Anda di halaman 1dari 47

BAB II

ISI

2.1 Definisi

Cutaneous larva migrans (CLM) adalah penyakit pada kulit manusia atau

hewan lain yang ditandai dengan garis pruritus yang tipis dan cekung,

berkenaan dengan pergerakan larva parasit secara subkutan. Penyebab yang

umum adalah cacing tambang kucing dan anjing, Ancylostoma braziliense

yang menjalar membuat saluran di bawah kulit, tetapi migrasinya tidak

pernah sempurna sampai ke usus. Disebut juga ox-warble atau sandworm

disease dan creeping eruption. (Dorland, 2010)

Cutaneous larva migrans atau creeping eruption adalah erupsi atau

peradangan di kulit berbentuk penjalaran serpiginosa, linier atau berkelok-

kelok, menimbul dan progresif, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap

invasi larva cacing atau nematodes (roundworms) atau produknya. Larva

cacing tersebut berasal dari feses kucing atau anjing. Umumnya mampu

menginvasi kulit di kaki, tangan, bokong atau abdomen. (Aisah, 2016)

Menurut Caumes dan Danis istilah creeping eruption dan cutaneous

larva migrans adalah untuk menggambarkan tanda klinis dan sindrom, untuk

masing-masing istilah; sedangkan penyakit yang sekarang disebut sebagai


creeping eruption dan cutaneous larva migrans harus diganti namanya

menjadi cutaneous larva migrans terkait cacing tambang/hookworm-related

cutaneous larva migrans (HrCLM). (Caumes & Danis, 2012)


2.2 Epidemiologi

Cacing tambang anjing dan kucing terdapat diseluruh dunia, walaupun

spesies cacing tambang memiiki distribusi geografik yang berbeda-beda. A.

braziliense ditemukan di iklim yang panas sepanjang Atlantik tapi tidak di

laut pasifik Amerika bagian Timur, sepanjang Karibia, hingga Amerika

Selatan. Studi terhadap hewan, A. braziliense juga dilaporkan di Afrika,

Australia dan Asia Tenggara. A. caninum ditemukan pada anjing yang berada

pada iklim panas, sedangkan distribusi dari U. stenocephala berada pada

iklim dingin dari Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Asia, Australia dan

Selandia Baru. Kemudian ada Ancylostoma ceylanicum ditemukan di Asia

(India, Taiwan, Thailand, Malaysia, Borneo, Indonesia), Australia dan

Amerika Selatan (Surinam). (Montgomery, 2012, Bowman, 2014)

Secara geografis, distribusi CLM lebih di dominasi oleh Ancylostoma

braziliense dan insiden tersebut sebenarnya sulit diketahui. Sebuah penelitian

telah melaporkan bahwa lebih dari 17.000 wisatawan yang kembali dalam

keadaan sakit menunjukkan bahwa CLM akibat cacing tambang terjadi pada

2-3% dari mereka, dengan prevalensi tertinggi yaitu pada mereka yang baru
kembali dari Carribbean, diikuti Asia Tenggara dan Amerika Tengah.

(Heukelbach & Feldmeier, 2012)

Sedangkan kejadian di Indonesia telah dilaporkan oleh Amelia Sagita

Putri dan Hanna Mutiara di Lampung, Indonesia pada tahun 2016, didapatkan

seorang pasien perempuan usia 15 tahun yang datang dengan keluhan

terdapat bintil-bintil kemerahan yang memanjang membentuk terowongan

yang berkelok-kelok pada paha kanan dan terasa gatal terutama pada malam

hari. Sebelumnya pasien memiliki riwayat berguling-guling di tanah saat

acara kemah sekolah, setelah itu muncul keluhan-keluhan tersebut. (Putri &

Mutiara, 2016)

Berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa cutaneous larva

migrans telah tersebar di hampir semua negara beriklim tropis dan subtropis,

misalnya Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia

dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada invasi ini tidak terdapat

perbedaan ras, usia maupun jenis kelamin karena CLM tergantung pada

paparan. Namun menurut hasil penelitian Felix Reichert dkk di Timur Laut

Brazil, CLM dibedakan berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan


prevalensi tertinggi sebesar 25,6% pada anak laki-laki umur 10-14 tahun.

(Aisah, 2016, Reichert, et all., 2016)

Meskipun penyakit ini tidak dilaporkan secara teratur, CLM bersifat

endemik dan menyebabkan masalah yang signifikan bagi masyarakat yang

kurang mampu di negara berkembang seperti Brazil, India, dan Hindia Barat.

