Anda di halaman 1dari 38

PERAN PENGHULU KABUPATEN BANTUL DALAM MENYELESAIKAN

SENGKETA WALI ADHAL

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP)

mendefinisikan perkawinan sebagai “ikatan lahir bathin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”,

atau menurut bahasa Kompilasi Hukum Islam (KHI) ialah “rangkaian ijab yang

diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya

disaksikan oleh dua orang saksi”.

Pernikahan harus dilaksanakan berdasarkan rukun dan syarat yang diatur

dalam fikih munakahat. Rukun dalam akad pernikahan ada 5, yaitu Calon Suami,

Calon Isteri, Wali nikah, Dua orang saksi dan Akad (Ijab dan Kabul).

Tentang sahnya pernikahan, ada hadits Nabi yang berbunyi: “La nikaaha

illa biwaliyyin wa syahidaini adlin, tidak sah suatu pernikahan kecuali akad nikah

itu dilakukan oleh walinya dan disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil” (HR.

Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7558). Wali

nikah secara umum diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan anak

perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Wali nikah ada 2

macam. Wali Nasab dan Wali Hakim. Wali nasab adalah anggota keluarga laki-

laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan

calon mempelai perempuan dari pihak ayah menurut ketentuan hukum Islam. Wali
nasab yaitu, ayah, kakek, saudara laki-laki, paman dst, yang memenuhi syarat

hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Saksi adalah seorang laki-laki

muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli

yang harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta

menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat

yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai

wali nikah. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab

tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat

tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

Begitu pentingnya wali dan saksi dalam akad nikah sehingga wali dan

saksi menjadi rukun dalam acara akad nikah. Tidak ada wali atau saksi, atau ada

wali dan saksi tetapi tidak memenuhi syarat maka pernikahannya tidak sah. Wali

merupakan syarat sahnya akad pernikahan menurut jumhur ulama selain

Hanafiyah.1 Maka tidak sah pernikahan seorang wanita baik ia seorang perawan

maupun janda, kecuali dengan keberadaan wali yang akan mengurus akad

pernikahannya. Hal ini sesua dengan firma Allah:

‫اض ْوا َبْيَن ُه ْم بِالْ َم ْعُروف‬ ِ


َ ‫اج ُه َّن ِإ َذا َتَر‬
َ ‫وه َّن َأ ْن َيْنك ْح َن َْأز َو‬
ُ ُ‫ضل‬
ُ ‫َأجلَ ُه َّن فَاَل َت ْع‬
َ ‫ِّساءَ َفَبلَ ْغ َن‬ َّ ‫ِإ‬
َ ‫َو َذا طَل ْقتُ ُم الن‬
1
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t), jil.3, hlm135.Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo), hlm. 151,
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, cet. Ke-6, jil.2, (t.p:Dar al-Ma’rifah t.t), Abi
Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif: Beirut, Libanon), jil.5,
hlm. 13, Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, jil. 7, (Dar al Fikr al ‘Arabi:
Beirut, Libanon), hlm. 346. Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, cet. Ke-1, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah:
Beirut, Libanon, 2003), hlm.jil.11, hlm. 453. Majmu’ al-Fatawa (23/19)
“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai idahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang
baik.” (QS. Al-Baqarah: 232).

Imam Syafi’i berkata, “Ini merupakan ayat yang paling jelas

menerangkan tentang pentingnya keberadaan seorang wali, jika tidak demikian

maka tidak ada artinya lagi para wali menghalangi pernikahan. 2 Dalam sebuah

Riwayat disebutkan:

‫ فَ ِإ ْن َد َخ َل هِبَا‬،‫اط ٌل‬
ِ ‫ فَنِ َكاحه ا ب‬،‫اط ل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َأمُّيَا ام ر ٍَأة نَ َكح ِ ِإ‬
َ َُ ٌ َ‫اح َه ا ب‬ ُ ‫ فَن َك‬،‫اح َه ا بَاط ٌل‬ُ ‫ت بغَرْيِ ْذن َولِّي َه ا فَن َك‬ ْ َ َْ
ُّ َ‫ فَِإ ْن ا ْشتَ َجُروا ف‬،‫استَ َح َّل ِم ْن َفْر ِج َها‬
ُ‫الس ْلطَا ُن َويِل ُّ َم ْن الَ َويِل َّ لَه‬
‫مِب‬
ْ ‫َفلَ َها الْ َم ْهُر َا‬
“Seorang perempuan yang dinikahi tanpa izin walinya maka pernikahan
tersebut batil, batil, batil. Jika sang suami telah bersenggama dengannya maka
perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar karena untuk menghalalkan
kemaluannya. Jika terjadi perselisihan maka pemimpinlah wali bagi orang
yang tidak mempunyai wali.”3
ٍّ ‫اح ِإالَّ بَِويِل‬ ِ
َ ‫الَ ن َك‬
“Tidak ada pernikahan melainkan dengan seorang wali.” 4

Akad nikah merupakan sesuatu yang sangat sakral ditengah ummat Islam,

oleh karena itu biasanya dilaksanakan dengan penuh rasa ihlas dari wali nikah dan

calon penganten perempuan. Wali nikah ihlas menyerahkan anak perempuannya

menjadi isteri calon pengantin laki-laki. Anak perempuan ihlas dinikahkan oleh

ayah kandungnya menjadi isteri calon penganten laki-laki. Begitu sakralnya

sehingga akad nikah dilaksanakan dengan penuh hikmad dan setelah akad nikah
2
Wahbah az-Zuhaili….hlm 186
3
HR. At-Tirmidzi, Muhammad bin Isa Abu Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-
Tirmidzi (Beirut: Dâr Ihya’ at-Turats al-Arobi, t.t) bab ma jâ’a la nikaha illa bi wali, jilid 4, hlm. 394
4
HR. Abu Daud, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ab, Sunan Abu Dâud (Beirut: Dâr al-Kitab
al-Arobi, t.t), bab fi al-Wali, jilid 2, hlm. 191
biasanya diadakan resepsi dengan dihadiri oleh seluruh sanak kerabat dan para

tetangga.

Anak gadis yang sudah dewasa mempunyai hak wali nikah dari ayah

kandungnya ketika ia akan menikah dan menjadi kewajiban bagi ayah kandung

untuk menjadi wali nikah bagi anak gadisnya yang sudah dewasa. Idealnya akad

nikah dilaksanakan dengan penuh suka cita, tetapi adakalanya seorang anak gadis

bersengketa dengan orang tuanya karena tidak mendapatkan restu untuk menikah

dengan calon suami pilihannya. Orang tuanya terutama ayah kandungnya tidak

setuju dengan pilihan anak gadisnya sehingga ia tidak mau menjadi wali nikah

dalam pernikahan anak gadisnya. Dalam keadaan seperti ini ketika anak

gadis mendafkatarkan pernikahannya di KUA mendapatkan surat penolakan untuk

menikah dari KUA dimana ia mendaftar untuk menikah karena wali nikahnya

tidak mau menjadi wali nikah (adlal).

Dalam kondisi seperti ini maka anak gadis tersebut ketika tetap akan

menikah maka ia harus mengajukan permohonan wali adlal kepada Pengadilan

Agama dimana ia bertempat tinggal untuk mendapatkan penetapan tentang wali

nikahnya (ayahnya) sebagai wali yang adlal (enggan) untuk menikahkannya dan

pernikahannya akan menggunakan wali hakim.

Dalam perkara ini ada sengketa, yaitu sengketa antara seorang anak gadis

dengan ayah kandungnya. Yang disengketakan adalah wali nikah. Anak gadis

membutuhkan ayah kandung sebagai wali nikah dan ayah si gadis menolak untuk
menjadi wali nikah. Karena ada sengketa seharusnya perkara wali adlal berbentuk

kontentius tidak berbentuk volunter sebagaimana terjadi selama ini.

Temuan kasus pernikahan wali adhal di KUA Kecamatan sebenarnya tidak

begitu banyak,  namun dari kasus-kasus yang muncul seperti pernikahan wali

adhal,  apabila tidak ditangani secara intensif,  akan timbul kesenjangan hubungan

antara calon pengantin perempuan dengan walinya,  bahkan sangat mungkin

terjadi sengketa yang berkepanjangan,  sehingga berakhir di Pengadilan Agama

(PA).  Bukan hanya itu,  kasus wali adhal yang sampai ke Pengadilan Agama, 

akan menimbulkan dampak psikologis,  baik bagi calon pengantin,  wali dan dua

keluarga besar, yaitu keluarga calon pengantin perempuan maupun keluarga calon

pengantin laki-laki.

