Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ABSES PARU DAN EPIEMA

Disusun oleh : Kelompok VI


Anggota : 1. Sitti Fatimah L.
2. Sri Yulianti
3. St. Hadijah
4. Triana Sulfitri Syah
5. Ummatul Khaerah
6. Waodel Ananda Wulansari

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


TAHUN AJARAN 2016/2017
ABSES PARU

1. Definisi Abses paru

Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material
purulent berisikan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh
proses terinfeksi .

Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small


abscesses) dinamakan “necrotising pneumonia”. Abses besar atau abses
kecil mempunyai manifestasi klinik berbeda namun mempunyai
predisposisi yang sama dan prinsip diferensial diagnose sama pula. Abses
timbul karena aspirasi benda terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan
tubuh atau virulensi kuman yang tinggi. Pada umumnya kasus Abses paru
ini berhubungan dengan karies gigi, epilepsi tak terkontrol, kerusakan paru
sebelumnya dan penyalahgunaan alkohol. Pada negara-negara maju jarang
dijumpai kecuali penderita dengan gangguan respons imun seperti
penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari paska
obstruksi. Pada beberapa studi didapatkan bahwa kuman aerob maupupn
anaerob dari koloni oropharing yang sering menjadi penyebab abses paru.

Penelitian pada penderita Abses paru nosokonial ditemukan kuman aerob


seperti golongan enterobacteriaceae yang terbanyak. Sedangkan penelitian
dengan teknik biopsi perkutan atau aspirasi transtrakeal ditemukan
terbanyak adalah kuman anaerob. Pada umumnya para klinisi
menggunakan kombinasi antibiotik sebagai terapi seperti penisilin,
metronidazole dan golongan aminoglikosida pada abses paru. Walaupun
masih efektif, terapi kombinasi masih memberikan beberapa permasalahan
sebagai berikut :

1. Waktu perawatan di RS yang lama 


2. Potensi reaksi keracunan obat tinggi 
3. Mendorong terjadinya resistensi antibiotika. 
4. Adanya super infeksi bakteri yang mengakibatkan Nosokonial
Pneumoni. 

Terapi ideal harus berdasarkan penemuan kuman penyebabnya secara


kultur dan sensitivitas. Pada makalah ini akan dibahas Abses paru mulai
patogenesis, terapi dan prognosa sebagai penyegaran teori yang sudah ada.

2. Epidemologi
1. Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi
sesuai dengan peneliti dan teknik penelitian yang digunakan.
Finegolal dan fisliman mendapatkan bahwa organisme penyebab
abses paru lebih dari 89 % adalah kuman anaerob. Asher dan
Beandry mendapatkan bahwa pada anak-anak kuman penyebab
abses paru terbanyak adalah stapillococous aureus (1).

Tabel 1. Spektrum organisme penyebab Abses paru menurut Asher


dan Beaudry
Type of Organisms
Abscess
Primary a.  Staphylococcus aureus

Haemophilus influenzae types B, C, F, and


nontypable
Streptococcus viridans, pneumoniae
Alpha-hemolytic streptococci
Neisseria sp.
Secondary Mycoplasma pneumoniae

Aerobes

1)        All those listed for primary abscess

Haemophilus aphropilus, parainfluenzae


Streptococcus group B, intermedius
Klebsiella penumoniae
Escherichia coli, freundii
Pseudomonas pyocyanea, aeruginosa,
denitrificsns
Aerobacter aeruginosa
Candida
Rhizopus sp.
Aspergillus fumigatus
Nocardia sp
Eikenella corrodens
Serratia marcescens
Anaerobes

2)   Peptostreptococcus constellatus,


intermedius, saccharolyticus

3)   Veillonella sp., alkalenscenens

4)   Bacteroides melaninogenicus,


oralis, fragilis, corrodens, distasonis,
vulgatus, ruminicola,
asaccharolyticus

5)   Fusobacterium necrophorum,


nucleatum

6)   Bifidobacterium sp.

2. Insidens
Angka kejadian Abses Paru berdasarkan penelitian Asher et al tahun
1982 adalah 0,7 dari 100.000 penderita yang masuk rumah sakit
hampir sama dengan angka yang dimiliki oleh The Children’s Hospital
of eastern ontario Kanada sebesar 0,67 tiap 100.000 penderita anak-
anak yang MRS. Dengan rasio jenis kelamin laki-laki banding wanita
adalah 1,6 : 1 (1, 8).
Angka kematian yang disebabkan oleh Abses paru terjadi penurunan
dari 30 – 40 % pada era preantibiotika sampai 15 – 20 % pada era
sekarang (7).

