Anda di halaman 1dari 35

TUGAS

1. Macam-macam Syok, cara membedakan dan tatalaksana untuk


masing-masing syok
2. Perbedaan hipertensi emergensi dan urgency
Hipertensi
Definisi Hipertensi Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140
mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas
layanan kesehatan. Berdasarkan pengukuran TDS dan TDD di klinik,
pasien digolongkan menjadi sesuai dengan tabel 1 berikut.
a. Hipertensi emergensi
Hipertensi emergensi adalah hipertensi derajat 3 dengan kerusakan
target organ akibat hipertensi HMOD (hypertension-mediated organ
damage) akut. Hal ini sering kali mengancam jiwa dan memerlukan
penanganan segera dan seksama. Untuk menurunkan tekanan darah
biasanya memerlukan obat intravena. Kecepatan peningkatan dan tinggi
tekanan darah sama pentingnya dengan nilai absolut tekanan darah dalam
menentukan besarnya kerusakan organ. Gambaran hipertensi emergensi
adalah sebagai berikut:
1. Hipertensi maligna: hipertensi berat (umumnya derajat 3) dengan
perubahan gambaran funduskopi (perdarahan retina dan atau
papiledema), mikroangiopati dan koagulasi intravaskular
diseminasi serta ensefalopati (terjadi pada sekitar 15% kasus),
gagal jantung akut, penurunan fungsi ginjal akut. Gambaran dapat
berupa nekrosis fibrinoid arteri kecil di ginjal, retina dan otak.
Makna maligna merefleksikan prognosis buruk apabila tidak
ditangani denganbaik.
2. Hipertensi berat dengan kondisi klinis lain, dan memerlukan
penurunan tekanan darah segera, seperti diseksi aorta akut, iskemi
miokard akut atau gagal jantung akut.
3. Hipertensi berat mendadak akibat feokromositoma, berakibat
kerusakan organ.
4. Ibu hamil dengan hipertensi berat atau preeklampsia.
Gejala emergensi tergantung kepada organ terdampak, seperti
sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri dada, sesak napas,
pusing kepala atau gejala defisit neurologis. Gejala klinis
ensefalopati hipertensi berupa somnolen, letargi, kejang tonik
klonik dan kebutaan kortikal hingga gangguan kesadaran.
Meskipun demikian, lesi neurologis fokal jarang terjadi dan bila
terjadi, hendaknya dicurigai sebagai stroke. Kejadian stroke akut
terutama hemoragik dengan hipertensi berat disebut sebagai
hipertensi emergensi. Namun demikian penurunan tekanan darah
hendaknya dilakukan dengan hati-hati.
Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi Beberapa
pertimbangan strategi penatalaksanaan:
1. Konfirmasi organ target terdampak, tentukan
penatalaksanaan spesifik selain penurunan tekanan darah.
Temukan faktor pemicu lain kenaikan tekanan darah akut,
misalnya kehamilan, yang dapat mempengaruhi strategi
penatalaksanaan.
2. Tentukan kecepatan dan besaran penurunan tekanan darah
yang aman.
3. Tentukan obat antihipertensi yang diperlukan. Obat
intravena dengan waktu paruh pendek merupakan pilihan
ideal untuk titrasi tekanan darah secara hatihati, dilakukan
di fasilitas kesehatan yang mampu melakukan pemantauan
hemodinamik kontinyu
Meskipun pemberian obat secara intravena sangat
direkomendasikan, terapi oral dengan ACEi, ARB atau betabloker
kadang sangat efektif pada hipertensi maligna, karena umumnya
terjadi aktivasi sistem renin oleh iskemia renal. Pemberian awal
dimulai dengan dosis rendah karena pasien kemungkinan sensitif
terhadap pemberiannya dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit.
Prognosis dan tindak lanjut Angka kesintasan penderita
hipertensi emergensi mengalami peningkatan dalam dekade
terakhir, meskipun demikian kelompok pasien ini tetap dalam
kategori risiko tinggi dan perlu dilakukan penapisan untuk
hipertensi sekunder. Setelah tekanan darah mencapai tingkat aman
dan stabil dengan terapi oral, pasien dapat rawat jalan. Kontrol
rawat jalan dianjurkan minimal satu kali sebulan hingga target
tekanan darah optimal tercapai dan dilanjutkan kontrol teratur
jangka panjang.
b. Hipertensi urgensi
Hipertensi urgensi merupakan hipertensi berat tanpa bukti
klinis keterlibatan organ target. Umumnya tidak memerlukan rawat
inap dan dapat diberikan obat oral sesuai dengan algoritma
penatalaksanaan hiperteni urgensi. Peningkatan tekanan darah
mendadak dapat diakibatkan obat-obat simpatomimetik. Keluhan
nyeri dada berat atau stres psikis berat juga dapat menimbulkan
peningkatan tekanan darah mendadak. Kondisi ini dapat diatasi
setelah keluhan membaik tanpa memerlukan penatalaksanaan
spesifik terhadap tekanan darah.

