KED KEL ISI (Baru)
KED KEL ISI (Baru)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
diagnosis dokter pada penduduk yang berumur > 18 tahun sekitar 8,4%
(Riskesdas, 2018). Data dari profil kesehatan Puskesmas Perumnas Kadia
Sulawesi Tenggara pada tahun 2018 hipertensi menempati urutan ke dua sebagai
penyakit yang sering dijumpai pada pasien rawat jalan sebanyak 688 kasus.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat atau sedang tidak
melakukan aktivitas fisik berlebihan. Apabila tekanan darah sudah lebih dari
140/90 mmHg dinyatakan hipertensi (batas usia diatas 18 tahun). Peningkatan
tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat
menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (gagal jantung) dan
otak (stroke), apabila tidak dideteksi secara dini dan tidak mendapat pengobatan
yang memadai. Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol
dan jumlahnya terus meningkat (Kemenkes RI, 2015).
Tingginya angka kejadian hipertensi dipengaruhi oleh dua jenis faktor yaitu
faktor yang tidak dapat diubah seperti genetik, umur, jenis kelamin dan ras.
Faktor risiko yang dapat diubah diantaranya obesitas, merokok, konsumsi
alkohol, kurang berolahraga, konsumsi makanan yang tinggi garam dan lemak,
stress dan tingkat pendidikan (Mukhibbin, 2012; Sartik dkk, 2017; Budi,2015).
Bila faktor risiko yang dapat diubah tidak segera diintervensi maka hipertensi
akan berlanjut menuju penyulit berupa kerusakan-kerusakan di organ sasaran
yang terkait biasa disebut dengan target organ damage (TOD). Pendekatan klinis
pengobatan hipertensi harus meliputi pengendalian tekanan darah sampai kepada
2
normotensi serta mengendalikan faktor risiko dan mengobati semua TOD yang
telah terkena (Yugiantoro, 2014).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
3
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi dan pemahaman tidak hanya untuk pasien tetapi juga
keluarga pasien mengenai peranan keluarga dalam menangani penyakit yang
diderita.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Hipertensi
5
Adapun yang dimaksud dengan hipertensi resisten ialah tekanan darah
yang tidak mencapai target normal meskipun sudah mendapat tiga kelas obat
anti hipertensi yang berbeda dan sudah dengan dosis optimal salah satunya
harus diuretik (Sugiantoro, 2014).
2. Epidemiologi Hipertensi
6
NHANES (National Health and Nutrition Examination Surve, 1999-2000),
prevalensi tekanan darah tinggi pada populasi dewasa yang berumur di atas 20
tahun di Amerika Serikat, adalah sebagai berikut: normal 38%, pre hipertensi
31%, hipertensi 31% (Sugiantoro, 2014).
3. Etiologi Hipertensi
7
b. Hipertensi Sekunder (Secondary Hipertention)
1) Umur
Semakin bertambahnya umur elastisitas pembuluh darah semakin
menurun dan terjadi kekakuan dan kerapuhan pembuluh darah
sehingga aliran darah terutama ke otak menjadi terganggu, seiring
dengan bertambahnya usia dapat meningkatkan kejadian hipertensi
(Gama dkk., 2014). Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia,
kebanyakan orang mengalami hipertensi ketika berumur lima puluhan
atau enam puluhan (Tarigan, 2018).
2) Jenis Kelamin
Faktor gender berpengaruh pada kejadian hipertensi, dimana pria lebih
berisiko menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan risiko
sebesar 2,29 kali untuk meningkatkan tekanan darah sistolik (Astiari,
2016). Pada pria hipertensi lebih banyak disebabkan oleh pekerjaan,
seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan. Sampai usia 55
tahun pria berisiko lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan wanita
(Tarigan, 2018). Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung
dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita.
8
Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada
wanita meningkat dua kali lebih besar setelah menopause
dibandingkan wanita sebelum menopause. Bahkan setelah usia 65
tahun, hal ini terjadi diakibatkan oleh berkurangnya hormon estrogen
pada wanita setelah mengalami menopause, sehingga menyebabkan
terjadinya vasokontriksi pembuluh darah dan berakibat pada
peningkatan tekanan darah (Astiari, 2016).
3) Keturunan
Riwayat hipertensi yang di dapat pada kedua orang tua, akan
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi esensial sekitar 70-80%.
Orang yang memiliki keluarga yang menderita hipertensi, memiliki
risiko lebih besar menderita hipertensi esensial. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya antara
potassium terhadap sodium. Hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan, jika seorang dari orang tua menderita hipertensi maka
sepanjang hidup keturunanya mempunyai 25% kemungkinan
menderita pula. Jika kedua orang tua menderita hipertensi maka
kemungkinan 60% keturunanya akan menderita hipertensi juga
(Suprihatin, 2016; Mannan dkk., 2012).
4) Ras
Pada umumnya hipertensi terjadi pada orang yang berkulit hitam bila
dibandingkan dengan orang berkulit putih, serta lebih besar tingkat
morbiditas maupun mortalitasnya. Sampai saat ini, belum diketahui
secara pasti penyebabnya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa
terdapat kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya
mungkin bersifat poligenik. Berbagai golongan etnik dapat berbeda
dalam kebiasaan makan, susunan genetika, dan sebagainya yang dapat
mengakibatkan angka kesakitan dan kematian (Artiyaningrum, 2015).
9
b. Faktor yang dapat Dikontrol
1) Aktivitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik lebih cenderung berpotensi untuk
terjadinya hipertensi dan lebih berisiko sebesar 1,02 kali dibanding
orang yang melakukan aktivitas fisiknya. Kurangnya aktifitas fisik
akan menurunkan daya tahan tubuh menjadi lemah dan lesuh
sehingga semua penyakit dengan gampang menyerang tubuh kita,
misalnya hipertensi (Hamadi dkk, 2017).
2) Merokok
Merokok dapat menyebabkan terjadinya hipertensi karena
didalam rokok itu mengandung 4.000 zat kimia yang dapat memicu
terjadinya hipertensi beberapa diantaranya tar, nikotin dan karbon
dioksida. Ketika tar masuk didalam tubuh kita tar ini akan langsung
menyerang dan merusak sel dan jaringan yang ada didalam tubuh kita,
kemudian nikotin ketika sudah masuk didalam tubuh maka nikotin ini
akan memengaruhi sistim kerja otak sehingga membuat para perokok
ketergantung atau ketagihan, dan karbon dioksida dapat memengaruhi
kemampuan hemoglobin darah, sebagaimana kita ketahui bahwa
fungsi hemoglobin untuk mengikat sari-sari makanan dan oksigen
yang diperlukan oleh sel dan jaringan, ketika fungsi ini terganggu
maka jantung akan bekerja keras memompa darah untuk memenuhi
apa yang dibutuhkan oleh sel dan jaringan maka disinilah mulai terjadi
hipertensi (Setyanda dkk, 2015).
3) Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol adalah memasukan air (atau benda cair)
kedalam mulut dan meneguk minuman tersebut, minuman yang
memabukan seperti beer, anggur, arak, dan tuak. Kebiasaan
mengonsumsi minuman beralkohol juga dapat memengaruhi
terjadinya hipertensi, karena didalam alkohol terdapat senyawa kimia
10
yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah, salah
satunya hidroginium memiliki pengaruh terhadap kejadian hipertensi
dan secara keseluruhan semakin banyak alkohol yang dikonsumsi
semakin tinggi tekanan darahnya. Alkohol juga bisa meningkatkan
keasaman darah sehingga menjadi lebih kental. Kekentalan darah ini
memaksa jantung memompah darah lebih kuat lagi, agar darah dapat
sampai ke jaringan yang membutuhkan dengan cukup. Ini yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah/hipertensi (Kita
dkk, 2014).
4) Stress
Seseorang dengan stress kejiwaan mengalami hipertensi. Kondisi
stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis yang kemudian
meningkatkan tekanan darah secara bertahap, artinya semakin berat
kondisi stress seseorang maka semakin tinggi pula tekanan darahnya.
Stress merupakan rasa takut dan cemas dari perasaan dan tubuh
seseorang terhadap adanya perubahan dari lingkungan. Apabila ada
sesuatu hal yang mengancam secara fisiologis kelenjar pituitary otak
akan mengirimkan hormon kelenjar endokrin kedalam darah, hormon
ini berfungsi untuk mengaktifkan hormon adrenalin dan hidrokortison,
sehingga membuat tubuh dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan
yang terjadi. Secara alamiah dalam kondisi seperti ini seseorang akan
merasakan detak jantung yang lebih cepat dan keringat dingin yang
mengalir di daerah tengkuk. Selain itu peningkatan aliran darah ke
otot-otot rangka dan penurunan aliran darah ke ginjal, kulit, dan
saluran pencernaan juga dapat terjadi karena stress.
Kondisi stress yang membuat tubuh menghasilkan hormon
adrenalin lebih banyak, membuat jantung bekerja lebih kuat dan cepat.
Apabila terjadi dalam jangka waktu yang lama maka akan timbul
rangkaian reaksi dari organ tubuh lain. Perubahan fungsional tekanan
11
darah yang disebabkan oleh kondisi stress dapat menyebabkan
hipertropi kardiovaskuler bila berulang secara intermitten. Begitu pula
stress yang dialami penderita hipertensi, maka akan memengaruhi
peningkatan tekanan darahnya yang cenderung menetap atau bahkan
dapat bertambah tinggi sehingga menyebabkan kondisi hipertensinya
menjadi lebih berat (Islami, 2015).
5) Konsumsi Natrium
Konsumsi natrium dalam jumlah yang tinggi dapat memengaruhi
tekanan darah tinggi terjadi melalui peningkatan volume plasma dan
tekanan darah. Natrium merupakan kation utama dalam cairan
ekstraseluler yang berperan penting dalam mempertahankan volume
plasma dan ekstraseluler, keseimbangan asam basa dan juga
neuromuskular. Asupan tinggi natrium dapat menyebabkan
konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat sehingga
untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik keluar dan
mengakibatkan meningkatnya volume darah dan berdampak pada
peningkatan tekanan darah (Susanti, 2017).
6) Konsumsi Lemak
Asupan lemak jenuh/(Saturated Fatty Acid) SFA yang berlebih
dapat memicu terjadinya aterosklerosis yang merupakan salah satu
faktor risiko hipertensi terkait dengan peningkatan resistensi dinding
pembuluh darah. Hal ini disebabkan karena pembuluh darah yang
mengalami aterosklerosis selain terjadi peningkatan resistensi pada
dindingnya juga mengalami penyempitan, sehingga memicu
peningkatan denyut jantung dan peningkatan volume aliran darah yang
berakibat pada meningkatnya tekanan darah serta terjadi hipertensi
(Lidiyawati dan Kartini, 2014).
12
7) Obesitas
Obesitas dapat menimbulkan terjadinya hipertensi melalui
berbagai mekanisme, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung obesitas dapat menyebabkan peningkatan cardiac
output karena makin besar massa tubuh makin banyak pula jumlah
darah yang beredar sehingga curah jantung ikut meningkat. Sedangkan
secara tidak langsung melalui perangsangan aktivitas sistem saraf
simpatis dan Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS) oleh
mediator-mediator seperti hormon, sitokin, adipokin, dan sebagainya.
Salah satunya adalah hormon aldosteron yang terkait erat dengan
retensi air dan natrium sehingga volume darah meningkat (Sulastri
dkk., 2012).
8) Konsumsi Kopi
Pengaruh kopi terhadap terjadinya hipertensi saat ini masih
kontroversial. Kopi mempengaruhi tekanan darah karena mengandung
polifenol, kalium, dan kafein. Kafein memiliki efek yang antagonis
kompetitif terhadap reseptor adenosin. Adenosin merupakan
neuromodulator yang mempengaruhi sejumlah fungsi pada susunan
saraf pusat. Hal ini berdampak pada vasokonstriksi dan meningkatkan
total resistensi perifer, yang akan menyebabkan tekanan darah.
Kandunagan kafein pada secangkir kopi sekitar 80-125 mg. Orang
yang tidak mengkonsumsi kopi memiliki tekanan darah yang lebih
rendah dibandingkan orang yang mengkonsumsi 1-3 cangkir per hari.
Dan pria yang mengkonsumsi kopi 3-6 cangkir per hari memiliki
tekanan darah lebih tinggi dibanding pria yang mengkonsumsi 1-3
cangkir per hari (Uiterwaal dkk., 2007).