3. Pathofisiologi
 
1. Pathologi

Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
proses supurasi dan nekrosis.

Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari suppurasi dan trombosis


pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi.
Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir
proses abses dengan jaringan fibrotik. Suatu saat abses pecah, lalu jaringan
nekrosis keluar bersama batuk, kadang terjadi aspirasi pada bagian lain
bronkus terbentuk abses baru. Sputumnya biasanya berbau busuk, bila
abses pecah ke rongga pleura maka terjadi empyema (2, 3, 10).

2. Pathofisiologi

Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru disebutkan


sebagai berikut :

 Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada


penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan
multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis.
Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level
bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga
dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan
perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum)
misal abses hepar.
 Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita
tuberkolosis dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami
proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau
polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder.
 Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai
proses abses paru.
 Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik.
Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum
keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena
pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
 Pembentukan kavitas pada kanker paru.
 Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi
peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi
nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.

4. Manifestasi Klinis

1. Gejala klinis :

Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala
pneumonia pada umumnya yaitu:
 Panas badan : Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru.
Kadang dijumpai dengan temperatur > 400C.
 Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan
rongga abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan
bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
 Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai
berkisar 40 – 75% penderita abses paru.
 Nyeri dada (50% kasus)
 Batuk darah (25% kasus)
 Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat
badan.
 Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti
redup, suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari
tabuh serta takikardi.

2. Gambaran Radiologis

Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda
konsolidasi disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan
ukuran  2 – 20 cm.
Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila
terdapat hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air
fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-
tanda konsolidasi (opasitas).

3. Pemeriksaan laboratorium

 Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat


lebih dari 12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan
peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah
ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah
putih didapatkan pergeseran shit to the left
 Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH
merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan
antibiotik secara tepat.
 Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan
merupakan cara terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan
etiologis.

5. Diagnosa
Diagnosa abses paru tidak bisa ditegakkan hanya berdasarkan kumpulan
gejala seperti pneumonia dan pemeriksaan phisik saja.Diagnosa harus
ditegakkan berdasarkan :

1. Riwayat penyakit sebelumnya.

 Keluhan penderita yang khas misalnya malaise, penurunan berat


badan, panas badan yang ringan, dan batuk yang produktif.
 Adanya riwayat penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi,
trauma atau serangan epilepsi. Riwayat penyalahgunaan obat yang
mungkin teraspirasi asam lambung waktu tidak sadar atau adanya
emboli kuman diparu akibat suntikan obat.

2. Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung adanya data tentang penyakit


dasar yang mendorong terjadinya abses paru.

3. Pemeriksaan laboratorium sputum gram, kultur darah yang dapat


mengarah pada organisme penyebab infeksi.

4. Gambaran radiologis yang menunjukkan kavitas dengan proses


konsolidasi disekitarnya, adanya air fluid level yang berubah posisi sesuai
dengan gravitasi.

5. Bronkoskopi

Fungsi Bronkoskopi selain diagnostik juga untuk melakukan therapi


drainase bila kavitas tidak berhubungan dengan bronkus.
 
Diagnosa Banding (2) :

1. Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi, biasanya dinding


kavitas tebal dan tidak rata. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan
sitologi/patologi.
2. Tuberkulosis paru atau infeksi jamur
3. Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses
paru. Pada tuberkulosis didapatkan BTA dan pada infeksi jamur
ditemukan jamur.
4. Bula yang terinfeksi, tampak air fluid level. Di sekitar bula tidak ada
atau hanya sedikit konsolidasi.
5. Kista paru yang terinfeksi. Dindingnya tipis dan tidak ada reaksi di
sekitarnya.
6. Hematom paru. Ada riwayat trauma. Batuk hanya sedikit.
7. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi. Pekerjaan penderita jelas
di daerah berdebu dan didapatkan simple pneumoconiosis pada
penderita.
8. Hiatus hernia. Tidak ada gejala paru. Nyeri restrosternal dan heart
burn bertambah berat pada waktu membungkuk. Diagnosis pasti
dengan pemeriksaan barium foto.
9. Sekuester paru. Letak di basal kiri belakang. Diagnosis pasti dengan
bronkografi atau arteriografi retrograd.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan


mikrobiologi dan data penyakit dasar penderita serta kondisi yang
mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa modalitas
terapi yang diberikan pada abses paru :

