Oleh :
Pembimbing :
dr. Ied Rakhma, Sp.THT-KL. M.Kes.
1
BENIGN PAROXYMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah lanjut
usia terbanyak di dunia (Depkes, 2015). Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010
menunjukkan bahwa penduduk Indonesia memiliki harapan untuk hidup
hingga mencapai usia 70,7 tahun. Hal tersebut jauh lebih baik dari angka
harapan hidup tiga atau empat dekade sebelumnya, yaitu dibawah 60
tahun. Menurut WHO (2013), lanjut usia dibagi menjadi empat kriteria
yaitu usia pertengahan 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) antara 60
sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 sampai 90 tahun, usia
sangat tua (very old) diatas 90 tahun.5
Menua adalah proses alami yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Penuaan akan terjadi hampir pada semua sistem tubuh, namun tidak semua
sistem tubuh mengalami kemunduran fungsi pada waktu yang sama. Salah
satu contoh kemunduran yang terjadi adalah munculnya gangguan sistem
vestibular, gangguan ini menjadi salah satu faktor meningkatnya rasa
pusing. Pusing pada lanjut usia merupakan suatu fenomena yang normal
terjadi, tetapi faktor usia ini bukan merupakan satu-satunya alasan untuk
menjelaskan terjadinya pusing ataupun jatuh. Hal ini juga dapat terjadi
karena keadaan psikologis. Dari 75 pasien yang melaporkan adanya
keluhan pusing, didapatkan sekitar 60% pasien wanita dan 40% pasien
laki-laki. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sielski dkk (2015), di
Amerika Serikat pusing yang dirasakan secara permanen maupun
sementara di derita oleh sekitar 8 juta orang. Di Poland, masalah ini di
derita sekitar 1 juta orang. Dan menurut studi di Jerman, satu dari lima
orang tua menderita pusing selama setahun. Meskipun pusing dapat
2
disebabkan oleh berbagai macam gangguan kesehatan, namun
diperkirakan sebanyak 45% terjadi karena gangguan vestibular.5
Vertigo merupakan sensasi ketidaknormalan gerakan pasien dan
lingkungan sekitarnya. Vertigo ini sering adanya rasa berputar tetapi juga
ada perasaan akan jatuh. Vertigo dapat dibedakan menjadi dua jenis:
vestibular dan non vestibular. Vertigo vestibular ini dibagi menjadi sentral
dan perifer. Vertigo vestibular sentral terjadi karena penyakit sistem saraf
pusat. Sedangkan vertigo vestibular perifer merupakan lesi pada labirin
dan nervus vestibularis. Jenis vertigo vestibular perifer tersering adalah
Benign Paroxymal Positional Vertigo (BPPV).13
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan
gagguan vestibuler yang paling sering dijumpai, memiliki gejala rasa
pusing berputar diikuti mual dan muntah serta keringat dingin. BPPV
mengakibatkan terjadi penurunan sistem vestibular sehingga menyebabkan
terganggunya keseimbangan.6
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan vertigo
yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepala atau badan terhadap gaya
gravitasi. Diagnosis BPPV ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
manuver provokasi. Sering kali terjadi kesalahan dalam menegakkan
diagnosis BPPV yang berakibat terhadap penatalaksanaan vertigo yang
tidak adekuat. 3
Benign Paroxysmal Positional Vertigo atau BPPV adalah jenis
yang paling umum dari pusing berat dan sering terjadi setelah cedera
kepala. Hal ini mudah dikenali oleh pola pusing yang terjadi hanya ketika
kepala ditempatkan pada posisi tertentu.4
Pusing dan vertigo adalah istilah yang mencakup berbagai gejala
yang berhubungan dengan gangguan orientasi pada ruang dan gerakan,
seperti merasa ada gerakan berputar (gejala vertigo klasik) atau perasaan
kehilangan keseimbangan, sehingga memengaruhi kemampuan untuk
mempertahankan postur dan posisi tubuh. Pusing dan gangguan
keseimbangan adalah salah satu masalah yang banyak dialami oleh lansia.
3
Angka insiden pusing, vertigo, dan gangguan keseimbangan sekitar 5–
10% pada populasi umum dan mencapai 40% pada usia di atas 40 tahun.
