Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan hal ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang tercakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni:
a. Tahu (know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah.
b. Memahami (comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi sebenarnya.
d. Analisis (analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-
komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.

Universitas Sumatera Utara


e. Sintesis (synthesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek
(Notoatmodjo, 2007).
Menurut Meliono (2007), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan prilaku seseorang atau
kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan, maka jelas dapat kita simpulkan menjadi sebuah visi pendidikan yaitu
mencerdaskan manusia.
b. Media
Media adalah sarana yang dapat dipergunakan seseorang dalam memperoleh
pengetahuan dan secara khusus dirancang untuk mencapai masyarakat yang
sangat luas. Contohnya: televisi, radio, koran, dan majalah.
c. Paparan informasi
Informasi adalah data yang diperoleh dari observasi terhadap lingkungan sekitar
yang diteruskan melalui komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

2.2 Human Papillomavirus


2.2.1 Virologi Human Papillomavirus
Human papillomavirus (HPV) adalah anggota famili Papoviridae, genus
papillomavirus. HPV berukuran kecil dengan diameter 55 nm dan merupakan virus
DNA sirkuler dengan untaian ganda yang tidak berselubung. HPV memiliki kapsid
ikosahedral (L1 dan L2) tersusun dari 72 kapsomer. Setiap kapsomer adalah satu
pentamer kapsid mayor (L1). Setiap kapsid virion terdiri dari beberapa kapsid minor
(L2). Genom HPV secara fungsional terbagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama
adalah noncoding upstream regulatory region (URR). Bagian ini memiliki p97 yang
merupakan promotor inti yang meregulasi replikasi DNA dengan mengatur
transkripsi dari early region dan late region. Bagian kedua adalah early region berupa
E1, E2, E3, E4, E5, E6, E7, dan E8. Bagian ini terlibat dalam replikasi virus dan
onkogenesis. Bagian ketiga adalah late region yang mengkode struktur protein L1
dan L2 untuk kapsid (Gomez & Santos, 2007).
Menurut Richart (2000) dalam Prince (2005), sampai saat ini sudah diketahui
lebih dari seratus tipe HPV, dengan 33 tipe diantaranya diketahui menginfeksi saluran
genital dan sekurangnya 13 tipe dapat menyebabkan kanker. HPV yang menginfeksi
mukosa anogenital dibagi dalam 3 grup, yaitu tipe high risk oncogenic (tipe 16, 18,
45, 56), tipe intermediate risk oncogenic (tipe 31, 33, 35, 51, 52, 54), dan tipe low
risk oncogenic (tipe 6, 11, 42, 43, 44) (Doeberitz, et al., 1991).
Infeksi HPV meningkat sejak tahun 1960 karena meningkatnya penggunaan
kontrasepsi oral. Keterlibatan HPV pada kejadian kanker dilandasi oleh beberapa
faktor, seperti timbulnya keganasan pada binatang yang diinduksi dengan
papillomavirus, perkembangan kutil kelamin menjadi karsinoma, angka kejadian
kanker leher rahim meningkat pada infeksi HPV, dan DNA HPV yang sering
ditemukan pada lesi intraepitel leher rahim. HPV tipe 6 dan 11 ditemukan 35% pada
kutil kelamin dan Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN) I, 10% pada CIN II-III, serta
hanya 1% ditemukan pada kutil yang invasif. HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada
10% kutil kelamin dan CIN I, 51% pada CIN II-III, serta pada 63% karsinoma invasif
(Pradipta & Sungkar, 2007).

2.2.2 Patogenesis Human Papillomavirus


Menurut Khan (2009), siklus hidup HPV terjadi hanya pada keratinosit yang
sedang berdiferensiasi. Pada infeksi yang tidak menyebabkan keganasan (lesi jinak),
DNA virus diatur secara terpisah dengan DNA sel leher rahim (lokasinya ekstra
kromosom pada nukleus) sebagai episome. Pada infeksi yang menyebabkan
keganasan, DNA virus akan berintegrasi dengan genom sel leher rahim yang
menyebabkan terjadinya mutasi.
Integrasi HPV-DNA mengganggu atau menghilangkan bagian E2. Fungsi E2
adalah sebagai down-regulation transkripsi E6 dan E7. Gangguan fungsi E2 akan
meningkatkan ekspresi E6 dan E7. Kedua protein tersebut masing-masing mensupresi
gen p53 dan gen Rb (retinoblastoma) yang merupakan gen penghambat
perkembangan tumor. Apabila fungsi gen tersebut terganggu, maka neoplasma akan
terbentuk (Pradipta & Sungkar). Pada lesi jinak, protein E6 tidak mengakibatkan efek
pada stabilitas p53 sedangkan E7 mengikat Rb dengan afinitas yang rendah.
Selanjutnya produk protein E5 akan meningkatkan aktivitas mitogen-activated
protein kinase. Hal tersebut menyebabkan peningkatan respon seluler terhadap faktor
pertumbuhan dan diferensiasi (Gomez & Santos, 2007).

