Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bronkitis kronis dan emfisema paru sering terdapat bersama-sama pada


seorang penderita. Kadang-kadang bronkitis kronis yang lebih banyak, kadang-
kadang emfisema paru yang lebih banyak. Jarang yang hanya bronkitis kronis saja
atau emfisema saja. Dalam keadaan lanjut, kedua penyakit ini sering
menyebabkan obstruksi saluran napas yang menetap dan dinamakan Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD). Bronkitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu batuk-batuk hampir
setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut
dalam satu tahunnya dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun. Kelainan utama
pada bronkitis kronis adalah hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus.
Terjadi sekresi mukus dan dinding bronkus. Ada 3 faktor utama yang
mempengaruhi timbulnya bronkitis kronis dan emfisema paru yaitu rokok, infeksi
dan polusi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi Bronkitis dan Emfisema Paru?
2. Bagaimana epidemiologi Bronkitis dan Emfisema Paru?
3. Bagaimana patologi Bronkitis dan Emfisema Paru?
4. Bagaimana patogenesis Bronkitis dan Emfisema Paru?
5. Bagaimana patofisiologi Bronkitis dan Emfisema Paru?
6. Bagaimana klasifikasi Bronkitis dan Emfisema Paru?
7. Bagaimana manifestasi klinis Bronkitis dan Emfisema Paru?
8. Bagaimana komplikasi Bronkitis dan Emfisema Paru?
9. Bagaimana diagnosis Bronkitis dan Emfisema Paru?
10. Bagaimana penatalaksanaan Bronkitis dan Emfisema Paru?
11. Bagaiamana prognosis Bronkitis dan Emfisema Paru?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi Bronkitis dan Emfisema Paru
2. Untuk mengetahui epidemiologi Bronkitis dan Emfisema Paru
3. Untuk mengetahui patologi Bronkitis dan Emfisema Paru
4. Untuk mengetahui patogenesis Bronkitis dan Emfisema Paru
5. Untuk mengetahui patofisiologi Bronkitis dan Emfisema Paru
6. Untuk mengetahui klasifikasi Bronkitis dan Emfisema Paru
7. Untuk mengetahui manifestasi klinis Bronkitis dan Emfisema Paru
8. Untuk mengetahui komplikasi Bronkitis dan Emfisema Paru
9. Untuk mengetahui diagnosis Bronkitis dan Emfisema Paru
10. Untuk mengetahui penatalaksanaan Bronkitis dan Emfisema Paru
11. Untuk mengetahui prognosis Bronkitis dan Emfisema Paru

2
BAB II

PEMBAHASAN

Bronkitis Kronis, Emfisema, Penyakit Paru Obstruktif


Kronis (PPOK)
Bronkitis kronis dan emfisema paru sering terdapat bersama-sama pada
seorang penderita. Kadang-kadang bronkitis kronis yang lebih banyak, kadang-
kadang emfisema paru yang lebih banyak. Jarang yang hanya bronkitis kronis saja
atau emfisema saja. Dalam keadaan lanjut, kedua penyakit ini sering
menyebabkan obstruksi saluran napas yang menetap dan dinamakan Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD).

A. Definisi
Bronkitis kronis adalah suatu definisi
klinis yaitu batuk-batuk hampir setiap hari
disertai pengeluaran dahak, sekurang-
kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam
satu tahunnya dan terjadi paling sedikit
selama 2 tahun. Beberapa penyakit lain
juga memberikan gejala yang sama antara
lain tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor
paru, asma bronkial. Karena itu penyakit-
penyakit tersebut harus disingkirkan
terlebih dahulu sebelum diagnosis bronkitis
kronis ditegakkan. Kadang-kadang sukar
membedakan antara bronkitis kronis dan
asma bronkial, bahkan dapat timbul
bersamaan pada seorang penderita.

3
Bronkitis kronis dapat dibagi menjadi :
 Simple chronic bronchitis; bila sputumnya mukoid
 Chronic atau Recurrent mucopurulent bronchitis; bila dahaknya
mukopurulen
 Chronic obstructive bronchitis; jika disertai obstruksi saluran napas yang
menetap.