1. Medika Mentosa

 Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada


era antibiotika maka tingkat kkematian dan prognosa abses paru
menjadi lebih baik.
 Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini
dijumpai peningkatan Abses paru yang disebabkan oleh kuman
anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka bisa
dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan
penicillin G dengan clindamycin atau dengan Metronidazole, atau
kombinasi clindamycin dan Cefoxitin.
 Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase
inhibitase, pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang
berkembang menjadi Abses paru.
 Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan
respon radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu
setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi diberikan
antibiotika minimal 2-3 minggu.

2. Drainage

 Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15


menit diperlukan untuk mempercepat proses resolusi Abses paru.
 Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus
maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.
3. Bedah

Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:

 Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.


 Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
 Infeksi paru yang berulang
 Adanya gangguan drainase karena obstruksi.

7.Komplikasi Dan Prognosa

1. Beberapa komplikasi yang timbul adalah :

 Empyema
 Abses otak
 cAtelektasis
 Sepsis

2. Prognosa 

Abses paru masih marupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang


signifikan. Angka kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar
antara 30-40%.

Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa


yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu fakktor
predisposisi. Perlman et al menemukan bahwa 2% angka kematian pada
penderita dengan satu faktor predisposisi dibandingkan 75% pada
penderita dengan multi predisposisi. Muri et al melaporkan 2,4% angka
kematian Abses paru karena CAP dibanding 66% Abses paru karena HAP.
Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru
sebagai berikut :

 Anemia dan Hipo Albuminemia


 Abses yang besar (5-6 cm)
 Lesi obstruksi
 Bakteri aerob
 Immune Compromised
 Usia tua
 Gangguan intelegensia
 Perawatan yang terlambat
Ringkasan

 Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi
material purulent dan sel radang akibat proses nekrotik parenkim
paru oleh proses infeksi. Abses paru timbul karena faktor
predisposisi seperti gangguan fungsi imun karena obat-obatan,
gangguan kesadaran (anestesi, epilepsi), oral higine yang kurang
serta obstruksi dan aspirasi benda asing.
 Pada abses paru memberikan gejala klinis panas, batuk, sputum
purulen dan berbau, disertai malaise, naspu makan dan berat badan
yang turun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardia, tanda-
tanda konsolidasi. Pada pemeriksaan foto polos dada didapatkan
gambaran kavitas dengan air fluid level atau proses konsolidasi saja
bila kavitas tidak berhubungan dengan bronkus.
 Diagnosis pasti bila didapatkan biakan kuman penyebab sehingga
dapat dilakukan terapi etiologis.
 Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi
bedah dan terapi suportif fisioterapi.
EPIEMA

1. DEFINISI EPIEMA

Empiema adalah keadaan terkumpulnya nanah ( pus ) didalam


ronggga pleura dapat setempat atau mengisi seluruh rongga
pleura( Ngastiyah,1997). Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen
(pus) di dalam rongga pleura.Awalnya rongga pleura adalah cairan encer
dengan jumlah leukosit rendah, tetapi sering kali berlanjut menjadi yang
kental.Hal ini dapat terjadi jika abses paru-paru meluas sampai rongga
pleura.
Empiema juga diartikan sebagai akumulasi pus diantara paru dan
membrane yang menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi
bilamana suatu paru terinfeksi.Pus ini berisi sel sel darah putih yang
berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga
berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan fibrin.Ketika pus
terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada
paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan
berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan
memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan
jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya
mengakibatkan kerusakan yang permanen.Empiema biasanya merupakan
komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong kantong pus yang
terlokalisasi (abses) dalam paru.Meskipun empiema sering kali merupakan
dari infeksi pulmonal, tetapi dapat juga terjadi jika pengobatan yang
terlambat.