2.3 Kanker Leher Rahim


2.3.1 Definisi Kanker Leher Rahim
Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan proliferasi sel-sel baru
(neoplastic cells) yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali (Mills, 2002). Kanker
leher rahim merupakan proses keganasan/kanker yang berasal dari sel-sel leher rahim
yang tidak normal akibat pertumbuhan yang tidak terkendali (Cherath & Alic, 2006).

2.3.2 Penyebab Kanker Leher Rahim


Penyebab pasti kanker leher rahim sampai saat ini belum diketahui
sepenuhnya. Namun dalam beberapa tahun ini, penemuan biologi molekuler telah
menunjukkan bahwa HPV turut berperan dalam terjadinya kanker leher rahim
(Hillegas, 2005). Sekitar 70% kejadian kanker leher rahim disebabkan oleh HPV tipe
16 dan 18 (WHO, 2007). Penelitian yang dilakukan pada pasien dengan kanker leher
rahim di beberapa rumah sakit di Indonesia menemukan bahwa kejadian infeksi HPV
tipe 16 sebesar 44%, tipe 18 sebesar 39%, tipe 52 sebesar 14%, dan sisanya terdeteksi
infeksi HPV multipel (Andrijono, 2007).
Karsinogenesis bermula ketika DNA HPV tipe high risk oncogenic
berintegrasi dengan genom sel leher rahim yang menyebabkan terjadinya mutasi
(Tiro, Meissner, Kobrin & Chollette 2007). Proses karsinogenesis melalui tahap lesi
prakanker yang terdiri dari CIN I, II, dan III. Lesi prakanker CIN I sebagian besar
akan mengalami regresi, sebagian kecil yang berlanjut menjadi CIN II, dan kemudian
berlanjut menjadi kanker invasif leher rahim (Andrijono, 2007).

2.3.3 Epidemiologi Kanker Leher Rahim


Secara global, kanker leher rahim menempati posisi kedua penyebab
kematian wanita akibat kanker. Setiap tahun ditemukan 510 000 kasus baru, 288 000
kasus meninggal, atau setiap dua menit seorang wanita meninggal akibat penyakit ini
(Rusmil, 2008). Departemen Kesehatan RI melaporkan, penderita kanker leher rahim
di Indonesia diperkirakan 90-100 diantara 100 000 penduduk pertahun (Pradipta &
Sungkar, 2007) dan masih menduduki tingkat pertama dalam urutan keganasan pada
wanita (Suwiyoga, 2007). Angka kejadian kanker leher rahim mulai meningkat sejak
usia 20 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 50 tahun. Ketahanan hidup
seseorang tergantung stadium kanker leher rahim; five years survival rate untuk
stadium I, II, III, IV adalah 85%, 60%, 33%, 7% (Pradipta & Sungkar, 2007).

