mendefinisikan perkawinan sebagai “ikatan lahir bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”,
atau menurut bahasa Kompilasi Hukum Islam (KHI) ialah “rangkaian ijab yang
diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya
dalam fikih munakahat. Rukun dalam akad pernikahan ada 5, yaitu Calon Suami,
Calon Isteri, Wali nikah, Dua orang saksi dan Akad (Ijab dan Kabul).
Tentang sahnya pernikahan, ada hadits Nabi yang berbunyi: “La nikaaha
illa biwaliyyin wa syahidaini adlin, tidak sah suatu pernikahan kecuali akad nikah
itu dilakukan oleh walinya dan disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil” (HR.
Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7558). Wali
nikah secara umum diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan anak
perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Wali nikah ada 2
macam. Wali Nasab dan Wali Hakim. Wali nasab adalah anggota keluarga laki-
laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan
calon mempelai perempuan dari pihak ayah menurut ketentuan hukum Islam. Wali
nasab yaitu, ayah, kakek, saudara laki-laki, paman dst, yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Saksi adalah seorang laki-laki
muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli
yang harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat
yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai
wali nikah. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
Begitu pentingnya wali dan saksi dalam akad nikah sehingga wali dan
saksi menjadi rukun dalam acara akad nikah. Tidak ada wali atau saksi, atau ada
wali dan saksi tetapi tidak memenuhi syarat maka pernikahannya tidak sah. Wali
Hanafiyah.1 Maka tidak sah pernikahan seorang wanita baik ia seorang perawan
maupun janda, kecuali dengan keberadaan wali yang akan mengurus akad
maka tidak ada artinya lagi para wali menghalangi pernikahan. 2 Dalam sebuah
Riwayat disebutkan:
فَ ِإ ْن َد َخ َل هِبَا،اط ٌل
ِ فَنِ َكاحه ا ب،اط ل ِ ِ ِ ِ ِ ِ َأمُّيَا ام ر ٍَأة نَ َكح ِ ِإ
َ َُ ٌ َاح َه ا ب ُ فَن َك،اح َه ا بَاط ٌلُ ت بغَرْيِ ْذن َولِّي َه ا فَن َك ْ َ َْ
ُّ َ فَِإ ْن ا ْشتَ َجُروا ف،استَ َح َّل ِم ْن َفْر ِج َها
ُالس ْلطَا ُن َويِل ُّ َم ْن الَ َويِل َّ لَه
مِب
ْ َفلَ َها الْ َم ْهُر َا
“Seorang perempuan yang dinikahi tanpa izin walinya maka pernikahan
tersebut batil, batil, batil. Jika sang suami telah bersenggama dengannya maka
perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar karena untuk menghalalkan
kemaluannya. Jika terjadi perselisihan maka pemimpinlah wali bagi orang
yang tidak mempunyai wali.”3
ٍّ اح ِإالَّ بَِويِل ِ
َ الَ ن َك
“Tidak ada pernikahan melainkan dengan seorang wali.” 4
Akad nikah merupakan sesuatu yang sangat sakral ditengah ummat Islam,
oleh karena itu biasanya dilaksanakan dengan penuh rasa ihlas dari wali nikah dan
menjadi isteri calon pengantin laki-laki. Anak perempuan ihlas dinikahkan oleh
sehingga akad nikah dilaksanakan dengan penuh hikmad dan setelah akad nikah
2
Wahbah az-Zuhaili….hlm 186
3
HR. At-Tirmidzi, Muhammad bin Isa Abu Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-
Tirmidzi (Beirut: Dâr Ihya’ at-Turats al-Arobi, t.t) bab ma jâ’a la nikaha illa bi wali, jilid 4, hlm. 394
4
HR. Abu Daud, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ab, Sunan Abu Dâud (Beirut: Dâr al-Kitab
al-Arobi, t.t), bab fi al-Wali, jilid 2, hlm. 191
biasanya diadakan resepsi dengan dihadiri oleh seluruh sanak kerabat dan para
tetangga.
Anak gadis yang sudah dewasa mempunyai hak wali nikah dari ayah
kandungnya ketika ia akan menikah dan menjadi kewajiban bagi ayah kandung
untuk menjadi wali nikah bagi anak gadisnya yang sudah dewasa. Idealnya akad
nikah dilaksanakan dengan penuh suka cita, tetapi adakalanya seorang anak gadis
bersengketa dengan orang tuanya karena tidak mendapatkan restu untuk menikah
dengan calon suami pilihannya. Orang tuanya terutama ayah kandungnya tidak
setuju dengan pilihan anak gadisnya sehingga ia tidak mau menjadi wali nikah
Dalam kondisi seperti ini maka anak gadis tersebut ketika tetap akan
nikahnya (ayahnya) sebagai wali yang adlal (enggan) untuk menikahkannya dan
Dalam perkara ini ada sengketa, yaitu sengketa antara seorang anak gadis
dengan ayah kandungnya. Yang disengketakan adalah wali nikah. Anak gadis
membutuhkan ayah kandung sebagai wali nikah dan ayah si gadis menolak untuk
menjadi wali nikah. Karena ada sengketa seharusnya perkara wali adlal berbentuk
begitu banyak, namun dari kasus-kasus yang muncul seperti pernikahan wali
adhal, apabila tidak ditangani secara intensif, akan timbul kesenjangan hubungan
(PA). Bukan hanya itu, kasus wali adhal yang sampai ke Pengadilan Agama,
akan menimbulkan dampak psikologis, baik bagi calon pengantin, wali dan dua
keluarga besar, yaitu keluarga calon pengantin perempuan maupun keluarga calon
pengantin laki-laki.
menentang pencacatan nikah tersebut, tanpa alasan yang jelas. inilah yang harus
nikah, dimana kedua belah pihak sudah tidak dapat dicarikan jalan untuk
tentang Perkawinan.
