Anda di halaman 1dari 63

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at:


https://www.researchgate.net/publication/303897523

Catatan Kuliah: Analisis Pola Difraksi


Sinar-X dengan Metode Rietveld
Menggunakan Rietica

Book · June 2016


DOI: 10.13140/RG.2.1.1728.7282

READ

1 author:

Yuant Tiandho
Bandung Institute of Technology
9 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All in-text references underlined in blue are linked to publications on ResearchGate, Available from: Yuant Tiandho
letting you access and read them immediately. Retrieved on: 11 June 2016
Catatan Kuliah:
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld
Menggunakan Rietica

Yuant Tiandho
Pada dasarnya, untuk kepentingan pendidikan dan hal-hal akademis ebook ini dapat
digunakan secara bebas dan dibagikan secara bebas tetapi dengan hak cipta tetap
dipegang oleh penulis

DOI: 10.13140/RG.2.1.1728.7282

ii
Untuk Fitri Afriani

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah penguasa alam semesta. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurah pada Nabi Muhammad SAW.

Catatan kuliah ini merupakan rangkuman yang kami buat selama mengikuti
perkuliahan. Sehingga tentu tidak mengherankan apabila para pembaca menemukan
banyak sekali kesamaan ide dalam buku ini dengan buku-buku pegangan yang telah
diakui keabsahannya, terutama yang ditulis oleh Kisi dan Howard (Applications of
neutron powder diffraction) serta Will (Powder Diffraction: the Rietveld method and
the two stage method to determine and refine crystal structures from diffraction data).
Isi dari catatan kuliah ini terbagi menjadi dua kelompok pembahasan: teori dasar
metode Rietveld serta penggunaan praktis Rietica. Diharapkan dengan menampilkan
gambar-gambar proses refinement pola difraksi sinar-x dapat mempermudah para
pembaca dalam melakukan analisis pola difraksi sinar-x.

Disini kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu, khususnya pada Bapak Posman Manurung yang telah memperkenalkan
Rietica. Semoga Allah membalas dengan segala yang lebih baik. Kami juga menyadari
bahwa catatan kuliah ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dari
pembaca sangat kami harapkan.

Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Bandar Lampung, Juni 2016

Yuant Tiandho

iv
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I: Sekilas Difraksi Sinar-X ................................................................................................... 1

Bab II: Metode Rietveld ............................................................................................................... 5

Bab III: Rietica ................................................................................................................................. 15

Bab IV: Pembuatan Data File Difraksi Sinar-X .................................................................... 25

Bab V: Analisis Kualitatif ............................................................................................................. 29

Bab VI: Analisis Kuantitatif ........................................................................................................ 39

Referensi

v
vi
BAB I
SEKILAS DIFRAKSI SINAR-X

Penemuan sinar-x seringkali dihubungkan dengan nama


Wilhelm Conrad Röntgen. Beliau adalah ilmuwan fisika
Jerman yang begitu fokus meneliti efek dari radiasi sinar
tersebut hingga memperoleh Nobel pada tahun 1901.

Pada malam tanggal 8 November 1895, Röntgen melihat


cahaya aneh (fluoresensi) yang berasal dari layar
fluoresensi Barium Platinocyanide di laboratoriumnya,
saat ia melakukan riset tentang emisi sinar katoda.
Tabung sinar katoda adalah suatu tabung kaca vakum
yang didalamnya “mengalir” elektron. Sinar katoda Gambar 1.1. Wilhelm C.
merupakan kunci utama dari penemuan elektron oleh J.J. Röntgen (1845 - 1923)
Thompson.

Röntgen sangat terkejut ketika melihat adanya fluoresensi tersebut. Sebab layar
fluoresensinya terletak begitu jauh dari tabung katoda (jangkauan sinar katoda hanya
kurang dari empat inci) dan telah terlindung oleh kertas karbon hitam yang
mencegah cahaya menembusnya. Röntgen menghabiskan enam minggu selanjutnya
untuk mempelajari gelombang elektromagnetik yang baru ia temukan. Karena
sifatnya yang begitu misterius maka Röntgen menamai gelombang elektromagnetik
tersebut dengan nama “sinar-x”.

Penelitian lebih lanjut mengungkap


bahwa sinar-x dipancarkan ketika
elektron dalam sinar katoda
menumbuk logam anoda target.
Terdapat dua jenis sinar-x, yaitu:
sinar-x Bremsstrahlung dan sinar-x
karakteristik. Sinar-x
Bremsstrahlung terjadi karena
elektron yang dipancarkan dari
Gambar 1.2. Proses terjadinya sinar-x katoda menuju target logam anoda
Bremsstrahlung dipercepat dengan tegangan tinggi.
Bab 1 – Sekilas Difraksi Sinar-X

Elektron energi tinggi tersebut kemudian berinteraksi dengan atom dalam logam
target. Terkadang elektron datang sangat dekat dengan inti atom target sehingga
bergerak menyimpang akibat adanya interaksi elektromagnetik. Pada proses ini
elektron akan kehilangan banyak energi (karena mengalami perlambatan) sehingga
foton akan diradiasikan.

Sinar-x karakteristik
merupakan sinar-x yang muncul
akibat elektron energi tinggi
yang datang berinteraksi
dengan elektron yang berada
dekat dengan inti atom sehingga
elektron yang berada dekat inti
atom tersebut tersingkir dari
tempatnya. Berdasarkan prinsip
larangan Pauli tentang Gambar 1.3. Proses terjadinya sinar-x karakteristik
pengisian elektron pada kulit
atom, kekosongan ini dilarang dan harus segera diisi oleh elektron yang terletak di
kulit yang lebih luar. Melalui teori Planck kita tahu bahwa perpindahan elektron
menuju kulit yang lebih dalam akan diikuti dengan pemancaran foton. Energi foton
yang dipancarkan sebanding dengan selisih energi elekron pada tiap kulit tersebut
dan sesuai dengan karakteristik materialnya. Karena frekuensi foton yang
dipancarkan melalui proses ini bersifat diskrit (tidak kontinu) maka ia juga disebut
dengan foton monoenergi dan tentu ia juga bersifat monokromatik. Sinar-x jenis
inilah yang dapat digunakan untuk melakukan analisis material berdasarkan sifat
difraksinya pada kristal.

Sinar-x karakteristik dinamai berdasarkan asal


kulit dan kulit tujuannya. Misalkan kulit yang
kosong (kulit tujuannya) akibat ditumbuk oleh
elektron datang adalah kulit K maka dinamai
sinar-x K. Sedangkan untuk mengetahui
asalnya digunakan huruf Yunani. α digunakan
untuk menandai jika elektron yang mengisi
kulit kosong berasal dari kulit yang berada
tepat lebih atasnya, β digunakan jika elektron
memiliki selisih dua kulit, dan γ digunakan jika
eletron memiliki selisih tiga kulit. Misalkan
apabila ada transisi elektron dari kulit L
Gambar 1.4. Sinar-x bremsstrahlung dan mengisi kulit K maka disebut sinar-x Kα,
sinar-x karakteristik sedangkan jika yang mengisinya berasal dari

2
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

kulit M maka dinamai sinar-x Kβ.

Perbedaan utama dari sinar-x bremsstahlung dengan sinar-x karakteristik adalah


sinar-x bremsstahlung bersifat kontinu sedangkan sinar-x karakteristik hanya
muncul tiap panjang gelombang tertentu saja (diskrit). Apabila kita amati Gambar 1.4,
tampak bahwa sinar-x Kα memiliki intensitas yang tertinggi dan itulah alasan utama
sinar-x Kα dipilih dalam proses difraksi untuk analisis kristal.

Sinar-x memiliki panjang gelombang berkisar dari 0,5 – 2,5 Å, yang mendekati jarak
antar atom pada suatu kristal. Sehingga jika berkas sinar-x dengan panjang
gelombang λ jatuh pada permukaan kristal dengan sudut θ, maka akan terjadi proses
difraksi. Dimana celah (jarak antar atom) pada kristal akan berlaku sebagaimana kisi
pada peristiwa difraksi kisi konvensional. Sama seperti proses difraksi kisi pada
umumnya, difraksi sinar-x oleh kisi kristal juga menghasilkan pola interferensi
konstruktif (jika sefase) dan destruktif (jika berlawanan fase).

Gambar 1.5. Interferensi konstruktif sinar-x yang dihamburkan oleh atom-atom dalam bidang kisi

Pada Gambar 1.5, tampak bahwa garis AD menyatakan muka gelombang dari
gelombang sinar-x yang sefase saat mendekati kristal. Gelombang yang dihamburkan
pada B akan mengikuti lintasan ABC, dan yang terhambur pada F mengikuti lintasan
DFH. Gelombang kedua berjalan lebih jauh dari gelombang pertama dan selisih
panjang lintasannya adalah jumlah dari dua segmen EF dan FG yang merupakan
kelipatan panjang gelombang λ, sehingga:

EF  FG  n , n  1,2,3,... (1.1)

Menurut trigonometri, panjang kedua segmen ini sama, yaitu dhklsin θ, dengan dhkl
adalah jarak antar bidang (bilangan hkl nantinya akan menunjukkan bidang kristal
tersebut dan ia berkaitan dengan bidang koordinat xyz),

EF  FG  dhkl sin  (1.2)

3
Bab 1 – Sekilas Difraksi Sinar-X

Sehingga dengan melakukan substitusi pada pers. (1.1) akan dihasilkan,

2dhkl sin   n (1.3)

Persamaan inilah yang kemudian dikenal dengan hukum Bragg.

Pada praktiknya, sinar-x yang bersifat konstruktif kemudian ditangkap oleh detektor
yang bergerak memantau pada sudut berapa saja ia akan muncul. Melalui sudut θ
yang diketahui (pada tekniknya yang digunakan adalah ukuran 2θ, yang disebut
sudut Bragg), maka parameter dhkl tentu saja bisa dihitung, sesuai dengan pers. (1.3).
Transformasi data hasil analisis difraksi sinar-x dari suatu kristal yang merupakan
objek 3 dimensi menjadi pola 1 dimensi dapat dilakukan melalui transformasi
Fourier. Sebagai contoh, pada Gambar 1.6 disajikan hasil keluaran dari difraksi sinar-
x dari α-Zr pada proses fabrikasi zircaloy.

Gambar 1.6. Contoh hasil difraksi sinar-x dari α-Zr

Keuntungan lain yang kemudian bisa dimanfaatkan adalah fakta bahwa kristal tiap
fasa suatu senyawa memiliki karakteristik yang unik. Tiap parameter kristal mewakili
satu fasa. Sehingga dengan mengetahui data parameter suatu kristal hasil difraksi
sinar-x yang muncul (seperti h, k, dan l atau data sudut difraksi 2θ ) serta melalui
pencocokan dengan pangkalan data kristal (semisal JCPDS) maka dapat diketahui
jenis kristal apa yang sedang diukur. Itulah mengapa, difraksi sinar-x merupakan
suatu metode yang cukup ampuh dan akurat untuk menganalisis karakteristik suatu
senyawa yang awalnya belum diketahui penyusunnya.