Angka kejadian jatuh mencapai 25% pada usia di atas 65 tahun. Pusing
merupakan salah satu faktor risiko untuk jatuh. Cedera yang diakibatkan
jatuh pada lansia menyebabkan penurunan pada mobilitas, kehilangan
kemandirian dan meningkatkan rasa takut untuk jatuh. Pusing juga
merupakan faktor kuat yang menyebabkan beban disabilitas pada
masyarakat yang berusia 65 tahun ke atas. Jumlah obat yang dikonsumsi
juga meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pusing dan vertigo juga
dapat disebabkan karena efek samping berbagai macam obat antara lain
anti-konvulsan, anti-hipertensi, antibiotik, anti-depresan, anti-psikotik, and
anti-infl amasi. Penyebab gangguan keseimbangan pada pasien yang lebih
muda disebabkan patologi yang spesifik sedangkan pada pasien usia lebih
tua penyebabnya lebih umum. Sebagian besar disebabkan oleh gangguan
sistem vestibuler perifer dalam bentuk Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV). Penggunaan obat-obat yang bermacam-macam (poli
terapi) perlu dihindari dalam pengobatan pasien dengan vertigo.18
Pada populasi umum prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64
per 100.000 (prevalensi 2,4%). Dari segi onset BPPV biasanya diderita
pada usia 50-70 tahun. Proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan
dengan laki-laki yaitu 2,2 : 1,5.14
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) lebih umum terjadi
pada orang tua dan wanita dengan rasio wanita terhadap pria adalah 2-3 :
1dan puncak usia pada 60 tahun. Prevalensi BPPV telah dilaporkan
terdapat 10.7-64 per 100.000 populasi. Berdasarkan penelitian sebelumnya
di Jerman, lifetime prevalence BPPV adalah 2,4% dengan insidensi satu
tahunnya 0,6%, sedangkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di
RS Hasan Sadikin Bandung periode 2009-2013 terdapat 74 orang yang
menderita BPPV, 49 diantaranya adalah wanita.13
Berdasarkan penelitian Vaz dkk. (2008) di Brazil, diperoleh data
bahwa persentase angka kunjungan pasien yang berkonsultasi tentang
4
gejala vertigo kepada dokter adalah sekitar 5–10%. Berdasarkan hasil
observasi awal yang dilakukan di poliklinik saraf Rumah Sakit Bethesdha
Yogyakarta, vertigo termasuk “the big five” penyakit yang memiliki
prevalensi yang paling besar. Tingginya angka kejadian dan persentase
kunjungan pasien untuk berkonsultasi terkait adanya keluhan terhadap
penyakit vertigo menimbulkan kekhawatiran terhadap kerasionalan
pengobatan, sehingga perlu dilakukan evaluasi pengobatan dengan
mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs) untuk memastikan
pasien mencapai tujuan terapi yaitu menyembuhkan dan meredakan gejala
yang dirasakan serta mencegah terjadi kekambuhan kembali.15
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan
vestibuler yang paling sering ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar
diikuti mual muntah dan keringat dingin, yang dipicu oleh perubahan
posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di
susunan saraf pusat.3
Pusing berputar atau lazim disebut vertigo adalah gejala yang
kerap muncul saat terjadinya trauma tumpul pada kepala, leher, atau
craniocervical junction. Sekitar 28% pasien pasca cedera kepala akan
mengidap gangguan benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).
Gangguan vestibular sentral maupun perifer sebagai akibat dari cedera
kepala dapat terjadi akibat konkusi pada batang otak, eighth nerve
complex injury, Ménière syndrome pasca traumatika, ruptur membran atau
fistula perilimfatik, dan konkusi labirin.17
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) termasuk ke dalam
gangguan keseimbangan dengan gejala pusing, rasa seperti melayang,
dunia seperti berjungkir balik, pening, sempoyongan.6
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan
keseimbangan yang ditandai dengan adanya sensasi berputar dari dunia
sekelilingnya atau dirinya sendiri yang berputar dan bersifat episodik yang
diprovokasi oleh gerakan kepala. Kondisi ini terjadi ketika Kristal kalsium
karbonat di utrikulus terlepas dan masuk ke dalam salah satu atau lebih
kanalis semi sirkularis vestibuler sehingga terjadi rangsangan gangguan
keseimbangan.8
B. Epidemiologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) dapat muncul
kapan saja mulai dari masa kanak-kanak sampai kepikunan, tetapi
idiopatik bentuk biasanya penyakit usia tua, memuncak pada keenam
sampai ketujuh dekade. Lebih dari 95% dari semua pasien diklasifikasikan
6
sebagai degeneratif atau idiopatik (wanita: pria = 2: 1), sedangkan pasien
simtomatik (wanita : pria = 1: 1) paling sering disebabkan oleh cedera
kepala (17%) atau vestibular neuritis (15%). BPPV sering terjadi setelah
istirahat total di tempat tidur dengan penyakit lain atau setelah operasi.
