Anda di halaman 1dari 48

CASE REPORT SESSION

G2P1A0 GRAVIDA 37-38 MINGGU


DENGAN HIV

Disusun Oleh :
dr. Hilman Triyadi Kusumah
Dokter Pendamping :
dr. Lilis Halim, MARS

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat

dan Karunia-Nya, sehingga saya dapat menyusun laporan presentasi kasus ini

sebagai salah satu tugas Dokter Internship di RSUD 45 Kuningan periode

November 2019 – November 2020.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna

karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan waktu. Oleh karena itu, kritik

dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan proses penyelesaian tugas

ini dan mohon maaf atas segala kekurangannya.

Akhirnya saya berharap semoga laporan presentasi kasus ini dapat

bermanfaat khsusunya bagi penulis dan bagi semua pihak yang membacanya.

Kuningan, Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halama
n
KATA PENGANTAR : ........................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................7
3.1 HIV................................................................................................................................11
3.1.1 DEFINISI..............................................................................................................11
3.1.2 EPIDEMIOLOGI.................................................................................................11
3.1.3 FAKTOR RISIKO...............................................................................................12
3.1.4 MANIFESTASI KLINIS.....................................................................................12
3.1.5 DIAGNOSIS.........................................................................................................15
3.1.6 PENATALAKSANAAN......................................................................................21
3.2 HIV PADA IBU HAMIL.............................................................................................31
3.3 HIV PADA BAYI DAN ANAK..................................................................................35
3.4 TERAPI GIZI PADA HIV..........................................................................................38
BAB IV ANALISA KASUS...................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................44

iii
2

BAB I
PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah

virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS

diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh

menurunnya kekebalan tubuh akibat masuknya virus HIV dalam tubuh

seseorang.1,2 Data yang tercatat di WHO pada tahun 2018, sebanyak 37,9 juta

orang di seluruh dunia terinfeksi HIV. Angka ini didominasi oleh beberapa negara

berkembang di seluruh dunia.3

Respon terhadap penanggulangan HIV di Indonesia berkembang secara

signifikan sejak tahun 2004. Jumlah orang yang menerima perawatan, dukungan

dan pengobatan terus meningkat dari tahun ke tahun namun masih banyak

hambatan bagi orang yang terinfeksi HIV untuk mendapatkan akses perawatan

dan pengobatan yang mereka butuhkan.

Program pengendalian HIV tidak cukup hanya dilaksanakan oleh jajaran

kesehatan saja namun harus pula melibatkan sektor lain dan masyarakat atau

komunitas terutama populasi kunci. Pelibatan ini mulai dari upaya pencegahan di

masyarakat hingga perawatan, dukungan dan pengobatan, sehingga program

pengendalian HIV tersebut merupakan upaya kesehatan masyarakat dan juga

sekaligus upaya kesehatan perorangan.


3

Pengobatan anti retroviral (ARV) di Indonesia pada awalnya diinisiasi di

rumah sakit. Pedoman tatalaksana HIV dan pengobatan antiretroviral telah lama

tersedia dan terus menerus diperbarui sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan, untuk digunakan sebagai pedoman dalam memberi layanan kepada

ODHA. Dengan makin bertambahnya jumlah kasus HIV dan meningkatnya

kebutuhan akan adanya akses layanan yang menyebar secara luas sehingga semua

orang dengan HIV dapat dengan mudah memulai ARV di dekat lingkungan

tinggalnya maka akses layanan perlu didekatkan ke masyarakat. Beberapa

propinsi seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Papua dan Papua Barat

berinisiatif menjadikan Puskesmas sebagai satelit untuk pengobatan ARV dari

rumah sakit dalam kerangka kerja Layanan HIV-IMS Komprehensif

Berkesinambungan (LKB). Untuk itu diperlukan suatu pedoman bagi Puskesmas

dalam melaksanakan program pengendalian dan layanan HIV AIDS dan PIMS

dengan baik.

Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy)

dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA =

Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka

panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan

mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.


BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
I. Identitas Pasien
• Nama pasien : Ny. J
• Jenis kelamin : Perempuan
• Usia : 27 tahun
• Alamat : Dusun Ciangir
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Pendidikan : SMP
• Status Perkawinan : Menikah
• Tanggal Kunjungan : 12 Februari 2019

Identitas Suami

• Nama Suami : Tn. J


• Umur : 32 thn
• Alamat : Jambi
• Pendidikan : SMP
• Pekerjaan : Buruh

II. Anamnesa

• Keterangan : G2P1A0 Gravida 37-38 minggu dengan B20 + Riwayat SC


• Anamnesis khusus :
Pasien G2P1A0 merasa hamil 9 bulan datang ke Poliklinik

Edelweis RSUD 45 Kuningan bersama bidan desa Puskesmas Cibingbin

dengan hasil pemeriksaan HIV reaktif. Pasien memiliki riwayat

pengobatan HIV di Poliklinik Edelweis RSUD 45 Kuningan selama 5

3
4

tahun sejak tahun 2013. Pada tahun 2018, pasien pindah tempat tinggal ke

Jambi mengikuti suaminya. Pasien tidak meneruskan pengobatan karena

akses ke Puskesmas terdekat berjarak 40km. Pasien merasa hamil sejak

bulan Mei dan tidak mendapatkan pengobatan HIV dan kontrol kehamilan

hanya ke dukun beranak.

Pasien merasakan gerakan janin dan menyangkal adanya keluhan

darah tinggi sebelum dan selama kehamilan, mulas-mulas, keluar air-air

dari jalan lahir, keluar lencdir bercapur darah dari jalan lahir.

 Riwayat Pernikahan :
Pasien sudah menikah 2 kali. Suami pertama pasien meninggal

karena batuk lama dan berdarah, berat badan turun drastis dan terlihat

sangat kurus. Suaminya pernah dilakukan pemeriksaan penunjang saat

dirawat di RSUD 45 Kuningan, dan diketahui mengidap penyakit HIV,

TBC, dan gagal ginjal.

Pasien menikah dengan suami kedua 6 bulan pasca meninggal

suami pertama. Ini merupakan pernikahan pertama suaminya. Suaminya

sudah dilakukan pemeriksaan HIV dan menunjukan hasil non-reaktif.

 Riwayat Obstetri
Tahun BB Umur Jenis Tempat
No JK Penolong Penyulit Ket
Lahir Lahir Kehamilan Persalinan Bersalin
RSUD 45
1. 2013 LK 3400 9 Bulan SC Dokter CVD Hidup
Kuningan
2. Hamil sekarang

 Riwayat Aktifitas Seksual


Berdasarkan riwayat sebelumnya pasien tiadak memiliki perilaku
seks yang berisiko.
5

 Riwayat HAID
 Siklus haid : Teratur 28 hari
 Lama haid : 7 hari
 Banyaknya darah : 2 kali ganti pembalut
 Nyeri haid : tidak nyeri
 Menarche usia : 14 tahun
 HPHT : 7 Mei 2019
 Taksiraan Persalinan : 14 Maret 2020
 Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi apapun.
 Riwayat Pre Natal Care
Pasien kontrol kehamilan hanya ke dukun beranak di Jambi dan

pertama kali ke Puskesmas Cibingbin.

 Riwayat Penyakit Terdahulu


Riwayat penyakit jantung, paru-paru, ginjal, diabetes millitus,

riwayat asma disangkal pasien dan riwayat hipertensi sebelum

kehamilan disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
• Keadaan Umum : Baik
• Kesadaran : Compos Mentis
• Tanda vital :
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 84 x /menit, reguler, equal, isi cukup
 Suhu : 36,1 0C
 Respirasi : 19 x/menit, regular
• BB Sebelum Hamil : 55 kg
• BB Sesudah Hamil : 67 kg
• TB : 159 cm
6

Pemeriksaan Fisik Umum


• Kepala
 Bentuk : Normocephal
 Wajah : Simetris, edema (-), deformitas (-)
 Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah rontok
 Mata : Konjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
 Telinga : Lokasi normal, simetris, daun telinga bentuknya normal,
sekret (-)
 Hidung : Lokasi normal, simetris, deviasi septum (-), sekret (-),
epistaxis (-)
 Mulut : Tidak ada kelainan
• Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP dbn
• Thorax :
 Pulmo : VBS kanan=kiri, Wheezing-/-, Ronkhi -/-
 Cor : Bunyi Jantung S1 S2 murni, regular, murmur (-), batas
jantung dalam batas normal
• Abdomen : Datar, lembut, BU (+), nyeri tekan epigastrium (-)
• Ekstremitas atas dan bawah : CRT < 2 detik, akral hangat, edema -/-