Di daerah yang kurang maju di dunia, anjing dan kucing sering bebas

berkeliaran dan memiliki resiko tinggi terinfeksi cacing tambang yang

menyebabkan kontaminasi di hampir seluruh pasir dan tanah. Dalam sebuah

survei dari penduduk pedesaan di Brasil, prevalensi CLM selama musim

hujan adalah 14,9% di antara anak-anak berusia kurang dari 5 tahun dan 0,7%

di antara orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun. Sedangkan di negara-

negara maju, CLM terjadi secara sporadis atau dalam bentuk epidemik yang

kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan dengan wisatawan yang telah

mengunjungi daerah dengan kondisi iklim yang tidak umum seperti musim

semi atau hujan yang memanjang. Penyakit ini sering terjadi di daerah

dimana anjing dan kucing liar atau peliharaan tidak diberikan anthelmintik

secara teratur. (CDC, 2012, Heukelbach & Feldmeier, 2012)


2.3 Etiologi

Penyebab utama cutaneous larva migrans adalah larva yang berasal dari

cacing tambang yang hidup di usus anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma

braziliense dan Ancylostoma caninum. Di Asia Timur, umumnya disebabkan

oleh gnastostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan

Echinococcus, Strongyloides sterconalis, Dermatobia maxiales dan Lucilia

caesar. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat,

misalnya Castrophilus (the horse boot fly) dan cattle fly. (Aisah, 2016)

2.3.1 Morfologi

Cacing dewasa Ancylostoma caninum mempunyai predileksi pada

mukosa usus halus anjing, rubah, anjing hutan, serigala dan hewan

karnivora liar lainnya di seluruh dunia. A. caninum mempunyai tiga

pasang gigi; panjang cacing jantan berukuran sekitar 10 mm dengan

spikulum/bursa kopulatriks dan cacing betina berukuran sekitar 14 mm

(Gambar 1a). Cacing betina dewasa meletakkan rata-rata 16.000 telur

setiap harinya. Ukuran telur dari A.caninum sekitar 60 × 40 µm

(Gambar 1b). (Bowman, 2016, Palgunadi, 2010, Supali et all., 2013).


Ancylostoma braziliense

mempunyai predileksi pada usus halus anjing, kucing dan berbagai

carnivora liar lainnya. Cacing ini mirip Ancylostoma caninum tetapi

bukal capsulnya memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral, yang

sebelah lateral besar dan sebelah medial sangat kecil, selain itu

mempunyai sepasang gigi segitiga didasar bukal kapsul (Gambar 2a).

Cacing betina berukuran 9-10,5 mm dan cacing jantan 7,5-8,5 mm.


Cacing betina dapat mengeluarkan telur 4.000 butir setiap hari. Ukuran

telur dari A. braziliense sekitar 60 µm × 4 µm (Gambar 2b). Suhu yang

dibutuhkan untuk perkembangan cacing ini lebih tinggi dari pada

Ancylostoma caninum (Bowman, 2016, Palgunadi, 2010, Supali et all.,

2013).
2.3.2 Faktor Resiko

1. Faktor perilaku

a) Tidak menggunakan alas kaki

Infeksi pada manusia biasanya terjadi setelah bagian tubuh

(kaki, bokong atau punggung, dll) kontak dengan tanah, terutama

di tanah yang lembab dan daerah berpasir yang telah


terkontaminasi dengan kotoran anjing atau kucing yang terinfeksi.

(Kudrewicz, 2015)

b) Pengobatan tidak teratur terhadap hospes definitif

Anjing dan kucing merupakan penyebab utama penularan CLM

pada manusia. Salah satu faktor terjadinya penularan yaitu hospes

tidak diberikan obat anti cacing secara teratur atau bahkan hospes

tersebut tidak pernah diberikan pengobatan sama sekali. (CDC,

2012)

c) Berkunjung ke daerah tropis atau pesisir pantai

Larva penyebab CLM sangat banyak terdapat di daerah tropis

atau subtropis yang hangat dan lembab. Infeksi sering terlihat pada

wisatawan yang sering berjalan kaki tanpa menggunakan

sandal/sepatu dan berjemur tanpa menggunakan alas di pesisir

pantai yang terdapat banyak anjing dan kucing berkeliaran. Hampir

sepertiga dari wisatawan mengalami gejala lebih dari 4 minggu

sebelum diagnosis ditegakkan. (McCarthy & Moore, 2011)

2. Faktor lingkungan
a) Keberadaan hospes definitif

Manusia mulai memiliki anjing dan kucing peliharaan sejak

zaman prasejarah, dan ikatan yang erat antara manusia dan host

definitif tersebut telah memfasilitasi penyebaran infeksi zoonosis

di seluruh dunia. Populasi anjing dan kucing peliharaan sampai

yang liar di daerah endemik cutaneus larva migrans yang

disebabkan cacing tambang sangat beragam. Dengan demikian,

sikap manusia terhadap anjing dan kucing memiliki peran yang

sangat penting dalam mengurangi penyebaran penyakit zoonosis.