B. Rumusan Masalah?
Pengadilan Agama.
dan Kompilasi Hukum Islam mengenai wali Adlal maka apakah bisa
Pengadilan Agama.
1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengenai wali Adlal maka apakah bisa
2. Mendorong para para akademisi dan praktisi hukum untuk meninjau kembali
Bantul. Penelitian tentang fikih ramah disabilitas ini sebenarnya sudah banyak
sebuah artikel yang membahas tentang ini. Beberapa judul penelitian yang tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang akan di tulis oleh peneliti, diantaranya adalah
Terkait pembahasan ini sebelumnya sudah ada beberapa ulama dan ahlul
ilmi yang menjelaskan dalam kitab karya mereka. Diantara yang pernah menulis
pembahasan ini adalah: Muhammad bin Ibrahim alu syaikh 5 dalam kitab Fatawa
dalam pernikahan ketika wali itu pergi dan kepergiannya itu tidak untuk kembali.6
wali ‘adhal, serta berpindahnya hak perwalian apabila seorang wali ‘adhal
(menolak untuk menjadi wali).8 Yunus bin Idris al-Bahuti juga dalam kitabnya
hukumnya bagi wali ‘adhal itu sendiri (fasik apabila dilakukan berkali-kali),
beliau juga membahas urutan-uratan wali apabila seorang wali pergi atau ghaib.
5
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh at-Tamimi adalah mufti (penasehat agung)
pertama kerajaan Arab Saudi dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berdirinya kerajaan
Saudi Arabia (Arab Saudi). Lahir pada tahun 1311 H/1893 M di Riyadh, Arab Saudi. Dia adalah mufti
bagi dua raja Arab Saudi, yaitu Raja Abdul Aziz bin Ibrahim (raja pertama) dan Raja Faisal bin Abdul
Aziz (atau: Faisal dari Arab Saudi, raja kedua), dia juga merupakan pendiri Hai'ah Kibarul Ulama
(Majelis Ulama Besar), pendiri Mu'assasah Da'wah Islamiyah, Ketua majelis tinggi Rabithah Alam
Islami (Liga Muslim Dunia), kepala Darul Ifta' (al-Lajnah al-Ilmiyah wal Ifta'/Dewan Riset Ilmu &
Fatwa), Rektor pertama Universitas Islam Madinah, Rektor pertama Sekolah Tinggi Kehakiman Arab
Saudi, dll. Penyandaran "at-Tamimi" di belakang namanya adalah merujuk pada nama marganya yaitu
bani Tamim, nama salah satu klan besar dalam suku Quraisy. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Syaikh adalah seorang ulama yang sangat ahli dalam bidang ilmu tafsir dan hadits, sehingga banyak
dijadikan rujukan ilmiah dan diambil ilmunya oleh ulama-ulama dizamannya.. Dia wafat pada tahun
1389 H/1969 M dan dimakamkan di Riyadh, Arab Saudi.
6
Abi Muhammad Asyraf bin Abdul Maqsud, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil Aqo’id wal
Ibadat wal Mu’amalat wal Adat, cet. Ke-2, (Adwa as-Salaf: Riyadh, 1429 H), jil. 2, hlm. 628.
7
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi adalah seorang imam, ahli fiqih dan zuhud, Asy Syaikh
Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-
maqdisi. Dilahirkan pada bulan Sya’ban 541 H di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nabulsi,
dekat Baitul Maqdis, Tanah Suci di Palestina.. Ia hafal Mukhtasar Al Khiraqi (fiqih madzab Imam
Ahmad Bin Hambal dan kitab-kitab lainnya. Pada tahun 574 H ia menunaikan ibadah haji, seusai ia
pulang ke Damaskus. Di sana ia mulai menyusun kitabnya Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi
(fiqih madzab Imam Ahmad Bin Hambal). Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah
fiqih secara umum, dan khususnya di madzab Imam Ahmad Bin Hanbal. Imam Ibnu Qudamah wafat
pada tahun 629 H. Ia dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shlmihiya, di sebuah lereng di atas Jami’
Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzab Imam Ahmad Bin Hanbal).
8
Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. Ke-3, (Dar: Alimul Kutub, Beirut, Libanon 1417 H/1997
M), jil.9, hlm.383-384.
Beliau juga menjelaskan hukum pernikahan yang menggunakan wali ab’ad ketika
wali ada.9
mana salah satunya adalah ketika adanya wali ‘adhal.11 Muhammad Khatib asy-
‘adhal, urutan-urutan perwalian serta perpindahan hak perwalian apabila ada wali
‘adhal.12
Lc13 menyatakan dalam kondisi yang memaksa dan tidak ada alternatif lainnya,
seorang hakim mungkin saja menjadi wali bagi seorang wanita, apabila ayah
dia harus melakukan pengecekan ulang, yaitu pemeriksaan kepada banyak pihak
Tema ini juga pernah ditulis oleh beliau Mukhsin Sameeh al-Khaldi
dalam risalah magister beliau den dengan judul “ wali wa isytirotuhu fi aqdi
membahas tema ini dari dasar pembahasan wali yaitu ta’rif, urutan-urutan wali,
rukun dan syarat wali, pendapat para ulama tentang urgensi wali dalam
Ahmad Baihaki, Otih Handayani dengan judul Penetapan Wali Hakim Sebagai
Pengganti Wali Adlal Yang Tidak Menyetujui Pernikahan Anaknya. Penelitian ini
hukum primer berupa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat berkembang biak dan meneruskan
14
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan-Pernikahan, cet. Ke-1, (penerbit: DU Publishing
2011 M), hlm. 122
15
Mukhsin Sameeh al-Khuldi, al wali wa isytirotuhu fi aqdi zawaji al mar’ah baina al-
fuqaha wal qowanin al-akhwal asy-syakhsiyah, t.c, (t.p, t.t), hlm. 35.