Status Obstetri
 Inspeksi : Cembung, Striae gravidarum (+), Linea Alba (-), Linea Nigra (+),
Luka bekas SC (+)
 TFU 34 cm
 HIS (-)
 DJJ: 148 x/menit
 Palpasi:
 Leopold 1 : Teraba bagian lunak,bundar, kesan bokong
 Leopold 2 : Teraba bagian-bagian terkecil janin sebelah kiri
Teraba bagian terbesar dari janin yang memanjang sebelah
kanan, kesan punggung
 Leopold 3 : Teraba bagian keras, bundar, melenting, kesan kepala
7

 Leopold 4 : Konvergen

IV. Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium Darah (13 Februari 2020)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 10,2 g/dL 12.0 – 16.0 d/dL
Hematokrit 27,9 % 35,0 – 47,0 %
Leukosit 7.300 /mm3 4.000 – 10.000 /mm3
Trombosit 267.000 /mm3 150.000 – 450.000 /mm3
Eritrosit 3,27 juta/µL 4,10 – 5,10 juta/µL
MCV 85,3 fL 80 - 96 fL
MCH 31,2 pg/mL 28 - 33 pg/mL
MCHC 36,0 g/dL 33 - 36 g/dL
GDS 80 mg/dL 70 – 120 mg/dL
SGOT 10 U/L 5 - 31 U/L
SGPT 7 U/L ≤34 U/L
Ureum 15 mg/dL 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 0,40 mg/dL 0.5 – 1.1 mg/dL
Natrium 139 mmol/L 135 – 145 mmol/L
Kalium 3,5 mmol/L 3,5 – 5,1 mmol/L
Kalsium 1,24 mmol/L 1,13 – 1,32 mmol/L
HIV Reaktif
HbsAg Negatif
Protein Urin Negatif
8

- Pemeriksaan EKG

Kategori Kesan
Irama Sinus Rhytm
Regularitas Regular
Rate 75 bpm
Axis Normoaxis
P-R Interval Normal (0,16 s)
P-wave Normal
QRS complex Normal
Q patologis Tidak ada
ST Segmen Isoelektrik
T-wave Normal
Gelombang U Tidak ada
Kesimpulan EKG dalam batas normal

V. Resume
9

Wanita, 27 tahun, G2P1A0 hamil cukup bulan dengan HIV tidak minum
obat 1 tahun SMRS. Selama hamil pasien tidak mendapatkan ARV. Taksiran
persalinan 14 Maret 2020. Keluhan tidak ada.
 Pemeriksaan Fisik
TTV : Dalam batas normal
Head to Toe : Dalam batas normal
Status Obstetri
 Inspeksi : Cembung, Striae gravidarum (+), Linea Alba (-), Linea Nigra (+),
Luka bekas SC (+)
 TFU 34 cm
 HIS (-)
 DJJ: 148 x/menit
 Palpasi:
 Leopold 1 : Teraba bagian lunak,bundar, kesan bokong
 Leopold 2 : Teraba bagian-bagian terkecil janin sebelah kiri
Teraba bagian terbesar dari janin yang memanjang sebelah
kanan, kesan punggung
 Leopold 3 : Teraba bagian keras, bundar, melenting, kesan kepala
 Leopold 4 : Konvergen
 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Kesan Anemia normokrom normositer
EKG : dalam batas normal

VI. Diagnosa Kerja


G2P1A0 Gravida 37-38 minggu dengan B20 + Riwayat SC.

VIII. Tatalaksana
10

1. Non Farmakologi (konseling)


a. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
HIV/AIDS.
b. Memberikan edukasi mengenai pemberian ARV itu seumur hidup,
tidak boleh putus obat, tidak boleh lupa dan harus patuh.
c. Memberikan informasi dan edukasi perlunya melakukan pemeriksaan
CD4 dan Viral Load secara berkala.
d. Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok penanggulangan
HIV/AIDS untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi pengobatan
penyakitnya.
e. Pasien diberitahu bahwa bayinya tidak bisa minum ASI dari pasien
sehingga harus diganti oleh susu formula
2. Farmakologi
a. Cotrimoxazole 1 x 2 tab (1 x 960 mg)
b. Tenofovir 1x1
c. Hiviral 2x1
d. Neviral 2x1
3. Tindakan Medis
a. Pro SC
b. Pro MOW

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1HIV
3.1.1 DEFINISI
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah

virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).

Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS adalah

suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang

disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. Orang dengan HIV

dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang telah terinfeksi

virus HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1,2

3.1.2 EPIDEMIOLOGI
Data yang tercatat di WHO pada tahun 2018, sebanyak 37,9 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi HIV. Angka ini didominasi oleh beberapa negara
berkembang di seluruh dunia.3

11
3.1.3 FAKTOR RISIKO
a. Wanita Pekerja Seks (WPS) 8,96%

b. Pria Pekerja Seks (PPS) 0,39%

c. Waria 1,85%

d. Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) 13,10%

e. Injecting Drug User (IDU) 4,02%

f. Pasangan Risti 15,02%

g. Pelanggan Penjaja Seks 9,46%

h. Faktor lainnya 47,21% (seperti ibu hamil, melahirkan atau menyusui pada

anaknya, tranfusi darah, pembuatan tato, dll)4,5

3.1.4 MANIFESTASI KLINIS


Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.

Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut dan yang harus

diperhatikan adalah Window Periode. Periode ini merupakan waktu sejak tubuh

terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan

pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Setelah

dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk untuk menjalankan serangkaian

layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian

virologi. Hal tersebut dilakukan untuk:

1) menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi

antiretroviral;

2) menilai status supresi imun pasien;

12
13

3) menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi; dan

4) menentukan paduan obat ARV yang sesuai.

HIV (Diagnosis : 2 Mayor + 1 Minor)

• Kriteria Mayor :

– Penurunan BB ≥ 10%

– Demam > 1 bulan

– Diare > 1 bulan

• Kriteria Minor :

– Batuk > 1 bulan

– Generalized pruritic dermatitis

– Riwayat Herpes Zoster

– Candidiasis orofaring

– Herpes Simpleks Disseminata

– Generalized lymphadenopathy

AIDS
• (+) IO atau CD4 < 350 sel/mm3
14

Berdasarkan stadium klinisnya Infeksi HIV terbagi menjadi 4.


15

3.1.5 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu.

Pasien datang dapat dengan keluhan demam (suhu >37,5 0C) terus menerus atau

intermiten lebih dari satu bulan, diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari

satu bulan, keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan

dasar, keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya, serta tanyakan juga

faktor risiko yang ada pada pasien.6

b. Pemeriksaan Fisik
• Keadaan Umum : berat badan turun dan demam

• Kulit : tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering dan

dermatitis seboroik, tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan

parut bekas herpes zoster dan pembesaran kelenjar getah bening

• Mulut : kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis

• Dada : dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru

• Abdomen : hepatosplenomegali, nyeri, atau massa

• Anogenital : tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra

• Neurologi : tanda neuropati dan kelemahan neurologis


16
17

c. Pemeriksaan Pennunjang
Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat

dua macam pendekatan untuk tes HIV, yaitu :

• Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling and

Testing).

• Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK – PITC =

Provider-Initiated Testing and Counseling).6

Kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di pelayanan kesehatan. Pemeriksaan

dilakukan pada :

 Ibu hamil

 Pasien TB

 Pasien yang menunjukkan tanda dan gejala HIV,

 Pasien berisiko

 Pasien IMS

 Seluruh pasangan seksualnya


18

Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan

diagnosis. Diagnosis. HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis

pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa :

• Tes serologi

 Rapid Test

Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk

Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1 maupun

HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu

tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya

dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.

 Tes Enzyme Immunoassay (EIA)

Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-antibodi

dapat dideteksi dengan perubahan warna.

 Tes Western Blot

Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit.2

• Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)

Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari

18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau

Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma

darah. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa

dengan tes virologis paling awal pada umur 6 minggu. Pada kasus bayi dengan

pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif, maka terapi ARV harus segera
19

dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk

pemeriksaan tes virologis kedua.