2.3.4 Faktor Risiko Kanker Leher Rahim


Faktor risiko untuk kanker leher rahim adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan inisiasi transformasi atipik leher rahim dan perkembangan dari
displasia (Aziz, 2002). Faktor-faktor resiko untuk kanker leher rahim terbagi dalam
tiga. Faktor pertama adalah faktor reproduksi dan seksual yang meliputi jumlah mitra
seksual, usia saat pertama kali berhubungan seksual, faktor pasangan pria, jumlah
kehamilan, kontrasepsi oral dan infeksi menular seksual (IMS). Faktor kedua adalah
sosioekonomi. Faktor ketiga adalah faktor-faktor lainnya yang meliputi paparan
tembakau, diet, kurangnya skrining yang tepat dan pengobatan lesi prakanker yang
disebut CIN sebelumnya.
Berdasarkan studi epidemiologi, kanker leher rahim berhubungan erat dengan
perilaku seksual seperti berganti-ganti mitra seks dan usia saat melakukan hubungan
seks pertama kali. Risiko meningkat lebih dari 10 kali bila wanita berhubungan
seksual dengan 6 atau lebih mitra seks, atau bila hubungan seksual pertama dibawah
umur 15 tahun. Hamil pada usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen
persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan resiko (Rasjidi, 2009). Selain
itu, risiko juga meningkat bila berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi (pria
yang berhubungan seksual dengan banyak wanita) yang menderita kutil kelamin atau
pria yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial. Pria yang
tidak melakukan sirkumsisi juga dapat meningkatkan faktor risiko seorang wanita
terkena kanker leher rahim. Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang
dapat meningkatkan risiko relatif seseorang menjadi 2 kali pada orang normal.
Sebaliknya, sejumlah penelitian menunjukan bahwa penggunaan metode barrier akan
menurunkan faktor resiko kanker leher rahim.
Agen infeksius selain HPV adalah HSV (Herpes Simplex Virus) dan HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Data mendukung HSV sebagai faktor resiko tidak
sekuat pada HPV (Rasjidi, 2009). Penderita dalam keadaan supresi sistem imun
seperti pada pasien transplantasi ginjal dan infeksi HIV juga meningkatkan angka
kejadian kanker serviks prainvasif dan invasif (Pradipta & Sungkar, 2007).
Wanita dari kelas sosioekonomi yang terendah memiliki faktor resiko 5 kali
lebih besar daripada wanita dikelas tertinggi. Selain itu, diperkirakan paparan bahan
tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, atau oli) pada wanita
maupun pasangannya dapat menjadi faktor resiko.
Paparan tembakau baik yang dihisap sebagai rokok maupun yang dikunyah
mengandung bahan-bahan karsinogen. Selain itu, dari beberapa penelitian, defisiensi
asam folat, vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol berhubungan dengan
peningkatan resiko kanker leher rahim (Rasjidi, 2009).

2.3.5 Pencegahan Kanker Leher Rahim


Menurut Rasjidi (2009), pencegahan kanker leher rahim terdiri dari 3 tahap,
yaitu :
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah pencegahan terhadap penyebab penyakit. Pencegahan
primer kanker leher rahim dapat dilakukan dengan menghindari berbagai faktor
risiko serta dengan pemberian vaksin pencegah infeksi dan penyakit terkait HPV.
Vaksin HPV terbukti efektif dalam mencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 (FDA,
2006). Pentingnya penggunaan vaksin sebagai suatu program pencegahan adalah
berdasarkan kenyataan bahwa perempuan di negara berkembang tidak dapat
melakukan skrining terhadap kanker leher rahim karena kurangnya akses terhadap
pelayanan kesehatan (Pradipta & Sungkar, 2007).
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah penemuan dini, diagnosis dini dan terapi dini
terhadap kanker leher rahim. Pencegahan sekunder termasuk skrining dan deteksi
dini, seperti pap smear, kolposkopi, pap net, dan inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA).
c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier berupaya meningkatkan angka kesembuhan, survival rate, dan
kualitas hidup dalam terapi kanker. Perhatian terapi ditujukan pada
penatalaksanaan nyeri, paliasi, dan rehabilitasi.
2.4 Kutil Kelamin
2.4.1 Definisi Kutil Kelamin
Kutil (wart atau verruca) adalah hiperplasia epidermis yang disebabkan oleh
HPV tipe tertentu (Handoko, 1994). kutil kelamin ialah hiperplasia jinak dengan inti
ditengah jaringan penyambung dalam struktur berbentuk seperti pohon dilapisi
dengan epitelium, biasanya terdapat pada membran mukosa atau kulit genitalia
eksternal atau pada daerah perianal; walaupun lesi ini biasanya berjumlah sedikit,
mereka dapat mengumpul membentuk massa besar seperti kembang kol. Kutil
kelamin disebut juga genital wart, venereal wart, atau condyloma acuminata
(Harjono, et al., 1994).
Kutil kelamin sering terdapat di daerah lipatan yang lembab, misalnya di
daerah genitalia eksterna. Pada pria, tempat predileksinya adalah di perineum, sekitar
anus, sulkus koronarius, glans penis, muara uretra eksterna, korpus dan pangkal
penis. Pada wanita, tempat predileksinya adalah di daerah vulva dan sekitarnya,
introitus vagina, kadang-kadang pada porsio uteri (Handoko, 1994).