Adapun hal yang paling fatal yaitu,  wali dengan terang-terangan

menentang pencacatan nikah tersebut,  tanpa alasan yang jelas. inilah yang harus

dicarikan jalan keluarnya,  sebab peristiwa ini merupakan sengketa pencatatan

nikah,  dimana kedua belah pihak sudah tidak dapat dicarikan jalan untuk

berdamai (islah).   Hal tersebut apabila dibiarkan akan menimbulkan sengketa yang

berlarut-larut tanpa ada ujung penyelesaiannya,  bahkan kadang akan

menimbulkan akibat-akibat buruk,  yang melanggar etika kesusilaan,  norma

agama,  maupun pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 

tentang Perkawinan.
B. Rumusan Masalah?

1. Apa saja problematika yang dihadapi penghulu kabupaten Bantul berkaitan

dengan wali A’dhal ?

2. Bagaimana Teknik yang dilakukan oleh Penghulu Kabupaten Bantul dalam

proses pernikahan wali adhal sehingga masalah tersebut harus diselesaikan di

Pengadilan Agama.

3. Bagaimana impilkasi hukum wali adhal menurut UU Perkawinan tahun 1974

dan Kompilasi Hukum Islam mengenai wali Adlal maka apakah bisa

dilakukan pencegahan atau pembatalan perkawinan?

C. Tujuan dan Manfaaf Penelitian

Penelitan ini bertujuan untuk

1. Mengetahui secara mendalam tentang problematikan yang dihadapi oleh para

Penghulu di Kabupaten Bantul dalam rangka menyelesaikan Sengketa wali

dalam peristiwa perkawinan?

2. Mengetahui teknik yang dilakukan oleh Penghulu Kabupaten Bantul dalam

proses pernikahan wali adhal sehingga masalah tersebut harus diselesaikan di

Pengadilan Agama.

3. Mengetahui implikasi huum wali adhal dalam perspetif UU Perkawinan tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengenai wali Adlal maka apakah bisa

dilakukan pencegahan atau pembatalan perkawinan?


Manafaat dari penelitian ini Penelitian ini yaitu

1. memberikan kontribusi untuk perkembangan pengetahuan fiqh munakahat dan

dapat menambah khazanah kepustakaan Universitas Islam Indonesia serta

memberikan informasi kepada mahasiswa dan juga menjadi bahan rujukan

bagi peneliti seterusnya tentang pemikiran fikih munakahat

2. Mendorong para para akademisi dan praktisi hukum untuk meninjau kembali

pemahaman, penafsiran dan praktik hukum dan perundangan agar dapat

memenuhi rasa keadilan masyarakar, terutama kaum difabel di Indonesia.

D. Kajian Penelitian Terdahulu

Untuk menyempurnakan penelitian ini penulis melakuakan peninjauan

beberapa penelitian terdahulu mengenai aksebilitas penyandang disabilitas dalam

perspektif khi dan implikasinya terhadap layanan perkawinan di KUA Kabupaten

Bantul. Penelitian tentang fikih ramah disabilitas ini sebenarnya sudah banyak

diteliti oleh para akademisi melalui penelitian lapangan,maupun penjelasan dalam

sebuah artikel yang membahas tentang ini. Beberapa judul penelitian yang tidak

jauh berbeda dengan penelitian yang akan di tulis oleh peneliti, diantaranya adalah

penelitian dan jurnal yang akan dicantumkan di bawah ini.

Terkait pembahasan ini sebelumnya sudah ada beberapa ulama dan ahlul

ilmi yang menjelaskan dalam kitab karya mereka. Diantara yang pernah menulis
pembahasan ini adalah: Muhammad bin Ibrahim alu syaikh 5 dalam kitab Fatawa

al-Mar’ah al-Muslimah sedikit menyinggung tentang kapan seorang wali

dikatakan sebagai wali ‘adhal, serta ketentuan tentang bagaimanakah perwalian

dalam pernikahan ketika wali itu pergi dan kepergiannya itu tidak untuk kembali.6

Ibnu Qudamah7 dalam bukunya al-Mughni menjelaskan tentang pengertian

wali ‘adhal, serta berpindahnya hak perwalian apabila seorang wali ‘adhal

(menolak untuk menjadi wali).8 Yunus bin Idris al-Bahuti juga dalam kitabnya

Kasyaful Qina’ menuliskan tentang pengertian wali ‘adhal, serta implikasi

hukumnya bagi wali ‘adhal itu sendiri (fasik apabila dilakukan berkali-kali),

beliau juga membahas urutan-uratan wali apabila seorang wali pergi atau ghaib.

5
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh at-Tamimi adalah mufti (penasehat agung)
pertama kerajaan Arab Saudi dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berdirinya kerajaan
Saudi Arabia (Arab Saudi). Lahir pada tahun 1311 H/1893 M di Riyadh, Arab Saudi. Dia adalah mufti
bagi dua raja Arab Saudi, yaitu Raja Abdul Aziz bin Ibrahim (raja pertama) dan Raja Faisal bin Abdul
Aziz (atau: Faisal dari Arab Saudi, raja kedua), dia juga merupakan pendiri Hai'ah Kibarul Ulama
(Majelis Ulama Besar), pendiri Mu'assasah Da'wah Islamiyah, Ketua majelis tinggi Rabithah Alam
Islami (Liga Muslim Dunia), kepala Darul Ifta' (al-Lajnah al-Ilmiyah wal Ifta'/Dewan Riset Ilmu &
Fatwa), Rektor pertama Universitas Islam Madinah, Rektor pertama Sekolah Tinggi Kehakiman Arab
Saudi, dll. Penyandaran "at-Tamimi" di belakang namanya adalah merujuk pada nama marganya yaitu
bani Tamim, nama salah satu klan besar dalam suku Quraisy. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Syaikh adalah seorang ulama yang sangat ahli dalam bidang ilmu tafsir dan hadits, sehingga banyak
dijadikan rujukan ilmiah dan diambil ilmunya oleh ulama-ulama dizamannya.. Dia wafat pada tahun
1389 H/1969 M dan dimakamkan di Riyadh, Arab Saudi.
6
Abi Muhammad Asyraf bin Abdul Maqsud, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil Aqo’id wal
Ibadat wal Mu’amalat wal Adat, cet. Ke-2, (Adwa as-Salaf: Riyadh, 1429 H), jil. 2, hlm. 628.
7
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi adalah seorang imam, ahli fiqih dan zuhud, Asy Syaikh
Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-
maqdisi. Dilahirkan pada bulan Sya’ban 541 H di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nabulsi,
dekat Baitul Maqdis, Tanah Suci di Palestina.. Ia hafal Mukhtasar Al Khiraqi (fiqih madzab Imam
Ahmad Bin Hambal dan kitab-kitab lainnya. Pada tahun 574 H ia menunaikan ibadah haji, seusai ia
pulang ke Damaskus. Di sana ia mulai menyusun kitabnya Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi
(fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal). Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah
fiqih secara umum, dan khususnya di madzab Imam Ahmad Bin Hanbal. Imam Ibnu Qudamah wafat
pada tahun 629 H. Ia dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shlmihiya, di sebuah lereng di atas Jami’
Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab Imam Ahmad Bin Hanbal).
8
Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. Ke-3, (Dar: Alimul Kutub, Beirut, Libanon 1417 H/1997
M), jil.9, hlm.383-384.
Beliau juga menjelaskan hukum pernikahan yang menggunakan wali ab’ad ketika

wali ada.9

Imam an-Nawawi10 dalam kitabnya Raudhah at-Thalibin menjelaskan

tentang keadaan-keadaan dimana seorang sulthan bisa menggantikan wali yang

mana salah satunya adalah ketika adanya wali ‘adhal.11 Muhammad Khatib asy-

Syarbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj membahas tentang pengertian wali