 HIV DNA kualitatif (EID)

Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan

antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.

 HIV RNA kuantitatif

Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan

untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA

tidak tersedia.2

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional

yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului

dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat

menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1)

harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk

pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi

(>99%).

Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan

setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam

masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama

bila masih terdapat perilaku yang berisiko.


20
21

• Pemeriksaan CD4

Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan

CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan

pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar

3
70-100 sel/mm /tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 – 100

3
sel/mm /tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan

CD4.

3.1.6 PENATALAKSANAAN
a. Persiapan Pemberian ARV

Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang

ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal
22

dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering

disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV.2

Rekomendasi Tes Laboratorium Untuk Persiapan Inisiasi ART


23

c. Indikasi Memulai ART

Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di

3
bawah 200 sel/mm maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg

sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk:

1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan 2. Menyingkirkan kemungkinan

efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa

banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping

kotrimoksasol.

Tabel Rekomendasi Pemberian ART


24

d. Panduan ART Lini Pertama

ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk ibu

hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB.

2 NRTI + 1 NNRTI
25

e. Panduan ART Lini Kedua

Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir pasti

terjadi resistansi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV menggunakan

kombinasi 2 NRTI + boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi pilihan lini

kedua untuk dewasa dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini

pertama.2

Tabel ARV Lini Kedua


26
27

f. Pemantauan Selama Pemberian ARV


Tabel Pemantauan selama pemberian ARV
28

g. Dosis ARV
Tabel Daftar Golongan Obat ARV
29

h. Alur pemberian terapi profilaksis INH


30

i. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan

pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan,

yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.

 Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu

infeksi yang belum pernah diderita.

 Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan

untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya

PPK dianjurkan bagi:

  ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan

menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan

kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah

CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4),

maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus

melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.

3
  ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm (apabila tersedia pemeriksaan

dan hasil CD4).


31

Tabel Rekomendasi Kotrimoksasol

3.2HIV PADA IBU HAMIL

Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy)

dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA =

Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka

panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan

mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.


32
33

• Diagnosis :

– Dilakukan tes inisiatif petugas kesehatan (TIPK) atau provider-


initiated HIV test and counseling (PITC). Tes ini wajib diberikan pada ibu hamil
yang tinggal di daerah epidemi luas dan terkonsentrasi.

– Pada daerah dengan epidemi rendah, tes ini diberikan pada ibu hamil
yang memiliki riwayat/ sedang menderita penyakit menular seksual atau TB.

• Tatalaksana umum :

– Rujuk segera ibu dengan HIV ke rumah sakit supaya mendapatkan


terapi multidisiplin

– Periksa hitung CD4 dan viral load

• Tatalaksana khusus :

 Berikan ARV segera tanpa mengetahui nilai CD4 maupun stadium klinis dari

penyakit. Edukasi bahwa terapi ARV harus dilanjutkan seumur hidup.

 Semua bayi lahir dari ibu HIV harus diberi ARV Profilaksis (Zidovudin) sejak

hari pertama (umur 12 jam) selama 6 minggu

 Pemberian kotrimoksasol profilaksis bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV

dimulai pada usia enam minggu, dilanjutkan hingga diagnosis HIV dapat

disingkirkan atau hingga usia 12 bulan.


34

 Semua bayi lahir dari ibu HIV harus dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk

pemantauan dan mendapatkan perawatan lanjutan

- Pemberian imunisasi tetap dilakukan mengikuti standar pemberian imunisasi

pada anak. Semua vaksinasi tetap diberikan seperti pada bayi lainnya, termasuk

vaksin hidup (BCG, Polio oral, campak), kecuali bila terdapat gejala klinis

infeksi HIV .

Persalinan yang aman

Persalinan untuk ibu dengan HIV dapat berupa persalinan per vaginam maupun

seksio sesarea. Persalinan seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk penularan

terhadap bayi, namun perlu dipertimbangkan risiko lainnya. Persalinan per vaginam

dapat dipilih jika ibu sudah mendapat pengobatan ARV dengan teratur selama

setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1.000 kopi/mm3 pada minggu

ke-36. Persalinan per vaginam maupun seksio sesarea tersebut dapat dilakukan

di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat pelindung diri

khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur kewaspadaan standar.