16
Elang Darmawan, Ahmad Baihaki, Otih Handayani “Penetapan Wali Hakim Sebagai
Pengganti Wali Adlal Yang Tidak Menyetujui Pernikahan Anaknya”, dalam KRTHA
BHAYANGKARA, Vol. 15, No. 2 (2021), 177-196.
hukum perkawinan. diantaranya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di dalam KHI dinyatakan bahwa
wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
orang tua mengenai bibit, bebet dan bobot calon menantu. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma- norma dalam hukum yang
aturan hukum bersifat formil seperti undang- undang, peraturan serta literatur
Penetepan wali hakim sebagai pengganti wali Adlal bisa dilakukan dengan
atau di batalkan sebab kedua mempelai sudah memenuhi syarat perkawinan dan
keluarga adalah salah satu sebab munculnya perkara wali adhol. Wali nasab adalah
syafi‘iyyah sangat kuat, hal itu bisa dilihat pada praktek beragama sehari–hari,
sehingga menurut pandangan masyarakat tentang keputusan tentang
pengambilalihan wewenang wali nasab dalam perkara wali adhal dianggap aneh
lumrah terjadi dalam pernikahan, disisi lain putusan hakim tersebut dapat
hubungan calon pengantin, sehingga jika wali nasab memaksakan hukum yang
putus dan dikhawatirkan akan terjadi zina. Pandangan hakim dengan mayoritas
substansi hukum yang digunakan dalam penelitian ini sebagai media analisis
tergolong jenis penelitian yuridis empiris, dengan data yang didapat melalui
selanjutnya dianalisis dengan teori pluralisme hukum dan terakhir verifikasi dan
kesimpulan.
17
A Fakhrudin dengan judul Pengambilalihan Wewenang Perwalian Dalam Perkara
Wali Adhal Perspektif Pluralisme Hukum (Studi Kasus Pandangan Hakim Dan Tokoh
Masyarakat Kabupaten Pasuruan).dalam Tesis, Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2020
Hasil penelitian dari pandangan hakim dan tokoh masyarakat Kabupaten
Pasuruan baik yang langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah fenomena
penyebab perkara wali adhol, dasar dan status hukum bagi calon pengantin ketika
terjadi perkara wali adhol, pertimbangan hakim ketika terjadi darurat hukum,
sehingga diketahui posisi hukum di tengah kondisi yang darurat dengan kebiasaan
hukum melalui pertimbangan hakim terhadap perkara wali adhol melalui proses
hukum dalam perkara wali adhol yang harus dilalui oleh pemohon dengan tetap
mewajibkan pemohon untuk meminta maaf dan do‘a restu agar nilai moral anak
Penelitian lain tentang wali adalah tulisan yang dilakukan Kusnan dengan
judul Perubahan Status Wali Adhal menjadi wali jauh untuk mendapatkan hak
wali hakim dalam pernikahan (Studi di Kantor Urusan Agama Kota Medan). Di
dalam peraturan yang mengatur tentang wali adhal disebutkan bahwa dalam hal
wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
dengan pergi jauh meninggalkan walinya agar hak perwalianya berpindah kepada
wali hakim.
sosial tentang perbuatan hukum sebagai fenomena sosial (legal social reseach),
melakukan perubahan status wali adhal menjadi wali jauh. Hasil penelitian
adhal menjadi wali jauh adalah: (1) Pemahaman pengantin terhadap hukum kawin
lari; (2) Budaya masyarakat tentang kawin lari yang diikuti pengantin; (3)
Pengantin tidak memahami prosedur permohonan wali adhal; (4) Waktu yang
E. Kerangka Teori
1. Pengertian Wali
a. Secara etimologi
dasar (masdar) dari wa-li-ya yang berarti secara bahasa artinya adalah al-
mahabbah wan nushrah, yang artinya adalah cinta dan pertolongan.19 Dalam
18
Fuad Ifran al-Bustani, Munjid al-Tullab, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1997 M), Cet. Ke-11,
hlm. 94
19
Ibrahim Mushthafa, Mu’jamul Washith, (tp:Darud Da’wah, th), jil.2, hlm. 951.
20
Mu’jamu Lughatul Fuqaha’ jil. 1, hlm. 67.
21
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
M), hlm. 1582.
kekuasaan dan kemampuan. Maka yang dikatakan wali adalah pemilik
langsung bertindak tanpa bergantung pada izin seseorang.23 Selain itu wali
4) Kepala pemerintahan24
b. Secara terminologi
orang lain, baik secara umum maupun khusus, baik perwalian atas jiwa
maupun atas harta.25 Menurut al-Jaziri, wali adalah orang yang berhak dan
berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada di bawah
kuasa untuk melakukan akad atau membelanjakan harta orang yang berada di
22
Ibid, hlm. 1583.
23
ibid
24
Abdurrahman Ghozali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008 M), cet.