‘adhal, urutan-urutan perwalian serta perpindahan hak perwalian apabila ada wali

‘adhal.12

Dalam buku Seri Fiqih Kehidupan-Pernikahan karangan Ahmad Sarwat

Lc13 menyatakan dalam kondisi yang memaksa dan tidak ada alternatif lainnya,

seorang hakim mungkin saja menjadi wali bagi seorang wanita, apabila ayah

kandung wanita tersebut menolak menikahkan puterinya sehingga menimbulkan


9
Yunus bin Idris al-Bahuti, Kasyful Qina’, cet. Ke-1, (Dar: Alimul Kutub,Beirut, Libanon
1417. H/1997 M), jil.4, hlm.49
10
Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi atau
lebih dikenal sebagai Imam Nawawi, adalah salah seorang ulama besar mazhab Syafi'i. Ia lahir di
desa Nawa, dekat kota Damaskus, mam Nawawi pindah ke Damaskus pada tahun 649 H dan tinggal di
distrik Rawahibiyah. Di tempat ini dia belajar dan sanggup menghafal kitab at-Tanbih hanya dalam
waktu empat setengah bulan. Kemudian dia menghafal kitab al-Muhadzdzabb pada bulan-bulan yang
tersisa dari tahun tersebut, dibawah bimbingan Syaikh Kamal Ibnu Ahmad. belajar pada guru-guru
yang amat terkenal seperti Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud
Daim, Imaduddin bin Abdul Karim Al-Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khlmid bin Yusuf Al-
Maqdisi An-Nabalusi danJamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul Yusri, Syamsuddin bin
Abu Umar.  wafat pada tahun 24 Rajab 676 H
11
Imam an-Nawawi, Raudhah at-Thlmibin, t.c, (Dar: Alimul Kutub, Beirut, Libanon 1463
H/ 2003 M). jil. 5, hlm. 404.
12
Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Mughtaj, cet. Ke-1, (Dar: al-Ma’rifah, Beirut, Libanon
1418 H/ 1997 M) jil. 3, hlm. 207.
13
Ahmad Sarwat (lahir pada tahun 1969 di Kairo, Mesir), adalah seorang ustadzatau
pendakwah asal Jakarta, yang berprofesi pula sebagai seorang pengajardi Sekolah Tinggi
AkuntansiNegara.Ahmad Sarwat sering menulis artikel-artikel mengenai Islam dimedia online dan
media cetak. Dalam media cetak ia telah membuat beberapa judul buku, yang dibagi menjadi tiga
kelompok buku, yaitu diantaranya seri Fiqih Kehidupan, seri Ustadz Menjawab dan seri lepas.Ahmad
Sarwat pernah mengenyam pendidikan S1 Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu
Suud LIPIA dan S2 Institut Ilmu Al-Qur'an: Ulumul Qur'an dan ulumul hadits.
mudharat. Akan tetapi seorang hakim tidak boleh menggampangkan perkara ini,

dia harus melakukan pengecekan ulang, yaitu pemeriksaan kepada banyak pihak

juga kepada keluarganya terutama kepada ayah kandungnya.14

Tema ini juga pernah ditulis oleh beliau Mukhsin Sameeh al-Khaldi

dalam risalah magister beliau den dengan judul “ wali wa isytirotuhu fi aqdi

zawaji al mar’ah baina al-fuqaha wal qowanin al-akhwal asy-syakhsiyah”

membahas tema ini dari dasar pembahasan wali yaitu ta’rif, urutan-urutan wali,

rukun dan syarat wali, pendapat para ulama tentang urgensi wali dalam

pernikahan, wali ijbar dan wali ‘adhal.15

Penelitian yang dilakukasn secara kelompok oleh Elang Darmawan,

Ahmad Baihaki, Otih Handayani dengan judul Penetapan Wali Hakim Sebagai

Pengganti Wali Adlal Yang Tidak Menyetujui Pernikahan Anaknya. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian hukum normative dengan spesifikasi penelitian

deskriptif, mengedepankan data sekunder sebagai data utamanya yaitu, bahan

hukum primer berupa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI.16 Mereka menjelaskan bahwa manusia dianugerahi

oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat berkembang biak dan meneruskan

keturunannya. Tata tertib perkawinan di Indonesia diatur dalam kaidah-kaidah

14
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan-Pernikahan, cet. Ke-1, (penerbit: DU Publishing
2011 M), hlm. 122
15
Mukhsin Sameeh al-Khuldi, al wali wa isytirotuhu fi aqdi zawaji al mar’ah baina al-
fuqaha wal qowanin al-akhwal asy-syakhsiyah, t.c, (t.p, t.t), hlm. 35.
16
Elang Darmawan, Ahmad Baihaki, Otih Handayani “Penetapan Wali Hakim Sebagai
Pengganti Wali Adlal Yang Tidak Menyetujui Pernikahan Anaknya”, dalam KRTHA
BHAYANGKARA, Vol. 15, No. 2 (2021), 177-196.
hukum perkawinan. diantaranya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di dalam KHI dinyatakan bahwa

wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Permasalahan terjadi

manakala wali nasab enggan menikahkan anak disebabkan oleh pertimbangan

orang tua mengenai bibit, bebet dan bobot calon menantu. Penelitian ini bertujuan

untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma- norma dalam hukum yang

positif yang kemudian dihubungkan dengan pembahasan yang menjadi pokok

pembahasan. Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji

aturan hukum bersifat formil seperti undang- undang, peraturan serta literatur

yang berisi konsep-konsep teoritis. Hasil penelitian mendiskripsikan bahwa

Penetepan wali hakim sebagai pengganti wali Adlal bisa dilakukan dengan

menggunakan meknisme perkawinan yang benar, perkawinan tidak dapat dicegah

atau di batalkan sebab kedua mempelai sudah memenuhi syarat perkawinan dan

tidak ada larangan perkawinan.

Penelitian wali adhal juga dilakukan oleh A Fakhrudin dengan judul

Pengambilalihan Wewenang Perwalian Dalam Perkara Wali Adhal Perspektif

Pluralisme Hukum (Studi Kasus Pandangan Hakim Dan Tokoh Masyarakat

Kabupaten Pasuruan). Fakhrudin menjelaskan bahwa Kurang akrabnya hubungan

keluarga adalah salah satu sebab munculnya perkara wali adhol. Wali nasab adalah

hal yang penting dalam pernikahan. Paham keagamaan masyarakat terhadap

syafi‘iyyah sangat kuat, hal itu bisa dilihat pada praktek beragama sehari–hari,
sehingga menurut pandangan masyarakat tentang keputusan tentang

pengambilalihan wewenang wali nasab dalam perkara wali adhal dianggap aneh

dan membingungkan, karena mengabaikan keberadaan wali nasab yang sudah

lumrah terjadi dalam pernikahan, disisi lain putusan hakim tersebut dapat

mempersingkat perdebatan antar hukum yang berdampak pada kelanjutan

hubungan calon pengantin, sehingga jika wali nasab memaksakan hukum yang

bermadzhab syafiiyyah berlaku maka hubungan pernikahan kedua pasangan bisa

putus dan dikhawatirkan akan terjadi zina. Pandangan hakim dengan mayoritas

tokoh masyarakat tentang pengambilalihan wewenang wali adhal ditinjau

dariperspektif teori pluralisme hukum di Kabupaten Pasuruan berbeda. Unsur

pembentuk pluralisme hukum diantaranya struktur hukum, kultur hukum dan

substansi hukum yang digunakan dalam penelitian ini sebagai media analisis

dalam perkara wali adhol. 17

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif deskriptif dan

tergolong jenis penelitian yuridis empiris, dengan data yang didapat melalui

wawancara dan dokumentasi, selanjutnya dianalisis dengan reduksi data yaitu

dengan mengidentifikasi data-data yang penting, kemudian data disajikan

selanjutnya dianalisis dengan teori pluralisme hukum dan terakhir verifikasi dan

kesimpulan.

17
A Fakhrudin dengan judul Pengambilalihan Wewenang Perwalian Dalam Perkara
Wali Adhal Perspektif Pluralisme Hukum (Studi Kasus Pandangan Hakim Dan Tokoh
Masyarakat Kabupaten Pasuruan).dalam Tesis, Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2020
Hasil penelitian dari pandangan hakim dan tokoh masyarakat Kabupaten

Pasuruan baik yang langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah fenomena

penyebab perkara wali adhol, dasar dan status hukum bagi calon pengantin ketika

terjadi perkara wali adhol, pertimbangan hakim ketika terjadi darurat hukum,

sehingga diketahui posisi hukum di tengah kondisi yang darurat dengan kebiasaan

masyarakat perspektif teori pluralisme hukum, diakhiri dengan pembangunan

hukum melalui pertimbangan hakim terhadap perkara wali adhol melalui proses

hukum dalam perkara wali adhol yang harus dilalui oleh pemohon dengan tetap

mewajibkan pemohon untuk meminta maaf dan do‘a restu agar nilai moral anak

kepada orang tua tetap terjaga.

Penelitian lain tentang wali adalah tulisan yang dilakukan Kusnan dengan

judul Perubahan Status Wali Adhal menjadi wali jauh untuk mendapatkan hak

wali hakim dalam pernikahan (Studi di Kantor Urusan Agama Kota Medan). Di

dalam peraturan yang mengatur tentang wali adhal disebutkan bahwa dalam hal

wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah

setelah ada putusan Pengadilan Agama. Dalam kenyataannya di Kantor Urusan

Agama Kota Medan ditemukan 10 pasang pengantin mengambil jalan pintas

dengan pergi jauh meninggalkan walinya agar hak perwalianya berpindah kepada

wali hakim.

Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris untuk melihat fenomena

sosial tentang perbuatan hukum sebagai fenomena sosial (legal social reseach),

yang bersifat kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara dan studi


dokumen, yang bertujuan untuk mengetahui latar belakang penyebab pengantin

melakukan perubahan status wali adhal menjadi wali jauh. Hasil penelitian

menunjukkan latar belakang penyebab pengantin melakukan perubahan status wali

adhal menjadi wali jauh adalah: (1) Pemahaman pengantin terhadap hukum kawin

lari; (2) Budaya masyarakat tentang kawin lari yang diikuti pengantin; (3)

Pengantin tidak memahami prosedur permohonan wali adhal; (4) Waktu yang

mendesak dan keterbatasan biaya yang dimiliki pengantin.