2. KLASIFIKASI
a. Empiema akut
Terjadi akibat infeksi sekunder dari tempat lain bukan primer dari
pleura. Gejala mirip dengan pneumonia yaitu panas tinggi, nyeri
pleuritik, apabila stadium ini dibiarkan dalam beberapa minggu akan
timbul toksemia, anemia, pada jaringan tubuh dan clubbing finger . Jika
nanah tidak segera dikeluarkan akantimbul fistel bronchopleura dan
empiema neccesitasis. Adanya fistel ditandai dengan batuk produktif,
bercampur nanah dan darah massif dan kadang menyebabkan
sufokasi(mati lemas). Empiema karena pneumothorak pneumonia,
timbul setelah cairan pneumonia membaik.
b. Empiema kronik
Batas yang tegas antara akut dan kronis sukar ditentukan disebut
kronis apabila terjadi lebih dari 3 bulan.Penderita mengelub badannya
lemah, kesehatan penderita tampak mundur, pucat pada jari tubuh,
dada datar, dan ditemukan adanya tanda cairan pleura.

Empiema Dibagi Menjadi 3 Stadium :


a. Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang
terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan
cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan
mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdirir atas
neutrofil.stadium ini terjadi selama 24 – 72 jam dan kemudian
berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir
bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah
dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa
dan Ph yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin
dapatmempercepat perbaikan.
b. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium
transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang
meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan
dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri dan debris
seluler. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan
membrane fibrin yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang
pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa
menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir
setelah 7 – 10 haridan sering membuntuhkan penanganan yang
lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
c. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi
pembentukan kulit fibrinosa pada membrane pleura, membentuk
jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk
lokulasiintrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi
untukdrainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi
cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblast.Parenkim paru
menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium
ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal.

3. ETIOLOGI
a. Berasal dari paru
 Pneumonia
Infeksi paru seperti pneumonia dapat menyebar secaralangsung ke
pleura, penyebaran melalui sistem limfatik ataupenyebaran secara
hematogen.Penyebaran juga bisa terjadiakibat adanya nekrosis
jaringan akibat pneumoni.
 Abses Paru
Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmenposterior
lobus atas dan segmen apikal lobus bawah, dansering terjadi pada
paru kanan, karena bronkus utama kananlebih lurus dibanding
kiri.Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, denganisinya di
ekspektorasikan keluar dengan meninggalkankavitas yang berisi air
dan udara, kadang-kadang absesruptur ke rongga pleura sehingga
terjadi empiema.
 Adanya fistel pada paru
 Bronkiektasis
 TB
 Infeksi fungidal paru
b. Infeksi Diluar Paru
 Trauma dari tumor
 Pembedahan
 Pembedahan thorak yang tidak steril dapat mengakibatkanmasuknya
kuman ke rongga pleura sehingga terjadiperadangan di rongga
pleura yang dapat menimbulkanempiema. Akibat instrument bedah,
rupturnya esophagus,bocornya anatomis esophagus dan fistula
bronkopleural yangdiikuti dengan pneumonektomi
 Thorakosentesis
 Abses hati karena amoeba
c. Bakteri
 Staphylococcus Aereus
Bakteri ini adalah bakteri gram positif dengan sifatnya yangdapat
menghemolisa darah dan mengkoagulasi plasma.Bakteri ini tumbuh
dalam keadaan aerob, bakteri ini dapatmemproduksi eksotoksin
yang dapat menghemolisis eritrosit,kemudian leukocidin yang dapat
membunuh leukosit, danmenyebabkan peradangan pada rongga
pleura
 Streptococcus Pyogenic
 Bakteri gram Negatif
 Bakteri anaerob

