Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Non Communicable Disease (NCD) atau biasa dikenal dengan penyakit


tidak menular merupakan salah satu penyebab kematian global yang menjadi
tantangan bagi masyarakat pada abad ke 21. Pada tahun 2012 NCD menyebabkan
kematian yaitu 68%, apabila kasus NCD tidak segera dideteksi dan ditangani
dapat meningkatkan angka kematian yaitu 52 juta pada tahun 2030. Asia
menyumbang 54% dari kematian global akibat NCD (World Health Organization,
2014).

World Health Organization (WHO, 2015) menyebutkan bahwa tingginya


insiden kematian akibat NCD di Asia salah satunya disebabkan pola hidup sehat
yang tidak dijaga hal ini ditandai dengan mudahnya akses makanan siap saji
sehingga mengakibatkan kurangnya mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi.
Data global status Report on Noncommunicable Disease tahun 2010 menyebutkan
bahwa sebanyak 40% negara berkembang mengalami hipertensi sedangkan
negara maju insiden kejadian hipertensi hanya 35%. Kawasan Afrika menempati
posisi hipertensi tertinggi yaitu 46% diikuti dengan Asia tenggara yaitu 36% dan
Amerika sebanyak 35%.

Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia yang dimana


kasus hipertensi sering ditemukan pada pelayanan kesehatan tingkat pertama
(Kementerian Kesehatan, 2014). Menurut Riskesdas 2013 memaparkan bahwa
prevalensi kejadian hipertensi yang berada di Indonesia yaitu sebesar 25,8%
selain itu menurut kementerian kesehatan tahun 2013 memaparkan bahwa angka
kejadian hipertensi yaitu sebanyak 31,7% sehingga 1 dari 3 orang dewasa
berpotensi mengalami hipertensi. Sebanyak 76% orang dewasa tidak menyadari
bahwa dirinya sudah terkena hipertensi. Prevalensi hipertensi berdasarkan

1
diagnosis dokter pada penduduk yang berumur > 18 tahun sekitar 8,4%
(Riskesdas, 2018). Data dari profil kesehatan Puskesmas Perumnas Kadia
Sulawesi Tenggara pada tahun 2018 hipertensi menempati urutan ke dua sebagai
penyakit yang sering dijumpai pada pasien rawat jalan sebanyak 688 kasus.

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat atau sedang tidak
melakukan aktivitas fisik berlebihan. Apabila tekanan darah sudah lebih dari
140/90 mmHg dinyatakan hipertensi (batas usia diatas 18 tahun). Peningkatan
tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat
menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (gagal jantung) dan
otak (stroke), apabila tidak dideteksi secara dini dan tidak mendapat pengobatan
yang memadai. Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol
dan jumlahnya terus meningkat (Kemenkes RI, 2015).

Hipertensi merupakan manifestasi atau gejala dari gangguan keseimbangan


hemodinamik sistem kardiovaskuler yang dimana patofisiologi terjadinya
hipertensi dipengaruhi oleh multifaktorial sehingga sulit untuk diterangkan
dengan hanya satu mekanisme tunggal (Yugiantoro, 2014 IPD).

Tingginya angka kejadian hipertensi dipengaruhi oleh dua jenis faktor yaitu
faktor yang tidak dapat diubah seperti genetik, umur, jenis kelamin dan ras.
Faktor risiko yang dapat diubah diantaranya obesitas, merokok, konsumsi
alkohol, kurang berolahraga, konsumsi makanan yang tinggi garam dan lemak,
stress dan tingkat pendidikan (Mukhibbin, 2012; Sartik dkk, 2017; Budi,2015).
Bila faktor risiko yang dapat diubah tidak segera diintervensi maka hipertensi
akan berlanjut menuju penyulit berupa kerusakan-kerusakan di organ sasaran
yang terkait biasa disebut dengan target organ damage (TOD). Pendekatan klinis
pengobatan hipertensi harus meliputi pengendalian tekanan darah sampai kepada

2
normotensi serta mengendalikan faktor risiko dan mengobati semua TOD yang
telah terkena (Yugiantoro, 2014).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui dan Melakukan pendekatan kedokteran keluarga terhadap pasien


Hipertensi

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik (fungsi keluarga, bentuk keluarga, dan siklus


keluarga) keluarga pasien Hipertensi.

b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah


kesehatan pada pasien Hipertensi dan keluarganya.

c. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pasien Hipertensi dan


keluarganya.

C. Manfaat

1. Bagi Penulis

Menerapkan dan memperkaya ilmu pengetahuan yang diperoleh dari


perkuliahan yang diterapkan dalam kedokteran keluarga secara langsung
kepada pasien.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai bahan yangdapat dimanfaatkan dan digunakan oleh instansi terkait


sebagai bahan evaluasi dan bahan pertimbangan mengenai kasus hipertensi
dalam pencegahan dan diagnosis secara holistik yang mempertimbangkan
faktor keluarga dalam pengobatan dan pencegahannya.

3
3. Bagi Pasien dan Keluarga

Memberikan informasi dan pemahaman tidak hanya untuk pasien tetapi juga
keluarga pasien mengenai peranan keluarga dalam menangani penyakit yang
diderita.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hipertensi

1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140


mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat.
Tekanan sistolik menunjukkan fase darah yang dipompa oleh jantung dan
tekanan diastolik menunjukkan fase darah kembali ke dalam jantung
(Kemenkes RI, 2013).
Persistensi peningkatan diatas 140/90 mmHg ini harus terbukti, sebab
bisa saja peningkatan tekanan darah tersebut bersifat transient atau hanya
merupakan peningkatan diurnal dari tekanan darah yang normal sesuai siklus
sirkardian (pagi sampai siang tekanan darah meningkat, malam hari tekanan
darah menurun, tetapi masih dalam batas variasi normal). Beberapa pasien
hanya meningkat tekanan sistoliknya saja disebut isolated systolic
hypertension (ISH), atau yang meningkat hanya tekanan diastoliknya saja
disebut isolated diastolic hypertention (IDH). Ada juga yang disebut white
coat hypertension yaitu tekanan darah yang meningkat waktu diperiksa di
tempat praktik, sedangkan tekanan darah yang diukur sendiri (Home Blood
Pressure Measurement/HBPM) ternyata selalu terukur normal. White coat
hypertension dianggap tidak aman. Hipertensi persisten (sustained
hypertension) adalah istilah tekanan darah yang meningkat (hipertensi), baik
diukur di klinik maupun diluar klinik, termasuk di rumah, dan juga selama
menjalankan aktivitas harian yang biasa dilakukan. Walaupun sama-sama
meningkat, sering kali tekanan darah di klinik lebih tinggi dar pada di luar
klinik (Sugiantoro, 2014).

5
Adapun yang dimaksud dengan hipertensi resisten ialah tekanan darah
yang tidak mencapai target normal meskipun sudah mendapat tiga kelas obat
anti hipertensi yang berbeda dan sudah dengan dosis optimal salah satunya
harus diuretik (Sugiantoro, 2014).

2. Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi ditemukan hampir pada semua populasi dengan angka


kejadian yang berbeda-beda, sebab ada faktor-faktor genetik, ras, regional,
sosial budaya yang juga menyangkut gaya hidup yang juga berbeda.
Hipertensi akan makin meningkat bersama dengan bertambahnya umur, 26%
pada populasi muda (umur ≤50 tahun), terutama pada laki-laki (63%) yang
biasanya didapatkan lebih banyak IDH dibanding ISH, 74% pada populasi tua
(umur >50 tahun) utamanya pada wanita (58%) yang biasanya didapatkan
lebih banyak ISH dibanding IDH. Hipertensi mengambil porsi sekitar 60%
dari seluruh kematian dunia. Pada anak-anak yang tumbuh kembang
hipertensi meningkat mengikuti dengan pertumbuhan badan (Sugiantoro,
2014).
Dengan bertambahnya umur, angka kejadian hipertensi juga makin
meningkat, sehingga diatas umur 60 tahun prevalensinya mencapai 65,4%.
Obesitas, sindroma metabolik, kenaikan berat badan adalah faktor risiko
independen untuk kejadian hipertensi. Faktor asupan NaCL pada diet juga erat
hubungannya dengan kejadian hipertensi. Mengkonsumsi alkohol, rokok,
stress kehidupan sehari-hari, kurang olahraga juga berperan dalam kontribusi
kejadian hipertensi (Sugiantoro, 2014).
Bila anamnesa keluarga ada yang didapatkan hipertensi, maka sebelum
umur 55 tahun risiko menjadi hipertensi diperkirakan sekitar empat kali
dibandingkan dengan anamnesa keluarga yang tidak mendapatkan hipertensi.
Setelah umur 55 tahun, semua orang akan menjadi hipertensi (90%). Menurut

6
NHANES (National Health and Nutrition Examination Surve, 1999-2000),
prevalensi tekanan darah tinggi pada populasi dewasa yang berumur di atas 20
tahun di Amerika Serikat, adalah sebagai berikut: normal 38%, pre hipertensi
31%, hipertensi 31% (Sugiantoro, 2014).

3. Etiologi Hipertensi

a. Hipertensi Primer (Primary Hipertention)

Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik. Jenis


hipertensi ini merupakan hipertensi yang tidak jelas etiologinya atau tidak
diketahui penyebabnya, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya
hidup seperti kurang bergerak dan pola makan. Lebih dari 90% kasus
hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan yang terjadi pada
umumnya kelainan hemodinamik, pada hipertensi esensial kelainan yang
utama adalah peningkatan resistensi periver (Kemenkes RI, 2015).
Penyebab hipertensi esensial adalah multifaktorial, terdiri dari faktor
genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat
dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga yang pernah
terdiagnosis oleh dokter. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa
sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan
reaktivitas vaskuler (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin.
Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem rennin
angiotensin aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas garam
terhadap tekanan darah sehingga terjadi peningkatan volume intravaskuler
(Mahatidanar, 2016).
Selain faktor genetik, faktor lingkungan yang memengaruhi antara lain
yaitu asupan natrium berlebihan, stress psikis, obesitas dan gaya hidup
yang tidak sehat serta konsumsi alkohol dan merokok (Pusparani, 2016).