Sekitar 5% spontan pasien dan 10% dari pasien trauma menunjukkan
bilateral, umumnya BPPV metrik. Kanal posterior kanan dipengaruhi
sekitar dua kali lebih sering sebagai kiri, yang mungkin terkait dengan
fakta bahwa lebih banyak orang tidur sisi kanan mereka.11
Angka kejadian vertigo di Amerika Serika berkisar 64 dari 100.000
orang, wanita cenderung lebih sering terserang (64%), kasus BPPV sering
terjadi pada usia rata-rata 51-57 tahun, jarang pada usia 35 tahun tanpa
riwayat trauma kepala (George, 2009). Angka kejadian vertigo terkait
migraine sebanyak 0,89% dan BPPV sebanyak 1,6%.8
Penelitian von Brevern dkk. (2006) di Jerman, prevalensi BPPV
sebanyak 2,4% dengan prevalensi dalam 1 tahun adalah 1,6% dan
insidensinya 0,6%. Menurut penelitian di Neuro-otologists Dizziness
Clinics, Korea, dari 1.692 pasien penderita BPPV 67,7% wanita dan
32,3% laki-laki dengan usia rata-rata penderita 54,8 ± 14 tahun. BPPV ini
dapat terjadi pada semua kanalis semisirkularis di telinga dalam, akan
tetapi data menunjukkan sebagian besar BPPV terjadi pada kanal
semisirkular posterior (PC-BPPV) sebesar 60-90% kasus dan horizontal
(HC-BPPV) sebesar 5-30% kasus.8
Menurut Widiantoro (2010) dalam Sumarliyah (2011) angka
kejadian vertigo di Indonesia pada tahun 2010 didapatkan 50% dari usia
40-50 tahun dan juga merupakan keluhan nomer tiga paling sering
dikemukakan oleh penderita yang datang ke praktek umum. Pada
umumnya vertigo ditemukan sebesar 4-7% dari keseluruhan populasi dan
hanya 15 % yang diperiksakan ke dokter.8
7
C. Anatomi dan Fisiologi
Sistem organ pendengaran perifer terdiri dari struktur organ
pendengaran yang berada di luar otak dan batang otak yaitu telinga luar,
telinga tengah, telinga dalam dan saraf kokhlearis sedangkan organ
pendengaran sentral adalah struktur yang berada di dalam batang otak dan
otak yaitu nukleus koklearis, nukleus olivatorius superior, lemnikus
lateralis, kolikulus inferior dan kortek serebri lobus temporalis area
Wernicke.12
8
Gambar 2. Anatomi telinga12
9
Gambar 3. Skema hubungan antara membrane timpani osikel11
10
Gambar 4. Labirin12
a. Koklea
Koklea adalah organ pendengaran berbentuk menyerupai rumah
siput dengan dua dan satu setengah putaran pada aksis memiliki
panjang lebih kurang 3,5 centimeter. Sentral aksis disebut sebagai
modiolus dengan tinggi lebih kurang 5 milimeter, berisi berkas saraf
dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Struktur duktus koklea dan
ruang periotic sangat kompleks membentuk suatu sistem dengan tiga
ruangan yaitu skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala
vestibuli dan skala tympani berisi cairan perilim sedangkan skala
media berisi endolimf. Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh
membran reissner, skala media dan skala timpani dipisahkan oleh
membran basilar.12
11
Gambar 5. Labirin12
b. Organon Corti
Organon corti (OC) terletak di atas membran basilaris dari basis
ke apeks, yang mengandung organel penting untuk mekanisme saraf
pendengaran perifer. erdiri bagi tiga bagian sel utama yaitu sel penunjang,
selaput gelatin penghubung dan sel-sel rambut yang dapat membangkitkan
impuls saraf sebagai respon terhadap getaran suara.12
12
OC terdiri satu baris sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3
000 dan tiga baris sel rambut luar yang berjumlah sekitar 12.000. Rambut
halus atau silia menonjol ke atas dari sel-sel rambut menyentuh atau
tertanam pada permukaan lapisan gel dari membran tektorial. Ujung atas
sel-sel rambut terfiksasi secara erat dalam struktur sangat kaku pada