4. PATOFISIOLOGI
Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka akan
timbulahperadangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat
serous. Dengan sel polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun
yang mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh
dan kental. Adanya endapan – endapan fibrin akan membentuk kantung –
kantung yang melokalisasi nanah tersebut. Sekresi cairan menuju celah
pleura normalnya membentuk keseimbangan dengan drainase oleh
limfatik subpleura.Sistem limfatik pleura dapat mendrainase hampir 500
ml/hari.
Bila volume cairan pleura melebihi kemampuan limfatik untuk
mengalirkannya maka, efusi akan terbentuk. Efusi parapnemonia
merupakan sebab umum empiema. Pneumonia mencetuskan respon
inflamasi.Inflamasi yang terjadi dekat dengan pleura dapat meningkatkan
permeabilitas sel mesotelial, yang merupakan lapisan sel terluar dari
pleura.Sel mesotelial yang terkena meningkat permeabilitasnya terhadap
albumin dan protein lainnya. Hal ini mengapa suatu efusi pleura karena
infeksi kaya akan protein. Mediator kimia dari proses inflamasi
menstimulasi mesotelial untuk melepas kemokin, yang merekrut sel
inflamasi lain. Sel mesotelial memegang peranan penting untuk menarik
neutrofil ke celah pleura.Pada kondisi normal, neutrophil tidak ditemukan
pada cairan pleura.Neutrofil ditemukan pada cairan pleura hanya jika
direkrut sebagai bagian dari suau proses inflamasi. Netrofil, fagosit,
mononuklear, dan limfosit meningkatkan respon inflamasi dan
mengeleluarkan mediator untuk menarik sel-sel inflamator lainya ke dalam
pleura.Efusi pleura parapneumoni dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan
patogenesisnya, yaitu efusi parapneumoni tanpa komplikasi, dengan
komplikasi dan empiema torakis.Efusi parapneumoni tanpa komplikasi
merupakan efusi eksudat predominan neutrofil yang terjadi saat cairan
interstisiil paru meningkat selama pneumonia. Efusi ini sembuh dengan
pengobatan antibiotik yang tepat untuk pneumonia. Efusi parapneumoni
komplikasi merupakan invasi bakteri pada celah pleura yang
mengakibatkan peningkatan jumlah neutrofil, asidosis cairan pleura dan
peningkatan konsentrasi LDH.Efusi ini sering bersifat steril karena bakteri
biasanya dibersihkan secara cepat dari celah pleura.

Pembentukan empiema terjadi dalam 3 tahap, yaitu :


a. Fase eksudatif
Selama fase eksudatif, cairan pleura steril berakumulasi secara cepat ke
dalam celah pleura. Cairan pleura memiliki kadar WBC dan LDH yang
rendah, glukosa dan pH dalambatas normal. Efusi ini sembuh dengan terapi
antibiotik, penggunaan chest tube tidak diperlukan.
b. Fase fibropurulen
Invasi bakteri terjadi pada celah pleura, dengan akumulasi leukosit
PMN, bakteri dan debris. Terjadi kecendrungan untuk lokulasi, pH dan
kadar glukosa menurun, sedangkan kadar LDH menngkat.
c. Fase organisasi : Bentuk lokulasi.
Aktivitas fibroblas menyebabkan pelekatan pleura visceral dan
parietal.Aktivitas ini berkembang dengan pembentukan perlengketan
dimana lapisan pleura tidak dapat dipisahkan. Pus, yang kaya akan protein
dengan sel inflamasi dan debris berada pada celah pleura. Intervensi bedah
diperlukan pada tahap ini.Gambaran bakteriologis efusi parapneumoni
dengan kultur positif berubah seiring berjalannya waktu. Sebelum era
antibiotik, bakteri yang umumnya didapatkan adalah Streptococcus
pneumoniae danstreptococci hemolitik.Saat ini, organisme aerob lebih
sering diisolasi dibandingkanorganisme anaerob. Staphylococcus aureus
dan S pneumoniae tumbuhpada 70 % kultur bakteri gram positif aerob.
Bakteriologi suatu efusi parapneumoni berhubungan erat dengan
bakteriologi pada proses pneumoni. Organisme aerob gram positif dua kali
lebih sering diisolasi dibandingkan organisme aerob gram negatif.
Klebsiela, Pseudomonas, dan Haemophilus merupakan 3 jenis organisme
aerob gram negatif yang paling sering diisolasi. Bacteroides
danPeptostreptococcus merupakan organisme anaerob yang paling sering
diisolasi.Campuran bakteri aerob dan anaerob lebih sering menghasilkan
suatu empiema dibandingkan infeksi satu jenis organisme.Bakteri anaerob
telah dikultur 36 sampai 76 % dari empiema.Sekitar 70 % empiema
merupakan suatu komplikasi dari pneumoni.Pasien dapat mengeluh
menggigil, demam tinggi, berkeringat, penurunan nafsu makan, malaise,
dan batuk.Sesak napas juga dapat dikeluhkan oleh pasien.
5. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Brunner & Suddarth, 2001, manifestasi klinis epiema yaitu:
a. Demam
b. Berkeringat di malam hari
c. Nyeri pleura
d. Batuk
e. Malaise
f. Dyspnea
g. Anorexia
h. Penurunan berat badan
i. Inspeksi pada empiema kronik dapat dijumpai clubbing finger
j. Auskultasi dada terdengar suara nafas akan melemah di daerah
yangmengalami empyema
k. Pada palpasi terdapat penurunan fremitus (fibrasi vokal)
l. Pada perkusi terdapat bunyi redup