7
b. Hipertensi Sekunder (Secondary Hipertention)

Berbeda dengan hipertensi primer, hipertensi sekunder merupakan


hipertensi yang telah diketahui pasti penyebabnya yang diakibatkan oleh
suatu penyakit atau gangguan organ tertentu. Pada sekitar 5-10% penderita
hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu
misalnya penggunaan pil KB (Kemenkes RI, 2015).

4. Faktor Risiko Hipertensi


a. Faktor yang tidak dapat Dikontrol

1) Umur
Semakin bertambahnya umur elastisitas pembuluh darah semakin
menurun dan terjadi kekakuan dan kerapuhan pembuluh darah
sehingga aliran darah terutama ke otak menjadi terganggu, seiring
dengan bertambahnya usia dapat meningkatkan kejadian hipertensi
(Gama dkk., 2014). Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia,
kebanyakan orang mengalami hipertensi ketika berumur lima puluhan
atau enam puluhan (Tarigan, 2018).
2) Jenis Kelamin
Faktor gender berpengaruh pada kejadian hipertensi, dimana pria lebih
berisiko menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan risiko
sebesar 2,29 kali untuk meningkatkan tekanan darah sistolik (Astiari,
2016). Pada pria hipertensi lebih banyak disebabkan oleh pekerjaan,
seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan. Sampai usia 55
tahun pria berisiko lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan wanita
(Tarigan, 2018). Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung
dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita.

8
Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada
wanita meningkat dua kali lebih besar setelah menopause
dibandingkan wanita sebelum menopause. Bahkan setelah usia 65
tahun, hal ini terjadi diakibatkan oleh berkurangnya hormon estrogen
pada wanita setelah mengalami menopause, sehingga menyebabkan
terjadinya vasokontriksi pembuluh darah dan berakibat pada
peningkatan tekanan darah (Astiari, 2016).
3) Keturunan
Riwayat hipertensi yang di dapat pada kedua orang tua, akan
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi esensial sekitar 70-80%.
Orang yang memiliki keluarga yang menderita hipertensi, memiliki
risiko lebih besar menderita hipertensi esensial. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya antara
potassium terhadap sodium. Hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan, jika seorang dari orang tua menderita hipertensi maka
sepanjang hidup keturunanya mempunyai 25% kemungkinan
menderita pula. Jika kedua orang tua menderita hipertensi maka
kemungkinan 60% keturunanya akan menderita hipertensi juga
(Suprihatin, 2016; Mannan dkk., 2012).
4) Ras
Pada umumnya hipertensi terjadi pada orang yang berkulit hitam bila
dibandingkan dengan orang berkulit putih, serta lebih besar tingkat
morbiditas maupun mortalitasnya. Sampai saat ini, belum diketahui
secara pasti penyebabnya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa
terdapat kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya
mungkin bersifat poligenik. Berbagai golongan etnik dapat berbeda
dalam kebiasaan makan, susunan genetika, dan sebagainya yang dapat
mengakibatkan angka kesakitan dan kematian (Artiyaningrum, 2015).

9
b. Faktor yang dapat Dikontrol
1) Aktivitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik lebih cenderung berpotensi untuk
terjadinya hipertensi dan lebih berisiko sebesar 1,02 kali dibanding
orang yang melakukan aktivitas fisiknya. Kurangnya aktifitas fisik
akan menurunkan daya tahan tubuh menjadi lemah dan lesuh
sehingga semua penyakit dengan gampang menyerang tubuh kita,
misalnya hipertensi (Hamadi dkk, 2017).
2) Merokok
Merokok dapat menyebabkan terjadinya hipertensi karena
didalam rokok itu mengandung 4.000 zat kimia yang dapat memicu
terjadinya hipertensi beberapa diantaranya tar, nikotin dan karbon
dioksida. Ketika tar masuk didalam tubuh kita tar ini akan langsung
menyerang dan merusak sel dan jaringan yang ada didalam tubuh kita,
kemudian nikotin ketika sudah masuk didalam tubuh maka nikotin ini
akan memengaruhi sistim kerja otak sehingga membuat para perokok
ketergantung atau ketagihan, dan karbon dioksida dapat memengaruhi
kemampuan hemoglobin darah, sebagaimana kita ketahui bahwa
fungsi hemoglobin untuk mengikat sari-sari makanan dan oksigen
yang diperlukan oleh sel dan jaringan, ketika fungsi ini terganggu
maka jantung akan bekerja keras memompa darah untuk memenuhi
apa yang dibutuhkan oleh sel dan jaringan maka disinilah mulai terjadi
hipertensi (Setyanda dkk, 2015).
3) Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol adalah memasukan air (atau benda cair)
kedalam mulut dan meneguk minuman tersebut, minuman yang
memabukan seperti beer, anggur, arak, dan tuak. Kebiasaan
mengonsumsi minuman beralkohol juga dapat memengaruhi
terjadinya hipertensi, karena didalam alkohol terdapat senyawa kimia

10
yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah, salah
satunya hidroginium memiliki pengaruh terhadap kejadian hipertensi
dan secara keseluruhan semakin banyak alkohol yang dikonsumsi
semakin tinggi tekanan darahnya. Alkohol juga bisa meningkatkan
keasaman darah sehingga menjadi lebih kental. Kekentalan darah ini
memaksa jantung memompah darah lebih kuat lagi, agar darah dapat
sampai ke jaringan yang membutuhkan dengan cukup. Ini yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah/hipertensi (Kita
dkk, 2014).
4) Stress
Seseorang dengan stress kejiwaan mengalami hipertensi. Kondisi
stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis yang kemudian
meningkatkan tekanan darah secara bertahap, artinya semakin berat
kondisi stress seseorang maka semakin tinggi pula tekanan darahnya.
Stress merupakan rasa takut dan cemas dari perasaan dan tubuh
seseorang terhadap adanya perubahan dari lingkungan. Apabila ada
sesuatu hal yang mengancam secara fisiologis kelenjar pituitary otak
akan mengirimkan hormon kelenjar endokrin kedalam darah, hormon
ini berfungsi untuk mengaktifkan hormon adrenalin dan hidrokortison,
sehingga membuat tubuh dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan
yang terjadi. Secara alamiah dalam kondisi seperti ini seseorang akan
merasakan detak jantung yang lebih cepat dan keringat dingin yang
mengalir di daerah tengkuk. Selain itu peningkatan aliran darah ke
otot-otot rangka dan penurunan aliran darah ke ginjal, kulit, dan
saluran pencernaan juga dapat terjadi karena stress.
Kondisi stress yang membuat tubuh menghasilkan hormon
adrenalin lebih banyak, membuat jantung bekerja lebih kuat dan cepat.
Apabila terjadi dalam jangka waktu yang lama maka akan timbul
rangkaian reaksi dari organ tubuh lain. Perubahan fungsional tekanan

11
darah yang disebabkan oleh kondisi stress dapat menyebabkan
hipertropi kardiovaskuler bila berulang secara intermitten. Begitu pula
stress yang dialami penderita hipertensi, maka akan memengaruhi
peningkatan tekanan darahnya yang cenderung menetap atau bahkan
dapat bertambah tinggi sehingga menyebabkan kondisi hipertensinya
menjadi lebih berat (Islami, 2015).
5) Konsumsi Natrium
Konsumsi natrium dalam jumlah yang tinggi dapat memengaruhi
tekanan darah tinggi terjadi melalui peningkatan volume plasma dan
tekanan darah. Natrium merupakan kation utama dalam cairan
ekstraseluler yang berperan penting dalam mempertahankan volume
plasma dan ekstraseluler, keseimbangan asam basa dan juga
neuromuskular. Asupan tinggi natrium dapat menyebabkan
konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat sehingga
untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik keluar dan
mengakibatkan meningkatnya volume darah dan berdampak pada
peningkatan tekanan darah (Susanti, 2017).
6) Konsumsi Lemak
Asupan lemak jenuh/(Saturated Fatty Acid) SFA yang berlebih
dapat memicu terjadinya aterosklerosis yang merupakan salah satu
faktor risiko hipertensi terkait dengan peningkatan resistensi dinding
pembuluh darah. Hal ini disebabkan karena pembuluh darah yang
mengalami aterosklerosis selain terjadi peningkatan resistensi pada
dindingnya juga mengalami penyempitan, sehingga memicu
peningkatan denyut jantung dan peningkatan volume aliran darah yang
berakibat pada meningkatnya tekanan darah serta terjadi hipertensi
(Lidiyawati dan Kartini, 2014).