(Heukelbach & Feldmeier, 2012)

b) Cuaca atau iklim lingkungan

Telur cacing tambang memerlukan lingkungan yang

melindunginya dan cuaca untuk pertumbuhannya menjadi larva

yang infektif. Kasus sporadis CLM akibat cacing tambang yang

berasal dari negara itu sendiri (autochthonous), yang terjadi di

negara-negara maju dengan iklim lembab, biasanya berhubungan

dengan kondisi iklim yang tidak menentu, misalnya periode cuaca

panas maupun hujan berkepanjangan. (Reichert, et all., 2016,

Heukelbach & Feldmeier, 2012)


Jika masih terjadi peningkatan suhu global sepanjang dekade

berikutnya, diperkirakan terjadi peningkatan kejadian CLM akibat

cacing tambang di negara-negara maju. (Heukelbach & Feldmeier,

2012)

c) Tempat tinggal

Pada area pedesaan maupun perkotaan di beberapa negara

endemis, tempat yang sering terkontaminasi dengan feses anjing

dan kucing ialah pantai, halaman belakang rumah, jalanan, taman

umum dan taman bermain. (Heukelbach & Feldmeier, 2012)

3. Faktor demografis

a) Usia

Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering

berjalan tanpa alas kaki atau yang sering berhubungan dengan

tanah atau pasir yang mengandung larva tersebut. (Aisah, 2016)

b) Pekerjaan

Dari segi pekerjaan, para petani atau tentara sering mengalami

hal yang sama, karena pekerjaan tersebut lebih sering kontak

dengan tanah. (Aisah, 2016)

c) Status Sosioekonomi
Untuk mengontrol cutaneus larva migrans yang disebabkan

cacing tambang pada tingkat masyarakat, anjing dan kucing harus

diobati secara teratur dengan obat cacing. Namun, pada masyarakat

dengan lingkungan yang buruk, kontrolnya dipersulit dengan

kendala keuangan, tingginya jumlah anjing dan kucing liar,

kurangnya sistem kesehatan hewan, dan ketidaksadaran resiko

kesehatan yg dapat mengenai pemilik hewan peliharaan. Hal ini

jelas bahwa dalam keadaan ini, kontrol hanya dapat dicapai dengan

pendekatan terpadu, berdasarkan kerjasama antara profesional

kesehatan masyarakat, antropolog medis, dokter hewan, dan

masyarakat. (Heukelbach & Feldmeier, 2012)

Pada banyak komunitas bersumber daya rendah di wilayah

tropis, orang-orang berjalan tanpa alas kaki, anak-anak merangkak

atau duduk telanjang di atas tanah, dan hewan peliharaan sering

terinfeksi dengan cacing tambang; oleh karena itu, prevalensi CLM

akibat cacing tambang diperkirakan bernilai tinggi. Contohnya,

pada komunitas kumuh kota dan pedesaan di Brazil, infeksi

mencapai 4% populasi umum dan 15% anak-anak. Status

sosioekonomi rendah dan perilaku tertentu, seperti berjalan tanpa


alas kaki, dianggap sebagai faktor resiko terjadinya CLM akibat

cacing tambang pada lingkungan tersebut. (Heukelbach &

Feldmeier, 2012)

Sedangkan, pada negara-negara maju dengan iklim panas,

seperti bagian utara Amerika Serikat, CLM akibat cacing tambang

terjadi secara sporadis atau epidemik kecil. Sebuah penelitian di

Florida menemukan bahwa 20 (33%) sampel kotoran kucing

terinfeksi dengan A braziliense. Di Italia, dilaporkan terjadi

outbreak, dan terjadi kasus autochthonous/asli dari daerah tersebut,

di pantai tempat bermain voli dan sepak bola. (Heukelbach &

Feldmeier, 2012)

2.3.3 Siklus Hidup

Cutaneous larva migrans adalah infeksi zoonosis dengan spesies

cacing tambang yang tidak menggunakan manusia sebagai hospes

definitif. Spesies yang paling sering menyebabkan CLM terkait cacing

tambang adalah A. braziliense dan A. caninum. Hospes definitif untuk


spesies ini adalah anjing dan kucing. Siklus hidup pada hospes definitif

sangat mirip dengan siklus untuk spesies manusia. (Supali, et all., 2013)

Larva Ancylostoma braziliense akan menembus lapisan epidermis

kulit manusia sehingga menyebabkan CLM. Sedangkan, larva

Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan

penetrasi yang lebih dalam dan berimigrasi di usus manusia sehingga

dapat menyebabkan enteritis eosinofilik (Gambar 3). (CDC, 2015)

1) Telur keluar bersama dengan feses host definitif dengan kondisi

yang sesuai (kelembaban, kehangatan, teduh).

2) Telur akan menetas mengeluarkan larva dalam 1-2 hari. Larva

rhabditiform akan bertumbuh dalam tinja dan / atau tanah.

3) Setelah 5 sampai 10 hari dan 2 kali pergantian kulit, larva

rhabditiform akan berubah menjadi filariform (tahap ketiga).

Filariform merupakan larva yang infektif.

4) Larva yang infektif ini dapat bertahan hidup 3-4 minggu pada

kondisi lingkungan yang sesuai.

