Anda di halaman 1dari 2

MENYANTAP HIDANGAN ISTIMEWA DI SEPULUH HARI TERAKHIR

Tanpa terasa hari-hari Ramadhan berjalan begitu cepat, seolah-olah baru kemarin
sore kita baru memulai puasa. Sepuluh hari pertama yang penuh rahmat sudah kita lalui;
dan sepuluh hari yang penuh ampunan dari Allah pun sudah lewat, kini kita berada di
sepuluh hari terakhir yang mengandung keselamatan dari neraka. Banyak orang menantikan
kehadiran sepuluh hari terakhir di bulan mubarak ini karena di sana terdapat hidangan
istimewa berupa lailatul qadar, malam yang oleh Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya disebut
"malam agung", malam yang penuh kemuliaan, kebaikan yang melimpah, pahala yang agung
karena malam ini lebih baik ketimbang seribu bulan. Oleh karenanya sikap yang terbaik
adalah merayakanya dengan kesungguhan dalam qiyammul lail, dzikir, doa dan bangun
malam.
Keagungan malam agung tersebut terekam jelas dalam firman Allah: Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukan kamu, apa
malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam
itu turunlah para malaikat dan Ruh al-Amin dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur
segala urusan dan sejahteralah malam itu hingga fajar (QS.al-Qadar:1-5). Para ulama
menyebutkan bahwa amalan di dalamnya lebih baik daripada amalan 80 tahun-sama
dengan usia manusia pada umumnya. Karena sungguh sayang jika kesempatan ini berlalu
begitu saja, tanpa ada keinginan untuk meraihnya. Padahal jika kesempatan itu luput, maka
tidak mudah mudah untuk meraihnya pada waktu yang lain. Nabi sudah mengingatkan: "Di
Bulan Ramadhan terdapat lalilatul qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa
terhalang dari meraih kebaikan di dalamnya, maka ia akan luput dari seluruh kebaikan (HR.
Ahmad). Tidak heran jika Rasul selalu menyingsingkan lengan baju demi mengoptimalkan
malam tersebut dengan mengajak keluarga dan handai taulan melaksanakan qiyamul lail
sepanjang malam dan melakukan iktikaf hingga wafatnya. Aisyah, istri nabi meriwayatkan:
bahwa Nabi SAW beriktikaf pada sepuluh hari yang akhir dari ramadhan hingga wafatnya,
kemudian istri-istri beliaupun beriktikaf setelah kepergian beliau (HR. Bukhari).
Karenanya ibadah yang paling dianjurkan adalah dalam merayakan keagungan
lailatul qadar adalah i'tikaf. Ritual ini dapat menjaga seseorang dari perbuatan maksiat dan
dosa serta mendapat pahala yang setara dengan orang yang mengerjakan amal-amal
ketaatan secara keseluruhan mengingat ia menahan diri di rumah Allah. Ibadah ini menurut
Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu memang mensyaratkan tempat
yang bisa digunakan adalah tempat yang biasa digunakan untuk menunaikan shalat jamaah
dan Jum'at. Waktu yang dibutuhkan jika menilik pada pendapat ulama Malikiyah sekurang-
kurangnya mereka yang melakukan iktikaf haruslah melaksanakan shalat lima waktunya di
masjid. Tetapi ulama lain seperti Syafiiyah, Hanafiyah cukup diam sejenak di dalam masjid
sudah memenuhi syarat. Ala kulli hal,ritual ini adalah sebuah periode yang di dalamnya
khusus beribadah kepada Allah dan meninggalkan urusan duniawi.
Pada masa pandemi COVID-19 nampaknya kita sulit untuk melakukan ilktikaf
sebagaimana mestinya, apalagi bagi masyarakat yang berada di daerah yang berstatus zona
merah. Beriktikaf memang tampak lebih menjanjikan pahala dan mulia. Namun dalam
kondisi seperti ini nampaknya lebih baik jika mengedepankan keselamatan diri sendiri dan
masyarakat untuk melakukan ritual ibadah di rumah sebagaimana anjuran para ulama dan
pemerintah. Meskipun terdapat pendapat yang membolehkan iktikaf tidak lingkungan
masjid tapi cukup di pasalatan rumah (masjid al-bait), namun perlu diingat ibadah untuk
menghidupkan malam agung lailatul qadar bukan hanya dengan iktikaf, karena ada yang
jauh lebih besar dari sekedar iktikaf. Mendermakan tenaga, kemampuan, fikirian maupun
sebagian rizki yang kita miliki untuk membantu orang lain yang terkena dampak dari
pandemi ini akan memperoleh pahala yang sama dengan ibadah iktikaf. Hal ini pun pernah
dilakukan oleh para sahabat yang menggagalkan iktikafnya disebabkan rasa empati yang
tinggi terhadap saudara sesama muslim yang membutuhkan uluran tangan. Mari kita lihat
wejangan nabi: "Manusia yang paling mendapatkan kecintaan di sisi Allah adalah orang
yang memberikan kemanfaatan kepada orang lain. Adapun malan yang paling dicintai Allah
adalah membuat muslim yang lain merasa bahagia, mengangkat kesusahanyya,
membayarkan hutangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan
bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri'tikaf
di masjid ini-masjid nabawi selama sebulan penuh (HR. Thabrani).
Di samping itu ada banyak cara dikarenakan uzur kita tidak bisa berdiam diri masjid
untuk menggapai lailatul qadar, memperbanyak shalat malam, membaca istighfar, dzikir
mendaras al-Qur'an, maka malaikat Jibril-pun tetap akan membelai dan memberikan
rahmat-Nya. Barang siapa yang dibelai sayap malaikat jibril maka akan masuk surga.
Akhirnya, mudah-mudahan kita diberi kemudahan dan kekuatan oleh Allah SWT dalam
melahap semua hidangan istimewa lailatul qadar, meski dalam kondisi terbatas karena
harus tetap menerapkan kebijakan physical distancing sebagai bentuk ikhtiyar pengendalian
penyebaran virus Coronda dan mencegah COVID-19.
*Mukhlisin Purnomo, Pengurus LDNU Kab. Bantul dan DAI KODAMA Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai