ISI
2.1 Definisi
Cutaneous larva migrans (CLM) adalah penyakit pada kulit manusia atau
hewan lain yang ditandai dengan garis pruritus yang tipis dan cekung,
cacing tersebut berasal dari feses kucing atau anjing. Umumnya mampu
larva migrans adalah untuk menggambarkan tanda klinis dan sindrom, untuk
Australia dan Asia Tenggara. A. caninum ditemukan pada anjing yang berada
iklim dingin dari Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Asia, Australia dan
telah melaporkan bahwa lebih dari 17.000 wisatawan yang kembali dalam
keadaan sakit menunjukkan bahwa CLM akibat cacing tambang terjadi pada
2-3% dari mereka, dengan prevalensi tertinggi yaitu pada mereka yang baru
kembali dari Carribbean, diikuti Asia Tenggara dan Amerika Tengah.
Putri dan Hanna Mutiara di Lampung, Indonesia pada tahun 2016, didapatkan
yang berkelok-kelok pada paha kanan dan terasa gatal terutama pada malam
acara kemah sekolah, setelah itu muncul keluhan-keluhan tersebut. (Putri &
Mutiara, 2016)
migrans telah tersebar di hampir semua negara beriklim tropis dan subtropis,
dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada invasi ini tidak terdapat
perbedaan ras, usia maupun jenis kelamin karena CLM tergantung pada
paparan. Namun menurut hasil penelitian Felix Reichert dkk di Timur Laut
kurang mampu di negara berkembang seperti Brazil, India, dan Hindia Barat.
Di daerah yang kurang maju di dunia, anjing dan kucing sering bebas
hujan adalah 14,9% di antara anak-anak berusia kurang dari 5 tahun dan 0,7%
negara maju, CLM terjadi secara sporadis atau dalam bentuk epidemik yang
mengunjungi daerah dengan kondisi iklim yang tidak umum seperti musim
semi atau hujan yang memanjang. Penyakit ini sering terjadi di daerah
dimana anjing dan kucing liar atau peliharaan tidak diberikan anthelmintik
Penyebab utama cutaneous larva migrans adalah larva yang berasal dari
cacing tambang yang hidup di usus anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma
caesar. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat,
misalnya Castrophilus (the horse boot fly) dan cattle fly. (Aisah, 2016)
2.3.1 Morfologi
mukosa usus halus anjing, rubah, anjing hutan, serigala dan hewan
bukal capsulnya memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral, yang
sebelah lateral besar dan sebelah medial sangat kecil, selain itu
2013).
2.3.2 Faktor Resiko
1. Faktor perilaku
(Kudrewicz, 2015)
tidak diberikan obat anti cacing secara teratur atau bahkan hospes
2012)
atau subtropis yang hangat dan lembab. Infeksi sering terlihat pada
2. Faktor lingkungan
a) Keberadaan hospes definitif
zaman prasejarah, dan ikatan yang erat antara manusia dan host
2012)
c) Tempat tinggal
3. Faktor demografis
a) Usia
b) Pekerjaan
c) Status Sosioekonomi
Untuk mengontrol cutaneus larva migrans yang disebabkan
jelas bahwa dalam keadaan ini, kontrol hanya dapat dicapai dengan
Feldmeier, 2012)
Feldmeier, 2012)
sangat mirip dengan siklus untuk spesies manusia. (Supali, et all., 2013)
4) Larva yang infektif ini dapat bertahan hidup 3-4 minggu pada
melalui plasenta dan ASI host definitif. Untuk beberapa spesies (A.
kadang berakibat fatal pada anak anjing dan anak kucing. Cacing
2.4 Diagnosis
2.4.1 Anamnesa
khususnya pada malam hari dan panas disertai nyeri pada tempat
gejala awal yang ditimbulkan berupa papul erimatosa disertai rasa gatal
dan panas, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk
dan berisi cairan serosa (Gambar 4). Banyaknya lesi pada kulit
telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Infeksi yang paling
sering terjadi pada kaki, telapak kaki dan bokong. (Wolff, et all., 2013,
Aisah, 2016)
Jejak paling banyak (62,4%) berlokasi pada kaki, yang mana
hingga 20 mm, bisa bergerak pada kulit dengan jarak hingga beberapa
yang terlihat, tetapi dapat lebih banyak jejak pada infeksi yang lebih
menginfeksi. Eosinofilia tidak selalu ada dan ketika larva telah masuk
pada kulit yang menonjol mulai muncul. Namun, studi pada wisatawan
atau bahkan lebih lama. Larva biasanya bermigrasi pada epidermis dari
karena intensitas gatal yang ditimbulkan. Rasa nyeri juga dapat muncul.