35

3.3 HIV PADA BAYI DAN ANAK

Bayi dan anak umur usia kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat

dan belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk dilakukan tes serologis pada

umur 9 bulan (saat bayi dan anak mendapatkan imunisasi dasar terakhir). Bila hasil

tes tersebut:

a. Reaktif harus segera diikuti dengan pemeriksaan tes virologis untuk

mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.

b. Non reaktif harus diulang bila masih mendapatkan ASI. Pemeriksaan ulang

dilakukan paling cepat 6 minggu sesudah bayi dan anak berhenti menyusu.

c. Jika tes serologis reaktif dan tes virologis belum tersedia, perlu dilakukan

pemantauan klinis ketat dan tes serologis diulang pada usia 18 bulan

Bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga

disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani tes serologis dan jika hasil tes tersebut:

a. Reaktif diikuti dengan tes virologis.

b. Non reaktif tetap harus diulang dengan pemeriksaan tes serologis pada usia 18

bulan.

Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga

disebabkan oleh infeksi HIV tetapi tes virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis

ditegakkan menggunakan diagnosis presumtif. Pada bayi dan anak umur kurang dari

18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik awal dilakukan tanpa perlu

menghentikan pemberian ASI. Anak yang berumur di atas 18 bulan menjalani tes

HIV sebagaimana yang dilakukan pada orang dewasa.


36

Diagnosis HIV pada bayi dapat dilakukan dengan cara tes virologis, tes

antibodi, dan presumtif berdasarkan gejala dan tanda klinis.

1. Diagnosis HIV pada bayi berumur kurang dari 18 bulan, idealnya dilakukan

pengulangan uji virologis HIV pada spesimen yang berbeda untuk informasi

konfirmasi hasil positif yang pertama sebagaimana bagan di bawah ini.


37

2. Diagnosis presumtif infeksi HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan.
Bila ada bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi
HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk HIV DNA kualitatif tidak tersedia, tenaga
kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara diagnosis
presumtif.
Bila ada 1 kriteria berikut atau Minimal 2 gejala berikut
· Pneumonia · Oral thrush (Kandidiasis oral)
Pneumocystis (PCP), meningitis · Pneumonia berat
kriptokokus, kandidiasis esofagus · Sepsis berat
· Toksoplasmosis · Kematian ibu yang berkaitan
· Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan HIV atau penyakit HIV
dengan pengobatan standar yang lanjut pada ibu
· Jumlah persentase CD4 < 20%

Pemberian ARV pencegahan pada bayi. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV,

baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam

pertama selama enam minggu. Dosis zidovudin pada bayi baru lahir,s elengkapnya

ada dalam tabel berikut:

Dosis Zidovudin
Bayi cukup bulan Zidovudin 4 mg/kg BB/12 jam selama 6
minggu, atau dengan dosis
disederhanakan:
· Berat lahir 2000-2499 g = 10 mg 2x
sehari
· Berat lahir ≥ 2500 g = 15 mg 2x sehari
bayi dengan berat < 2000 g harus
mendapat dosis mg/kg, disarankan
dengan dosis awal 2 mg/kg sekali sehari

Bayi prematur < 30 minggu Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 4


minggu pertama, kemudian 2 mg/kg
BB/8 jam selama 2 minggu

Bayi prematur 30- 35 minggu Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 2


minggu pertama, kemudian 2 mg/kg
BB/8 jam selama 2 minggu, lalu 4 mg/kg
BB/12 jam selama 2 minggu
38

3.4 TERAPI GIZI PADA HIV

Hubungan antara HIV, status gizi, dan fungsi imun mempunyai keterkaitan

yang sulit dipisahkan. Infeksi HIV dalam tubuh ODHA mempunyai 2 dampak :

 Menyebabkan status zat-zat gizi makro terganggu melalui penurunan berat

badan, muscle wasting and weakness, dan hal ini dapat dipantau dengan penilaian

status gizi sejak pertama ODHA datang dan diikuti terus. Dapat dilakukan

dengan pemantauan IMT (indeks massa tubuh)

 Menyebabkan penurunan/defisiensi zat-zat gizi mikro sampai terjadinya

kegagalan metabolisme, akibat dari kerusakan sistem imun tubuh, sehingga tidak

mampu melawan HIV dan infeksi lainnya atau infeksi oportunistik.