Ke-3, hlm. 165
25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fath, 1992 M), jil. 2, hlm. 197
26
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqhu ala Madhahib al-Arba’ah…hlm. 20
bawah perwaliannya tanpa izin orang lain.27 Menurut Sayyid Sabiq, wali
adalah orang yang memiliki hak dan kuasa untuk melaksanakan perintah atas
orang lain dengan paksa menurut ketentuan syari’at.28 Menurut Abdul Karim
Zaidan, perwalian adalah kekuasaan secara syara’ terhadap diri dan harta
2. Masyru’iyyah Wali
selain Hanafiyah.30 Maka tidak sah pernikahan seorang wanita baik ia seorang
perawan maupun janda, kecuali dengan keberadaan wali yang akan mengurus
ِ وِإذَا طَلَّ ْقتم النِّساء َفبلَ ْغن َأجلَه َّن فَاَل َتعضلُوه َّن َأ ْن يْن ِكحن َْأزواجه َّن ِإذَا َتراضوا بيَنهم بِالْمعر
وف ُ ْ َ ْ ُ َْ ْ َ َ َُ َ َ ْ َ ُ ُْ ُ َ َ َ َ َ ُُ َ
“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai idahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang
baik.” (QS. Al-Baqarah: 232).
Imam Syafi’i berkata, “Ini merupakan ayat yang paling jelas
27
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhi al-Islam….hlm. 186
28
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah…hlm. 125
29
Abdul Karim Zaidan, al-Madhlm li Dirasatut al-Syari’ah al-Islamiyah, cet. Ke-1, (Mesir:
Matba’ah al-Ani, 1969 M), hlm. 134
30
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t), jil.3, hlm135.Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo), hlm. 151,
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, cet. Ke-6, jil.2, (t.p:Dar al-Ma’rifah t.t), Abi
Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif: Beirut, Libanon), jil.5,
hlm. 13, Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, jil. 7, (Dar al Fikr al ‘Arabi:
Beirut, Libanon), hlm. 346. Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, cet. Ke-1, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah:
Beirut, Libanon, 2003), hlm.jil.11, hlm. 453. Majmu’ al-Fatawa (23/19)
maka tidak ada artinya lagi para wali menghalangi pernikahan. 31 Dalam
Riwayat hadis
فَِإ ْن َد َخ َل،اط ٌلِ فَنِ َكاحها ب،اطل ِ ِ ِ ِ ِ ِ َأمُّيَا امر ٍَأة نَ َكح ِ ِإ
َ َُ ٌ َاح َها ب ُ فَن َك،اح َها بَاط ٌلُ ت بغَرْيِ ْذن َولِّي َها فَن َك
ْ َ َْ
ِ
ُّ َ فَِإ ْن ا ْشتَ َجُروا ف،استَ َح َّل ِم ْن َفْرج َها مِب هِب
ُالس ْلطَا ُن َويِل ُّ َم ْن الَ َويِل َّ لَه ْ َا َفلَ َها الْ َم ْهُر َا
“Seorang perempuan yang dinikahi tanpa izin walinya maka pernikahan
tersebut batil, batil, batil. Jika sang suami telah bersenggama dengannya maka
perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar karena untuk menghalalkan
kemaluannya. Jika terjadi perselisihan maka pemimpinlah wali bagi orang
yang tidak mempunyai wali.” (HR. at-Tirmidzi)32
ٍّ اح ِإالَّ بَِويِل ِ
َ الَ ن َك
“Tidak ada pernikahan melainkan dengan seorang wali.” (HR. Abu Daud)
33
Tidak ada hak wali bagi anak kecil, orang gila, orang idiot (yang
akal. Sedangkan budak, karena dia sibuk untuk melayani tuannya, maka
Ini adalah syarat menurut mayoritas ahli ilmu. Karena hamba sahaya
yang diwalikan.
Oleh karena itu, tidak ada perwalian bagi orang kafir terhadap
orang muslim, begitu halnya bagi orang muslim terhadap orang kafir.
37
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhi al-Islam, hlm. 185
38
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqih Sunnah, hlm. 196
39
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 1, hlm. 248, al-Alamah Abi Barokat Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu as-Shagir, t.c, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t), jil. 2, hlm.
370. Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnai Li ad-Dimasyqi asy-Syafi’i,
Kifayah al-Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut: Maktabah Tauqifiyyah, t.t), hlm. 89.
Ibrohim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ (Beirut: Dar al-Kutub al-
Alamiyah, 1999 M), jil. 2, hlm. 190
40
Wahbah az-Zuhaili,..hlm. 185
Tidak ada hak perwalian bagi orang yang murtad terhadap salah seorang
ٍ ض ُه ْم َأ ْولِيَا ُء َب ْع
ض ُ َوا ْل ُمْؤ ِمنُونَ َوا ْل ُمْؤ ِمنَاتُ بَ ْع
mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” (QS. at-Taubah: 71)
Juga firman-Nya,
ٍ ض ُه ْم َْأولِيَاءُ َب ْع
ض ُ ين َك َفُروا َب ْع
ِ َّ
َ َوالذ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lain…” (QS. al-Anfal: 73)
sudut pandang dalam mewujudkan maslahat. Juga karena penetapan perwalian bagi
orang kafir terhadap orang muslim dapat membuat orang kafir memandang hina
orang muslim.42
1) Laki-laki
jenis kelamin laki-laki. Oleh sebab itu, tidak ada perwalian bagi perempuan, karena
perempuan tidak memiliki perwalian terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap orang
perwalian. Seorang perempuan yang baligh dan berakal memiliki kekuasaan untuk
41
Ibid.,
42
Ibid.,
menikahkan orang yang diwakilkan oleh orang lain kepadanya, dengan cara
2) Adil
Serta mencegah berbagai dosa yang besar, seperti perbuatan zina, meminum khamar,
durhaka kepada kedua orang tua, dan perbuatan lain yang sejenisnya, serta tidak
terus-menerus terhadap perbuatan dosa yang kecil. Ini adalah syarat menurut
madzhab Syafi’i dalam salah satu pendapat mereka dan madzhab Hanbali. Tidak ada
perwalian bagi orang yang tidak adil yang merupakan orang fasik.43
dalam penetapan perwalian. Oleh sebab itu, misalnya bagi wali yang adil maupun
yang fasik dapat menikahkan anak perempuannya atau keponakan perempuannya dari
saudara laki-lakinya.45
3) Lurus (mursyid)
pernikahan, bukan menjaga harta, karena kelurusan pada setiap posisi sesuai dengan
43
Ibrohim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ (Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, 1999 M), jil. 2, hlm. 193. Yunus bin Idris al-Buhuti, Kasyful Qina’, cet. Ke-1,
(Beirut, Libanon: Dar Alimul Kutub, 1417. H/1997 M), jil.4, hlm.49
44
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-
2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 2, hlm. 247. al-Alamah Abi Barokat Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu as-Shagir, t.c, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t), jil. 2, hlm.