lamina retikularis. Serat kaku dan pendek dekat basis koklea mempunyai
kecenderungan untuk bergetar pada frekuensi tinggi sedangkan serat
panjang dan lentur dekat helikotrema mempunyai kecenderungan untuk
bergetar pada frekuensi rendah.12
c. Saraf Koklearis
Sel-sel rambut di dalam OC diinervasi oleh serabut aferen dan
eferen dari saraf koklearis cabang dari nervus VIII, 88% Serabut aferen
menuju ke sel rambut bagian dalam dan 12 % sisanya menuju ke sel
rambut luar. Serabut aferen dan eferen ini akan membentuk ganglion
spiralis yang selanjutnya menuju ke nuleus koklearis yang merupakan
neuron primer, dari nucleus koklearis neuron sekunder berjalan kontral
lateral menuju lemnikus lateralis dan ke kolikulus posterior dan korpus
genikulatum medialis sebagai neuron tersier, selanjutnya menuju ke pusat
pendengaran di lobus temporalis tepatnya di girus transversus.12
4. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea, Proses mendengar melalui tiga tahapan yaitu tahap
pemindahan energi fisik berupa stimulus bunyi ke organ pendengaran,
tahap konversi atau tranduksi yaitu pengubahan energi fisik stimulasi
tersebut ke organ penerima dan tahap penghantaran impuls saraf ke kortek
pendengaran.12
13
Gambar 7. Skema mekanisme pendengaran12
14
Koklea di dalamnya terdapat 4 jenis proses bioelektrik, yaitu :
potensial endokoklea (endocochlear potential), mikrofoni koklea
(cochlear microphonic), potensial sumasi (summating potensial), dan
potensial seluruh saraf (whole nerve potensial). Potensial endokoklea
selalu ada pada saat istirahat, sedangkan potensial lainnya hanya muncul
apabila ada suara yang merangsang. Potensial endokoklea terdapat pada
skala media bersifat konstan atau direct current (DC) dengan potensial
positif sebesar 80 – 100 mV. Stria vaskularis merupakan sumber potensial
endokoklea yang sangat sensitif terhadap anoksia dan zat kimia yang
berpengaruh terhadap metabolisme oksidasi.12
Mikrofoni koklea adalah alternating current (AC) berada di koklea
atau juga di dekat foramen rotundum, dihasilkan area sel indera bersilia
dan membrana tektoria oleh pengaruh listrik akibat vibrasi suara pada silia
atau sel inderanya. Potensial sumasi termasuk DC tidak mengikuti
rangsang suara dengan spontan, tetapi sebanding dengan akar pangkat dua
tekanan suara. Potensial sumasi dihasilkan sel-sel indera bersilia dalam
yang efektif pada intensitas suara tinggi. Sedangkan mikrofoni koklea
dihasilkan lebih banyak pada outer hair cell. Bila terdapat rangsangan
diatas nilai ambang, serabut saraf akan bereaksi menghasilkan potensial
aksi. Serabut saraf mempunyai penerimaan terhadap frekuens optimum
rangsang suara pada nilai ambangnya, dan tidak bereaksi terhadap setiap
intensitas. Potensial seluruh saraf adalah potensial listrik yang
dibangkitkan oleh serabut saraf auditori. Terekam dengan elektroda di
daerah foramen rotundum atau di daerah saraf auditori, memiliki frekuensi
tinggi dan onset yang cepat.12
Rangsangan suara dari koklea diteruskan oleh nervus kranialis VIII
ke korteks melalui nukleus koklearis ventralis dan dorsalis. Jaras tersebut
merupakan sistem pendengaran sentral.12
15
D. Patofisiologi BPPV
Telinga bagian dalam terdiri dari struktur mirip siput yang disebut
koklea, dan kanal setengah lingkaran Koklea berkaitan dengan
pendengaran dan kanal setengah lingkaran membantu mengontrol
keseimbangan dan postur. Ada tiga kanal setengah lingkaran (anterior,
posterior dan lateral) dan mereka kira-kira pada sudut kanan satu sama
lain. Di dalam kanal bertulang ini, ada sistem saluran sempit yang berisi