Definisi emfisema paru adalah suatu definisi anatomik, yaitu suatu


perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal, yang disertai
kerusakan dinding alveolus.

Menurut American College of Chest Physicians/American Thoracic


Society (1975), PPOK didefinisikan sebagai sekelompok penyakit paru
dengan etiologi tidak jelas, yang ditandai oleh perlambatan aliran udara yang
bersifat menetap pada waktu ekspirasi paksa. Penyebab paling sering adlah
bronkitis kronis dan emfisema paru. Tetapi dapat pula disebabkan penyakit-
penyakit lain seperti bronkiektasis, asma bronkial dan tuberkulosis paru.

B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekitar 10-25% penduduk menderita simple
chronic bronchitis. Lebih banyak terdapat pada laki-laki diatas 40 tahun. Di
Inggris bronkitis kronis terdapat pada 17% laki-laki dan 8% wanita, India 3%
dan Nepal 12%. Emfisema paru di Amerika Serikat terdapat pada 65% laki-
laki dan 15% wanita. Di Jepang 42%. Data-data epidemiologis di Indonesia
sangat minim. Dari penelitian Edo, dkk di Kalimantan Tengah, insidensi
bronkitis kronis adalah 6,1%. Nawas, dkk melakukan penelitian di Poliklinik
Paru RS. Persahabatan, Jakarta dan mendapatkan PPOK sebanyak 26%,
kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru (65%). Penderita bronkitis kronis
yang dirawat di Sub-Unit Pulmonologi, UPF/Laboratorium Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Unpad/RS Hasan Sadikin tahun 1978-1982 adalah

4
6,21% dari seluruh penyakit paru yang dirawat. Merupakan keenam
terbanyak setelah penyakit tuberkulosis paru.
C. Patologi

Kelainan utama pada bronkitis kronis adalah hipertrofi dan hiperplasia


kelenjar mukus bronkus. Terjadi sekresi mukus dan dinding bronkus. Angka
ini dinamakan indeks Reid, normalnya adalah 0,26. Pada bronkitis kronis
rata-rata 0,55. Terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuklear
di submukosa trakeobronkial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang.
Pada penderita yang sering mengalami bronkospasme, otot polos saluran
bertambah dan timbul fibrosis peribronkial. Yang penting juga adalah
perubahan pada saluran nafas kecil (small airways) yaitu hiperplasia sel
goblet, sel radang di mukosa dan submukosa, edema, fibrosis peribronkial,
penyumbatan mukus intraluminal dan penambahan otot polos.

Pada emfisema paru terdapat pelebaran secara abnormal saluran udara


sebelah distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus.
Menurut American Thoracic Society (1962), dibagi atas:

1. Paracicatricial : terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan


dinding alveolus di tepi suatu lesi fibrotik paru.
2. Lobular : pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di
asinus/lobulus sekunder.Dibagi lagi menurut tempat prosesnya yaitu :
 Sentro lobular, kerusakan terjadi di daerah sentral asinus.
Daerah distalnya masih normal.
 Panlobular, kerusakan terjadi di seluruh asinus.
 Tidak dapat ditentukan, kerusakan terdapat di seluruh asinus,
tetapi tidak dapat ditentukan dari mana mulainya.

Emfisema sentrolobular sering ditemukan pada penderita pria


perokok, biasanya pada lobus atas paru dan menyertai penderita bronkitis
kronis. Emfisema panlobular terdapat pada penderita defisiensi alfa-1-

5
antitripsin dan sering menyertai proses degeneratif atau penderita bronkitis
kronis, timbul pada lobus bawah.

D. Patogenesis

Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronkitis kronis


dan emfisema paru yaitu rokok, infeksi dan polusi. Selain itu terdapat pula
hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial.