5) Saat larva kontak dengan host definitif, larva berpenetrasi melalui

kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung kemudian ke

paru-paru. Larva tersebut berpenetrasi ke dalam alveoli paru, naik


ke bronkus menuju faring, dan kemudian ditelan. Larva mencapai

usus halus, dimana mereka hidup dan bertumbuh menjadi cacing

dewasa. Cacing dewasa hidup di lumen usus halus dan menempel

pada dinding usus kemudian menghisap darah hospes. Beberapa

larva menetap di jaringan, dan menjadi sumber infeksi bagi janin

melalui plasenta dan ASI host definitif. Untuk beberapa spesies (A.

caninum, A. tubaeforme, A. ceylanicum), cacing dewasa

menyebabkan kekurangan darah dan anemia. Penyakit yang

bersifat akut akibat kehilngan darah sangat penting dan kadang-

kadang berakibat fatal pada anak anjing dan anak kucing. Cacing

tambang lain seperti U. stenocephala dan A. braziliense

menyebabkan kehilangan darah yang tidak seberapa, tapi kadang-

kadang dapat menyebabkan penyakit.

6) Manusia juga bisa terinfeksi ketika larva filariform menembus

kulit, khususnya di lapisan korneum epidermis. Larva infektif

mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat berimigrasi di

kulit manusia. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim

kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan

menyerang dermis, sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan


perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya larva terjebak di

jaringan kulit manusia, bermigrasi melalui subkutan membentuk

terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya.

Penjalaran larva akan bertambah panjang setiap hari di sepanjang

epidermis. Beberapa larva dapat menetap dalam jaringan yang

lebih dalam setelah selesai berimigrasi di kulit manusia dan

beberapa jenis spesies dapat masuk ke dalam usus manusia

kemudian akan berkembang lebih lanjut. (CDC, 2015; Nareswari,

2015; Bowman, 2014)


G

ambar 3. Siklus hidup cacing tambang terkait Cutaneous larva migrans.

(Dikutip dari CDC, 2015)

2.4 Diagnosis

2.4.1 Anamnesa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis berupa erupsi lesi

dari riwayat bepergian ke daerah endemis, berjalan atau duduk di

daerah berpasir yang terdapat anjing atau kucing tanpa menggunakan

alas. Biasanya, pasien akan mengeluh gatal yang terus-menerus

khususnya pada malam hari dan panas disertai nyeri pada tempat

infeksi. (Aisah, 2016)


2.4.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan secara inspeksi, didapatkan

gejala awal yang ditimbulkan berupa papul erimatosa disertai rasa gatal

dan panas, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk

linier atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2 mm – 3 cm

dan berisi cairan serosa (Gambar 4). Banyaknya lesi pada kulit

tergantung pada jumlah penetrasi larva dan menentukan larva tersebut

telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Infeksi yang paling

sering terjadi pada kaki, telapak kaki dan bokong. (Wolff, et all., 2013,

Aisah, 2016)
Jejak paling banyak (62,4%) berlokasi pada kaki, yang mana

memperlihatkan fakta bahwa banyak orang berjalan tanpa alas kaki.

Jejak cacing, biasanya mempunyai lebar sekitar 3 mm dan panjang

hingga 20 mm, bisa bergerak pada kulit dengan jarak hingga beberapa

millimeter per hari. Larva sendiri biasanya bermigrasi secara acak di

sekitar jejak sebelumnya. Biasanya, hanya satu atau beberapa jejak

yang terlihat, tetapi dapat lebih banyak jejak pada infeksi yang lebih

intens. Lesi vesikulobulous dan edema dapat menyertai jejak, folikulitis

jarang dan dapat berhubungan dengan spesies cacing tambang yang

menginfeksi. Eosinofilia tidak selalu ada dan ketika larva telah masuk

ke jaringan yang lebih dalam maka reaksi peradangan akan timbul

(Gambar 5). (Montgomery, 2012, Reichert, et all., 2016)


Gambar 5. Lesi vesikobulous pada pasien CLM terkait dengan cacing

tambang. (Heukelbach & Feldmeier, 2012)

Dalam kebanyakan kasus, 1-5 hari setelah penetrasi, jalur migrasi

pada kulit yang menonjol mulai muncul. Namun, studi pada wisatawan

telah menunjukkan bahwa masa inkubasi bisa berlangsung satu bulan

atau bahkan lebih lama. Larva biasanya bermigrasi pada epidermis dari

2-8 minggu sampai beberapa bulan. Sebuah penelitian baru

menunjukkan bahwa 81% dari pasien dengan cutaneous larva migrans

yang disebabkan cacing tambang, menganggu waktu tidur normal

karena intensitas gatal yang ditimbulkan. Rasa nyeri juga dapat muncul.

(Heukelbach & Feldmeier, 2012)


Gambar 6. Cutaneous larva migrans di kaki pasien selama satu minggu.