cairan disebut endolymph. Pergerakan endolymph dalam kanal setengah
lingkaran membantu dengan rotasi yaitu keseimbangan, gerakan kepala
termasuk sisi ke sisi, ke depan, ke belakang dan ke atas dan ke bawah. Itu
kanal setengah lingkaran dihubungkan ke koklea melalui kompartemen
berisi cairan besar yang disebut ruang depan. Ruang depan berisi rahim
dan sakula. Saraf vestibulocochlear yang berasal dari telinga bagian dalam
ke otak mengirimkan informasi tentang keseimbangan dan pendengaran ke
otak.1
Penyebab mendasar BPPV diyakini adanya kristal kalsium
karbonat di kanal setengah lingkaran, khususnya kanal setengah lingkaran
posterior. Kristal di dalam saluran menyebabkan defleksi saluran yang
abnormal reseptor, cupula, menghasilkan ilusi gerakan. Manuver reposisi
canalith (CRM) membantu untuk memindahkan kristal-kristal ini keluar
dari kanal setengah lingkaran kembali ke utricle untuk memberikan
bantuan vertigo gejala. Meskipun menjadi masalah medis yang umum,
BPPV masih kurang terdiagnosis atau salah didiagnosis oleh dokter.1
Kanal setengah lingkaran posterior telah ditemukan memiliki
otoconia pada 85-95 persen pasien dibandingkan dengan kanal horizontal.
Sekitar 85 persen bersifat unilateral, dan dalam 8 persen keduanya kanal
posterior terlibat. Kanal horisontal dipengaruhi pada sekitar 5 persen kasus
dan Keterlibatan kanal anterior jarang terjadi. Pada tahun 1992, partikel
mengambang bebas diidentifikasi di posterior kanal setengah lingkaran
selama prosedur operasi. Temuan ini mendukung teori canalithiasis
tentang penyebab BPPV.1
16
Penyebab pasti dari BPPV belum banyak diketahui. Kemungkinan
penyebab lainnya antara lain adalah trauma kepala atau perubahan
hormonal BPPV dapat terjadi setelah otitis media atau otitis media serosa
dan setelah stapedektomi.19
Namun dalam banyak kasus etiologi masih belum diketahui,
berbagai kondisi yang dapat mempengaruhi BPPV termasuk cedera
kepala, penyakit meniere, labyrintitis akut, telinga pasca operasi, operasi
wajah atau otak, dan infeksi pada telinga bagian dalam.1
Patofisiologi dari BPPV berhubungan dengan perpindahan dari
otocnia menuju kanalis semisirkularis (anterior,posterior atau lateral),yang
mungkin tetap mengambang di endolimfe dari kanalis semisirkularis
(ductolithiasis atau canalolithiasis) atau melekat pada cupula
(cupulithiasis), yang merubah respon kepala terhadap sudut kepala.19
Ketika ada perubahan posisi kepala dengan gravitasi, puing-puing
otolithic bergerak ke posisi baru dalam setengah lingkaran kanal,yang
mengarah ke rasa rotasi palsu,dimana BPPV biasanya paling sering
diakibatkanoleh kanalis semisirkular posterior sekitar 60-90% pada
seluruhkasus.19
Ketika Benign Paroxysmal Positional Vertigo tercetus, pasien akan
merasa seperti ruangan atau lingkungan disekelilingnya berputar atau
melayang, sehingga mengganggu pusat perhatian dan keseimbangan
pasien akan menurun. Gangguan keseimbangan menyebabkan pasien
dengan Benign Paroxysmal Positional Vertigo memiliki risiko tinggi
untuk mengalami jatuh. Menurut The Internasional Classification of
Disease (ICD), jatuh adalah suatu keadaan yang tidak diinginkan karena
seseorang yang terjatuh dari suatu tempat yang tinggi dapat
menyebabkan cidera.7
Pada dasarnya terdapat dua subtype dari BPPV yang dibedakan
oleh kanalis semisirkularis yang terlibat yaitu otocnia terpisah dan
mengambang bebas dalam canal (canalithiasis) atau yang melekat pada
cupula (cupulolithiasis). Pada cupulolithiasis,selama kepala berada pada
17
posisi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi,maka vertigo akan terus
menetap.19
18