2.4.2 Penyebab Kutil kelamin


Kutil kelamin disebabkan oleh infeksi HPV. Tipe yang pernah ditemukan
pada kutil kelamin adalah tipe 1-5, 6, 11, 10, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39-45, 51-59, 70,
dan 83 (Chuang & Brashear, 2009). Namun, 90%-100% kejadian kutil kelamin
disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11 (WHO, 2007). Kedua tipe HPV tersebut
bereplikasi sebagai episome dan jarang menggabungkan materi genetiknya dengan
DNA manusia (Higgins, Naumann & Hall 2009). Virus ini akan menular pada orang
tertentu yang tidak memiliki imunitas spesifik terhadap virus ini pada kulitnya.
Imunitas terhadap kulit ini belum jelas dimengerti (Stawiski & Price, 2005).
2.4.3 Epidemiologi Kutil Kelamin
Menurut CDC (The U.S Center for Disease Control and Prevention), penyakit
ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria; perbandingannya adalah
1,4:1 (Chuang & Brashear, 2009). Angka kejadian meningkat pada wanita berusia 15-
24 tahun dan pria berusia 20-29 tahun; puncak angka kejadian adalah pada wanita dan
pria berusia 20-29 tahun (WHO, 2007).

2.4.4 Faktor Risiko Kutil Kelamin


Kutil kelamin termasuk penyakit menular seksual, sehingga seseorang yang
aktif melakukan hubungan seksual, memiliki banyak mitra seks, dan tidak
menggunakan kondom, memiliki risiko yang tinggi untuk menderita penyakit ini.
Faktor risiko lainnya adalah kebersihan yang buruk, wanita hamil, rokok,
imunitas yang buruk dan pria yang tidak disirkumsisi. Kebersihan yang buruk
(contohnya pada seorang wanita yang banyak mengeluarkan fluor albus) dan pada
wanita hamil dapat mempercepat pertumbuhan penyakit. Penderita dengan supresi
sistem imun akibat obat atau infeksi HIV, memiliki risiko tinggi timbulnya giant
condyloma (Buschke-Löwenstein tumours) atau menjadi kutil kelamin yang bersifat
menetap (Handoko, 1994). Penatalaksanaan dapat menghilangkan kutil, tetapi tidak
dapat menghilangkan HPV sehingga kutil dapat timbul kembali dan juga dapat
menghilang secara spontan dalam waktu 2 tahun kalau sudah terbentuk imunitas
terhadap virus (Stawiski & Price, 2005).

2.4.5 Pencegahan Kutil Kelamin


Kutil kelamin merupakan penyakit menular seksual (PMS) sehingga
pencegahan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan melalukan hubungan
seksual hanya dengan satu mitra seks yang bebas dari penyakit menular dan
mengurangi frekuensi aktivitas seksual. Kutil kelamin juga dapat menular melalui
kontak langsung dengan kulit disekitar kutil (Higgins, Naumann & Hall, 2009)
sehingga penggunaan kondom tidak sepenuhnya dapat melindungi seseorang dari
penyakit ini. Meskipun demikian, HPV dapat menular walaupun tanpa kutil yang
terlihat atau gejala lainnya sehingga kondom harus tetap digunakan. Selain itu,
kondom dapat mengurangi resiko untuk tertular penyakit menular seksual lainnya
(Storck, 2009).
Pencegahan lainnya dapat dilakukan dengan meningkatkan kebersihan,
menghentikan merokok, sirkumsisi (Handoko, 1994), dan vaksinasi. Perkembangan
vaksin untuk mencegah infeksi HPV telah menjadi fokus penelitian selama kurang
lebih 2 dekade. Pemberian vaksin quadrivalen yang telah disahkan FDA terbukti
memiliki efektif dalam mencegah terjadinya kutil kelamin (Higgins, Naumann & Hall
2009).