(CDC, 2014)

Hal yang bisa menjadi perhatian utama yaitu pruritus berat pada

lokasi infeksi dan nyeri mungkin bisa terjadi. Ancylostoma caninum

jarang masuk ke usus, namun dapat menyebabkan eosinofilik enteritis

yang ditandai dengan nyeri perut, mual dan diare. (Makino, et all.,

2014)

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi hitung jenis eosinofil, kadar

IgE total, dan titer antibodi filarial jarang memberikan hasil yang

memuaskan. Biopsi kulit secara umum tidak dianjurkan karena parasit

seringkali terletak lebih dalam daripada lesi yang terlihat. Apabila

biopsi kulit dilakukan, larva dapat ditemukan di lapisan epidermis


berjarak beberapa cm dari ujung tepi jejak, namun umumnya sangat

sulit ditemukan. (Kudrewicz, 2015)

2.5 Diagnosis Banding

Penyakit ini dapat menyerupai skabies, dermatofitosis, dermatitis kontak

alergi, herpes zoster dan insect bite. Namun mengingat karakteristik khusus

cutaneous larva migrans yang disebabkan cacing tambang, kondisi ini dapat

dibedakan dengan mudah.

1. Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi dan

sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiel var, hominis, dan produknya.

Ditandai rasa gatal pada malam hari, mengenai sekelompok orang,

dengan tempat predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat dan lembab.

Terowongan pada skabies hampir menyerupai terowongan pada creeping

eruption. Tetapi terowongan yang terbentuk pada scabies berbentuk garis

lurus, sedangkan pada creeping eruption berkelok-kelok dan lebih

panjang (Gambar 7a). (Aisah & Handoko, 2016)


2. Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat

tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis yang disebabkan

golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan

stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun

pejamu. Dermatofitosis pada kulit tidak berambut (tinea

korporis/glabrous skin) mempunyai morfologi khas. Penderita merasa

gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi

kulit (polimorf), bagian lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda

peradangan) daripada bagian tengah. Dermatofitosis dapat menyerupai

creeping eruption dari bentuk polisikliknya dan lebih sering terlihat pada

anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat

infeksi baru pertama kali (Gambar 7b). (Widaty & Budimulja, 2016)

3. Dermatitis kontak alergik

Dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah

mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan penyebab/alergen. Gejala

klinis dari creeping eruption dan DKA hampir sama karena pada keadaan

akut terdapat bercak eritematosa berbatas tegas, kemudian diikuti edema,


papulovesikel, vesikel atau bula. Dermatitis jenis ini lebih didominasi

oleh eritema dan edema (Gambar 7c). (Sularsito & Soebaryo, 2016)

4. Herpes zoster

Herpes zoster adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi

vesicular berkelompok dengan dasar erimatosa disertai nyeri radikular

unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Gejala klinis dapat

dimulai dengan timbulnya gejala prodromal. Setelah awitan gejala

prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri

terlokalisata berupa makula kemerahan. Kemudian berkembang menjadi

papul, vesikel jernih berkelompok. Bila invasi larva pada creeping

eruption terjadi secara multipel dan serentak, papul-papul pada lesi dini

dapat menyerupai herpes zoster (Gambar 7d). (Pusponegoro, 2016)

5. Insect bite

Insect bite merupakan lesi yang disebabkan oleh sengatan atau

gigitan serangga. Gejala klinis berupa reaksi inflamasi lokal seperti


eritem, edema setempat, urtikaria kemudian menjadi papul, vesikel dan

pustul steril. Lesi awal pada creeping eruption yang berupa papul sering

diduga sebagai insect bite (Gambar 7e). (Wolff, et all., 2013)


2.6 Terapi

Cutaneous larva migrans bersifat self-limiting, karena larva tidak mampu

untuk menuntaskan siklus hidupnya. Larva yang berimigrasi dalam kulit

biasanya akan mati setelah 5-6 minggu, walaupun telah dilaporkan onset yang

tertunda dan penyakit yang persisten. Namun, dengan adanya kemungkinan

komplikasi infeksi bakteri, serta dampak psikologis dari pruritus, maka terapi

haruslah dilakukan. (Kudrewicz, 2015)

2.6.1 Terapi Sistemik

Terapi antiparasit merupakan baku emas dengan ivermektin

sebagai obat pilihan. Dosis tunggal 200 mcg per kg berat badan

mematikan larva yang bermigrasi dengan efektif dan mengurangi gatal

dengan cepat. Angka kesembuhan setelah diberi dosis tunggal berkisar

dari 77% sampai 100% dan sejauh ini belum dilaporkan adanya efek

samping. Efektivitas ivermektin telah divalidasi oleh 3 penelitian besar.


