PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui pentingnya
mempelajari mengenai definisi syok anafilaksis, etiologi, diagnosa banding,
penatalaksanaan, hingga edukasi kepada pasien.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari laporan ini, yaitu:
1. Agar mengetahui definisi syok anafilaksis
2. Agar mengetahui etiologi syok anafilaksis
3. Agar mengetahui patofisiologi syok anafilaksis
4. Agar mengetahui gejala dan tanda dari syok anafilaksis
5. Agar mengetahui tatalaksana dari syok anafilaksis
6. Agar mengetahui edukasi dari syok anafilaksis
PEMBAHASAN
Hari/Tanggal
Sesi 1 : Senin, 5 November 2018
Sesi 2 : Rabu, 7 November 2018
Tutor : dr. Ida Ayu Made Mahayani, S.Ked
Moderator : Ilman Rahaswin Bolkiah
Sekretaris : Luh Putu Pande Sintia Indriyani
LBM 8
Keluarga Tn. Mura tidak mengetahui tentang riwayat alergi obat yang
diderita Tn. Mura, dan Tn. Mura baru pertama kali ini mendapatkan obat melalui
suntikan.
I. Klarifikasi Istilah
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat
reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan
jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah
sebagai berikut :
o Reaksi Transfusi
o Reaksi Obat
o Sindrom Goodpasture
Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen.
Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin
yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan
kerusakan jaringan. Manifesstasi klinisnya yaitu dermatitis kontak, reaksi
mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandu
Penyebab Syok
Gejala Syok
Sesak napas.
Jantung berdebar, serta denyut nadi menjadi lemah.
Pusing.
Kelelahan.
Bicara kacau, pingsan hingga hilang kesadaran.
Tekanan darah menurun.
Bibir dan kuku jari membiru.
Kulit berkeringat, dingin, dan pucat.
Suntikan Pembawa
Petaka
Hipersensitivitas
V. Learning Issue
VI. Referensi
Jawaban :
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas
terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Klasifikasi reaksi hipersensitivitas menurut Gell & Coombs yang paling
banyak digunakan sebagai acuan membagi reaksi hipersensitivitas menjadi
empat jenis, yakni :
Reaksi Tipe I
Merupakan reaksi hipersensitivitas tercepat yang melibatkan Ig-E
untuk merilis atau mengeluarkan histamin dan mediator lain dari
sel mast dan basofil. Manifestasi klinisnya berupa :
- Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Terkadang disertai
kejang laring. Bila disertai dengan edema, maka pasien
akan sangat sulit untuk bernapas.
Jawaban :
Reaksi hipersensitifitas atau reaksi imun patologis disebabkann
oleh berbagai jenis antigen yang berbeda dan dapat menyebabkan
berbagai dasar terjadinya abnormalitas.
Autoimunitas (reaksi terhadap antigen sendiri)
Pada keadaan normal, sistem imun tidak bereaksi terhadap antigen yang
dihasilkan oleh badan sendiri, fenomena ini disebut self tolerance, yang
berarti bahwa tubuh bersifat toleran terhadap antigen diri. Kadang-kadang
toleransi diri gagal sehingga menyebabkan autoimunitas.
Reaksi terhadap mikroba
Ada berbagai jenis reaksi terhadap mikroba yang dapat menyebabkan
penyakit. Pada sebagian kasus, reaksi imun yang terlalu kuat atau antigen
mikroba menetap maka antibody akan diproduksi terhadap antigen
sehingga antibodi akan bergabung dengan antigen mikroba untuk
membentuk kompleks imun yang akan mengendap di dalam jaringan dan
memicu terjadinya inflamasi. Sel T yang bereaksi terhadap mikroba yang
persisten dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang parah kadang-kadang
disertai dengan pembentukan granuloma, hal ini akan menjadi penyebab
jejas jaringan pada tuberculosis dan infeksi lainnya.
Reaksi terhadap antigen lingkungan
Sebagian besar individu tidak terlalu terpengaruh terhadap zat-zat yang
biasa terdapat dilingkungan seperti serbuk sari, bahan dari binatang, debu
rumah, obat-obatan atau makanan Namun hampir 20% populasi
mengalami alergi terhadap zat-zat tersebut dan dapat bertindak sebagai
antigen yang merangsang terjadinya respon kekebalan. Adapula di
temukan beberapa individu yang mengalami penyakit atropik atau bersifat
herediter, dimana penyakit ini berhubungan langsung dengan IgE seperti
penyakit rinitis alergika dan asma alergika. Penyakit atropik ini ditandai
dengan kecenderungan tubuh menghasilkan antibody IgE terhadap factor
Jawaban :
Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat.
Gejala alergi yang ringan dapat berupa bersin-bersin, hidung meler, gatal-
gatal baik bersifat lokal atau seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala
Jawaban :
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien alergi di
bagi menjadi 2 yaitu in vivo dan in vitro:
Pemeriksaan In Vitro
Pemeriksaan hitung eosinofil total, perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit
alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih
dari 450 eosinofil/µL.1 Hitung eosinofil total dengan kamar hitung
lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan
apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total.
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung
merupakan indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia
darah tepi, dan dapat membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat
Pemeriksaan In Vivo
- Uji kulit :
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu
berlekatan dengan reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien
dengan alergi. Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit pasien
yang alergi dengan alergen akan menimbulkan hubungan silang
antara alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya
mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai preformed
dan newly generated mediator.
Jawaban :
Jadi dari gejala, tanda, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan terhadap Tn. Mura, Diagnosis Differensialnya
yaitu, Hipersensitivitas tipe 1, Anafilaksis, Syok anafilaktik,
Hipoglikemia, Syok hipovolemik, Reaksi vasofagal dan Infark miokard.
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara
mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut
(beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa
kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal
yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Jawaban :
1. Fase Sensitisasi
Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap
antigen yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa
saluran nafas, selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan
fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis
setelah terpapat alergen dari udara. Respom-respon yang berbeda
tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T
dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak
alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah karena
dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).
Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak
berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan,
individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE
dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit
ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di
mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut
dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif
apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.
2. Fase Aktivasi
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen
menunjukan derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon
anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala
yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan.Efektor
3. Fase Efektor
Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain
histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat
memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan
PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme
aksinya adalah sebagai berikut:
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Reaksi anafilaktik atau anafilaksis
adalah respon imunologi yang berlebihan terhadap suatu bahan dimana
seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut. Saat pasien
kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan bahan
vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi
anafilaktoid secara klinik tak dapat dibedakan dengan anafilaksis, tetapi
reaksi ini dimediasi langsung oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak
melalui sensitasi antibodi IgE.
Pelepasan sejumlah kecil histamin secara langsung sering
dijumpai pada pemberian obat seperti morfin dan relaksan otot non
depolarisasi (tubokurare, alkuronium, atrakurium). Manifestasi klinik
biasanya ringan terdiri dari urtikaria (kemerahan dan pembengkakan
kulit), biasanya sepanjang vena, kemerahan pada tubuh dan kadang
kadang hipotensi ringan.
Berbagai macam obat secara potensial dapat menyebabkan reaksi
alergi tidak terkecuali bahan yang digunakan dalam praktek anestesi,
yang terlibat dalam menyebabkan reaksi anafilaktik antara lain tiopenton,
suksametonium, obat pelumpuh otot non depolarisasi, anestetik lokal
golongan ester, antibiotik, plasma ekspander (dextran, kanji dan glatin)
serta lateks.