3. Bedakan kapan kalian diagnose ADHF dengan klasifikasi grade


INaSH nya dan kapan diagnosis CHF
4. Bagaimana mendiagnosa ACS, ada berapa macam ACS, dan
bagaimana membedakannya dan grade kilip nya 1-4
a. Macam-macam ACS
PJK (penyakit jantung koroner) adalah suatu keadaan dimana
aliran darah ke otot jantung berkurang akibat penyempitan pembuluh
darah arteri koronaria.

Unstable angina

ACS (acute coronary


STEMI (ST segmen elevasi)
syndrome)

NSTEMI ( non ST segmen


elevasi)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner
Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris
akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung. Diagnosis NSTEMI dan
angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T
pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan
Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan
kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka
jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau
CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang
untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit
melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika
pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika
ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24
jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang
unstable angina NSTEMI STEMI
EKG tidak spesifik. Tanpa Tanpa elevasi elevasi segmen ST yang
elevasi segmen ST segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang persisten di dua persisten di dua yang bersebelahan
sadapan yang sadapan yang
bersebelahan. bersebelahan.
Rekaman EKG saat Rekaman EKG saat
presentasi dapat presentasi dapat
berupa depresi berupa depresi
segmen ST, inversi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T,
gelombang T yang gelombang T yang
datar, gelombang T datar, gelombang T
pseudo- pseudo-
normalization, atau normalization, atau
bahkan tanpa bahkan tanpa
perubahan perubahan
Enzim normal peningkatan peningkatan biomarker
Jantung biomarker jantung jantung

Factor resiko
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi
atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program)

b. Mendiagnosa ACS
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat
dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan
SKA, dan Definitif SKA (Gambar 1).
a. Anamnesis
Nyeri dada adalah gejala awal yang umum dari ACS, tapi tidak semua
nyeri dada disebabkan oleh ACS. Oleh karena itu penting untuk
membedakan cardiac atau noncardiac chest pain
1. Cardiac chest pain/ nyeri dada yang disebabkan oleh ACS
a. Nyeri dada yang tipikal (angina tipikal)
 Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium.
 Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau
persisten (>20 menit).
 Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop.
 Berkurang dengan istirahat/ pemberian nitrogliserin
b. Nyeri dada atipikal (angina ekuivalen)
 Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri
di daerah penjalaran angina tipikal
 rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang
tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit
diuraikan.
 Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia
muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.
 Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,
keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika
berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
 Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak
prediktif terhadap diagnosis SKA.
2. Non Cardiac chest pain/ nyeri dada yang kemungkinan besar bukan
disebabkan ACS
 Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi
atau batuk)
 Nyeri abdomen tengah atau bawah
 Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di
daerah apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral
 Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
 Nyeri konstan yang berlangsung berjam-jam
 Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
 Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus


iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung Angina
tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan
kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung
intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. PEDOMAN
TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT tiga (S3), ronkhi basah halus
dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral
akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta
akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas
yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.

c. EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam
pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 tanpa memandang usia, adalah ≥0,15
mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R
dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV
dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV.
Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI
kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI
dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka
jantung tersedia.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG
pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi
segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi
segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut
sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan
sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang
diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan
elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard
dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil
(APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah
sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya.
Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen
ST yang tidak persisten (2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang
simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang
diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.