1) Rokok
Menurut buku Report of The WHO Expert Committe on Smoking
Control, rokok adalah penyebab utama bronkitis kronis dan emfisema
paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan
Volume Ekspirasi Paksa 1 detik pertama (VEP1). Dari 34.000 dokter di
Inggris, hanya tiga dokter yang meninggal karena bronkitis kronis dan
emfisema paru. Sedang penderita perokok, banyak yang meninggal karena
penyakit diatas. Secara patologis rokok berhubungan dengan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia skuamus epitel
saluran pernafasan. Juga dapat menyebabkan bronkokontriksi akut.
Menurut Crofton dan Douglas merokok menimbulkan pula inhibisi
aktivitas sel rambut getar, makrofag alveolar dan surfaktan.
2) Infeksi
Menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-
gejalanya pun lebih berat. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada
seorang penderita bronkitis kronis hampir selalu menyebabkan infeksi
paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah.
Eksaserbasi bronkitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi
virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri. Bakteri
yang diisolasi paling banyak adalah Haemophilus influenzae dan
Streptococcus pneumoniae.

6
3) Polusi
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab
penyakit di atas, tetapi apabila disertai dengan merokok, resiko akan lebih
tinggi. Zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan bronkitis adalah zat-
zat pereduksi seperti oksigen, zat-zat pengoksidasi seperti N2O,
hidrokarbon, aldehid dan ozon.
4) Keturunan
Belum diketahui dengan jelas apakah faktor keturunan berperan
atau tidak, kecuali pada penderita dengan defisiensi alfa-1-antitripsin yang
merupakan suatu protein. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik
yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk
jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih lanjut dapat dicegah.
Defisiensi alfa-1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara
autosom resesif, yang sering diderita oleh penderita emfisema paru adalah
penderita dengan gen S atau Z, emfisema paru akan cepat muncul bila
penderita tersebut merokok.
5) Faktor Sosial Ekonomi
Kematian pada penderita bronkitis kronis ternyata Lebih banyak
pada golongan sosial ekonomi rendah. Mungkin disebabkan oleh faktor
lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
6) Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan anti elastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan akan menimbulkan kerusakan jaringan elastik paru.
Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang
penting adalah pankreas, sel-sel Poli Morfonuklear (PMN) dan makrofag
alveolar/Pulmonary Alveolar Macrophage (PAM). Perangsangan pada
paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi, menyebabkan elastase
bertambah banyak. Aktivitas sistem anti elastase yaitu sistem enzim alfa-
1-protease-inhibitor terutama enzim alfa-1-anti tripsin (alfa-1-globulin)

7
menjadi menurun. Akibat tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan
anti elastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastin paru dan
kemudian emfisema.
E. Patofisiologi
Penyempitan saluran pernafasan terjadi pada bronkitis kronis
maupun pada emfisema paru. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya
sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Pada bronkitis
kronis sesak nafas terutama disebabkan karena perubahan pada saluran
pernafasan kecil, yang diameternya kurang dari 2 mm, menjadi lebih
sempit, berkelok-kelok dan kadang terjadi obliterasi. Penyempitan lumen
terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernafasan besar juga
berubah. Timbul terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar
mukus, sehingga saluran pernafasan lebih menyempit.
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebakan
elastisitas paru-paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar, yaitu
yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan
tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam, yaitu elastisitas paru. Bila
timbul keseimbangan antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang
terbentuk disebut sebagai Kapasitas Residu Fungsional/KRF atau
Functional Residual Capacity/FRC yang normal. Bila elastisitas paru
berkurang, akan timbul kesimbangan baru dan menghasilkan KRF yang
baru pula, yang lebih besar. Volume residu (VR) atau residual volume
(RV) dan Kapasitas Total Paru (KTP) bertambah pula, tetapi Kapasitas
Vital (KV) menurun.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan
yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran
pernafasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita emfisema
paru dan bronkitis kronis, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan
menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari

8
kerusakkannya, dapat terjadi alveoli dengan ventilasi yang kurang, akan
tetapi perfusi baik. Sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran
darah ke alveoli, tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak
ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang
tidak sama). Timbulah hipoksia dan sesak nafas. Lebih jauh lagi hipoksia
alveoli menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Terjadi hipertensi pulmonal, yang dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan korpulmonal.
F. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat:
1) Derajat I: COPD ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).
Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80%
Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari
bahwa fungsi parunya abnormal.
2) Derajat II: COPD sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%;
50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan
oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3) Derajat III: COPD berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%;  VEP£30% 1 < 50% prediksi). Terjadi
sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan
eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup
pasien.
4) Derajat IV: COPD sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%;
VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan
adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.