BPPV didiagnosa berdasarkan sejarah medis, pemeriksaan fisik,
tes pendengaran dan pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan
diagnosis lain. Serta tes vestibular lainnya seperti tes Dix-Hallpike. Dalam
tes Dix-Hallpike, kepala pasien diminta untuk berbalik 45 derajat secara
horizontal berhadapan dengan penguji dalam posisi duduk,lalu pasien
mulai dengan cepat berada dibawah dengan kepala menggantung ditepi
meja sekitar 30 derajat horizontal kebawah. Penguji diminta untuk
mengamati apakah pasien memiliki vertigo dan mengamati nystagmus
kanalis posterior kanan. Apabila terdapat hasil yang positif yakni berupa
keterlibatan nystagmus kanalis posterior kanan, maka akan ada getaran
dan torsi kearah kanan.18
BPPV ditegakkan dengan uji provokasi manuver Dix Hallpike,
yang menimbulkan nistagmus karena defleksi kupula akibat posisi
abnormal otolit, baik yang melekat pada kupula maupun yang berada
dalam kanalis semisirkularis setelah terjadi perubahan posisi kepala.
Penegakkan diagnosis BPPV menentukan kanalis mana yang terkena, dan
sesuai teori mekanisme terjadinya BPPV, manuver yang tepat akan
merelokasi otolit kembali ke dalam ampula. Penatalaksanaan reposisi
kanalit segera diberikan setelah diagnosis BPPV ditegakkan. Program
latihan BPPV dapat dilakukan pasien secara mandiri di rumah tergantung
manuver yang diajarkan, bisa berupa terapi reposisi kanalit atau adaptasi
dan habituasi terhadap posisi yang memprovokasi.10
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus
spontan, dan pada evaluasi neurologis normal. Pemeriksaan fisik standar
untuk BPPV adalah : Dix- Hallpike dan Tes kalori.14
a. Dix-Hallpike Tets
Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah
dengan leher dan punggung. Tujuannya adalah untuk memprovokasi
serangan vertigo dan untuk melihat adanya nistagmus. Cara melakukannya
sebagai berikut :
19
1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur
pemeriksaan, dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang
setelah beberapa detik.
2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga
ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 300-400, penderita
diminta tetap membuka atau untuk melihat nistagmus yang muncul.
3. Kepala diputar menengok ke kanan 45 0 (kalau kanalis semisirkularis
posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi
otolith untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis
semisirkularis posterior.
4. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita
direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
5. dipertahankan selama 10-15 detik.
6. Komponen cepat nistagmus harusnya „up-bet‟ (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
7. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah
berlawanan.
8. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi
kiri 45 seterusnya.
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke
belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus.
Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya
lambat, 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila
sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu
menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.14
20
Gambar 8. Uji Dix-Hallpike
Keterangan Gambar 8. : Diposisikan saat pasien duduk tegak (A). Lalu
kepala diputar 45 derajat kearah kanan pasien (B). Kemudian, pasien berubah
posisi dari duduk menjadi posisi terlentang dengan kepala menggantung dibawah
ujung atas meja pemeriksaan dengan berputar 20derajat (C). Nistagmus yang
dihasilkan akan optimis dan torsional menunjukkan hasilnya (D).
Uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. Vertigo dan
nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari
1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang beberapa kali (fatigue)
menunjukan bahwa yang terjadi pada penderita ialah vertigo perifer. Sedangkan
jika tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit,
bila diulangulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue) menunjukan bahwa
yang terjadi pada penderita ialah vertigo sentral.16
21
4) Bersifat paroksismal dari saat timbulnya vertigo dan nystagmus (yaitu,
terjadi peningkatan lalu penurunan selama periode 10 sampai 20 detik)
5) Terjadi pengurangan vertigo dan nystagmus apabila tes Dix-Hallpike
diulang.
22
ampullofugal berpindah dari cupula. Pada pasien hal ini terdeskripsikan
dari bagian atas mata kearah telinga. Pada canalithiasis, dari kanalis
semisirkularis anterior komponennya akan terasa berputar dibagian
lateralis kearah telinga bagian paling atas. Pasien cenderung menatap
tatapan kearah telinga bagian bawah.19
b. Tes kalori
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini
dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30 0 C,
sedangkan suhu air panas adalah 44 0 C. Volume air yang dialirkan ke
dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik.
Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah
telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan
air dingin juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga
dalam. Pada tiap - tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan
atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit
(untuk menghilangkan pusingnya).14
c. Tes Supine Roll
Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan
hasil tes Dix-Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test
untuk memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal
lateral atau disebut juga BPPV kanal horizontal adalah BPPV
terbanyak kedua. Pasien yang memiliki riwayat yang sesuai dengan
BPPV, yakni adanya vertigo yang diakibatkan perubahan posisi
kepala, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis BPPV kanal posterior
harus diperiksa ada tidaknya BPPV kanal lateral.14
23
Gambar 10. Supine Roll Test14
24
vertigo, tetapi kebanyakan pasien merasa baik-baik saja di antara episode
vertigo.14
Jika pasien melaporkan episode vertigo spontan, atau vertigo yang
berlangsung lebih dari 1 atau 2 menit, atau jika episode vertigo tidak
pernah terjadi di tempat tidur atau dengan perubahan posisi kepala, maka
kita harus mempertanyakan diagnosis dari BPPV.14
25
Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk BPPV Tipe Kanal Posterior
26
supine head turn maneuver (Pagnini - McClure maneuver). Dua temuan
nistagmus yang potensial dapat terjadi pada manuver ini, menunjukkan
dua tipe dari BPPV kanal lateral.
27
posterior dikombinasikan dengan BPPV kanal horisontal. Nistagmus ini
bagaimanapun juga tetap akan terus mengikuti pola BPPV kanal tunggal,
meskipun pengobatan mungkin harus dilakukan secara bertahap dalam
beberapa kasus.14
TATALAKSANA BPPV
1. Non-Farmakologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu
penyakit yang ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa
bulan. Namun telah banyak penelitian yang membuktikan dengan
pemberian terapi dengan manuver reposisi partikel/ Particle Repositioning
Maneuver (PRM) dapat secara efektif menghilangkan vertigo pada BPPV,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien.
Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi mulai dari 70%-
100%. Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti mual,
muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya
debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih
sempit misalnya saat berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah
melakukan manuver, hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk
minimal 10 menit untuk menghindari risiko jatuh.14
Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan
partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Ada lima manuver
yang dapat dilakukan tergantung dari varian BPPV nya.14
a. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal
vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit
sebesar 45 0, lalu pasien berbaring dengan kepala tergantung dan
dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala ditolehkan 90 0 ke sisi sebaliknya, an
posisi supinasi berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-60
28
detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan
kembali ke posisi duduk secara perlahan.14
b. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu
kepala dimiringkan 45 0 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke
posisi berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan
vertigo dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di
sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi.14
29
Gambar 12. Manuver Semont14
c. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal
lateral. Pasien berguling 360 0, yang dimulai dari posisi supinasi lalu
pasien menolehkan kepala 900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan
membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke
bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian
menoleh lagi 900 dan tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu
kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan selama
15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon
terhadap gravitasi.14
30
d. Forced Prolonged Position
Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya
adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada
sisi telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam.14
e. Brandt-Daroff exercise
Latihan Bramdt Daroff merupakan latihan fisik yang bertujuan
untuk melakukan habituasi terhadap sistem vestibular sentral. Selain itu,
sebagian ahli berpendapat bahwa gerakan pada latihan Brandt Daroff
dapat melepaskan otokonia dari kupula berdasarkan teori cupulolithiasis.