2.5 Vaksin Human Papillomavirus


2.5.1 Definisi Vaksin HPV
Vaksin adalah suspensi mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan,
yang diberikan untuk mencegah, meringankan, atau mengobati penyakit-penyakit
menular (Harjono, et al., 1994). Imunitas dihasilkan dari produksi antibodi seseorang
atau sel T sebagai hasil infeksi atau pajanan alami suatu antigen. Pada beberapa
kasus, suntikan ulangan diberikan untuk menstimulasi ulang memori imun dan
mempertahankan tingkat perlindungan yang tinggi (Pradipta & Sungkar, 2007).
Vaksinasi adalah memasukkan vaksin kedalam tubuh dengan tujuan menginduksi
kekebalan (Harjono, et al., 1994).
Vaksin HPV adalah vaksin kedua di dunia yang dapat mencegah terjadinya
kanker. Sebelumnya, terdapat vaksin hepatitis B untuk mencegah kanker hati
(Pradipta & Sungkar, 2007). Di Indonesia, vaksinasi HPV telah masuk kedalam
program imunisasi yang dianjurkan (Hadinegoro, 2008).
2.5.2 Pengembangan Vaksin HPV
Menurut Pradipta & Sungkar (2007), teknologi untuk memproduksi vaksin
HPV adalah dengan rekombinan DNA. Terdapat 3 jenis teknologi yang digunakan
untuk memproduksi vaksin HPV, yaitu:
a. Viral Like Particles Vaccines (VLP)
Vaksin dibentuk dengan protein virus, L1, yang bertanggung jawab dalam
membentuk kapsid virus. Protein tersebut memiliki fungsi untuk membentuk
dirinya sendiri menjadi partikel yang menyerupai virus. Partikel tersebut tidak
mengandung DNA virus sehingga tidak bersifat infeksius dan dapat
menghilangkan risiko seseorang terkena infeksi dari vaksin itu sendiri. Partikel
tersebut dapat menstimulasi produksi antibodi yang dapat mengikat dan
menetralkan virus yang bersifat infeksius. Saat ini penelitian mengenai
penambahan polipeptid nonstruktural dari protein virus ke protein minor L1 dan
L2 sedang dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan sifat proteksi vaksin.
b. Recombinant Fusion Proteins and Peptides
Teknologi ini merupakan gabungan ekspresi antigen dengan peptida sintetik yang
dapat berespons terhadap epitop imunogenik protein virus. Pada binatang
percobaan vaksin ini memiliki kapasitas untuk menginduksi respons antitumor.
Vaksin ini diharapkan dapat memberikan efek terapeutik terhadap subyek yang
sudah terinfeksi.
c. Live Recombinant Vectors.
Vaksin berasal dari virus hidup yang direkombinan dengan virus vaccinia untuk
mengekspresikan gen HPV tipe 16 dan 18.
Pengembangan vaksin saat ini lebih menitikberatkan pada penggunaan
teknologi VLP dengan tujuan utama melindungi manusia terhadap infeksi HPV tipe
16 dan 18. Terdapat dua jenis vaksin yang telah dipasarkan dan sudah melewati uji
klinis yakni vaksin bivalen (untuk HPV tipe 16 dan 18) dan vaksin quadrivalen
(untuk HPV tipe 6, 11, 16, dan 18). Pemikiran terbaru adalah penambahan VLP dari
HPV tipe lain. Meskipun demikian, penambahan VLP pada satu vaksin tunggal
ditakutkan akan memberikan persoalan teknis dalam produksi vaksin.
Pada tanggal 8 Juni 2006, FDA (The U.S. Food and Drug Administration)
telah mengesahkan vaksin HPV (FDA, 2006) dan sudah mendapat izin edar dari
BPOM RI di Indonesia (Rusmil, 2008).
Pada awalnya vaksin ditujukan bagi remaja wanita ini, namun saat ini
pemberian vaksin diupayakan dapat diperluas untuk remaja pria (Depkes RI).
Pemberian vaksin HPV sebagai pencegahan kutil kelamin pada pria telah disahkan
oleh FDA pada tanggal 16 Oktober 2009 (FDA, 2009).

