Makalah,
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Kesehatan
Oleh:
Fella Rahma Aisyah
(19.01.03.004)
2019/2020
KASUS MALPRAKTEK PADA KAMAR OPERASI
Makalah,
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Kesehatan
Oleh:
Fella Rahma Aisyah
(19.01.03.004)
2019/2020
Hukum Kesehatan | i
Daftar Isi
Halaman Judul.....................................................................................................i
Kata Pengantar....................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
Abstrak.................................................................................................................iv
Bab 1 Pendahuluan..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 2
1.3 Tujuan penulisan........................................................................................... 2
Bab II Pembahasan.............................................................................................3
2.1.Kronologi Kasus .............................................................................................3
2.2.Analisis Masalah ............................................................................................3
2.3. Solusi..............................................................................................................15
Hukum Kesehatan | ii
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan
gas anastesi (N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N 2O, ternyata
yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian
CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga
proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya
meninggal.
Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal. Dengan kata
lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di
rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang
dipasang di mesin anastesi. Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus
memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya.
Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis
(misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat
berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur
ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan
kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti
melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan
sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti
merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan
atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian
(pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas
dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan.
Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena
telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan
hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi
seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam
kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
2.2.2 Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)
Jika dilihat dari sudut pandang masing-masing ruang lingkup yang berbeda
istilah etika dapat diartikan dalam banyak pengertian. Bagi ahli falsafah, etika
adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas, sedangkan moralitas adalah hal-
hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan
perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut
etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan yang amat fundamental: “bagaimana saya harus hidup dan bertindak?”.
Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang
dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan
tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi
harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang
professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi
antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan
terhormat.
Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak
prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak
manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas
bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik
penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-
aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya
memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri saya.
Dari sini dapat kita katakan bahwa sebagai individu saja kita tidak berhak
atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain.
Karena itu maka setiap tindakan yang ada akhirnya menghilangkan hidup
atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar
hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek
adalah suatu pelanggaran.
Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang
malpraktek adalah mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi
pertanyaan utama disini adalah sejak kapan satu individu atau bakal
individu sudah bisa disebut sebagai individu atau pribadi yang sudah
memiliki hak untuk hidup?
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 32
2.3 Solusi
Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi hokum
serta segala macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini
kesalahan pemberian atau pemasangan gas setelah operasi pembedahan tulang di
atas maka pencegahan terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan
perbaikan sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran.
Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama
pendidikan kedokteran, dengan lebih ke arah pembuatan keputusan etik,
memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-
kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut
diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-
hari dan juga perlu terus ada pelatihan dan pengenalan akan segala macam alat
ataupun obat yang harus dipakai dalam pelaksanaan profesi kedokteran ataupun
semua tenaga pelayanan kesehatan agar kesalahan dalam diagnosis atau kesalahan
dalam pemberian obat dapat diminimalisir . Tentu saja kita pahami bahwa
pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama
apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal
dalam pendidikan.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional
dokter. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik
pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan
serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut.
Perubahan besar harus dilakukan. Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan
menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang
penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna
mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan
pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas
dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-
benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang
lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik.
Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok
dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman.
Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi
aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan
oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional
yang “kotor” dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat
profesi. Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan
ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus
mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan,
mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta
mampu memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek
kedokteran yang berdasarkan bukti hokum dank ode etik yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari
dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan
terhadap pasien. Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah
sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin
masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya. Karena tindakan tersebut
tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar berperilaku
dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang maka
perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah sakit,
meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta
memperdalam segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan
pelayanan kesehatan.
3.2 Saran
Bagi semua oranng yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga
bagi penulis serta siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang
bergerak di bidang kesehatan, hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih
ada semaksimal mungkin untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dangan
tugas kita nantinya, agar segala macam tindakan pelanggaran ataupun kelalaian
dapat diminimalisir atau kalau bisa dihilangkan.