanda-tanda infark
miokard.
Urtika, angioedema
di bibir dan muka.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 35


Syok hipovolemik Reaksi vasofagal Infark miokard

Definisi Terganggunya sistem Mekanisme tubuh yang Suatu kejadian keadaan


sirkulasi akibat dari di timbulkan akibat dimana suplai darah pada
volume darah dalam adanya rangsangan suatu bagian jantung
pembuluh darah yang terhadap saraf vagus. terhenti sehingga sel otot
berkurang. jantung mengalami
kematian.
Etiologi Perdarahan yang massif Suhu lingkungan yang Plak arterosklerosis
panas
Kehilangan plasma ( luka Thrombus
bakar, pancreatis, sindrom Terkejut
Emboli arteri coronaria
dumping )
Takut
Anomali arteri coronaria
Kehilangan cairan
Nyeri hebat karena kongenital, spasme
ekstraseluler ( muntah,
coronaria terisolasi
dehidrasi, diare, diabetes Trauma kepala
insipidus, insufisiensi Gangguan hematologi
adrenal. Stres emosi
Inflamasi iskemik.
Manifestasi Takikardia ringan Tanpak mau pingsan Nyeri dada dengan atau
klinik tanpa penjalaran
Syok Berkeringat
Sesak
Tekanan darah menurun Pucat
Tidak adanya obstruksi
Nadi lambat
saluran nafas.
Hipotensi tetapi tidak
terlalu rendah dan masih
dapat di ukur.

Diagnosis Tn. Mura adalah anafilaksis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2


organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu
menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology telah membuat suatu kriteria.

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa


menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 36


kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu
dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan
darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara
mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut
(beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa
kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal
yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar


pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok
anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah
(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara
pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
(American Academy of Allergy, Asthma and Immunology).

6. Bagaimana patofisiologi dari diagnosis Tn. Mura?

Jawaban :

Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase


sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor.  Fase sensitisasi merupakan
waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 37


reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan. Fase aktivasi merupakan
waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan
sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan
menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang antara
antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel
mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.

1. Fase Sensitisasi
Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap
antigen yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa
saluran nafas, selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan
fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis
setelah terpapat alergen dari udara. Respom-respon yang berbeda
tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T
dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak
alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah karena
dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).
Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak
berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan,
individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE
dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit
ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di
mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut
dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif
apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.
2. Fase Aktivasi
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen
menunjukan derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon
anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala
yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan.Efektor

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 38


utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada
jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan
saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan.Ikatan
Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil
mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE
dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan
hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa
berupa:

 hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab


molekul IgE
 hubungan silang dengan antibodi anti IgE
 hubungan silang dengan antibodi-antireseptor

Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan


IgE atau reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan
aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan
bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik
seperi suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit
seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin.

Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor


diawali dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari
metilasi fosfolipid yang diikuti masuknya ion Ca++ dalam sel.
Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi tersebut.
Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat
degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi.
Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP
menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam peristiwa
anafilaksis.

3. Fase Efektor

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 39


Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan
farmakologik aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang
teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit
dan basofil dalam fase efektor.

Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I1

Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain
histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat
memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan
PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast  dan mekanisme
aksinya adalah sebagai  berikut:

 Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF,


Leukotrien C4 D4 E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan
kinin, prostaglandin D2.
 Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PAF
 Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor kemotaktik
eosinofil dan netrofil.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 40


A. Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)
Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase
aktivasi, terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi
fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi
fosfolipase. Dalam fase ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa
enzim diaktifkan dan menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar
cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan
cAMPakan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan
memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan
tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi
akibat pengaruh dari anafilatoksis, c3a dan c5a. Histamin merupakan
komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul.
Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi
berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukan
berbagai efek. Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di
antaranya adalah bintul dan kemerahan kulit di samping pengaru lain seperti
perangsangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada
saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontaksi  otot-
otot polos dan kelenjar saluran pernafasan. Pengaruh histamin pada sel-sel
sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada membran mastosit
terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik negatif.
Hal tersebut karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru
menghambat pelepasan histamin oleh sel mastosit tersebut.
Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat
mastosit teraktivasi. Ada dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor
id anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic
factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam2-8 jam, terjadi
kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24
jam yang lebih dominan adalah sel limfosit. Meski dilepaskan secara cepat,

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 41


inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya akan
lebih penting dalam reaksi tahap lambat.
B. Mediator Jenis Kedua
Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas
apabila ada kenaikan kadar NaCl. Mediator ini mencakup heparin,
kemotripsin, tripsin dan IF-A (inflammatory factor of anaphylaxis). IFA-A
memiliki potensi kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan
berperan dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat
mediator ini memiliki pengaruh lebih lama di jaringan. Dalam reaksi tahap
lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat juga
keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum,
mediator yang dilepaskan akan berperan daam vaodilatasi dan peningkatan
permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan eosinofil

C. Mediator Jenis Ketiga


Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam
arakhidonat yang bersumber dari fosfolipid membran sel. Asam
arakhidonat ini menjadi substrat enzim siklooksigenase dan
lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin
dan tromboxan yang menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus
pembuluh darah.1,2 Sedangkan aktivasi lipooksigenase akan menghasilkan
leukotrien. Leuktrien C,D, dan E seringkali disebut sebagai SRS-A (slow
reactive substance of anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari
histamin. LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas
vaskular dan produksi mukus. Leuktrien B4 mempunyai efek kemotaktik
untuk sel netrofil dan eosinofil dan mempercepat ekspresi reseptor untuk
C3b pada permukaan sel tersebut.
Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil
merupakan yang paling penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan
kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel mast.
Eosinofil membebaskan enzim proteolitik berupa major basic protein dan

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 42


eosinofil catationic protein yang bersifat toksik terhadap sel epitel.
Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga menghasilkan leukotrien C4 dan
PAF yang secara langsung mengaktifkan sel mast untuk melepaskan
mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi
dan menjaga respon inflamasi tanpa tambahan eksposure antigen pemicu.

7. Apakah penatalaksanaan keadaan Tn. Mura?


Jawaban :
Penatalaksanaan :
 Terapi segera terhadap reaksi yang berat
 Hentikan pemberian bahan penyebab dan minta pertolongan
 Lakukan resusitasi ABC
 Adrenalin sangat bermanfaat dalam mengobati anafilaksis, juga
efektif pada bronkospasme dan kolaps kardiovaskuler.
a. Saluran Napas dan Adrenalin
 Menjaga saluran napas dan pemberian oksigen 100%
 Adrenalin. Jika akses IV tersedia, diberikan adrenalin 1 : 10.0000,
0.5 –1 ml, dapat diulang jika perlu. Alternatif lain dapat diberikan
0,5 –1 mg (0,5 –1 ml dalam larutan 1 : 1000) secara IM diulang
setiap 10 menit jika dibutuhkan
b. Pernapasan
 Jamin pernapasan yang adekuat. Intubasi dan ventilasi mungkin
diperlukan
 Adrenalin akan mengatasi bronkospasme dan edema saluran napas
atas.
 Bronkodilator semprot (misalnya salbutamol 5 mg) atau aminofilin
IV mungkin dibutuhkan jika bronkospasme refrakter (dosis muat 5
mg/kg diikuti dengan 0,5 mg/kg/jam).
c. Sirkulasi

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 43


 Akses sirkulasi. Mulai CPR jika terjadi henti jantung.
 Adrenalin merupakan terapi yang paling efektif untuk hipotensi
berat.
 Pasang 1 atau dua kanula IV berukuran besar dan secepatnya
memberikan infus saline normal
 Koloid dapat digunakan (kecuali jika diperkirakan sebagai sumber
reaksi anafilaksis)
 Aliran balik vena dapat dibantu dengan mengangkat kaki pasien
atau memiringkan posisi pasien sehingga kepala lebih rendah.
 Jika hemodinamik pasien tetap tidak stabil setelah pemberian
cairan dan adrenalin, beri dosis adrenalin atau infus intravena
lanjutan (5 mg dalam 50 ml saline atau dekstrose 5% melalui
syringe pump, atau 5 mg dalam 500 ml saline atau dekstrose 5%
yang diberikan dengan infus lambat). Bolus adrenalin intravena
yang tidak terkontrol dapat membahayakan, yaitu kenaikan tekanan
yang tiba-tiba dan aritmia. Berikan obat tersebut secara berhati-
hati, amati respon dan ulangi jika diperlukan. Coba lakukan
monitor EKG, tekanan darah dan pulse oximtry.
Penatalaksanaan Lanjut :
 Berikan antihistamin. H1 bloker misalnya klorfeniramin (10 mg
IV) dan H2 bloker ranitidin (50 mg IV lambat) atau simetidin (200
mg IV lambat).
 Kortikosteroid. Berikan hidrokortison 200 mg IV diikuti dengan
100 – 200 mg 4 sampai 6 jam. Steroid memakan waktu beberapa
jam untuk mulai bekerja.
 Buat keputusan apakah membatalkan atau melanjutkan usulan
pembedahan.
 Pindahkan pasien di tempat yang perawatannya yang lebih baik
(misalnya unit perawatan intensif, ICU) untuk observasi dan terapi
lebih lanjut. Reaksi anafilaktik mungkin memakan waktu beberapa

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 44


jam untuk dapat diatasi dan pasien harus diobservasi secara ketat
pada masa-masa tersebut. (Syamsul, 2016)
Reaksi yang tidak terlalu berat
Anafilaksis kadang-kadang menimbulkan reaksi yang tidak terlalu
berat. Terapi serupa dengan regimen di atas, tetapi adrenalin IV
mungkin tidak dibutuhkan. Lakukan tindakan ABC seperti yang telah
dijelaskan, dan nilai respon terhadap terapi tersebut. Obat seperti
efedrin dan metoksamin mungkin efektif untuk mengatasi hipotensi
bersama dengan cairan IV. Tetapi, jika keadaan pasien menunjukkan
perburukan gunakan selalu adrenalin. (Syamsul, 2016)