2.5.3 Mekanisme Perlindungan Vaksin HPV


Secara langsung, alasan utama dari mekanisme perlindungan ditandai oleh
tingginya kadar serum neutralizing antibody yang dihasilkan oleh vaksin. Penelitian
menunjukkan bahwa serum IgG dapat bersifat melindungi terhadap infeksi HPV dan
kadar IgG yang tinggi dalam darah disebabkan oleh adanya vaksin L1 HPV yang
telah diberikan sebelumnya.
Pada prinsipnya IgG pada cairan yang keluar dari mulut rahim bersifat
melindungi terhadap infeksi HPV dan hal ini diperantarai oleh serum IgG yang biasa
melakukan transudasi pada epitel mulut rahim terutama pada daerah squamo-
columnar junction dan dalam konsentrasi tinggi mengikat partikel virus yang
akhirnya mencegah infeksi. Kadar sistemik dari IgG secara substansial lebih tinggi
dibandingkan pada cairan mulut rahim, sehingga biasanya menimbulkan kekebalan
sistemik terhadap infeksi virus HPV pada lokasi lain seperti kulit dan selaput lendir
permukaan epitel lainnya.
Dari data tentang percobaan tentang vaksin HPV ditunjukkan bahwa kadar
antibodi menurun setelah mencapai puncaknya setelah imunisasi dan kemudian
menetap, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan respon kekebalan tubuh yang
timbul pada infeksi alami HPV dan kadar tersebut menetap pada 48 bulan setelah
vaksinasi. Bagaimanapun juga, infeksi HPV dapat berulang setelah beberapa tahun
dan risiko mendapat infeksi baru sangat bergantung ada perilaku seksual dari individu
tersebut. Kadar antibodi kapsid pada infeksi alami HPV biasanya stabil pada
beberapa tahun dan apabila diikuti, sebesar 50% dari wanita akan menghasilkan
seropositif pada 10 tahun setelah ditemukannya infeksi virus HPV pada daerah
cervico vaginal (Rasjidi, 2009).

2.5.4 Vaksin Bivalen


Vaksin bivalen adalah vaksin yang mengandung protein L1 dari VLP HPV
tipe 16 dan 18 yang diekspresikan oleh rekombinan vektor baculovirus. Tiap 0,5 ml
vaksin mengandung 20 µg protein HPV 16 L1, 20 µg protein HPV 18 L1, 50 µg 3-O-
desacyl-4’-monophosphoryl lipid A, 0,5 mg aluminium hydroxide, 4,4 mg NaCl,
0,624 mg sodium dihydrogen phosphate dehydrate, residu dari sel serangga, protein
viral (<40 ng) dan protein bakteri (<150 ng). Vaksin ini tidak mengandung bahan
pengawet dan harus disimpan pada suhu 2°-8°C.
Vaksin bivalen diberikan pada wanita berusia 10-25 tahun (GlaxoSmithKline,
2009). Vaksin ini diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid sebanyak 0,5 ml
dan diberikan 3 kali. Pemberian kedua dilakukan 1 bulan setelah pemberian pertama
dan pemberian ketiga dilakukan 6 bulan setelah pemberian yang pertama (Rusmil,
2008).
Berdasarkan percobaan yang dilakukan Diana M Harper, didapatkan bahwa
vaksin bivalen sangat efektif dalam menurunkan angka kejadian infeksi HPV dan
infeksi menetap HPV tipe 16 dan 18 pada individu yang sudah mendapatkan
vaksinasi HPV lengkap. Efektivitas vaksin juga sangat tinggi pada wanita yang tidak
mendapatkan protokol vaksin secara lengkap (Rasjidi, 2009).
2.5.5 Vaksin Quadrivalen
Vaksin quadrivalen adalah vaksin yang mengandung protein L1 dari VLP
HPV tipe 6, 11, 16,dan 18 yang diekspresikan melalui suatu rekombinan vektor
Saccharomyces cerevisiae. Tiap 0,5 ml vaksin mengandung 20 µg protein HPV 6 LI,
40 µg protein HPV 11 L1, 40 µg protein HPV 16 L1, dan 20 µg protein HPV 18 L1.
Tiap 0,5 ml vaksin mengandung 225 µg Amorphous Aluminium Hidroxyphosphatase
Sulfate, 9,56 mg NaCl, 0,78 mg L-Histidine, 50 µg polysorbate 80, 35 µg sodium
borat, dan <7 µg protein ragi. Vaksin ini tidak mengandung bahan pengawet atau
antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 2°-8°C.
Vaksin quadrivalen diberikan pada wanita dan pria yang berusia 9-26 tahun
(Merck & Co., Inc., 2009). Vaksin ini diberikan secara intramuskular pada daerah
deltoid sebanyak 0,5 ml dan diberikan sebanyak 3 kali. Pemberian kedua dilakukan 2
bulan setelah pemberian pertama dan pemberian ketiga dilakukan 6 bulan setelah
pemberian yang pertama (Rusmil, 2008).
Efektivitas vaksin quadrivalen dalam mencegah kanker leher rahim yang
disebabkan oleh infeksi HPV tipe 16 dan 18 adalah 96%-100% (Rusmil, 2008).
Sementara itu, efektivitas vaksin dalam mencegah kutil kelamin yang disebabkan
oleh infeksi HPV tipe 6 dan 11 adalah sekitar 90% (FDA, 2009).