371.
45
Ibid.
kapasitasnya.46Sedangkan menurut madzhab Syafi’i maknanya adalah tidak
menghambur-hamburkan harta.47
Syafi’i dalam satu pendapatnya dan madzhab Hanbali, karena orang yang dilarang
sendiri perkara perkawinannya. Jika orang yang bodoh tidak di larang untuk
oleh sebab itu, orang yang bodoh dan di larang untuk membelanjakan hartanya boleh
orang bodoh yang memiliki pendapat harus dengan seizin orang yang dia walikan,
dan walinya. Jika dia menikahkan anak perempuannya dengan tanpa izin walinya,
disunahkan bagi si wali untuk menilai maslahat dalam pernikahan ini. Jika
pernikahan ini memiliki maslahat yang benar maka dia pertahankan dan jika tidak,
maka dia tolak. Jika wali tidak mau menilai, dia terus laksanakan pernikahan ini.50
2) Tidak melakukan pemaksaan. Oleh karena itu, tidak sah pernikahan dari
orang yang dipaksa. Akan tetapi, syarat ini bersifat umum mencakup semua
akad syari’ah.
Menurut madzhab Hanbali dan Syafi’i, syarat ini juga ada tujuh, yaitu:
merdeka, laki-laki, kesamaan agama antara wali dengan orang yang dia walikan,
baligh, berakal, adil, dan lurus, menurut madzhab Hambali yang dimaksud adil dan
dalam hal menjaga harta, karena kelurusan setiap orang sesuai dengan tingkatannya.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i yang dimaksud adil dan lurus adalah tidak
menghambur-hamburkan harta.51
Menurut madzhab Hanafi syarat ini ada empat, yaitu: akal, baligh, merdeka,
dan kesamaan agama. Keadilan dan kelurusan tidak menjadi syarat bagi mereka.52
Ringkasnya syarat wali ada tujuh, yaitu: laki-laki, merdeka, baligh, berakal,
muslim, tidak sedang berihrom, dan tidak dipaksa. Sedangkan keadilan dan kelurusan
51
Ibid.,
52
Ibid.,
53
Ibid.,hlm. 188
Rukun adalah sesuatu yang tidak bisa sempurna kecuali dengannya. 54
sesuatu, dan menjadi satu bagian dalam esensinya. Sedangkan menurut jumhur ulama
rukun adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu (hukum syar’i).
Sesuatu tersebut tidak akan dapat terwujud melainkan dengannya.55 Atau dengan kata
lain merupakan hal yang harus ada. Dalam perkataan mereka yang masyhur, “Rukun
adalah hal yang hukum syar’I tidak mungkin ada melainkan dengannya.” Atau hal
yang menentukan esensi sesuatu, baik merupakan bagian darinya atau bukan.
Sedangkan syarat menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu
jumhur ulama syarat adalah yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan
Menurut Hanafiyah syarat nikah diperinci kepada beberapa bagian, ada yang
berhubungan dengan shigoh, akad dan saksi. Sedangkan menurut Syafi’iyyah syarat
adalah yang berhubungan dengan shigoh, wali, suami, istri dan yang berhubungan
dengan saksi.58
54
Musa Salim al-Hajawi, Syarhul Mumti’ ala Zadi al-Mustaqni, (Saudi: Jannatu al-Afkar,
20008 M), jil. 5, hlm. 95.
55
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami…hlm. 45
56
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami….hlm. 45, Wahbah az-Zuhaili, al- Mausu’ah al-
fiqh….hlm. 50
57
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami…hlm. 45
58
Sayyid Muhammad Syato ad-Dimyaty, Hasyiah I’anah at-Thlmibin…hlm. 501, Musthafa
al-Khin dkk, Fiqhu al-Manhaji…hlm. 51
Diantara jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, diantaranya: Umar,
Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Aisyah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu
‘Ubaid, ats-Tsauri dan ulama Dzhahiriyah berpendapat, wali adalah syarat sahnya
batil.59
Akan tetapi ulama dari kalangan Hanafiyah seperti as-Sya’bi dan az-Zuhri
berpendapat bahwa perempuan dapat menikahkan dirinya tanpa campur tangan wali.
Sedangkan Dawud az-Zahiri membedakan antara janda dan gadis. Seorang janda
dapat menikahkan dirinya sendiri, akan tetapi seorang gadis harus disertai wali.