Kedua keadaan ini menyebabkan meningkatnya risiko infeksi terutama infeksi

saluran cerna, TB, influenza, sehingga mempercepat progres menjadi AIDS dan

diperberat dengan kebutuhan zat-zat gizi yang meningkat karena adanya malabsorpsi

dan asupan yang sangat berkurang. Hal ini menjadikan lingkaran setan yang akan

memperburuk keadaan ODHA.

Infeksi HIV akan menyebabkan peningkatan kebutuhan energi dan penurunan

intake energi, yang berujung pada penurunan berat badan dan wasting. Gangguan

metabolisme, penurunan nafsu makan dan diare juga memperparah intake dan

absorpsi zat-zat gizi, terlebih faktor ekonomi rendah dan higiene makanan. IMT

rendah pada dewasa (<18,5 kg/m2), penurunan berat badan dan wasting pada anak

merupakan faktor risiko independen progresi morbiditas dan mortalitas terkait HIV.
39

I. Indikasi terapi nutrisi:


1. Jika terjadi kehilangan berat badan secara bermakna (>5% dalam 3 bulan)
2. Kehilangan IMT secara bermakna ( >5% dalam 3 bulan)
3. Dipertimbangkan jika IMT <18,5 kg/m2.

II. Kebutuhan energi dan protein bervariasi tergantung pada:


1. Status kesehatan dari individu yang terinfeksi HIV
2. Progresivitas penyakit
3. Komplikasi yang mempengaruhi asupan nutrisi dan penggunaannya.

III. Kebutuhan nutrisi


Kebutuhan Energi (40-50 kkal/kg berat badan aktual)
 Dewasa asimptomatik : kebutuhan energi ditingkatkan 10%
 Dewasa simptomatik/infeksi oportunistik: ditingkatkan 20-30%
 Dewasa fase akut : ditingkatkan 30%
 Anak dengan penurunan berat badan : ditingkatkan 50-100%

Kebutuhan Protein
 Kira-kira 1-1,4 g/kg berat badan untuk pemeliharaan dan 1,5-2 g/kg berat
badan untuk requirements repletion
 Retriksi protein diindikasikan untuk penyakit hati dan ginjal berat.

Kebutuhan Lemak
 Bervariasi setiap individu. Individu yang mengalami malabsorpsi atau diare
menggunakan diet rendah lemak
 Lemak yang digunakan terutama MCT Fish oil (omega-3 fatty acids), jika
diberikan dengan minyak MCT mungkin dapat memperbaiki fungsi imun.
40

Kebutuhan Cairan
 Pada individu yang terinfeksi HIV sebanyak 30-35mL/kg (8-12 mL untuk
dewasa) per hari
 Penggantian kehilangan elektrolit (Na, K, Cl) dilakukan pada keadaan diare
dan muntah.

Kebutuhan Mikronutrien
 Diberikan multivitamin per hari dan suplemen vitamin B-kompleks
disesuaikan dengan Recommended Dietary Allowances (RDAs)
 Suplementasi multi zat gizi mikro terutama yang mengandung vitamin
B12, B6, A, E, dan mineral Zn, Se dan Cu
 Pemberian Fe dianjurkan pada ODHA dengan anemia. Pada ODHA yang
mengalami infeksi oportunistik, pemberian Fe dilakukan 2 minggu setelah
pengobatan infeksi
 Khusus pada pasien anak, suplemen vitamin A untuk anak usia 6-59 bulan
secara periodik setiap 4-6 bulan (100.000 IU untuk usia 6-12 bulan dan
200.000 IU untuk anak >12 bulan)
41

BAB IV
ANALISIS KASUS

Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah virus

yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS diartikan

sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan

tubuh akibat masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. Data yang tercatat di WHO

pada tahun 2018, sebanyak 37,9 juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV. Angka ini

didominasi oleh beberapa negara berkembang di seluruh dunia. Di Indonesia belum

ada angka pasti ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS.

Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, HIV/AIDS

pertama kali ditemukan di Provinsi Bali PADA TAHUN 1987. Hingga saat ini

HIV/AIDS sudah menyebar ke 386 Kabupaten/Kota di seluruh Provinsi di Indonesia.