E. Kerangka Teori

1. Pengertian Wali

a. Secara etimologi

Wali atau al-wilayah18 dalam dalam Bahasa Arab merupakan kata

dasar (masdar) dari wa-li-ya yang berarti secara bahasa artinya adalah al-

mahabbah wan nushrah, yang artinya adalah cinta dan pertolongan.19 Dalam

Mu’jamu Lughatul Fuqaha’ waliy artinya adalah meletakkan tangannya diatas

sesuatu.20 Kata al-waliyyu juga diartikan sebagai al-muhiib ,(yang mencintai),

an-nashiir, (yang menolong), ash-shadiiq ,(teman, sahabat) atau orang yang

mengurus perkara seseorang.21 Namun, terkadang kata ini diartikan sebagai

18
Fuad Ifran al-Bustani, Munjid al-Tullab, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1997 M), Cet. Ke-11,
hlm. 94
19
Ibrahim Mushthafa, Mu’jamul Washith, (tp:Darud Da’wah, th), jil.2, hlm. 951.
20
Mu’jamu Lughatul Fuqaha’ jil. 1, hlm. 67.
21
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
M), hlm. 1582.
kekuasaan dan kemampuan. Maka yang dikatakan wali adalah pemilik

kekuasaan atau penguasa.22

Dalam istilah fuqaha wali memiliki makna kemampuan untuk

langsung bertindak tanpa bergantung pada izin seseorang.23 Selain itu wali

mempunyai makna beragam lainnya diantaranya:

1) Orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi kewajiban

mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa

2) Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (orang yang

melakukan akad nikah dengan pengantin laki-laki)

3) Orang saleh, para ulama

4) Kepala pemerintahan24

b. Secara terminologi

Perwalian merupakan ketentuan syari’at yang di berlakukan untuk

orang lain, baik secara umum maupun khusus, baik perwalian atas jiwa

maupun atas harta.25 Menurut al-Jaziri, wali adalah orang yang berhak dan

berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada di bawah

perwaliannya menurut ketentuan syari’at.26

Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan wali sebagai orang yang memiliki

kuasa untuk melakukan akad atau membelanjakan harta orang yang berada di
22
Ibid, hlm. 1583.
23
ibid
24
Abdurrahman Ghozali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008 M), cet.
Ke-3, hlm. 165
25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fath, 1992 M), jil. 2, hlm. 197
26
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqhu ala Madhahib al-Arba’ah…hlm. 20
bawah perwaliannya tanpa izin orang lain.27 Menurut Sayyid Sabiq, wali

adalah orang yang memiliki hak dan kuasa untuk melaksanakan perintah atas

orang lain dengan paksa menurut ketentuan syari’at.28 Menurut Abdul Karim

Zaidan, perwalian adalah kekuasaan secara syara’ terhadap diri dan harta

mengikuti urutan pelaksanaan kedua-duanya.29

2. Masyru’iyyah Wali

Wali merupakan syarat sahnya akad pernikahan menurut jumhur ulama

selain Hanafiyah.30 Maka tidak sah pernikahan seorang wanita baik ia seorang

perawan maupun janda, kecuali dengan keberadaan wali yang akan mengurus

akad pernikahannya. Dalam al-qur’an

ِ ‫وِإذَا طَلَّ ْقتم النِّساء َفبلَ ْغن َأجلَه َّن فَاَل َتعضلُوه َّن َأ ْن يْن ِكحن َْأزواجه َّن ِإذَا َتراضوا بيَنهم بِالْمعر‬
‫وف‬ ُ ْ َ ْ ُ َْ ْ َ َ َُ َ َ ْ َ ُ ُْ ُ َ َ َ َ َ ُُ َ
“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai idahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang
baik.” (QS. Al-Baqarah: 232).
Imam Syafi’i berkata, “Ini merupakan ayat yang paling jelas

menerangkan tentang pentingnya keberadaan seorang wali, jika tidak demikian

27
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhi al-Islam….hlm. 186
28
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah…hlm. 125
29
Abdul Karim Zaidan, al-Madhlm li Dirasatut al-Syari’ah al-Islamiyah, cet. Ke-1, (Mesir:
Matba’ah al-Ani, 1969 M), hlm. 134
30
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t), jil.3, hlm135.Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo), hlm. 151,
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, cet. Ke-6, jil.2, (t.p:Dar al-Ma’rifah t.t), Abi
Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif: Beirut, Libanon), jil.5,
hlm. 13, Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, jil. 7, (Dar al Fikr al ‘Arabi:
Beirut, Libanon), hlm. 346. Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, cet. Ke-1, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah:
Beirut, Libanon, 2003), hlm.jil.11, hlm. 453. Majmu’ al-Fatawa (23/19)
maka tidak ada artinya lagi para wali menghalangi pernikahan. 31 Dalam

Riwayat hadis

‫ فَِإ ْن َد َخ َل‬،‫اط ٌل‬ِ ‫ فَنِ َكاحها ب‬،‫اطل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َأمُّيَا امر ٍَأة نَ َكح ِ ِإ‬
َ َُ ٌ َ‫اح َها ب‬ ُ ‫ فَن َك‬،‫اح َها بَاط ٌل‬ُ ‫ت بغَرْيِ ْذن َولِّي َها فَن َك‬
ْ َ َْ
ِ
ُّ َ‫ فَِإ ْن ا ْشتَ َجُروا ف‬،‫استَ َح َّل ِم ْن َفْرج َها‬ ‫مِب‬ ‫هِب‬
ُ‫الس ْلطَا ُن َويِل ُّ َم ْن الَ َويِل َّ لَه‬ ْ ‫َا َفلَ َها الْ َم ْهُر َا‬
“Seorang perempuan yang dinikahi tanpa izin walinya maka pernikahan
tersebut batil, batil, batil. Jika sang suami telah bersenggama dengannya maka
perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar karena untuk menghalalkan
kemaluannya. Jika terjadi perselisihan maka pemimpinlah wali bagi orang
yang tidak mempunyai wali.” (HR. at-Tirmidzi)32
ٍّ ‫اح ِإالَّ بَِويِل‬ ِ
َ ‫الَ ن َك‬
“Tidak ada pernikahan melainkan dengan seorang wali.” (HR. Abu Daud)
33

3. Syarat sah wali

a. Syarat yang Disepakati

Beberapa syarat yang disepakati oleh para fuqaha, yaitu:

1) Kemampuan yang sempurna: baligh34, berakal35, dan merdeka.36

Tidak ada hak wali bagi anak kecil, orang gila, orang idiot (yang

memiliki kelemahan akal), mabuk, juga orang yang memiliki ingatan


31
Wahbah az-Zuhaili….hlm 186
32
HR. At-Tirmidzi, Muhammad bin Isa Abu Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-
Tirmidzi (Beirut: Dâr Ihya’ at-Turats al-Arobi, t.t) bab ma jâ’a la nikaha illa bi wali, jilid 4, hlm. 394
33
HR. Abu Daud, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ab, Sunan Abu Dâud (Beirut: Dâr al-
Kitab al-Arobi, t.t), bab fi al-Wali, jilid 2, hlm. 191
34
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 2, hlm. 247.Ibrohim al-Baijuri, hasyiyah al-Baijuri
Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ ( Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1999 M), jil. 2, hlm. 192.
Syamsuddin asy-Syaikh Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi ala asy-Syarhu al-Kabir, t.c,
(t.p, t.t), jil. 2, hlm. 364. Ibnu Qudamah...
35
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-
2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 2, hlm. 247. Ad-Daswaqi, al-‘Uddah Syarh
al-‘Umdah Fi Fiqhi al-Imam Ahmad bin Hanbal, t.c, (Beirut: Maktabah ‘Udriyah, t.t), hlm. 363
36
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqih ala Madhahib al-Arba’ah…hlm. 35-37, Musa Salim al-
Hajawi, asy-Syarah al-Mumti’ ala Zad al-Mustaqni, (Kairo: Jannatul Afqar, 2008 M), jil. 5, hlm. 79
yang terganggu disebabkan usia yang sudah tua, atau gangguan pada

akal. Sedangkan budak, karena dia sibuk untuk melayani tuannya, maka

dia tidak memiliki waktu untuk memperhatikan persoalan orang lain. 37

Ini adalah syarat menurut mayoritas ahli ilmu. Karena hamba sahaya

tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri, terlebih memiliki kuasa

terhadap orang lain.38

2) Adanya kesamaan agama (Islam)39 antara orang yang mewalikan dan

yang diwalikan.

Oleh karena itu, tidak ada perwalian bagi orang kafir terhadap

orang muslim, begitu halnya bagi orang muslim terhadap orang kafir.