d. Marka jantung
Pemeriksaan marka jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal
jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis.
Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T
adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli
paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari
troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural. (lihat gambar 2).
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung
(point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau
semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of
care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu
pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka
jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka
pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik,

Marka jantung normal Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:

1. Angina tipikal
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi
ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard,
atau LBBB baru/persangkaan baru
3. Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka
jantung normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif
SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya
dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care
(ICVCU/ICCU).
Pemeriksaan laboratorium. Data laboratorium, di samping marka
jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah
rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.
Pemeriksaan foto polos dada. Mengingat bahwa pasien tidak
diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan
pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat
dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
e. Tindakan umum atau langkah awal
terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis
kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung.
Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat
MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring (Kelas I-C)
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan
saturasi O2
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6
jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-
C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah)
yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate) a.Dosis awal
ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-
B) atau b.Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-
C). jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat
diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi
tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia
NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas IIa-B).
c. Grade killip
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk
SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis
In Myocardial Infarction) dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary
Events) sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable
angina patients Suppress ADverse outcomes with Early implementation of
the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko terjadinya
perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan
penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk
menentukan strategi penanganan selanjutnya (konservatif atau intervensi
segera) bagi seorang dengan NSTEMI.
Klasifikasi GRACE (Tabel 6) mencantumkan beberapa variabel yaitu
usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest
saat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif
dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi
mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar
dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan
skor risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian
140 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi
(>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah
sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko
rendah (risiko kematian 118 berturutan mempunyai risiko kematian
menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas
dalam 30 hari (Tabel 7). Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah
satu variabel dalam klasifikasi GRACE.

5. Pasien Dyspnoe, Bagaimana membedakan sesak karena HF, PPOK,


Asma, TB, dan Pneumotorax
6. Kapan indikasi Asma dirawat dan Grade asma bagaimana?
7. Mengapa mendiagnosis Bronkopneumonia?
8. Bagaimana mendiagnosiaPneumonia dan Gradenya? Score untuk
terapi?
9. Pasien anak : kejang. Apa macam-macam penyebab kejang dan
tatalaksana serta dosis obatnya
A. Macam-macam penyebab kejang
Kejang/ bangkitan epileptic adalah terjadinya tanda dan gejala
yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan
berlebihan di otak. Manifestasi klinisnya bervariasi yang dapat berupa
gangguan kesadaran, gerakan motorik, sensorik, emosi dan perilaku
atau persepsi tergantung area otak yang mengalami gangguan.
Kejang/bangkitan Non epileptic adalah terjadinta tanda/gejala
yang bersifat sesaat namun bukan karena akibat aktivitas neuronal
yang abnormal dan berlebihan di otak.penyebabnya dapat bermacam-
macam antara lain gangguan psikiatri, spasme otot, sinkop dan
gangguan kardiovaskuler. Manifestasi klinis dapat menyerupai
bangkitan epileptic.
Klasifikasi ILEA 1981 untuk tipe bangkitan epileptic adalah
sebagai berikut:
a. Bangkitan parsial/Fokal
1. Bangkitan parsial sederhana
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala somato sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
2. Bangkitan Parsial komplek
- Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan
gangguan kesadaran
- Bangkitan parsial yang disertai gangguan
kesadaran sejak awal bangkitan
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum skunder
- Parsial sederhana yang menjadi umum
- Parsial komplek yang menjadi umum
- Parsial sederhana menjadi parsial komplek lalu
menjadi umum
b. Bangkitan umum
- Lena (absence)
Tipikal lena
Atipikal lena
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Tonik-klonik
- Atonik/astatik
c. Bangkitan tak tergolongkan

1. Kejang demam
a. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
usia 6 bulan sampai 5 tahunyang mengalami kenaikan suhu tubuh
(>38 C dengan metode pengukuran suhu apapun) yang tidak
diebabkan oleh proses intracranial.
Keterangan:
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena
gangguan elektrolit/ metabolic lain
2. Bila ada riw. Kejang tanpa demam sebelumnya -> tidak disebut
kejang demam
3. Kejang 1-6 bulan, masih dapat mengalami kejang demam
namun jarang sekali. Pikirkan penyebab lain seperti infeksi
SSP.
4. Kejang <1 bulan termasuk kategori kejang neonates
b. Epidemiologi

2-5% anak berumur 6 bulan-5 tahun.

c. Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam Komplek

KDS KDK
 Kejang berlangsung  Kejang lama > 15 menit
singkat <15 menit,  Bentuk kejang fokal atau
 Bentuk kejang umum parsial sesisi, atau kejang
(tonik dan atau umum di dahului kejang
klonik) parsial
 Tidak berulang dalam  Kejang berulang atau >1x
waktu 24 jam dalam waktu 24 jam

Keterangan: 1. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung


lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di
antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi
8% dari kejang demam. 2. Kejang berulang adalah kejang 2x
atau lebih dalam 1 hari. Dan di antara 2 bangkitan kejang anak
sadar. Epideiologi 16% pada anak yang mengalami kejang
demam. 3. KDS 80% pada anak yg kejang demam. 4. Sebagian
besar kejang sederhana < 5 menit dan berhenti sendiri.
d. Pemeriksaan penujang
Untuk mengetahui sumber infeksi. Pemeriksaan laboratorium
dapat di kerjkan atas indikasi missal darah perifer, elektrolit dan
gula darah.
 Fungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebro spinal dilakukan untuk
menegakan atau menyingkirkan meningitis. Tidak di
lakukan pada anak <12 bulan dengan KDS dengan keadaan
umum baik.
 EEG
Tidak di perlukan untuk kejang demam. KECUALI apabila
bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya focus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
e. Kemungkinan kejang berulang
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan
berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak
terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam
hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.
f. Faktor resiko terjadinya Epilepsi
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas
sebelum kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau
lebih dalam satu tahun. Masing-masing faktor risiko
meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-
6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan
pemberian obat rumatan pada kejang demam.
g. Tatalaksana Kejang
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit)
dan pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat
pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10
mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah
0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12
kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih
berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan profilaksis. (Pediatri-
IDAI. Kejang Demam, 2016)

Pemberian obat saat Demam

 Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik


mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level of evidence 1,
derajat rekomendasi A). Meskipun demikian, dokter neurologi
anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali
diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4
kali sehari.

 Antikonvulsan

Pemberian obat antikonvulsan intermiten Yang dimaksud


dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan
yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di
bawah ini:

• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral

• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

• Usia

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per


oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan 12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama
demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut
cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta
sedasi.

 Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of evidence
3, derajat rekomendasi D). Indikasi pengobatan rumat: 1. Kejang
fokal 2. Kejang lama >15 menit 3. Terdapat kelainan neurologis
yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi serebral,
hidrosefalus, hemiparesis.

 Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah
asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan
fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
Lama pengobatan rumat Pengobatan diberikan selama 1 tahun,
penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak
membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak
sedang demam.
 Edukasi pada orangtua
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap
orangtua. Pada saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan
bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan tersebut harus
dikurangi dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya
mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya
kejang memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek
samping obat.

2. Status epileptikus
a. Definisi
SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama
periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya
kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE
tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh
sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan
waktunya adalah selama 30 menit atau lebih. (IDAI, 2016)
b. Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per
100.000 anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia
muda, terutama usia <1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000
bayi.
c. Etiologi
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau
keseimbangan elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau
stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya:
ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala,
infeksi, atau kelainan otak congenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan
metabolik, otoimun (contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

d. Faktor Resiko
beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status
epileptikus:
 Epilepsi Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan
mengalami satu kali episode status epileptikus dalam
perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan
manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru
epilepsi.
 Pasien sakit kritis Pasien yang mengalami ensefalopati
hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP,
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan
(terutama post-operatif), dan ensefalopati hipertensi.
e. Patofisiologi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk
membatasi penyebaran kejang baik karena aktivitas
neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau aktivitas
neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter
eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan
neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid
(GABA).
f. Tatalaksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing,
circulation (ABC) harus dilakukan seiring dengan pemberian obat
anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan
pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini
adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Keterangan: Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10
mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang berhenti
sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1
dengan kecepatan yang sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan
IV/IM, ambil sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan
spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal
kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)

Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang


selama 24 jam setelah pemberian midazolam, maka pemberian
midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1
mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.

Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di


ICU, namun disesuaikan dengan kondisi rumah sakit

Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat


datang dalam keadaan tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin
atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian
rumatan bila diperlukan.

g. Komplikasi
Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada
neuron dan memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas
sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta
perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem
jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom,
serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi
sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE
konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam,
rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia
akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis.
Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan
fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia).
Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia
akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar
glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang,
kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi
akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi
akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan
sawar darah-otak.
Komplikasi sekunder
Komplikasi skunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan
adalah depresi napas serta hipotensi, terutama golongan
benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang harus
diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai
dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal
jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian anak, asam
valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.
Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping
terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru,
trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik
dan pernapasan harus diperhatikan
h. Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37%
menderita defisit neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual.
Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan mengalami
kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi
dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia
muda, ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom
epilepsi
3. First Unprovoked Seizure (apa yang harus di lakukan?)
a. Definisi
first unprovoked seizure (FUS)
FUS atau bangkitan kejang spontan pertama kali. Adalah satu
bangkitan kejang atau beberapa bangkitan kejang dalam 24 jam yang
terjadi tanpa adanya faktor pencetus.4 Dalam klasifikasi baru, FUS dapat
dianggap sebagai epilepsi bila risiko berulangnya kejang lebih dari 60%.1
Adanya klasifikasi baru ini memberi dampak terhadap epidemiologi,
diagnosis, dan penatalaksanaan FUS.
Epilepsi
Epilepsi adalah kejang spontan dua kali atau lebih dengan jarak
lebih dari 24 jam. Pada tahun 2005, ILAE mulai membuat usulan definisi
baru dan pada tahun 2014 definisi baru tersebut telah disetujui yaitu:
bahwa epilepsy adalah penyakit otak yang ditandai oleh (1) Paling tidak
dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) satu
bangkitan kejang spontan (FUS) disertai kemungkinan berulangnya
kejang paling sedikit 60% dalam 10 tahun berikutnya, dan (3) bila
bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom epilepsi.
Sindrom epilepsi
Suatu epilepsi disebut sebagai suatu sindrom apabila memenuhi
kriteria klinis dan elektroensefalografi tertentu. Beberapa sindrom
epilepsi dapat didiagnosis pada saat anak baru satu kali mengalami
bangkitan kejang, misalnya Benign Rolandic Epilepsy
Resolved, remission, cure
Apakah diagnosis epilepsi melekat selama hidup? Referensi medis sering
menggunakan istilah remission, tetapi istilah ini kurang dimengerti
awam, dan tidak menggambarkan hilangnya penyakit. Istilah cure
menggambarkan bahwa risiko kejang kembali tidak lebih besar
dibandingkan populasi yang tidak mengalami kejang. Risiko yang sangat
rendah ini tidak pernah tercapai pada epilepsi. Istilah yang dianjurkan
adalah resolved, yang berarti seseorang tidak mengidap epilepsi lagi,
walaupun tidak ada jaminan bahwa epilepsi akan muncul kembali.
Epilepsi dianggap sebagai resolved apabila bebas serangan selama 10
tahun, dengan minimal 5 tahun tanpa obat atau bila seseorang telah
melewati masa sindrom epilepsi yang tergantung umur.
b. Apa yang harus dilakukan bila menemui kasus FUS
Tentukan apakah FUS benar merupakan bangkitan kejang
Anamnesis harus terfokus pada kejadian yang mendahului kejang,
deskripsi kejang termasuk bentuk kejang, lama kejang, sianosis,
penurunan kesadaran, inkontinensia, lama masa pasca-iktal, kelainan
neurologis, dan riwayat kejang dalam keluarga. Ditanyakan pula riwayat
kehamilan, kelahiran, dan perkembangan. Keadaan seperti tic, bengong,
sinkop, distonia, psychogenic non-epileptic seizures dan berbagai
gangguan perilaku sering salah diagnosis sebagai kejang. Lidah tergigit,
inkontinensia urin, dan bingung pasca-iktal dapat juga ditemukan pada
serangan non-epileptik. Pemeriksaan fisis dan neurologis termasuk
pemeriksaan kulit harus dilakukan dengan teliti.