(CDC, 2014)
Hal yang bisa menjadi perhatian utama yaitu pruritus berat pada
yang ditandai dengan nyeri perut, mual dan diare. (Makino, et all.,
2014)
IgE total, dan titer antibodi filarial jarang memberikan hasil yang
alergi, herpes zoster dan insect bite. Namun mengingat karakteristik khusus
cutaneous larva migrans yang disebabkan cacing tambang, kondisi ini dapat
1. Skabies
dengan tempat predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat dan lembab.
creeping eruption dari bentuk polisikliknya dan lebih sering terlihat pada
infeksi baru pertama kali (Gambar 7b). (Widaty & Budimulja, 2016)
klinis dari creeping eruption dan DKA hampir sama karena pada keadaan
oleh eritema dan edema (Gambar 7c). (Sularsito & Soebaryo, 2016)
4. Herpes zoster
eruption terjadi secara multipel dan serentak, papul-papul pada lesi dini
5. Insect bite
pustul steril. Lesi awal pada creeping eruption yang berupa papul sering
biasanya akan mati setelah 5-6 minggu, walaupun telah dilaporkan onset yang
komplikasi infeksi bakteri, serta dampak psikologis dari pruritus, maka terapi
sebagai obat pilihan. Dosis tunggal 200 mcg per kg berat badan
dari 77% sampai 100% dan sejauh ini belum dilaporkan adanya efek
yang berat badanyanya kurang dari 15 kg (atau kurang dari 5 tahun) dan
Kudrewicz, 2015)
100%, dan obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien. Karena dosis
diberikan 400 mg per hari secara oral selama 3 hari. Obat ini
dibawah usia 2 tahun dengan diberikan dosis rendah yaitu 200 mg per
oral selama 3 hari. Sedangkan terapi ivermektin pada anak dengan berat
diberikan tiga kali sehari selama 5-7 hari sama efektif dengan
pemberian ivermektin oral. Pengobatan topikal tidak memiliki efek
Kudrewicz, 2015)
pada wanita hamil terinfeksi CLM, maka obat-obat tersebut tidak dapat
terapi kuratif paling aman untuk mengobati CLM pada wanita hamil.
(Kudrewicz, 2015)
2.7 Komplikasi
migrans yang disebabkan cacing tambang yang baru kembali dari wisatanya,
tersering dari superinfeksi pada lesi kulit. Jika lesi tetap terinfeksi
Lesi vesikobula terjadi pada 9-15% kasus, dengan bula yang kadang
daerah bokong yang jarang diakibatkan cutaneus larva migrans dan telah
diperlihatkan pada wisatawan yang baru kembali dari negara tropis. Eritema
ditandai dengan nyeri perut yang berhubungan dengan mual dan diare.
secara spontan dalam 2-8 minggu, walaupun periode infeksi yang lebih
2.9 Edukasi
melindungi kulit dengan cara lain untuk menghindari kontak dengan tanah
atau pasir yang terkontaminasi, melarang atau mengusir anjing dan kucing
secara teratur dan membuang kotoran hewan dengan benar dalam lingkungan
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
penyakit kulit akibat parasit yang disebabkan oleh migrasi dari larva
cacing tambang hewan pada epidermis kulit manusia. Larva ini tidak
didapatkan gejala klinis berupa papula erimatosa disertai rasa gatal dan
panas, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linier
4. Obat pilihan pada penyakit ini yaitu ivermektin dalam dosis tunggal atau
3.2 Saran
kulit dengan cara lain untuk menghindari kontak dengan tanah atau pasir yang
anti cacing pada hewan peliharaan secara teratur, membuang kotoran hewan
dengan benar dan mengusir anjing dan kucing liar yang berkeliaran di sekitar
Kudrewicz, K., Crittenden, K.N., & Himes, A., 2015. A case of cutaneous larva
Aisah, S., 2016. Creeping Eruption (Cutaneous Larva Migrans). Dalam: Menaldi,
S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Wolff, K., Johnson, R.A., Saavedra, A.P., 2013. Fitzpatrick’s Color and Atlas
Synopsis of Clinical Dermatology Seventh Edition. 27, 618, 679, 701, 711,
716-7.