Jawa Barat menempati urutan ke 4 penderita HIV terbanyak, setelah DKI Jakarta,

Jawa Timur, dan Papua. Berdasarkan kelompok usia, rentang usia 20-29 tahun

memiliki prevalensi kasus terbanyak. Pasien berusia 27 tahun, dan masuk kedalam

kelompok usia risiko tinggi. Menurut kelompok usia jenis kelamin, lebih banyak

terjadi pada kelompok laki-laki (54%) atau hampir 2 kali lipat dibandingkan pada

perempuan (29%). Berdasarkan jenis pekerjaan, penderita HIV/AIDS di Indonesia

paling banyak dari kelompok ibu rumah tangga diikuti wiraswasta dan tenaga non-

profesional (karwayan). Pasien sudah menikah 2 kali dan bekerja sebagai Ibu Rumah
42

Tangga. Tidak ada faktor risiko pada pasien, seperti berhubungan seksual peranal,

menggunakan jarum suntik bersamaan dan bergantian, atau pekerjaan lain yang

berhubungan dengan cairan tubuh pasien HIV lainnya. Berdasarkan kelompok

berisiko, kasus HIV/AID di Indonesia paling banyak terjadi pada kelompok

heteroseksial (61,5%), diikuti penggunaan narkoba injeksi (15,2%), dan homoseksual

(2,4%). Dari hasil anamnesis, dicurigai penularan HIV terhadap pasien berasal dari

suami pertama. Menurut pasien, suami pertama pasien meninggal karena batuk lama

dan berdarah, berat badan turun drastis dan terlihat sangat kurus. Suaminya pernah

dilakukan pemeriksaan penunjang saat dirawat di RSUD 45 Kuningan, dan diketahui

mengidap penyakit HIV, TBC, dan gagal ginjal. Tidak diketahui darimana Almarhum

suaminya mendapatkan penyakit HIV, karena saat terdiagnosis, suaminya tidak lama

meninggal.

Pasien diberikan terapi HIV dari RSUD 45 Kuningan, selama 5 tahun dengan

pengobatan yang rutin dan teratur. Namun, 1 tahun SMRS pasien tidak mendapatkan

obat ARV dan selama hamil pasien tidak berobat HIV. Berdasarkan kajian teori,

pemberian antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam

program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA = Pencegahan

Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang

(seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah

penularan HIV dari ibu ke anak.

Pasien tidak menunjukan gejala apapun, sehingga berada pada stadium I. Pasien

ibu hamil dengan CD4 berapapun nilainya segera diberikan ARV. Cotrimoksasol

(1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini
43

dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat, dan 2.

Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan

obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama

dengan efek samping kotrimoksasol. Namun, ODHA yang bergejala (stadium klinis

2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan menyusui, walaupun secara teori

kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang

mengancam jiwa pada ibu hamil, maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol

dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol. Saat kontrol ke

Poliklinik Edelweis pasien diberikan Cotrimoxazole 1 x 2 tab (1 x 960 mg),

Tenofovir 1x1, Hiviral 2x1, Neviral 2x1, dan di rencanakan untuk persalinan SC

karena pasien tidak mendapatkan obat ARV selama kehamilan. Persalinan untuk ibu

dengan HIV dapat berupa persalinan per vaginam maupun seksio sesarea. Persalinan

seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap bayi, namun perlu

dipertimbangkan risiko lainnya. Persalinan per vaginam dapat dipilih jika ibu sudah

mendapat pengobatan ARV dengan teratur selama setidaknya enam bulan dan/atau

viral load kurang dari 1.000 kopi/mm3 pada minggu ke-36.


44

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi ke-VI. Setiati, dkk (eds). 2014. Jakarta Pusat : Interna

Publishing. P887-87

2. Moeloek NF. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87

Tahun 2014 Tentang Pedoman Antiretroviral. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia; 2014.

3. WHO. Data and Statistics HIV/AIDS. 2018.

4. Abidin Z. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Primer. Taher A, editor. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.

5. Subuh M. Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS. Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia; 2016.

6. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia. 2014.

Anda mungkin juga menyukai