Terapi latihan Brandt Daroff satu bentuk latihan yang dapat dilakukan
dengan aman di rumah dan tidak memerlukan seorang praktisi yang
terlatih.8
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan
dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien
yang tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini
juga dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat
menjadi kebiasaan.14
Brandt daroff karena metode ini sangat mudah dapat dilakukan
secara mandiri dirumah oleh pasien atau penderita vertigo. Brandt daroff
exercise adalah sebuah latihan habituasi yang bertujuan untuk adaptasi
lansia terhadap meningkatnya respon gravitasi yang menimbulkan pusing
saat terjadi perubahan posisi kepala. Brandt daroff exercise yang
dilakukan sesuai dosis yang benar akan mengurangi bahkan
menghilangkan gejala vertigo dalam jangka panjang. Latihan brandt daroff
dapat melancarkan aliran darah ke otak yang mana dapat memperbaiki tiga
sistem sensori yaitu sistem penglihatan (visual), sistem keseimbangan
telinga dalam (vestibular) dan sistem sensori umum yang meliputi sensor
gerak, tekanandan posisi.5
31
Gambar 14. Brandt-Daroff Exercise14
32
pendek untuk gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang
dapat terjadi pada pasien BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM.
Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan suppresant
vestibular yang digunakan adalah golongan benzodiazepine (diazepam,
clonazepam) dan antihistamine (meclizine, dipenhidramin).
Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi berputar namun dapat
mengganggu kompensasi sentral pada kondisi vestibular perifer.
Antihistamine mempunyai efek supresif pada pusat muntah sehingga dapat
mengurangi mual dan muntah karena motion sickness. Harus diperhatikan
bahwa benzodiazepine dan antihistamine dapat mengganggu kompensasi
sentral pada kerusakan vestibular sehingga penggunaannya
diminimalkan.14
3. Operasi
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi
kronik dan sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan
setelah melakukan manuver-manuver yang telah disebutkan di atas. Dari
literatur dikatakan indikasi untuk melakukan operasi adalah pada
intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi
vestibular, tidak seperti BPPV biasa.14
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat
dipilih, yaitu
singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal
posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena
teknik neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang
tinggi.14
33
BAB III
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Penelitian. Departemen Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
11. Mandala, Marco. 2017. Bedside Examination of the vestibular and
ocular motor system. How to diagnose and treat BPPV. Congress of
the European Academy of Neurology Amsterdam, The Netherlands.
Siena Italy.
12. Nugroho, Setyo P. Wiyadi HMS. 2009. Anatomi dan Fisiologi
Pendengaran Perifer. RSUD Dr Soetomo. Surabaya : Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga
13. Nurruhyuliawati, dkk. 2016. Angka Kejadian dan Karakteristik Pasien
Serangan Pertama Benign Paroxymal Position Vertigo (BPPV) di
Polisaraf RSUD Al-Ihsan Bandung Periode 2016. Bagian Ilmu
Penyakit Saraf RSUD Al-Ihsan Bangung.
14. Purnamasari, Prida P. 2011. Diagnosis dan Tatalaksana Benign
Paroxymal Positional Vertigo (BPPV). Universitas Udayana : Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
15. Rendra K A, Pinzon T R. 2018. Evaluasi Drug Related Problems Pada
Pasien Vertigo Perifer di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta. Artikel Penelitian. Jurnal Farmasi Klinik
Indonesia.Yogyakarta : Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
16. Setiawati, M. Susianti. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo.
Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
17. Sudira, G P. 2014. Insidensi Post Concussion Syndrome Pada Sekuel
Neurologis Pada Paien Cedera Kepala di RSUP DR Sardjito.
Yogyakarta : UGM.
18. Sutrisno, CT. 2018. Pengaruh Akupuntur Terhadap Lansia Penderita
Vertigo di Puskesmas Krembangan Surabaya. Studi Pendahuluan.
Jurnal Kesehatan Sain Med Vol 10. No. 1. Surabaya : Kopertis
Wilayah VII.
19. Threenesia, Atika. Iyos, N R. 2016. Benign Paroxymal Positional
Vertigo. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
36