9) Status Sosial Ekonomi
Orang dengan tekanan darah tidak terkendali biasanya
dihubungkan dengan minimnya status sosial ekonomi. Jenis pekerjaan
13
berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya pendapatan. Pendapatan
yang rendah akan mempengaruhi pendidikan, akses menuju pelayanan
kesehatan, dan kepemilikan asuransi pembayaran gratis. Akan tetapi
status sosial ekonomi bukan penyebab tekanan darah tidak terkendali
secara signifikan. Penelitian NHANES III melaporkan pada 92%
penderita hipertensi tidak terkendali, 86% melaporkan melakukan
perawatan ke layanan kesehatan secara mandiri tanpa asuransi atau
pembayaran gratis. Dalam studi multivariabel di sebuah kota dan
sebagian populasi, juga menekankan kontribusi kepemilikan asuransi
kesehatan dan status ekonomi rendah tidak cukup berhubungan dengan
tekanan darah tidak terkendali (Artiyaningrum, 2015).
5. Klasifikasi Hipertensi
Normal
<120 <80
Pre hipertensi
120-139 80-89
Hipertensi tahap 1
14
140-159 90-99
Hipertensi tahap 2
≥160 ≥100
Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk usia ≥18, maka persentase
hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada
penduduk umur ≥18 tahun (Riskesdas, 2007).
6. Patogenesis Hipertensi
Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa
ditegakkan hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada akhirnya
kesemuanya itu akan menyangkut kendali natrium (Na) di ginjal sehingga
tekanan darah meningkat (Sugiantoro, 2014).
Tekanan darah
Curah jantung Resistensi perifer
Hipertensi = CJ x TPR
5
Preload Kontraktilitas
Denyut jantung Vasokonstriksi
Volume cairan
3 2
Sistem renin angiotensin aldosteron
Sistem saraf simpatis
4
Retensi natrium
15
Gambar 1. Patogenesis hipertensi menurut Kaplan Sugiantoro
(2014).
Sugiantoro (2014) menyatakan bahwa ada empat faktor yang
mendominasi terjadinya hipertensi:
16
independen tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi
secara automatis mengikuti siklus sirkardian.
Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal,
otak, serta dinding vaskular pembuluh darah ialah rsesptor α1, α2, β1, dan
β2. Belakangan ditemukan reseptor β3 di aorta yang ternyata kalau
dihambat dengan beta blocker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka akan
memicu terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida (NO).
Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stress kejiwaan,
rokok, dan sebagainya, akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis berupa
kenaikan katekolamin, nor epinefrin (NE) dan sebagainya. Selanjutnya
neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut jantung (heart rate) lalu
diikuti kenaikan CO atau CJ, sehingga tekanan darah akan meningkat dan
akhirnya akan mengalami agregasi platelet.
Peningkatan neurotransmiter NE ini mempunyai efek negatif
terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor α1, β1, dan β2, yang akan
memicu terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi dan aritmia dengan
akibat progresivitas dari hipertensi aterosklerosis. Karena pada dinding
pembuluh darah juga ada reseptor α1, maka bila NE meningkat hal
tersebut akan memicu vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat
hipertensi (melalui reseptor α1) sehingga hipertensi aterosklerosis juga
makin progresif. Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada
reseptor β1 dan α1 yang akan memicu terjadinya retensi natrium,
mengaktivasi sistem RAA, memicu vasokonstriksi pembuluh darah darah
dengan akibat hipertensi aterosklerosis juga makin progresif (Sugiantoro,
2014).
c. Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)
Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu refleks
baroreseptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA akan dipicu, yang
mana akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin 1 (A1), angiotensin II
17
(AII), dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali. Begitulah
secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi melalui aktivasi dari
sistem RAA. Adapun proses pembentukan renin dimulai dari
pembentukan angiotensin yang dibuat di hati. Selanjutnya
angiotensinogen yang akan dirubah menjadi angiotensin 1 oleh renin yang
dihasilkan oleh makula densa apparat juxta glomerulus ginjal. Lalu
angiotensin 1 akan dirubah menjadi angiotensin II oleh enzim ACE
(angiotensin converting enzyme). Akhirnya angiotensin II ini akan bekerja
pada reseptor-reseptor yang terkait dengan tugas proses fisiologinya ialah
di reseptor AT1, AT2, AT3, AT4.
Faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem RAA.
Tekanan darah makin meningkat, hipertensi ateroskloris makin progresif.
Ternyata yang berperan utama untuk memicu progresifitas ialah
angiotensin II, bukti uji klinisnya sangat kuat. Setiap intervensi klinik
pada tahap-tahap aterosklerosis kardiovaskular kontinum ini terbukti
selalu bisa menghambat progresifitas dan menurunkan risiko kejadian
kardiovaskular (Sugiantoro, 2014).
d. Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit
yang berlanjut terus-menerus sepanjang umur. Paradigma yang baru
tentang hipertensi dimulai dengan disfungsi endotel, lalu berlanjut menjadi
disfungsi vascular, disfungsi biologi berubah, lalu berakhir dengan
kerusakan organ sasaran (target organ damage/TOD). Mungkin hipertensi
ini lebih cocok menjadi bagian dari salah satu gejala sebuah sindroma
penyakit yang akan kita sebut sebagai ”the atherosclerotic syndrome” atau
“the hypertension syndrome”, sebab pada hipertensi sering disertai gejala-
gejala lain berupa resistensi insulin, obesitas, mikroalbuminuria, gangguan
koagulasi, gangguan toleransi glukosa, kerusakan membran transport,
disfungsi endotel, dislipidemia, pembesaran ventrikel kiri, gangguan
18
simpatis parasimpatis. Aterosklerosis akan berjalan progresif dan berakhir
dengan kejadian kardiovaskular. Progresivitas sindrom ateroklerotik ini
dimulai dengan resiko yang tidak dikelola, akibatnya hemodinamika
tekanan darah makin berubah, hipertensi makin meningkat serta vaskular
biologi berubah, dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti
berakhir dengan kejadian kardiovaskular.
7. Gejala Klinis
Menurut Kemenkes RI (2015) hipertensi merupakan silent killer dimana
gejala dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama dengan
gejala penyakit lainnya. Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena
hipertensi tidak memiliki gejala khusus sehingga sering menyebabkan
komplikasi karena perlangsungan yang lama. Gejala yang timbul karena
hipertensi dapat berbeda-beda tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah.
Kadang-kadang hipertensi berjalan tanpa gejala, baru timbul gejala, bila telah
terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, jantung, otak dan mata.
