Anda di halaman 1dari 21

KASUS MALPRAKTEK PADA KAMAR OPERASI

Makalah,
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Kesehatan

Oleh:
Fella Rahma Aisyah
(19.01.03.004)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Pamenang Pare


Jln. Sokarno Hatta No. 15 Bendo Pare Telp (0354) 399840
Pare Kediri

2019/2020
KASUS MALPRAKTEK PADA KAMAR OPERASI

Makalah,
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Kesehatan

Oleh:
Fella Rahma Aisyah
(19.01.03.004)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Pamenang Pare


Jln. Sokarno Hatta No. 15 Bendo Pare Telp (0354) 399840
Pare Kediri

2019/2020

Hukum Kesehatan | i
Daftar Isi

Halaman Judul.....................................................................................................i
Kata Pengantar....................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
Abstrak.................................................................................................................iv

Bab 1 Pendahuluan..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 2
1.3 Tujuan penulisan........................................................................................... 2

Bab II Pembahasan.............................................................................................3
2.1.Kronologi Kasus .............................................................................................3
2.2.Analisis Masalah ............................................................................................3
2.3. Solusi..............................................................................................................15

Bab III Penutup...................................................................................................17


3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 17
3.2 Saran................................................................................................................ 18

Hukum Kesehatan | ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi)


yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure (SOP), kode etik
profesi, serta undang-undang yang berlaku baik disengaja maupun akibat
kelalaian Kelalaian ini bukanlah suatu pelanggaran hukum, jika kelalaian
tersebut tidak sampai membawa kerugian kepada orang lain dan orang tersebut
dapat menerimanya. Akan tetapi,jika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian
materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka hal ini bisa
dikatakan malpraktek.
Definisi malpraktek medis “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956)
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar
telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah
tersebut. Andai kata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan
merupakan risiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of
treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan
dengan pasien adalah perikatan atau perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian atau perjanjian akan hasil (resultaa
verbinteni).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana kronologi masalah dari kasus malpratek pada kamar operasi
ini?
1.2.2 Bagaimana analisis masalah jika ditinjau dalam beberapa sudut pandang?
1.2.3 Bagaimana solusi yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini dan
menghindari terulangnya kembali kasus tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan penulisan
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui kronologi kasus tersebut dengan jelas.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana analisis masalah jika ditinjau dari beberapa
pandangan.
1.3.3 Untuk mengetahui solusi yang tepat untuk menyelesaikan kasus tersebut
dan menghindari terulangnya kembali.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kronologis Kasus

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi.


Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu.
Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter
ahli bedah tulang (orthopedy).

Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan


bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami
gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus
menerus di ruang perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator).
Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi,
pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.

Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan
gas anastesi (N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N 2O, ternyata
yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian
CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga
proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya
meninggal.

Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal. Dengan kata
lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di
rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang
dipasang di mesin anastesi. Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus
memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya.
Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis
(misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat
berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur
ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan
kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.

2.2 Analisis Masalah

2.2.1 Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum

Sanksi hukum Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter


terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian
(culpa) seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy yang kami ambil,
maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan
sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang.
Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu
profesi yang mulia.

Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus


sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan
tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan
malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.
Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga
mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain.
Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik
yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan
malpraktik dengan sanksi pidana.

Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang


mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359,
misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa
seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. (2)
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti
melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan
sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti
merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan
atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian
(pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.

Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan


malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien)
terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada
pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter)
untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa)
diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

Kepastian hukum

Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas
dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan.
Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena
telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan
hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi
seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam
kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.

Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara


untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas
praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian
hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun.
Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah
melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban
tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2)
Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan
pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

2.2.2 Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)

Jika dilihat dari sudut pandang masing-masing ruang lingkup yang berbeda
istilah etika dapat diartikan dalam banyak pengertian. Bagi ahli falsafah, etika
adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas, sedangkan moralitas adalah hal-
hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan
perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut
etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan yang amat fundamental: “bagaimana saya harus hidup dan bertindak?”.

Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang
dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan
tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi
harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang
professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi
antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan
terhormat.

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa


berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya
bahwa seeorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang
proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap
tindakannya, dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan
manusia.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu


ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin
sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti
halnya advokat, pengacara, notaris, atau akuntan, dll. Pengawasan biasanya
dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi
terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik, dalam hal ini Majelis Kode Etik
Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus
dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik. Namun, jika kesalahan
tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik, maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-
undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.

Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum


hanyalah lembaga yudikatif, dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti
melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata.

Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi


fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan
keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan
adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka
diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hokum
profesinya.

2.2.3 Ditinjau dari Sudut Pandang Agama

Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan


kematian atau bisa menyebabkan hilangnya nyawa pasien. Di antaranya dapat
dilihat bagaimana secara garis besar agama Islam dan Khatolik memandang
malpraktek.

 Menurut pandangan Islam

Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak
prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak
manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas
bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik
penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-
aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya
memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri saya.
Dari sini dapat kita katakan bahwa sebagai individu saja kita tidak berhak
atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain.
Karena itu maka setiap tindakan yang ada akhirnya menghilangkan hidup
atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar
hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek
adalah suatu pelanggaran.

 Menurut pandangan KatoliK

Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang
malpraktek adalah mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi
pertanyaan utama disini adalah sejak kapan satu individu atau bakal
individu sudah bisa disebut sebagai individu atau pribadi yang sudah
memiliki hak untuk hidup?

Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin


terbentuk dia harus dianggap sebagai pribadi (a person) atau sebagai
manusia (a human person). Satu hal yang perlu diketengahkan adalah
apakah si janin telah memiliki roh atau jiwa (soul) atau tidak?

Agama katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi sudah memiliki


jiwa. Pada waktu dilahirkan janin telah menjadi seorang manusia yang telah
berhak akan kewajiban moral terhadapnya. Dari uraian singkat diatas kita
dapat katakan bahwa, sejak si janin sudah terbentuk, kita sebenarnya sudah
tidak punya hak untuk memusnahkannya dan harus membiarkan atau
memeliharanya sampai ia tumbuh besar. Terkait dengan kasus yang kami
ambil dimana karena suatu kalalaian mengakibatkan satu nyawa
menghilang, dapat kita katakan sebagai suatu perampasan hak untuk hidup
karena sejak ia masih sebagai janin saja kita sudah tidak punya hak untuk
membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh besar. Karena itu maka setiap
kelalaiaan yang mengakibatkan menghilangnya nyawa seseorang harus bisa
ditindaklanjuti baik secara agama ataupun hukum.
Pasal-pasal lain yang terkait dengan kasus tersebut:

a. Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

 Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

 Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan


pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

 Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan


medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih
lanjut.

 Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi


promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

 Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah


kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.

 Pasal 2

Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada


nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan
hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien,
serta mempunyai fungsi sosial.

 Pasal 3

Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

 mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan


kesehatan;
 memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
 meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit;
dan
 memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

 Pasal 4

Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan


perorangan secara paripurna.

 Pasal 5

Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah


Sakit mempunyai fungsi:

 penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan


sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

 pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui


pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis;

 penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia


dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan; dan

 penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan


teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan;
 meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit; dan

 memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber


daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

 Pasal 12

 Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7 ayat (1) yaitu Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang
meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan tenaga
nonkesehatan.

 Jumlah dan jenis sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) harus sesuai dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit.

 Rumah Sakit harus memiliki data ketenagaan yang melakukan


praktik atau pekerjaan dalam penyelenggaraan Rumah Sakit.

 Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan


sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan. 

 Pasal 13

 Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib


memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

 Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki


izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja


sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar
prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak
pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.

 Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana


`dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 Pasal 32

Setiap pasien mempunyai hak:

 memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;


 memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
 memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi;
 mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
 memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
 meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain
yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar
Rumah Sakit;
 mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta
perkiraan biaya pengobatan;
 memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
 menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata ataupun pidana;
- Pasal 37

 Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus


mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.
 Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- Pasal 46
 Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Rumah Sakit.

b. UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999


- Pasal 4
“Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya“
- Pasal 7
“Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan“
- Pasal 62
 “Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,
cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku”
 Pada pasal 7 yaitu pelaku usaha wajib memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,
 pada kasus ini pelaku usaha yaitu tenaga kesehatan, tetapi tenaga
kesehatan tidak memberikan informasi yang jelas kepada keluarga
pasien tentang keadaan pasien setelah operasi dan tindakan apa saja
yang telah dilakukan pada waktu operasi.
 Selain itu, sesuai dengan pasal 62, yaitu terhadap pelanggaran yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

2.3 Solusi

Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi hokum
serta segala macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini
kesalahan pemberian atau pemasangan gas setelah operasi pembedahan tulang di
atas maka pencegahan terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan
perbaikan sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran.

Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama
pendidikan kedokteran, dengan lebih ke arah pembuatan keputusan etik,
memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-
kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut
diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-
hari dan juga perlu terus ada pelatihan dan pengenalan akan segala macam alat
ataupun obat yang harus dipakai dalam pelaksanaan profesi kedokteran ataupun
semua tenaga pelayanan kesehatan agar kesalahan dalam diagnosis atau kesalahan
dalam pemberian obat dapat diminimalisir . Tentu saja kita pahami bahwa
pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama
apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal
dalam pendidikan.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional
dokter. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik
pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan
serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut.
Perubahan besar harus dilakukan. Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan
menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang
penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna
mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan
pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas
dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-
benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang
lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik.

Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok
dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman.
Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi
aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan
oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional
yang “kotor” dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat
profesi. Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan
ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus
mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan,
mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta
mampu memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek
kedokteran yang berdasarkan bukti hokum dank ode etik yang berlaku.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Malpraktek dalam bidang orthopedy adalah suatu tindakan kelalaian


yang dilakukan oleh dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas
melakukan segala macam tindakan pembedahan khususnya pembedahan pada
tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien yang pada awalnya hanya mengalami
masalah pada tulangnya pada akhirnya harus menghembuskan nafasnya untuk
terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas setelah operasi.

Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari
dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan
terhadap pasien. Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah
sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin
masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya. Karena tindakan tersebut
tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar berperilaku
dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang maka
perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah sakit,
meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta
memperdalam segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan
pelayanan kesehatan.
3.2 Saran

Bagi semua oranng yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga
bagi penulis serta siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang
bergerak di bidang kesehatan, hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih
ada semaksimal mungkin untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dangan
tugas kita nantinya, agar segala macam tindakan pelanggaran ataupun kelalaian
dapat diminimalisir atau kalau bisa dihilangkan.

Anda mungkin juga menyukai