8. Apakah komplikasi dari keadaan Tn. Mura?


Jawaban :
Komplikasi dari syok analifatik
Dapat mengganggu beberapa organ seperti
Sistem pernapasan
Peradangan pada sistem pernapasan dapat menyebabkan
jaringan bronkial membengkak. Gejala termasuk sesak napas dan
kesulitan bernapas. Hal ini juga dapat menyebabkan adanya cairan di
paru-paru (edema paru) dan batuk. Anda dapat mengeluarkan suara
bernada tinggi atau mengi saat Anda bernapas. Perasaan sesak di dada
dan nyeri dada biasa terjadi. Gangguan pernapasan adalah keadaan
darurat yang mengancam jiwa yang membutuhkan perhatian medis
segera. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan serangan pernapasan.
Pasien dengan asma berada pada risiko mengalami gangguan
pernapasan.
Kulit (sistem integumen)
Salah satu tanda lebih jelas dari anafilaktik dapat dilihat pada
kulit. Gejalanya mungkin mulai muncul sebagai gatal dan kemerahan,
atau hanya pemanasan ringan pada kulit. Hal ini dapat berkembang
menimbulkan bekas, atau gatal-gatal pada kulit yang menyakitkan

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 45


ketika Anda menyentuhnya. Jika sistem pernapasan Anda terganggu,
kulit mungkin membiru karena kekurangan oksigen. kulit pucat berarti
Anda akan shock.
Sistem sirkulasi darah
Dalam anafilaktik, pembuluh darah kecil (kapiler) mulai
mengalami kebocoran darah ke jaringan Anda. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan tiba-tiba dan dramatis pada tekanan darah.
Gejala lain termasuk denyut nadi cepat atau lemah dan jantung
berdebar. Ketika organ utama tidak mendapatkan darah dan oksigen
yang mereka butuhkan untuk berfungsi, tubuh Anda akan mengalami
syok anafilaktik. Kondisi ini adalah keadaan medis darurat yang
mengancam jiwa. Jika tidak diobati, Anda berisiko besar mengalami
kerusakan organ internal atau serangan jantung.
Sistem pencernaan
Bahkan jika reaksi Anda biasanya ringan, alergi makanan
menempatkan Anda pada peningkatan risiko anafilaktik. Gejala alergi
sistem pencernaan meliputi kembung, kram, dan sakit perut. Anda juga
mungkin mengalami mual, muntah, atau diare.
Sistem saraf pusat
Bahkan sebelum gejala fisik pertama terjadi, beberapa orang
memiliki perasaan yang aneh – rasa bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi. Beberapa kasus lainnya merasakan rasa logam di mulut
mereka. Peradangan pada sistem saraf pusat dapat membuat Anda
pusing atau kepala terasa ringan. Beberapa orang mengalami sakit
kepala. Mungkin ada pembengkakan mata. Bibir dan lidah bisa
membengkak sehingga membuat sulit untuk berbicara. Jika
tenggorokan membengkak, ia dapat memblok saluran pernapasan
Anda. anafilaktik dapat menyebabkan kebingungan mental,
kecemasan, dan kelemahan. Gejala lain termasuk bicara cadel, suara
serak, dan kesulitan berbicara. Seiring tubuh Anda mengalami shock,
kehilangan kesadaran akan terjadi.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 46


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Reaksi anafilaktik atau anafilaksis
adalah respon imunologi yang berlebihan terhadap suatu bahan dimana
seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut. Saat pasien
kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan bahan
vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi
anafilaktoid secara klinik tak dapat dibedakan dengan anafilaksis, tetapi
reaksi ini dimediasi langsung oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak
melalui sensitasi antibodi IgE.
Pelepasan sejumlah kecil histamin secara langsung sering
dijumpai pada pemberian obat seperti morfin dan relaksan otot non
depolarisasi (tubokurare, alkuronium, atrakurium). Manifestasi klinik
biasanya ringan terdiri dari urtikaria (kemerahan dan pembengkakan
kulit), biasanya sepanjang vena, kemerahan pada tubuh dan kadang
kadang hipotensi ringan.
Berbagai macam obat secara potensial dapat menyebabkan reaksi
alergi tidak terkecuali bahan yang digunakan dalam praktek anestesi,
yang terlibat dalam menyebabkan reaksi anafilaktik antara lain tiopenton,
suksametonium, obat pelumpuh otot non depolarisasi, anestetik lokal
golongan ester, antibiotik, plasma ekspander (dextran, kanji dan glatin)
serta lateks.

SUNTIKAN MEMBAWA PETAKA Page 47

Anda mungkin juga menyukai