Gejala hipertensi yang sering timbul adalah sakit kepala yang bervariasi dari
ringan sampai berat, pusing kadang-kadang disertai rasa mual sampai muntah,
nyeri tengkuk dan kepala bagian belakang merupakan keluhan yang paling
19
sering dijumpai terutama waktu bangun tidur dipagi hari, nyeri otot dan sendi,
insomnia, badan terasa lemah dan berdebar-debar. Pada umumnya gejala-
gejala ini dapat timbul sepintas dan hilang timbul sehingga penderita tidak
begitu mempersoalkannya. Tetapi, bila sakitnya semakin meningkat dan terus-
menerus, hal ini tidak dapat diabaikan dan harus dicari penyebabnya
(Noerhadi, 2008).
8. Diagnosis
Sugiantoro (2014) menyatakan bahwa pada umumnya penderita
hipertensi tidak mempunyai keluhan. Hipertensi adalah the silent killer.
Penderita baru mempunyai keluhan setelah mengalami komplikasi di TOD.
Secara sistematik anamnesa dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi:
1) Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2) Indikasi adanya hipertensi sekunder
a) Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
b) Infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-obat analgesik
dan obat/bahan lain
c) Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma)
d) Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3) Faktor-faktor risiko
a) Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien
b) Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c) Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
d) Kebiasaan merokok
e) Konsumsi alcohol
20
f) Pola makan
g) Kegemukan
h) intensitas olahraga dan
i) Kepribadian
4) Gejala kerusakan organ
a) Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemik attacks, defisit sensoris atau motoris
b) Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan
bantal tinggi lebih dari dua bantal
c) Ginjal: haus, poliuria, notularia, hematuria. Hipertensi yang
disertai kulit pucat anemis
d) Arteri periver: ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten
b. Pemeriksaan Fisis
Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan pada penderita yang dalam
keadaan nyaman dan relaks, dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pengukuran
TD adalah:
1) Untuk mengukur TD terdapat 3 jenis sphygmomanometer, yaitu
manometer aneroid (kurang akurat bila digunakan berulang-ulang),
manometer elektronik (juga kurang akurat) dan manometer merkuri/air
raksa (ingat merkuri dapat mencemari lingkungan). Gunakan manset
dengan ukuran inflatable bag (karet yang ada di bagian dalam manset)
yang sesuai, yaitu lebar ±40% dari lingkar lengan (rata-rata pada orang
dewasa 12-14 cm) dan panjang ±60-80% lingkar lengan, sehingga
cukup panjang untuk melingkupi lengan.
2) Panjang manset pada lengan atas dengan pusat inflatable bag di atas
arteri brakhialis (pada sisi dalam lengan atas) dan sisi bawah manset
±2,5 cm di atas fossa antecubiti.
21
3) Posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku, lengan harus disangga
(dengan bantal, meja atau benda lain yang stabil) pastikan bahwa
manset setinggi jantung. Cari arteri brakhialis, biasanya sedikit medial
dari tendon bisep.
4) Lakukan pemeriksaan palpasi tekanan darah sistolik (TDS) yaitu ibu
jari atau jari-jari lain diletakkan di atas arteri brakhialis, manset
dipompa/dikembangkan sampai ±30 mmHg di atas tingkat dimana
pulsasi mulai tidak teraba, kemudian manset pelan-pelan dikendurkan
dan akan didapatkan TDS yaitu saat pulsasi mulai teraba kembali.
5) Selanjutnya stetoskop (bagian bell) diletakkan di atas arteri brakhialis,
manset dipompa kembali sampai ±30 mmHg di atas harga pulsasi
TDS, kemudian manset dikendurkan pelan-pelan (kecepatan 2-3
mmHg/detik), tentukan TDS (mulai terdengar suara) dan tekanan
darah diastolik atau TTD (suara mulai menghilang)
6) Pengukuran TD harus dilakukan pada lengan (arteri brakhialis) kanan
dan kiri, setidaknya pernah dilakukan walaupun sekali saja. Normal
antara kanan dan kiri terdapat perbedaan 5-10 mmHg. Bila ada
perbedaan >10-15 mmHg perlu dicurigai adanya kompresi atau
obstruksi arteri pada sisi yang tekanan darahnya lebih rendah.
7) Pada penderita yang mendapat obat antihipertensi dan ada riwayat
pingsan atau postural dizziness, atau pada penderita dengan dugaan
hipovolemik, TD diukur pada posisi tidur, duduk, dan berdiri (kecuali
ada kontraindikasi). Normal dari posisi horizontal ke posisi berdiri
akan menyebabkan TDS sedikit menurun atau tidak berubah dan TTD
sedikit meningkat. Bila saat berdiri TDS turun dan 20 mmHg, apalagi
disertai adanya keluhan, menunjukkan adanya hipotensi ortostatik
(postural). TTD juga bisa turun, penyebabnya adalah obat,
hipovolemia, terlalu lama tirah baring dan gangguan sistem saraf
autonom periver.
22
c. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari tes darah rutin,
glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol LDL
dan HDL serum, trigliserida serum, hemoglobin dan hematokrit, urinalisis
(uji carik celup serta sedimen urin), dan elektrokardiogram.
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya
penyakit penyerta sistemik, yaitu aterosklerosis (melalui pemeriksaan
profil lemak), diabetes (terutama pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal
(dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan
laju filtrasi glomerulus) (Sugiantoro, 2014).
9. Penatalaksanaan
Semua guidline pada umumnya sepakat dan sama untuk target tekanan
darah normal dengan cara modifikasi gaya hidup, kemudian dilanjutkan
dengan farmakoterapi secara individualistik sesuai dengan komorbid dengan
compelling indication yang ada pada penderita. Tujuan pengobatan hipertensi
adalah untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler.
Penurunan tekanan sistolik harus menjadi perhatian utama, karena pada
umunya tekanan diastolik akan terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya
tekanan sistolik (Nafrialdi, 2012).
a. Non Farmakologis
Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dengan perubahan gaya
hidup (lifestyle modification) berupa diet rendah garam, berhenti merokok,
mengurangi konsumsi alkohol, aktifitas fisik yang teratur dan penurunan
berat badan, perubahan gaya hidup juga terbukti meningkatkan efektifitas
obat antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskuler (Nafrialdi,
2012).
Hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko dan tanpa TOD, perubahan
pola hidup dapat dicoba sampai 12 bulan. Sedangkan bila disertai kelainan
23
penyerta (compelling indications) seperti gagal jantung, pasca infark
miokard, penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan riwayat stroke,
maka terapi farmakologi harus dimulai lebih dini mulai dari hipertensi
tingkat 1. Bahkan untuk pasien dengan kelainan ginjal atau diabetes,
pengobatan dimulai pada tahap prehipertensi dengan target TD < 130/80
mmHg (Nafrialdi, 2012).
b. Terapi farmakologi
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim
digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat
reseptor beta adrenergik (β-blocker), ACE-inhibitor, penghambat reseptor
angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, AR), dan antagonis kalsium.
Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker) tidak
dimasukkan dalam kelompok obat lini pertama. Selain itu dikenal juga
tiga kelompok yang dianggap lini kedua yaitu penghambat saraf
adrenergik, agonis α-2 sentral, dan vasodilator (Nafrialdi, 2012).
Hipertensi tanpa penyulit bisa diberikan monoterapi. JNC 7
menganjurkan thiazide sebagai pilihan pertama. Monoterapi bisa
mencapai target tekanan darah normal sekitar 40%. Dengan kombinasi
dua obat atau lebih dapat mencapai tekanan darah normal sekitar 80%.
Bila hipertensi disertai penyulit berupa adanya TOD atau tergolong high
and very high risk group hypertension, maka pengobatan disesuaikan
dengan tabel compelling indications (Sugiantoro, 2014). Bila hipertensi
tidak berkomplikasi (uncomplicated hypertension) maka rata-rata semua
guideline sepakat targetnya ialah 140/90 mmHg. Akan tetapi bila
hipertensi disertai diabetes mellitus atau penyakit ginjal kronis target
tekanan darah harus <130 mmHg (Sugiantoro, 2014).
10. Komplikasi
24
Hubungan kenaikan tekanan darah dengan risiko PKV berlangsung
secara terus-menerus, konsisten dan independen dari faktor-faktor risiko yang
lain. Pada jangka lama bila hipertensi tidak dapat turun stabil pada kisaran
target normo tensi pasti akan merusak organ-organ terkait (TOD) (Sugiantoro,
2014).
Penyakit kardiovaskular utamanya hipertensi tetap menjadi penyebab
kematian tertinggi di dunia. Risiko komplikasi ini bukan hanya tergantung
kepada kenaikan tekanan darah yang terus-menerus, tetapi juga tergantung
bertambahnya umur penderita. Kenaikan tekanan darah yang berlangung lama
juga akan merusak fungsi ginjal seperti nampak pada hasil meta analisis dari
Bakris. Makin tinggi tekanan darah, makin menurun laju filtrasi glomerulus
sehingga akhirnya menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Karena tingginya
tekanan darah adalah faktor risiko independen yang kuat untuk merusak ginjal
menuju penyakit ginjal tahap akhir (PGTA), maka untuk mencegah
progresifitas menuju PGTA, diusahakan untuk dipertahankan tekanan darah
pada kisaran 120/80 mmHg (Sugiantoro, 2014).
11. Pencegahan
Sebagaimana diketahui pre hipertensi bukanlah suatu penyakit, juga
bukan sakit hipertensi, tidak diindikasikan untuk diobati dengan obat farmasi,
bukan target pengobatan hipertensi, tetapi populasi pre hipertensi adalah
kelompok yang beresiko tinggi untuk menuju kejadian penyakit
kardiovaskular. Populasi pre hipertensi ini diprediksi pada akhirnya akan
menjadi hipertensi permanen, sehingga pada populasi ini harus segera
dianjurkan untuk merubah gaya hidup (lifestyle modification) agar tidak
menjadi progresif ke TOD (Sugiantoro, 2014).
Untuk mencegah risiko menjadi hipertensi, dianjurkan untuk
menurunkan asupan garam sampai dibawah 1.500 mg/hari. Diet yang sehat
ialah bilamana dalam makanan sehari-hari kaya dengan buah-buahan segar,
25
sayuran, rendah lemak, makanan yang kaya serat (soluble fibre), protein yang
berasal dari tanaman, juga harus tidak lupa olahraga yang teratur, tidak
mengonsumsi alkohol, mempertahankan berat badan pada kisaran BMI 18,5-
24,9 kg/m2, mengusahakan lingkar perut pada kisaran laki-laki ≤102 cm (Asia
<90 cm), wanita ≤88 cm (Asia <80 cm), harus tidak merokok
dimanapun/kapanpun. Nasihat untuk olah raga adalah sebagai berikut:
frekuensi tujuh kali per minggu, intensitas moderate, waktu sekitar 30-60
menit, tipe aktifitas kardiorespirasi seperti brjalan, joging, bersepeda,
berenang yang non kompetitif (olahraga harus diberikan sebagai tambahan
terhadap terapi farmakologis) (Sugiantoro, 2014).
12. Prognosis
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum yang akan
berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan target
organ (TOD). Hipertensi yang tidak diobati meningkatkan: 35% semua
kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25% kematian PJK, 50%
penyakit jantung kongestif, 25% semua kematian prematur (mati muda), serta
menjadi penyebab tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan
penyebab gagal ginjal terminal (Sugiantoro, 2014).
Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti
penurunan insiden stroke 35% sampai 40%, infark miokard 20% sampai 25%,
dan >50% gagal jantung. Diperkirakan penderita hipertensi dengan hipertensi
stadium 1 (TDS, 140-159 mmHg dan/atau TDD, 90-99 mmHg) dengan faktor
risiko kardiovaskular tambahan, bila berhasil mencapai penurunan TDS
sebesar 12 mmHg yang dapat bertahan selama 10 tahun, maka akan mencegah
satu kematian dari setiap 11 penderita yang telah diobati. Namun, belum ada
studi terhadap hasil terapi pada penderita pre hipertensi (120-139/80-89
mmHg), meskipun diketahui bahwa dari studi TROPHY pemberian terapi
26
pada pre hipertensi dapat menurunkan terjadinya hipertensi sesungguhnya,
walaupun obat telah dihentikan selama satu tahun (Sugiantoro, 2014).
27
1. Prinsip Kedokteran Keluarga
Prinsip-prinsip pelayanan / pendekatan kedokteran keluarga adalah
memberikan / mewujudkan (Anggraini dkk., 2015):
a. Pelayanan yang holistik dan komprehensif
b. Pelayanan yang kontinu
c. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan
d. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif
e. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integrasi
darikeluarganya.
f. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan
lingkungan tempat tinggalnya.
g. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hokum.
h. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan.
i. Pelayanan yang sadar biaya dan mutu.
2. Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-
istri,atau suami istri dan anak; atau ayah dengan anak atau ibu dengan anak
(UU RINo. 10 Th 1992). Menurut Depkes RI, (1998) Keluarga adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri atas KepalaKeluarga dan beberapa orang
yang berkumpul dan tinggal di suatu tempatdibawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan (Anggraini dkk., 2015).