Manifestasi klinis epiema berdasarkan klasifikasinya:


a. Empiema Akut
Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari pleura.
Pada permulaan, gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia, yaitu panas
tinggi dan nyeri pada dada pleuritik.Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila stadium inidibiarkan
sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan clubbing
finger. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura.
Adanya fistel ditandaidengan batuk yang makin produktif, bercampur
nanah dan darah masif, serta kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati
lemas).Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya
cairan adalah setelahkeadaan pneumonianya membaik.Sebaliknya pada
Streptococcus pneumonia, empiema timbulsewaktu masih akut.Pneumonia
karena baksil gram negatif seperti E coli atau Bakterioidssering kali
menimbulkan empiema.
b. Empiema Kronis
Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar
ditentukan.Disebut kronis jikaempiema berlangsung selama lebih dari tiga
bulan.Penderita mengeluh badannya terasa lemas,kesehatan makin
menurun, pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-
tandacairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung
akantertarik ke sisi yang sakit.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Gejala klinis :
 Sering dijumpai demam
 Malaise dan kehilangan berat badan pada empiema kronis
 Penderita sering mengeluh adanya nyeri pleura (Pleuriticpain)
 Dispnoe dapat disebabkan akibat kompresi atau penekananpada
paru-paru oleh cairan empiema
 Batuk sering dijumpai dan adanya fistula bronkopleural yangdisertai
dengan sputum yang purulen yang dapat dibatukkan.
b. Pemeriksaan fisik :
Kualitas suara pernafasan yang dapat ditemukan adalah suara
pernapasan bronkial, normalnya didengar di trakea, yang pada auskultasi
inspirasi dan ekspirasi jelas terlihat.Suarapernafasan perifer lainnya yang
dapat terdengar adalah suara pernapasan vesikular, yakni rasio inspirasi
yang terdengar lebih panjang dari ekspirasi. Suara pernapasan bronkial
yang terdengar
pada paru perifer diperkirakan terjadi konsolidasi atau adanya efusi
pleura. Menurunnya suara pernafasan saat usaha bernapas merupakan
alasan yang cukup untuk mencurigai adanya atelektasis, konsolidasi lobaris
(pneumonia) atau efusi pleura.Temuan yang didapatkan dari pemeriksaan
fisik, dipadukan dengan inspeksi yang terlihat adanya deviasi trakea
dengan jantung, pergerakan dinding dada, perkusi, fremitus, suara
pernafasan, dan melemah sampai menghilangnya suara pernafasan, dapat
membantu menemukan patologi intratoraks.Pergerakan dada yang
asimetris dapat disebabkan oleh space-occupying lesion seperti efusi
pleura. Pada pemeriksaan pernapasan yang harus dinilai : keadaan umum,
laju pernapasan, warna, pernapasan cuping hidung, suara pernapasan yang
terdengar, dan usaha bernapas. Pernapasan didominasi oleh gerak
diafragma dengan sedikit bantuan dari otot otot dada. Selain melihat gerak
pernapasan, juga penting untuk menilai adakah retraksi ( chest indrawing )
yang merupakan indikator adanya penyakit paru pada bayi kurang dari 2
tahun oleh WHO. Tipe tipe retraksi : supraklavikular, interkosta, dan
subkosta. Perkusi tidak banyak membantu pemeriksaan karena pada bayi
memang hiperesonansi dan sulit untuk melacak abnormalitas dari
perkusi.Selanjutnya dilakukan auskultasi, telah dikatakan sebelumnya
bahwa suara akan diteruskan menjadi lebih keras dan lebih kasar daripada
pada dewasa. Selain itu, sulit untuk dibedakan dengan suara dari saluran
napas atas yang diteruskan ke dada.Untuk membedakannya terdapat
beberapa petunjuk yang berguna, suara napas dari saluran napas atas
cenderung kuat dan diteruskan simetris ke kedua dada dan semakin
menguat saat stetoskop digerakkan ke atas, biasanya saat inspirasi,
terdengar kasar. Suara pernapasan saluran napas bawah akan
terdengarlebih kuat pada daerah yang patologis dan sering asimetris,
sering terdengar saat fase ekspirasi.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Radiologi
1) Cairan pleura bebas dapat terlihat sebagai gambarantumpul di
sudut kostofrenikus pada posisi posteroanterioratau lateral.
2) Dijumpai gambaran yang homogen pada daerahposterolateral
dengan gambaran opak yang konveks padabagian anterior yang
disebut dengan D-shaped shadowyang mungkin disebabkan oleh
obliterasi sudut kostofrenikus ipsilateral pada gambaran
posteroanterior.
3) Organ-organ mediastinum terlihat terdorong ke sisi
yangberlawanan dengan efusi.
4) Air-fluid level dapat dijumpai jika disertai denganpneumotoraks,
fistula bronkopleural.