2.5.6 Efek Samping Setelah Vaksinasi HPV


Setelah pemberian vaksin, dilakukan evaluasi pada tempat vaksinasi dan efek
sistemik yang ditimbulkan (Rasjidi, 2009). Efek samping lokal dari vaksinasi HPV
adalah nyeri, reaksi kemerahan, dan bengkak pada tempat suntikan. Efek samping
sistemik dari vaksinasi HPV adalah demam, nyeri kepala, dan mual (Rusmil, 2008).

2.5.7 Vaksin HPV pada Beberapa Kondisi Khusus


Wanita yang mempunyai hasil tes pap smear yang abnormal bisa saja
terinfeksi HPV tipe 16 dan 18. Vaksinasi pada keadaan ini kurang atau mungkin tidak
memberi manfaat perlindungan, tetapi pemberiannya dilaporkan tidak memberikan
efek yang merugikan (Andrijono, 2007). Vaksinasi pada individu yang memiliki
riwayat pernah atau sedang menderita kutil kelamin tidak akan memberikan
perlindungan yang berarti.
Keamanan dari vaksin HPV pada penderita HIV positif dan penderita
penurunan sistem imun yang lain sampai sekarang masih dalam penelitian (Rasjidi,
2009). Namun menurut Bocchini, et al. (2007), vaksinasi dapat dilakukan bersama
dengan imunsiasi lain dan dapat diberikan pada individu dengan supresi sistem imun
akibat penyakit atau obat.
Vaksin quadrivalen tidak direkomendasikan untuk wanita hamil. Keamanan
dari vaksin HPV pada wanita hamil sampai sekarang masih dalam penelitian.
Sebaiknya vaksin diberikan setelah wanita tersebut melahirkan. Apabila vaksin sudah
terlanjur diberikan dan kemudian diketahui bahwa wanita tersebut hamil, pemberian
vaksin ulangan berikutnya lebih baik ditunda sampai wanita tersebut melahirkan.
Vaksin ini aman untuk diberikan pada wanita menyusui.
Vaksin HPV dapat diberikan pada keadaan sakit akut yang ringan, tetapi pada
keadaan berat, sebaiknya pemberian vaksin ditunda sampai benar-benar dinyatakan
sembuh. Vaksin ini tidak boleh diberikan pada individu yang memiliki alergi
terhadap komponen vaksin atau terhadap jamur (Rasjidi, 2009).

2.5.8 Tantangan dalam Vaksinasi HPV


Menurut Pradipta & Sungkar (2007), terdapat berbagai tantangan dalam
pengembangan vaksin HPV yang sempurna. Salah satunya adalah kesulitan untuk
mengembangkan HPV di laboratorium untuk menciptakan vaksin dari virus yang
dilemahkan. HPV juga merupakan virus yang hanya menginfeksi spesies tertentu
sehingga belum ada model binatang yang dapat meniru manusia secara sempurna.
Tantangan lainnya adalah diperlukannya vaksin multivalen yang dapat
melindungi dari berbagai tipe infeksi HPV karena antibodi terhadap tipe HPV tertentu
tidak dapat melindungi infeksi HPV tipe lain. Oleh karena itu, penggunaan vaksin
yang memiliki potensi untuk mengurangi untuk mengurangi insiden kanker leher
rahim serta lesi prakanker lainnya bukan berarti tidak diperlukannya skrining lagi
seumur hidupnya.
Vaksin HPV juga mendapat tantangan berupa perlawanan dari kaum agama
dan etik karena pemberian vaksin terhadap penyakit menular seksual dianggap dapat
memberikan kebebasan seksual pada anak-anak.
Tantangan terakhir adalah komunikasi kepada pemerintah mengenai
pentingnya pencegahan PMS yang umum dan tidak berbahaya namun dapat menjadi
penyakit ganas setelah 20-30 tahun. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai tipe
virus HPV yang paling banyak menginfeksi suatu negara sebab walaupun vaksin
tersebut 100% efektif, tetap tidak melindungi virus yang tidak terdapat di dalam
vaksin.

Anda mungkin juga menyukai