12
7) Obesitas
Obesitas dapat menimbulkan terjadinya hipertensi melalui
berbagai mekanisme, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung obesitas dapat menyebabkan peningkatan cardiac
output karena makin besar massa tubuh makin banyak pula jumlah
darah yang beredar sehingga curah jantung ikut meningkat. Sedangkan
secara tidak langsung melalui perangsangan aktivitas sistem saraf
simpatis dan Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS) oleh
mediator-mediator seperti hormon, sitokin, adipokin, dan sebagainya.
Salah satunya adalah hormon aldosteron yang terkait erat dengan
retensi air dan natrium sehingga volume darah meningkat (Sulastri
dkk., 2012).
8) Konsumsi Kopi
Pengaruh kopi terhadap terjadinya hipertensi saat ini masih
kontroversial. Kopi mempengaruhi tekanan darah karena mengandung
polifenol, kalium, dan kafein. Kafein memiliki efek yang antagonis
kompetitif terhadap reseptor adenosin. Adenosin merupakan
neuromodulator yang mempengaruhi sejumlah fungsi pada susunan
saraf pusat. Hal ini berdampak pada vasokonstriksi dan meningkatkan
total resistensi perifer, yang akan menyebabkan tekanan darah.
Kandunagan kafein pada secangkir kopi sekitar 80-125 mg. Orang
yang tidak mengkonsumsi kopi memiliki tekanan darah yang lebih
rendah dibandingkan orang yang mengkonsumsi 1-3 cangkir per hari.
Dan pria yang mengkonsumsi kopi 3-6 cangkir per hari memiliki
tekanan darah lebih tinggi dibanding pria yang mengkonsumsi 1-3
cangkir per hari (Uiterwaal dkk., 2007).
9) Status Sosial Ekonomi
Orang dengan tekanan darah tidak terkendali biasanya
dihubungkan dengan minimnya status sosial ekonomi. Jenis pekerjaan

13
berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya pendapatan. Pendapatan
yang rendah akan mempengaruhi pendidikan, akses menuju pelayanan
kesehatan, dan kepemilikan asuransi pembayaran gratis. Akan tetapi
status sosial ekonomi bukan penyebab tekanan darah tidak terkendali
secara signifikan. Penelitian NHANES III melaporkan pada 92%
penderita hipertensi tidak terkendali, 86% melaporkan melakukan
perawatan ke layanan kesehatan secara mandiri tanpa asuransi atau
pembayaran gratis. Dalam studi multivariabel di sebuah kota dan
sebagian populasi, juga menekankan kontribusi kepemilikan asuransi
kesehatan dan status ekonomi rendah tidak cukup berhubungan dengan
tekanan darah tidak terkendali (Artiyaningrum, 2015).

5. Klasifikasi Hipertensi

Menurut the seventh report of the joint national committee on


prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure (JNC
VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok
normal, pre hipertensi, hipertensi tahap 1, dan hipertensi tahap 2 (Kemenkes
RI, 2015).
Tabel 1. Klasifikasi tingkat tekanan darah menurut JNC VII.

Kategori Sistolik(mmHg) Diastolik(mmHg)

Normal
<120 <80

Pre hipertensi
120-139 80-89

Hipertensi tahap 1

14
140-159 90-99

Hipertensi tahap 2
≥160 ≥100

Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk usia ≥18, maka persentase
hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada
penduduk umur ≥18 tahun (Riskesdas, 2007).
6. Patogenesis Hipertensi
Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa
ditegakkan hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada akhirnya
kesemuanya itu akan menyangkut kendali natrium (Na) di ginjal sehingga
tekanan darah meningkat (Sugiantoro, 2014).

Tekanan darah
Curah jantung Resistensi perifer

Hipertensi = CJ x TPR

5
Preload Kontraktilitas
Denyut jantung Vasokonstriksi

Volume cairan
3 2
Sistem renin angiotensin aldosteron
Sistem saraf simpatis
4
Retensi natrium

Asupan natrium Faktor genetik


1

15
Gambar 1. Patogenesis hipertensi menurut Kaplan Sugiantoro
(2014).
Sugiantoro (2014) menyatakan bahwa ada empat faktor yang
mendominasi terjadinya hipertensi:

a. Peran Volume Intravaskular


Menurut Kaplan tekanan darah adalah hasil interaksi antara cardiac
uotput (CO) atau curah jantung (CJ) dan TPR (total peripheral
resistance/tahanan total periver) yang masing-masing dipengaruhi oleh
beberapa faktor.
Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan
tekanan darah dari waktu ke waktu tergantung keadaan TPR apakah dalam
posisi vasodilatasi atau vasokonstriksi. Bila asupan Natrium Chlorida
(NaCL) meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam
keluar bersama urin ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya
mengekskresi NaCL ini melebihi ambang kemampuan ginjal, maka ginjal
akan meretensi H2O sehingga volume intravaskular meningkat. Pada
gilirannya CO dan CJ juga akan meningkat. Akibatnya akan terjadi
ekspansi volume intravaskular, sehingga tekanan darah meningkat. Seiring
dengan perjalanan waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara berangsur
CO atau CJ akan turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila TPR
vasodilatasi tekanan darah akan meningkat (Sugiantoro, 2014).
b. Peran Kendali Saraf Autonom
Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah sistem saraf
simpatis, yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf viseral
(termasuk ginjal) melalui neurotransmiter: katekolamin, epinefrin,
maupun dopamin. Sedangkan saraf parasimpatis adalah yang menghambat
stimulasi saraf simpatis. Regulasi simpatis dan parasimpatis berlangsung

16
independen tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi
secara automatis mengikuti siklus sirkardian.
Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal,
otak, serta dinding vaskular pembuluh darah ialah rsesptor α1, α2, β1, dan
β2. Belakangan ditemukan reseptor β3 di aorta yang ternyata kalau
dihambat dengan beta blocker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka akan
memicu terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida (NO).
Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stress kejiwaan,
rokok, dan sebagainya, akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis berupa
kenaikan katekolamin, nor epinefrin (NE) dan sebagainya. Selanjutnya
neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut jantung (heart rate) lalu
diikuti kenaikan CO atau CJ, sehingga tekanan darah akan meningkat dan
akhirnya akan mengalami agregasi platelet.
Peningkatan neurotransmiter NE ini mempunyai efek negatif
terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor α1, β1, dan β2, yang akan
memicu terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi dan aritmia dengan
akibat progresivitas dari hipertensi aterosklerosis. Karena pada dinding
pembuluh darah juga ada reseptor α1, maka bila NE meningkat hal
tersebut akan memicu vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat
hipertensi (melalui reseptor α1) sehingga hipertensi aterosklerosis juga
makin progresif. Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada
reseptor β1 dan α1 yang akan memicu terjadinya retensi natrium,
mengaktivasi sistem RAA, memicu vasokonstriksi pembuluh darah darah
dengan akibat hipertensi aterosklerosis juga makin progresif (Sugiantoro,
2014).
c. Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)
Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu refleks
baroreseptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA akan dipicu, yang
mana akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin 1 (A1), angiotensin II

17
(AII), dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali. Begitulah
secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi melalui aktivasi dari
sistem RAA. Adapun proses pembentukan renin dimulai dari
pembentukan angiotensin yang dibuat di hati. Selanjutnya
angiotensinogen yang akan dirubah menjadi angiotensin 1 oleh renin yang
dihasilkan oleh makula densa apparat juxta glomerulus ginjal. Lalu
angiotensin 1 akan dirubah menjadi angiotensin II oleh enzim ACE
(angiotensin converting enzyme). Akhirnya angiotensin II ini akan bekerja
pada reseptor-reseptor yang terkait dengan tugas proses fisiologinya ialah
di reseptor AT1, AT2, AT3, AT4.
Faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem RAA.
Tekanan darah makin meningkat, hipertensi ateroskloris makin progresif.
Ternyata yang berperan utama untuk memicu progresifitas ialah
angiotensin II, bukti uji klinisnya sangat kuat. Setiap intervensi klinik
pada tahap-tahap aterosklerosis kardiovaskular kontinum ini terbukti
selalu bisa menghambat progresifitas dan menurunkan risiko kejadian
kardiovaskular (Sugiantoro, 2014).
d. Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit
yang berlanjut terus-menerus sepanjang umur. Paradigma yang baru
tentang hipertensi dimulai dengan disfungsi endotel, lalu berlanjut menjadi
disfungsi vascular, disfungsi biologi berubah, lalu berakhir dengan
kerusakan organ sasaran (target organ damage/TOD). Mungkin hipertensi
ini lebih cocok menjadi bagian dari salah satu gejala sebuah sindroma
penyakit yang akan kita sebut sebagai ”the atherosclerotic syndrome” atau
“the hypertension syndrome”, sebab pada hipertensi sering disertai gejala-
gejala lain berupa resistensi insulin, obesitas, mikroalbuminuria, gangguan
koagulasi, gangguan toleransi glukosa, kerusakan membran transport,
disfungsi endotel, dislipidemia, pembesaran ventrikel kiri, gangguan

18
simpatis parasimpatis. Aterosklerosis akan berjalan progresif dan berakhir
dengan kejadian kardiovaskular. Progresivitas sindrom ateroklerotik ini
dimulai dengan resiko yang tidak dikelola, akibatnya hemodinamika
tekanan darah makin berubah, hipertensi makin meningkat serta vaskular
biologi berubah, dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti
berakhir dengan kejadian kardiovaskular.

Hipertensi sudah diakui sebagai penyebab utama aterosklerosis.


Disfungsi endotel adalah merupakan risiko akibat adanya semua faktor risiko.
Penanda adanya disfungsi endotel dapat dilihat pada retina mata dan dapat
juga dilihat pada ginjal (glomerulus), yaitu bilamana ditemukan
mikroalbuminuria pada pemeriksaan urin. Kesimpulannya hipertensi adalah
hanya salah satu gejala dari sebuah sindroma yang akan lebih sesuai bila
disebut sebagai sindroma hipertensi aterosklerotik (bukan merupakan penyakit
sendiri, kemudian akan memicu pengerasan pembuluh darah sampai terjadi
kerusakan target organ terkait (Sugiantoro, 2014).