Tentukan jenis bangkitan


Menentukan apakah bangkitan kejang merupakan kejang umum tonik
klonik atau kejang parsial sangat penting. Bangkitan kejang parsial sering
mengakibatkan ditemukannya kelainan neurologis, kelainan EEG dan
kelainan pencitraan yang lebih besar, sehingga risiko berulangnya kejang
juga lebih besar.

Tentukan apakah termasuk sindrom tertentu


Bangkitan kejang tertentu disertai gambaran EEG yang khas dapat
digunakan untuk menentukan apakah FUS merupakan suatu sindrom
epilepsi tertentu. Contoh paling klasik adalah Benign Rolandic Epilepsy,
yang merupakan kejang parsial atau parsial menjadi umum, biasaya
terjadi malam hari saat anak tidur, disertai gelombang epileptogenik
pada daerah Rolandik.

Siapa yang dapat menegakkan diagnosis epilepsi?


Scottish Intercollegiate Guidelines Network menganjurkan agar
diagnosis epilepsi pada anak ditegakkan oleh ahli saraf anak atau dokter
anak dengan pengalaman khusus dalam epilepsi (peringkat bukti ilmiah
2,3; rekomendasi D). Hal yang sama juga dianjurkan dala guideline dari
National Institute for Health and Care Excellence. Di Indonesia, hal ini
tentunya tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan tenaga dan
peralatan, sehingga diagnosis dapat ditegakkan oleh dokter anak atau
dokter saraf. Risiko salah diagnosis harus betul-betul diperhitungkan.