4
BAB II
METODE RIETVELD

Metode Rietveld merupakan metode refinement yang


diperkenalkan oleh Hugo Rietveld sekitar tahun 1960-an
untuk keperluan karakterisasi material kristal. Seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.6., keluaran dari hasil
karakterisasi difraksi sinar-x berupa grafik yang berisi
puncak-puncak intensitas pada posisi sudut tertentu.
Puncak-puncak intensitas tersebut memiliki bentuk yang
bervariasi misalkan dalam hal tinggi, lebar, dan posisinya.
Setiap bentuk khas puncak hasil difraksi sinar-x sebenarnya
mengandung informasi tentang berbagai aspek dari kristal
yang terdapat dalam material. Gambar 2.1. H. Rietveld

Pada awalnya Rietveld datang dari Australia ke Petten (Belanda) pada tahun 1964
sebagai salah satu peneliti di Reactor Centrum Nederland (RCN). Salah satu hal utama
yang dipelajari di RCN adalah analisis senyawa uranium. Sebelum digunakan metode
Rietveld, berbagai analisis material berdasarkan difraksi suatu kristal (baik dengan
neutron maupun sinar-x) selalu diselesaikan dengan menggunakan data kristal
tunggal. Tentu saja metode ini tidak menemui masalah yang berarti ketika diterapkan
pada struktur-struktur yang relatif sederhana dengan kesimetrian tinggi. Tetapi
ketika senyawa yang dianalisis menjadi lebih kompleks dan kesimetriannya rendah
maka puncak-puncak data saling tumpang tindih dan analisis berdasarkan kristal
tunggal menjadi sangat sulit untuk diterapkan. Beberapa cara telah dilakukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut seperti dengan meningkatkan resolusi
difraktometer tetapi tetap saja tidak memberikan hasil yang signifikan.

Rietveld berpikir bahwa untuk memperbaiki analisis struktur pada material


kompleks tidak dapat dilakukan hanya dengan refleksi Bragg individu tetapi
sebaiknya menggunakan refleksi yang saling tumpang tindih tersebut secara
keseluruhan. Pada upaya pertamanya ia menggunakan beberapa kelompok hasil
refleksi dan ternyata itu bekerja dengan baik, tetapi tentu saja beberapa informasi
yang terkandung dari hasil refleksi tersebut hilang. Langkah berikutnya adalah
memisahkan puncak yang tumpang tindih dengan menerapkan fungsi profil. Dalam
difraksi neutron, dengan bentuk puncak yang sangat Gaussian, ia menerapkan profil
Bab 2 – Metode Rietveld

Gaussian dan itu bekerja dengan sangat baik. Langkah terakhir adalah
mempertimbangkannya tidak hanya untuk sekelompok hasil refleksi tetapi
keseluruhan pola. Pada intinya adalah ia menginginkan untuk mengambil pola
difraksi pada seluruh set data eksperimen, mengambil setiap step pemindaian dan
membandingkan mereka terhadap data teoritis dalam prosedur kuadrat terkecil
(least square procedure) bersama-sama untuk seluruh pola. Karena dasar matematika
dari metodenya adalah profil puncak maka ia kemudian menyebut metodenya
sebagai “profile refinement”. Secara matematis prinsip dasar dari metode Rietveld
adalah untuk meminimalisir fungsi M yang merupakan selisih dari profil yang
dikalkulasi (ycalc) dengan data pengamatan (yobs),
2
 1 
M   wi  yiobs  yicalc   minimum (2.1)
i  c 

Dimana wi adalah bobot statistik dan c adalah faktor skala, y calc  cy obs .

Pada aplikasinya, Rietveld yang menggunakan distribusi Gauss untuk membahas hasil
difraksi neutron (untuk difraksi sinar-x digunakan analogi yang sama)
mendefinisikan ycalc sebagai,

yicalc   Ik G  2i  2 k   2i   yib (2.2)


k

dimana Ik adalah intensitas terintegrasi ke-k, G(2θi-2θk) adalah fungsi profil


ternormalisasi, Δ(2θi) adalah sudut penerimaan, dan yib berkaitan dengan latar
(background). Adapun intensitas terintegrasi didefinisikan sebagai,
2
Ik  S Fhkl calc
TLJAP (2.3)

dengan S adalah faktor skala (scale factor), Fhkl adalah faktor struktur (structure
factor) untuk puncak difraksi hkl, T adalah faktor temperatur (overall temperature
factor), L adalah faktor Lorentz, J adalah pengali, A adalah faktor atenuasi, dan P
adalah koreksi preferred orientation. Karena Rietveld menggunakan fungsi profil
Gaussian maka,

C0  C0  2  2 k 2 
G  2  2 k   exp   (2.4)
Hk   H k2 

dimana C0  4ln2 dan H adalah FWHM.

Secara sederhana, mencuplik skema dari buku Kisi dan Howard, proses refinement
menggunakan metode Rietveld di beberapa software ditunjukkan oleh Gambar 2.2.

6
Analisis Pola Difraksi Sinar-x dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

Langkah pertama dari proses refinement adalah penentuan posisi puncak


terkalkulasi berdasarkan parameter unit sel. Selanjutnya software akan menentukan
intensitas terintegrasi yang dikalkulasi pada tiap posisi puncak. Apabila selesai maka
proses dilanjutkan dengan pendistribusian puncak sesuai bentuk yang tepat untuk
memberikan pola terkalkuasi secara lengkap. Terakhir adalah pencocokan pola hasil
perhitungan tersebut dengan data pengukuran difraksi sinar-x.

Gambar 2.2.Skema proses refinement dengan metode Rietveld: (a) penentuan posisi puncak kalkulasi, (b)
penentuan intensitas terintegrasi, (c) pembentukan puncak, (d) pencocokan dengan data pengukuran

Untuk lebih memahami prinsip dasar dari metode Rietveld maka akan dibahas
beberapa parameter utama yang menjadi landasan seperti: fungsi bentuk profil
(profile shape function), bentuk puncak (shape peak), lebar puncak (FWHM, full width
half maximum), latar (background) dan preferred orientation.

Fungsi Bentuk Profil dan Bentuk Puncak

Suatu profil atau bentuk dari puncak yang terukur melalui hasil analisis difraksi
bergantung pada dua parameter intrinsik: (i) parameter instumentasi, seperti
distribusi spektral dan fungsi transmisi yang ditentukan oleh celah, serta (ii)
karakteristik sampel berdasarkan struktur kristal dan kristalinitasnya.

7
Bab 2 – Metode Rietveld

Sebelumnya telah disebutkan bahwa dalam penggunaan awal metode Rietveld,


digunakan bentuk profil Gaussian karena ia memang cocok dengan data eksperimen.
Tetapi pada dasarnya, dalam analisis hasil difraksi fungsi bentuk profil yang
diterapkan tidaklah harus selalu Gaussian. Beberapa fungsi profil yang umum
digunakan seperti: Gaussian, Lorentzian, Voigt, Pseudo-Voigt, dan Jorgensen.
Perbedaan rumusan dari fungsi-fungsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Rumusan matematis dari beberapa fungsi bentuk profil


Fungsi bentuk profil Rumusan matematis
Gaussian C0  C x 2 
Gx  exp  02  dimana H  FWHM , C0  4ln2
H   H 
Fungsi Gausian adalah sebuah fungsi yang menggambarkan puncak simetri yang
paling umum. Fungsi inilah yang digunakan oleh Rietveld dalam metodenya.
Lorentzian C 1
L x   1 dimana H  FWHM , C1  4
 H 1  C1 x 2 H 2
Lorentzian adalah suatu fungsi bentuk profil dengan puncak simetri. Dibandingkan
dengan Gaussian, Lorentzian memiliki “ekor” lebih panjang dan cocok untuk hasil
difraksi material dengan kristalit kecil.
Voigt V  x   G  x  * L x 
C0

HG 
Re 
  C0 x HG  i C0 H L 2HG 
 
dimana C0  4ln2
Fungsi Voigt merupakan konvolusi dari Gaussian dan Lorentzian. Hal ini ditunjukkan
oleh adalah fungsi Faddeeva (ω) yang dinyatakan sebagai fungsi FWHM Gaussian HG
dan FWHM Lorentzian HL. Bentuk profil yang dihasilkan melalui fungsi ini fleksibel,
bervariasi dari Gaussian murni hingga Lorentzian murni berdasarkan rasio HL/HG

 
15
dengan total FWHM, H  HG5  AHG4 H L  BHG3 H L2  CHG2H L3  DHG H L4  H L5 dengan A =
2,69269, B = 2,42843, C = 4,47163, dan D = 0,07482.
Pseudo-Voigt pV  x   1   G  x  L  x 
dimana η adalah parameter bentuk campuran Lorentzian
dan Gaussian.
Bentuk puncak Pseudo-Voigt bersifat fleksibel. Ia dapat memiliki bentuk mulai dari
Gaussian (η = 0) hingga Lorentzian (η = 1) atau bahkan untuk η > 1. Saat ini, banyak
software metode Rietveld memilih menerapkan Pseudo-Voigt daripada Gaussian
atau Lorentzian karena ia dapat menyatakan keduanya sekaligus atau membentuk
fungsi gabungannya. Istilah Pseudo-Voigt digunakan karena fungsi ini dapat
memberikan aproksimasi yang sangat baik untuk fungsi Voigt. Hubungan antara
FWHM Gaussian HG, FWHM Lorentzian HL dengan total FWHM Pseudo-Voigt adalah,
(lanjutan Tabel pada halaman selanjutnya)

8
Analisis Pola Difraksi Sinar-x dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

 
12
HG H  1  1,10424  0,05803 2  0,04622 3
H L H  1,07348  0,06275 2  0,01073 3

Jorgensen F  x   A euerfc  y   e erfc  z  


dimana erfc adalah fungsi error komplementer,
  
A , u   2  2x  , v    2  2x 
2     2 2
 2  x  2  x H
y , z , , H = FWHM
 2  2 8ln2
Gaussian.
Fungsi Jorgensen diajukan berdasarkan pulsa neutron yang terdiri dari eksponensial
yang meningkat secara cepat berdasarkan konstanta waktu α dan eksponensial yang
meluruh secara lambat berdasarkan konstanta waktu β, kemudian
mengkonvulasikan pulsa ini dengan Gaussian yang memiliki FWHM H. Karena
berkaitan dengan pulsa neutron maka fungsi Jorgensen lebih sering diterapkan pada
metode yang berbasis time on flight (TOF) dibandingkan metode panjang gelombang
konstan (constant wavelength, CW).
Extended Jorgensen FEX  x   1   A euerfc  y   e erfc  z    ....
Fungsi ini adalah perluasan dari fungsi Jorgensen yang melibatkan variabel η sebagai
fraksi Lorentzian dalam fungsi Pseudo-Voigt.

Pemilihan tipe fungsi yang akan


diterapkan dalam metode Rietveld
secara umum bergantung pada bentuk
puncak hasil difraksi sinar-x itu sendiri.
Semakin mendekati puncak dari fungsi
FWHM
teoritis terhadap puncak hasil
eksperimen maka fungsi tersebut
semakin baik. Sebagai contoh pada
Gambar 2.3 disajikan perbandingan
bentuk puncak dari Gaussian dengan Gambar 2.3.Perbandingan bentuk puncak
Lorentzian. Gaussian dan Loretzian

Lebar Puncak

Lebar puncak dari puncak-puncak difraksi merupakan salah satu parameter penting
dalam menjelaskan pola difraksi. Umumnya, semakin tinggi kristalinitas suatu
material maka puncak yang terbentuk akan semakin tajam yang artinya puncaknya
semakin sempit. Dalam menyatakan lebar puncak lebih sering digunakan variabel

9
Bab 2 – Metode Rietveld

FWHM (Full Width at Half Maximum) yang menyatakan lebar kurva yang diukur pada
setengah tinggi dari puncak hasil difraksi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3.

FWHM, H, pada umumnya merupakan fungsi dari sudut difraksi,

H k  U tan2  k  V tan  k  W (2.5)

dimana U, V, dan W adalah parameter yang nilainya dapat disesuaikan berdasarkan


bentuk puncak difraksi.

Latar

Latar sering dikaitkan dengan nilai intensitas yang


muncul ketika tidak ada puncak difraksi sampel yang
berkontribusi. Pencocokan latar merupakan salah satu
poin yang sangat penting dalam proses refinement data
hasil difraksi sinar-x. Terlebih ketika spesimen sampel
yang dianalisis merupakan jenis polikristalin atau
mengandung senyawa amorf, pencocokan latar menjadi
parameter mutlak yang harus dilakukan bahkan sejak
awal proses refinement agar tidak mengganggu proses
selanjutnya. Latar akan menjadi dasar dari berbagai
proses kalkulasi dan pers. (2.1) mengasumsikan bahwa
latar telah sesuai. Sebagai contoh kasus yang memiliki Gambar 2.4.Contoh adanya
masalah latar tampak pada Gambar 2.4, ini merupakan masalah latar
hasil difraksi sinar-x dari trikalsium fosfat yang
disintesis oleh Fitri dkk. Permasalahan latar pada hasil difraksi sinar-x pada Gambar
2.4 ditunjukkan oleh tingginya data intensitas hasil difraksi di permulaan. Padahal
pada sudut tersebut tidak terdapat puncak yang sangat siginifikan dan apabila hal ini
tidak diselesaikan dapat menyebabkan error yang cukup tinggi.

Berbagai software refinement telah menyediakan menu pengolah latar untuk


mengatasi permasalahan tersebut. Latar dapat diselesaikan berdasarkan interpolasi
yang dibuat di lokasi yang tidak memiliki puncak. Tetapi seringkali juga latar
dimodelkan oleh beberapa fungsi (yib) seperti terdapat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Rumusan matematis dari beberapa fungsi latar


Fungsi latar Rumusan matematis
Polinomial sederhana m
yib   Bn  2i 
n

n1

Deret Fourier cosinus m


yib   Bn cos2ni
n 0

(lanjutan Tabel pada halaman selanjutnya)

10
Analisis Pola Difraksi Sinar-x dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

Polinomial Chebyshev m  2  t i  t min  


yib   BnTn   1
 t  t  
n0  max min 
dimana Tn  x  adalah fungsi yang hubungannya dekat
dengan cosinus. Bentuk ini biasanya untuk metode TOF
yang merekan hasil dari waktu tmin sampai tmax
Latar meningkat m
B Q2n 4 sin  i
(increasing background) yib   n dimana Q  dan λ adalah
n 0 n! 
panjang gelombang
Kontrobusi amorf m sin  QB2n1 
(amprhous contirbution) yib  B0  B1Q   B2n
n 1 QB2n1
Suku pertama dan kedua dari fungsi di atas
memberikan kontribusi linear dan dapat dituliskan
dalam berbagai bentuk yang linear dalam Q (seperti di
atas), t dalam metode TOF, atau θ dalam metode CW.

Preferred Orientation

Pada prinsipnya analisis difraksi sinar-x berlandaskan pada distirbusi acak kristalit
dengan ukuran yang sama. Tetapi pada kenyataanya, dalam banyak kasus, sering
ditemui adanya kecenderungan suatu kristal yang berorientasi dalam suatu orientasi
tertentu dibandingkan orientasi lainnya (arah orientasi suatu kristal dapat
dinyatakan dengan indeks Miller, hkl). Fenomena inilah yang disebut dengan
preferred orientation. Salah satu cara untuk memvisualisasikan ini seperti pada suatu
lembaran logam yang diperoleh melalui metodel pengerolan (rolling) yang memaksa
kristalit-kristalitnya untuk menuju orientasi tertentu. Sebagai contoh adanya
preferred orientation ditunjukkan pada Gambar 2.5, yang menyajikan hasil analisis
difraksi sinar-X dari lapisan TiN yang didepositakan pada substrat Si dengan cara
yang berbeda oleh Oh dan Je. Melalui metode PECVD (plasma enhanced chemeical
vapor deposition)lapisan TiN akan lebih suka memiliki arah orientasi pada 200
sedangkan metode rf magnetron sputtering akan lebih suka pada orientasi 111.

Gambar 2.5. Preferred orientation lapisan tipis TiN yang didepositkan dengan metode berbeda

11
Bab 2 – Metode Rietveld

Sejak awal pengajuan metode refinement-nya, Rietveld telah mengakomodasi atau


mengoreksi intensitas hasil difraksi sinar-x akibat hal ini berdasarkan persamaan,


Icorr  Iobs exp G 2  (2.6)

dimana α adalah sudut antara vektor hamburan (hkl) dengan normal kristalit atau
vektor (HKL) yang didefinisikan oleh operator sebagai vektor preferred orientation.
Sedangkan G adalah parameter koreksi preferred orientation yang merupakan
variabel dalam proses refinement. Selain itu juga terdapat beberapa rumusan lain
yang diajukan untuk menyatakan intensitas koreksi seperti yang diajukan oleh Will
(pers. (2.7)) dan Dollase (pers. (2.8)),

 
Icorr  Iobs exp G  2   2  (2.7)

 
3 2
Icorr  Iobs G 2 cos2   sin2  G (2.8)

Kriteria Sukses dalam Metode Rietveld

Seperti diungkapkan di atas, prinsip dasar dari metode Rietveld adalah membuat
selisih intensitas kalkukasi dengan intesitas observasi yang sekecil-kecilnya seperti
diungkapkan dalam pers. (2.1). Untuk mencapai hal tersebut dalam berbagai software
refinement dengan metode Rietveld umumnya menyediakan parameter-parameter
yang dapat diperbaiki seperti:

1. Parameter kisi (lattice parameters: a, b, c, α,β, γ)


2. Posisi atom (atomic positions: x, y, z)
3. Atomic site occupancies
4. Parameter termal atomic vibrasional (atomic thermal vibrational parameters),
isotropik, atau anisotropik
5. Parameter profil atau puncak seperti U, V, dan W
6. Preferred orientation
7. Fungsi latar
8. Koreksi 2θ-zero
9. Faktor skala (overall scale factor)
10. Overall isotropic thermal B

Adapun kriteria kesuksesan refinement dengan metode Rietveld berkaitan dengan:

1. Perbedaan plot yiobs  yicalc


2. Tidak ada deviasi yang sangat besar (deviasi maksimum) pada setiap titik
dalam plot yang berbeda

12
Analisis Pola Difraksi Sinar-x dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

3. Error seminimal mungkin yang dinyatakan dengan indeks R seperti Rwp, RB,
Rexp, RP, dan GoF.
4. Parameter struktural dan deviasi standarnya (jika memungkinkan
dibandingkan dengan hasil untuk kristal tunggal yang sama).

Secara terperinci indeks R dalam metode Rietveld didefinisikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Rumusan matematis indeks R


Indeks R Rumusan matematis
Weight profile 12

R-factor  i i 
 w y obs  y calc 2 
i
 
Rwp   i 
  wi yiobs  
2

 i 
Indeks Rwp terkait dengan bobot penjumlahan residu kuadrat
Expected profile  
12

R-factor  N P C 
Rexp   2 

  wi yiobs  
 i 
dimana N adalah jumlah pengukuran, P adalah jumlah
parameter refinement, dan C adalah jumlah konstrain yang
digunakan dalam refinement. Indeks Rexp diperoleh berdasarkan
asumsi pembilang membawa nilai yang diharapkan
Profile R-factor
RP 
 y y
obs
i
calc
i

y obs
i

Rp memberikan cara pandang lain terhadap keseluruhan hasil


fitting. Perbedaan utama dengan Rwp adalah tampak bahwa Rp
tidak ikut mempertimbangkan faktor bobot statistik wi
Bragg R-factor
RB 
 I I
obs
k
calc
k

I obs
k

Indeks RB secara implisit menunjukkan perbandingan


intensitas terintegrasi yang setara dengan refinement untuk
kristal tunggal. Dalam refinement dengan metode Rietveld
tidak ada intensitas terintegrasi secara nyata sehingga
sebenarnya RB maknanya sedikit fiktif. Ia dihitung berdasarkan
alokasi intensitas teramati sebenarnya yiobs untuk intensitas
Bragg berdasarkan intesitas terhitung pada basis share holder.
Meskipun demikian RB seringkali juga digunakan untuk menilai
hasil refinement.
(lanjutan Tabel pada halaman selanjutnya)

13
Bab 2 – Metode Rietveld

Goodness of fit  N 12
 Rwp
1
  
2
GoF   wi yiobs  yicalc  
 N  P  C i 1  Rexp
GoF adalah suatu ukuran yang biasa digunakan dalam statistik
untuk menggambarkan seberapa baik hasil fitting terhadap
hasil pengamatan, tentu saja dalam hal ini terhadap hasil data
difraksi sinar-x. GoF juga biasa digunakan dalam pengujian
suatu hipotesis statistik sehingga dari nilai GoF kita bisa
memikirkan bagaimana kualitas hasil refinement. Dalam
beberapa software refinement dengan metode Rietveld, ukuran
GoF lebih sering dinyatakan sebagai parameter  2 (chi-square
goodness fit).

14
BAB III
RIETICA

Rietica merupakan salah satu software untuk melakukan refinement berdasarkan


metode Rietveld. Software ini disusun oleh B. Hunter, seorang peneliti di Australian
Nuclear Science and Technology Organization (ANSTO), menggunakan antarmuka
berbasis graphical user interface (GUI) berdasarkan pengembangan kode LHPM
Rietveld Fortran. Kelebihan Rietica dibanding software lain untuk melakukan
refinement adalah Rietica dapat diunduh secara gratis di:
http://www.rietica.org/download.htm.

Dikutip dari situs resmi Rietica, fitur-fitur yang tersedia dalam Rietica untuk
membantu proses pembuatan dan pembaruan file input Rietveld antara lain:

 Kemampuan memplot pola, memantau perubahan parameter dan indikator


refinement (χ2, Rp, Rwp) pada setiap siklus refinement. Sehingga dengan
adanya hal ini diharapkan dapat memberikan informasi proses refinement
secara instan.
 Entri data yang relatif user friendly baik bagi pemula maupun tingkat lanjut
karena telah tersedia menu-menu dalam kotak dialog dimana pengguna
hanya perlu mengisi atau menandai parameter yang akan dikontrol.
 Tersedia pilihan editing file input secara manual untuk pengguna tingkat
lanjut.
 Penggunaan macro languange (yang mirip dengan basic languange) untuk
pemrograman dan proses yang kompleks. Sebagai contoh, kemampuannya
untuk mengintegrasikan program-program seperti Ortep-3 ke dalam Rietica.
 Pengeplotan Fourier yang terintegrasi
 Latar belakang yang mudah
 Dapat menunjukkan file output
 Kemampuan membaca file eksperimental GSAS, file input Fullprof, dan file
masukan DWBS.

Dalam praktiknya, Rietica dapat digunakan untuk melakukan refinement baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif berguna untuk mengetahui jenis
kristal dari suatu data difraksi sinar-x secara cepat tetapi dengan keluaran yang
sederhana. Sedangkan analisis kuantitatif dapat digunakan untuk menganalisis data
Bab 3 – Rietica

sinar-x secara lebih mendalam, tentu dengan konsekuensi yang lebih rumit dibanding
metode kualitatif.

Menu-menu utama dalam Rietica

Sebelum memanfaatkan Rietica lebih jauh untuk menangani data difraksi sinar-x ada
baiknya kita membahas tentang menu-menu yang ada di dalam Rietica.

 Tampilan jendela Rietica

Tampilan jendela Rietica ditunjukkan oleh Gambar 3.1. Pada menu file terdapat
pilihan seperti: New (file), Open, Save, Save as, Import, Export, Preferences, Print,
Print Preview, dan untuk menunjukkan beberapa file yang baru dibuka. Di bagian
import disediakan pilihan untuk mengimpor file yang berbasis GSAS exp file, DWBS
input file, dan Fullprof input file. Sedangkan di bagian export Rietica memberikan
kemudahan untuk mengekspor file kerja menjadi Shelx file dan SIRPOW97 file.

Gambar 3.1. Tampilan jendela Rietica

Di bagian menu Edit seperti biasa disediakan pilihan: Undo, Redo, Cut, Copy, dan
Paste. Pada menu Model diberikan berbagai menu utama yang dibutuhkan untuk
melakukan proses refinement, yaitu: General, Phases, Histogram, Sample, Parameters,
dan Constraints. Penjelasan pilihan-pilihan tersebut akan dibahas lebih lanjut di
bawah. Pada menu Rietveld disajikan beberapa menu lanjutan yang berkaitan dengan
“eksekusi” proses refinement seperti: Refine, Manual Edit dan Rietveld Basic.
Pembahasan lebih lanjut tentang menu-menu tersebut akan dilakukan di bawah.
Adapun menu Information adalah suatu menu yang menyediakan berbagai informasi
terkait file input dan file output melalui: View Input, View Output, View BV/Summary,
View Dist/Angles, Plot Fourier, dan Plot RDF. Sedangkan di menu Help, Rietica
memberikan semacam petunjuk untuk pengguna juga untuk keperluan update.

 Kotak dialog New Input

Apabila kita belum memiliki data file input yang akan digunakan melalui menu Open
maka kita diharuskan untuk membuat file input baru melalui menu: File → New
sehingga muncul kotak dialog New Input seperti pada Gambar 3.2. Terdapat 2 menu
utama dalam kotak dialog tersebut, yaitu terkait dengan Histograms dan Phases.
Pilihan-pilihan histogram seperti jumlah histogram dan jenis instrumen difraksi

16
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

misal, sinar-x dengan target Cu, kelak akan digunakan untuk pembuatan histogram
dalam proses refinement dan biasanya tidak perlu diubah.

Adapun Phases adalah menu dasar untuk mendeskripsikan data input kita. Pada
Phases terdapat pilihan untuk menentukan jumlah fasa yang menyatakan jumlah fasa
dalam sampel. Isikan sesuai (atau prediksi) sampel, misal jika sampel terdiri dari satu
fasa seperti TiO2 fasa rutile saja isikan satu, tapi jika lebih misal sampel merupakan
TiO2 yang mengandung fasa anatase dan rutile maka isikan dua dan seterusnya.
Selanjutnya kita diminta untuk mendeskripsikan lebih lanjut tiap fasa tersebut pada
pilihan bawahnya berdasarkan jumlah atom yang dimiliki tiap fasa. Selain itu juga
terdapat pilihan apakah fasa yang akan kita input tersebut merupakan a structure
atau an extraction. Perbedaannya adalah a structure dapat digunakan jika file input
yang kita masukkan kita ingin analisis strukturnya dan ini biasanya untuk keperluan
analisis kuantitatif sedangkan an extraction biasanya dapat digunakan untuk
keperluan analisis kualitatif karena tidak begitu dibutuhkan data struktur. Lebih
lanjut tentang analisis kualitatif dan kuantitatif akan dibahas pada Bab 5 dan 6.

Setelah menu New Input di-OK biasanya akan langsung muncul kotak dialog untuk
menyimpan, Save As, data tersebut. Ini dikarenakan pada proses refinement harus
digunakan data input yang telah disimpan. Tetapi jika tidak ingin disimpan silahkan
pilih Cancel dan penyimpanan secara manual dapat dilakukan dengan File → Save As.

Gambar 3.2. Kotak dialog New Input

 Kotak Dialog General

Kotak dialog General dapat dipanggil melalui menu Model → General dan
tampilannya ditunjukkan oleh Gambar 3.3. Pada kotak dialog terdapat pilihan untuk
memberi nama proses refinement yang nanti akan muncul pada grafik keluaran.

17
Bab 3 – Rietica

Pada submenu Options terdapat pilihan pengaturan jumlah siklus refinement sampai
pilihan untuk format data yang akan dibaca. Pengaturan format data yang akan
dibaca merupakan hal penting dan ini bergantung dengan jenis data hasil pengukuran
difraksi sinar-x. Beberapa format data yang didukung misalkan data xy, GSAS, STD,
CPI, dan sebagainya.

Gambar 3.3. Kotak dialog General

Pada Refinement Strategy diberikan pilihan pengaturan berkaitan seperti


penggunaan Newton-Raphson atau Marquardt, pengaturan umum terkait dengan
parameter refinement seperti karakteristik fasa hingga bentuk dan lebar puncak.
Sedangkan pada Option File Options beberapa pengaturan dasar terkait output
seperti penampilan instensitas pengukuran dan kalkuasi, intensitas terintegrasi, dan
sebagainya. Beberapa pilihan dalam kotak dialog General ini dapat diatur kembali
sesuai dengan kebutuhan nantinya.

 Kotak dialog Phase

Kotak dialog Phase berguna untuk memasukkan data input terkait dengan struktur
kristal atau fasa. Data-data yang diinputkan pada kotak dialog ini merupaka data
standar yang dapat diperoleh dari makalah-makalah penelitan, buku-buku, atau situs-
situs yang menyajikan data kristal seperti http://www.cryst.ehu.es/,
https://cds.dl.ac.uk/cds/datasets/crys/icsd/llicsd.html, dan sebagainya. Kelak hasil
dari data input ini akan digunakan sebagai variabel kalkulasi dalam metode Rietveld.

18
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

Untuk memanggil kotak dialog Phase dapat dilakukan dengan memilih menu Model →
Phases dan tampilannya seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4. Apabila diperhatikan
di samping beberapa parameter terdapat kotak kecil. Pada praktiknya, kotak kecil
tersebut dapat di-checklist dan itu menandakan parameter yang refinable.

Gambar 3.4. Kotak dialog Phases

Dari Gambar 3.4 tampak dengan jelas bahwa isi dari kotak dialog Phase berkaitan
dengan parameter-parameter kristal seperti Space Group dan parameter kisi kristal
(a, b, c, α, β, γ). Phase Scale merupakan parameter yang berkaitan dengan faktor skala
yang menghubungkan antara intesitas kalkulasi dengan intensitas dari data
pengukuran. Selain itu tampak juga pilihan input data untuk: Name, Type, x, y, z, B, n,
B11, dan seterusnya. Name merupakan nama atom penyusun fasa. Type adalah tipe
dari atom tersebut (dapat dipilih juga jenis ion-nya). x, y, dan z adalah posisi atom
tersebut dalam kristal terkait dengan Wyckoff positiion. B adalah faktor-B atau juga
disebut sebagai Debye-Waller factor yang menggambarkan penurunan hamburan
intensitas karena gerakan termal dari atom atau karena gangguan kristal. Faktor-B
untuk kasus isotropik dirumuskan sebagai,

B  8 2 u2 (3.1)

dimana u adalah perpindahan isotropik kuadrat suatu atom dengan satuan u2 adalah
Å2. Pada kasus anisotropik maka faktor-B akan terurai dalam bentuk tensor 3×3
sehingga akan terdapat komponen B11, B12, B22, dan seterusnya. Adapun n dalam
kotak dialog Phases berkaitan dengan okupasi atom tersebut.

19
Bab 3 – Rietica

 Kotak dialog Histograms

Dari menu Model → Histograms kita akan dapat memanggil kotak dialog Histograms
yang tampilannya ditunjukkan oleh Gambar 3.5. Pada dasarnya kotak dialog
Histograms berisi parameter-parameter yang berkaitan dengan rentang data, skala
histogram, panjang gelombang sinar-x (atau berkas neutron) yang digunakan, koreksi
posisi sampel, hingga pengaturan latar (background). Adapun kotak-kotak kecil yang
dapat di-chekclist di samping parameter pada kotak dialog Histograms menunjukkan
parameter yang refinable.

Gambar 3.5. Kotak dialog Histograms

Untuk mengatur latar dapat dilakukan dengan


memilih jenis latar (misal di atas adalah
Polynomial 5th order) dan dalam Rietica
terdapat beberapa pilihan fungsi seperti:
Polynomial, Cheby, Amorphorous dan lain-lain.
Pengisian konstanta pada fungsi latar bisa
dilakukan secara manual atau dengan cara men- Gambar 3.6. Koreksi posisi sampel
checklist kotak kecil di samping: B-1, B0, B1, dan

20
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

seterusnya. Adapun parameter refinable: zero dan sample displace adalah suatu
parameter koreksi yang berkaitan dengan posisi sampel pada proses pengukuran
seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.6. Oleh karena itu pada proses refinement kita
cukup memilih salah satunya saja tidak perlu keduanya untuk di-checklist.

 Kotak dialog Sample

Di dalam kotak dialog Sample yang bisa dipanggil melalui menu Model → Sample kita
akan dapat melihat pengaturan untuk model puncak seperti ditunjukkan oleh
Gambar 3.7. Kotak-kotak kecil yang dapat di-checklist menunjukkan parameter
tersebut bersifat refinable. Kita dapat memilih bentuk puncak pada pilihan Peak
Shape (terdapat beberapa pilihan seperti Voigt, Pseudo-Voigt, Jorgensen, dan
sebagainya). Parameter U, V, W merupakan parameter yang mendefinisikan FWHM
seperti didefinisikan pada Bab 2. Gam0, Gam1, dan Gam2 merupakan parameter yang
berkaitan dengan parameter η pada Bab 2 yang menunjukkan parameter bentuk
campuran Lorentzian dan Gaussian. Misalkan untuk profil Pseudo-Voigt, η = 0
menunjukkan profil Gaussian dan η = 1 menunjukkan Lorentzian, tetapi η dapat
bernilai diantara 0 sampai 1 atau bahkan lebih dari 1. Dalam bentuk yang lebih umum
parameter η juga dapat dinyatakan sebagai fungsi sudut 2θ,

  0 1 2  2 2 


2
(3.2)

Gambar 3.7. Kotak dialog Sample

21
Bab 3 – Rietica

Selanjutnya juga terdapat parameter refinable berupa Asy1. Parameter tersebut


meyatakan parameter asimetri. Parameter ini berguna untuk menggeser sedikit profil
puncak dan membuatnya sedikit asimetri dengan tujuan untuk memperbaiki fitting
puncak hasil kalkulasi dengan puncak hasil pengukuran. Parameter asimetri sendiri
telah digunakan oleh Rietveld untuk menghasilkan puncak seperti pada Gambar 3.8,
dimana dengan penambahan parameter asimetri puncak kalkulasi lebih mendekati
data pengukuran dibanding profil Gaussian murni.

Gambar 3.8. Perbandingan profil Gauss simetri dan asimetri dengan data pengukuran

Pada submenu Sample Dependent Peakshape terdapat parameter refinable berupa


Uanis. Parameter Uanis muncul karena parameter U (pada rumusan FWHM) terkadang
juga bergantung pada hkl atau sudut 2θ dan didefinisikan sebagai,

U anis  U a cos  (3.3)

dimana ϕ adalah sudut antara refleksi (hkl) dengan arah anisotropic broadening
sedangkan Ua adalah parameter refinable-nya.

Parameter refinable lainnya seperti PO Value, Absor. R, dan Extinction masing-masing


berkaitan dengan koreksi akibat adanya perubahan intensitas akibat preferred
orientation, perubahan intensitas puncak akibat adanya absropsi sampel, dan adanya
extincition.

22
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

 Kotak dialog Refine

Kotak dialog Refine merupakan kotak dialog yang menyatakan perintah “eksekusi”
refinement. Ia dapat dipanggil melalui menu Rietveld → Refine dan tampilannya
seperti pada Gambar 3.9 Pada menu Refine tampak bahwa terdapat pilihan Input
yang menyatakan file input yang akan digunakan. Seperti dinyatakan sebelumnya,
kita dapat menggunakan file input setelah file input tersebut disimpan. Pilihan Data
menunjukkan letak file data hasil pengukuran sinar-x yang akan digunakan. Hal
penting untuk dapat menggunakan data adalah sesuaikan jenis format data dengan
jenis format data yang dapat dibaca pada pengaturan di Menu General.

Gambar 3.9 Kotak dialog Refine

Submenu selanjutnya adalah Refinement control yang terdiri dari pilihan Start, Step,
Finish. Pilihan Start merupakan perintah bahwa proses refine akan dimulai. Apabila
pilihan Dynamic Plotting kita cheklist maka kita akan melihat pada tahapan ini
dimunculkan sebaran data-data hasil pengukuran (berupa titik-titik) serta lokasi-
lokasi dimana puncak tersebut berada (garis biru vertikal kecil) seperti pada Gambar
3.10 (a). Sedangkan untuk pola kalkulasi (berwarna merah) masih belum terbentuk.
Angka di sebalah pilihan step menunjukkan jumlah siklus refine yang akan dilakukan.
Ketika dipilih Step maka akan tampak pola kalkulasi mulai mencocokkan diri dengan
data hasil pengukuran seperti pada Gambar 3.10 (b) dan juga tampak selisih antara
data pengukuran dengan pola kalkulasi (berwarna hijau). Ketika dipilih Finish artinya
proses refinement dinyatakan selesai dan dengan men-cheklist pilihan Updating
artinya kita telah memperbarui data kalkulasi yang kita masukkan (untuk parameter
refinable yang di-cheklist) dengan data baru hasil refinement.

23
Bab 3 – Rietica

Di sebelah kanan kotak dialog Refine kita juga dapat melihat nilai indeks-R (Rp, Rwp,
dan χ2) dari proses refinement yang telah kita lakukan. Namun demikian, jika
dibutuhkan informasi terkait indeks-R seperti Rexp dan RB dapat dilihat melalui menu:
Information → View Output. Beberapa literatur menyebutkan hasil refinement yang
baik tercapai ketika χ2 bernilai kurang dari 4 dan RB bernilai kurang dari 2.

(a)

(b)
Gambar 3.10. (a) Hasil plotting setelah Start, (b) hasil plotting setelah Step

24
BAB IV
PEMBUATAN DATA FILE DIFRAKSI SINAR-X

Setelah kita melakukan karakterisasi sampel dengan difraksi sinar-x maka kita
mendapat data terkait pola difraksinya, yang berisi intensitas dan sudut 2θ. Data
tersebut yang akan menjadi data hasil pengukuran dalam proses refinement dengan
metode Rietveld. Sebelum melakukan refinement atau analisis data difraksi sinar-x
sebaiknya kita telah memiliki dua hal utama, yaitu:

1. Data hasil pengukuran difraksi sinar-x sampel


2. Data standar (referensi) kristal yang terkandung atau diprediksi ada di dalam
sampel.

Adapun untuk memperoleh data standar kristal telah dibahas pada Bab III.

Permasalahan awal yang sering ditemui pra-proses refinement menggunakan


software Rietica adalah data hasil pengukuran difraksi sinar-x sampel memiliki
format yang tidak didukung. Seringkali data tersebut diberikan dalam bentuk
Microsoft Excel padahal kita tahu Rietica tidak mensupport data dengan ekstensi .xls
atau .xlsx. Format-format data yang didukung oleh Rietica dapat dilihat pada kotak
dialog General yang telah dibahas pada Bab III. Oleh karena itu agar data yang telah
kita miliki dapat terbaca maka formatnya harus diubah.

Pengubahan file dengan ekstensi .xls atau .xlsx menjadi ekstensi .xy

Salah satu format yang didukung oleh Rietica adalah data dengan ekstensi .xy.
Pengubahan file data hasil pengukuran difraksi sinar-x dalam bentuk Microsoft Excel
sehingga memiliki ekstensi .xy dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Buka file tersebut dalam Microsoft Excel (di sini penulis menggunakan
Microsoft Excel 2013) sehingga tampak seperti pada Gambar 4.1. Data di
sebelah kiri (kolom A) adalah data intensitas sedangkan data di sebelah kanan
(kolom B) adalah data sudut 2θ.
Bab 4 – Pembuatan Data File Difraksi Sinar-x

Gambar 4.1. Tampilan data hasil difraksi sinar-x dalam bentuk Microsoft Excel

2. Untuk mengubahnya dapat kita lakukan dengan menyimpan ulang data


tersebut dalam format Tab delimited, melalui cara: File → Save As kemudian
ubah Save As Type-nya menjadi Text (Tab delimited) dan di File Name jangan
lupa tambahkan ekstensi .xy sehingga menjadi: Nama_File.xy seperti pada
Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Cara menyimpan file dalam tipe: Text (Tab delimited)

26
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

3. Bila sudah maka akan muncul kotak dialog seperti pada Gambar 4.3 (a), tapi
itu di- OK-kan saja. Jika sudah maka akan muncul kembali kotak dialog seperti
Gambar 4.3 (b) itu pilih Yes.

(a)

(b)

Gambar 4.3. Kotak dialog setelah pengubahan format data

4. Bila sudah silahkan keluar dan tutup aplikasi Microsoft Excel dan kemudian
akan muncul kotak dialog persetujuan untuk menyimpan file dalam format
yang telah kita tentukan seperti pada Gambar 4.4 (a). Bila telah demikian pilih
saja: Yes. Kemudian setelah selesai penyimpanan maka Microsoft Excel akan
kembali mengingatkan dengan kotak dialog pada Gambar 4.4 (b) dan itu pilih
saja: Yes. Bila telah selesai maka Microsoft Excel akan tertutup.

(a)

(b)

Gambar 4.4. Kotak dialog yang akan muncul ketika Ms. Excel ditutup

27
Bab 4 – Pembuatan Data File Difraksi Sinar-x

File tetap tidak memiliki ekstensi .xy?

Dalam beberapa kasus mungkin kita akan menemui ternyata file yang telah kita buat
tetap tidak berekstensi .xy tapi malah .txt. Bila kejadian demikian maka kita hanya
tinggal mengubah ekstensi file secara manual saja.

Untuk mengecek ekstensi File dapat dilakukan dengan membuka folder tempat kita
menyimpan File (Explorer) kemudian (pada Windows 8.1) pilih tab View dan
checklist: File Name Extension seperti pada Gambar 4.5 (a). Tampak bahwa file yang
tadi kita buat memiliki ekstensi .txt. Untuk mengubah ekstensi file tersebut maka
Rename saja file itu dan di bagian akhirnya dituliskan .xy seperti pada Gambar 4.5 (b).
Jika muncul kotak dialog seperti pada Gambar 4.5 (c) pilih: Yes.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4.5. Mengubah ekstensi file menjadi .xy dengan memanfaatkan fasilitas Rename.

Bila telah selesai maka kita telah berhasil memiliki file data hasil difraksi sinar-x
sampel dalam format .xy dan ini bias diperiksa pada informasi Type ia akan
menunjukkan jika data tersebut bertipe: XY File.

28
BAB V
ANALISIS KUALITATIF

Seperti dinyatakan sebelumnya, Rietica merupakan software refinement dengan


metode Rietveld yang dapat digunakan untuk menganalisis hasil difraksi sinar-x baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada Bab ini terlebih dahulu akan dibahas
tentang analisis kualitatif.

Melalui analisis secara kualitatif kita akan dapat melakukan analisis secara cepat
tentang beberapa parameter kristal seperti pencocokan space grup dan parameter
kisi. Sehingga apabila kita dapat mengetahui parameter-parameter tersebut maka
dengan segera kita pun dapat menyimpulkan apakah fasa yang terkandung dalam
sampel atau apakah prediksi kita tentang fasa di dalam sampel telah tepat.

Terdapat beberapa metode untuk melakukan analisis kualitatif suatu pola difraksi
sinar-x. Tetapi metode yang ditawarkan Rietica adalah metode Le Bail. Pada dasarnya
metode ini bekerja dengan cara mengekstrak intensitas dari data difraksi. Ini
dilakukan untuk memperoleh jenis intensitas yang cocok sehingga dapat digunakan
untuk menetukan suatu fasa kristal dan merefine informasi terkait unit sel. Untuk
dapat menggunakan metode Le Bail maka kita harus dapat memperkirakan atau
memiliki data terkait parameter kisi dan space group dari fasa dalam bahan karena
variabel tersebut sangat dibutuhkan dalam proses fitting. Metode Le Bail
mengizinkan beberapa parameter untuk dapat di-refine seperti parameter kisi,
bentuk profil, dan latar sehingga intensitas puncak hasil kalkulasi sesuai dengan pola
hasil difraksi sinar-x. Sama seperti metode Rietveld, metode Le Bail juga
menggunakan analisis kuadrat terkecil dalam proses kerjanya. Kelebihan metode Le
Bail dibanding metode lain seperti metode Pawley adalah ia lebih efisien dan mudah
diintegrasikan dengan metode Rietveld sehingga telah banyak diterapkan pada
berbagai software refinement.

Sebagai contoh analisis kualitatif berdasarkan metode Le Bail menggunakan Rietica


berikut ini akan disajikan tahapan refinement untuk fasa rutile TiO2 secara kualitatif.
Adapun untuk data difraksi sinar-x-nya, dapat diunduh secara gratis pada:
https://community.dur.ac.uk/john.evans/topas_workshop/tutorial_riet_excel.htm.
dan pilih yang: powder_01.xls atau tio2_excel.xy. Apabila memilih format Ms. Excel
silahkan cari data untuk 2θ dan intesitas observabelnya atau jika bingung silahkan
Bab 5– Analisis Kualilitatif

unduh di: https://drive.google.com/open?id=0B17sumtDl2NPTVYyZEJ2WXZEc3c.


Setelah memperoleh data difraksi sinar-x tersebut silahkan ubah ke dalam file yang
berekstensi .xy dengan cara seperti dijabarkan pada Bab IV. Pada artikel yang ada di
situs www.materialdesign.com kita dapat mengetahui bahwa ternyata rutile TiO2
memiliki data sebagai berikut:

Space group: P 42/MNM; Z = 2


a = 4.59340; b = 4.59340; c = 2.95750
α = 90; β = 90; γ = 90
Site Element x y z Occupancy
Ti Ti 0.00000 0.00000 0.00000 1.0
O O 0.30492 0.30492 0.00000 1.0

Dengan memanfaatkan kedua data yang telah kita punya yaitu: (1) data hasil difraksi
sinar-x dan (2) data kristal rutile TiO2 maka kita akan bahas proses refinement-nya
secara terperinci.

 Pembuatan New Input

Dengan memilih menu File → New kita akan mendapatkan kotak dialog New Input
seperti pada Gambar 5.1. Karena pada bagian ini akan diterapkan metode kualitatif
maka jenis Phase yang digunakan harus diubah bukan a structure melainkan an
extraction. Ketika diterapkan an extraction maka pilihan jumlah atom dalam fasa
menjadi otomatis 0. Ini dikarenakan dalam metode kualitatif tidak diperlukan
informasi terkait parameter struktural atau atom-atom penyusun fasa. Jika sudah
simpan file tersebut sesuai nama yang diinginkan.

Gambar 5.1. Kotak dialog New Input untuk metode kualitatif

30
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

 Menginputkan informasi fasa

Untuk memasukkan informasi fasa rutile TiO2 dapat dilakukan pada kotak dialog
Phases (Model → Phases). Dalam kotak dialog tersebut informasi terkait: (1) space
group, (2) parameter kisi (a, b, c, α, β, γ), dan (3) nilai Z sesuai dengan data standar
seperti pada Gambar 5.2. Pastikan Calculation Method adalah Le Bail. Karena space
group: P 42/MNM adalah kristal tetragonal dimana α = β = γ = 90° maka parameter
tersebut tidak dapat di-refine (perhatikan kotak kecilnya tidak dapat di-checklist).
Namun demikian, secara umum parameter tersebut dapat di-refine. Setelah selesai
di-OK dan jangan lupa untuk simpan kembali file yang telah di-inpu (File → Save).

Gambar 5.2. Pengisian kotak dialog Phases untuk analisis kualitatif

 Proses Refine

Untuk dapat perbandingan data input dengan data hasil analisis difraksi sinar-x,
untuk sementara, dapat dilakukan dengan kotak dialog Refine (Rietveld → Refine).
Untuk Input silahkan pilih file input yang baru kita buat tadi (atau telah dibuat
sebelumnya) sedangkan untuk data gunakan data hasil analisis difraksi sinar-x sesuai
lokasi tersimpan. Setelah itu pilih Start dan atur jumlah siklus refinement (misalkan
gunakan 10) lalu klik Step. Untuk melihat hasilnya klik Dynamic Plotting. Jika telah
selesai pilih Finish dan jika diinginkan untuk memperbarui data kalkulasi pilih
Update. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.3.

31
Bab 5– Analisis Kualilitatif

(a)

(b)

Gambar 5.3. Hasil refine pertama: (a) kotak dialog Refine, (b) fitting plot kalkulasi dan data
pengukuran sinar-x

Jika diperhatikan hasil refine pertama masih menghasilkan error yang cukup besar
yang ditunjukkan oleh χ2 mencapai 22,35 serta garis hijau yang masih cenderung
tajam. Tetapi tentu saja ini dapat terjadi karena masih banyak parameter yang belum
di-refine seperti: Histograms, Phases, dan Sample.

 Me-refine parameter pada kotak dialog Histograms

Pertama kita akan coba untuk me-refine parameter-parameter yang ada pada kotak
dialog Histtograms (Model → Histograms)seperti pada Gambar 5.4. Parameter yang

32
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

dapat diubah pada analisis kualitatif untuk kotak dialog ini adalah: (1) Wavelength,
(2) Zero dan Sample Displace, (3) Fungsi latar dan parameter latar, dan (4)
Illumination. Misalkan saja akan dicoba di-refine parameter latar B-1, maka ini dapat
dilakukan dengan cara men-checklist kemudian klik OK. Kita diperbolehkan untuk
me-refine beberapa parameter sekaligus tapi ingat jangan terlalu banyak karena
dapat menyebabkan proses refinement menjadi tidak stabil (apabila sudah tidak
stabil maka Rietica tidak dapat melakukan proses refinement).

Gambar 5.5. Kotak dialog Histogram pada analisis kualitatif yang dapat di-refine

Apabila kita ingin “mengeksekusi” proses refine dapat dilakukan kembali dengan
kotak dialog Refine. Lakukan kembali cara yang sama: Start, Step, Update, dan Finish
jika dirasa hasilnya lebih baik. Melalui proses refine parameteri latar B-1 maka dapat
dilihat nilai χ2 menurun hingga 19.588 seperti ditunjukkan pada Gambar 5.6 dan
apabila dilihat pada parameter B-1 nilainya menjadi 396.282.

Sebuah trik dalam proses refinement secara kualitatif adalah:

“Silahkan lakukan Step lagi apabila masih diizinkan (sebelum Finish). Lakukan terus
menerus jika nilai χ2 menunjukkan penurunan. Tetapi apabila tombol Step tidak
dapat dipilih lagi atau ternyata nilai χ2 justru meningkat maka sebaiknya dihentikan.

33
Bab 5– Analisis Kualilitatif

Sebelum memilih Finish jangan lupa apabila hasil refine menunjukkan perbaikan
pilih Update dulu baru Finish. Tetapi jika hasilnya lebih buruk maka jangan di-
Update”.

Gmabar 5.6. Penurunan χ2 setelah me-refine parameter B-1.

Setelah itu silahkan dicoba berbagai parameter lainnya untuk semakin memperbaiki
hasil refine. Kita diperbolehkan untuk tetap men-checklist parameter yang telah di-
refine sebelumnya (misal B-1) ketika me-refine parameter lainnya.

 Me-refine parameter pada kotak dialog Phases

Pada kotak dialog Phases untuk analisis kualitatif parameter yang dapat direfine
yaitu terkait dengan parameter kisinya. Bisa a, b, c, α, β, atau γ bergantung pada jenis
space group-nya seperti ditunjukkan pada Gambar 5.7.

Adapun untuk Phase Scale dan Overall Thermal meskipun disamping parameter
tersebut diberikan kotak kecil tanda checklist namun pada praktiknya tidak diizinkan
untuk di-refine. Kecuali pada kasus refinement yang melibatkan lebih dari satu fasa,
Phase Scale dapat direfine. Apabila kita tetap memaksa untuk me-refine parameter
tersebut maka yang terjadi adalah hasil refinement-nya menjadi tidak stabil sehingga
muncul kotak dialog seperti pada Gambar 5.8.

34
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

Gambar 5.7. Kotak dialog Phases setelah di-refine dan parameter yang dapat di-refine (bergantung tipe
space group)

Gambar 5.8. Kotak dialog yang menunjukkan refinement tidak stabil

Apabila terjadi kasus demikian maka silahkan klik OK kemudian buka kembali kotak
dialog dan hilangkan tanda checklist pada parameter yang membuat tidak stabil
kemudian lakukan kembali proses refine.

 Me-refine parameter pada kotak dialog Sample

Adapun untuk kotak dialog Sample parameter yang dapat di-refine pada proses
analisis kualitatif antara lain: (1) Jenis Peak shape, (2) Instrumental Peak Shape (U, V,
W, Gam0, Gam1, Gam2), dan (3) Uanis seperti ditunjukkan pada Gambar 5.9.
Sedangkan untuk parameter lain seperti PO Value, Absor. R dan Extinction meskipun
terdapat kotak checklist tetapi pada metode kualitatif tidak dapat dilakukan dan
apabila dipaksakan akan menyebabkan refinement menjadi tidak stabil.

35
Bab 5– Analisis Kualilitatif

Gambar 5.9. Kotak dialog Sample dan parameter yang dapat di-refine

 Interpretasi data output

Apabila kita telah merasa proses refinement yang kita lakukan telah mencapai hasil
terbaik dan kita telah memutuskan untuk berhenti maka kita dapat melihat hasil
refinement kita secara lengkap pada pilihan View Output yang dapat dipanggil
menggunakan: Information → View Output. Data output akan disajikan untuk tiap
siklus refine secara terperinci sehingga kita dapat mengamati proses jalannya refine
dari awal hingga akhir. Sebagai contoh disajikan interpretasi data output dari proses
refinement yang telah penulis lakukan pada siklus terakhir (pada kasus ini 30, indeks
RB = 0,03 dan χ2 = 3,25) tampak pada Gambar 5.10.

36
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld menggunakanRietica

Nomor siklus

a:
Parameter sel (kisi) b:
c: Standar deviasi
α:
β:
γ:

Volume sel

Sample disp.
Standar deviasi

Latar Standar deviasi

Parameter
FWHM

Indeks-R

χ2
(lanjutan gambar di halaman selanjutnya)

37
Bab 5– Analisis Kualilitatif
Estimated Standard
Daftar puncak muncul hkl puncak FWHM Deviations

RB

Gambar 5.10. Interpretasi data output

Adapun cara untuk dapat menyimpan hasil plotting adalah dengan pilih File → Save
as BMP atau Save as EMP seperti pada Gambar 5.11 dan lakukan proses penyimpan
seperti biasa sesuai dengan nama dan di lokasi yang diinginkan.

Gambar 5.11. Cara menyimpan hasil plotting dari proses refinement

38
BAB VI
ANALISIS KUANTITATIF

Analisis kuantitatif yang dibahas pada bab ini berkaitan dengan analisis struktur dari
kristal berdasarkan Rietica juga pemanfaatan data-data keluaran yang dihasilkan
untuk keperluan kalkulasi seperti perhitungan ukuran kristalit serta tegangan atau
regangannya. Pada dasarnya, untuk melakukan analisis kuantitatif kita membutuhkan
dua jenis data yaitu: (1) data hasil eksperimen difraksi sinar-x sampel, dan (2) data
standar dari kristal yang kita prediksi ada dalam sampel tersebut. Bedanya dengan
analisis kualitatif adalah, pada analisis kualitatif kita hanya membutuhkan data
terkait space group dan parameter kisi (sel) seperti a, b, c, α, β, dan γ-nya saja tanpa
perlu memasukkan data penyusun struktur kristal atau data atom-atom dalam kristal
tersebut. Sedangkan dalam pembahasan tentang analisis kuantitatif, data penyusun
struktur kristal adalah data yang mutlak dibutuhkan sebagai data input.

Sebagai contoh kita akan melakukan proses analisis secara kuantitatif untuk kristal
SrPrO3 dimana data standar dan data hasil difraksi sinar-x dapat diunduh di situs:
http://addis.caltech.edu/teaching/MS142/labs/Rietveld7.html secara gratis. Selain
itu apabila ingin berlatih me-refine berbagai jenis kristal lainnya bisa mengunjungi
situs: http://rruff.info/ karena di sana terdapat banyak sekali data difraksi sinar-x
serta data standarnya yang diberikan secara cuma-cuma. Apabila mencoba
mengunduh pada situs di atas maka kemungkinan data yang kita peroleh sudah
dalam bentuk .xy atau hanya ditampilkan di laman web seperti pada Gambar 6.1.

(a) (b)
Gambar 6.1. Data difraksi sinar-x pada situs: (a) rruff.info (b) addis.caltech.edu
Bab 6– Analisis Kuantitatif

Tentu saja data dalam format pada web tidak didukung oleh Rietica. Alternatifnya
adalah kita pilih data tersebut ke dalam Microsoft Excel. Hanya saja ketika dikopi ke
dalam Microsoft Excel maka data tersebut akan menjadi satu kolom sehingga tidak
bisa langsung diterapkan fitur penyimpanan dalam: Text (Tab delimited). Untuk
membagi data tersebut menjadi dua kolom dapat dilakukan dengan cara memilih
data tersebut (memblok-nya) kemudian pilih tab: Data → Text to Columns. Setelah itu
akan muncul kotak dialog tentang pembagian data pilih: Fixed Width lalu Next seperti
ditunjukkan oleh Gambar 6.2 kemudian akan kembali muncul kotak dialog lagi , pilih
General lalu Finish. Jika benar maka data akan terbagi dua kolom. Adapun untuk data
yang dipisahkan dengan tanda koma (misal seperti pada situs http://rruf.info)
pemisahan kolom dapat dilakukan dengan memilih: Delimited pada menu Text to
Columns. Bila muncul kotak dialog tentang delimiters dilakukan berdasarkan apa
Pilih: Comma → General → Finish. Apabila telah terbagi menjadi dua kolom maka data
dapat disimpan dalam ekstensi .xy seperti dibahas pada Bab IV.

Gambar 6.2. Kotak dialog Text to Columns

Berdasarkan informasi yang tersedia maka data dari kristal SrPrO3 adalah sebagai
berikut:

Space group: P N M A; Z = 4
a = 6.1168; b = 8.5487; c = 5.9857
α = 90; β = 90; γ = 90
Site Element x y z B Occupancy
Sr Sr2+ 0.044 0.250 -0.006 0.75 1.0
Pr Pr4+ 0.500 0.000 0.000 0.24 1.0
O1 O2- 0.478 0.250 0.120 0.89 1.0
O2 O2- 0.322 0.048 0.685 0.89 1.0

40
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

Pembuatan New Input

Cara membuat file input pada dasarnya sama dengan seperti dilakukan pada analisis
kualitatif yaitu melalui: File → New Input kemudian simpan data input tersebut.
Perbedaannya adalah, apabila pada metode Le Bail (kualitatif) digunakan pilihan an
extraction tapi pada kali ini digunakan a structure seperti pada Gambar 6.3. Analisis
untuk SrPrO3 hanya dilakukan untuk satu fasa dimana kristal tersebut terdiri dari 4
atom (sesuai data standar).

Gambar 6.3. Kotak dialog New Input untuk pilihan a structure

Menginputkan informasi fasa

Seperti pada analisis kualitatif, untuk menginputkan file input dapat dilakukan
melalui: Model → Phases. Dalam metode ini isikan semua input fasa mulai dari: Space,
group, Phase Scale dan Overall Thermal (jika tahu), nilai Z, parameter kisi, dan data
atom penyusun kristal (Type-nya, koordinat, faktor-B, dan occupancy-nya). Jika telah
selesai simpan kembali file input: File → Save atau klik icon disket.

41
Bab 6– Analisis Kuantitatif

Gambar 6.4. Pengisian fasa dari file input

Proses Refine

Untuk melakukan proses refine pada dasarnya juga menggunakan prinsip yang sama
dengan analisis kualitatif, yaitu: pilih parameter yang ingin di-refine kemudian
gunakan kotak dialog refine, atur siklusnya, kemudian update jika hasil refinement
memiliki error yang lebih kecil. Yang membedakan hanyalah banyaknya parameter
yang dapat di-refine. Pada analisis a structure jumlah parameter yang dapat di-refine
akan lebih banyak dari analisis berdasarkan an extraction. Hampir seluruh parameter
yang disediakan kotak kecil sebagai penanda parameter refineable dapat dilakukan
refinement. Tetapi tentu saja, lakukanlah proses refinement secara seksama agar
diperoleh hasil yang terbaik. Jangan terlalu tergesa-gesa (kecuali jika sudah mahir)
karena analisis pada metode ini biasanya membutuhkan ketelitian serta kesabaran
yang lebih tinggi dibanding metode Le Bail.

Sekedar rangkuman berikut ini adalah parameter-parameter yang dapat di-refine


dalam metode kuantitatif (struktural),

 Kotak dialog Phases

o Phase Scale (jika belum mengetahui berapakah faktor skala antara


data data pengukuran dengan data kalkulasi maka sebaiknya lakukan
refinement parameter ini pertama kali)
o Parameter kisi (a, b, c, α, β, dan γ, tetapi bergantung dengan space
group-nya)

42
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

o Overall Thermal
o Koordinat (posisi) atom (x, y, dan z)
o Faktor-B (isotropik)
o Occupancy, n
o Faktor-B anisotropik (B11, B22, B33, B12, B13, B23)

 Kotak dialog Histograms

o Jenis latar (background) dan parameternya (lakukan refinement


parameter ini segera mungkin).
o Wavelength 1
o Sample Displace
o Illumination

 Kotak dialog Sample

o Jenis bentuk puncak (Peak Shape)


o Parameter FWHM dan bentuk puncak (U, V, W, Asy1, Gam0, Gam1,
dan Gam2)
o Parameter U sebagai fungsi sudut (Uanis)
o Koreksi Preferred Orientation (PO Value)
o Koreksi Absorption (Absor. R.)
o Koreksi Extinction

Sekali lagi, meskipun pada dasarnya parameter-parameter di atas bersifat refinabel


tetapi terkadang apabila terlalu banyak yang di-refine sekaligus (atau prosesnya telah
terlalu panjang) dapat menyebabkan proses refinement menjadi tidak stabil. Bila
demikian, hentikan proses refinement, jangan update file input kemudian hilangkan
tanda checklist pada parameter yang menyebabkan proses refinement tidak stabil
dan coba kembali proses refinementnya. Selain itu beberapa parameter refinement
juga saling bergantung misalkan seperti parameter Asy1 yang tidak dapat diterapkan
ketika digunakan fungsi profil: Pseudo-Voigt (Riet asym).

Interpretasi data output

Apabila proses refinement dianggap telah baik (ditunjukkan oleh nilai χ2 dan RB) atau
ingin melihat hasil refinement maka data keluarannya dapat diperoleh melalui:
Information → View Output. Sebagai contoh pada Gambar 6.5 disajikan interpretasi
data output dari proses refinement kristal SrPrO3 setelah beberapa siklus sehingga
dihasilkan χ2 = 34,3 dan RB = 3,64 (tentu saja hasil refine ini masih kurang baik
karena nilai χ2 < 4 dan RB < 2)

43
Bab 6– Analisis Kuantitatif

Keterangan jumlah fasa, histogram,


parameter limits

Algoritma metode perhitungan

Jenis profil puncak


Panjang gelombang digunakan

Koreksi posisi sampel

Parameter latar

Informasi Z, jumlah atom, vektor


preferred orientation, space group
Parameter input awal

Scale factor, Overall Temperature,


dan Parameter kisi

(lanjutan gambar di halaman selanjutnya)

44
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

Data fasa baru (setelah refine siklus 3)

Koordinat atom, faktor-B, occupancy


setelah refine beserta STD-nya
Scale factor, Overall Temperature,
dan Parameter kisi beserta STD-nya

Informasi reciprocal cell, volume


cell, berat molekuler, dan densitas

& parameter asimetri


Orientation, absrop. R.
koreksi pref.
Parameter latar,
Parameter FWHM
puncak

Indeks-R

χ2
(lanjutan gambar di halaman selanjutnya)

45
Bab 6– Analisis Kuantitatif

hkl puncak Estimated Standard


FWHM Deviations
Daftar puncak muncul

RB

Gambar 6.5. Interpretasi data output metode kuantitatif

Mengabaikan puncak yang tidak diinginkan

Dalam bentuk pola plotting data intensitas kalkukasi dengan data pengukuran
difraksi sinar-x SrPrO3 (Gambar 6.6) yang data outputnya diberikan pada Gambar 6.5
tampak bahwa terdapat puncak pengukuran yang muncul tidak sesuai dengan
puncak kalkulasi. Kehadiran puncak tersebut tentu saja memperbesar kesalahan dari
model fitting. Tetapi apabila kita telah yakin puncak tersebut bukanlah puncak yang
dari kristal yang ingin dipelajari atau kita tidak ingin menyertakan puncak tersebut

46
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

dalam proses kalkulasi Rietica menyediakan pilihan untuk mengabaikan puncak yang
tidak diinginkan tersebut.

Gambar 6.6. Hasil fitting pola difraksi sinar-x refine SrPrO3

Cara yang dapat dilakukan untuk mengabaikan puncak adalah dengan menggunakan
pilihan Excluded Regions yang terdapat pada kotak dialog Histograms. Pada kotak
pilihan tersebut isikan puncak yang ingin diabaikan, misalkan pada kasus di atas,
mulai dari 29,9 sampai 30,3.

Gambar 6.7. Pilihan Excluded Regions pada kotak dialog Histograms

47
Bab 6– Analisis Kuantitatif

Setelah dilakukan proses tersebut dan kemudian di-refine maka pada dynamics plot
akan tampak garis yang menunjukkan itu adalah area terabaikan dan dapat kita lihat
juga nilai χ2 pun akan menurun menjadi 32,9.

Gambar 6.8. Hasil refine setelah puncak yang tidak diinginkan diabaikan

Pengukuran tegangan, regangan, dan ukuran kristalit

Dengan memanfaatkan data keluaran (data output) dari Rietica maka kita dapat
menghitung ukuran kristalit dan regangan kisinya menggunakan persamaan:

 .cos   2 sin    0,9 D (6.1)

dimana β adalah FWHM (rad), θ berkaitan dengan sudut Bragg, λ adalah panjang
gelombang sinar-x yang digunakan (nm), η adalah regangan kisi atau regangan mikro,
dan D adalah ukuran kristalit (asumsi faktor bentuk adalah 0,9).