9
G. Manifestasi Klinis
1. Batuk
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk
bernapas.
H. Komplikasi
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang
dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen < 85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain: nyeri kepala, fatique, lethargi,
dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produk
simukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
4. Gagal Jantung
Teruta makor - pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyaki
tparu), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis,
tetap iklien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat
atau asidosis respiratory.

10
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan
asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam
kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa
diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.
I. Diagnosis
1) Anamnesis: riwayat penyakit yang ditandai 3 gejala klinis (Batuk,
sputum putih, sesak) dan  faktor faktor penyebab.
2) Pemeriksaan Fisik
 Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shaped
chest (diameter anteroposterior dada meningkat)
 Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
 Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati
lebih rendah, pekak jantung berkurang.
 Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang.
3) Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular
shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju
apeks paru dan corakan paru yang bertambah.Pada emfisema paru, foto
toraks menunjukkan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma yang
rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan
corakan ke distal.
4) Pemeriksaan Fungsi Paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR
yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat
penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal)
atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR,
sedangkan KTP bertambahatau normal. Keadaan di atas lebih jelas pada
stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran

11
napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun
karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
5) Pemeriksaan gas darah
Analisis gas darah pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi
hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru
dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang
pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus
bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung
kanan.
6) Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG kelainan yang paling dini adalah rotasi clock
wise jantung. Bila sudah terdapat korpulmonal terdapat deviasi aksis ke
kanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, danaVF. Voltase QRS rendah
Di V1 rasio R/S lebihdari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering
terdapat RBBB inkomplet.
7) Pemeriksaan laboratorium darah: hitung sel darah putih.
Tampak dari hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada
polisitemia  sekunder, jumlah darah meningkat, eosinofil dan total Ig E
serum meningkat, elektrolit menurut karene pemakaian obat diuretic.
8) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman atau kultur adanya infeksi campuran.
Kuman pathogen yang biasa ditemukan adalah Streptococcus pneumonia,
Hemophylus influenza, dan Moraxella catarrhalis.
J. Penatalaksanaan
1. Pencegahan: mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara.
2. Terapi eksaserbasi akut dilakukan dengan :
 Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi.
 Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
 Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.

12
 Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik ß dan antikolinergik. Pada pasien dapat
diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratropium bromida 250 µg
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan:
 Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x
0,25-0,5 g/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
 Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
 Fisioterapi
 Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
 Mukolitik dan ekspektoran
 Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas
tipe II dengan PaO2< 7,3 kPa (55 mmHg).
 Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar
dari depresi. Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah:
a. Fisioterapi
b. Rehabilitasi psikis
c. Rehabilitasi pekerjaan.
K. Prognosis
Pada eksaserbasi akut, prognosis baik dengan terapi. Pada pasien
bronkitis kronik dan emfisema lanjut dan FEV1 < 1 liter  survival
rate selama 5 -10 tahun mencapai 40%.

BAB III

13
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bronkitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu batuk-batuk hampir
setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-
turut dalam satu tahunnya dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun. Kelainan
utama pada bronkitis kronis adalah hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
bronkus. Terjadi sekresi mukus dan dinding bronkus. Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronkitis kronis dan emfisema paru yaitu
rokok, infeksi dan polusi. Patofisiologi pada bronchitis dan emfisema paru
adalah terjadinya penyempitan saluran pernafasan.

B. Saran
Semoga dengan adanya  makalah ini dapat membantu bagi para
pembaca untuk menambah pengetahuan tentang bronchitis dan emfisema
paru. Namun, masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan serta
banyak yang belum sesuai dengan apa yang kita harapkan. Demi
kesempunaan makalah ini, kami mengharapkan  kritik dan saran serta
dukungan yang bersifat membangun agar dalam pembuatan makalah
berikutnya lebih baik lagi.

14
DAFTAR PUSTAKA

15

Anda mungkin juga menyukai