Maksudnya menurut madzhab Hanbali dan Hanafi, seorang kafir tidak

boleh dinikahkan dengan perempuan muslimah, dan begitu juga

sebaliknya. Madzhab Syafi’i dan yang lainnya berpendapat, orang kafir

laki-laki dapat menikahkan orang kafir perempuan, baik suami

perempuan yang kafir tersebut orang kafir ataupun orang Islam.

Madzhab Maliki berpendapat, orang kafir perempuan dapat menikahkan

perempuan ahli kitab dengan orang muslim.40

37
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhi al-Islam, hlm. 185
38
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqih Sunnah, hlm. 196
39
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 1, hlm. 248, al-Alamah Abi Barokat Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu as-Shagir, t.c, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t), jil. 2, hlm.
370. Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnai Li ad-Dimasyqi asy-Syafi’i,
Kifayah al-Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut: Maktabah Tauqifiyyah, t.t), hlm. 89.
Ibrohim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ (Beirut: Dar al-Kutub al-
Alamiyah, 1999 M), jil. 2, hlm. 190
40
Wahbah az-Zuhaili,..hlm. 185
Tidak ada hak perwalian bagi orang yang murtad terhadap salah seorang

muslim atau orang kafir.41 Berdasarkan firman Allah Swt,

ٍ ‫ض ُه ْم َأ ْولِيَا ُء َب ْع‬
‫ض‬ ُ ‫َوا ْل ُمْؤ ِمنُونَ َوا ْل ُمْؤ ِمنَاتُ بَ ْع‬

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian

mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” (QS. at-Taubah: 71)

Juga firman-Nya,

ٍ ‫ض ُه ْم َْأولِيَاءُ َب ْع‬
‫ض‬ ُ ‫ين َك َفُروا َب ْع‬
ِ َّ
َ ‫َوالذ‬
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lain…” (QS. al-Anfal: 73)

Sebab dalam persyaratan adanya kesamaan agama adalah adanya kesamaan

sudut pandang dalam mewujudkan maslahat. Juga karena penetapan perwalian bagi

orang kafir terhadap orang muslim dapat membuat orang kafir memandang hina

orang muslim.42

b. Syarat yang diperselisihkan

Beberapa syarat yang diperselisihkan, yaitu:

1) Laki-laki

Menurut jumhur fuqaha selain madzhab Hanafi wali disyaratkan memiliki

jenis kelamin laki-laki. Oleh sebab itu, tidak ada perwalian bagi perempuan, karena

perempuan tidak memiliki perwalian terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap orang

lain. Madzhab Hanafi berpendapat, laki-laki bukanlah syarat dalam penetapan

perwalian. Seorang perempuan yang baligh dan berakal memiliki kekuasaan untuk

41
Ibid.,
42
Ibid.,
menikahkan orang yang diwakilkan oleh orang lain kepadanya, dengan cara

perwalian atau perwakilan.

2) Adil

Yaitu, kelurusan agama dengan melaksanakan berbagai kewajiban agama.

Serta mencegah berbagai dosa yang besar, seperti perbuatan zina, meminum khamar,

durhaka kepada kedua orang tua, dan perbuatan lain yang sejenisnya, serta tidak

terus-menerus terhadap perbuatan dosa yang kecil. Ini adalah syarat menurut

madzhab Syafi’i dalam salah satu pendapat mereka dan madzhab Hanbali. Tidak ada

perwalian bagi orang yang tidak adil yang merupakan orang fasik.43

Madzhab Hanafi dan Maliki44 berpendapat bahwa keadilan bukanlah syarat

dalam penetapan perwalian. Oleh sebab itu, misalnya bagi wali yang adil maupun

yang fasik dapat menikahkan anak perempuannya atau keponakan perempuannya dari

saudara laki-lakinya.45

3) Lurus (mursyid)

Menurut madzhab Hanbali adalah mengetahui kesetaraan dan maslahat

pernikahan, bukan menjaga harta, karena kelurusan pada setiap posisi sesuai dengan

43
Ibrohim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ (Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, 1999 M), jil. 2, hlm. 193. Yunus bin Idris al-Buhuti, Kasyful Qina’, cet. Ke-1,
(Beirut, Libanon: Dar Alimul Kutub, 1417. H/1997 M), jil.4, hlm.49
44
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-
2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 2, hlm. 247. al-Alamah Abi Barokat Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu as-Shagir, t.c, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t), jil. 2, hlm.
371.
45
Ibid.
kapasitasnya.46Sedangkan menurut madzhab Syafi’i maknanya adalah tidak

menghambur-hamburkan harta.47

Kelurusan adalah syarat untuk menetapkan hak perwalian menurut madzhab

Syafi’i dalam satu pendapatnya dan madzhab Hanbali, karena orang yang dilarang

untuk membelanjakan hartanya karena sebab kebodohan, tidak bisa melaksanakan

sendiri perkara perkawinannya. Jika orang yang bodoh tidak di larang untuk

membelanjakan hartanya, boleh baginya untuk mengawinkan orang lain dalam

pendapat madzhab Syafi’i yang kuat.48

Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat, kelurusan dalam makna benar

dalam menjalankan hartanya bukanlah syarat untuk ditetapkannya hak perwalian,

oleh sebab itu, orang yang bodoh dan di larang untuk membelanjakan hartanya boleh

melaksanakan pernikahan orang lain.49

Akan tetapi menurut madzhab Maliki, pernikahan yang dilaksanakan oleh

orang bodoh yang memiliki pendapat harus dengan seizin orang yang dia walikan,

dan walinya. Jika dia menikahkan anak perempuannya dengan tanpa izin walinya,

disunahkan bagi si wali untuk menilai maslahat dalam pernikahan ini. Jika

pernikahan ini memiliki maslahat yang benar maka dia pertahankan dan jika tidak,

maka dia tolak. Jika wali tidak mau menilai, dia terus laksanakan pernikahan ini.50

Madzhab Maliki menambahkan dua syarat yang lain, yaitu:


46
Mansyur bin Yunus bin Idris al-Bahûti, Kasyâful Qina’ ‘An Matan al-Iqnâ’ hlm. 50;
Wahbah az-Zuhaili., hlm. 187
47
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhi al-Ialami...hlm. 187
48
Ibid.
49
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhi al-Islami…hlm. 187
50
Ibid.
1) Wali tidak sedang melakukan ihrom haji atau umrah, karena orang yang

sedang berihrom tidak boleh melaksanakan akad pernikahan

2) Tidak melakukan pemaksaan. Oleh karena itu, tidak sah pernikahan dari

orang yang dipaksa. Akan tetapi, syarat ini bersifat umum mencakup semua

akad syari’ah.

Menurut madzhab Hanbali dan Syafi’i, syarat ini juga ada tujuh, yaitu:

merdeka, laki-laki, kesamaan agama antara wali dengan orang yang dia walikan,

baligh, berakal, adil, dan lurus, menurut madzhab Hambali yang dimaksud adil dan

lurus adalah pengetahuan mengenai kesetaraan dan maslahat pernikahan, bukan

dalam hal menjaga harta, karena kelurusan setiap orang sesuai dengan tingkatannya.

Sedangkan menurut madzhab Syafi’i yang dimaksud adil dan lurus adalah tidak

menghambur-hamburkan harta.51

Menurut madzhab Hanafi syarat ini ada empat, yaitu: akal, baligh, merdeka,

dan kesamaan agama. Keadilan dan kelurusan tidak menjadi syarat bagi mereka.52

Ringkasnya syarat wali ada tujuh, yaitu: laki-laki, merdeka, baligh, berakal,

muslim, tidak sedang berihrom, dan tidak dipaksa. Sedangkan keadilan dan kelurusan

ada perbedaan pendapat menjadi syarat wali.53

4. Perbedaan pendapat ulama mengenai “apakah wali termasuk dalam

katagori syarat sah suatu pernikahan atau rukun nikah”?

51
Ibid.,
52
Ibid.,
53
Ibid.,hlm. 188
Rukun adalah sesuatu yang tidak bisa sempurna kecuali dengannya. 54

Menurut madzhab Hanafiyah rukun adalah sesuatu yang menentukan keberadaan

sesuatu, dan menjadi satu bagian dalam esensinya. Sedangkan menurut jumhur ulama

rukun adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu (hukum syar’i).

Sesuatu tersebut tidak akan dapat terwujud melainkan dengannya.55 Atau dengan kata

lain merupakan hal yang harus ada. Dalam perkataan mereka yang masyhur, “Rukun

adalah hal yang hukum syar’I tidak mungkin ada melainkan dengannya.” Atau hal

yang menentukan esensi sesuatu, baik merupakan bagian darinya atau bukan.

Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu

dan bukan merupakan bagian darinya.56

Menurut madzhab Hanafiyah syarat adalah hal yang menentukan keberadaan

sesuatu, dan bukan merupakan bagian di dalam esensinya, sedangkan menurut

jumhur ulama syarat adalah yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan

merupakan bagian darinya.57

Menurut Hanafiyah syarat nikah diperinci kepada beberapa bagian, ada yang

berhubungan dengan shigoh, akad dan saksi. Sedangkan menurut Syafi’iyyah syarat

adalah yang berhubungan dengan shigoh, wali, suami, istri dan yang berhubungan

dengan saksi.58

54
Musa Salim al-Hajawi, Syarhul Mumti’ ala Zadi al-Mustaqni, (Saudi: Jannatu al-Afkar,
20008 M), jil. 5, hlm. 95.
55
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami…hlm. 45
56
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami….hlm. 45, Wahbah az-Zuhaili, al- Mausu’ah al-
fiqh….hlm. 50
57
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami…hlm. 45
58
Sayyid Muhammad Syato ad-Dimyaty, Hasyiah I’anah at-Thlmibin…hlm. 501, Musthafa
al-Khin dkk, Fiqhu al-Manhaji…hlm. 51
Diantara jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, diantaranya: Umar,

Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Aisyah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu

‘Ubaid, ats-Tsauri dan ulama Dzhahiriyah berpendapat, wali adalah syarat sahnya

pernikahan. Jika seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri, maka nikahnya

batil.59

Akan tetapi ulama dari kalangan Hanafiyah seperti as-Sya’bi dan az-Zuhri

berpendapat bahwa perempuan dapat menikahkan dirinya tanpa campur tangan wali.

Sedangkan Dawud az-Zahiri membedakan antara janda dan gadis. Seorang janda

dapat menikahkan dirinya sendiri, akan tetapi seorang gadis harus disertai wali.

Menurut Abu Sauur yang disyaratkan dalam pernikahan bukan adanya wali yang

akan menikahkan tetapi izin dari wali. Apabila seorang perempuan mendapatkan izin

dari wali untuk menikah maka ia dapat menikahkan dirinya sendiri.60

5. Macam-Macam Perwalian

Berdasarkan macamnya wali terbagi menjadi dua:

a. Wilayatul ijbar, adalah wali yang menikahkan orang yang bearada di bawah

perwaliannya dengan kehendaknya saja tanpa meminta persetujuan dan izin

59
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t), jil.3, hlm135.Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo), hlm. 151,
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, cet. Ke-6, jil.2, (ttp: Dar al-Ma’rifah), Abi
Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif: Beirut, Libanon), jil.5,
hlm. 13, Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, jil. 7, (Dar al Fikr al ‘Arabi:
Beirut, Libanon), hlm. 346. Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, cet. Ke-1, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah:
Beirut, Libanon, 2003), hlm.jil.11, hlm. 453. Majmu’ al-Fatawa (23/19)
60
Muhammad bin Isma’il as-San’ani, Subul as-Salam Syarh Bulughul al-Maram min
Adhillah al-Ahkam, cet. Ke-3 (ttp: Dar al-Fikr, tt), hlm. 117
dari orang yang berada di bawah tanggungannya. 61 Hal ini bisa terjadi karena

empat faktor yaitu faktor kerabat, kepemilikan, wala’ dan imamah.62

b. Wilayatul Ikhtiyar adalah wali yang harus meminta izin kepada wanita yang

berada dibawah perwaliannya ketika hendak menikahkannya. Wali inilah

yang termasuk didalamnya ada ikatan kekerabatan, atau kerabat yang

memiliki hak ashabah dalam pembagian warisan.63

Menurut madzhab Hanafiyah perwalian dibagi menjadi dua yang pertama

adalah perwalian yang sifatnya Sunnah. Perwalian yang sifatnya sunnah adalah

perwalian terhadap seorang wanita yang sudah baligh, berakal, baik ia seorang gadis

maupun janda. Disunnahkan bagi seorang wanita untuk menyerahkan perkara

pernikahannya kepada walinya agar ia terjaga dari perbuatan yang memalukan dan

hal ini bukan termasuk dalam katagori pemaksaan atau ijbar.64

Menurut Hanafiyah perwalian ijbar adalah perwalian terhadap anak kecil,

baik dia seorang gadis maupun janda, demikian juga terhadap orang gila yang sudah

dewasa baik laki-laki maupun perempuan dan juga terhadap seorang budak.65

61
Syaikh Khimar al-Baqoli, Adhlm Wali Fi Bilad al-Ghorbi Suaruhu Wa Ahkamuhu wa
Mawaqifu a-immatu al-Masajid wa al-Marokizi al-Islamiyah wa al-Qodi Minhu, t.c, t.p, 2004 M, hlm.
7
62
Wahbah az-Zuhaili…hlm.187.
63
Ibid, hlm. 188. Wahbah az-zualili, al-Fiqhu al-Islam…hlm182, Al-Alamah Abi Barokat
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu as-Shagir, t.c, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t),
jil. 2, hlm. 353. Abdurrahman al-Ghoryani, Mudawwanah al-Fiqhi al-Maliki wa Adillatuhu, cet. Ke-1
(t.p: Muassasah ar-Royyan, 2002 M), jil.2, hlm. 560, Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhi al-Islam...hlm. 178.
64
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 2, hlm. 250, Ibnu Abidin, Hasyiyah ad-Dur al-Mukhtar
Wa Rad al-Mukhtar, jil. 3, (Beirut: Dar Ihya al-Turas, t.h), hlm. 55. Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Ra’iq
asy-Syarhu Kanzu ad-Daqa’iq, cet. Ke-1, (t.p, t.t), jil. 3, hlm. 118
65
Ibid
Perwalian ijbar menurut hanafiyah berpatokan pada keperawanan, maka dia

boleh dinikahi tanpa seizinnya, dan tidak berlaku bagi seorang janda sebab seorang

janda tidak boleh dinikahkan kecuali atas seizinnya.66

Selain itu madzhab Hanafi juga membagi perwalian menjadi tiga bagian: perwalian

terhadap jiwa, perwalian terhadap harta, dan perwalian terhadap jiwa dan harta secara

bersama-sama. 67

Jenis perwalian terhadap jiwa terbagi kepada dua bagian, perwalian ijbar

(yang bersifat harus), dan perwalian ikhtiar (sukarela), atau perwalian pasti dan

wajib, serta perwalian sunah dan sukarela.68

6. Seabab-Sebab Perwalian

Sebab perwalian dalam pernikahan ditentukan oleh beberapa faktor berikut:

a. Ubuwah, yaitu ayah, kakek dan ke atas. Ini adalah sebab yang paling kuat

sebagai bentuk bukti kasih sayang yang sempurna. Maka sah-sah saja jika

ayah menikahkan putrinya yang masih kecil maupun yang sudah dewasa

tanpa harus ada izin darinya, jika ia adalah seorang gadis. Namun,

disunnahkan untuk meminta izin kepada gadis yang sudah mencapai usia

baligh. Dan kalaupun ayah tersebut memaksanya, maka pernikahannya

masih tetap sah-sah saja.

66
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 2, hlm. 250, Ibnu Abidin, Hasyiyah ad-Dur al-Mukhtar
wa Rad al-Mukhtar, jil. 3, (Beirut: Dar Ihya al-Turas, t.h), hlm. 55. Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Ra’iq
Syarhu Khanzu ad-Daqa’iq, cet. Ke-1, (t.p, t.t), jil. 3, hlm. 118
67
Wahbah az-Zuhaili….hlm. 178
68
Wahbah az-Zuhaili, hlm. 178
b. Ashabah yang masih ada hubungan nasab. Seperti paman dan saudara.

Perbedaan wali ashabah dengan ubuwah adalah karena wali ini tidak

memiliki hak ijbar. Maka wali-wali tersebut tidak boleh menikahkan wanita

yang berada dibawah perwaliannya tanpa izin dari wanita yang berada

dibawah perwaliannya baik dalam keadaan gadis maupun janda.

c. Itaq, yaitu orang yang membeli budak lalu dimerdekakannya. Maka dalam

hal ini kedudukannya sama seperti saudara laki-laki.

d. Penguasa, Imamah atau sulthan adalah wali bagi semuanya. Namun ia hanya

menikahkan gadis yang sudah dewasa dengan seizinnya. Dan ia tidak berhak

untuk menikahkan anak kecil.69

e. Washiy, yaitu seorang yang mendapatkan wasiat dari ayah untuk

menikahkan anak yang berada dibawah asuhannya.