Menurut Abu Sauur yang disyaratkan dalam pernikahan bukan adanya wali yang
akan menikahkan tetapi izin dari wali. Apabila seorang perempuan mendapatkan izin
5. Macam-Macam Perwalian
a. Wilayatul ijbar, adalah wali yang menikahkan orang yang bearada di bawah
59
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t), jil.3, hlm135.Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo), hlm. 151,
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, cet. Ke-6, jil.2, (ttp: Dar al-Ma’rifah), Abi
Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif: Beirut, Libanon), jil.5,
hlm. 13, Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, jil. 7, (Dar al Fikr al ‘Arabi:
Beirut, Libanon), hlm. 346. Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, cet. Ke-1, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah:
Beirut, Libanon, 2003), hlm.jil.11, hlm. 453. Majmu’ al-Fatawa (23/19)
60
Muhammad bin Isma’il as-San’ani, Subul as-Salam Syarh Bulughul al-Maram min
Adhillah al-Ahkam, cet. Ke-3 (ttp: Dar al-Fikr, tt), hlm. 117
dari orang yang berada di bawah tanggungannya. 61 Hal ini bisa terjadi karena
b. Wilayatul Ikhtiyar adalah wali yang harus meminta izin kepada wanita yang
adalah perwalian yang sifatnya Sunnah. Perwalian yang sifatnya sunnah adalah
perwalian terhadap seorang wanita yang sudah baligh, berakal, baik ia seorang gadis
pernikahannya kepada walinya agar ia terjaga dari perbuatan yang memalukan dan
baik dia seorang gadis maupun janda, demikian juga terhadap orang gila yang sudah
dewasa baik laki-laki maupun perempuan dan juga terhadap seorang budak.65
61
Syaikh Khimar al-Baqoli, Adhlm Wali Fi Bilad al-Ghorbi Suaruhu Wa Ahkamuhu wa
Mawaqifu a-immatu al-Masajid wa al-Marokizi al-Islamiyah wa al-Qodi Minhu, t.c, t.p, 2004 M, hlm.
7
62
Wahbah az-Zuhaili…hlm.187.
63
Ibid, hlm. 188. Wahbah az-zualili, al-Fiqhu al-Islam…hlm182, Al-Alamah Abi Barokat
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu as-Shagir, t.c, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t),
jil. 2, hlm. 353. Abdurrahman al-Ghoryani, Mudawwanah al-Fiqhi al-Maliki wa Adillatuhu, cet. Ke-1
(t.p: Muassasah ar-Royyan, 2002 M), jil.2, hlm. 560, Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhi al-Islam...hlm. 178.
64
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 2, hlm. 250, Ibnu Abidin, Hasyiyah ad-Dur al-Mukhtar
Wa Rad al-Mukhtar, jil. 3, (Beirut: Dar Ihya al-Turas, t.h), hlm. 55. Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Ra’iq
asy-Syarhu Kanzu ad-Daqa’iq, cet. Ke-1, (t.p, t.t), jil. 3, hlm. 118
65
Ibid
Perwalian ijbar menurut hanafiyah berpatokan pada keperawanan, maka dia
boleh dinikahi tanpa seizinnya, dan tidak berlaku bagi seorang janda sebab seorang
Selain itu madzhab Hanafi juga membagi perwalian menjadi tiga bagian: perwalian
terhadap jiwa, perwalian terhadap harta, dan perwalian terhadap jiwa dan harta secara
bersama-sama. 67
Jenis perwalian terhadap jiwa terbagi kepada dua bagian, perwalian ijbar
(yang bersifat harus), dan perwalian ikhtiar (sukarela), atau perwalian pasti dan
6. Seabab-Sebab Perwalian
a. Ubuwah, yaitu ayah, kakek dan ke atas. Ini adalah sebab yang paling kuat
sebagai bentuk bukti kasih sayang yang sempurna. Maka sah-sah saja jika
ayah menikahkan putrinya yang masih kecil maupun yang sudah dewasa
tanpa harus ada izin darinya, jika ia adalah seorang gadis. Namun,
disunnahkan untuk meminta izin kepada gadis yang sudah mencapai usia
66
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet. Ke-2
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M), jil. 2, hlm. 250, Ibnu Abidin, Hasyiyah ad-Dur al-Mukhtar
wa Rad al-Mukhtar, jil. 3, (Beirut: Dar Ihya al-Turas, t.h), hlm. 55. Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Ra’iq
Syarhu Khanzu ad-Daqa’iq, cet. Ke-1, (t.p, t.t), jil. 3, hlm. 118
67
Wahbah az-Zuhaili….hlm. 178
68
Wahbah az-Zuhaili, hlm. 178
b. Ashabah yang masih ada hubungan nasab. Seperti paman dan saudara.
Perbedaan wali ashabah dengan ubuwah adalah karena wali ini tidak
memiliki hak ijbar. Maka wali-wali tersebut tidak boleh menikahkan wanita
yang berada dibawah perwaliannya tanpa izin dari wanita yang berada
c. Itaq, yaitu orang yang membeli budak lalu dimerdekakannya. Maka dalam
d. Penguasa, Imamah atau sulthan adalah wali bagi semuanya. Namun ia hanya
menikahkan gadis yang sudah dewasa dengan seizinnya. Dan ia tidak berhak
7. UrutanWali
dalam nikah seperti urutan dalam pewarisan, yaitu wali ab’ad terhalang menjadi wali
apabila ada wali aqrab. Perwalian nikah berdasarkan urutan dalam ‘ashabah, yaitu:71
a. Anak kebawah
69
Abi Zakariya Yahya bin Syarif An-Nawawi Ad-Dimasyq, Raudhatuth Thlmibin, hlm.
401-404.