Pada kejadian gagalnya pengobatan, dosis kedua biasanya memberi

kesembuhan yang pasti. Terapi berulang diperlukan pada folikulitis

cacing tambang. Ivermektin memiliki kontraindikasi pada anak-anak

yang berat badanyanya kurang dari 15 kg (atau kurang dari 5 tahun) dan

pada wanita hamil atau menyusui. (Heukelbach & Feldmeier 2012,

Kudrewicz, 2015)

Dosis tunggal ivermektin lebih efektif dibandingkan dosis tunggal

albendazol, tapi pengobatan berulang dengan albendazol merupakan

alternatif yang baik di negara-negara di mana ivermektin tidak tersedia.

Albendazol oral 400-800 mg/hari, diberikan selama 3 sampai 7 hari,

telah memperlihatkan tingkat kesembuhan yang sangat baik dari 92-

100%, dan obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien. Karena dosis

tunggal albendazol memiliki efikasi yang lebih rendah, rejimen 3 hari

Albendazol biasanya dianjurkan. Pendekatan alternatif dengan memulai

dosis pertama dari albendazol dan mengulangi pengobatan jika

diperlukan. (Heukelbach & Feldmeier 2012, Kudrewicz, 2015)

Tiabendazol oral cukup efektif bila diberikan dua kali sehari

dengan dosis 50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari. Namun,


pemberian secara oral ditoleransi dengan sangat buruk, dan sering

menyebabkan pusing, mual, muntah, dan kram usus. Sejak ivermektin

dan albendazol memperlihatkan hasil yang lebih baik dan menyebabkan

efek samping yang lebih sedikit, penggunaan tiabendazol oral tidak

dianjurkan lagi. (Heukelbach & Feldmeier 2012, Kudrewicz, 2015)

Terapi albendazol pada anak dengan umur lebih dari 2 tahun

diberikan 400 mg per hari secara oral selama 3 hari. Obat ini

kontraindikasi pada anak dengan umur dibawah 2 tahun. Namun, ada

literatur menyatakan bahwa albendazol bisa diberikan pada anak

dibawah usia 2 tahun dengan diberikan dosis rendah yaitu 200 mg per

oral selama 3 hari. Sedangkan terapi ivermektin pada anak dengan berat

diatas 15 kg diberikan dosis 200 mcg/kg secara oral sebagai dosis

tunggal. (CDC, 2015, Montgomery, 2012)

2.6.2 Terapi Topikal

Tiabendazol topikal telah dilaporkan memiliki angka kesembuhan

melebihi 98%. Aplikasi topikal pada lesi dengan konsentrasi 10-15%

diberikan tiga kali sehari selama 5-7 hari sama efektif dengan
pemberian ivermektin oral. Pengobatan topikal tidak memiliki efek

samping, tetapi membutuhkan kepatuhan dari pasien. Tiabendazol

topikal memiliki keterbatasan pada beberapa lesi luas yang menyebar,

dan tidak efektif pada folikulitis cacing tambang. Ivermektin dan

albendazol adalah obat yang menjanjikan untuk penggunaan secara

topikal, terutama pada anak-anak, namun data efikasi pada penggunaan

dalam bentuk ini masih terbatas. (Heukelbach & Feldmeier 2012,

Kudrewicz, 2015)

Seluruh agen antiparasit masuk dalam kategori C, sehingga apabila

pada wanita hamil terinfeksi CLM, maka obat-obat tersebut tidak dapat

diberikan. Saat steroid topikal dan antihistamin gagal untuk

mengendalikan gejala, maka agen krioterapi diharapkan dapat menjadi

terapi kuratif paling aman untuk mengobati CLM pada wanita hamil.

(Kudrewicz, 2015)

2.7 Komplikasi

Lesi cenderung terjadi superinfeksi dengan bakteri patogen lain akibat

dari kebiasaan menggaruk kulit, khususnya di negara berkembang. Pada


masyarakat miskin di Brazil, superinfeksi dari lesi ditemukan pada 8-24%

pasien, sedangkan superinfeksi pada wisatawan dengan cutaneous larva

migrans yang disebabkan cacing tambang yang baru kembali dari wisatanya,

terjadi 0-8%. Staphylococcus aureus dan streptococcus adalah penyebab yang

tersering dari superinfeksi pada lesi kulit. Jika lesi tetap terinfeksi

streptokokus grup A dalam jangka waktu lama, glomerulonefritis pasca-

streptokokus mungkin dapat terjadi. (Heukelbach & Feldmeier, 2012)

Lesi vesikobula terjadi pada 9-15% kasus, dengan bula yang kadang

mencapai ukuran beberapa sentimeter. Patofisiologi pembentukan bula pada

CLM yang disebabkan cacing tambang belum diketahui. Folikulitis (adanya

peradangan papulopustular pada folikel) merupakan manifestasi klinis di

daerah bokong yang jarang diakibatkan cutaneus larva migrans dan telah

diperlihatkan pada wisatawan yang baru kembali dari negara tropis. Eritema

multiforme muncul secara sporadis, dan dianggap sebagai komplikasi dari

individu yang diduga tersensisitasi sebelumnya. Larva cacing tambang hewan

sangat jarang menginvasi organ dan menyebabkan eosinofilia paru (sindroma

Loeffler). Infeksi A. caninum dapat menyebabkan enteritis eosinofilik,

ditandai dengan nyeri perut yang berhubungan dengan mual dan diare.