c. Penatalaksanaan setelah kejang


Apakah perlu EEG
Manfaat pemeriksaan EEG dalam menentukan apakah kejang akan
berulang kembali menjadi perdebatan panjang. Penelitian prospektif
selama 2 tahun dilakukan terhadap 347 anak dengan FUS. Sebanyak
71% anak dengan EEG epileptik mengalami berulangnya kejang dalam 2
tahun. Penelitian lain menunjukkan bahwa berulangnya kejang pada
kasus FUS terjadi pada 16,7% anak dengan EEG memperlihatkan
gelombang paku-ombak umum, dan 61,9% di antara anak dengan
gelombang epileptik fokal.
Paradigma tidak diperlukan EEG pada kejang pertama harus
diubah. EEG dapat membantu menetapkan apakah FUS merupakan
sindrom tertentu, apakah bangkitan kejang merupakan kejang parsial
atau umum. EEG abnormal, terutama adanya gelombang paku-ombak,
merupakan prediktor yang konsisten dalam menentukan kemungkinan
kejang kembali.
Penelitian pada 150 anak memperlihatkan bahwa kelainan MRI
merupakan faktor prediksi berulangnya kejang. MRI umumnya dilakukan
bila terdapat perlambatan pada EEG, fokalisasi pada EEG, atau anak
menunjukkan kelainan neurologis.
d. Apakah diperlukan pengobatan rumat pada anak yang mengalami FUS
Faktor risiko kejang kembali atau menjadi epilepsi
Pengobatan rumat setelah FUS atau menunggu sampai kejang
berulang kembali merupakan perdebatan yang nyaris tiada henti. Pada
orang dewasa, pemberian obat anti-epilepsi mengurangi risiko
berulangnya kejang dalam 2 tahun pertama, tetapi tidak dalam jangka
panjang. Pasien harus diberitahu risiko efek samping obat sebesar 7-
31% yang biasanya ringan dan reversibel. Rekomendasi pemberian obat
harus secara individual. Penelitian di Inggris yang meliputi 1443 pasien
dari seluruh dunia melaporkan bahwa tiga faktor risiko epilepsi yang
terpenting adalah jumlah bangkitan kejang saat diagnosis, EEG
abnormal, dan pemeriksaan neurologis abnormal. Satu faktor risiko
digolongkan risiko medium, dan 2 faktor risiko atau lebih digolongkan
risiko tinggi. Bila tidak diberi pengobatan, kemungkinan mengalami
epilepsi kronik pada kelompok risiko medium dalam 1,3 dan 5 tahun
adalah 0,35, 0,50, 0,56 sedangkan pada kelompok risiko tinggi angka
tersebut adalah 0,59, 0,67 dan 0,73. Faktor risiko yang sama juga
digunakan oleh peneliti lain. Batas risiko berulangnya kejang kembali
sebesar 0,60 digunakan sebagai patokan dalam menentukan apakah
pengobatan rumat harus diberikan pada anak yang mengalami FUS.
Penelitian di Belanda terhadap 156 anak menunjukkan bahwa rekurensi
kejang pada FUS adalah 54%. Bila ditemukan EEG abnormal, risiko
tersebut meningkat sampai 71%, sedangkan kelainan neurologis atau
retardasi mental meningkatkan risiko menjadi 74%.23 UKK neurologi
belum menentukan kasus FUS mana yang memerlukan
pengobatan.Adanya kelainan neurologis atau retardasi mental, adanya
EEG epileptik dan kejang lama atau status epileptikus merupakan hal
yang mendukung pemberian pengobatan pada FUS.
e. Keberhasilan pengobatan rumat pada FUS
Penelitian acak buta ganda terhadap 1874 pasien dengan FUS yang tidak
mendapat pengobatan atau pengobatan dengan karbamazepin atau
valproat menunjukkan bahwa pemberian obat menurunkan risiko
berulangnya kejang tetapi tidak ada efek terhadap remisi jangka
panjang.24 Suatu penelitian acak buta ganda dilakukan terhadap 31
anak. Pada grup yang mendapat karbamazepin ditemukan 2 di antara 14
anak (14%) mengalami berulangnya kejang dibandingkan dengan 9 di
antara 17 anak (53%) yang tidak mendapat pengobatan. Penelitian acak
buta ganda lain terhadap 228 orang termasuk 33 remaja
membandingkan pengobatan dengan valproat atau tanpa pengobatan.
Lima (4%) pada kelompok yang mendapat valproat dan 63 (56%) pada
kelompok yang tidak mendapat pengobatan mengalami berulangnya
kejang.
f. Kesimpulan
First unprovoked seizure dapat didiagnosis sebagai epilepsi apabila
risiko berulangnya kejang dalam 10 tahun berikutnya lebih dari
60%.Faktor risiko yang penting adalah kelainan neurologis atau EEG
yang menunjukkan gelombang epileptik. Pengobatan rumat pada FUS
harus dinilai secara individual, dapat dimulai pada kasus FUS disertai
kelainan neurologis atau retardasi mental, adanya EEG epileptik dan
kejang lama atau status epileptikus. (Buku knowlwdge and soft skill
update to improve child healty care, IDI cabang Jakarta. 2016)
4. Epilepsi
1. Definisi
Epilepsy adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan:
1. Minimal 2 bangkitan tanpa provokasi bangkitan reflex, dengan
jarak antara bangkitan lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi/bangkitan reflex dengan
kemungkinan besar berulang (miss: bangkitan dengan riw. Strok,
infeksi otak, cedera kepala, tumor otak, terdapat gelombang
epileptic pada EEG)

Bangkitan reflek adalah dimana kejang atau bangkitan dapat di


provokasi oleh stimulus internal maupun ekternal yang selalu serupa.
Dapat berupa melihat kilatan cahaya, sikat gigi, buang air kecil dan
lain-lain.

2. Klasifikasi (ILAE, 1986)


1. Berdasarkan bentuk bangkitan nya : fokal atau umum
a. Epilepsy fokal/parsial
 Idiopati
 Simtomatik
 Kriptogenik
b. Epilepsy umum
 Idiopati
 Kriptogenik atau simtomatik
 simtomatik
c. Epilepsy yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu seperti kejang
demam, eklamsia
2. Berdasarkan etiologinya : idiopatik, simtomatik, atau kriptogenik
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi structural di otak. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetic dan umum terjadi pada usis muda.
b. Kritogrnik: dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum di ketahui.
c. Simtomatik; terdapat riwayat cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
kelainan neurodegenerative.
3. Diagnosis klinis epilepsy

5. Hh
6.

10. Pasien Obgyn: eklamsia, Pre eklamsia, dari SOAP?


Perdarahan : HAP, HPP< Prematur kontraksi?

Anda mungkin juga menyukai