 Pemeriksaan ultrasonografi (USG)


1) Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya septa atausekat pada
suatu empiema yang terlokalisir.
2) Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk menentukanletak
empiema yang perlu dilakukan aspirasi ataupemasangan pipa
drain.
 Pemeriksaan CT scan
1) Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya suatupenebalan
dari pleura.Kadang dijumpai limfadenopati inflamatori
intratorakspada CT scan.
7. PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan empiema adalah :
a. Pengosongan nanah
Prinsip ini seperti umumnya dilakukan pada abses, untuk mencegah
efek toksisnya
 Aspirasi Sederhana
Dilakukan berulangkali dengan memakai jarum lubang besar.Cara
ini cukup baik untuk mengeluarkan sebagian besar pusdari
empiema akut atau cairan masih encer. Kerugian teknikseperti ini
sering menimbulkan “pocketed” empiema. USGdapat dipakai
untuk menentukan lokasi dari pocket empiema.
 Closed drainase/ tube toracostomy water sealed drainagedengan
indikasi :
1) Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
2) Nanah terus terbentuk setelah 2 minggu
3) Terjadinya piopneumothoraks

 Drainase terbuka (Open drainage) : Open drainage dikerjakan


pada empiema kronis, hal ini terjadiakibat pengobatan yang
terlambat atau tidak adekuatdengan cara reseksi iga untuk
mengangkat pleura yangmengalami penebalan, pus, debris, serta
untuk mengangkatjaringan paru yg sakit dibawahnya (Brunner
&Suddarth.2001)
b. Antibiotik
Antibiotik harus segera diberikan setelah diagnosis ditegakkan
dan dosisnya harus tepat.Antibiotik dapat di berikan secara sistemik
atau topikal.Biasanya diberikan penisilin.Pemilihan antibiotika
didasarkan pada hasil pengecatan Gram dari hapusan nanah.
Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan
sensitivitasnya. Metronidazole dapat ditambahkan untuk organisme
gram negatif anaerob yang menghasilkan b-laktamase.Sefalosporin
generasi kedua seperti cefoxitin sangat potensial terhadap gram
negatif yang menghasilkan b-laktamase.
c. Penutupan rongga empiema
 Dekortikasi. Merupakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat /membebaskan pleura viseralis dari penumpukan.
Tindakan initermasuk operasi besar dengan indikasi :
1) Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung
2) Letak empiema sukar dicapai oleh drain
3) Empiema totalis yang mengalami organisasi pada
pleuraviseralis
 Torakoplasti. Jika empiema tidak sembuh karena adanya
fistelbronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi.
Padapembedahan ini, segmen dari tulang iga
dipotongsubperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh
kedalam rongga pleura karena tekanan atmosfer.
 Pengobatan kausal. Misalnya subfrenik abses dengan
drainasesubdiagfragmatika, terapi spesifik pada amoebasis
dansebagainya.
 Pengobatan tambahan. Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi
untuk membebaskanjalan nafas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Asher MI, Beadry PH ; Lung Abscess in infections of Respicatory


tract ; Canada ; 1990 : 429 – 34.
2. Assegaff H. dkk ; Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru ;
AUP ; Surabaya ; 136 – 41.
3. Barlett JG ; Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19th ed ;
Phildelphia ; 1992 ; 413 – 15.
4. Finegold SM, Fishman JA ; Empyema and Lung Abscess ; in Fishman’s
pulmonary Diseases and disorders 3rd ed ; Philadelphia ; 1998 ; 2021
– 32.
5. Garry et al ; Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal
Medicina : Diagnosis and Therapy 3rd ; Oklahoma ; 1993 ; 119 – 120.
6. Estiani, Veni.2016.Laporan
PendahuluanEmpiema.UniversitasBrawijaya :Fakultas Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai