2015 - 2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................II
DAFTAR TABEL..........................................................................................................IV
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................V
3.1. Pendahuluan.......................................................................................................................100
i
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
BAB IV REKOMENDASI...........................................................................................133
ii
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
DAFTAR TABEL
iii
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
DAFTAR GAMBAR
iv
Senarai Akronim dan Singkatan
GK Garis Kemiskinan
KE Koridor Ekonomi
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
PP Peraturan Pemerintah
PK Penetapan Kinerja
vi
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
vii
BAB I
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah produsen dan konsumen terbesar ketiga untuk bahan pangan (FAO,
2012). Ironisnya, justru Indonesia menjadi negara pengimpor terbesar nomor satu di
dunia (BPS, 2011; impor 353,485 ton atau USD 183,3). 1 Pada tataran lokal, ketahanan
pangan daerah menunjukkan 100 dari 349 kabupaten memiliki kerentanan pangan
(Dewan Ketahanan Pangan, 2009).
Krisis pangan ini diperburuk oleh penurunan jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) sebesar
5,04 juta pada tahun 2013 dibanding pada tahun 2003. Pada tahun 2013 tercatat 26,13
juta RTP,2 di mana 70-75% dari rumah tangga petani tersebut bekerja di subsektor
tanaman pangan. Angka tersebut menunjukkan terjadinya peralihan minat bekerja,
1
Harian Sindo 11 Desember 2013
2
Kadir, Hasil Sensus Pertanian 2013, Instruktur Nasional Sensus Pertanian 2013, BPS, Koran Tempo
24 September 2013
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
terutama pada kelompok penduduk usia produktif ke non pertanian, seperti industri,
perdagangan, makanan dan jasa.3
Sementara itu, ketersediaan lahan pangan menunjukkan bahwa terdapat lahan potensial
seluas 101 juta ha dari total luas daratan 192 juta ha. Dari luas total lahan potensial
tersebut, yang terbudidayakan baru 47 juta ha, sedangan 54 juta ha lainnya ada dalam
kategori lahan potensi area pertanian karena sebagian besarnya masih berada di kawasan
hutan.5 Dari jumlah lahan yang terbudidayakan tersebut, terjadi konversi lahan ke
pertanian non pangan yang semakin meluas. Salah satu contohnya lahan sawah ideal 15
juta ha,6 namun yang ada hanya sekitar 9,1 juta ha, dan saat ini berkurang menjadi 7,1 juta
ha.7 Krisis lahan juga terjadi karena konflik penguasaan lahan yang disebabkan oleh
tumpang tindih penguasaan antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan
Tanaman Industri (HTI) dan pemegang Hak Ulayat (Masyarakat Adat). Hal yang sama
terjadi juga di kawasan Areal Peruntukan Lain (APL). Konflik di Indonesia yang terkait
dengan penguasaan atas sumberdaya lahan bersifat laten karena struktur masyarakat
majemuk seperti Indonesia rentan terhadap konflik horizontal. Penyusutan lahan
pertanian pangan adalah salah satu masalah dalam pembangunan berkelanjutan yang
perlu ditangani secara bijaksana dan inovatif, antara lain melalui upaya intensifikasi,
pengembangan varietas unggul dan ekstensifikasi lahan pertanian pangan.
3
Khudori, Tragedi Pertanian Indonesia, Koran Tempo, 11 September 2013
4
Kementerian Pertanian, Pertanian – Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa
Depan, Dokumen Pendukung Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045, hal. 2.
5
World Bank, A World Bank Country Studies: Indonesia: environment and development, World Bank
Publications, (1994).
6
Lutfi Muta’ali, Pengembangan Wilayah Perdesaan (Perspektif Keruangan), PPF Geografi, UGM, 2013,
hal. 8.
7
Kondisi ini didorong oleh harga lahan pertanian yang lebih rendah dibandingkan dengan harga lahan
untuk pemukiman dan industri. Keadaan ini disebabkan oleh lemahnya penegakan Hukum Tata Ruang,
ketidakpatuhan Pemerintah/Pemda dan masyarakat terhadap Peraturan Perundang-undangan tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu, akibat negatif dari perbaikan infrastruktur (sarana
dan prasarana) lingkungan yang tidak terkendali.
2
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Terlebih lagi, upaya perlindungan lahan untuk pangan telah dilakukan oleh negara melalui
penerbitan Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan, yang bertujuan:
Meski demikian, keberadaan undang-undang tersebut tidak serta merta menjamin secara
kuat terjadinya perlindungan atas lahan pertanian. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah
(PP) No.1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, khususnya Pasal 35, membuka celah hukum untuk menggunakan lahan
pertanian bagi kepentingan kegiatan non-pertanian. Celah hukum lainnya dalam
Peraturan Pemerintah tersebut tercantum dalam Pasal 36 ayat 1, yang mengatur tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Celah ini kemudian diperparah oleh
ketentuan dalam ayat 2-nya, yang memperluas jenis kepentingan umum dimaksud,
bahkan menjadi tidak terbatas. Dalam konteks perlindungan lahan pertanian, Peraturan
Pemerintah ini jelas tidak memberikan kontribusi yang positif terhadap tujuan awal
penerbitan Undang-undang No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Berkelanjutan, bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan Undang-undang tersebut.
3
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
partisipatif, dan akuntabel. Selain faktor di atas, pemerintah dalam mengantisipasi faktor-
faktor alamiah, misalnya keterbatasan biofisik8; mengalami kegagalan.
Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 secara eksplisit telah mengatur tentang hal-hal
mendasar terkait dengan ketahanan pangan. Dalam ayat (2) dan ayat (3) pasal tersebut
ditegaskan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat”. Mengingat pangan merupakan “hajat hidup orang banyak”,
maka sudah seharusnya negara mengelolanya untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.
Konstitusi Indonesia telah memberi dasar untuk penguatan kedaulatan pangan. Namun,
peraturan perundang-undangan terkait pangan belum sepenuhnya mengatur hak-hak
rakyat atas pangan. Padahal bila dihubungkan dengan Pasal 28A Undang Undang Dasar
1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup, serta mempertahankan hidup
dan kehidupannya”, semestinya memberi makna bahwa hak-hak pangan merupakan
bagian penting dari Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kerangka kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan dalam perspektif warga negara, dapat dipahami sebagai hak rakyat,
komunitas-komunitas, dan negeri-negeri untuk menentukan sistem produksinya sendiri
dalam lapangan pertanian, perikanan, pangan dan tanah, serta kebijakan-kebijakan
lainnya yang secara ekologis, sosiologis, ekonomis dan kulturis, sesuai dengan keadaan
8
IFPRI, 2020 Vision, FWT Penning de Vries, et. al Biophysical Limits to Global Food Production, 1995
9
Bagas Angkasa,Tata Ruang dan Kebijakan Pertanian untuk Percepatan Kedaulatan Pangan, Orasi
Ilmiah, Dies Natalis ke 67 Fakultas Pertanian Gadjah Mada, 2013, hal. 6
4
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Masalah pangan merupakan salah satu isu strategis yang harus dijawab oleh setiap
negara, karena stabilitas nasional dan kemaslahatan rakyat sangat rentan dipengaruhi
oleh perubahan-perubahan pada ranah tersebut (Global Trend 2025). 15 Dalam
publikasinya yang berjudul ‘A Billion Hungry People’, Oxfam Inggris menyatakan bahwa
krisis pangan pada 2009 mengakibatkan malnutrisi pada 1 milyar orang, dan jumlah
10
Bagas Angkasa, Op Cit. hal. 1.
11
Ibid, hal. 5.
12
Kementerian Pertanian, Pertanian – Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa
Depan, Dokumen Pendukung Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045, hal. 2.
13
Arahan tersebut antara lain: Strategi Kebijakan yang tepat dan realistis; Kemitraan pemerintah dan
swasta; Penelitian dan pengembangan; dan Kemitraan antar pemangku kepentingan; Memastikan
pasokan pangan cukup, dengan harga tetap terjangkau dan stabil; dan Lahan dan modal investasi
serta finansial, Harian Kompas, Ketahanan Pangan Mengkhawatirkan, 27 September 2013
14
http://onlyineconomic.blogspot.com/2010/01/8-kunci-sukses-penunjang-ketahanan.html, 1 Agustus
2010
15
National Intelligence Council, US Intelligence Community, Global Trends 2025: A Transformed World ,
US Government Printing Office, 2008, ISBN 978-0-16-081834-9
5
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
tersebut bertambah 40 juta jiwa sejak 2008. 16 Oleh karenanya, LPIKP memandang bahwa
ketahanan pangan saja tidak cukup untuk mengantisipasi krisis pangan.
Untuk mencapai kedaulatan pangan, kita memerlukan kemandirian pangan, dalam arti
adanya kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh
pangan yang cukup, bermutu baik, aman, dan halal, yang didasarkan pada optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya lokal.17 Lima komponen dalam mewujudkan kemandirian
pangan adalah: ketersediaan yang cukup, stabilitas, keterjangkauan, mutu atau keamanan
pangan yang baik, dan tidak ada ketergantungan pada pihak luar. Dengan lima komponen
tersebut, kemandirian pangan menciptakan daya tahan yang tinggi terhadap
perkembangan dan gejolak ekonomi dunia.18
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Pemerintah
Indonesia dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam konteks Kesejahteraan
Petani, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dan Undang-undang No. 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang menyatakan bahwa Perlindungan
Petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam menghadapi permasalahan
kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga,
kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim. Sedangkan
Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk
melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan
dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian,
konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan,
teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani.
6
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam kondisi ekonomi saat ini, Indonesia tidak
dapat sekedar mengandalkan pada pola subsisten. Usaha tani harus juga berorientasi ke
pasar. Model usaha tani yang bergerak di usaha budidaya pangan diarahkan pada konsep
“corporate farming” atau usaha tani bersama. Usaha tani bersama atau UTB ini merupakan
badan usaha bersama, yang lebih tertuju pada pembinaan kelompok tani agar menjadi
lebih profesional, sekaligus meningkatkan profit. 21 Dalam model korporasi ini, produksi
dapat dikontrol menggunakan Standard Operating Procedure (SOP) sehingga produk tidak
hanya mampu memenuhi standar konsumsi, namun juga mampu bersaing di pasar.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, telah terjadi perubahan peran pemerintah
pusat yang sebelumnya sangat dominan, berubah menjadi fasilitator, stimulator dan
promotor pembangunan pertanian. Implikasi perubahan konsentrasi kekuasaan tersebut
adalah terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pangan, termasuk perijinan
penggunaan lahan pertanian, penggunaan Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) dan
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Implikasi lain adalah terjadinya tumpang-tindih
kewenangan yang bersifat vertikal maupun horisontal. Khusus mengenai penggunaan PPS
dan PPL, Pemerintah Daerah terbukti belum siap mengemban amanat yang diberikan oleh
Undang-Undang OTDA, khususnya berkaitan dengan pembiayaan.22
19
Pertanian on farm adalah seluruh proses yang berhubungan langsung dengan proses budidaya
pertanian, seperti menyemai bibit, mengawinkan hewan ternak, memupuk, memberi pakan ternak,
mengendalikan hama dan penyakit, panen dan lain-lain.
20
Pertanian off farm adalah proses penjualan dan pemasaran hasil-hasil budidaya pertanian, seperti
pedagang, pengepul dan lain-lain.
21
Pasar Komoditi Nasional, Kedaulatan Pangan, www.paskomnas.com, 1/10/2013, 11.53. --- [Masukan
URL-nya yang benar: setelah dicek, ada dua artikel dalam situs tersebut. Yang mana yang dipakai
sebagai rujukan? ]
22
Hasil FGD Kedaulatan Pangan: Memperkuat Kemandirian dalam Pembangunan Nasional di Era
Globalisasi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Independen dan Kebijakan Publik, Jakarta,
8 Februari 2014.
7
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dari uraian tersebut di atas, Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP)
berpandangan bahwa persoalan pangan perlu dilihat dari tiga aspek – ekonomi, hukum,
dan politik – karena dalam implementasinya, setiap kebijakan pangan yang diambil oleh
pemerintah menyentuh ketiga bidang tersebut. Tiga aspek ini menjadi tiga pendekatan
yang digunakan Lembaga dalam mengkaji kebijakan pangan pemerintah selama ini, dan
dalam menyusun rekomendasi-rekomendasi mengenai kebijakan pangan nasional periode
2015-2019. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi beras, maka dalam
pengkajian ini Lembaga memfokuskan terutama pada produk pertanian pangan, dalam hal
ini beras.
8
BAB II
ANALISIS KEBIJAKAN PANGAN NASIONAL 2010 – 2014
Bab ini akan memaparkan tentang bagaimana pandangan pemerintah pada kurun waktu
tahun 2010-2014 (Renstra) dan Laporan Kinerja Kementerian Pertanian pada periode
tahun 2010 – 2012, kemudian dilanjutkan dengan analisa dari LPIKP terhadap keduanya.
Jika bab sebelumnya mengulas pandangan Lembaga terhadap implementasi kebijakan
pangan pemerintah secara umum, maka bab ini akan menjelaskan pandangan khusus
Lembaga terhadap implementasi kebijakan pemerintah dalam kurun waktu 2010 – 2014
tersebut.
23
Kementerian Pertanian, Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2011-2014, Jakarta, 2011, hal. 2.
24
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
tahun 2010-2014.
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pada RPJMN tahap ke-2 tersebut, pemerintah masih melihat pertanian sebagai sektor yang
berperan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Peran strategis ini
terlihat dari kontribusi nyata sektor pertanian dalam penyediaan bahan pangan, bahan
baku industri, pakan dan bio-energi, pembentukan kapital dan penyerap tenaga kerja,
sumber devisa negara dan sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui
praktek usaha tani ramah lingkungan.
Posisi strategis sektor pertanian dalam pembangunan nasional tersebut dijabarkan dalam
Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014, yang secara teknis menjadi acuan dan arahan
bagi jajaran birokrasi di lingkungan Kementerian Pertanian Republik Indonesia dalam
merencanakan dan melaksanakan pembangunan pertanian pada tahun 2010-2014 secara
menyeluruh, terintegrasi, efisien dan sinergis, baik di dalam maupun antar sektor terkait.
4. Menjadikan petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri serta mampu memanfaatkan
ilmu pengetahuan & teknologi dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk
pertanian berdaya saing tinggi.
5. Meningkatkan produk pangan segar dan olahan yang aman, sehat, utuh dan halal
(ASUH) dikonsumsi.
6. Meningkatkan produksi dan mutu produk pertanian sebagai bahan baku industri.
25
Ibid, hal. 50.
10
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
7. Mewujudkan usaha pertanian yang terintegrasi secara vertikal dan horisontal guna
menumbuhkan usaha ekonomi produktif danmenciptakan lapangan kerja di
pedesaan.
Tujuan dan target yang dibentuk oleh Kementerian Pertanian untuk lima tahun tersebut
dipengaruhi oleh asumsi adanya banyak tantangan dalam pembangunan pertanian.
Tantangan-tantangan tersebut antara lain: a. Bagaimana meningkatkan produktivitas dan
nilai tambah produk dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan; b. Bagaimana
membudayakan penggunaan pupuk kimiawi dan organik secara berimbang untuk
memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah; c. Bagaimana memperbaiki dan
membangun infrastruktur lahan dan air serta perbenihan dan perbibitan; d. Bagaimana
membuka akses pembiayaan pertanian dengan suku bunga rendah bagi petani/peternak
kecil; e. Bagaimana mengupayakan pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s) yang
mencakup angka kemiskinan, pengangguran, dan rawan pangan; f. Bagaimana
menciptakan kebijakan harga (pricing policies) yang proporsional untuk produk-produk
pertanian khusus; g. Bagaimana memperkuat kemampuan untuk bersaing di pasar global
26
Ibid hal. 51
11
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
2. Mantapnya produksi beras yang merupakan pangan utama dalam negeri, yang
sangat membantu menstabilkan harga pangan, sehingga Indonesia terhindar dari
krisis pangan yang melanda banyak negara pada periode tersebut. 29
Selain itu, pemerintah mengklaim bahwa selama periode lima tahun terakhir
pembangunan pertanian tercatat sejumlah keberhasilan seperti: peningkatan produksi
beberapa komoditas pertanian, ketersediaan energi dan protein, membaiknya skor Pola
Pangan Harapan (PPH), dan semakin banyaknya hasil penelitian dan pengembangan
pertanian.30
27
Ibid, hal. 38.
28
Ibid, hal. 117.
29
Ibid, hal. 6-7
30
Ibid, hal. 7.
12
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Laporan Kinerja Kementerian Pertanian pada tahun ketiga pelaksanaan Renstra 2010-
2014 dapat dilihat dengan cara membandingkan antara apa yang direncanakan dengan
apa yang dicapai. Pada laporan ini, paparan Renstra di atas dijabarkan dalam empat
sasaran utama yang bersifat kuantitatif.
Pertama, Pencapaian Swasembada difokuskan pada kedelai dengan target produksi tahun
2014 sebesar 2,70 juta ton; gula 3,45 juta ton; dan daging sapi 660 ribu ton. Sementara
Pencapaian Swasembada Berkelanjutan difokuskan pada mempertahankan dan
meningkatkan kualitas swasembada padi dan jagung yang sudah dicapai pada tahun-
tahun sebelumnya, di mana target produksi padi pada tahun 2014 sebesar 76,57 juta ton
13
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
dan jagung 29,0 juta ton.31 Namun, target produksi 2014 berubah karena perubahan Road
Map pencapaian produksi, dan masalah ketersediaan lahan. Akhirnya targetnya menjadi:
jagung 20,82 juta ton, gula 3,1 juta ton dan daging sapi 530 ribu ton.
Kedua adalah Peningkatan Diversifikasi Pangan, meliputi penurunan konsumsi beras per
kapita sekurang-kurangnya 1,50% per tahun, dengan diikuti peningkatan konsumsi umbi-
umbian, pangan hewani, buah-buahan dan sayuran, serta skor Pola Pangan Harapan (PPH)
menjadi 93,30 pada tahun 2014. 32
Ketiga adalah Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing dan Ekspor, meliputi
tersertifikasinya semua produk pertanian organik, kakao fermentasi, dan bahan olahan
karet pada 2014 (pemberlakuan sertifikat wajib); meningkatnya produk olahan yang
diperdagangkan menjadi 50%; pengembangan tepung-tepungan untuk mensubstitusi
20% gandum/terigu impor; memenuhi sarana pengolahan kakao fermentasi bermutu
untuk industri coklat dalam negeri; dan meningkatkan surplus neraca perdagangan
menjadi US$54,5 miliar pada tahun 2014.
Keempat adalah Peningkatan Kesejahteraan Petani, meliputi Nilai Tukar Petani (NTP)
sebesar 115-120, dan rata-rata laju peningkatan pendapatan per kapita 11,10% per
tahun.33
14
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Kementerian Pertanian, dan (12) Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis
Lainnya.34
Pada tahun ketiga pencapaian tersebut, yaitu pada tahun 2012, Kementan menjabarkan 4
sasaran utama ke dalam 14 sasaran indikator kinerja yang dituangkan dalam dokumen
Penetapan Kinerja (PK) Kementerian Pertanian. 35 Keempat sasaran utama tersebut
adalah: (1) Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan (swasembada
kedelai, gula, dan daging sapi dan swasembada berkelanjutan padi dan jagung) dengan
target produksi: kedelai sebesar 1,90 juta ton, gula sebesar 2,90 juta ton, daging sapi
sebesar 484,05 ribu ton, padi sebesar 67,82 juta ton, serta jagung sebesar 24 juta ton; (2)
Peningkatan Diversifikasi Pangan (prosentase penurunan konsumsi beras per kapita
tahun sebesar 1,50% dan membaiknya Skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 89,8);
(3) Meningkatnya Nilai Tambah, Daya Saing dan Ekspor (pertumbuhan PDB pertanian
sebesar 3,70%; Investasi PMA sebesar Rp 56,29 triliun; Investasi PMDN sebesar Rp 144,24
triliun; dan neraca perdagangan sebesar US$ 36,50 miliar); serta (4) Meningkatnya
Kesejahteraan Petani (prosentase pertumbuhan pendapatan petani per kapita sebesar
11,10% dan Nilai Tukar Petani/NTP sebesar 105-110).
15
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
bidang pertanian, sebagian besar telah tercapai. Untuk kepentingan analisa ini LPIKP
mengkategorikan klaim keberhasilan tersebut ke dalam tiga kategori: Kategori A, sangat
berhasil; Kategori B, berhasil; dan Kategori C kurang berhasil.
Keberhasilan untuk Kategori B ada 5 indikator, yaitu: (1) Produksi kedelai mencapai
851,65 ribu ton atau 85,16% dari target 1,00 juta ton; (2) Produksi gula 2,59 juta ton GKP
atau 97,44% dari target 2,66 juta ton GKP; (3) Skor PHP mencapai 75,40 atau 83,96% dari
target 89,80; (4) Pengembangan tepung-tepungan mencapai 7.250 ton/tahun atau 84,30%
dari target 8.600 ton/tahun; dan (5) Meningkatnya surplus neraca perdagangan mencapai
US$19,00 miliar atau 95,10% dari target US$19,98 miliar. Sedangkan untuk Kategori C,
yaitu kegagalan pemerintah ada pada 1 indikator, yaitu pertumbuhan pendapatan per
kapita baru mencapai 4,6% dari target 11,10% per tahun.38
37
Ibid, hal.viii
38
Ibid. hal. viii.
39
Ibid. hal. viii.
16
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pernyataan pada poin 2 dan 3 diragukan kebenarannya karena menurut angka Data Pokok
APBN 2013, sebagai tahun ketiga dari kinerja Kementan, yang dilaporkan berdasarkan
fungsi, belanja Pertanian, Kehutanan, Perikanan, dan Kelautan dari tahun 2008 ke 2013
justru terus meningkat dari Rp11.241,8 milyar ke Rp19.925,5 milyar atau meningkat
77,2%. Secara alokasi juga justru memperlihatkan peningkatan share belanja bidang
pertanian, kehutanan, perikanan, dan kelautan dari 1,64% di tahun 2008 menjadi 1,73%
di tahun 2013.
Dengan sumber data yang sama, Data Pokok APBN 2013 berdasarkan alokasi
Kementerian/Lembaga memperlihatkan pula bahwa belanja Kementerian Pertanian
bahkan naik 147% dari Rp 7.203,9 milyar pada tahun 2008 menjadi Rp17.819,5 milyar di
tahun 2013 di mana share belanja Kementerian Pertanian naik sedikit dari 2,8% di tahun
2008 menjadi 2,99% di tahun 2013.
Pada tahun 2014 sebagai akhir dari periode implementasi RPJMN 2010-2014, Anggaran
Kementerian Pertanian memang turun dari Rp16.380,1 miliar pada tahun 2013 menjadi
Rp 15.470,6 miliar pada tahun 2014 dengan alokasi yang juga turun dari 2,99% menjadi
hanya 2,5%. Namun penurunan ini tidak dapat dijadikan alasan dan kendala terhadap
pemenuhan kinerja Kementan 2010-2013 dan secara faktual Data Pokok APBN 2014
menunjukkan bahwa Kementrian Pertanian bukanlah satu-satunya
Kementerian/Lembaga Pemerintah yang anggarannya turun pada tahun 2014. Tercatat
sekitar 61,5% dari total 52 Kementerian/Lembaga Pemerintah mengalami penurunan
jumlah dan alokasi anggaran dikarenakan politik anggaran yang lebih banyak dialokasikan
pada persiapan dan penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Presiden 2014. 40
Dari segi penyerapan anggaran, pada tahun ketiga pelaksanaan Renstra 2010-2014
ini, hingga 31 Desember 2012 tercapai Rp18,25 triliun atau 92,86%. Kementerian yang
bertanggungjawab dalam masalah pangan nasional ini, mengelola APBN sektoral sebesar
Rp19,65 triliun dengan 1.731 satuan kerja di seluruh Indonesia.41
17
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
dan Sumber Daya Manusia.42 Ketiga kendala ini mencerminkan bahwa manajemen
Kementan tidak optimal, terutama dengan lemahnya kelembagaan dan sumber daya
manusia.
42
Ibid. hal. viii
18
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Kebijakan pangan di Indonesia pada tiga tahun pertama pelaksanaan Renstra 2010-2014
masih kurang menonjolkan makna Kedaulatan Pangan baik dalam kebijakannya maupun
implementasinya. Dalam pandangan LPIKP, penguatan penjabaran makna kedaulatan
pangan akan tercapai apabila perumusan kebijakan pangan dan implementasinya tidak
hanya dilihat dari satu perspektif yang menjadi domain utama Kementerian Pertanian.
Analisis LPIKP ini terdiri dari tiga perspektif unggulan yaitu ekonomi, politik, dan hukum
sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Berdasarkan Pancasila, khususnya sila kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”, dan Undang Undang Dasar 1945; telah memberi amanat kepada
penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan cita keadilan sosial tersebut dengan
merujuk pada Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “(1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.; (2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh Negara.; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Untuk melihat
sampai sejauh mana pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengimplementasikan
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, LPIKP membuat analisis umum terhadap Renstra
Kementerian tersebut dengan bertolak pada 4 variabel: sasaran utama, program kegiatan,
sasaran indikator, dan kendala-kendala pencapaian. Lihat tabel 2.1. di bawah:
19
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
43
Lihat Bab 2.2.4
20
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
21
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
22
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
23
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pertama, Renstra Kementan sebagaimana tercantum dalam tabel di atas secara konseptual
dan programatis tampaknya diarahkan kepada cita kemakmuran sebesar-besarnya bagi
rakyat Indonesia. Namun demikian, dalam implementasinya Renstra tersebut belum
mencerminkan “dipergunakan untuk sebesar-besar Kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat
(3)). Hal ini terbukti dari adanya kebijakan Kementan yang tidak mendorong pada upaya
membangun kedaulatan di bidang pangan khususnya produksi padi, sehubungan dengan
ketidakseimbangan antara produksi padi dan kebutuhannya. Hal ini diperkuat lagi dengan
besarnya angka impor beras, yang akan diuraikan lebih terperinci pada bagian Analisis
Ekonomi.
Kedua, jika merujuk pada Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945: “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, sesungguhnya
pemerintah di dalam menjalankan amanat konstitusi tersebut wajib menyediakan sarana
dan prasarana untuk itu, yang salah satu bentuknya adalah koperasi tani. Koperasi tani
sebagai sarana dan prasarana untuk pembangunan perekonomian sebagai usaha bersama
berasaskan kekeluargaan telah ada landasan yuridisnya, yaitu Undang-undang No. 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian–yang sudah dicabut oleh Undang-undang No. 17
Tahun 2012 tentang Koperasi.45 Kendati demikian, jika melihat tabel di atas pemerintah
belum secara eksplisit mencantumkan program koperasi usaha tani dalam rangka
pencapaian sasaran utama peningkatan kesejahteraan tani. Hal ini diperkuat dalam
Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2012. 46
Ketiga, berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, khususnya pada
konsideran Menimbang huruf c dinyatakan bahwa negara harus mewujudkan pemenuhan
kebutuhan pangan secara berdaulat dan mandiri. Hal ini sesuai dengan salah satu sasaran
utama poin (1), yaitu pencapaian swasembada bahan pangan seperti padi, jagung, kedelai.
Namun, LPIKP menemukan data bahwa hingga pada Agustus 2013, Indonesia telah
mengimpor beras hingga 35.818 ton atau senilai US$19,132 juta, yang dipasok dari
Vietnam, Thailand, Pakistan, India, dan Myanmar. 47 Akumulasi dari Januari hingga Agustus
45
Undang-undang No.17 Tahun 2012 ini sudah dicabut oleh putusan MK No. 28/PUU-XI/2013 pada
tanggal 28 Mei 2014 yang lalu.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_1702_28%20PUU%202013-
UUKoperasi-telahucap-28Mei2014-tdk%20dtrima-%20wmActionWiz.pdf
46
Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2012, hal. 21-26.
47
http://inilah koran.com/read/detail/2039210/swasembada-pangan-bisakah
(diunduh pada 10 Maret 2014)
24
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
2013, total beras yang masuk mencapai 302.707 ton atau senilai US$156,332 juta. Jumlah
ini diperkirakan mencapai 600 ribu ton tiap tahunnya. Sementara itu, jika melihat
produksi beras pada 2012 lalu, semestinya Indonesia tidak perlu melalukan impor beras.
Argumen ini diperkuat oleh data BPS yang menyebutkan bahwa produksi gabah giling
pada tahun 2012 mencapai 69,05 juta ton atau setara 40,05 juta ton beras. Dibanding
dengan konsumsi riil beras di Indonesia, yaitu sekitar 139 kg per kapita per tahun atau
sekitar 34,04 juta ton per tahun, maka ada surplus hingga 6 juta ton. Berdasarkan data di
atas, LPIKP berpendapat bahwa sesungguhnya pemerintah tidak perlu mengimpor beras
pada tahun 2013, di mana Indonesia mengalami kehilangan devisa akibat impor beras
senilai US$156,332 juta, yang seharusnya tidak perlu terjadi. 48
Kelima, berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat ada disparitas yang tajam dalam
dukungan program untuk keempat sasaran utama yang terdapat dalam Renstra Kementan
2010-2014. Sasaran utama kedua, yaitu “peningkatan diversifikasi pangan” hanya
didukung oleh satu program kegiatan yaitu “program peningkatan diversifikasi dan
ketahanan pangan masyarakat”, sementara sasaran indikatornya ada dua yaitu pola
pangan harapan dan penurunan konsumsi beras. Meskipun kedua sasaran indikator
tersebut menunjukan keberhasilan, namun pada prakteknya belum membuat masyarakat
beralih dari mengkonsumsi beras ke bahan pangan dasar lainnya.
48
Ibid
49
Laporan Kinerja Kementerian Pertanian tahun 2004-2012, hal. 24
50
Ibid hal. 63
25
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dalam pendekatan ekonomi, kebijakan pangan Indonesia yang diamanatkan dalam RPJMN
2009-2014 dapat ditinjau secara normatif (teoritis) dan positif. Secara normatif, kebijakan
ekonomi yang ideal dirumuskan dengan mengusung prinsip efisiensi dan ekuiti melalui
pemenuhan asumsi-asumsi ekonomi yang dibutuhkan, sedangkan pendekatan positif lebih
banyak menitikberatkan pada fakta yang terjadi dengan adanya pelanggaran-pelanggaran
terhadap asumsi-asumsi yang dibutuhkan.
26
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
kg/kapita/tahun. Tetapi, pada tataran implementasi target produksi pangan utama, target
nasional 2009-2014 masih sulit tercapai (lihat Tabel 2.2).
Sebagai contoh adalah target surplus beras sebesar 10 juta ton pada tahun 2004 yang
baru mencapai 4,3 juta ton pada tahun 2010, lalu pada tahun 2011 mengalami penurunan
menjadi 3,91 juta ton karena terjadi penurunan produksi padi pada tahun 2011 sebesar
1,07 % yang disebabkan oleh menurunnya luas panen, dan pada tahun 2012 surplus beras
diperkirakan meningkat lagi menjadi sekitar 5,77 juta ton. Dalam kurun waktu 2010-2012,
produksi padi hanya mampu mengalami peningkatan sebesar rata-rata 2,38% per tahun
(2010-2012), yaitu dari 66,47 juta ton pada tahun 2010 menjadi 69,04 juta ton pada tahun
2012 (ASEM Kementan 2012); angka yang masih di bawah target pertumbuhan produksi
padi nasional menurut RPJMN sebesar 3,93% per tahun.
Selanjutnya, produksi jagung dan gula selama periode 2010- 2012 rata-rata meningkat
masing-masing sebesar 3,35% dan 2,16%, namun tingkat pertumbuhan rata-ratanya
selama periode tahun 2010-2012 masih di bawah target rata-rata per tahun untuk
masing-masing pertumbuhan produksi jagung dan gula nasional yang ditetapkan dalam
RPJMN 2010-2014, yaitu masing-masing sebesar 10,02 % dan 12,55 % (lihat Tabel 2.2).
Tahun
Uraian
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (000Ton) 723 808 748 593 776 975 907 851 852
27
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Luas Lahan (000Ha) 56,48 62,11 58,07 45,93 59,10 72,33 66,06 62,21 56,80
Produktivitas (/Ha) 12,8 13,01 12,88 12,91 13,13 13,48 13,73 13,68 15,00
Kebutuhan (000Ton) 1.838 1.894 1.878 2.002 1.944 2.337 2.399 2.435 2.496
- - - - - - - -
Surplus/Defisit (000Ton) 1.115 1.086 1.130 1.409 1.168 1.362 1.492 1.584 -1.644
Komoditas pangan utama lain yang juga jelas tidak akan mencapai target surplus pada
tahun 2014 adalah produksi kedelai, yang turun dari 975 ribu ton pada tahun 2009
menjadi 907 ribu ton pada tahun 2010, dan terus menurun menjadi 851 ribu ton pada
tahun 2011, kemudian meningkat sedikit menjadi 852 ribu ton pada tahun 2012 (lihat
Tabel 2.3). Data tersebut memperlihatkan penurunan rata-rata lebih dari 5% pada setiap
tahunnya, sementara kenaikan pada tahun ketiga pelaksanaan Renstra hanya 0,001175%.
Penurunan ini disebabkan terjadinya penurunan luasan panen kedelai. Dibandingkan
dengan konsumsi kedelai di Indonesia, produksi total Indonesia masih memperlihatkan
angka negatif penurunan lebih dari 100%. Tentu fenomena tersebut merupakan masalah
pangan yang signifikan untuk ditangani.
Prioritas Nasional Ketahanan Pangan dengan tujuan umum adanya persediaan (supply)
pangan sepanjang musim—di mana semua orang dengan leluasa dapat mengaksesnya,
dengan jumlah, mutu, dan jenis nutrisi yang mencukupi serta dapat diterima secara
budaya—sebetulnya dapat dikatakan telah membawa hasil dengan makin terbukanya
perdagangan luar negeri seiring perjanjian-perjanjian Free Trade Area dengan negara lain,
baik bilateral maupun multilateral. Kemungkinan adanya krisis pangan akibat kurang atau
berlebihnya demand/supply komoditas pertanian antar negara dapat diatasi dengan
kegiatan ekspor dan impor yang memanfaatkan sumber daya antar negara secara lebih
efisien.
28
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
sumber daya. Pendekatan mikroekonomi ini memang banyak diusung oleh para ekonom
seperti Lucas (1988), Barro and Sala’-i-Martin (2004) dan Taylor (1996). Dalam dimensi
makroekonomi sebenarnya konsep Ketahanan Pangan tidak bisa lepas dari kebijakan
ekonomi makro, khususnya pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan
stabilitas harga bahan pangan. Timmer (2000) lebih lanjut berpendapat bahwa program
ketahanan pangan tidak akan berhasil bila tidak memasukkan faktor ekonomi berdimensi
makro seperti pertumbuhan ekonomi, lingkungan, teknologi, pemerataan, pengentasan
kemiskinan, politik, inflasi, nilai tukar mata uang, serta program pemberdayaan ekonomi
pertanian dan perdesaan.
29
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
1200 65
800 45
600 35
400 25
200 15
0 5
1970
1972
1974
1976
1978
1982
1998
2002
2004
2006
2008
2010
2012
1980
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
2000
PDB Per kapita (2000$) Indeks Gini (%) Kemiskinan (%)
Hal lain yang cukup mengherankan adalah ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan impor
terkait harga pangan dengan fakta di lapangan. Horridge M., Witwerr G., and Wibowo, K.
(2006) memperlihatkan simulasi dengan model Computable General Equilibrium (CGE)
bahwa impor beras pada saat krisis persediaan beras di Indonesia akan menguntungkan
kelompok masyarakat termiskin dengan cukup rendahnya harga beras akibat tambahan
persediaan yang berasal dari impor. Namun pada kenyataannya, impor tidak selalu
berbanding lurus dengan penurunan harga di pasar.
Ketergantungan terhadap pasokan impor bahan pangan juga semakin tinggi karena
disinsentif untuk meningkatkan produktivitas tetap terhambat oleh lemahnya investasi
dalam bidang infrastruktur, irigasi, penelitian dan pengembangan, serta perluasan sistem
stabilitas harga.
Pada Tabel 2.4 terlihat bahwa volume ekspor tanaman pangan nasional kinerjanya turun
kira-kira 10% dari tahun 2010 ke tahun 2011, sedangkan volume impor tanaman pangan
naik 46,25% pada periode yang sama. Dalam bentuk nilai (USD000) pun kenaikan nilai
ekspor tanaman pangan sebesar 22,4% tidak mampu menyamai kenaikan nilai impor
tanaman pangan sebesar 80,38% dari tahun 2010 ke tahun 2011.
30
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Laju 2010-
Komponen 2009 2010 2011 2011 (%)
Volume (Ton)
Ekspor 786,627 892,454 807,265 (9.55)
Impor 7,788,215 10,504,604 15,363,009 46.25
Neraca (7,001,588) (9,612,150) (14,555,744) 51.43
Nilai (US$ 000)
Ekspor 321,261 477,708 584,861 22.43
Impor 2,737,862 3,893,840 7,023,936 80.39
Neraca (2,416,601) (3,416,132) (6,439,075) 88.49
Sumber: Kementan, 2012
Grafik 2.2 dan 2.3 berikut memperlihatkan pola kinerja ekspor impor tanaman pangan
secara mendetail per komoditi pangan yang berada di bawah tanggungjawab Kementerian
Pertanian. Terlihat jelas pada Grafik 2.2 bagaimana buruknya kinerja ekspor-impor
tanaman pangan Indonesia melalui besarnya kesenjangan antara kenaikan rata-rata nilai
impor dengan kenaikan rata-rata nilai ekspor dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012
pada komoditas (dalam US$000): Beras, Jagung, Gandum, dan Ubi-ubian. Sepanjang
periode 2009-2012 pertumbuhan rata-rata nilai impor beras mencapai 126,62%, jauh di
atas kinerja ekspor beras yang hanya tumbuh rata-rata 44,4% pada periode yang sama.
Hal serupa terjadi pula pada komoditas jagung dan gandum yang secara nyata
memperlihatkan rata-rata pertumbuhan nilai impornya melebihi rata-rata pertumbuhan
nilai ekspornya: 101,83% dibandingkan 19,18% untuk jagung dan 7,39% dibandingkan
-5,08% untuk gandum. Tanaman pangan yang nyata dikhawatirkan ketimpangan
pertumbuhan ekspor dan impornya secara nilai adalah beras, yang notabene adalah
kebutuhan pangan utama masyarakat Indonesia sampai saat ini.
31
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Beras Gandum
350.00 318.32 80.00 59.10
300.00 60.00 45.35
234.21
250.00 40.00
11.34 16.88 3.65 7.39
200.00 20.00
Persen %
Persen %
Jagung Ubi-Ubian
400.00 200.00 141.78
350.00 350.96
200.00
150.00 123.94 50.00 32.08
94.14 82.04 4.77
100.00 54.03 101.83
-13.79
0.00
50.00 -9.52
-20.96 -36.98 19.18 2009 2010 2011 2012 Rata-rata
0.00 -46.62 -50.00 -71.75
-34.46
2009
-50.00 2010 2011 2012 Rata-rata
-100.00 -100.00
Kinerja ekspor dan impor menggunakan pendekatan nilai (US$000) memang sangat
dipengaruhi oleh perkembangan depresiasi/apresiasi kurs mata uang US Dollar terhadap
Rupiah sehingga gambaran kinerja ekspor dan impor akan lebih representatif bila
menggunakan pendekatan volume yang lebih mencerminkan kinerja produktivitas riil
dari pembangunan bidang pangan nasional, khususnya yang sebagian menjadi tanggung
jawab Kementerian Pertanian. Namun Grafik 2.3, yang menggunakan pendekatan volume,
tetap menunjukkan bahwa kinerja ekspor impor komoditas pangan nasional memang
buruk. Sepanjang periode 2009-2012 pertumbuhan rata-rata volume impor beras
32
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
mencapai 107,65%, jauh di atas kinerja volume ekspor beras yang hanya tumbuh rata-rata
33,84% pada periode yang sama. Hal serupa terjadi pula pada komoditas jagung dan
gandum yang secara nyata memperlihatkan rata-rata pertumbuhan volume impornya
melebihi rata-rata pertumbuhan volume ekspornya: 93,41% dibandingkan 4,42% untuk
jagung dan 9,66% dibandingkan -18,19% untuk gandum. Kembali beras memperlihatkan
perbedaan pertumbuhan ekspor dan impor terbesar dalam pendekatan volume dibanding
jagung, gandum dan ubi-ubian.
33
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Beras Gandum
400.00 60.00 6.02
350.00 40.00
299.12 36.89
300.00
20.00
250.00 4.66 13.13
177.56 -6.22 9.66
Persen %
0.00
Persen %
Jagung Ubi-Ubian
40 15
125.16
84.77 149.55
10
30 -29.97
324.19 5
39.08
Persen %
Persen %
20 -12.59
-13.62
2009 2010 2011 2012 Rata-Rata
114.73 -34.48
-5
-87.01
10 85.30 -42.93 93.41
-10
7.10
-29.17 -41.90 -25.99 4.42
Rata-... -15
-88.41
-10 Ekspor Impor -20 Ekspor Impor
Merujuk pada Grafik 2.2 dan 2.3 di atas, terlihat bahwa perkembangan kinerja ekspor-
impor komoditas pangan, khususnya beras, secara nyata mengindikasikan bahwa
penyediaan pangan nasional dengan kebijakan Ketahanan Pangan yang dilakukan sampai
saat ini sangat tergantung pada impor. Seharusnya ini diimbangi dengan perbaikan tingkat
34
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
produktivitas dan output. Jika hal itu terjadi maka ekspor beras dapat dilakukan hanya
bila memenuhi beberapa syarat, terutama apabila persediaan beras dalam negeri telah
melebihi kebutuhan.51
Kinerja ekspor impor beberapa komoditi pangan di luar beras, seperti gula memang
memperlihatkan kinerja yang positif, namun untuk program swasembada sapi, kinerjanya
masih menunjukkan catatan yang negatif. Grafik 4 memperlihatkan “Perkembangan
Ekspor-Impor dan Neraca Perdagangan Sub Sektor Peternakan 2004-2012”.
Klaim bahwa Indonesia telah berada pada posisi swasembada beras atau dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi beras sendiri memang tidak dapat dipungkiri. Produksi beras
nasional sejak 2009 memang selalu mencetak prestasi surplus. Dengan kata lain, jika
dikehendaki, beras dapat diekspor guna menambah perolehan devisa negara. Kendati
demikian, kebutuhan konsumsi pada satu waktu tidak akan menjamin keberadaan
penyediaan konsumsi tersebut bila tidak memperhatikan kemungkinan amannya
cadangan beras dalam waktu lebih lama, misalnya pemenuhan konsumsi beras selama 8
51
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor. 19/M-DAG/PER/3/2014 tentang Ketentuan Impor dan
Ekspor Beras menggantikan Peraturan Menteri Perdagangan No.12/M-DAG/PER/4/2008 tentang
ketentuan ekspor dan impor beras.
35
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
bulan atau hingga waktu Hari Raya Lebaran. Terdapat 3 (tiga) alasan mengapa impor
beras memang tetap dibutuhkan. Pertama, impor beras dilakukan untuk menjaga stok
beras nasional. Kedua, ketidakstabilan iklim yang menyebabkan gagal panen di sejumlah
daerah di Indonesia menjadi salah satu resiko menurunnya cadangan beras dalam negeri.
Ketiga, untuk menjaga kestabilan harga beras di Indonesia, maka dilakukan impor ketika
harga beras di pasar nasional melonjak. Pernyataan Bappenas sendiri sebagai
kementerian yang bertanggungjawab terhadap perencanaan pembangunan nasional
cukup realistis dan dapat dijadikan otokritik terhadap pemangku kepentingan
pembangunan sektor pangan nasional, khususnya beras:
36
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Beras diketahui sangat signifikan dalam menyebabkan inflasi dan kemiskinan. Laporan
Data Sosial Ekonomi BPS Desember Tahun 2013 melaporkan bahwa inflasi perdesaan
November 2013 sebesar 0,14% dipicu oleh naiknya harga komoditas beras, bawang
merah, mie instan, dan minyak goreng yang dikenal sebagai volatile foods.54 Laporan Data
Sosial Ekonomi BPS Desember 2013 juga menunjukkan bahwa pada Maret 2013 komoditi
makanan yang merupakan faktor signifikan terhadap tingginya Garis Kemiskinan (GK)
tahun 2013, yaitu Rp271.626,00 per kapita per bulan baik di perkotaan maupun di
perdesaan, adalah beras (25,86% kota dan 33,97% desa), rokok kretek filter (8,82% kota
dan 7,48% desa)55, telur ayam ras (3,5% kota dan 3,67% desa), dan gula pasir (2,67% kota
dan 2,57% desa). Untuk komoditi bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar
pada Garis Kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan adalah perumahan (9,7% kota
dan 7,30% desa), listrik (3,57% kota dan 2,05% desa), pendidikan (3,06% kota dan 1,68%
desa), dan bensin (2,37% kota dan 1,93% desa). Tabel 5 menampilkan bagaimana
dominannya komoditi beras dalam menyumbang pada faktor penyebab kemiskinan di
masyarakat, baik perdesaan maupun perkotaan.
53
Peraturan ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.65/PMK.011/2011 yang dibuat
31 Maret 2011.
54
Alasan-alasan kenaikan harga komoditas, lihat analisis Politik (rent-seeking behaviour).
55
Konsumsi rokok kretek filter masuk perhitungan dalam garis kemiskinan karena semakin banyak orang
miskin yang membelanjakan pendapatannya untuk membeli rokok, dengan kata lain orang miskin
menempatkan proritas konsumsi rokok sebagai hal yang penting setara dengan makanan. BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar ( basic needs approach) untuk
mengukur kemiskinan. Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain
seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia. Dengan
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran yang
dikonseptualisasikan dengan Garis Kemiskinan (GK). GK merupakan representasi dari jumlah rupiah
minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan
2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. GK yang digunakan oleh BPS
terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan
(GKNM), di mana GK merupakan penjumlahan dari GKM dan GKNM. LPIKP berpendapat rokok kretek
filter seharusnya tidak termasuk ke dalam analisis perhitungan BPS tentang GK, dengan alasan-alasan
sosial, ekonomi dan kesehatan (termasuk lingkungan); Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
rokok kretek filter yang non-kalori, bisa dijadikan komponen dalam penentuan GK kategori makanan.
Ada baiknya konsumsi rokok kretek filter ditempatkan pada komponen non makanan untuk
menghindari adanya kesan psikologis bahwa rokok kretek filter di Indonesia secara resmi menjadi
bagian dari kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari ( daily basic needs). Dengan alasan, selain
berpengaruh pada ‘garis kemiskinan’ tetapi juga pada kesehatan.
37
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Komoditas
Kota Desa
Makanan
Beras 25.86 33.97
Rokok Kretek Filter 8.82 7.48
Telur Ayam Ras 3.50 3.67
Mie Instan 2.67 2.57
Gula Pasir 2.65 2.49
Tempe 2.26 2.28
Bawang Merah 2.24 1.97
Daging Ayam Ras 2.20 1.57
Tahu 2.00 1.57
Kopi 1.27 1.44
Non Makanan
Perumahan 9.70 7.30
Listrik 3.57 2.05
Pendidikan 3.06 1.68
Bensin 2.37 1.93
Angkutan 2.13 1.59
Sumber: BPS, Laporan Data Sosial Ekonomi, Desember 2013
Pada Tabel 6 berikut terlihat adanya surplus beras per tahun, tetapi tren pertumbuhan
produksi beras nasional sebagaimana terlihat pada kolom 3 menunjukkan angka yang
fluktuatif. Oleh karenanya, target pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014
niscaya akan sulit tercapai.
Mengacu pada tiga alasan yang disebutkan sebelumya mengenai alasan mengapa impor
beras tetap dibutuhkan, terutama alasan ke-3 (menjaga kestabilan harga), sangat tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada. Pada saat produksi beras dalam negeri mencetak
38
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
surplus semestinya impor beras bisa ditahan, terutama untuk menjaga agar harga tidak
terlalu turun guna memberikan kesempatan pada para petani untuk menikmati
keuntungan mereka. Namun pada kenyataannya, aktivitas impor beras tetap terjadi–
khususnya dari Thailand, Vietnam, India, dan Pakistan–meskipun secara resmi Perum
BULOG telah menghentikan impor beras sejak akhir Maret tahun 2013. 56 Data BPS yang
diolah LPIKP menunjukkan bahwa dari bulan April sampai dengan Desember tahun 2013,
nilai impor beras masih mencapai US$259.695 ribu, dengan volume total 554.542 ton,
jauh dibandingkan ekspor yang hanya bernilai US$31.556 dengan volume 58.648 ton.
Praktek impor beras dari Vietnam, Thailand, India, dan Pakistan selama tahun 2013
pasca pernyataan pemerintah dan Perum BULOG tentang pemberhentian impor beras
dapat dilihat dari Tabel 2
7. Walaupun jumlah impor dapat ditekan secara drastis pada tahun 2013, namun impor
beras tetap dominan terjadi Indonesia. Andil Thailand sebagai pengekspor beras ke
Indonesia telah menggeser posisi Vietnam, dari hanya 19,52% pada tahun 2012 menjadi
41,24% pada tahun 2013.
2012 201357
Nilai
Negara Volume Share Share Volume Share Nilai Share
(US$000
(Ton) (%) (%) (Ton) (%) (US$000) (%)
)
Vietnam 1,104,756.00 57.31 575,601.00 57.16 171,286.00 36.29 97,300.00 39.55
Thailan
d 376,204.00 19.52 220,681.00 21.92 194,633.00 41.24 61,700.00 25.08
India 289,091.00 15.00 135,852.00 13.49 107,538.00 22.78 44,900.00 18.25
Pakistan 138,703.00 7.20 54,705.00 5.43 75,813.00 16.06 29,900.00 12.15
Sumber: Pusdatin, Kementan, Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian, Vol. IV, No. 1 Tahun 2013.
Satu hal yang juga tidak kalah pentingnya dalam masalah perberasan adalah tingkat
kesejahteraan petani melalui kacamata harga gabah yang mereka terima dari pedagang
56
Tempo Bisnis Online, Bulog Stop Impor Beras,
http://www.tempo.co/read/news/2012/04/02/090394097/Mareti-Bulog-Stop-Impor-Beras, Senin, 02
April 2012 | 13:21 WIB
57
Tempo Bisnis Online, Tahun Lalu Indonesia Impor Beras dari Lima Negara,
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/05/090551264/Tahun-lalu-Indonesia-Impor-Beras-dari-
Lima-Negara, Rabu, 05 Februari 2014 | 12:18 WIB
39
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
perantara dibanding harga yang diterima oleh pedagang dari konsumen akhir. Dari
kacamata inflasi dan tingkat kemiskinan sudah diketahui bahwa harga beras dan
konsumsinya memang merupakan komponen penyumbang kemiskinan terbesar, namun
perbedaan harga antara harga gabah pada saat petani menjual ke pedagang perantara dan
penggiling padi dengan harga padi yang dijual ke konsumen mengindikasikan bahwa
kesejahteraan petani selama ini masih belum mendapatkan perhatian yang menyeluruh
dan sungguh-sungguh dari pengambil kebijakan pangan nasional. Tabel 8 menunjukkan
bahwa selama periode 2009-2011 peningkatan harga dari bulan ke bulan yang dinikmati
oleh petani sebagai produsen beras di hulu yang rata-rata peningkatannya 0,68% masih
lebih rendah dibanding rata-rata peningkatan harga eceran konsumen yang 0,77%,
terlebih lagi jika diperbandingkan dengan rata-rata peningkatan margin yang diperoleh
oleh rantai distribusi logistik padi (penggilingan, grosir, dan pergudangan), yaitu 1,23%.
Secara implisit ini mengartikan bahwa kesejahteraan yang dinikmati masyarakat dalam
pasar beras lebih banyak dinikmati oleh pedagang perantara. Konsumen sendiri masih
secara implisit memperoleh keuntungan melalui beban harga yang tidak meningkat terlalu
tinggi. Dapat disimpulkan sementara bahwa petani tetap menjadi pihak yang paling minim
memperoleh manfaat dari praktek pasar beras nasional, baik secara domestik maupun
internasional.
Bulan
Tahun Harga Produsen GKG (Rp/Kg)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nov Des Laju rata-rata
2010 3458 3705 3343 3312 3444 3627 3444 3538 3621 3688 3782 3890 1.18
2011 4198 3968 3888 3707 3581 3839 3997 3971 4182 4281 4398 4548 0.81
2012 4777 4668 4269 4277 4257 4345 4424 4378 4405 4468 4568 4774 0.05
Harga Eceran Konsumen
2010 6324 6419 6318 6175 6208 7482 6500 7513 7541 6655 6797 7125 1.52
2011 7376 7438 7191 7041 7126 7133 7307 7421 7474 7591 7709 7802 0.53
2012 8016 8135 8110 7986 7904 7916 7983 8024 8064 8118 8183 8250 0.27
Margin Pedagang Perantara
2010 2866 2714 2975 2863 2764 3855 3056 3975 3920 2967 3015 3235 2.65
2011 3178 3470 3303 3334 3545 3294 3310 3450 3292 3310 3311 3254 0.32
2012 3239 3467 3841 3709 3647 3571 3559 3646 3659 3650 3615 3476 0.73
Sumber: BPS berbagai terbitan, diolah LPIKP, 2014.
40
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pemerintah pada tanggal 27 Mei 2011 telah mengeluarkan Perpres No. 32 Tahun 2011
tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
2011-2025 dengan tujuan untuk mempercepat pelaksanaan proyek-proyek investasi, baik
di sektor riil maupun infrastruktur yang telah melakukan groundbreaking di berbagai
daerah. MP3EI memiliki semangat mempercepat pembangunan sektor pangan, energi, dan
infrastruktur dengan berbasiskan pendekatan spasial yang membagi Indonesia menjadi 6
(enam) Koridor Ekonomi (KE) di mana pembangunan sektor pangan difokuskan pada 2
(dua) Koridor, yaitu Koridor Ekonomi Sulawesi dan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan
Maluku. Pada Triwulan I Tahun 2013, total proyek yang telah groundbreaking mencapai
209 proyek dengan total nilai investasi sebesar Rp603 triliun. Sedangkan pada Triwulan II
Tahun 2013, proyek yang direncanakan groundbreaking mencapai 107 proyek dengan
total nilai investasi mencapai Rp711,7 triliun. Proyek yang paling banyak direncanakan
pada Triwulan II terdapat pada Koridor Ekonomi Jawa, dengan jumlah 36 proyek (nilai
investasi mencapai Rp219,5 triliun). Sedangkan proyek yang paling sedikit terdapat pada
Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku, dengan jumlah 6 proyek dan nilai investasi
sebesar Rp205,9 triliun.59 Dari 316 proyek senilai Rp1.314,7 triliun yang dilaksanakan
pada Triwulan I dan II tersebut, tidak sampai 1% dari total nilai keseluruhan proyek
MP3EI pada kurun waktu tersebut yang berkontribusi pada sektor pangan. Selebihnya,
proyek-proyek dialokasikan pada pembangunan jalan, bandara, pelabuhan, migas dan
pertambangan, pariwisata serta proyek infrastruktur lainnya. 60
58
Hasil FGD dan Seminar Kedaulatan Pangan: Memperkuat Kemandirian dalam Pembangunan Nasional
di Era Globalisasi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Independen dan Kebijakan Publik,
Jakarta, 8 Februari 2014.
59
Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI, Kemenko Perekonomian, 2013, hal. 100 dan 109.
60
Analisis lebih lanjut tentang MP3EI dan ketersediaan lahan diuraikan dalam Analisis Hukum
41
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Peningkatan nilai proyek MP3EI pada Triwulan II tahun 2013 didominasi oleh sektor
pembangunan non pangan, seperti: pembangunan 6 (enam) ruas jalan tol dan
pembangunan MRT North-South di DKI Jakarta, PLTU Jateng Baru di Batang (Kapasitas
2x1000 MW) serta proyek-proyek sektor riil yang bernilai besar di KE Papua-Kepulauan
Maluku (seperti: PT. Freeport). Dilihat dari kontributor pendanaannya, berdasarkan data
dari Tim Kerja dan Sekretariat KP3EI, hingga akhir Maret 2013 investasi yang berasal dari
BUMN sebesar Rp127,8 triliun (21,2.%), swasta Rp269,6 triliun (44,7%), pemerintah
Rp109,0 triliun (18,1%), dan sumber campuran Rp96,6 triliun (16,0%). Kategori sumber
pendanaan campuran ini terdiri dari gabungan dana pemerintah dan swasta dalam bentuk
proyek-proyek Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), gabungan antara BUMN dengan
swasta, maupun pemerintah dengan BUMN.
Penetapan K.E Sulawesi dan K.E Papua-Kepulauan Maluku sebagai koridor pembangunan
sektor pangan nasional dalam MP3EI dikarenakan kondisi aktual yang memperlihatkan
bahwa hampir semua lahan di kawasan APL sudah termanfaatkan, termasuk juga
pemanfaatan untuk perkebunan, yang notabene didominasi oleh kelapa sawit. Keadaan
tersebut juga menjadi salah satu penyebab makin menciutnya lahan untuk tanaman
pangan. Sementara itu, lahan yang berada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan,
misalnya lahan-lahan HPH, banyak yang sudah tidak lagi produktif, dan kebijakan yang
diambil adalah mengubah HPH tersebut menjadi HTI. Sebetulnya lahan tersebut
seharusnya dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan. Ini dapat diwujudkan jika lingkup
pengertian dan rumusan ‘kepentingan umum’ dalam Undang-undang 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memasukkan
‘pengadaan lahan untuk tanaman pangan’ sebagai salah satu ‘kepentingan umum’. 61
Bahkan jika dianggap perlu, luas lahan kawasan hutan yang ada saat ini yang bisa
dikonversi, perlu dikonversi khusus untuk tanaman pangan sebagai upaya untuk
mengimbangi terjadinya penciutan lahan pangan yang terjadi. Lembaga memandang
bahwa produk Hukum MP3EI ini memang bertujuan baik: sebagai upaya penguatan daya
saing Indonesia, terutama daya saing nasional dalam pembangunan di sektor pangan.
Kendati demikian, dengan memperhitungkan urgensi masalah pangan nasional terlihat
bahwa MP3I terlambat dikeluarkannya, karena indikasi berkurangnya lahan pertanian di
Indonesia telah dirasakan sebelum tahun 2010; dari target 15 juta ha pada tahun 2012
hanya tersedia 7 juta ha saja.
61
Perlu dipertimbangkan revisi atas UU 2/2012 tentang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum.
Untuk uraian lebih lanjut tentang ini, dapat dilihat pada analisis Hukum.
42
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Sumber: Rusastra I Wayan, Erna M Lokollo and Supena Friyatno, Land and Household Economy: Analysis of
Agricultural Census, 1983-2003 (PSE-Kementrian Pertanian), hal. 103
Produktivitas yang diharapkan dari pertanian, khususnya beras yang ditargetkan pada
tahun 2014 akan mencapai surplus sebesar 10 juta ton sepertinya berat untuk dapat
dicapai karena gangguan yang ditimbulkan oleh fenomenan perubahan iklim, yang tidak
saja membahayakan target surplus beras, tetapi juga mengancam pemenuhan target
surplus produksi untuk komoditas non beras, seperti kedelai, gula, bawang merah,
bawang putih, dan daging sapi. Masalah produktivitas ini juga terhambat oleh belum
terpenuhinya infrastruktur pendukung sektor pangan secara optimal, seperti
pembangunan 12 waduk irigasi yang direncanakan pada tahun 2014 (di luar target
pembangunan Waduk di DAS Bengawan Solo), baru selesai 3, dan 9 lainnya masih dalam
tahap konstruksi.62 Analisis ini diperkuat pula oleh pernyataan Bungaran Saragih, mantan
Menteri Pertanian Kabinet Gotong Royong yang berpendapat bahwa pada hakikatnya,
keberhasilan sektor pertanian diukur dari keberhasilan dalam menghasilkan surplus
pangan atau tidak.
“Harus kita akui, bahwa negara besar seperti Indonesia tidak bisa tidak
mengimpor bahan pangan. Karena, tidak semua bahan pangan
diproduksi di dalam negeri. Jadi, untuk lebih meningkatkan lagi surplus
di sektor pangan, kita harus bisa terus menggenjot ekspor”. 63
62
Bappenas, 2013, Buku Evaluasi Paruh Tahun RPJMN 2009-2014, hal. 86.
63
http://www.infobisnisinternasional.com/berita/specialreport/03/october/2012/surplus-tapi-tetap-impor
Rabu, 3 Oktober 2012
43
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam pembangunan sektor pangan nasional
adalah (i) lemahnya kualitas SDM pertanian, termasuk di dalamnya subsektor peternakan
dan perikanan; (ii) masalah permodalan usaha di bidang pangan khususnya sektor
pertanian; dan (iii) dukungan pemerintah melalui alokasi anggaran belanja negara dan
daerah untuk sektor pertanian.
Data BPS bulan Agustus, 2013 menunjukkan bahwa kualitas SDM sektor pertanian berada
pada posisi paling rendah dibandingkan sektor lain. Latar belakang pendidikan
masyarakat yang bergerak di sektor pertanian menunjukkan bahwa 73,9%-nya adalah
berpendidikan SD bahkan tidak lulus SD, sementara untuk tingkat SMA dan yang lebih
tinggi hanya 10,4% (lihat Tabel 2.10). Hal ini diperparah dengan tingkat produktivitas
tenaga kerja pertanian yang paling rendah di antara sektor-sektor perekonomian lainnya.
Data BPS pada tahun 2012 menunjukkan bahwa seorang petani/nelayan hanya
menyumbangkan produktivitasnya terhadap perekonomian nasional sebanyak Rp30,6
juta per tahun, sementara tingkat produktivitas per tenaga kerja di sektor pertambangan
mencapai Rp607 juta per tahun.
44
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dalam masalah permodalan usaha untuk sektor pertanian, kredit pertanian merupakan
salah satu kebutuhan penting bagi mayoritas petani di sejumlah negara, terutama di
negara berkembang yang berbasiskan pertanian. Kelangkaan kredit pertanian dapat
berpengaruh terhadap produktivitas dan pendapatan petani, khususnya bagi petani
gurem. Dalam sejarah pembangunan pertanian Indonesia, pemerintah telah banyak
mengimplementasikan program kredit untuk petani, antara lain: 1) Proyek Peningkatan
Pendapatan Petani (Departemen Pertanian); 2) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang
dibina oleh Departemen Sosial; 3) Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera
(UUPKS), binaan BKKBN; 4) Program Penguatan UKM yang dilaksanakan oleh
Kementerian Negara Koperasi dan UKM; dan 5) Program-program pemberdayaan
masyarakat dengan berbagai bentuk dan strateginya. Walaupun demikian, efektivitas dan
keberlanjutan serta peranan program-program tersebut masih jauh dari yang diharapkan.
Dari sisi permodalan bank secara nasional, permodalan untuk sektor pangan dalam hal ini
pertanian sangat kecil. Dalam data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2013 tercatat
hanya 5,54% dari total permodalan perbankan komersil (Bank Umum) mendanai sektor
pertanian (termasuk perburuan dan kehutanan), yaitu sebesar Rp117.16 triliun; angka ini
tidak jauh berbeda dengan data tahun 2011 di mana kredit yang disalurkan perbankan
komersil ke sektor pertanian hanya sebesar 5,21%. Jumlah penyaluran kredit pada tahun
2013 tersebut sangat jauh lebih kecil dibanding dana kredit yang disalurkan perbankan
umum ke sektor industri pengolahan (17,4%), sektor perdagangan, hotel, dan restoran
45
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
(20,04%), apalagi sektor non usaha berupa kredit konsumtif, kendaraan bermotor, dan
perumahan (27,88%). Pada tahun yang sama, dari sisi permodalan perbankan asing hanya
10% saja dari total dana kredit yang disalurkan digunakan untuk mendanai sektor
pertanian (lihat Tabel 2.11).
2011 2013
SEKTOR DAN BIDANG USAHA Share Share
Kredit (%) Kredit (%)
Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan 109,790 5.21 177,162 5.54
Perikanan 4,935 0.22 6,391 0.19
Pertambangan/Penggalian 87,780 3.99 126,826 3.83
Industri Pengolahan 344,597 15.66 577,880 17.44
Listrik Gas dan Air 45,841 2.08 79,493 2.40
Konstruksi 75,395 3.43 116,090 3.50
Perdagangan Besar dan Eceran 375,017 17.05 664,047 20.04
Penyediaan Akomodasi dan Mamin 30,425 1.38 59,306 1.79
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 97,966 4.45 163,418 4.93
Perantara Keuangan 105,184 4.78 151,154 4.56
Real Estate, Sewa dan Jasa Perusahaan 116,201 5.28 193,182 5.83
Adm. Pemerintahan, Pertahanan & Jaminan Sosial
3,014 0.14 12,475 0.38
Wajib
Jasa Pendidikan 4,064 0.18 5,477 0.17
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7,611 0.35 10,153 0.31
Jasa Kemasyarakatan, Sosbud, Hiburan dan
39,294
Perseorangan 1.79 53,861 1.63
Jasa Perorangan Rumah tangga 691 0.03 1,537 0.05
Badan Internasional 3,305 0.15 318 0.01
Kegiatan Yang Belum Jelas Batasannya 81,689 3.71 3,984 0.12
Non Usaha 667,293 30.11 910,118 27.28
Total 4,222,99
2,867,385 100.00 100.00
0
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2014), Statistik Perbankan Indonesia, Vol. 12, No. 1 Desember.
Data Bank Indonesia tahun 2012 menunjukkan pula bahwa dari total dana Kredit Usaha
Rakyat (KUR) perbankan sebesar Rp2,7 triliun, hanya 7,73% saja yang disalurkan untuk
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pertanian; jauh lebih kecil dibandingkan porsi
60% dana KUR tersebut yang disalurkan untuk UMKM bidang lain seperti perdagangan
46
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
(47,28%) dan jasa lainnya (12,72%). Porsi kredit yang minim untuk sektor pertanian ini
masih belum berubah di tahun 2013.
Sulitnya permodalan dalam bidang usaha pertanian pangan dikarenakan: (1) makin
turunnya minat usaha di bidang pertanian, (2) hambatan yang dihadapi petani dalam
mengakses perbankan yang disebabkan oleh tidak adanya jaminan (collateral), kurangnya
pemahaman tentang administrasi perbankan, tingginya cost of transaction dan cara
pembayaran bulanan yang tidak sesuai dengan pendapatan petani yang bersifat musiman,
dan (3) kemungkinan bahwa secara umum adanya kecenderungan perbankan nasional
kurang antusias untuk menyalurkan kredit ke sektor pertanian.
Minimnya pembiayaan perbankan untuk sektor pertanian secara umum menurut pihak
perbankan disebabkan oleh 3 (tiga) hal sebagai berikut:
47
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
2011 2013
USAHA Rp Rp
% %
miliar miliar
Pertanian, Perburuan, Kehutanan, dan Perikanan 1,814 1.58 2,738 0.01
Pertambangan/Penggalian 302 0.34 1,920 1.51
Industri Pengolahan 11,746 3.41 10,023 1.73
Listrik Gas dan Air 247 0.54 587 0.74
Konstruksi 2,865 3.80 4,746 4.09
Perdagangan Besar dan Eceran 12,500 3.33 15,898 2.39
Penyediaan akomodasi dan Mamin 629 2.07 571 0.96
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 2,400 2.45 3,208 1.96
Perantara Keuangan 309 0.29 427 0.28
Real Estate, Sewa dan Jasa Perusahaan 1,767 1.52 3,477 1.80
Adm. Pemerintahan, Pertahanan dan jaminan Sosial Wajib 15 0.50 4 0.03
Jasa Pendidikan 63 1.55 57 1.04
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 334 4.39 197 1.94
Jas Kemasyarakatan, Sosbud, Hiburan dan Perseorangan 774 1.97 1,181 2.19
Jasa Perorangan Rumah tangga 37 5.35 34 2.21
Badan Internasional 53 1.60 6 1.89
Kegiatan Yang Belum Jelas Batasannya 1,339 1.64 25 0.63
Non Usaha 1,339 1.57 25 1.45
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2014), Statistik Perbankan Indonesia, Vol. 12, No. 1 Desember.
Mengenai dukungan pemerintah melalui alokasi anggaran, ada satu catatan penting dari
apa yang diklaim pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, sebagai salah satu
penyebab buruknya kinerja pembangunan pangan nasional, sebagaimana dinyatakan
dalam Laporan Kinerja Tahun Ketiga Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014 bahwa
terjadi pemotongan jumlah dan alokasi anggaran. Perlu diketahui pengurangan jumlah
dan alokasi anggaran untuk pembangunan pangan baru terjadi untuk tahun 2014 dan
pada tahun-tahun sebelumnya selalu meningkat (2010-2013). Terdapat kesan bahwa
dengan peningkatan anggaran maka program pembangunan pangan nasional akan
berhasil, padahal tidak ada bukti bahwa kenaikan jumlah dan alokasi anggaran
Kementerian Pertanian berbanding lurus dengan kinerjanya, terutama dalam hal
pemenuhan target peningkatan produksi komoditas pertanian guna mencapai surplus
nasional. Anggaran Kementerian Pertanian dari tahun 2005-2011 meningkat sebesar
600%. Sayangnya kenaikan sangat signifikan tersebut tidak berhasil mendorong kinerja
Kementerian tersebut dalam peningkatan produksi komoditas pertanian, misalnya padi,
48
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
pada periode yang sama hanya meningkat 21,4%, produksi jagung meningkat 40,76%, dan
kedelai meningkat hanya sebesar 4,38%. Peningkatan anggaran tingkat kementerian yang
signifikan tetapi tidak menunjang keberhasilan produksi pertanian, justru mendorong
terjadinya kelangkaan pangan dan resiko akan terjadinya krisis pangan nasional. 64
Political will yang tersirat dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
adalah keinginan negara untuk menempatkan masalah pangan sebagai kebutuhan dasar
manusia yang paling utama, dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang dijamin Undang Undang Dasar 1945. 65 Karena pangan adalah hak dasar
warga negara, maka negara diwajibkan untuk mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan,
dan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi
seimbang secara merata di seluruh Indonesia. Hal yang terpenting dari hubungan yang
tercipta antara negara dan warganegara dalam masalah pangan tersebut adalah keinginan
kedua belah pihak untuk mewujudkan pemenuhan pangan secara berdaulat dan mandiri. 66
Ini menunjukkan bahwa arah kebijakan politik di bidang pangan bukan sekedar
mewujudkan ketahanan pangan, melainkan juga mewujudkan kedaulatan pangan.
64
Ramdansyah, Opini Kompasiana, 28 August 2013,
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/08/28/menyoroti-turunnya-anggaran-kementan-ri-
2014-584658.html
65
Lihat konsideran Menimbang poin (a) dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
66
Ibid. poin (c)
49
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Kedaulatan pangan merupakan salah satu hak dasar sebuah negara. Karena itu, umumnya
sebuah negara menetapkan bagaimana formulasi politik ketahanan pangannya. Hal ini
terkait dengan bagaimana cara negara merumuskan kebijakan politik untuk memastikan
terpenuhinya kebutuhan pangan negaranya yang merupakan kebutuhan dasar
warganegara.67 Mengingat kedudukan pangan dapat menentukan keberhasilan atau
kegagalan sebuah negara, maka pangan menjadi barang ekonomi yang strategis. Gradasi
strategisnya Kedaulatan Pangan bagi suatu negara ditentukan oleh sejauh mana
ketergantungan penduduknya terhadap barang pangan sebagai kebutuhan pokok yang
non subtitutif. Makin suatu negara memandang bahwa konsumsi terhadap barang pangan
tersebut tidak dapat digantikan oleh hasil komoditas pertanian yang lain, maka negara
tersebut makin mengalami ketergantungan, begitu pula sebaliknya. Barang pangan dasar
seperti beras misalnya, meskipun di beberapa negara dunia bukan sebagai kebutuhan
pokoknya, tetap saja menjadi domain yang dianggap vital untuk disediakan di Indonesia.
Secara historis, perubahan politik pangan di Indonesia dari masa ke masa dipengaruhi
oleh perbedaan tatanan negara (orde), rezim pemerintahan, model kebijakan, dan fungsi-
fungsi kelembagaan yang mengurusi masalah pangan. Lihat tabel di bawah ini.
67
Sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan dekade 90-an, terus terjadi perubahan
perspektif pangan, dari mulai sebagai kebutuhan dasar ( food first perspective) hingga pada perspektif
penghidupan (livelihood perspective). Lihat Maxwell & Frankenberger, 1992. Household food security
concepts, indicators, and measurements. New York, NY, USA: UNICEF and IFAD.
50
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
68
Ada pandangan lain yang beredar secara lisan dari mereka yang hidup pada masa Bimas diberlakukan
yang menyatakan bahwa “Bimas” muncul pada awal Orde Baru dan digagas oleh Prof. Dr. Gunawan
Satari. Namun pandangan ini belum diperkuat dengan temuan data tertulis.
51
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
52
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dari tabel di atas terlihat bagaimana telah terjadi penguatan peran negara melalui BULOG
pada masa rezim Soeharto II, tepatnya saat pemberlakukan Repelita III dan IV pada tahun
1979-1989. Saat itu BULOG memiliki 7 peran, yaitu 1) Sebagai pembeli beras tunggal; 2)
Melakukan manajemen stok penyangga pangan nasional; 3) Pengimpor gula dan gandum;
4) Pemasok daging untuk DKI Jakarta; 5) Pengontrol impor kacang kedelai; 6) Penetap
harga dasar jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau; dan 7) Pengontrol harga
gabah, beras, tepung, gandum, gula pasir. Pada kurun waktu tersebut, terjadi apa yang
disebut “swasembada terpimpin”, di mana negara mengambil peran puncak dalam
menjaga ketahanan pangan, sehingga pada tahun 1984 Indonesia mendapat Medali FAO
sebagai negara yang berhasil melakukan swasembada pangan.
Namun setelah tahun 1989, peran negara melalui BULOG dalam menjaga ketahanan
pangan terus menurun. Peran tersebut terus dipangkas hingga tahun 1997, yang mana ia
hanya boleh mengontrol harga beras. Perlahan-lahan peran swasta makin membesar dan
69
http://www.zef.de/module/register/media/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20Indonesia
%201950-2005.pdf diunduh pada 15 April 2014.
53
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
impor makin menguat dalam menjaga ketersediaan pangan. Kedudukan dan peran negara
melalui BULOG semakin terbatas ketika lembaga pemerintah tersebut diprivatisasi pada
masa pemerintahan Megawati dan seterusnya hingga sekarang. Fenomena sejarah
tersebut menegaskan peralihan penggunaan model ketahanan pangan dari model yang
cenderung totaliter pada era Orde Lama ke pertengahan Era Orde Baru, terus beralih ke
model Pancasila pada pertengahan Era Orde Baru hingga ke awal Era Reformasi,
kemudian beralih lagi ke model yang cenderung liberal pada Era Reformasi II yang
berlangsung sejak tahun 2000 hingga sekarang.
Model politik ketahanan pangan di Indonesia yang cenderung melemahkan peran negara
tersebut berbanding terbalik dengan model yang digunakan oleh negara-negara yang
berhasil membangun kemandirian pangan, seperti Thailand, Vietnam dan India. Di
Thailand misalnya, peran negara begitu kuat melalui sebuah komite yang
mengintegrasikan 11 (sebelas) kementerian, yaitu National Food Commission (NFC) yang
dipimpin oleh badan setingkat Menteri. Komisi tersebut memiliki kewenangan dalam
meregulasi pangan dan menjadi pengawas.70 Sementara, untuk posisi kepelakuan,
Thailand menyerahkan kewenangannya pada Public Warehouse Organization (PWO),
sebuah lembaga pemerintah yang berwenang melakukan pengadaan sekaligus intervensi
pasar.
Kuatnya peran negara tidak hanya diperlihatkan oleh Vietnam yang menganut faham
komunis, tetapi juga oleh India yang berfaham demokrasi liberal. Negeri yang dikenal
sebagai negeri yang “menyanyi dalam segala kondisi” tersebut menyerahkan
kepengelolaan pangan pada dua kementerian dan satu badan, yaitu Ministry of Agriculture
and Cooperative yang berperan dalam meregulasi produksi, kemudian Ministry of
Consumer Affair and Public Distribution yang mengatur soal distribusi, dan Commission on
Agriculture Costs and Prices (CACP) yang mengatur soal harga. Selain mengatur, negara
juga berwenang dalam melakukan fungsi pengadaan pangan melalui lembaga bernama
The Food Coperation of India (FCI) dan fungsi distribusi melalui The Public Distribution
System (PDS).71
70
Laporan untuk UNDP Thailand/Januari 2009, hal. 45-46. Diakses dari http://sathai.org/story_thai/043-
FOOD_SECURITY.pdf pada 29 April 2014.
71
Diva Singh dan Naoko Koyama Blanc. 19 Maret 2009. Food Policy and Food Security in India:
Achieving Rice Price Stability. Makalah untuk Kementerian Perdagangan dan Industri dan Kementerian
Pertanian India.
54
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Hasil studi pustaka yang dilakukan LPIKP terhadap politik penanganan pangan di India,
Vietnam dan Thailand menguatkan tesis di atas. LPIKP membandingkan ketiga negara
tersebut dalam variabel kelembagaan, 72 fungsi regulasi, fungsi “wasit” 73 dan fungsi
kepelakuan74 sebagai tolak ukur, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah.
72
“Kelembagaan” maksudnya adalah lembaga pemerintah yang menjalankan peran negara dalam
mengatur politik pangan.
73
“Wasit” maksudnya adalah peran dalam mengawasi implementasi politik pangan di sebuah negara.
Peran ini bisa dilakukan oleh lembaga yang melakukan regulasi, atau bisa juga dilakukan secara
terpisah oleh suatu lembaga yang khusus melakukan pengawasan secara independen namun resmi
atas nama negara. Biasanya, lembaga pengawas yang terpisah berbentuk Komisi Negara atau Badan
tertentu.
74
“Kepelakukan” maksudnya adalah peran di mana negara ikut bertindak sebagai pelaku pasar dalam
mekanisme transaksi pangan, baik untuk tujuan non komersil maupun komersil. “Kepelakukan” dalam
tulisan ini tidak hanya berarti melakukan fungsi suplai tetapi juga melakukan fungsi produksi.
55
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Berdasarkan data di atas terlihat setidaknya dua hal penting. Pertama, adanya diferensiasi
terkait political will di antara negara-negara tersebut, di mana political will Indonesia
terlihat lebih lemah dibanding Thailand, Vietnam dan India. Kedua, adanya fenomena yang
menunjukkan bahwa negara-negara yang mandiri75 dalam hal pangan memberi alokasi
peran negara yang lebih besar dalam pengaturan pangannya. Politik pangan negara-
negara yang mandiri dalam hal pangan tersebut menerapkan model politik ketahanan
pangan yang cenderung ke arah penguatan peran negara, bukan sebaliknya.
75
Lihat analisis Ekonomi yang memperlihatkan ranking produksi yang ada pada urutan teratas dari
negara-negara yang dibandingkan di atas.
56
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pergerakan arah politik ketahanan pangan dapat dipahami secara teoritis, sebagai
berikut:76
Pertama, Politik Ketahanan Pangan Klasik (PKPK), di mana negara menyerahkan kuasa
sepenuhnya kepada masyarakat untuk mengelola barang pangannya sendiri. Teori ini
berasumsi bahwa barang pangan dasar dianggap tidak strategis karena bukan barang
ekonomi yang non subtitutif. Dengan kata lain, barang pangan dianggap sebagai barang
ekonomi yang relatif strategis, tetapi negara percaya bahwa mekanisme pasar dapat
menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduknya.
76
Robi Nurhadi, Dilema Politik Perberasan di Era Globalisasi, Majalah Padi Edisi 12 Tahun 2008. Lihat
juga di http://majalahpadi.blogspot.com/2008/07/opini.html. Diunduh pada 6 Maret 2014. Diolah
kembali dalam analisa yang disesuaikan. Modeling dalam politik pangan sebagaimana dipaparkan
dalam “analisis politik” ini dibuat berdasarkan model pemikiran politik ekonomi umumnya.
57
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
dasar di negara tersebut, sehingga negara memainkan peran sebagai “wasit” yang
intervensinya terhadap pasar dilakukan untuk “menyuntik pasar barang pangan dasar
yang sakit”. Setelah pasar dianggap sehat, kuasa politik untuk mengelola pasar barang
pangan dasar dikembalikan kepada rakyat. Negara-negara penganut model PKPNk ini,
umumnya adalah negara yang tidak setuju sepenuhnya terhadap pemikiran Adam Smith
tentang invisible hand.
Ketiga, Politik Ketahanan Pangan Keynesian (PKPKy), di mana negara tidak hanya
bertindak sebagai “wasit” tapi juga sebagai pelaku pasar dalam dunia barang pangan
dasarnya. Dua asumsi utama yang terbangun dalam penerapan model PPKy ini adalah
karena barang pangan dasar tersebut dianggap strategis (barang non subtitutif) dan
ketidakpercayaan pemerintah terhadap masyarakat untuk menciptakan pasar yang sehat
dan stabil. Meski dalam model PPKy ini, ada potensi terjadinya “perselingkuhan” antara
lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi “wasit” dengan fungsi “pelaku pasar”,
model ini masih memberikan ruang politik yang sama kepada masyarakat untuk bermain
dalam dunia barang pangan dasarnya.
58
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dalam kerangka teoritis tersebut, politik ketahanan pangan Indonesia pada periode kedua
era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono cenderung bergerak dari model politik
ketahanan pangan PKPKy menuju politik ketahanan pangan model PKPNk. Hal ini ditandai
dengan diserahkannya pengelolaan penyediaan barang pangan kepada masyarakat dan
posisi pemerintah cenderung hanya menjadi “wasit” yang akan mengintervensi kegagalan
mekanisme pasar dalam penyediaan barang pangan dasar di Indonesia. Pergerakan model
politik ketahanan pangan tersebut mengarah pada pembentukan model baru: gabungan
antara model PPKy dan model PKPNk. Hal ini ditandai dengan beberapa kenyataan
sebagai berikut: Pertama, masih adanya peran negara sebagai regulator sekaligus pelaku
pasar terbatas melalui Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) yang
berperan dalam melakukan intervensi stabilisasi harga pangan (Lihat Renstra Kementan
RI 2010-2014); Kedua, masih adanya peran “wasit” melalui instrumen perijinan impor
barang pangan dasar oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan; Ketiga,
adanya peran pengawasan Negara terhadap perdagangan barang pangan dasar melalui
komisi negara seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Perubahan ke arah
model PKPNK terlihat jelas dalam perubahan regulasi-regulasi yang terkait dengan
pangan, sebagaimana dibahas dalam bagian analisis perspektif hukum.
Proses pelemahan peran negara dalam penanganan kebijakan pangan banyak terlihat dari
fenomena keberadaan Perum BULOG yang track record-nya tidak menggembirakan.
Instrumen negara yang berperan penting dalam menjaga suplai beras tersebut telah
menjadi “bahan bancakan” partai-partai penguasa waktu itu. Adanya “dana non-budgeter”
BULOG telah memojokkan lembaga ini sebagai “sapi perahan” para penguasa yang
menyeret pimpinan-pimpinannya ke penjara, seperti Rahardi Ramelan, Bedu Amang, dan
Widjonarko Puspoyo. Dalam kasus BULOG tersebut, sebenarnya yang bermasalah adalah
para pelakunya yang terkena “virus” rent seeking behavior alias korupsi. Namun justru
yang diganti bukan orangnya atau para pelakunya melainkan sistemnya, dimana peran
BULOG sebagai subsistem dari sistem tersebut yang dijadikan sasaran.
59
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Perubahan model politik ketahanan pangan yang semakin melemahkan peran pemerintah
ini memunculkan kekhawatiran bila dikaitkan dengan fenomena-fenomena krisis pangan
sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Pergerakan model politik pangan ke PKPNK
tersebut bertolak belakang dengan tuntutan kondisi pangan global. Hasil penelitian
Zoelick (mantan Presiden World Bank) terhadap 101 negara pada tahun 1960 dan 2012,
menunjukkan bahwa hanya negara-negara yang konsisten membangun ketahanan
pangannya, menyediakan infrastruktur yang mengkoneksi antar wilayah dan memberikan
perlindungan sosial bagi warga negaranya, yang akan mampu terlepas dari jeratan
“middle income trap“. Terlebih lagi, fakta menunjukkan adanya peningkatan jumlah
golongan menengah di Indonesia yang berkorelasi terhadap peningkatan konsumsi bahan
pangan, dari 45 juta konsumen pada tahun 2012 dan diperkirakan meningkat menjadi 135
juta pada tahun 2030.77
Fenomena krisis pangan di Indonesia ditandai dengan adanya sebuah paradoks tentang
posisi Indonesia sebagai produsen terbesar ketiga di dunia versi FAO pada tahun 2012, di
satu sisi, dan posisi Indonesia sebagai negara pengimpor terbesar nomor satu di dunia
(BPS, 2011) di sisi yang lain. Fenomena paradoks dalam masalah pangan di Indonesia
tersebut diakibatkan oleh masalah yang kompleks dari hulu ke hilir. Masalah hulu ditandai
dengan adanya perubahan tren politik global yang semakin bergerak ke arah liberalisasi
politik di mana peran negara sebagai regulator makin berkurang. Sedangkan masalah hilir
ditandai dengan lima indikator kegagalan ketahanan pangan, yaitu: (i) minimnya
ketersediaan dan perlindungan lahan pertanian, (ii) rendahnya tingkat kesejahteraan
petani, (iii) mismanajemen kelembagaan petani, (iv) kegagalan transformasi menuju
diversifikasi pangan, dan (v) minimnya sarana penunjang pertanian.
77
Diolah dari http://www.setneg.go.id//index.php?
option=com_content&task=view&id=6739&Itemid=29
60
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Masalah hulu dari semua masalah dalam pembangunan adalah tentang bagaimana
mayoritas warga dunia memandang peran Negara dalam menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan hidupnya. Dalam masalah pangan pun demikian: Jika warga dunia
meyakini bahwa dengan makin sedikit peran negara dalam urusan pangan, mereka akan
lebih berhasil mencapai tujuan dalam bidang pangannya, maka mereka akan
meminimalisir peran-peran Negara melalui mulai dari konvensi internasional hingga
regulasi-regulasi yang bersifat nasional/lokal. Krisis pangan di Indonesia tidak lepas dari
cara pandang warga dunia yang demikian. Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dalam pelaksanaannya mengalami pelemahan kewenangan pemerintah dalam
bidang pangan. Salah satu penyebabnya adalah karena keberadaan Undang-undang No. 5
Tahun 1960 tentang Agraria yang belum direvisi. Selain juga, peraturan perundang-
undangan lainnya yang bersifat khusus dalam menerjemahkan regulasi politik pangan
tersebut. Dengan tren kondisi masalah yang demikian, maka Lembaga memandang bahwa
adalah tidak tepat manakala RPJM ke-1 (2005-2009) dan RPJM ke-2 (2010-2014)
ditujukan untuk pemantapan kualitas sumber daya manusia hingga memiliki daya saing
perekonomian. Tujuan RPJM yang demikian justru akan menguatkan terjadinya
individualisasi yang mendorong penguatan pasar.
Dalam RPJMN 2010-2014, dinyatakan bahwa salah satu sasaran utama pembangunan
nasional adalah memperkuat pembangunan demokrasi (poin 2), yang diterjemahkan
dalam kebijakan ketahanan pangan (poin 5 dari 11 prioritas nasional) berupa revitalisasi
pertanian untuk kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
Persoalan ketahanan pangan terkait dengan kesejahteraan petani ditunjukkan dengan
terjadinya peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7% dan Indeks NTP
sebesar 115-120 pada tahun 2014. Maka bila dikaitkan dengan masalah hulu yang disebut
sebelumnya, kebijakan penanganan masalah pangan tersebut perlu direvisi. Dalam bahasa
yang sederhana, problem politik ketahanan pangan adalah menipisnya kredibilitas politik
negara berhadapan dengan kekuatan pasar, tetapi revitalisasi kebijakan yang dilakukan
justru memperkuat instrumen para pelaku pasar.
61
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dalam perspektif politik, MP3EI sebenarnya bisa dilihat sebagai “GBHN” Indonesia di
bidang ekonomi. Karena itu, meski MP3EI tidak dibuat dengan dasar hukum yang
setingkat undang-undang, MP3EI berpotensi mengekang inisiatif politik pembangunan
ekonomi pangan pada pemerintahan berikutnya apabila terjadi perubahan the ruling
party. Hal itu dikarenakan karena roadmap pelaksanaan MP3EI melampaui batas masa
pemerintahan. Bahkan ketika partai pengusung Presiden Susilo Bambang Sudhoyono
mengalami kekalahan telak pada Pemilu Legislatif 2009, Kepala BAPENAS pada rezim
Pemerintahan SBY “merekomendasikan” untuk tetap meneruskan Program MP3EI.
Dari sisi implementasi, MP3EI sebenarnya merupakan program percepatan yang positif
dalam menarik investasi asing dan swasta ke pembangunan ekonomi nasional. Namun,
sayangnya program tersebut diberlakukan terlambat, yaitu pada tahun 2011, hanya tiga
tahun sebelum berakhirnya masa pemerintahan SBY. Padahal semestinya ia diluncurkan
sejak tahun 2005, setahun setelah Pemerintahan SBY memerintah tahun 2004.
62
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Keterlambatan tersebut selain membuat daya aplikasi program tersebut menjadi kurang
kuat, juga menimbulkan pertanyaan seputar motif pengusungan MP3EI, apalagi secara
historis diketahui bahwa perumusan program tersebut dilakukan setelah “Tim Ekonomi
SBY” pulang dari Cina. Berbagai catatan tersebut mengharuskan Program MP3EI
dievaluasi. Chalid Muhammad, Ketua Institut Hijau Indonesia mengatakan: 78
MP3EI juga mengalami problem orientasi. Program ini dibangun atas dasar argumen
tentang pentingnya membangun daya saing Indonesia di dunia, tetapi mengapa wilayah
pembangunan sektor pangan dibatasi hanya di KE Sulawesi dan KE Papua-Kepulauan
Maluku? Apakah daerah-daerah lain tidak memerlukan penguatan pembangunan pangan?
Kemudian, bagaimana dengan komitmen negara untuk memastikan ketersediaan lahan
pangan, sementara wilayah-wilayah lain di luar dua koridor tersebut boleh
dialihfungsikan untuk pembangunan industri, pertambangan dan sektor lainnya yang
padat modal? Wajar jika muncul dugaan adanya pengalihan lahan produktif di KE
Sumatra, KE Jawa, KE Kalimantan, dan KE Bali-Nusa Tenggara.
63
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
bea masuk (import tariff). Selain itu, pemerintah juga bisa memberi
subsidi supaya pihak yang terlibat juga semakin konsisten dan serius
menerapkan konsep ramah lingkungan.”79
Implementasi politik pangan di Indonesia dapat dilihat dari capaian Renstra 2010-2014
dan Laporan Kinerja Kementan terkini sebagaimana paparan di atas, yang secara normatif
bisa dilihat wajar jika kriterianya adalah empat sasaran utama dan 14 (empat belas)
sasaran indikator sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Namun secara filosofis,
pemerintah dipandang gagal karena tidak berhasil mengendalikan apa yang menjadi
domain utamanya, yaitu kewenangan untuk mengendalikan dan mengeksekusi apa yang
perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pangan. Kegagalan ini mengakibatkan
munculnya masalah-masalah turunannya.
Masalah penting lain yang secara tidak langsung mempengaruhi dua persoalan di atas
adalah masalah mismanajemen yang terjadi dalam kelembagaan pertanian. Sebagaimana
namanya, ia seharusnya dikelola oleh dan didedikasikan untuk kepentingan para petani.
Dalam adagium politik, semestinya berlaku “dari petani, oleh petani, untuk petani”.
Mismanajemen kelembagaan terlihat secara jelas, misalnya, dalam organisasi seperti
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI); apakah para elit politiknya adalah para
79
http://jaringnews.com/ekonomi/umum/20148/kadin-nilai-konsep-mp-ei-banyak-masalah
diakses 7 April 2014
64
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Masalah lainnya yang krusial mengenai kelembagaan pangan adalah terkait dengan
‘perebutan’ kewenangan impor beras antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian
Perdagangan, yang menimbulkan kekisruhan. Contohnya, kekisruhan beras yang terjadi
pada tahun 2013 ditandai dengan sikap saling lempar tanggung jawab tentang masuknya
beras impor dari Vietnam saat publik mempertanyakannya. Ketidakjelasan tanggung
jawab tersebut seirama dengan rebutan kewenangan dalam perijinan impor beras. Hal ini
menguatkan dugaan adanya rent seeking dalam ‘komisi’ impor, yang pada akhirnya
mempengaruhi pembentukan harga beras, dan pada gilirannya menyebabkan terjadinya
ekonomi biaya tinggi, atau dengan kata lain, korupsi. Pola koruptif yang sama juga terjadi
pada mata rantai distribusi produksi beras lokal. Akibatnya harga beras domestik
seringkali lebih tinggi dibanding harga beras impor. Inilah yang menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan sulitnya membendung impor beras pada saat produksi lokal sedang
surplus, sebagaimana dipaparkan dalam bagian analisa Ekonomi.
Variabel lain dalam persoalan ketahanan pangan yang juga penting untuk dikaji adalah
diversifikasi pangan. Dengan besarnya angka impor beras, sudah semestinya pemerintah
mengalihkan fokus bahan pangan dasar dari beras ke bahan pangan dasar lainnya, seperti
sagu atau jagung. Sebagaimana diketahui, sebagian besar masyarakat Indonesia sulit
beranjak dari beras sebagai pilihan makanan utamanya. Persoalan kultural yang
menghambat kelancaran program diversifikasi pangan ini adalah adanya anggapan bahwa
‘kalau belum makan nasi, artinya belum makan’ walau yang bersangkutan sudah makan
roti, misalnya. Kurang berhasilnya pemerintah dalam melakukan transformasi menuju
diversifikasi pangan ini berangkat dari kegagalan memberi makna yang sama tentang
kandungan gizi atau zat dari bahan pangan dasar yang berbeda.
Terakhir, meski bukan berarti tidak ada variabel lain yang penting untuk dilihat dalam
persoalan ketahanan pangan, adalah minimnya sarana penunjang pertanian. Ini terlihat
mulai dari kegagalan pemerintah menciptakan sistem irigasi dan pembenihan yang
memungkinkan para petani dapat melakukan panen tiga kali dalam setahun, hingga
65
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
66
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pangan, menurut rumusan Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia.
67
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
Saat ini terpenuhinya kebutuhan akan pangan, terutama beras, masih diperoleh dari
impor. Dengan kata lain, Indonesia belum sepenuhnya mandiri dalam hal memproduksi
pangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan
kearifan lokal secara bermartabat. Ini dapat diartikan bahwa Indonesia masih harus
berupaya keras agar berdaulat di bidang pangan.
Agar bangsa Indonesia ajeg dan mampu menyediakan pangan bagi rakyatnya, maka upaya
untuk mencapai Kedaulatan pangan harus dilandasi oleh Ketahanan pangan dan
Kemandirian pangan. Dengan kata lain, praktek penyelenggaraan pengadaan pangan, yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan memberikan manfaat secara
adil, merata dan berkelanjutan, harus berdasarkan pada ketahanan pangan, kemandirian
pangan dan kedaulatan pangan.
Hal ini berarti bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi pangan masyarakat
sampai pada tingkat perseorangan, Negara mempunyai kebebasan untuk menentukan
kebijakan pangannya secara mandiri, tidak didikte oleh pihak mana pun, dan para pelaku
usaha pangan mempunyai kebebasan untuk menetapkan dan melaksanakan usahanya
sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya. Pemenuhan kebutuhan pangan juga harus
mengutamakan produksi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan
lokal secara optimal. Untuk mewujudkan hal tersebut, (3) tiga hal pokok yang harus
diperhatikan adalah (i) ketersediaan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber
68
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
daya lokal secara optimal, (ii) keterjangkauan pangan dari aspek fisik dan ekonomi oleh
seluruh masyarakat, serta (iii) pemanfaatan pangan atau konsumsi Pangan dan Gizi untuk
hidup sehat, aktif, dan produktif.
Hukum merupakan sistem atau satu kesatuan tatanan yang utuh, yang terdiri atas bagian-
bagian yang saling berkaitan erat satu dengan lainnya. Sistem Hukum 80 adalah sebuah
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan (interaksi) satu sama
lainnya dan bekerja berdasarkan asas-asas tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Di dalam kesatuan tersebut tidak dikehendaki adanya konflik, pertentangan atau
kontradiksi antara bagian-bagiannya. Apabila terjadi konflik, maka akan segera
diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri.
Sistem hukum mempunyai sifat yang konsisten, namun di dalamnya sangat dimungkinkan
terjadinya konflik antar berbagai kepentingan, oleh karena itu diperlukan suatu asas-asas
umum yang membuatnya selalu konsisten, yaitu: lex superior derogat legi inferiori
(ketentuan yang lebih tinggi mengenyampingkan ketentuan yang lebih rendah), lex
posteriori derogat legi priori (ketentuan yang lebih akhir mengenyampingkan ketentuan
yang telah ada sebelumnya), dan lex specialis derogat legi generali (ketentuan yang lebih
khusus mengenyampingkan ketentuan yang lebih umum sejauh mengatur hal yang sama).
Mochtar Kusumaatmadja, dalam uraiannya tentang fungsi hukum, antara lain mengatakan
bahwa “... guna mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan”, 82 hukum harus
80
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1966, hal. 108.
81
Marwan Maas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2004, hal. 100.
82
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung,
hal. 11
69
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Guna menjamin proses pembangunan berjalan secara efektif, efisien, dan mengenai
sasaran maka diperlukan konsistensi dalam pelaksanaan rencana Pembangunan Nasional
yang dapat menjamin tercapainya tujuan negara melalui sistem perencanaan
pembangunan Nasional.
Pada masa orde baru, Bangsa Indonesia menyusun rencana pembangunannya melalui
penyusunan Ketetapan MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai
acuan bagi Presiden dalam menyusun Keputusan Presiden tentang Rencana Pembangunan
Lima Tahun. Setelah Amandemen Undang Undang Dasar 1945, pola tersebut diganti
dengan diterbitkannya Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, yang kemudian dijabarkan ke dalam Undang-undang No. 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025, selanjutnya disebut sebagai
RPJP Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20
(dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025. Kemudian ayat
(2)-nya menyatakan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005–
2025, selanjutnya disebut sebagai RPJP Daerah, adalah dokumen perencanaan
pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun, dan ayat (3)-nya menyatakan
bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, selanjutnya disebut RPJM
Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima)
70
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
tahunan, yaitu RPJM Nasional I Tahun 2005–2009, RPJM Nasional II Tahun 2010–2014,
RPJM Nasional III Tahun 2015–2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020–2024.
71
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
PERPRES ttg
PP 26/2008 ttg RTRW
RPJM NAS NASIONAL
2010-2014
PERDA ttg
PERDA ttg RTRW PROV
RPJM PROV
PERDA ttg
RPJP KAB/KOT
PERDA ttg
PERDA ttg
RTRW K/K
RPJM KAB/KO
72
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Peraturan Presiden tentang MP3EI tersebut ditindaklanjuti dengan Inpres No. 14 Tahun
2011 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Tahun 2011, dan Menteri
Pertanian mendapatkan amanat untuk menjalankan tugas yang meliputi 10 Rencana Aksi
dan 26 Sub Rencana Aksi. Kesepuluh Rencana Aksi tersebut mencakup: (1) Peningkatan
integrasi PNPM penguatan; (2) Pengelolaan air untuk pertanian; (3) Peningkatan produksi
ternak ruminansia; (4) Penyaluran bantuan dan subsidi benih tanaman pangan; (5)
Penyaluran pupuk bersubsidi; (6) Perluasan areal pertanian; (7) Pengembangan
ketersediaan dan penanganan rawan pangan; (8) Percepatan penganeka-ragaman
konsumsi pangan; (9) Pengembangan sistem distribusi dan stabilitas harga pangan; dan
(10) Konsep kebijakan penyediaan subsidi beras untuk masyarakat berpenghasilan
rendah/raskin. Ke 10 (sepuluh) Rencana Aksi di atas ternyata tidak menjadi bagian atau
lanjutan dari target utama Kementerian Pertanian, sehingga dapat dikatakan Renstra
Kementerian Pertanian sulit untuk dilaksanakan.
73
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
DIY Yogyakarta No. 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan;
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 4 Tahun 2012 tentang Kemandirian Pangan;
Peraturan Daerah Provonsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Berkelanjutan; Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu No. 5
Tahun 2010 tentang Badan Ketahanan Pangan; Peraturan Daerah Kabupaten Tulung
Agung No. 6 Tahun 2011 tentang Ketahanan Pangan; dan Peraturan Daerah Kabupaten
Pasuruan No. 21 Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan.
Pembentukan Peraturan Daerah Jawa Barat tentang Kemandirian Pangan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan; Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan;
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal; Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun
2008-2013; dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 27 Tahun 2010 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
74
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Pemerintah
No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, serta Peraturan Pemerintah No.1 Tahun
2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Sementara itu, Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu No. 5 Tahun 2010
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Ketahanan Pangan dibuat dengan
mengacu pada, antara lain, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996, yang telah diubah
dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor
68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009
tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal, dan tentu saja Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Perda tingkat Kabupaten ini dibuat untuk meningkatkan status Kantor Ketahanan
Pangan kabupaten menjadi Badan Ketahanan Pangan, dengan pertimbangan bahwa untuk
meningkatkan dan membentuk manusia yang berkualitas, mandiri dan sejahtera melalui
perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi serta terjangkau
oleh daya beli masyarakat, diperlukan berbagai upaya yang sistematis dan terintegrasi
yang dapat mengoptimalkan tugas dan fungsi ketahanan pangan di Kabupaten Ogan
Komering Ulu.
Kemudian Peraturan Daerah Kabupaten Tulung Agung No. 6 Tahun 2011 tentang
Ketahanan Pangan, yang dibentuk berdasarkan pertimbangan ketahanan pangan
merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan manusia yang
berkualitas, mandiri, dan sejahtera, dan ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui
ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar
merata di seluruh wilayah, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, mengacu pada
antara lain Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang No. 41
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Peraturan
Presiden No. 83 Tahun 2006 Tentang Dewan Ketahanan Pangan, Peraturan Presiden No.
22 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Percepatan Penganeka-ragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 30 Tahun 2008
Tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa.
Kabupaten Pasuruan pada tahun 2012 menerbitkan Peraturan Daerah No. 21 Tahun 2012
tentang Ketahanan Pangan, dengan pertimbangan bahwa ketahanan pangan merupakan
hal yang sangat mendasar dalam rangka mewujudkan pembangunan manusia yang
75
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
berkualitas, mandiri dan sejahtera, melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup,
aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Peraturan Daerah tersebut mengacu pada, antara
lain, Undang–undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Peraturan Pemerintah
No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2006
tentang Dewan Ketahanan Pangan, Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Lokal, dan
Peraturan Menteri Pertanian No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang MP3EI
2011-2025 telah merubah sistem perencanaan yang telah terbentuk berdasarkan Undang-
undang No. 25 Tahun 2004, jo. Undang-undang No. 17 Tahun 2007. Selain itu, bukan
hanya Undang-undang tentang RPJP Nasional yang harus berubah, tetapi ada 34 Perda
tentang RPJP Provinsi, Perda tentang 414 Kabupaten dan 1 Kabupaten Administrasi, serta
92 Perda Kota dan 5 Kota Administrasi yang juga harus berubah untuk menyesuaikan
dengan MP3EI. Selain itu, tidak kurang dari tiga Menteri Koordinator, 31 Kementerian dan
sekurang-kurangnya 11 Lembaga non Kementerian, harus pula merubah Rencana
Strategisnya untuk menyesuaikan dengan MP3EI.
Apabila ditinjau dari segi hukum, LPIKP berpandangan bahwa terbitnya Peraturan
Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang MP3EI tidak tepat menggunakan bentuk Perpres.
Seharusnya bentuk yang digunakan adalah Perpu yang setingkat dengan bentuk undang-
undang.
1. Kepentingan Umum
Dalam analisis bidang Ekonomi, terlihat bahwa kriteria ‘kepentingan umum’ yang
ada dalam peraturan perundang-undangan menjadi salah satu ancaman terhadap
76
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
77
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Sewa;
16 Prasarana Pendidikan atau Sekolah
Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
17 Prasarana Olahraga Pemerintah/
Pemerintah Daerah;
18 Pasar Umum dan Lapangan Parkir Umum
Dari Tabel 14 tersebut, terlihat bahwa Undang-undang No. 2 Tahun 2012 telah
memperluas pengertian ‘Kepentingan Umum’, antara lain dengan ditambahkannya 8
(delapan) Kepentingan Umum lainnya, yang sebelumnya tidak tercantum dalam Undang-
undang No. 41 Tahun 2009 yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun
2011. Dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tersebut, pengadaan lahan untuk kegiatan
pertanian pangan sebagai bagian dari kepentingan umum hanya satu, yaitu pengadaan
lahan untuk waduk dan irigasi.
Lembaga berpendapat, mengingat kecilnya luas lahan pertanian, 7,1 juta ha, serta
besarnya tuntutan kebutuhan untuk memperluas menjadi 15 juta ha, maka seharusnya
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk ‘kepentingan umum’ tidak mengambil alih
lahan pertanian pangan, atau dikecualikan terhadap lahan pertanian, khususnya lahan
pertanian pangan di kawasan pertanian. Di samping itu, mengingat bahwa hampir seluruh
rakyat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan utama, dan besarnya
keinginan untuk membangun Kemandirian menuju Kedaulatan Pangan, maka pengadaan
78
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dalam proses pembentukannya, Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentu telah melalui
proses pembahasan yang intensif, sehingga dalam pembahasannya sudah memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dan bahkan dalam pembentukannya
telah dilakukan harmonisasi dengan Undang-undang yang berlaku, yakni Undang-undang
No. 41 Tahun 2009, dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2011. Namun, terbitnya
Undang-undang ini justru akan memperkuat kegiatan non pertanian pangan serta akan
jauh meninggalkan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan
sekaligus mengancam upaya pencapaian Kedaulatan Pangan. Konflik ketentuan-ketentuan
tersebut di atas menunjukkan adanya konflik nilai, atau dengan kata lain dapat diartikan
bahwa politik hukum di bidang pangan tidak konsisten.
Dalam hal ini tampak Kementerian Pertanian kurang sigap dalam melihat ancaman yang
sedianya akan muncul dari terbitnya Undang-undang No.2 Tahun 2012 tersebut,
khususnya mengenai ancaman akan berkurangnya luasan lahan pertanian dan tidak
terwujudnya luas lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diharapkan, yang mana
pada gilirannya akan menimbulkan krisis pangan secara berkelanjutan.
79
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
lahan pertanian pangan, yang pada gilirannya mengancam daya dukung wilayah
secara nasional dalam menjaga ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan.
Dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, perlu didukung dan diperkuat dengan
komitmen terhadap Pembangunan Berkelanjutan84, yaitu proses pembangunan yang
berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan”.
Mengingat bahwa hak atas pangan adalah hak asasi setiap warganegara yang
dijamin oleh negara, maka negara berkewajiban menjamin ketahanan, kemandirian
dan kedaulatan pangan. Indonesia sebagai negara agraris seharusnya menjamin
penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber
kehidupan dan pekerjaan yang layak bagi warganegaranya dengan mengedepankan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan
ekonomi nasional. Jaminan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini
memerlukan pembaruan agraria yang terkait dengan penataan kembali peruntukan,
pemanfaatan, pengusaan, kepemilikan dan penggunaan pemanfaatan sumber daya
agraria.
84
Kementerian Pertanian, Pertanian – Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa
Depan, Dokumen Pendukukng Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045, Hlm 2.
80
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
81
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
82
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
3. Kesejahteraan Petani
85
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 5
86
Marwan Maas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2004, hal. 95.
83
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Hukum tersusun secara hierarkis. Ketentuan hukum yang lebih rendah, bersumber
dari ketentuan hukum yang lebih tinggi, dan ketentuan hukum yang paling tinggi
adalah Grundnorm. Ketentuan hukum yang lebih rendah, sifatnya lebih konkret dan
lebih spesifik.
Beranjak dari pengertian serta fungsi hukum tersebut di atas, Lembaga menganalisis
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberdayaan petani, sebagai
berikut:
Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dan ayat (2)-nya
mengatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Kedua ketentuan di atas merupakan perintah sekaligus petunjuk arah bagi bangsa
Indonesia dalam membangun perekonomiannya serta menentukan bidang-bidang
perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak. Mengingat 70% rakyat
87
Op. Cip. hal. 11.
84
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang untuk:
85
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
a. Hak milik,
b. Hak guna-usaha,
c. Hak guna-bangunan,
d. Hak pakai,
e. Hak sewa,
f. Hak membuka tanah,
g. Hak memungut-hasil hutan,
86
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Selain hak-hak yang disebut di atas, dewasa ini telah berkembang ‘Hak Pengelolaan’,
yang meskipun tidak tercantum dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960, tetapi
dalam praktek sudah lama dipergunakan untuk memenuhi perkembangan
kebutuhan akan tanah/lahan. Hak pengelolaan ini dapat diberikan kepada
perorangan maupun kelompok, namun sifatnya sementara.
87
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
a. religi;
b. pertambangan;
g. sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air,
dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h. fasilitas umum;
88
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pasal 3 Undang-undang tersebut menyatakan bahw Sumber daya air dikelola secara
menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Pasal 4 menyatakan Sumber daya air mempunyai fungsi sosial,
lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara
selaras.
89
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
pengelolaan sumber daya air disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip
keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Penyusunan pola pengelolaan
sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha
seluas-luasnya. Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada prinsip
keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air.
90
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah
susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung
dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Kesejahteraan petani juga sangat terkait dengan sampai sejauh mana mereka
diberdayakan. Pasal 40 Undang-undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani, menyatakan bahwa pemberdayaan petani adalah segala
91
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Petani yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan serta memenuhi kriteria
tertentu yang akan ditetapkan, berhak memperoleh bantuan modal baik dalam
bentuk lahan garapan maupun dalam bentuk dana dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah, sehingga dengan demikian ‘bertani tanaman pangan’ layak
dinyatakan sebagai suatu Profesi, lengkap dengan segala hak dan kewajibannya.
92
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Badan Usaha Milik Petani berbentuk Koperasi atau badan usaha lainnya berasaskan
kekeluargaan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlakuan
yang istimewa terhadap petani ini dilandasi oleh ketentuan Pasal 33 ayat (2)
Undang Undang Dasar 1945, mengingat profesi petani ini menyangkut hajat hidup
orang banyak sehingga harus mendapat perhatian yang khusus.
93
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Badan Usaha Milik Petani, sebagai suatu lembaga yang pembentukannya wajib
difasilitasi oleh pemerintah/pemerintah daerah, tetapi tidak menjadi sasaran utama
dalam Renstra Kementerian Pertanian. Upaya untuk membangun perkoperasian
yang berasaskan kekeluargaan dan mengandalkan kumpulan orang, telah lama
menyimpang dengan berkembangnya Koperasi Usaha Tani yang lebih
mengandalkan kumpulan modal. Dengan demikian, Badan Usaha Milik Petani
diharapkan mampu menempatkan petani pada posisi tawar yang setara dengan
badan usaha-badan usaha lainnya.
94
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Berdasarkan Renstra Badan Ketahanan Pangan 2010 – 2014, Visi Badan Ketahanan
Pangan Kementerian Pertanian adalah ”menjadi institusi yang handal, inovatif, dan
aspiratif dalam pemantapan ketahanan pangan”. Untuk mencapai visi tersebut,
maka disusun misi Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, yakni: (1)
Peningkatan kualitas pengkajian dan perumusan kebijakan pembangunan
ketahanan pangan; (2) Pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan
88
Romli Atmasasmita, Tiga Paradigma Hukum dalam Pembangunan Nasional, Makalah, Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Tanpa Tahun, hal. 11.
95
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dalam melaksanakan tugas sehari-harinya, BKP didukung oleh empat orang Eselon
II dengan struktur organisasi, yaitu: Sekretariat Badan, Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan Pangan, Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, serta Pusat
Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan.
Pada tahun 2006 terbit Peraturan Presiden No. 53 Tahun 2006 tentang Dewan
Ketahanan Pangan.89 Dewan Ketahanan Pangan (DKP) ini adalah lembaga non-
kementerian yang dipimpin oleh seorang Ketua, dan memiliki tugas membantu
Presiden dalam: a. Merumuskan kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan
pangan nasional; dan b. Melaksanakan evaluasi dan pengendalian dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan nasional. Tugas-tugas tersebut meliputi kegiatan di
bidang penyediaan pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganeka-
ragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi.
96
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
97
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Keputusan Presiden No. 84/P Tahun 2009, mengatakan bahwa untuk melaksanakan
sebaik-baiknya tugas Presiden di dalam menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional, dipandang perlu
membentuk dan mengangkat Menteri Negara Kabinet Indonesia Bersatu II periode
2009-2014, dengan susunan yang diawali dengan Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; dan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat; dan Menteri-menteri lainnya, termasuk Menteri Pertanian.
Untuk lima tahun mendatang (2015 – 2019), seyogyanya yang dikedepankan bukan
konsep Ketahanan Pangan, melainkan Kedaulatan Pangan yang ditunjang oleh
Ketahanan dan Kemandirian Pangan yang handal. Selain itu, ke 18 anggota DKP
yang tersebut di atas selayaknya dikelompokan menjadi instansi yang terkait secara
langsung dengan Kedaulatan Pangan, yang terdiri dari, antara lain: 1. Menteri
Dalam Negeri; 2. Menteri Perdagangan; 3. Menteri Kehutanan; 4. Menteri
Perhubungan; 5. Menteri Pekerjaan Umum; 6. Menteri Negara Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah; 10. Menteri Negara Riset dan Teknologi; 7. Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional; 8. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 9. Kepala Badan Pertanahan
Nasional, dan 10. Menteri Pertanian. Sedangkan sisanya adalah instansi-instansi
yang tidak secara langsung terkait dengan pembangunan di bidang pertanian
pangan.
98
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Perusahaan Umum (PERUM) BULOG yang selanjutnya disebut Perum BULOG adalah
Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, di mana seluruh modalnya dimiliki
Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Sifat
usaha dari Perum BULOG adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum
dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan.
Maksud didirikannya PERUM BULOG adalah: a. untuk menyelenggarakan usaha
logistik pangan pokok yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak; b. dalam hal tertentu melaksanakan tugas-tugas tertentu yang
diberikan Pemerintah dalam pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan
cadangan pangan Pemerintah dan distribusi pangan pokok kepada golongan
masyarakat tertentu, khususnya pangan pokok beras dan pangan pokok lainnya
yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam rangka ketahanan pangan. Tujuan
Perusahaan adalah turut serta membangun ekonomi nasional khususnya dalam
rangka pelaksanaan program pembangunan nasional di bidang pangan.
99
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh Pengelola Gudang yang telah memperoleh
persetujuan Badan Pengawas. Derivatif Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh
bank, lembaga keuangan non bank, dan pedagang berjangka yang telah mendapat
persetujuan Badan Pengawas. Resi Gudang dan Derivatif Resi Gudang dapat
diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat.
Resi Gudang terdiri atas Resi Gudang Atas Nama dan Resi Gudang Atas Perintah.
Resi Gudang Atas Nama adalah Resi Gudang yang mencantumkan nama pihak yang
berhak menerima penyerahan barang. Resi Gudang Atas Perintah adalah Resi
Gudang yang mencantumkan perintah pihak yang berhak menerima penyerahan
barang. Dengan demikian Petani dapat dilindungi dari terjadinya fluktuasi harga,
berdasarkan jaminan yang diperoleh dari Pengelola Gudang melalui Sistem Resi
Gudang.
100
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
diamanatkan dalam Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945, serta mengingat kualitas
lingkungan hidup yang makin menurun telah mengancam kelangsungan
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara sungguh-sungguh dan
konsisten oleh semua pemangku kepentingan.
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata,
sedangkan kegiatan pembangunan memerlukan sumber daya alam yang semakin
meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran
dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya
tampung, daya lenting dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada
akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus
dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas
keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus
dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan
berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta
pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.
101
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
102
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
BAB III
KEBIJAKAN PANGAN NASIONAL 2015-2019
Beranjak dari Analisis Kebijakan Nasional 2010-2014, Lembaga menyusun draft tentang
arah kebijakan, sasaran dan program yang merupakan Kebijakan Pangan Nasional 2015-
2019.
3.1. Pendahuluan
(Intro: Prof Ronny )
Untuk mencapai kedaulatan pangan, hal pertama yang harus dilakukan dan dicapai adalah
kemampuan memproduksi pangan yang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan
konsumsi aktual tetapi juga untuk mengantisipasi kebutuhan konsumsi bila terjadi
keadaan darurat (emergency). Oleh karenanya, kemampuan menghasilkan surplus
produksi adalah satu hal yang juga harus dilakukan tanpa syarat. Belajar dari
pembangunan sektor pangan periode 2009-2014, yang mana target surplusnya terbukti
kurang berhasil, maka target surplus 2015-2019 harus dapat tercapai. Terlebih bila kita
juga ingin mencoba menggeser posisi Vietnam atau Thailand sebagai negara pengekspor
beras terkuat di dunia, maka target surplus harus lebih dari 10 juta ton beras. Bahkan
mungkin 2 kali lipat pada tahun 2019 sehingga dapat mendorong kemampuan ekpsor
bahan pangan kita, minimal dalam lingkup regional ASEAN, atau lebih luas lagi ke tingkat
internasional.
Persyaratan utama untuk mencapai produksi dan surplus tersebut memerlukan upaya
lebih keras untuk juga meningkatkan input produksi. Dengan asumsi teknologi pertanian
Indonesia tidak akan berkembang secara ekstrem, maka input produksi utama adalah luas
lahan pertanian, modal uang dan manusia serta jumlah tenaga kerja petani.
103
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Perlu dicatat bahwa ‘Teknologi’ dalam arti ekonomi adalah “device” berbentuk apapun
termasuk mesin, keahlian, ketrampilan, ilmu pengetahuan, dan regulasi yang dapat
memungkinkan produksi meningkat tanpa harus meningkatkan jumlah input produksi
utama.
Dengan asumsi teknologi pertanian tidak dapat dikembangkan secara ekstrem, maka yang
diperlukan adalah upaya kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan
ketersediaan semua jumlah input produksi pangan. Selain itu, yang juga patut
diperhatikan adalah dalam ekonomi diyakini bahwa pola produksi yang dapat diterapkan
untuk meningkatkan output produksi harus mematuhi “Deminishing Return to Scale”91 dari
upaya meningkatkan produksi. Karenanya pemerintah Indonesia diharapkan untuk tidak
memilih pendekatan pembangunan pangan secara “sektoral parsial”, yaitu meningkatkan
output dengan cara menambah input produksi dengan ketersediaan salah satu input
produksi minimal dianggap tetap–sebuah pendekatan yang dirasakan sangat kental
nuansanya dalam pembangunan sektor pangan nasional selama ini di mana luas lahan
pertanian seakan dianggap tetap. Padahal dengan fakta adanya pengalihan fungsi lahan
dan makin sempitnya luas lahan pertanian selama ini, maka penambahan modal uang,
Sumber Daya Manusia, jumlah petani, bahkan teknologi sekalipun tidak akan mampu
mendorong peningkatan produksi seperti yang telah ditargetkan.
90
BPR, Perbankan Nasional, Swasta dan Pemerintah, termasuk Corporate Social Responsibility (CSR)
dan Pengembangan kerjasama Bina Lingkungan (PKBL) untuk pengembangan bidang
pertanian/pangan.
91
Nilai hasil yang semakin menurun secara tambahan marjinal.
104
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Kredit permodalan pertanian merupakan salah satu kebutuhan penting bagi mayoritas
petani di semua negara terutama negara-negera yang berbasiskan pertanian. Kelangkaan
permodalan usaha pertanian dapat berpengaruh terhadap produktivitas dan pendapatan
petani, khususnya bagi petani kecil non pemilik lahan. Untuk memutus lingkaran setan
dari pendapatan petani, akumulasi modal, kemampuan membeli input produksi, serta
produktivitas yang semuanya rendah maka kredit permodalan dianggap salah satu alat
pemutus kejadian serta masalah tadi (Tampubolon, 2002). Pentingnya peranan kredit
permodalan usaha pertanian disebabkan oleh: (i) kenyataan bahwa modal secara relatif
merupakan faktor produksi non-alami (buatan manusia) yang persediaannya sangat
terbatas terutama di negara-negara yang sedang berkembang; (ii) upaya yang cukup sulit
dan kompleks untuk mempertahankan atau memperluas lahan pertanian; dan (iii) potensi
ketersediaan jumlah tenaga kerja petani yang melimpah.
Berbagai program terobosan telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain: 1) Proyek
Peningkatan Pendapatan Petani (Kementerian Pertanian); 2) Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) yang dibina Kementerian Sosial; 3) Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
Sejahtera (UUPKS) yang dibina BKKBN; 4) Program Penguatan UKM yang dilaksanakan
Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dan 5) dan program-program lainnya untuk
pemberdayaan masyarakat dengan berbagai bentuk dan strateginya. Semua program
tersebut dimaksudkan untuk memberikan penguatan permodalan kepada masyarakat
miskin (kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses modal/kredit perbankan),
termasuk petani.
105
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Selain dari persyaratan utama yang dijelaskan sebelumnya, dengan melihat pengalaman
negara-negara berkembang lainnya92 dalam hal pembiayaan dan permodalan usaha
pertanian khususnya yang berskala usaha mikro, kecil, dan menengah maka untuk dapat
mendorong upaya pencapaian kedaulatan pangan, seluruh jasa kredit permodalan dan
pembiayaan usaha tani yang telah ada dan yang dapat dikembangkan seperti Bank
Pembangunan Pertanian93 harus distruktur sedemikian rupa guna mendorong inovasi
petani dalam pengoperasian usahanya.
92
Agence Francaise Development (2012), Creating Access to agriculture Finance, p. 107
93
Lihat Box 1.
106
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Tingkat risiko yang tinggi disebabkan oleh sistem pembiayaan di perbankan yang tidak
membedakan antara sektor pertanian dan non-pertanian. Karena itu bank pertanian
seharusnya mampu memberikan kredit dengan tingkat bunga yang lebih rendah berikut
sistem penyampaian modal dan sistem pengembaliannya, karena usaha dalam bidang
pertanian memang memiliki tingkat risiko yang tinggi. Faktor eksternal seperti
berubahnya iklim dan cuaca yang tidak menentu, dapat meningkatkan risiko gagal panen.
94
Angka berdasarkan data BPS, 2014. http://www.bps.go.id/?news=1063.
107
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
padi dibutuhkan sekitar Rp 1,2 juta per hektar dengan asumsi intensitas tanam 200%,
belum lagi dari komoditas pangan lainnya yang makin membuat keyakinan bahwa modal
kredit usaha pertanian masih membuka peluang adanya keuntungan bagi pihak
perbankan.
108
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
bank tak akan ragu untuk mengucurkan kreditnya. Untuk mencapai skala ekonomi yang
demikian, petani harus memiliki akses ke lahan yang besar. Dengan lahan seadanya, susah
bagi petani untuk mendapatkan keuntungan usaha. Pihak perbankan juga berpendapat
fungsi penyaluran kredit tersebut akan lebih efektif jika dilakukan oleh unit khusus di
masing-masing bank, bukan dengan membentuk bank khusus pertanian. Undang-Undang
Perlindungan Petani mengamanatkan bank milik negara utamanya untuk membuat unit
khusus, terlebih lagi dikhawatirkan pembentukan bank baru belum tentu efektif karena
untuk menyalurkan kredit bank perlu jaringan yang luas.
Cara lain yang juga dirasakan efektifitasnya adalah memberikan ruang yang cukup untuk
bank pertanian berbentuk Lembaga Keuangan Mikro yang berbasiskan komunitas petani
non koperasi di pedesaan. Secara aturan perbankan umum memang belum terdapat
regulasi yang pasti dan tegas, terutama menyangkut urusannya dengan pendirian bank
pertanian skala mikro ini, namun secara fakta Masril Koto dari Kecamatan Agam,
Sumatera Barat95 dapat menjadi contoh bagaimana sebuah LKM pertanian dapat didirikan
dan sekarang telah merambah ke seluruh pelosok daerah lain hingga mencapai 580 LKM
dengan 200 ribu petani yang menjadi anggota dan 250 milyar rupiah nilai asetnya. Di awal
pendirian hingga 500 bank tani, bank ini akhirnya mendapatkan izin dari Bank Indonesia
dengan nama Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Prima Tani karena terbentur aturan
perbankan tentang pembentukan bank terkait penjaminan resiko (collateral) yang masih
belum mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah. Pada prakteknya penjaminan
resiko dapat menggunakan peranan kearifan lokal misalnya dengan peran petinggi desa
(dato’ atau tetua kampung, pengumuman di mesjid tentang hukuman moral bagi
pelanggar perjanjian kredit, dan sebagainya.
http://swa.co.id/entrepreneur/masril-koto-membangun-jaringan-lembaga-keuangan-mikro-
di-sumatera-barat
109
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Beberapa elemen kunci yang diperlukan untuk mendorong permodalan dan pembiayaan
usaha pertanian yang inovatif:
Tujuan permodalan berbasis rantai nilai atau value change financing (VCF) adalah untuk
menjamin agar NPL dapat ditekan serendah mungkin, karena yang ditekankan adalah
aspek manajemen resiko. Resiko kredit akan dikurangi dengan adanya transfer teknologi
dan kontrak penjualan yang pasti. Pemicu keberhasilan VCF diharapkan terdorong oleh
adanya tautan (linkage) antara rekanan rantai nilai. Dalam sistem VCF, permodalan hanya
menjadi pelumas dari sistem permodalan secara lebih luas. VCF dalam strategi dan
kebijakan pertanian dan pangan nasional disini didefinisikan sebagai berikut (Miller,
2011):
110
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Permodalan berbasis rantai nilai ini menempatkan petani “gurem” 96 menjadi bagian dari
jaringan pedagang input produksi (benih, bibit, pupuk, dll), pembeli hasil produk
pertanian, pengolah produk pertanian (agro-processor), penyedia layanan pergudangan,
distributor/grosir, pengecer (retailer) dan konsumen akhir. Dengan usulan kami untuk
didirikannya Usaha Tani Bersama (UTB) yang merupakan sebuah badan usaha petani
yang menerapkan gabungan prinsip-prinsip perseroan terbatas dan koperasi 97—
Kesejahteraan anggota, Keuntungan bersama, dan Kekeluargaan (3K)—maka rantai nilai
faktual dalam rangkaian produksi, pengolahan, pemasaran dan distribusi hingga sampai
pada pihak konsumen dapat disederhanakan. Posisi penyedia input petani sampai dengan
posisi industri pengolahan hasil tani adalah aktivitas nilai yang harus diintegrasikan
96
Petani Gurem dalam hal ini adalah petani pengguna lahan, bukan petani pemilik lahan. Secara
definitif, petani gurem juga termasuk petani pemilik lahan dengan kepemilikan lahan tani di bawah 0,5
hektar.
97
Undang-undang RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang RI No. 17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian. (Catatan: Undang-undang RI No.17 Tahun 2012 ini sudah dicabut
oleh putusan MK No. 28/PUU-XI/2013 pada tanggal 28 Mei 2014 yang lalu.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_1702_28%20PUU%202013-
UUKoperasi-telahucap-28Mei2014-tdk%20dtrima-%20wmActionWiz.pdf)
111
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
dalam lembaga UTB ini. Kredit diberikan melalui rantai nilai, terutama dengan jaminan
dari antisipasi penjualan produk pangan di akhir rantai nilai.
Kotak 2: Potensi Permodalan dan Penerimaan Pajak dari Usaha Tani Bersama
Potensi Permodalan dan Penerimaan Pajak dari Usaha Tani Bersama (UTB)
Pada tahun 2013, BPS mencatat jumlah usaha rumah tangga petani adalah 26,14 Juta
rumah tangga. Dari total sejumlah 26,14 juta jiwa ini terdapat 14,25 juta petani pengguna
lahan yang disebut juga petani gurem, yang secara definisi adalah termasuk petani pemilik
lahan namun terbatas hanya di bawah 0,5 hektar, dengan kata lain tidak memiliki
kemampuan untuk permodalan yang cukup. Dengan demikian hanya terdapat sekitar
11,89 juta Rumah Tangga Pertanian yang bila mengacu pada ketentuan kepemilikan
saham sebesar @Rp5 sampai dengan @Rp15 juta minimal akan mampu mengumpulkan
modal sebesar Rp59.45 Trilyun sampai dengan Rp178.35 Trilyun, rentang jumlah moneter
yang cukup tinggi sebagai potensi permodalan awal sebuah usaha tani bersama, apalagi
bila 14,25 juta petani pengguna diperbolehkan pula menanam saham dalam UTB ini, maka
jumlah potensi permodalan UTB dapat lebih besar lagi. Mengingat UTB pastinya akan
berupa individu-individu badan usaha bersama yang tersegmentasi di tangan petani dan
secara geografis akan tersebar di banyak daerah khususnya pedesaan, maka tetap
dibutuhkan skema permodalan yang baik dari sisi perbankan atau lembaga keuangan non
perbankan lainnya termasuk dana hibah dan bantuan dari lembaga dalam dan luar negeri.
Namun dengan pendekatan UTB ini maka posisi daya tawar petani dapat lebih kuat karena
dengan dana awal berupa kepemilikan sawah oleh petani maka secara finansial, UTB
pastinya sudah ‘bankable’ dan lebih jauh lagi secara posisi daya tawar sebagai produsen
akan semakin kuat dalam melakukan negosiasi dan transaksi dengan konsumen dari
produk pertanian mereka. Pada akhirnya dengan skala usaha bersama yang menyebabkan
skala ekonomi lebih tinggi dari hanya sekedar usaha tani individual maka kesejahteraan
petani dan kestabilan harga bahan pangan akan lebih terjaga.
Selanjutnya upaya formalisasi bentuk Usaha Tani Bersama (UTB) akan berpotensi untuk
menambah besaran penerimaan negara melalui pajak Penghasilan Badan dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPh Badan dan PPn), yang selama ini sulit dibebankan pada petani individu
karena banyak dari mereka adalah pengusaha tidak kena pajak (bukan Wajib Pajak, WP).
Dengan asumsi Tax Rate PPn adalah sebesar 4,47% (rasio tertinggi pada kinerja Direktorat
Jenderal Pajak, DJP di tahun 2004), maka PPn yang dapat ditarik dari nilai tambah PDB Nominal
112
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
sektor Pertanian yang misalnya tahun 2012 sebesar Rp257,56 Trilyun adalah Rp11 Trilyun per
tahun.
Untuk PPh Badan bila diasumsikan dari permodalan UTB yang menjadi kekayaan/asset
perusahaan sebesar Rp500 juta (Pasal 6 UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah), maka dari hanya petani pemilik lahan saja yang bergabung dalam UTB
dengan saham sebesar @Rp15 Juta sudah akan tercipta kurang lebih 356.700 unit UTB yang
berkriteria UMKM dan dapat dikenakan 1% dari omzet tahunan mereka (berdasarkan PP No.
46 Tahun 2013 tentang PPh dari Usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki
Peredaran Bruto Tertentu). Bila diasumsikan lebih lanjut bahwa rata-rata tiap UTB
menghasilkan omzet tahunan sebesar @Rp4 Milyar saja maka akan ada total potensi
penerimaan PPh Badan bagi negara sebesar Rp14,27 Trilyun.
Berbagai jenis lembaga keuangan terlibat ketika mereka membiayai salah satu
ujung rantai nilai, yang kemudian saluran pendanaan diteruskan ke jalur berikutnya
(internal VCF), atau mereka dapat membiayai mitra rantai nilai secara langsung (external
VCF).
113
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Terlihat bahwa pada sistem VCF ini berbagai lembaga keuangan dari berbagai skema yang
telah ada, baik yang difasilitasi pemerintah, perbankan umum, maupun swadaya, dan
inisiatif masyarakat petani dapat dilibatkan (KUR, Resi Gudang, Perbankan umum),
bahkan beberapa skema permodalan dan perangkat lainnya seperti Bank Pembangunan
Pertanian, credit guarantee, dan asuransi pertanian98 dapat langsung diterapkan sesuai
dengan posisinya pada jalur rantai nilai. Namun tentunya sistem VCF ini tidak dapat
berjalan sendiri, karena sistem ini memerlukan infrastruktur dan suprastruktur yang baik,
selain juga pola kolaborasi99 yang tidak sekedar pola kerjasama biasa.
98
Asuransi Pertanian sudah diamanatkan dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2013 Tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, namun dalam implementasinya memang belum secara rinci
diatur oleh peraturan pemerintah.
99
Kolaborasi merupakan jenis kerjasama yang paling tinggi dengan aspek tanggungjawab yang tidak
terlalu mengikat tapi didasari oleh kepentingan bersama untuk mencapai tujuan yang sama walau
dengan cara yang dapat saja berbeda (Agranoff R. and Michael McGuire, 2003).
114
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Syarat terakhir dari kebijakan permodalan usaha pangan nasional adalah Pemerintah
seminimal mungkin melakukan intervensi langsung pada harga, dan bila memang masih
diperlukan maka peran Bank Indonesia hanya ditempatkan pada upaya untuk
mempengaruhi penetapan tingkat bunga pasar khusus dalam penyaluran kredit pertanian
dan usaha pangan.
115
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Pemenuhan pendidikan dasar dan kesehatan dasar juga tidak kalah pentingnya
dibandingkan dengan pemenuhan sarana jalan, irigasi, komunikasi, dan transportasi
dalam upaya menggerakan sektor pertanian agar lebih produktif. Selain itu yang juga tidak
kalah pentingnya adalah tersedianya sistem logistik pangan nasional yang kuat dimana
kewenangan pemerintah sebagai regulator wajib mengatur pula perdagangan bahan
pangan antar daerah dan juga antar negara. Praktik impor yang selama ini menjadikan
kesan adanya ketergantungan terhadap impor pangan sebenarnya banyak juga
diakibatkan oleh tidak mulusnya informasi dan komunikasi antar kelembagaan, baik
pelaku usaha, pengambil kebijakan publik, dan masyarakat umumnya tentang situasi
surplus dan defisit pangan antar daerah, harga input/ouput produksi, dan juga teknologi
yang dapat diterapkan seluruh pelaku usaha pertanian dalam meningkatkan
produktivitasnya.
Penguatan regulasi tentang bentuk kelembagaan usaha tani bersama (UTB) untuk
mengatasi kelemahan pengembangan usaha tani berbasis komunitas yang dapat
meningkatkan daya tawar posisi petani. Model UTB ini sangat membantu petani dan
memudahkan konsumen dalam transaksi dan kegiatan usaha pertanian. UTB juga
membuka kesempatan bagi petani untuk memiliki modal yang cukup di awal musim
tanam untuk membayar bibit dan alat-alat yang mereka butuhkan. Selain itu UTB juga
memudahkan konsumen untuk mendapatkan harga yang sesuai untuk produk pertanian
baik menurut petani maupun konsumen, juga tetap mengembangkan hubungan saling
menguntungkan antara kelompok petani UTB dengan konsumen. Model UTB 100 ini mampu
memutus siklus utang yang mengancam banyak petani, di mana mereka harus meminjam
uang di awal musim tanam dan kemudian berharap untuk membayar kembali pada akhir
masa panen. Dengan jaminan pembeli dan modal untuk memulai usaha, komunitas ini
dapat menstabilkan risiko dan meminimalkan utang. Model ini sangat cocok untuk petani
sayur-sayuran karena pendapatan mereka sangat tergantung pada skala usaha dan
freshness dari produk, walaupun model ini sekarang dapat saja diterapkan untuk
memasarkan produk yang beragam, termasuk daging, unggas, susu, bunga, dll.
100
Konsep UTB ini dapat dibaca pula dalam bahasan analisa hukum dan politik.
116
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Dengan demikian melalui UTB serta dukungan surprastruktur dan infrastuktur dapat
meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP) sehingga dapat menjamin keuntungan yang tinggi
dan marjin usaha yang lebih berkeadilan serta menjamin kesinambungan kesejahteraan
petani dan dapat mengatasi gangguan faktor teknis dan non teknis seperti cuaca ekstrim,
krisis politik dan juga krisis global.
NTP tidak serta-merta didapatkan dari ketersediaan lahan pertanian yang memadai tetapi
juga oleh sejauhmana produktivitas pertanian terlaksana. Produktivitas bukan hanya
diperoleh dari upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian itu sendiri, melainkan juga
dari dukungan kebijakan terhadap hal-hal yang di luar kapasitas masyarakat pertanian
atau para petani, seperti kebijakan perbenihan, kebijakan infrastruktur pertanian, dan
kebijakan-kebijakan lain yang mendorong produktivitas pertanian seperti dukungan
terhadap iklim usaha pertanian yang kondusif, yang membuat produktivitas para petani
menjadi bergairah.
Ukuran produktivitas yang langsung dirasakan para petani adalah soal tingkat pendapatan
petani. Saat ini rata-rata pendapatan per kapita pertanian hanya sekitar Rp4,69 juta per
tahun. Pada tahun 2014, Kementerian Pertanian mentargetkan pendapatan petani per
kapita tersebut dapat meningkat menjadi Rp7.93 juta per tahun. Hal itu berarti harus
diupayakan kenaikan pendapatan petani per kapita 11,1 persen setiap tahunnya. Karena
itu, apabila kedaulatan pangan tercapai pada tahun 2019, diharapkan pendapatan petani
minimalnya pada angka Rp10 juta.
117
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
4. Peningkatan diversifikasi pangan secara nasional, yang mana setiap program dan
kegiatan kelembagaan usaha pertanian lainnya terkait sesuai dengan kebiasaan
masyarakat daerah.101
7. Peningkatan jumlah produksi dan surplus pangan khususnya beras, baik dalam
keadaan normal maupun krisis.104
101
Hal ini dipandang perlu karena konsumsi beras sebenarnya hanya masalah pemenuhan karbohidrat
semata dan notabene dapat dipenuhi oleh kebiasaan dan budaya konsumsi pangan daerah sehingga
pemanfaatan beras, kentang, dan umbi-umbian di beberapa daerah dapat disikapi dengan arif, bahkan
justru dapat dimanfaatkan sebagai upaya melepaskan ketergantungan pada konsumsi beras yang
mungkin berkesan pemaksaan.
102
Regulasi terkait usaha tani, pendidikan dan kesehatan dasar, pelatihan ketrampilan merupakan
beberapa jenis suprastruktur yang harus diperkuat. Infrastruktur seperti jalan, transportasi, irigasi, dan
akses komunikasi akan mendukung pula kepada peningkatan produktifitas petani.
103
Terlihat bahwa isu krisis pangan masih menjadi isu yang tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat,
sangat ironis mengingat keterbukaan informasi selama ini tidak dapat dimanfaatkan untuk
menyadarkan seluruh lapisan masyarakat bahwa krisis pangan bukanlah hal kecil terlebih untuk
Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai negara agraris dan pengkonsumsi beras terbesar di dunia.
104
Peningkatan produksi dan surplus tidak hanya untuk dapat mencukupi konsumsi normal masyarakat
namun juga untuk konsumsi bersifat emergency atau precationary dan bahkan untuk meningkatkan
ekspor nasional. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk kira-kira 2% per tahun diperkirakan konsumsi
pangan akan semakin besar dalam 5 tahun kedepan, terlebih lagi industri makanan dan minuman yang
merupakan hilirisasi dari sektor pertanian di Indonesia sebenarnya sangat signifikan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja dan akumulasi dorongan konsumsi lewat biaya
tenaga kerja yang dikeluarkan pihak pengusaha.
Untuk industri makanan, minuman dan tembakau, kontribusinya per TW I Tahun 2014 sangat signifikan
terhadap perekonomian. Sebagai salah satu hilir dari sektor pertanian, industri ini mencatat hal-hal
berikut: (i) memiliki jumlah perusahaan terbanyak diantara jenis industri lain, (ii) jumlah penyerapan
118
KONSEP KEBIJAKAN KEDAULATAN PANGAN
Kebijakan pangan dalam bidang politik diarahkan pada penguatan hak dan kewajiban
negara dan komunitas petani dalam sektor pangan, khususnya beras. Penguatan hak dan
kewajiban sebagaimana dimaksud adalah dalam hal pengawasan dan sebagai pelaku
pasar, sedangkan penguatan kewenangan regulasi hanya untuk Negara. Penguatan hak
dan kewajiban mendorong terjadinya sinergi antara Negara dengan komunitas petani
dalam visi dan misi pengelolaan pertanian tanaman pangan menghadapi era persaingan
global. Penguatan yang dimaksud juga diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek
monopoli, perilaku pemburu rente (rent-seeking behavior) dan KKN, karena pada saat
yang sama kebijakan diarahkan pada penguatan masyarakat madani (civil society) yang
berfungsi sebagai penyeimbang terhadap peran negara, sekaligus mitra potensial dalam
penguatan kebijakan pangan dan implementasinya.
Kotak 3:
tenaga kerja terbanyak dibanding jenis industri yang lain; dan (iii) jumlah pengeluaran biaya tenaga kerja
terbesar dibanding jenis industri lain. Kelebihan dari industri makanan minuman dan tembakau ini
konsisten baik pada skala usaha besar, sedang, mikro, dan kecil.
119