3. Fungsi Keluarga
Fungsi-fungsi keluarga harus dipahami oleh dokter keluarga
untukmembantu menegakkan diagnosis masalah kesehatan yang dihadapi oleh
paraanggota keluarga dan juga dalam mengatasi masalah kesehatan setiap
anggotakeluarga tersebut. Fungsi keluarga banyak macamnya. Di Indonesia
fungsikeluarga dibedakan menjadi 8 macam menurut PP no.21 tahun 1994
(Anggraini dkk., 2015).
28
a. Fungsi keagamaan : memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota
keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga
untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini
dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
b. Fungsi sosial budaya : membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-
norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak,
meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
c. Fungsi cinta kasih : memberikan kasih sayang dan rasa aman,
memberikan perhatian diantara anggota keluarga
d. Fungsi melindungi : melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak
baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman
e. Fungsi reproduksi : meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan
anak, memelihara dan merawat anggota keluarga
f. Fungsi sosialisasi dan pendidikan : mendidik anak sesuai dengan tingkat
perkembangannya, menyekolahkan anak, bagaimana keluarga
mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik
g. Fungsi ekonomi : mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan
keluarga di masa datang
h. Fungsi pembinaan lingkungan : fungsi keluarga yang memberikan
kemampuan kepada setiap keluarga dapat menempatkan diri secara serasi,
selaras dan seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan
yang berubah secara dinamis.
4. Genogram Keluarga
Genogram adalah suatu alat bantu berupa peta skema (visual map) dari
silsilah keluarga pasien yang berguna bagi pemberi layanan kesehatan untuk
segera mendapatkan informasi tentang nama anggota keluarga pasien,
kualitas hubungan antar anggota keluarga. Genogram adalah biopsikososial
29
pohon keluarga, yang mencatat tentang siklus kehidupan keluarga, riwayat
sakit di dalam keluarga serta hubungan antar anggota keluarga (Anggraini
dkk., 2015).
Di dalam genogram berisi : nama, umur, status menikah, riwayat
perkawinan, anak-anak, keluarga satu rumah, penyakit-penyakit spesifik,
tahun meninggal, dan pekerjaan. Juga terdapatinformasi tentang hubungan
emosional, jarak atau konflik antar anggota keluarga, hubunganpenting
dengan profesional yang lain serta informasi-informasi lain yang relevan
(Anggraini dkk., 2015).
Genogram idealnya diisi sejak kunjungan pertama anggota keluarga, dan
selalu dilengkapi (update) setiap ada informasi baru tentang anggota keluarga
pada kunjungan kunjungan selanjutnya.Setiap kejadian emosional keluarga
dapatmempengaruhi atau melibatkan sediktnya 3 generasi keluarga. Sehingga
idealnya, genogramdibuat minimal untuk 3 generasi. Dengan demikian,
genogram dapat membantu dokter untuk (Anggraini dkk., 2015):
a. Mendapat informasi dengan cepat tentang data yang terintegrasi antara
kesehatan fisik dan mental di dalam keluarga.
b. Pola multigenerasi dari penyakit dan disfungsi.
5. Pengukuran Fungsi Keluarga
Pengukuran fungsi keluarga dapat diukur dengan menggunakan
(Anggraini dkk., 2015):
a. APGAR family (Adaptation, Partnership, Growth, Affection, Resolve)
Diciptakan oleh Smilkstein untuk mengetahui fungsi keluarga secara
cepat. Merupakan instrumen skrening untuk disfungsi keluarga dan
mempunyai reliabilitas dan validitas yang adekuat untuk mengukur
tingkat kepuasan mengenai hubungan keluarga secara individual, juga
beratnya disfungsi keluarga. Bila pertanyaan dijawab sering / selalu nilai
2, kadang-kadang nilai 1, jarang / tidak nilai 0. Bila hasil penjumlahan
kelima nilai diatas adalah antara :
30
7-10 : fungsi keluarga baik
1.3 : fungsi keluarga kurang baik
1.3 : fungsi keluarga tidak baik
b. SCREEM (Social Cultural Religion Economic Education Medical). Jika
APGAR family untuk melihat fungsi keluarga secara fisiologis, maka
SCREEM adalah untuk melihat fungsi keluarga secara patologis.
1) Apakah antara anggota keluarga saling memberi perhatian, saling
membantu kalau ada kerepotan masing-masing.Apakah interaksi
dengan tetangga sekitarnya juga berjalan baik dan tidak ada masalah
(Social).
2) Apakah keluarga puas terhadap budaya yang berlaku di daerah itu
(Culture).
3) Apakah keluarga taat dalam beragama (Religion).
4) Apakah status ekonomi keluarga cukup (Economic)
5) Apakah pendidikan tergolong cukup (Education)
6) Apakah dalam mencari pelayanan kesehatan mudah dan ada alat
transportasi (Medical).
31
BAB III
HASIL PENGUMPULAN DATA
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 46 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Tolaki
Alamat : Jl. Laute II
Pekerjaan : Wiraswasta
Tgl pemeriksaan/Jam : Selasa, 22 Oktober 2019 /10.00 WITA
Puskesmas : Perumnas
B. Anamnesis
32
5. Riwayat Kebiasaaan :
Dalam kesehariannya, pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus per
hari. Riwayat alkohol (-) narkoba (-)
6. Riwayat Pengobatan :
Pasien sebelumnya telah mendapat pengobatan amlodipin 10mg, namun
sempat berhenti karena pasien merasa tensinya sudah turun dan gejalanya
sudah berkurang.
7. Riwayat Sosial Ekonomi :
Saat ini Tn. H tinggal bersama ibunya, istri dan dua orang anak perempuan.
Anak pertama telah bersekolah tingkat SMA kelas 3 dan anak kedua telah
bersekolah tingkat SMA kelas 1. Aspek ekonomi keluarga Tn. H tergolong
menengah ke bawah dengan penghasilan utama dari hasil usaha Tn. H.
Keluarga pasien mengatakan sedikit mengalami kesulitan dalam keuangan
yang dihadapi karena penghasilan hanya berasal dari pasien.
8. Riwayat Gizi
Tn. H makan 3 kali dalam sehari. Makanan yang dikonsumsi bebas, makanan
sering mengandung lemak, karbohidrat dan natrium tinggi. Makanan yang
dikonsumsi beragam. Sumber karbohidrat berasal dari nasi, ubi dan sagu. Saat
di tempat kerja, pasien sering mengonsumsi makan-makanan yang instan,
seperti mie instan dan minuman ringan.
Resume:
Tn.H, usia 46 tahun, dengan keluhan sakit kepala terus-menerus yang dialami
sejak 2 hari yang lalu. Keluhan lain, rasa pusing seperti akan jatuh, leher terasa
tegang, bahu terasa pegal, mual (+). Terdapat riwayat Hipertensi sejak 2 tahun
terakhir namun tidak berobat rutin. Riwayat di dalam keluarga, ayah pasien
meninggal (65) karena stroke dan ibunya menderita hipertensi dan DM Tipe II
(72). Saat ini pasien mengkonsumsi antihipertensi Amlodipin 10mg.
33
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum:
Kesan: Sakit ringan Tekanan darah: 160/100 mmHg Anemis : (-)
Kesadaan : E4M6V5 Nadi : 82x/menit Ikterus : (-)
Gizi : Baik Suhu : 36,5 oC Sianosis : (-)
Pernapasan : 20x/menit Lingkar Pinggang : 86 cm
TB : 170 cm BB : 69 kg
IMT: 23,8 (Normal)
Pemeriksaan Toraks : dbn
Pemeriksaan Abdomen : dbn
D. Diagnosis Holistik
E. Penatalaksanaan Holistik
34
F. Identitas Keluarga
1. Profil Keluarga
35
b. Genogram dalam Keluarga
1973 1977
46 42
Tn. H Ny. S
2001 2003
18 16
Nn. N Nn. A
36
G. Identifikasi fungsi-fungsi dalam keluarga
a. Adaptation
Kemampuan anggota keluarga beradaptasi dengan anggota keluarga yang
lain serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota keluarga yang
lain.
b. Partnership
Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara
anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut.
c. Growth
Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang dilakukan
anggota keluarga lain.
d. Affection
Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota.
e. Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan
waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
f. Penilaian
Hampir selalu : 2 poin
Kadang-kadang : 1 poin
Hampir tak pernah: 0 poin
g. Penyimpulan
0-3 : Tidak Sehat
4-6 : Kurang Sehat
7-10 : Sehat
37
Tabel 3. APGAR Score
Sering/ Kadang- Jarang/
No Pertanyaan Skor
Selalu Kadang Tidak
1. Saya puas kembali ke
keluarga saya bila saya 1
menghadapi masalah
2. Saya puas dengan cara
keluarga saya membahas
2
dan membagi masalah
dengan saya
3. Saya puas dengan cara
keluarga saya menerima
dan mendukung keinginan
1
saya untuk melakukan
kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
4. Saya puas dengan cara
keluarga saya
mengekspresikan kasih
1
sayangnya dan merespon
emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
5. Saya puas dengan cara
keluarga saya dan saya
1
membagi waktu bersama-
sama
Total 6
38
2. Fungsi Patologis dengan Alat Screem Score
Fungsi patologis keluarga Tn. H dinilai menggunakan alat SCREEM sebagai
berikut:
Tabel 4. Fungsi S.C.R.E.E.M
Kesimpulan: Ada fungsi patologis keluarga Tn. H yang menjadi hambatan yaitu
fungsi culture, economic, educational dan fungsi medical.
39
BAB IV
MASALAH KESEHATAN
A. Mandala of Health
Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi pada pasien
Hipertensi, digunakan konsep Mandala of Health.
Budaya: mendahulukan
mengkonsumsi obat-obat
tradisional daripada obat dari
dokter.
Ling.psiko sosio-ekonomi:
Perilaku kesehatan: Pendapatan keluarga menengah ke
pengobatan tidak teratur. bawah bersumber dari penghasilan
Masih merokok Tn.H, hubungan sosial baik
FAMILY
40
Tabel 5. Analisis Masalah Kesehatan dengan Pendekatan Mandala of Health
Skor Skor
Masalah Upaya Penyelesaian
Awal Akhir
Faktor Biologis
Ayah Tn.H meninggal 3 - Skrining penyakit kronis ke 4
akibat stroke anggota keluarga lain
terutama pada anak pasien
- Edukasi mengenai penyakit
dan pencegahannya melalui
penyuluhan
41
Faktor Perilaku
Kesehatan
- Pengobatan kurang 3 - Edukasi mengenai penyakit 4
teratur Hipertensi
- Keluarga pasien masih - Edukasi untuk rajin
menerapkan perilaku memeriksakan kesehatan dan
jikalau keluhan yang teratur minum obat
dirasakan masih bisa - Edukasi mengenai bahaya
ditangani keluarga merokok, manfaat berhenti
tidak pergi berobat. merokok, serta perilaku bersih
- Pasien masih belum dan sehat
dapat menghentikan
kebiasaan merokoknya.
42
Skor 3 : keluarga mau melakukan namum perlu penggalian sumber yang belum
dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan oleh sebagian besar
provider.
Skor 4 : keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung pada
upaya provider
Skor 5 : dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga
B. Diagnosis Holistik
1. Aspek Personal
2. Aspek Klinis
43
d. Status gizi : IMT=23,8kg/m2 (Normal), lingkar pinggang=
86cm.
44
f. Kimia : Tn.H merupakan seorang perokok aktif yang
menghabiskan 1 setengah bungkus per hari.
g. Biologi : Tidak ada.
5. Derajat Fungsional
45
BAB V
PEMECAHAN MASALAH
A. Rencana Penatalaksanaan
46
B. Pembahasan
Inisiatif dari pasien ini dibutuhkan untuk sembuh dari keluhan dan tidak
mengabaikan kondisi kesehatannya meski sibuk bekerja sebagai kepala keluarga
agar tidak berlanjut ke arah penyakit yang lebih serius. Selain itu, keluarga
diharapkan memberi dukungan bagi pasien untuk menjalani pengobatannya.
Istri dapat diberikan edukasi untuk menyiapkan makan-makanan dengan bahan
yang sehat dan gizi berimbang untuk menghindarkan pasien dari konsumsi
natrium tambahan yang didapatkan dari makanan-makanan instan di pasar.
Anak-anaknya juga diberi pesan untuk ikut mengingatkannya dalam rutin
mengonsumsi obat-obatannya sesuai jadwal minumnya, dan ikut menghindari
berbagai faktor resiko yang dapat dimodifikasi agar memperlambat atau tidak
terjadi penyakit yang sama dengan ayahnya sebagai keturunannya dengan
menjalani hidup sehat dan bersih.