Montgomery, S.P., 2012. Cutaneous Larva Migrans. In: Magill, A.J., Ryan, E.T.,
Reichert, F., Pilger, D., Schuster, A., Lesshafft, H., Ignatius, R., Feldmeier, H., et
Tekely, E., Szostakiewicz, B., Wawrzycki, B., Wypyska, G.K., Borowiec, M.J.,
Pietrzak, A., et all., 2013. Cutaneous larva migrans syndrome: a case report.
4(11): 659-60.
Nareswari, S., 2015. Cutaneous larva migrans yang Disebabkan Cacing Tambang.
Bowman, D.D., Montgomery, S.P., Zajac, A.M., Eberhard, M.L., and Kazacos, K.R.,
2014. Special Issue: Zoonoses of people and pets in the USA. Hookworms of
dogs and cats as agents of cutaneous larva migrans. Trends in Parasitology 2014.
26(4): 162-7.
Supali, T., Margono, S.S., Abidin, S.A.S., 2013. Nematoda Usus. Dalam: Susanto, I.,
McCarthy, J.S., & Moore, T.A., 2011. Toxocariasis and Larva Migrans Syndromes.
In: Guerrant, R.L., Walker, D.H., Weller, P.F. (editor). Tropical Infectious
Chapter 109.
Bowman, D.D., 2016. Ancylostoma braziliense. [28 Desember 2016]. Diunduh dari
http://research.vet.upenn.edu/Hosts/Ancylostomabraziliense/tabid/7799/Default.a
spx
Bowman, D.D., 2016. Ancylostoma caninum. [28 Desember 2016]. Diunduh dari
http://research.vet.upenn.edu/Hosts/Ancylostomacaninum/tabid/7799/Default.asp
Putri, A.S., & Mutiara, H., 2016. Seorang Perempuan Usia 15 Tahun dengan
Dorland, W.N., 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC. 1170.
Palgunadi, B.U., 2010. Cutaneous larva migrans. [Januari 2010]. Diunduh dari:
http://elib.fk.uwks.ac.id 2(1).
Lai Ma, D., & Galvan, S.V., 2016. Creeping Eruption-Cutaneous Larva Migrans.
Gutte, R., & Khopkar, U., 2016. Cutaneous larva migrans (creeping eruption). [11
Gunawan, C.A., 2015. Soil Transmitted Helminths. Dalam: Setiati, S., Alwi, I.,
Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam, A.F. (editor). Buku Ajar
Indonesia.
CDC, 2012. Epidemiologi & Risk Factor Zoonotic Hookworm. [11 Oktober 2012].
https://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/epi.html
CDC, 2015. Biology Zoonotic Hookworm. [17 Maret 2015]. Diunduh dari Centers for
https://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/biology.html
CDC, 2014. Resources for Health Professionals. (25 November 2014). Diunduh dari
http://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/health_professionals/index.html
Makino, T., Mori, N., Sugiyama, H., Mizawa, M., Seki, Y., Kagoyama, K., et all.,
2014. Case report of creeping eruption due to spirurina type X larva. The Lancet
Aisah, S., & Handoko, R.P., 2016. Skabies. Dalam: Menaldi, S.L., Bramono, K.,
Indriatmi, W. (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta: Badan
Widaty, S., & Budimulja, U., 2016. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, S.L., Bramono,
K., Indriatmi, W. (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta:
Sularsito, S.A., & Soebaryo, R.W., 2016. Dermatitis Kontak (iritan, alergik dan
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 157, 161-2.
Pusponegoro, E.H.D., 2016. Herpes Zoster. Dalam: Menaldi, S.L., Bramono, K.,
Indriatmi, W. (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VII. Jakarta: Badan