7. UrutanWali

Para ulama berselisih pendapat mengenai wali yang paling berhak

berdasarkan urutan mereka.70

Para ulama’ dari madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa urutan perwalian

dalam nikah seperti urutan dalam pewarisan, yaitu wali ab’ad terhalang menjadi wali

apabila ada wali aqrab. Perwalian nikah berdasarkan urutan dalam ‘ashabah, yaitu:71

a. Anak kebawah
69
Abi Zakariya Yahya bin Syarif An-Nawawi Ad-Dimasyq, Raudhatuth Thlmibin, hlm.
401-404.
70
Ibnu Hazm, al-Muhlmla…hlm. 452. An-Nawawi, Raudhah at-Thlmibin…87. Ibnu Hajar
al-Asqolani, Fath al-Bari...hlm. 187. Ibnu Abdil Bar, al-Kafi…hlm, 522. Sayid Sabiq, Shahih Fiqqih
Sunnah...hlm. 193-194
71
Ibnu Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar ala ad-Dar al-Mukhtar, jil. 3, hlm. 76
b. Bapak, kakek dan urutan keatas

c. Saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah dan keturunannya

d. Keponakan saudara laki-laki kandung kemudia keponakan saudara laki-laki

seayah

e. Paman kandung dari jalur ayah, paman seayah dari jalur ayah dan

keturunannya.72

f. Sepupu laki-laki kandung kemudia sepupu laki-laki seayah

g. Paman-paman ayah, kemudia anak dari paman ayah

h. Paman kakek, kemudian anak dari paman kakek, kemudia paman kakek

seayah, kemudian anaknya kebawah

i. Orang yang memerdekakan budak walaupun ia seorang wanita

j. Ashobah dari pihak orang yang memerdekakan budak

k. Dzawil arham

l. Sulthan

Adapun para ulama’ dari madzhab Malikiyah urutan wali adalah sebagai

berikut

a. Anak laki-laki, anak dari saudara laki-laki kebawah

b. Ayah kandung, saudara laki-laki seayah, keponakan ke bawah

c. Kakek seayah

d. Paman seayah, anak paman seayah

e. Kakek ayah, paman ayah, sepupu

72
Wahbah Az-Zuhailiy, Fiqhul Islam wa Adillatuhu… hlm. 199
f. Orang yang memerdekakan budak

g. Orang yang menaggung

h. Hakim

i. Wali dari kaum muslimin (ustadz)

Dalam madzhab Syafi’iyyah, urutan wali adalah sebagai berikut73

a. Ayah Kandung, kakek kandung, kakek seayah keatas

b. Saudara sekandung, saudara seayah, kemudia anak saudara kandung

kebawah

c. Paman sekandung, paman seayah, anak paman kebawah

d. Ashobah dari keluarga yang paling dekat

e. Orang yang memerdekan budak (Mu’tiq)

f. Sulthan

Dalam madzhab Hanabilah, urutan wali adalah sebagai berikut.74

a. Ayah kandung

b. Kakek

c. Anak laki-laki

d. Saudara laki-lak

e. Anak saudara laki-laki

73
Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Mughtaj, cet. Ke-1, (Dar: al-Ma’rifah, Beirut, Libanon
1418 H/ 1997 M) jil. 3, hlm. I51-152. Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-
Husnai Li ad-Dimasyqi asy-Syafi’I, Kifayah al-Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut:
Maktabah Tauqifiyyah, t.t), jil. 2, hlm. 93-94
74
Ibnu Qudamah, al-Mughni…hlm. 151-152, al-Buhuti, Kasyful Qina’…hlm. 50-52., Imam
Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnai Li ad-Dimasyqi asy-Syafi’I, Kifayah al-
Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut: Maktabah Tauqifiyyah, t.t), jil. 2, hlm. 93-9
f. Paman kandung, paman seayah

g. Orang yang memerdekakan budak

h. Sulthan

i. Seorang laki-laki yang adil dari kaum muslimin

8. Tinjauan Umum Tentang Wali ‘Adhal

Secara Bahasa al-’adhal adalah “al-man’u” yang berarti melarang atau

menghalagi. Sebagaimana disebutkan dalam lisanul Arab “‘adhalu al-mar’ah

an az-zauj” berarti menahannya atau menghalanginya untuk tidak menikah.75

Adapun secara istilah ‘adhal adalah menolaknya seorang wali

menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya dengan seorang yang

sudah terpenuhi standar kafa’ahnya, padahal dalam hal ini dia wajib untuk

menikahkan.76 Menurut asy-Syarhosi: Seorang wali yang melarang dan

menahan orang yang berada di bawah perwaliannya, maksudnya melarang

dan menahanya di rumah agar tidak menikah.77 Menurut Imam al-Baghowi:

Seorang wali melarang orang yang berada di bawah perwaliannya untuk

menikah.78

Menurut ibnu Qudamah: Terhalangnya seorang wanita dari menikah

dengan seorang laki-laki yang sekufu dengannya ketika dia memintanya. Dan

75
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.h)
76
Abdul Karim Zaidan, al-Mufassol…hlm. 201
77
Syamsuddin as-Sarkhosiy, al-Mabsut, t.c, (Beirut: Dar al-Ma’arifah, t.t), jil. 3, hlm. 11
78
Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, cet. Ke-2, (Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2003 M), hlm. 45.
mereka berdua saling mencintai. Pendapat ini juga merupakan pendapat para ahlul

fiqih.79

2. Keadaan Seorang Wali Dikatakan ‘Adhal

Terkadang seorang wali bertindak sesuai dengan apa yang dia sangka

baik untuk orang yang berada di bawah perwalianya, tanpa bermusyawarah

terlebih dahulu dengannya, sehingga hal ini menyebabkan pada tindakan

penyepelean terhadap siapa yang disukai oleh orang yang barada di bawah

perwalian tersebut atau mendatangkan kesusahan dan kesempitan baginya.

Padahal seorang wali tidak bermaksud menyusahkannya.

Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan kapan seorang wali

disebut ‘adhal Ibnu Qudamah, sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas beliau

berpendapat bahwa, seorang wali disebut ‘adhal ketika dia menolak orang yang

berada di bawah perwaliannya untuk menikah dengan orang yang sudah tercukupi

standar kafa’ahnya dan mereka berdua saling mencintai.80

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif. Metode penelitian ini dipilih dengan alasan bahwa penelitian kualitatif

dapat mengungkap dan menjelaskan permasalahan yang menjadi objek kajian

dalam penelitian ini.


79
Ibnu Qudamah, al-Mughni…hlm. 383. Al-Buhuti, Kasyful Qina’…hlm. Al-Alamah Abi
Barokat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu as-Shagir…hlm. 389, Khatib asy-
Syarbini, Mughni al-Mughtaj…hlm.153, Abi Zakariya Yahya bin Syarif An-Nawawi Ad-Dimasyq,
Raudhatuth Thlmibin…hlm. 58, Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’
as-Shanai’…hlm. 249
80
Ibnu Qudamah, al-Mughni…hlm. 383
1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian empiris (lapangan/ field research).

Oleh karena itu, sumber datanya diperoleh melalui kerja-kerja lapangan yang

meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang

berinteraksi secara sinergis dalam situasi sosial, dalam hal ini adalah

penghulu yang ada di wilayah Kabuaten Bantul.81

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sosiologi, yaitu

pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan penghulu dan

tingkah laku sosial beserta produk kehidupannya.82 Dalam pendekatan

sosiologi yang ditekankan adalah pada pola evolusionisme (mencari pola

perubahan dan perkembangan yang muncul dari penghulu yang berbeda),

interaksionisme (interaksi antar penghulu dan kelompok), dan fungsionalisme

(penghulu adalah jaringan kerjasama kelompok yang saling membutuhkan

satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis).83

3. Sasaran Penelitian

Narasumber yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah KUA

dan penghulu di 17 KUA yang ada di Kabupaten Bantul. Dalam memilih

81
Penelitian ini merupakan penelitian empiris (lapangan/ field research). Oleh karena itu,
sumber datanya diperoleh melalui kerja-kerja lapangan yang meliputi aspek tempat (place), pelaku
(actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis dalam situasi sosial, dalam hal ini
adalah penghulu yang ada di wilayah DIY
82
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 50
83
Atho Mudzhar, ‚Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi‛ dalam Amin Abdullah,
Mencari Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 60
narasumber, penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik

purposive sampling digunakan untuk pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu, yaitu mencari narasumber yang memiliki data

dan informasi terkait dengan fokus penelitian ini. Narasumber diambil dari

masing-masing kabupaten/kota sebanyak 5 orang dengan kriteria berdasarkan

pada tersedianya data dan informasiyang berkaitan dengan isu-isu hukum

perkawinan yang menjadi fokus dalam penelitian ini.84

4. Metode Pengumpulan Data

a. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah penghulu sebagai narasumber

yang tersebar di 17 KUA se Kabupaten Bantul. Di samping itu, sumber

data juga berasal dari dokumen dan catatan catatan lainyang berkaitan

dengan objek penelitian ini, baik yang ada di KUA,

b. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan selama kurun

waktu Desember Desember 2022 – Juni 2023 dengan menggunakan

teknik triangulasi yang dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) observasi