47
Penanganan dalam menanggulangi berbagai masalah kesehatan di
masyarakat membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, mulai dari tenaga
kesehatan sebagai penyedia fasilitas kesehatan hingga pemerintah sebagai
pengatur kebijakan kesehatan. Upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah
kebijakan pun semakin beragam dalam mendukung terwujudnya masyarakat
yang lebih sehat.
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK)
merupakan salah satu program dalam mewujudkan cita-cita masyarakat sebagai
masyarakat sehat, melalui pendekatan keluarga sebagai untuk meningkatkan
pengetahuan, kesadaran dan kemauan untuk memelihara dan meningkatkan
status kesehatannya hingga keluarga mampu mandiri dalam menemukan faktor
resiko dan melakukan pencegahan dari penyakit khususnya Hipertensi
Upaya petugas kesehatan dalam menanggulangi penyakit juga dapat
dilakukan melalui edukasi dan konseling kepada pasien dan keluarganya,
disamping memberikan pengobatan kepada pasien. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya dan cepatnya perburukan penyakit. Salah
satu program petugas kesehatan di puskesmas sebagai penyedia pelayanan
kesehatan tingkat pertama adalah program pencegahan dan pengendalian
penyakit tidak menular (P2PTM) dengan melakukan Home visit (kumjungan
rumah) ke keluarga pasien, dengan harapan terbentuknya peran aktif keluarga
dalam mengontrol kesehatan pasien dan memberikan motivasi untuk melakukan
pengobatan dan kontrol rutin kesehatan serta menjalankan pola makan yang
disarankan sehingga mampu membantu petugas kesehatan dalam mengontrol
kesehatan pasien dan mencegah perburukan penyakit.
48
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
1. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat.
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
49
Diharapkan dapat memberikan penyuluhan mengenai bahaya dan faktor
risiko hipertensi.
50
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini MT, Novitasari A dan Setiawan MR. 2015. Buku Ajar Kedokteran
Keluarga. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Artiyaningrum, B. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Hipertensi tidak Terkendali pada Penderita yang Melakukan Pemeriksaan
Rutin di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2014. Skripsi.
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Astiari. 2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Hipertensi pada Laki-
Laki Dewasa di Puskesmas Payangan, Kecamatan Payangan Kabupaten
Gianyar. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masarakat Universitas
Udayana. Dempasar
Budi A., 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi tidak
terkendali pada Penderita yang Melakukan Pemeriksaan Rutin di
Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2014. Skripsi. Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang
Hamadi, I., Kundou, G.D., Asrifuddin, A. 2018. Hubungan antara Kebiasaan
Merokok, Aktifitas Fisik dan Konsumsi Alkohol pada Laki-Laki Usia ≥ 18
Tahun dengan Kejadian Hipertensi di Desa Pulisan Tahun 2017. Skripsi.
Bidang Minat Epidemiologi Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Islami, K.I. 2015. Hubungan antara Stres dengan Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan
di Puskesmas Rapak Mahang Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi
Kalimantan Timur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan. Jakarta.
Kementerian kesehatan RI. 2015. INFODATIN Pusat Data dan Informasi
Kemeterian Kesehatan RI Hipertensi. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. INFODATIN Perilaku Merokok Masyarakat
Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kita, H.P., Afrida, Semana A. 2014. Pengaruh Kebiasaan Merokok dan Konsumsi
Alkohol terhadap Kejadian Hipertnsi di RSUD Labuang Baji Makassar.
Jurnal Ilmiah Keshatan Diagnosis 5 (5): 580-585.
51
Lidiyawati dan Kartini, A. 2014. Hubungan Asupan Asam Lemak Jenuh, Asam
Lemak tidak Jenuh dan Natrium dengan Kejadian Hipertensi pada Wanita
Menopause di Kelurahan Bojongsalaman. Journal of Nutrition College
3(4): 612-619.
Mahatidanar, A. 2016. Pengaruh Musik Klasik terhadap Penurunan Tekanan Darah
pada Lansia Penderita Hipertensi. Skripsi. Program Studi Pendidikan
Dokter Universitas Lampung Bandar Lampung. Lampung.
Mannan, H., Wahiduddin, dan Rismayanti. 2012. Faktor Risiko Kejadian Hipertensi
di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto Tahun 2012.
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin. Makassar.
Mukhibbin, A. 2012. Dampak Kebiasaan Merokok, Minum Alkohol dan Obesitas
terhadap Kenaikan Tekanan Darah pada Masyarakat di Desa Gonilan
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Nafrialdi. 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.
Noerhadi M. 2008. Hipertensi dan pengaruhnya terhadap organ-organ tubuh.
Medikora IV(2): 1-18.
Pusparani, I.D. 2016. Gambaran Gaya Hidup pada Penderita Hipertensi di Puskesmas
Ciangsana Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor. Skripsi. Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta.
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Jakarta
Sartik, Tjekyan R.M.S., Zulkarnain M. 2017. Faktor – Faktor Risiko dan Angka
Kejadian Hipertensi pada Penduduk Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat. 8(3):180-191.
Sugiantoro, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Interna Publising.
Jakarta
Susanti, M.K. 2017. Hubungan Asupan Natrium dan Kalium dengan Tekanan Darah
pada Lansia di Kelurahan Pajang. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
52
Setyanda, Y.O.G., Sulastri, D., Lestari. 2015. Hubungan Merokok dengan Kejadian
Hipertensi pada Laki-Laki Usia 35-65 Tahun di Kota Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas 4(2): 434-440.
Sulastri, D., Elmatris, Ramadhani, R. 2012. Hubungan Obesitas dengan Kejadian
Hipertensi pada Masyarakat Etnik Minangkabau Di Kota Padang. Majalah
Kedokteran Andalas 36 (2): 188-201.
Suprihatin, A. 2016. Hubungan antara Kebiasaan Merokok, Aktivitas Fisik, Riwayat
Keluarga dengan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Nguter.
Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.
Tarigan, A.L., Lubis Z., Syarifah., 2018. Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan
Dukungan Keluarga terhadap Diet Hipertensi di Desa Hulu Kecamatan
Pancur Batu Tahun 2016. Jurnal Kesehatan 11 (1): 10-17.
Uiterwaal C.S.P.M. dkk., 2007. Coffee intake and incidence of hypertension. Am J
Clin Nutr. 85(23): 718-723.
World Health Organization. 2015. Global Status Report on Noncommunicable
Diseases 2014. Geneva
53