70
Ibnu Hazm, al-Muhlmla…hlm. 452. An-Nawawi, Raudhah at-Thlmibin…87. Ibnu Hajar
al-Asqolani, Fath al-Bari...hlm. 187. Ibnu Abdil Bar, al-Kafi…hlm, 522. Sayid Sabiq, Shahih Fiqqih
Sunnah...hlm. 193-194
71
Ibnu Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar ala ad-Dar al-Mukhtar, jil. 3, hlm. 76
b. Bapak, kakek dan urutan keatas
seayah
e. Paman kandung dari jalur ayah, paman seayah dari jalur ayah dan
keturunannya.72
h. Paman kakek, kemudian anak dari paman kakek, kemudia paman kakek
k. Dzawil arham
l. Sulthan
Adapun para ulama’ dari madzhab Malikiyah urutan wali adalah sebagai
berikut
c. Kakek seayah
72
Wahbah Az-Zuhailiy, Fiqhul Islam wa Adillatuhu… hlm. 199
f. Orang yang memerdekakan budak
h. Hakim
kebawah
f. Sulthan
a. Ayah kandung
b. Kakek
c. Anak laki-laki
d. Saudara laki-lak
73
Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Mughtaj, cet. Ke-1, (Dar: al-Ma’rifah, Beirut, Libanon
1418 H/ 1997 M) jil. 3, hlm. I51-152. Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-
Husnai Li ad-Dimasyqi asy-Syafi’I, Kifayah al-Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut:
Maktabah Tauqifiyyah, t.t), jil. 2, hlm. 93-94
74
Ibnu Qudamah, al-Mughni…hlm. 151-152, al-Buhuti, Kasyful Qina’…hlm. 50-52., Imam
Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnai Li ad-Dimasyqi asy-Syafi’I, Kifayah al-
Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut: Maktabah Tauqifiyyah, t.t), jil. 2, hlm. 93-9
f. Paman kandung, paman seayah
h. Sulthan
sudah terpenuhi standar kafa’ahnya, padahal dalam hal ini dia wajib untuk
menikah.78
dengan seorang laki-laki yang sekufu dengannya ketika dia memintanya. Dan
75
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.h)
76
Abdul Karim Zaidan, al-Mufassol…hlm. 201
77
Syamsuddin as-Sarkhosiy, al-Mabsut, t.c, (Beirut: Dar al-Ma’arifah, t.t), jil. 3, hlm. 11
78
Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, cet. Ke-2, (Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2003 M), hlm. 45.
mereka berdua saling mencintai. Pendapat ini juga merupakan pendapat para ahlul
fiqih.79
Terkadang seorang wali bertindak sesuai dengan apa yang dia sangka
penyepelean terhadap siapa yang disukai oleh orang yang barada di bawah
disebut ‘adhal Ibnu Qudamah, sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas beliau
berpendapat bahwa, seorang wali disebut ‘adhal ketika dia menolak orang yang
berada di bawah perwaliannya untuk menikah dengan orang yang sudah tercukupi
F. Metode Penelitian
kualitatif. Metode penelitian ini dipilih dengan alasan bahwa penelitian kualitatif
Oleh karena itu, sumber datanya diperoleh melalui kerja-kerja lapangan yang
meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang
berinteraksi secara sinergis dalam situasi sosial, dalam hal ini adalah
2. Pendekatan Penelitian
3. Sasaran Penelitian
81
Penelitian ini merupakan penelitian empiris (lapangan/ field research). Oleh karena itu,
sumber datanya diperoleh melalui kerja-kerja lapangan yang meliputi aspek tempat (place), pelaku
(actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis dalam situasi sosial, dalam hal ini
adalah penghulu yang ada di wilayah DIY
82
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 50
83
Atho Mudzhar, ‚Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi‛ dalam Amin Abdullah,
Mencari Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 60
narasumber, penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik
dan informasi terkait dengan fokus penelitian ini. Narasumber diambil dari
a. Sumber Data
data juga berasal dari dokumen dan catatan catatan lainyang berkaitan
teknik triangulasi yang dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) observasi
84
Ibid.
perkawinan yang menjadi fokus dalam penelitian ini, masing-masing
ini, baik yang ada di KUA maupun Bimas Iskam Kantor Kementerian
c. Teknik Analisis
tidak penting. Selanjutnya adalah proses penyajian data, yaitu data yang
G. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini mudah untuk dipahami maka di perlukan sistematika
pembahasan yang runtut. Dalam hal ini penulis telah menyusun sistematika
tersebut agar menjadi runtut dan mudah di mengerti, penyusun ini telah
merumuskan pembahasan penelitian ke dalam lima bab dan beberapa sub bab
yang paling berkaitan satu dengan yang lain. Adapun susunanya, sebagai berikut:
BabI: Bab ini nantinya berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
dicari jawabanya, tujuan dan manfaat penelitian serta pemanfaatan alur penulisan
Bab II: Bab ini membuat telaah pustaka untuk menelaah penelitian
telah dilakukan sebelumnya, kerangka teori yang relevan untuk menjadi acuan
Bab III: Bab ini membahas metode penelitian,yang penulis gunakan dari
segi tiga jenis penelitian dan pendekatan, lokasi penelitian subyek penelitian,
teknik penentuan subjek, teknik pengumpulan data, keabsahan data dan teknik
analisis data.
Bab IV: Bab ini berisi hasil pembahasan, yang mana hasilnya penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t),
Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo).
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, cet. Ke-6, jil.2, (t.p:Dar al-
Ma’rifah t.t).
Abi Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif:
Beirut, Libanon).
Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, (Dar al Fikr al ‘Arabi:
Beirut, Libanon).
Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah: Beirut, Libanon,
2003
Muhammad bin Isa Abu Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-Tirmidzi
(Beirut: Dâr Ihya’ at-Turats al-Arobi, t.t)
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ab, Sunan Abu Dâud (Beirut: Dâr al-Kitab al-Arobi,
t.t),
Abi Muhammad Asyraf bin Abdul Maqsud, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil
Aqo’id wal Ibadat wal Mu’amalat wal Adat, cet. Ke-2, (Adwa as-Salaf:
Riyadh, 1429 H.
Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. Ke-3, (Dar: Alimul Kutub, Beirut, Libanon 1417
H/1997 M)
Yunus bin Idris al-Bahuti, Kasyful Qina’, cet. Ke-1, (Dar: Alimul Kutub,Beirut,
Libanon 1417. H/1997 M
Imam an-Nawawi, Raudhah at-Thlmibin, t.c, (Dar: Alimul Kutub, Beirut, Libanon
1463 H/ 2003 M).
Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Mughtaj, cet. Ke-1, (Dar: al-Ma’rifah, Beirut,
Libanon 1418 H/ 1997 M)
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan-Pernikahan, cet. Ke-1, (penerbit: DU
Publishing 2011 M)
Mukhsin Sameeh al-Khuldi, al wali wa isytirotuhu fi aqdi zawaji al mar’ah baina al-
fuqaha wal qowanin al-akhwal asy-syakhsiyah, t.c, (t.p, t.t)
Elang Darmawan, Ahmad Baihaki, Otih Handayani “Penetapan Wali Hakim Sebagai
Pengganti Wali Adlal Yang Tidak Menyetujui Pernikahan Anaknya”,
dalam KRTHA BHAYANGKARA, Vol. 15, No. 2 (2021), 177-196.
A Fakhrudin dengan judul Pengambilalihan Wewenang Perwalian Dalam Perkara
Wali Adhal Perspektif Pluralisme Hukum (Studi Kasus Pandangan Hakim
Dan Tokoh Masyarakat Kabupaten Pasuruan).dalam Tesis, Program
Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2020
Fuad Ifran al-Bustani, Munjid al-Tullab, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1997 M),
Ibrahim Mushthafa, Mu’jamul Washith, (tp:Darud Da’wah, th)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997 M),
Abdurrahman Ghozali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008 M),
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet. Ke-1, (Beirut: Dar al-Fath, 1992 M)
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqhu ala Madhahib al-Arba’ah…hlm. 20
Abdul Karim Zaidan, al-Madhlm li Dirasatut al-Syari’ah al-Islamiyah, cet. Ke-1,
(Mesir: Matba’ah al-Ani, 1969 M
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t),
Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo)
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, (t.p:Dar al-Ma’rifah t.t),
Abi Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, al-Umm, cet. Ke-2, (Dar al-Ma’arif:
Beirut, Libanon),
Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, jil. 7, (Dar al Fikr al
‘Arabi: Beirut, Libanon),
Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhlmla, cet. Ke-1, (Dar al-Kutub al- Ilmiyah: Beirut,
Libanon, 2003),
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet.
Ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M),
Ibrohim al-Baijuri, hasyiyah al-Baijuri Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ ( Beirut:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1999 M)
Syamsuddin asy-Syaikh Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi ala asy-Syarhu
al-Kabir, t.c, (t.p, t.t), jil. 2, hlm.
Imam Ala’uddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Khasani al-Hanafi, Badai’ as-Shanai’, cet.
Ke-2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986 M),
Ad-Daswaqi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah Fi Fiqhi al-Imam Ahmad bin Hanbal, t.c,
(Beirut: Maktabah ‘Udriyah, t.t)
al-Alamah Abi Barokat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ad-Daroir, asy-Syarhu
as-Shagir, t.c, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t),
Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnai Li ad-Dimasyqi
asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut:
Maktabah Tauqifiyyah, t.t
Ibrohim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri Syarhu ala Matni Syaikh Abi Syuja’ (Beirut:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1999 M
bdurrahman al-Ghoryani, Mudawwanah al-Fiqhi al-Maliki wa Adillatuhu, cet. Ke-1
(t.p: Muassasah ar-Royyan, 2002 M), jil.2, hlm. 557,
Musa Salim al-Hajawi, Syarhul Mumti’ ala Zadi al-Mustaqni, (Saudi: Jannatu al-
Afkar, 20008 M)
Shlmih bin Fauzan, al-Mulakhos al-Fiqhi, (Iskandariyah: Dar al-Aqidah, 2009 M)
Adil bin Yusuf al-Azzazi, Tamamul al-Minnah, (Beirut: Dar al-Aqidah, t.h
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, t.c, (Maktabah at-
Taufiqiyah, t.t)
Malik bin Anas, al-Mudawwanah,jil.2, (Dar al-Hadist: Kairo)
Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Suwarun Min Hayati at-Thabi’in, yang
dialihbahasakan oleh Abu Umar Abdillah, Mereka Adalah Para Thabi’in,
(Pustaka at-Tibyan: Yogyakarta, 2009), hlm. 151-160.
Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Mughtaj, cet. Ke-1, (Dar: al-Ma’rifah, Beirut,
Libanon 1418 H/ 1997 M)
Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Husnai Li ad-Dimasyqi
asy-Syafi’I, Kifayah al-Akhyar Fi Hlm Ghoyati al-Ikhtishor, t.c, (Beirut:
Maktabah Tauqifiyyah, t.t
Syamsuddin as-Sarkhosiy, al-Mabsut, t.c, (Beirut: Dar al-Ma’arifah, t.t),
Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, cet. Ke-2, (Libanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2003 M)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 50
Atho Mudzhar, ‚Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi‛ dalam Amin
Abdullah, Mencari Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 60