partisipan (participant observation); (2) wawancara atau diskusi dengan

teknik purposive sampling, yaitu menentukan narasumber terlebih dahulu,

baru kemudian dilakukan wawancara. Narasumber terpilih adalah

penghulu yang memiliki data dan informasi terkait isu-isu hukum

84
Ibid.
perkawinan yang menjadi fokus dalam penelitian ini, masing-masing

kabupaten/kota sebanyak 5 orang; dan (3) studi dokumentasi (study of

document), yaitu dokumen atau catatan-catatan terkait objek penelitian

ini, baik yang ada di KUA maupun Bimas Iskam Kantor Kementerian

Agama Kabupaten Bantul

c. Teknik Analisis

Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan

metode induktif dan interaktif, yaitu proses analisis data dilakukan

bersamaan dengan pengumpulan data yang dilakukan sejak awal ketika

pengumpulan data masih berlangsung, maupun pengumpulan data sudah

berakhir. Dalam proses pelaksanaannya, tahapan analisis data ini

mencakup langkah-langkah reduksi data, penyajian data, interpretasi data

dan penarikan kesimpulan. Reduksi data diartikan sebagai proses

merangkum, memilih hal-hal yang pokok, dan membuang hal-hal yang

tidak penting. Selanjutnya adalah proses penyajian data, yaitu data yang

diperoleh dikelompokkan sesuai dengan kategori yang diperlukan.

Adapun langkah interpretasi data dilakukan untuk menemukan makna

dari data-data yang telah tersaji untuk selanjutnya dilakukan penarikan

kesimpulan. Langkah penarikan kesimpulan dilakukan melalui deskripsi

atau gambaran yang sebelumnya masih samar-samar menjadi lebih jelas.

G. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini mudah untuk dipahami maka di perlukan sistematika

pembahasan yang runtut. Dalam hal ini penulis telah menyusun sistematika

tersebut agar menjadi runtut dan mudah di mengerti, penyusun ini telah

merumuskan pembahasan penelitian ke dalam lima bab dan beberapa sub bab

yang paling berkaitan satu dengan yang lain. Adapun susunanya, sebagai berikut:

BabI: Bab ini nantinya berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah diadakanya penelitian, rumusan masalah yang menjadi dasar dengan

dicari jawabanya, tujuan dan manfaat penelitian serta pemanfaatan alur penulisan

dan struktur pembahasan dari awal tesis sampai akhir.

Bab II: Bab ini membuat telaah pustaka untuk menelaah penelitian

terdahulu dan memuat keterangan-keterangan dari penelitian dari sejenis yang

telah dilakukan sebelumnya, kerangka teori yang relevan untuk menjadi acuan

dalam penelitian ini.

Bab III: Bab ini membahas metode penelitian,yang penulis gunakan dari

segi tiga jenis penelitian dan pendekatan, lokasi penelitian subyek penelitian,

teknik penentuan subjek, teknik pengumpulan data, keabsahan data dan teknik

analisis data.

Bab IV: Bab ini berisi hasil pembahasan, yang mana hasilnya penelitian

disesuaikan berdasarkan klarifikasi bahasan seperti pendekatan dan rumusan

masalah. Sedangkan pembahasan, masuk dalam klarifikasi penelitian yang telah

ada dan kerangka teori yang disusun.


Bab V: Merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan, yaitu jawaban

singkat dari pertanyaan penelitian yang penulis kemukakan pada pendahuluan.

Saran-saran yang merupakan rumusan berdasarkan kesimpulan yang berupa

rekomendasi, baik untuk peneliti selanjutnya maupun pengguna penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t),
Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo).
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, cet. Ke-6, jil.2, (t.p:Dar al-
Ma’rifah t.t).
Abi Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif:
Beirut, Libanon).
Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, (Dar al Fikr al ‘Arabi:
Beirut, Libanon).
Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah: Beirut, Libanon,
2003
Muhammad bin Isa Abu Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-Tirmidzi
(Beirut: Dâr Ihya’ at-Turats al-Arobi, t.t)
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ab, Sunan Abu Dâud (Beirut: Dâr al-Kitab al-Arobi,
t.t),
Abi Muhammad Asyraf bin Abdul Maqsud, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil
Aqo’id wal Ibadat wal Mu’amalat wal Adat, cet. Ke-2, (Adwa as-Salaf:
Riyadh, 1429 H.
Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. Ke-3, (Dar: Alimul Kutub, Beirut, Libanon 1417
H/1997 M)
Yunus bin Idris al-Bahuti, Kasyful Qina’, cet. Ke-1, (Dar: Alimul Kutub,Beirut,
Libanon 1417. H/1997 M
Imam an-Nawawi, Raudhah at-Thlmibin, t.c, (Dar: Alimul Kutub, Beirut, Libanon
1463 H/ 2003 M).
Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Mughtaj, cet. Ke-1, (Dar: al-Ma’rifah, Beirut,
Libanon 1418 H/ 1997 M)
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan-Pernikahan, cet. Ke-1, (penerbit: DU
Publishing 2011 M)
Mukhsin Sameeh al-Khuldi, al wali wa isytirotuhu fi aqdi zawaji al mar’ah baina al-
fuqaha wal qowanin al-akhwal asy-syakhsiyah, t.c, (t.p, t.t)
Elang Darmawan, Ahmad Baihaki, Otih Handayani “Penetapan Wali Hakim Sebagai
Pengganti Wali Adlal Yang Tidak Menyetujui Pernikahan Anaknya”,
dalam KRTHA BHAYANGKARA, Vol. 15, No. 2 (2021), 177-196.
A Fakhrudin dengan judul Pengambilalihan Wewenang Perwalian Dalam Perkara
Wali Adhal Perspektif Pluralisme Hukum (Studi Kasus Pandangan Hakim
Dan Tokoh Masyarakat Kabupaten Pasuruan).dalam Tesis, Program
Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2020
Fuad Ifran al-Bustani, Munjid al-Tullab, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1997 M),
Ibrahim Mushthafa, Mu’jamul Washith, (tp:Darud Da’wah, th)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997 M),
Abdurrahman Ghozali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008 M),
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fath, 1992 M)
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqhu ala Madhahib al-Arba’ah…hlm. 20
Abdul Karim Zaidan, al-Madhlm li Dirasatut al-Syari’ah al-Islamiyah, cet. Ke-1,
(Mesir: Matba’ah al-Ani, 1969 M
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t),
Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo)
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, (t.p:Dar al-Ma’rifah t.t),
Abi Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif:
Beirut, Libanon),
Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, jil. 7, (Dar al Fikr al
‘Arabi: Beirut, Libanon),
Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, cet. Ke-1, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah: Beirut,
Libanon, 2003),
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet.
Ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M),
Ibrohim al-Baijuri, hasyiyah al-Baijuri Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ ( Beirut:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1999 M)
Syamsuddin asy-Syaikh Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi ala asy-Syarhu
al-Kabir, t.c, (t.p, t.t), jil. 2, hlm.
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet.
Ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M),
Ad-Daswaqi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah Fi Fiqhi al-Imam Ahmad bin Hanbal, t.c,
(Beirut: Maktabah ‘Udriyah, t.t)
al-Alamah Abi Barokat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu
as-Shagir, t.c, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t),
Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnai Li ad-Dimasyqi
asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut:
Maktabah Tauqifiyyah, t.t
Ibrohim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ (Beirut:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1999 M
bdurrahman al-Ghoryani, Mudawwanah al-Fiqhi al-Maliki wa Adillatuhu, cet. Ke-1
(t.p: Muassasah ar-Royyan, 2002 M), jil.2, hlm. 557,
Musa Salim al-Hajawi, Syarhul Mumti’ ala Zadi al-Mustaqni, (Saudi: Jannatu al-
Afkar, 20008 M)
Shlmih bin Fauzan, al-Mulakhos al-Fiqhi, (Iskandariyah: Dar al-Aqidah, 2009 M)
Adil bin Yusuf al-Azzazi, Tamamul al-Minnah, (Beirut: Dar al-Aqidah, t.h
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t)
Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo)
Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Suwarun Min Hayati at-Thabi’in, yang
dialihbahasakan oleh Abu Umar Abdillah, Mereka Adalah Para Thabi’in,
(Pustaka at-Tibyan: Yogyakarta, 2009), hlm. 151-160.
Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Mughtaj, cet. Ke-1, (Dar: al-Ma’rifah, Beirut,
Libanon 1418 H/ 1997 M)
Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnai Li ad-Dimasyqi
asy-Syafi’I, Kifayah al-Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut:
Maktabah Tauqifiyyah, t.t
Syamsuddin as-Sarkhosiy, al-Mabsut, t.c, (Beirut: Dar al-Ma’arifah, t.t),
Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, cet. Ke-2, (Libanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2003 M)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 50
Atho Mudzhar, ‚Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi‛ dalam Amin
Abdullah, Mencari Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 60

Anda mungkin juga menyukai