(Heukelbach & Feldmeier, 2012)


2.8 Prognosis

Cutaneous larva migrans bersifat self-limited karena larva tidak mampu

menuntaskan siklus hidupnya. Bahkan tanpa pengobatan lesi akan sembuh

secara spontan dalam 2-8 minggu, walaupun periode infeksi yang lebih

panjang ada kalanya dilaporkan. Gejala biasanya akan sembuh dalam 1

minggu dengan pengobatan. (Montgomery, 2012, Makino, et all., 2014)

2.9 Edukasi

Cutaneous larva migrans dapat di cegah dengan memakai sandal/sepatu

saat berjalan di pantai, duduk atau berbaring menggunakan alas dan

melindungi kulit dengan cara lain untuk menghindari kontak dengan tanah

atau pasir yang terkontaminasi, melarang atau mengusir anjing dan kucing

berkeliaran di pantai. Pengobatan antihelmentik pada anjing dan kucing

secara teratur dan membuang kotoran hewan dengan benar dalam lingkungan

membantu menurunkan angka kejadian CLM di daerah endemis.

(Montgomery, 2012, Kudrewicz, 2015)


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Cutaneous larva migrans yang disebabkan cacing tambang adalah suatu

penyakit kulit akibat parasit yang disebabkan oleh migrasi dari larva

cacing tambang hewan pada epidermis kulit manusia. Larva ini tidak

mampu melakukan penetrasi ke membran basalis dari kulit manusia,

sehingga mereka tidak mampu berkembang dan melanjutkan siklus

hidupnya. Penularan terjadi ketika kulit yang tidak dilindungi berkontak

dengan tanah yang terkontaminasi.

2. Diagnosa CLM terkait cacing tambang ditegakkan dengan adanya

riwayat bepergian ke daerah endemis, berjalan atau duduk di daerah yang

berpasir yang terdapat anjing atau kucing tanpa menggunakan alas.

Kemudian pada pemeriksaan fisik yang dilakukan secara inspeksi,

didapatkan gejala klinis berupa papula erimatosa disertai rasa gatal dan

panas, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linier

atau berkelok-kelok, menimbul dan berisi cairan serosa.


3. Penyakit ini dapat menyerupai skabies, dermatofitosis, dermatitis kontak

alergi, herpes zoster dan insect bite.

4. Obat pilihan pada penyakit ini yaitu ivermektin dalam dosis tunggal atau

albendazol dalam dosis berulang. Pemberian obat secara topikal dapat

dipertimbangkan bagi orang-orang yang dikontraindikasikan terhadap

ivermektin dan albendazol oral.


5. Lesi pada CLM cenderung terjadi superinfeksi dengan bakteri patogen

lain akibat dari kebiasaan menggaruk kulit, khususnya di negara

berkembang. Staphylococcus aureus dan streptococcus adalah penyebab

tersering dari superinfeksi pada lesi kulit.

6. Pada manusia CLM bersifat self-limited karena larva tidak mampu

melakukan siklus hidupnya. Gejala biasanya akan sembuh dalam 1

minggu dengan pengobatan.

3.2 Saran

Saran yang dapat diberikan adalah dengan memakai sandal/sepatu saat

berjalan di pantai, duduk atau berbaring menggunakan alas dan melindungi

kulit dengan cara lain untuk menghindari kontak dengan tanah atau pasir yang

terkontaminasi khususnya di daerah yang endemis. Kemudian berikan obat

anti cacing pada hewan peliharaan secara teratur, membuang kotoran hewan

dengan benar dan mengusir anjing dan kucing liar yang berkeliaran di sekitar

pantai atau lingkungan sekitar.


DAFTAR PUSTAKA

Heukelbach, J., & Feldmeier, H., 2012. Epidemiological and clinical

characteristics of hookworm-related cutaneous larva migrans. THE LANCET

Infectious Disease. 8(5): 302-09.

Kudrewicz, K., Crittenden, K.N., & Himes, A., 2015. A case of cutaneous larva

migrans presenting in a pregnant patient. Dermatology Online Journal. 21(1).

Aisah, S., 2016. Creeping Eruption (Cutaneous Larva Migrans). Dalam: Menaldi,

S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Edisi VII. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 141-2.

Wolff, K., Johnson, R.A., Saavedra, A.P., 2013. Fitzpatrick’s Color and Atlas

Synopsis of Clinical Dermatology Seventh Edition. 27, 618, 679, 701, 711,

716-7.

Montgomery, S.P., 2012. Cutaneous Larva Migrans. In: Magill, A.J., Ryan, E.T.,

Hill, D.R., Solomon, T. (editor). Hunter’s Tropical Medicine and Emerging

Infectious Disease (Ninth Edition) 2013. 862-3.