7. Gejala Klinis
Menurut Kemenkes RI (2015) hipertensi merupakan silent killer dimana
gejala dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama dengan
gejala penyakit lainnya. Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena
hipertensi tidak memiliki gejala khusus sehingga sering menyebabkan
komplikasi karena perlangsungan yang lama. Gejala yang timbul karena
hipertensi dapat berbeda-beda tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah.
Kadang-kadang hipertensi berjalan tanpa gejala, baru timbul gejala, bila telah
terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, jantung, otak dan mata.
Gejala hipertensi yang sering timbul adalah sakit kepala yang bervariasi dari
ringan sampai berat, pusing kadang-kadang disertai rasa mual sampai muntah,
nyeri tengkuk dan kepala bagian belakang merupakan keluhan yang paling

19
sering dijumpai terutama waktu bangun tidur dipagi hari, nyeri otot dan sendi,
insomnia, badan terasa lemah dan berdebar-debar. Pada umumnya gejala-
gejala ini dapat timbul sepintas dan hilang timbul sehingga penderita tidak
begitu mempersoalkannya. Tetapi, bila sakitnya semakin meningkat dan terus-
menerus, hal ini tidak dapat diabaikan dan harus dicari penyebabnya
(Noerhadi, 2008).

8. Diagnosis
Sugiantoro (2014) menyatakan bahwa pada umumnya penderita
hipertensi tidak mempunyai keluhan. Hipertensi adalah the silent killer.
Penderita baru mempunyai keluhan setelah mengalami komplikasi di TOD.
Secara sistematik anamnesa dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi:
1) Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2) Indikasi adanya hipertensi sekunder
a) Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
b) Infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-obat analgesik
dan obat/bahan lain
c) Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma)
d) Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3) Faktor-faktor risiko
a) Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien
b) Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c) Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
d) Kebiasaan merokok
e) Konsumsi alcohol

20
f) Pola makan
g) Kegemukan
h) intensitas olahraga dan
i) Kepribadian
4) Gejala kerusakan organ
a) Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemik attacks, defisit sensoris atau motoris
b) Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan
bantal tinggi lebih dari dua bantal
c) Ginjal: haus, poliuria, notularia, hematuria. Hipertensi yang
disertai kulit pucat anemis
d) Arteri periver: ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten
b. Pemeriksaan Fisis
Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan pada penderita yang dalam
keadaan nyaman dan relaks, dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pengukuran
TD adalah:
1) Untuk mengukur TD terdapat 3 jenis sphygmomanometer, yaitu
manometer aneroid (kurang akurat bila digunakan berulang-ulang),
manometer elektronik (juga kurang akurat) dan manometer merkuri/air
raksa (ingat merkuri dapat mencemari lingkungan). Gunakan manset
dengan ukuran inflatable bag (karet yang ada di bagian dalam manset)
yang sesuai, yaitu lebar ±40% dari lingkar lengan (rata-rata pada orang
dewasa 12-14 cm) dan panjang ±60-80% lingkar lengan, sehingga
cukup panjang untuk melingkupi lengan.
2) Panjang manset pada lengan atas dengan pusat inflatable bag di atas
arteri brakhialis (pada sisi dalam lengan atas) dan sisi bawah manset
±2,5 cm di atas fossa antecubiti.

21
3) Posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku, lengan harus disangga
(dengan bantal, meja atau benda lain yang stabil) pastikan bahwa
manset setinggi jantung. Cari arteri brakhialis, biasanya sedikit medial
dari tendon bisep.
4) Lakukan pemeriksaan palpasi tekanan darah sistolik (TDS) yaitu ibu
jari atau jari-jari lain diletakkan di atas arteri brakhialis, manset
dipompa/dikembangkan sampai ±30 mmHg di atas tingkat dimana
pulsasi mulai tidak teraba, kemudian manset pelan-pelan dikendurkan
dan akan didapatkan TDS yaitu saat pulsasi mulai teraba kembali.
5) Selanjutnya stetoskop (bagian bell) diletakkan di atas arteri brakhialis,
manset dipompa kembali sampai ±30 mmHg di atas harga pulsasi
TDS, kemudian manset dikendurkan pelan-pelan (kecepatan 2-3
mmHg/detik), tentukan TDS (mulai terdengar suara) dan tekanan
darah diastolik atau TTD (suara mulai menghilang)
6) Pengukuran TD harus dilakukan pada lengan (arteri brakhialis) kanan
dan kiri, setidaknya pernah dilakukan walaupun sekali saja. Normal
antara kanan dan kiri terdapat perbedaan 5-10 mmHg. Bila ada
perbedaan >10-15 mmHg perlu dicurigai adanya kompresi atau
obstruksi arteri pada sisi yang tekanan darahnya lebih rendah.
7) Pada penderita yang mendapat obat antihipertensi dan ada riwayat
pingsan atau postural dizziness, atau pada penderita dengan dugaan
hipovolemik, TD diukur pada posisi tidur, duduk, dan berdiri (kecuali
ada kontraindikasi). Normal dari posisi horizontal ke posisi berdiri
akan menyebabkan TDS sedikit menurun atau tidak berubah dan TTD
sedikit meningkat. Bila saat berdiri TDS turun dan 20 mmHg, apalagi
disertai adanya keluhan, menunjukkan adanya hipotensi ortostatik
(postural). TTD juga bisa turun, penyebabnya adalah obat,
hipovolemia, terlalu lama tirah baring dan gangguan sistem saraf
autonom periver.

22
c. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari tes darah rutin,
glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol LDL
dan HDL serum, trigliserida serum, hemoglobin dan hematokrit, urinalisis
(uji carik celup serta sedimen urin), dan elektrokardiogram.
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya
penyakit penyerta sistemik, yaitu aterosklerosis (melalui pemeriksaan
profil lemak), diabetes (terutama pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal
(dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan
laju filtrasi glomerulus) (Sugiantoro, 2014).

9. Penatalaksanaan
Semua guidline pada umumnya sepakat dan sama untuk target tekanan
darah normal dengan cara modifikasi gaya hidup, kemudian dilanjutkan
dengan farmakoterapi secara individualistik sesuai dengan komorbid dengan
compelling indication yang ada pada penderita. Tujuan pengobatan hipertensi
adalah untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler.
Penurunan tekanan sistolik harus menjadi perhatian utama, karena pada
umunya tekanan diastolik akan terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya
tekanan sistolik (Nafrialdi, 2012).
a. Non Farmakologis
Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dengan perubahan gaya
hidup (lifestyle modification) berupa diet rendah garam, berhenti merokok,
mengurangi konsumsi alkohol, aktifitas fisik yang teratur dan penurunan
berat badan, perubahan gaya hidup juga terbukti meningkatkan efektifitas
obat antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskuler (Nafrialdi,
2012).
Hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko dan tanpa TOD, perubahan
pola hidup dapat dicoba sampai 12 bulan. Sedangkan bila disertai kelainan

23
penyerta (compelling indications) seperti gagal jantung, pasca infark
miokard, penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan riwayat stroke,
maka terapi farmakologi harus dimulai lebih dini mulai dari hipertensi
tingkat 1. Bahkan untuk pasien dengan kelainan ginjal atau diabetes,
pengobatan dimulai pada tahap prehipertensi dengan target TD < 130/80
mmHg (Nafrialdi, 2012).

b. Terapi farmakologi
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim
digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat
reseptor beta adrenergik (β-blocker), ACE-inhibitor, penghambat reseptor
angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, AR), dan antagonis kalsium.
Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker) tidak
dimasukkan dalam kelompok obat lini pertama. Selain itu dikenal juga
tiga kelompok yang dianggap lini kedua yaitu penghambat saraf
adrenergik, agonis α-2 sentral, dan vasodilator (Nafrialdi, 2012).
Hipertensi tanpa penyulit bisa diberikan monoterapi. JNC 7
menganjurkan thiazide sebagai pilihan pertama. Monoterapi bisa
mencapai target tekanan darah normal sekitar 40%. Dengan kombinasi
dua obat atau lebih dapat mencapai tekanan darah normal sekitar 80%.
Bila hipertensi disertai penyulit berupa adanya TOD atau tergolong high
and very high risk group hypertension, maka pengobatan disesuaikan
dengan tabel compelling indications (Sugiantoro, 2014). Bila hipertensi
tidak berkomplikasi (uncomplicated hypertension) maka rata-rata semua
guideline sepakat targetnya ialah 140/90 mmHg. Akan tetapi bila
hipertensi disertai diabetes mellitus atau penyakit ginjal kronis target
tekanan darah harus <130 mmHg (Sugiantoro, 2014).

10. Komplikasi

24
Hubungan kenaikan tekanan darah dengan risiko PKV berlangsung
secara terus-menerus, konsisten dan independen dari faktor-faktor risiko yang
lain. Pada jangka lama bila hipertensi tidak dapat turun stabil pada kisaran
target normo tensi pasti akan merusak organ-organ terkait (TOD) (Sugiantoro,
2014).
Penyakit kardiovaskular utamanya hipertensi tetap menjadi penyebab
kematian tertinggi di dunia. Risiko komplikasi ini bukan hanya tergantung
kepada kenaikan tekanan darah yang terus-menerus, tetapi juga tergantung
bertambahnya umur penderita. Kenaikan tekanan darah yang berlangung lama
juga akan merusak fungsi ginjal seperti nampak pada hasil meta analisis dari
Bakris. Makin tinggi tekanan darah, makin menurun laju filtrasi glomerulus
sehingga akhirnya menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Karena tingginya
tekanan darah adalah faktor risiko independen yang kuat untuk merusak ginjal
menuju penyakit ginjal tahap akhir (PGTA), maka untuk mencegah
progresifitas menuju PGTA, diusahakan untuk dipertahankan tekanan darah
pada kisaran 120/80 mmHg (Sugiantoro, 2014).

11. Pencegahan
Sebagaimana diketahui pre hipertensi bukanlah suatu penyakit, juga
bukan sakit hipertensi, tidak diindikasikan untuk diobati dengan obat farmasi,
bukan target pengobatan hipertensi, tetapi populasi pre hipertensi adalah
kelompok yang beresiko tinggi untuk menuju kejadian penyakit
kardiovaskular. Populasi pre hipertensi ini diprediksi pada akhirnya akan
menjadi hipertensi permanen, sehingga pada populasi ini harus segera
dianjurkan untuk merubah gaya hidup (lifestyle modification) agar tidak
menjadi progresif ke TOD (Sugiantoro, 2014).
Untuk mencegah risiko menjadi hipertensi, dianjurkan untuk
menurunkan asupan garam sampai dibawah 1.500 mg/hari. Diet yang sehat
ialah bilamana dalam makanan sehari-hari kaya dengan buah-buahan segar,

25
sayuran, rendah lemak, makanan yang kaya serat (soluble fibre), protein yang
berasal dari tanaman, juga harus tidak lupa olahraga yang teratur, tidak
mengonsumsi alkohol, mempertahankan berat badan pada kisaran BMI 18,5-
24,9 kg/m2, mengusahakan lingkar perut pada kisaran laki-laki ≤102 cm (Asia
<90 cm), wanita ≤88 cm (Asia <80 cm), harus tidak merokok
dimanapun/kapanpun. Nasihat untuk olah raga adalah sebagai berikut:
frekuensi tujuh kali per minggu, intensitas moderate, waktu sekitar 30-60
menit, tipe aktifitas kardiorespirasi seperti brjalan, joging, bersepeda,
berenang yang non kompetitif (olahraga harus diberikan sebagai tambahan
terhadap terapi farmakologis) (Sugiantoro, 2014).

12. Prognosis
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum yang akan
berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan target
organ (TOD). Hipertensi yang tidak diobati meningkatkan: 35% semua
kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25% kematian PJK, 50%
penyakit jantung kongestif, 25% semua kematian prematur (mati muda), serta
menjadi penyebab tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan
penyebab gagal ginjal terminal (Sugiantoro, 2014).
Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti
penurunan insiden stroke 35% sampai 40%, infark miokard 20% sampai 25%,
dan >50% gagal jantung. Diperkirakan penderita hipertensi dengan hipertensi
stadium 1 (TDS, 140-159 mmHg dan/atau TDD, 90-99 mmHg) dengan faktor
risiko kardiovaskular tambahan, bila berhasil mencapai penurunan TDS
sebesar 12 mmHg yang dapat bertahan selama 10 tahun, maka akan mencegah
satu kematian dari setiap 11 penderita yang telah diobati. Namun, belum ada
studi terhadap hasil terapi pada penderita pre hipertensi (120-139/80-89
mmHg), meskipun diketahui bahwa dari studi TROPHY pemberian terapi

26
pada pre hipertensi dapat menurunkan terjadinya hipertensi sesungguhnya,
walaupun obat telah dihentikan selama satu tahun (Sugiantoro, 2014).

B. Ilmu Kedokteran Keluarga


Menurut PB IDI tahun 1983 ilmu kedokteran keluarga adalah ilmu yang
mencakup seluruh spektrum ilmu kedokteran yang orientasinya adalah untuk
memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama yang berkesinambungan dan
menyeluruh kepada satu kesatuan individu, keluarga dan masyarakat dengan
memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Dokter
Keluarga adalah dokter yang memberi pelayanan kesehatan yang berorientasi
komunitas dengan titik berat pada keluarga sehingga ia tidak hanya memandang
penderita sebagai individu yang sakit tapi sebagai bagian dari unit keluarga dan
tidak anya menanti secara pasif tetapi bila perlu aktif mengunjungi penderita atau
keluarganya Dengan definisi demikian IDI menggambarkan ciri pelayanan DK
sebagai berikut (Anggraini dkk., 2015) :
1. DK melayani penderita tidak hanya sebagai individu tetapi sebagaianggota
satu keluarga bakan anggota masyarakatnya
2. DK memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh dan memberikanperhatian
kepada penderitanya secara lengkap dan sempurna,jauh melebihiapa yang
dikeluhkannya
3. DK memberikan pelayanan kesehatan dengan tujuan utama
meningkatkanderajat kesehatan, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal
sertamengobatinya penyakit sedini mungkin
4. DK menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan tingkat pertama dan ikut
bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan
5. DK mengutamakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhandan
berusaha memenuhi kebutuhan itu sebaik-baiknya.

27
1. Prinsip Kedokteran Keluarga
Prinsip-prinsip pelayanan / pendekatan kedokteran keluarga adalah
memberikan / mewujudkan (Anggraini dkk., 2015):
a. Pelayanan yang holistik dan komprehensif
b. Pelayanan yang kontinu
c. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan
d. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif
e. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integrasi
darikeluarganya.
f. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan
lingkungan tempat tinggalnya.
g. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hokum.
h. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan.
i. Pelayanan yang sadar biaya dan mutu.
2. Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-
istri,atau suami istri dan anak; atau ayah dengan anak atau ibu dengan anak
(UU RINo. 10 Th 1992). Menurut Depkes RI, (1998) Keluarga adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri atas KepalaKeluarga dan beberapa orang
yang berkumpul dan tinggal di suatu tempatdibawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan (Anggraini dkk., 2015).
3. Fungsi Keluarga
Fungsi-fungsi keluarga harus dipahami oleh dokter keluarga
untukmembantu menegakkan diagnosis masalah kesehatan yang dihadapi oleh
paraanggota keluarga dan juga dalam mengatasi masalah kesehatan setiap
anggotakeluarga tersebut. Fungsi keluarga banyak macamnya. Di Indonesia
fungsikeluarga dibedakan menjadi 8 macam menurut PP no.21 tahun 1994
(Anggraini dkk., 2015).

28
a. Fungsi keagamaan : memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota
keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga
untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini
dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
b. Fungsi sosial budaya : membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-
norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak,
meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
c. Fungsi cinta kasih : memberikan kasih sayang dan rasa aman,
memberikan perhatian diantara anggota keluarga
d. Fungsi melindungi : melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak
baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman
e. Fungsi reproduksi : meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan
anak, memelihara dan merawat anggota keluarga
f. Fungsi sosialisasi dan pendidikan : mendidik anak sesuai dengan tingkat
perkembangannya, menyekolahkan anak, bagaimana keluarga
mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik
g. Fungsi ekonomi : mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan
keluarga di masa datang
h. Fungsi pembinaan lingkungan : fungsi keluarga yang memberikan
kemampuan kepada setiap keluarga dapat menempatkan diri secara serasi,
selaras dan seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan
yang berubah secara dinamis.
4. Genogram Keluarga
Genogram adalah suatu alat bantu berupa peta skema (visual map) dari
silsilah keluarga pasien yang berguna bagi pemberi layanan kesehatan untuk
segera mendapatkan informasi tentang nama anggota keluarga pasien,
kualitas hubungan antar anggota keluarga. Genogram adalah biopsikososial

29
pohon keluarga, yang mencatat tentang siklus kehidupan keluarga, riwayat
sakit di dalam keluarga serta hubungan antar anggota keluarga (Anggraini
dkk., 2015).
Di dalam genogram berisi : nama, umur, status menikah, riwayat
perkawinan, anak-anak, keluarga satu rumah, penyakit-penyakit spesifik,
tahun meninggal, dan pekerjaan. Juga terdapatinformasi tentang hubungan
emosional, jarak atau konflik antar anggota keluarga, hubunganpenting
dengan profesional yang lain serta informasi-informasi lain yang relevan
(Anggraini dkk., 2015).
Genogram idealnya diisi sejak kunjungan pertama anggota keluarga, dan
selalu dilengkapi (update) setiap ada informasi baru tentang anggota keluarga
pada kunjungan kunjungan selanjutnya.Setiap kejadian emosional keluarga
dapatmempengaruhi atau melibatkan sediktnya 3 generasi keluarga. Sehingga
idealnya, genogramdibuat minimal untuk 3 generasi. Dengan demikian,
genogram dapat membantu dokter untuk (Anggraini dkk., 2015):
a. Mendapat informasi dengan cepat tentang data yang terintegrasi antara
kesehatan fisik dan mental di dalam keluarga.
b. Pola multigenerasi dari penyakit dan disfungsi.
5. Pengukuran Fungsi Keluarga
Pengukuran fungsi keluarga dapat diukur dengan menggunakan
(Anggraini dkk., 2015):
a. APGAR family (Adaptation, Partnership, Growth, Affection, Resolve)
Diciptakan oleh Smilkstein untuk mengetahui fungsi keluarga secara
cepat. Merupakan instrumen skrening untuk disfungsi keluarga dan
mempunyai reliabilitas dan validitas yang adekuat untuk mengukur
tingkat kepuasan mengenai hubungan keluarga secara individual, juga
beratnya disfungsi keluarga. Bila pertanyaan dijawab sering / selalu nilai
2, kadang-kadang nilai 1, jarang / tidak nilai 0. Bila hasil penjumlahan
kelima nilai diatas adalah antara :

30
7-10 : fungsi keluarga baik
1.3 : fungsi keluarga kurang baik
1.3 : fungsi keluarga tidak baik
b. SCREEM (Social Cultural Religion Economic Education Medical). Jika
APGAR family untuk melihat fungsi keluarga secara fisiologis, maka
SCREEM adalah untuk melihat fungsi keluarga secara patologis.
1) Apakah antara anggota keluarga saling memberi perhatian, saling
membantu kalau ada kerepotan masing-masing.Apakah interaksi
dengan tetangga sekitarnya juga berjalan baik dan tidak ada masalah
(Social).
2) Apakah keluarga puas terhadap budaya yang berlaku di daerah itu
(Culture).
3) Apakah keluarga taat dalam beragama (Religion).
4) Apakah status ekonomi keluarga cukup (Economic)
5) Apakah pendidikan tergolong cukup (Education)
6) Apakah dalam mencari pelayanan kesehatan mudah dan ada alat
transportasi (Medical).

31
BAB III
HASIL PENGUMPULAN DATA

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. H
Umur : 46 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Tolaki
Alamat : Jl. Laute II
Pekerjaan : Wiraswasta
Tgl pemeriksaan/Jam : Selasa, 22 Oktober 2019 /10.00 WITA
Puskesmas : Perumnas

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama : Sakit Kepala


2. Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien datang ke Poli Umum Puskesmas Perumnas sendiri dengan keluhan
sakit kepala yang dialami sejak 2 hari yang lalu terus-menerus, rasa pusing
seperti akan jatuh, leher terasa tegang, bahu terasa pegal. Demam (-), flu
batuk (-), mual (+), muntah (-), BAB BAK dbn.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sering mengeluhkan gejala yang sama dengan yang saat ini dirasakan.
Pasien memiliki riwayat Hipertensi sejak 2 tahun terakhir.
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Di dalam keluarga, ayah pasien meninggal (65) karena stroke dan ibunya
hipertensi (72).

32
5. Riwayat Kebiasaaan :
Dalam kesehariannya, pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus per
hari. Riwayat alkohol (-) narkoba (-)
6. Riwayat Pengobatan :
Pasien sebelumnya telah mendapat pengobatan amlodipin 10mg, namun
sempat berhenti karena pasien merasa tensinya sudah turun dan gejalanya
sudah berkurang.
7. Riwayat Sosial Ekonomi :
Saat ini Tn. H tinggal bersama ibunya, istri dan dua orang anak perempuan.
Anak pertama telah bersekolah tingkat SMA kelas 3 dan anak kedua telah
bersekolah tingkat SMA kelas 1. Aspek ekonomi keluarga Tn. H tergolong
menengah ke bawah dengan penghasilan utama dari hasil usaha Tn. H.
Keluarga pasien mengatakan sedikit mengalami kesulitan dalam keuangan
yang dihadapi karena penghasilan hanya berasal dari pasien.
8. Riwayat Gizi
Tn. H makan 3 kali dalam sehari. Makanan yang dikonsumsi bebas, makanan
sering mengandung lemak, karbohidrat dan natrium tinggi. Makanan yang
dikonsumsi beragam. Sumber karbohidrat berasal dari nasi, ubi dan sagu. Saat
di tempat kerja, pasien sering mengonsumsi makan-makanan yang instan,
seperti mie instan dan minuman ringan.
Resume:
Tn.H, usia 46 tahun, dengan keluhan sakit kepala terus-menerus yang dialami
sejak 2 hari yang lalu. Keluhan lain, rasa pusing seperti akan jatuh, leher terasa
tegang, bahu terasa pegal, mual (+). Terdapat riwayat Hipertensi sejak 2 tahun
terakhir namun tidak berobat rutin. Riwayat di dalam keluarga, ayah pasien
meninggal (65) karena stroke dan ibunya menderita hipertensi dan DM Tipe II
(72). Saat ini pasien mengkonsumsi antihipertensi Amlodipin 10mg.

33
C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum:
Kesan: Sakit ringan Tekanan darah: 160/100 mmHg Anemis : (-)
Kesadaan : E4M6V5 Nadi : 82x/menit Ikterus : (-)
Gizi : Baik Suhu : 36,5 oC Sianosis : (-)
Pernapasan : 20x/menit Lingkar Pinggang : 86 cm
TB : 170 cm BB : 69 kg
IMT: 23,8 (Normal)
Pemeriksaan Toraks : dbn
Pemeriksaan Abdomen : dbn

D. Diagnosis Holistik

1. Diagnosis dari Segi Biologis :


Hipertensi Grade II
2. Diagnosis dari Segi Psikologis :
Dari segi psikologis Tn. H dan istri serta anaknya tidak ada masalah namun
saat ini keluarga Tn. H sedang mengalami kesulitan keuangan.
3. Diagnosa dari Segi Sosial dan Ekonomi :
Aspek ekonomi keluarga Tn. H tergolong menengah ke bawah dengan
pekerjaannya sebagai pedagang ikan di pasar, dan saat ini keluarga pasien
sedang mengalami sedikit kesulitan keuangan.

E. Penatalaksanaan Holistik

1. Farmakologi : Amlodipin 10mg 1x1

2. Non Farmakologi : Edukasi Diet Rendah Garam dan Gula

34
F. Identitas Keluarga

1. Profil Keluarga

a. Karakteristik Demografi Keluarga

Tanggal Kunjungan : 22 Oktober


Nama Kepala Keluarga : Tn. H
Alamat : Jl. Lawata II
Bentuk Keluarga : Keluarga Campuran (extended family)

Tabel 2. Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah


No. Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan
Tn. H Pasien L 46 SMA Pedagang
1. (Suami/Kepala Ikan
kaluarga)
2. Ny. S Istri P 44 SMA -
3. Ny. N Ibu Pasien P 72 SD -
4. Nn. N Anak Pertama P 18 SMP -
5. Nn. A Anak Kedua P 16 SMP -

Kesimpulan : Keluarga Tn. H adalah keluarga campuran (extended family)


yang terdiri atas bapak, ibu, anak dan ibu dari bapak. Terdapat
2 orang yang sakit yaitu Tn. H yang berumur 46 tahun dengan
diagnosa Hipertensi grade II dan Ny. N berumur 72 tahun
dengan hipertensi dan DM Tipe II.

35
b. Genogram dalam Keluarga

1937 - 2002 1947 1946 - 2015 1946 - 2010


65 72 69 64

Tn. A Ny. N Tn. A Ny. J

1968 1970 1972 1976 1978 1979 1986 1987


51 49 47 43 41 40 33 32

Tn. L Tn. P Tn. H Ny. M Ny. K Ny. T Ny. R Ny. Y

1973 1977
46 42

Tn. H Ny. S

2001 2003
18 16

Nn. N Nn. A

Gambar 2. Genogram Keluarga Tn. H


Keterangan :
: Meninggal : Laki-laki : Pasien : Tinggal satu rumah
: Perempuan : Hipertensi : DM

36
G. Identifikasi fungsi-fungsi dalam keluarga

1. Fungsi Fisiologi dengan APGAR Score

a. Adaptation
Kemampuan anggota keluarga beradaptasi dengan anggota keluarga yang
lain serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota keluarga yang
lain.
b. Partnership
Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara
anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut.
c. Growth
Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang dilakukan
anggota keluarga lain.
d. Affection
Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota.
e. Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan
waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
f. Penilaian
Hampir selalu : 2 poin
Kadang-kadang : 1 poin
Hampir tak pernah: 0 poin
g. Penyimpulan
0-3 : Tidak Sehat
4-6 : Kurang Sehat
7-10 : Sehat

37
Tabel 3. APGAR Score
Sering/ Kadang- Jarang/
No Pertanyaan Skor
Selalu Kadang Tidak
1. Saya puas kembali ke
keluarga saya bila saya  1
menghadapi masalah
2. Saya puas dengan cara
keluarga saya membahas
 2
dan membagi masalah
dengan saya
3. Saya puas dengan cara
keluarga saya menerima
dan mendukung keinginan
 1
saya untuk melakukan
kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
4. Saya puas dengan cara
keluarga saya
mengekspresikan kasih
 1
sayangnya dan merespon
emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
5. Saya puas dengan cara
keluarga saya dan saya
 1
membagi waktu bersama-
sama
Total 6

Kesimpulan: Nilai APGAR yang diperoleh adalah 6 (Keluarga Kurang


Sehat). Fungsi keluarga adaptasi, kemitraan, pertumbuhan,
kasih sayang dan kebersamaan hanya kadang-kadang
dirasakan oleh anggota keluarga. Pasien merasa berat untuk
membagi masalah ke anggota keluarga lain karena merasa
akan menjadi beban pikiran keluarganya. Namun anggota
keluarga menerima dan mendukung keinginan untuk
melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru.

38
2. Fungsi Patologis dengan Alat Screem Score
Fungsi patologis keluarga Tn. H dinilai menggunakan alat SCREEM sebagai
berikut:
Tabel 4. Fungsi S.C.R.E.E.M

Sumber Patologis Keterangan

Social Ikut berpartisipasi dalam kegiatan lingkungan. -


Budaya keluarga pasien lebih mendahulukan
Culture mengkonsumsi obat-obat tradisional daripada +
obat dari dokter.
Pemahaman terhadap ajaran agama cukup,
Religious -
demikian juga dalam keataatan beribadah.
Aspek ekonomi keluarga Tn. H termasuk
menengah kebawah. Pasien merupakan satu-
Economic satunya tulang punggung keluarga dengan +
bekerja sebagai pedagang ikan di Pasar.
Pasien juga menerima bantuan JKN KIS.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga
Educational ini mengenai penyakit Hipertensi masih +
kurang.
Keluarga menganggap datang ke pelayanan
kesehatan hanya saat ada keluhan. Pasien
selalu menggunakan JKN (KIS) setiap
Medical +
berobat. Pasien hanya minum obat atau
mencari pengobatan ketika merasa keluhan
sudah mengganggu aktivitasnya.

Kesimpulan: Ada fungsi patologis keluarga Tn. H yang menjadi hambatan yaitu
fungsi culture, economic, educational dan fungsi medical.

39
BAB IV
MASALAH KESEHATAN

A. Mandala of Health
Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi pada pasien
Hipertensi, digunakan konsep Mandala of Health.

Budaya: mendahulukan
mengkonsumsi obat-obat
tradisional daripada obat dari
dokter.
Ling.psiko sosio-ekonomi:
Perilaku kesehatan: Pendapatan keluarga menengah ke
pengobatan tidak teratur. bawah bersumber dari penghasilan
Masih merokok Tn.H, hubungan sosial baik
FAMILY

Tn. H (46) mengeluh sakit


kepala terus-menerus, riw.
Pelayanan Kesehatan:
Tekanan darah tidak
menggunakan KIS, Lingk. Rumah: Jarak
terkontrol. Didiagnosis
akses ke puskesmas rumah dengan
dengan Hipertensi
dekat, ada tetangga berdekatan,
transportasi kumuh, banyak
sampah di selokan dan
halaman.

Faktor Biologi: Ibu menderita DM


dan Hipertensi, kakak menderita Lingkungan Fisik: Rumah Semi
DM. Permanen dengan ventilasi kurang
IMT= 23,8kg/m2, usia 46 tahun baik, panas, pengap, lembab

Komunitas : Tidak ada

Gambar 3. Mandala of Health

40
Tabel 5. Analisis Masalah Kesehatan dengan Pendekatan Mandala of Health

Skor Skor
Masalah Upaya Penyelesaian
Awal Akhir
Faktor Biologis
Ayah Tn.H meninggal 3 - Skrining penyakit kronis ke 4
akibat stroke anggota keluarga lain
terutama pada anak pasien
- Edukasi mengenai penyakit
dan pencegahannya melalui
penyuluhan

Ibu Tn.H menderita - Pengobatan dan pemeriksaan


hipertensi dan DM Tipe II rutin
- Skrining komplikasi penyakit
DM
- Skrining penyakit kronis ke
anggota keluarga lain
terutama pada anak pasien
- Edukasi mengenai pola
makan yang baik bagi pasien
Faktor Lingkungan Fisik
Rumah semi permanen 2 - Edukasi mengenai PHBS dan 4
dengan ventilasi kurang rumah sehat
baik. Kelembapan tinggi. - Edukasi penanganan sampah,
sumber air dan tempat
penampungan air.
Faktor Lingkungan
Rumah
Jarak rumah dengan 2 - Edukasi penanganan sampah, 5
tetangga berdekatan, sumber air dan tempat
tampak kumuh, banyak penampungan air.
sampah di selokan dan - Edukasi pada keluarga dan
halaman. tetangganya untuk menanami
lahan sekitar rumah dengan
tanaman agar nampak asri
- Memotivasi pasien, keluarga,
dan tetangga untuk melakukan
kegiatan gotong royong kerja
bakti membenahi lingkungan
sekitar rumah.

41
Faktor Perilaku
Kesehatan
- Pengobatan kurang 3 - Edukasi mengenai penyakit 4
teratur Hipertensi
- Keluarga pasien masih - Edukasi untuk rajin
menerapkan perilaku memeriksakan kesehatan dan
jikalau keluhan yang teratur minum obat
dirasakan masih bisa - Edukasi mengenai bahaya
ditangani keluarga merokok, manfaat berhenti
tidak pergi berobat. merokok, serta perilaku bersih
- Pasien masih belum dan sehat
dapat menghentikan
kebiasaan merokoknya.

Faktor Psiko Sosial-


ekonomi
Pendapatan keluarga 2 - Memotivasi pasien dan 5
menengah ke bawah keluarganya agar untuk
bersumber dari menambah penghasilan dengan
penghasilan Tn.H, memanfaatkan waktu luang.
hubungan sosial baik - Edukasi kepada keluarga untuk
pemanfaatan lahan sekitar
rumah agar ditanami sayuran
dan buah-buahan sehingga
mengurangi pengeluaran
keluarga.
Faktor Budaya
Keluarga mendahulukan 3 - Edukasi mengenai penyakit dan 4
mengkonsumsi obat-obat pengobatan penyakit
tradisional daripada obat Hipertensi.
dari dokter - Motivasi pasien untuk tetap
melanjutkan pengobatan dan
mengurangi konsumsi obat-
obatan tradisional yang tidak
perlu.

Klasifikasi skor kemampuan menyelesaikan masalah kesehatan:


Skor 1 : tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi
Skor 2 : keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber (hanya
keinginan); penyelesaian masalah sepenuhnya dilakukan oleh provider

42
Skor 3 : keluarga mau melakukan namum perlu penggalian sumber yang belum
dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan oleh sebagian besar
provider.
Skor 4 : keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung pada
upaya provider
Skor 5 : dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga

B. Diagnosis Holistik

1. Aspek Personal

a. Keluhan : Pasien datang ke Poli Umum Puskesmas Perumnas sendiri


dengan keluhan sakit kepala yang dialami sejak 2 hari yang lalu, rasa
pusing seperti mau jatuh, leher terasa tegang, bahu terasa pegal.

b. Harapan: Tn. H ingin keluhannya dapat sembuh.

2. Aspek Klinis

Diagnosis Klinis: Hipertensi grade II.

3. Aspek Risiko Internal

a. Genetik : Ayah Tn.H menderita Stroke dan Ibu Tn.H


menderita Hipertensi dan DM Tipe II. Kakak laki-
laki kedua Tn.H ada yang mengalami DM.

b. Biologis : Pasien adalah laki-laki berusia 46 tahun.

c. Gaya hidup : Pola makan dan olahraga tidak teratur, kebiasaan


minum obat yang tidak teratur, pola berobat kuratif.
Saat di tempat kerja, pasien sering mengonsumsi
makan-makanan yang instan, seperti mie instan dan
minuman ringan. Sering mengonsumsi kopi setiap
bekerja, ±4 kali sehari. Pasien merokok 1 bungkus
perhari hingga sekarang.

43
d. Status gizi : IMT=23,8kg/m2 (Normal), lingkar pinggang=
86cm.

4. Aspek Risiko Eksternal

a. Ekonomi : Aspek ekonomi keluarga Tn. H tergolong


menengah ke bawah dengan pekerjaan Tn.H
sebagai Pedagang ikan. Pasien bekerja selama 10
jam sehari, tanpa libur.
b. Sosial : Hubungan sosial dengan tetangga sangat baik.
c. Psikososial Keluarga : Kurangnya keinginan keluarga untuk memotivasi
pasien dengan cara mengingatkan pasien untuk
kontrol dan minum obat serta mendorong pasien
untuk datang berobat ke puskesmas. Kurangnya
pengetahuan yang dimiliki keluarga pasien
mengenai hipertensi.
Pasien mengetahui dirinya hipertensi saat pihak
puskesmas melakukan home visit terhadap ibu
dari Tn.H. Pasien kemudian memiliki inisiatif
untuk berobat sendiri melalui obat-obat tradisional
yang diketahui melalui tetangga-tetangganya.
d. Budaya : Keluarga mendahulukan mengkonsumsi obat-obat
tradisional daripada obat dari dokter
e. Fisik : Rumah tempat tinggal keluarga Tn.H masuk
kategori rumah semi permanen dengan kondisi
ventilasi yang kurang baik. Udara di dalam rumah
juga terasa panas, pengap, lembab.
Tempat kerja Tn.H lembab, dingin, higienitas
rendah.

44
f. Kimia : Tn.H merupakan seorang perokok aktif yang
menghabiskan 1 setengah bungkus per hari.
g. Biologi : Tidak ada.
5. Derajat Fungsional

Derajat fungsional didapatkan nilai 1, yaitu mampu melakukan pekerjaan


seperti sebelum pasien sakit.

45
BAB V
PEMECAHAN MASALAH

A. Rencana Penatalaksanaan

Tindakan yang perlu dilakukan adalah yaitu ,

1. Terapi farmakologi: pasien diberikan obat antihipertensi amlodipine 10 mg


untuk menangani keluhan pasien.
2. Terapi non farmakologi: edukasi mengenai pengobatan Hipertensi, diet
rendah garam, mengurangi makanan yang tinggi gula.
3. Memberikan penjelasan mengenai penyakit yang sedang diderita dan
komplikasi yang dapat terjadi kepada pasien dan anggota keluarga
4. Pasien diberikan penjelasan mengenai pentingnya dan bagaimana mengatur
gaya hidup dan pola makan yang baik bagi penderita hipertensi dengan
memperhatikan aktivitas fisik keseharian.
5. Penanganan pasien sebaiknya melakukan konsultasi dengan dokter keluarga.
6. Melakukan skrining penyakit kronis ke anggota keluarga lain terutama pada
anak pasien.
7. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit
hipertensi, faktor risikonya hingga komplikasi serta penanganannya meliputi
pola makan, gaya hidup dan rutin kontrol kesehatan di pelayanan kesehatan
terdekat.
8. Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan
pasien untuk mengatur pola makan, gaya hidup dan rutinitas minum obat
serta melakukan kontrol rutin kesehatan di pelayanan kesehatan.
9. Puskesmas melakukan deteksi dini pasien yang mengalami Hipertensi dan
deteksi dini komplikasi Hipertensi
10. Puskesmas memberikan penyuluhan mengenai Hipertensi
11. Puskesmas melakukan kegiatan home visit pada peserta PROLANIS.

46
B. Pembahasan

Hipertensi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah yang disebabkan


oleh berbagai interaksi dari berbagai macam faktor resiko. Faktor-faktor
tersebut terbagi menjadi faktor resiko yang tidak dapat dikontrol seperti umur,
jenis kelamin dan genetik, dengan faktor resiko yang dapat dikontrol, seperti
aktifitas fisik, kebiasaan (merokok, konsumsi alkohol), makanan dan
sebagainya. Tanpa disadari, faktor-faktor tersebut terjadi pada individu yang
jika tidak diatasi, dapat mengganggu aktifitas dan produktifitas dan atau
berlanjut ke keadaan dan komplikasi yang lebih serius.

Penanganan dan pemberdayaan pasien hipertensi dan keluarganya harus


memperhatikan dan membutuhkan penanganan dari berbagai aspek, seperti
pendekatan melalui psikososial keluarga yaitu dengan memotivasi keluarganya
untuk mengingatkan pasien mengenai keteraturan berobat dan rutin kontrol ke
fasilitas kesehatan. Selain itu, penting untuk memberikan edukasi mengenai
hipertensi dan skrining lanjut anggota keluarga untuk menemukan dan
mencegah timbulnya dan perburukan penyakit.

Inisiatif dari pasien ini dibutuhkan untuk sembuh dari keluhan dan tidak
mengabaikan kondisi kesehatannya meski sibuk bekerja sebagai kepala keluarga
agar tidak berlanjut ke arah penyakit yang lebih serius. Selain itu, keluarga
diharapkan memberi dukungan bagi pasien untuk menjalani pengobatannya.
Istri dapat diberikan edukasi untuk menyiapkan makan-makanan dengan bahan
yang sehat dan gizi berimbang untuk menghindarkan pasien dari konsumsi
natrium tambahan yang didapatkan dari makanan-makanan instan di pasar.
Anak-anaknya juga diberi pesan untuk ikut mengingatkannya dalam rutin
mengonsumsi obat-obatannya sesuai jadwal minumnya, dan ikut menghindari
berbagai faktor resiko yang dapat dimodifikasi agar memperlambat atau tidak
terjadi penyakit yang sama dengan ayahnya sebagai keturunannya dengan
menjalani hidup sehat dan bersih.

47
Penanganan dalam menanggulangi berbagai masalah kesehatan di
masyarakat membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, mulai dari tenaga
kesehatan sebagai penyedia fasilitas kesehatan hingga pemerintah sebagai
pengatur kebijakan kesehatan. Upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah
kebijakan pun semakin beragam dalam mendukung terwujudnya masyarakat
yang lebih sehat.
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK)
merupakan salah satu program dalam mewujudkan cita-cita masyarakat sebagai
masyarakat sehat, melalui pendekatan keluarga sebagai untuk meningkatkan
pengetahuan, kesadaran dan kemauan untuk memelihara dan meningkatkan
status kesehatannya hingga keluarga mampu mandiri dalam menemukan faktor
resiko dan melakukan pencegahan dari penyakit khususnya Hipertensi
Upaya petugas kesehatan dalam menanggulangi penyakit juga dapat
dilakukan melalui edukasi dan konseling kepada pasien dan keluarganya,
disamping memberikan pengobatan kepada pasien. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya dan cepatnya perburukan penyakit. Salah
satu program petugas kesehatan di puskesmas sebagai penyedia pelayanan
kesehatan tingkat pertama adalah program pencegahan dan pengendalian
penyakit tidak menular (P2PTM) dengan melakukan Home visit (kumjungan
rumah) ke keluarga pasien, dengan harapan terbentuknya peran aktif keluarga
dalam mengontrol kesehatan pasien dan memberikan motivasi untuk melakukan
pengobatan dan kontrol rutin kesehatan serta menjalankan pola makan yang
disarankan sehingga mampu membantu petugas kesehatan dalam mengontrol
kesehatan pasien dan mencegah perburukan penyakit.

48
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan

1. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat.

2. Kejadian hipertensi dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor. Faktor-faktor


tersebut terbagi menjadi faktor resiko yang tidak dapat dikontrol seperti umur,
jenis kelamin dan genetik, dengan faktor resiko yang dapat dikontrol, seperti
aktifitas fisik, kebiasaan (merokok, konsumsi alkohol), makanan dan
sebagainya.

3. Penanganan dan pemberdayaan pasien hipertensi dan keluarganya harus


memperhatikan dan membutuhkan penanganan dari berbagai aspek dimulai
dari inisiatif pasien, keluarganya serta pihak tenaga kesehatan dalam hal
promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif penyakit, hingga pemerintah terkait
sehubungan dengan kebijakan kesehatan sehingga dibutuhkan dukungan dari
berbagai pihak.

B. Saran

1. Bagi Masyarakat

Masyarakat diharapkan dapat mengetahui bagaimana hipertensi dan


komplikasinya jika tidak tertangani, serta mengenali faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian hipertensi, sehingga masyarakat dapat
mengurangi atau menghindari faktor-faktor risiko tersebut.

2. Bagi Instansi Kesehatan

49
Diharapkan dapat memberikan penyuluhan mengenai bahaya dan faktor
risiko hipertensi.

50
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini MT, Novitasari A dan Setiawan MR. 2015. Buku Ajar Kedokteran
Keluarga. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Artiyaningrum, B. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Hipertensi tidak Terkendali pada Penderita yang Melakukan Pemeriksaan
Rutin di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2014. Skripsi.
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Astiari. 2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Hipertensi pada Laki-
Laki Dewasa di Puskesmas Payangan, Kecamatan Payangan Kabupaten
Gianyar. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masarakat Universitas
Udayana. Dempasar
Budi A., 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi tidak
terkendali pada Penderita yang Melakukan Pemeriksaan Rutin di
Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2014. Skripsi. Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang
Hamadi, I., Kundou, G.D., Asrifuddin, A. 2018. Hubungan antara Kebiasaan
Merokok, Aktifitas Fisik dan Konsumsi Alkohol pada Laki-Laki Usia ≥ 18
Tahun dengan Kejadian Hipertensi di Desa Pulisan Tahun 2017. Skripsi.
Bidang Minat Epidemiologi Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Islami, K.I. 2015. Hubungan antara Stres dengan Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan
di Puskesmas Rapak Mahang Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi
Kalimantan Timur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan. Jakarta.
Kementerian kesehatan RI. 2015. INFODATIN Pusat Data dan Informasi
Kemeterian Kesehatan RI Hipertensi. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. INFODATIN Perilaku Merokok Masyarakat
Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kita, H.P., Afrida, Semana A. 2014. Pengaruh Kebiasaan Merokok dan Konsumsi
Alkohol terhadap Kejadian Hipertnsi di RSUD Labuang Baji Makassar.
Jurnal Ilmiah Keshatan Diagnosis 5 (5): 580-585.

51
Lidiyawati dan Kartini, A. 2014. Hubungan Asupan Asam Lemak Jenuh, Asam
Lemak tidak Jenuh dan Natrium dengan Kejadian Hipertensi pada Wanita
Menopause di Kelurahan Bojongsalaman. Journal of Nutrition College
3(4): 612-619.
Mahatidanar, A. 2016. Pengaruh Musik Klasik terhadap Penurunan Tekanan Darah
pada Lansia Penderita Hipertensi. Skripsi. Program Studi Pendidikan
Dokter Universitas Lampung Bandar Lampung. Lampung.
Mannan, H., Wahiduddin, dan Rismayanti. 2012. Faktor Risiko Kejadian Hipertensi
di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto Tahun 2012.
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin. Makassar.
Mukhibbin, A. 2012. Dampak Kebiasaan Merokok, Minum Alkohol dan Obesitas
terhadap Kenaikan Tekanan Darah pada Masyarakat di Desa Gonilan
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Nafrialdi. 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.
Noerhadi M. 2008. Hipertensi dan pengaruhnya terhadap organ-organ tubuh.
Medikora IV(2): 1-18.
Pusparani, I.D. 2016. Gambaran Gaya Hidup pada Penderita Hipertensi di Puskesmas
Ciangsana Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor. Skripsi. Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta.
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Jakarta
Sartik, Tjekyan R.M.S., Zulkarnain M. 2017. Faktor – Faktor Risiko dan Angka
Kejadian Hipertensi pada Penduduk Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat. 8(3):180-191.
Sugiantoro, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Interna Publising.
Jakarta

Susanti, M.K. 2017. Hubungan Asupan Natrium dan Kalium dengan Tekanan Darah
pada Lansia di Kelurahan Pajang. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

52
Setyanda, Y.O.G., Sulastri, D., Lestari. 2015. Hubungan Merokok dengan Kejadian
Hipertensi pada Laki-Laki Usia 35-65 Tahun di Kota Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas 4(2): 434-440.
Sulastri, D., Elmatris, Ramadhani, R. 2012. Hubungan Obesitas dengan Kejadian
Hipertensi pada Masyarakat Etnik Minangkabau Di Kota Padang. Majalah
Kedokteran Andalas 36 (2): 188-201.
Suprihatin, A. 2016. Hubungan antara Kebiasaan Merokok, Aktivitas Fisik, Riwayat
Keluarga dengan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Nguter.
Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.
Tarigan, A.L., Lubis Z., Syarifah., 2018. Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan
Dukungan Keluarga terhadap Diet Hipertensi di Desa Hulu Kecamatan
Pancur Batu Tahun 2016. Jurnal Kesehatan 11 (1): 10-17.
Uiterwaal C.S.P.M. dkk., 2007. Coffee intake and incidence of hypertension. Am J
Clin Nutr. 85(23): 718-723.
World Health Organization. 2015. Global Status Report on Noncommunicable
Diseases 2014. Geneva

53

Anda mungkin juga menyukai