Karena kita bisa memperoleh data FWHM dari data output Rietica maka kita dapat
membuat suatu grafik hubungan antara  cos  (dalam sumbu Y) terhadap sin  
(dalam sumbu X). Yang harus diingat adalah data FWHM dari Rietica harus
dikonversi dulu kedalam satuan radian (kalikan dengan  180 ) dan data θ yang
digunakan adalah setengah dari sudut 2θ.

Tetapi apabila diperhatikan data keluaran output Rietica dinyatakan dalam hkl bukan
2θ. Untuk mendapatkan data 2θ dari suatu hkl dapat dilakukan dengan cara melihat
posisi puncak pada keluaran Plot misalkan untuk hkl 101 (posisikan kursor di
puncak) kita akan tahu terletak di 2θ = 20,6 (lihat koordinat-x ). Begitu pula untuk
puncak-puncak lainnya, lakukan untuk seluruh puncak yang muncul atau pilih
beberapa puncak tertinggi.

48
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

Gambar 6.9. Menampilkan sudut 2θ pada suatu puncak

Untuk sepuluh puncak tertinggi kita dapat membuat grafik seperti ditunjukkan pada
Gambar 6.10 (penulis menggunakan data output dengan χ2 = 17,2 dan RB = 3,41).
Pada plot tersebut tampak bahwa hubungan antara kedua variabel mulai membentuk
garis lurus. Semakin baik hasil refinement maka biasanya hasil pembuatan grafik
antara  cos  terhadap sin   juga semakin baik. Dengan menggunakan
Trendline pada Microsoft Excel kita akan tahu hubungan diantara kedua parameter
tersebut diberikan oleh: Y = 0,0031x + 0,0056. Dengan demikian kita dapat
menyimpulkan bahwa regangan kisinya adalah η = 0,0015 dan ukuran kristalitnya
adalah D = 160 nm. Karena koefisien arah persamaan garis bertanda positif maka
mengindikasikan kristal SrPrO3 yang dianalisis mengalami regangan tarik.

Pers. (6.1) juga sering dinyatakan hanya untuk perhitungan ukuran kristalitnya saja
dan biasa disebut dengan persamaan Scherrer,

0,9
D (6.2)
B cos

Meskipun dalam beberapa kasus hasil perhitungan ukuran kristalit sesuai dengan
ukuran butir partikel namun penarikan kesimpulan pada perhitungan secara umum
harus dilakukan secara hati-hati. Persamaan Scherrer hanya dapat digunakan untuk
partikel-partikel berskala nanometer selain itu pada dasarnya ukuran butir suatu
partikel bersifat kompleks. Sehingga untuk mendapatkan data ukuran butir yang
lebih akurat dibutuhkan informasi tambahan yang dapat diperoleh dari hasil citra
SEM atau TEM.

49
Bab 6– Analisis Kuantitatif

0.016 y = 0.0031x + 0.0056


R² = 0.9268
0.014

B Cos θ/λ
0.012

0.01

0.008
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Sin θ/λ

Gambar 6.10. Grafik untuk menentukan ukuran kristalit dan regangan kisi

Adapun regangan dan tegangan sisa relatif dapat ditentukan berdasarkan parameter
U (dalam FWHM) dan dari perubahan jarak antar bidang (d-spacing), dhkl-nya atau
pergeseran puncaknya. Tentu saja karena ia bersifat relatif maka dalam praktiknya
dibutuhkan data acuan, bisa berupa data sebelum proses, data standar, atau dari data
penelitian lain. Kedua regangan tersebut muncul karena adanya medan regangan
yang tidak homogen.

Dengan menggunakan parameter U kita dapat menentukan harga regangan root mean
square, rms, pada arah orientasi hkl, ehkl , sebagai,

U  U0
ehkl
2
 (6.3)
32ln2

dimana U adalah parameter FWHM untuk sampel yang ingin ditentukan regangan
sisanya sedangkan U0 adalah parameter FWHM untuk sampel acuan. Sedangkan dari
perubahan pergeseran puncak difraksi maka dapat ditentukan regangan kisi rata-rata
sepanjang arah kristalografi tertentu dalam arah orientasi hkl sebagai,

d  d0
 hkl  (6.4)
d0

dimana d adalah jarak antar bidang pada cuplikan yang mengalami tekanan/tarikan
sepanjang arah tegak lurus bidang hkl dan d0 adalah jarak antar bidang acuannya.
Sebagai contoh akan dibahas perhitungan kedua jenis regangan ini untuk sampel TiO 2
yang telah di-refine pada Bab V (χ2 = 3,258),dinamai TiO2(U) kemudian dibandingkan
dengan data refine sampel TiO2 yang diperoleh Swope, dkk (χ2 = 4,740), dinamai
dengan TiO2 (U0). Hasil dari refinement kedua sampel tersebut untuk beberapa
puncak ditunjukkan pada Tabel 6.1.

50
Analisis Pola Difraksi Sinar-X dengan Metode Rietveld MenggunakanRietica

Tabel 6.1. Data perbandingan antara TiO2 (U) dan TiO2 (U0)

Sampel Parameter FWHM hkl 2θ Puncak d-spacing (Å)

TiO2(U) U = 0,037 110 27,50420 3,240241

011 36,15345 2,482434

121 54,38831 1,685477

TiO2(U0) U0 = 1,448 110 27,50104 3,240606

011 36,14739 2,482836

121 54,39869 1,685180

Adapun untuk menghitung d-spacing seperti diperoleh pada Tabel 6.1 dapat
dilakukan berdasarkan hukum Bragg (dengan n = 1),


dhkl  (6.5)
2sin 

Sehingga dari data di atas kita dapat menghitung nilai regangan kisi dari TiO 2(U)
relatif terhadap TiO2 (U0) adalah sebagai berikut: ehkl
2
 0.0636 ,  110  0,00011 ,
 011  0,00017 , dan  121  0,00019 .

Untuk kasus kristal yang uniaksial (α = β = γ = 90°) sebagaimana kasus TiO 2 rutile,
maka kita dapat menyederhanakan tensor regangan yang awalnya 6 komponen
menjadi 3 komponen saja dan dengan hukum Hooke kita dapat menghitung tegangan
sisa, σ, yang harganya mendekati tegangan hidrostatis sebagai,

E
  (6.6)
1  2

dimana E adalah modulus Young sampel, ν adalah rasio Poisson sampel, dan 
adalah regangan kisi rata-rata dari komponen regangan sepanjang sumbu a, b, dan c.
Tentu saja untuk dapat menghitung parameter tersebut kita harus mengetahui data
modulus Young dan rasio Poisson sampel terlebih dahulu.

Tinjauan kasus dua fasa atau lebih

Contoh-contoh yang telah dipaparkan merupakan contoh refinement untuk kasus


satu fasa. Tapi jika ternyata sampel yang akan kita refine merupakan sampel 2 fasa
atau lebih kita juga dapat lakukan dengan prinsip yang sama seperti pada satu fasa.

51
Bab 6– Analisis Kuantitatif

Perbedaannya hanya di pengaturan inputnya saja. Proses refinement dilakukan


dengan cara yang sama untuk satu per satu fasa hingga diperoleh hasil yang baik.
Dengan menggunakan Rietica ketika dilakukan analisis untuk sampel lebih dari satu
fasa, selain kita akan memperoleh data output seperti pada kasus satu fasa, kita juga
akan mendapat hasil kalkulasi terkait presentase berat dan molar masing-masing fasa
dalam sampel. Secara matematis hal tersebut ditentukan dengan,

n
Wp  S p  ZMV p  S  ZMV 
i i
(6.7)
i 1

dimana Wp adalah fraksi berat relatif fasa p dalam sampel, S, Z, M, dan V masing-
masing adalah faktor skala Rietveld, jumlah formula per unit cell, massa dari satuan
formula (dalam massa atomik) dan volume unit sel. Adapun hasil keluaran dalam
Rietica terkait parameter tersebut dapat dilihat pada View Output sebagai contoh
Gambar 6.11. Informasi presentase berat dan molar untuk kasus dua fasa atau lebih
juga dapat diperoleh melalui metode Le Bail.

Informasi presentase berat dan


molar tiap fasa

Gambar 6.11. Letak data output presentase berat dan molar untuk kasus refine banyak fasa

52
REFERENSI

Afriani, F., Dahlan, K., Nikmatin, S., Zuas, O. (2015). Journal of Optoelectronics and
Biomedical Materials 7(3): 67-76.
Al-Dhahir, T. A. (2013). Diyala Journal for Pure Sciences 9(2): 108-119.
David, W. I. F. (2004). Journal of Research of the National Institute of Standards and
Technology 109(1): 107-123.
http://addis.caltech.edu/teaching/MS142/labs/Rietveld7.html
http://rruff.info/Rutile
https://community.dur.ac.uk/john.evans/topas_workshop/tutorial_tio2riet.htm
Hunter, B. A. and Howard, C. J. (2000). LHPM A Computer Program for Rietveld
Analysis of X-Ray and Neutron Powder Diffraction Patterns.
ftp://ftp.ansto.gov.au/pub/physics/neutron/rietveld/Rietica_LHPM95/MANU
AL.PDF
Itoh, M. and Hinatsu, Y. (1998). Journal of Alloys and Compounds 264: 119-124.
Kisi, E. H. and Howard, C. J. (2008). Applications of neutron powder diffraction. Oxford
University Press: New York.
Materials Design Application Note. Structure and bond lengths in titanium dioxide.
http://www.materialsdesign.com/appnote/structure-bond-lengths-titanium-
dioxide-tio2
McCusker, L. B., Von Dreele, R. B., Cox, D. E., Louer, D., Scardi, P. (1999). J. Appl. Cryst.
32: 36-50.
Oh, U. C. and Je, J. H. (1993). Journal of Applied Physics 74(3): 1692-1696.
Rietveld, H. M. (1969). J. Appl. Cryst. 2: 65-71.
Rusli, R. (2011). Petunjuk Refinement: Analisis Pola Difraksi Sinar-X Serbuk
Menggunakan Metode Le Bail pada Program Rietica. http://rolanrusli.com/wp-
content/uploads/2011/03/Petunjuk-Refinement-Metode-Le-Bail-Program-
Rietica.pdf
Sugondo dan Futichah. (2007). J. Tek. Bhn. Nukl. 3(2): 61-73.
Sukirman, E. dan Ahda, S. (2010). Jurnal Sains Materi Indonesia 13(1): 69-74.
Swope, R. J., Smyth, J. R., Larson, A. C. (1995). American Mineralogist 80: 446-453.
Tiandho, Y. (2012). Pengaruh penambahan Mo terhadap kekerasan, mikrostruktur, dan
fasa yang terbentuk dalam plat zirlo-Mo. Skripsi: Universitas Lampung
Referensi

Wang, X.L., Hubbard, C. R., Alexander, K. B., Becher, P. F. (1994). J. Am. Ceram. Soc.
77(6): 1569-1575.
Will, G. (2006). Powder Diffraction: the Rietveld method and the two stage method to
determine and refine crystal structures from diffraction data. Springer: Germany.
Young, R. A. (2002). The Rietveld Method. Oxford University Press: New York.

54

Anda mungkin juga menyukai