Reichert, F., Pilger, D., Schuster, A., Lesshafft, H., Ignatius, R., Feldmeier, H., et

all., 2016. Prevalence and Risk Factor of Hookworm-Related Cutaneous


Larva Migrans (HrCLM) in a Resource-Poor Community in Manaus, Brazil.

PLOS Neglected Tropical Diseases. 10(3): 7-9.

Tekely, E., Szostakiewicz, B., Wawrzycki, B., Wypyska, G.K., Borowiec, M.J.,

Pietrzak, A., et all., 2013. Cutaneous larva migrans syndrome: a case report.

Postepy Dermatol Alergol. 30(2): 119-121.


Caumes, E., & Danis, M., 2012. Reflection and Reaction From creeping eruption to

hookworm-related cutaneous larva migrans. THE LANCET Infectious Diseases.

4(11): 659-60.

Nareswari, S., 2015. Cutaneous larva migrans yang Disebabkan Cacing Tambang.

Juke Unila. 5(9): 130-1.

Bowman, D.D., Montgomery, S.P., Zajac, A.M., Eberhard, M.L., and Kazacos, K.R.,

2014. Special Issue: Zoonoses of people and pets in the USA. Hookworms of

dogs and cats as agents of cutaneous larva migrans. Trends in Parasitology 2014.

26(4): 162-7.

Supali, T., Margono, S.S., Abidin, S.A.S., 2013. Nematoda Usus. Dalam: Susanto, I.,

Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S. (editor). Buku Ajar Parasitologi

Kedokteran Edisi IV. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 15.

McCarthy, J.S., & Moore, T.A., 2011. Toxocariasis and Larva Migrans Syndromes.

In: Guerrant, R.L., Walker, D.H., Weller, P.F. (editor). Tropical Infectious

Diseases: Principles, Pathogens and Practice (Third Edition) 2011. 763-7 –

Chapter 109.

Bowman, D.D., 2016. Ancylostoma braziliense. [28 Desember 2016]. Diunduh dari

Diagnosis of Veterinary Endoparasitic Infections :

http://research.vet.upenn.edu/Hosts/Ancylostomabraziliense/tabid/7799/Default.a

spx
Bowman, D.D., 2016. Ancylostoma caninum. [28 Desember 2016]. Diunduh dari

Diagnosis of Veterinary Endoparasitic Infections:

http://research.vet.upenn.edu/Hosts/Ancylostomacaninum/tabid/7799/Default.asp

Putri, A.S., & Mutiara, H., 2016. Seorang Perempuan Usia 15 Tahun dengan

Cutaneous larva migrans. J Medula Unila. 4(4): 15-16.

Dorland, W.N., 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC. 1170.

Palgunadi, B.U., 2010. Cutaneous larva migrans. [Januari 2010]. Diunduh dari:

http://elib.fk.uwks.ac.id 2(1).

Lai Ma, D., & Galvan, S.V., 2016. Creeping Eruption-Cutaneous Larva Migrans.

New England Journal of Medicine. 374:14.

Gutte, R., & Khopkar, U., 2016. Cutaneous larva migrans (creeping eruption). [11

November 2016]. Indian Dermatology Online Journal. 2 (1).

Gunawan, C.A., 2015. Soil Transmitted Helminths. Dalam: Setiati, S., Alwi, I.,

Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam, A.F. (editor). Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. 779-80.

SKDI, 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran

Indonesia.

CDC, 2012. Epidemiologi & Risk Factor Zoonotic Hookworm. [11 Oktober 2012].

Diunduh dari Centers for Disease Control and Prevention:

https://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/epi.html
CDC, 2015. Biology Zoonotic Hookworm. [17 Maret 2015]. Diunduh dari Centers for

Disease Control and Prevention:

https://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/biology.html

CDC, 2014. Resources for Health Professionals. (25 November 2014). Diunduh dari

Centers for Disease Control and Prevention:

http://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/health_professionals/index.html

Makino, T., Mori, N., Sugiyama, H., Mizawa, M., Seki, Y., Kagoyama, K., et all.,

2014. Case report of creeping eruption due to spirurina type X larva. The Lancet

Journals. 384: 2082

Aisah, S., & Handoko, R.P., 2016. Skabies. Dalam: Menaldi, S.L., Bramono, K.,

Indriatmi, W. (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta: Badan

Penerbit FKUI. 137-9.

Widaty, S., & Budimulja, U., 2016. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, S.L., Bramono,

K., Indriatmi, W. (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI. 109, 111-2.

Sularsito, S.A., & Soebaryo, R.W., 2016. Dermatitis Kontak (iritan, alergik dan

autosensitisasi). Dalam: Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. (editor). Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 157, 161-2.

Pusponegoro, E.H.D., 2016. Herpes Zoster. Dalam: Menaldi, S.L., Bramono, K.,

Indriatmi, W. (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta: Badan

Penerbit FKUI. 121-2.

Anda mungkin juga menyukai