Laporan Kasus
(BPPV)
Oleh :
Rokhaeni
Pembimbing :
dr. Novi Primadewi, Sp. T.H.T.L. M.Kes
A. Latar Belakang
Vertigo berasal dari bahasa latin vertere yaitu memutar. Vertigo
merupakan sensasi ilusi atau halusinasi terhadap tubuh atau lingkungan berupa
perasaan berputar. Benigna paroxysmal positional vertigo merupakan salah
satu jenis penyebab vertigo yang paling sering ditemui. Benigna paroxysmal
positional vertigo didefinisikan sebagai sensasi berputar akibat perubahan
relatif posisi kepala terhadap gravitasi (Bashir et al, 2014).
2
Sebagian besar kasus vertigo perifer dapat pulih dengan sendirinya
karena namun beberapa kasus mengalami kekambuhan. Oleh karena
banyaknya kasus vertigo dan cakupannya yang luas, maka penulis tertarik
untuk mempelajari lebih lanjut mengenai vertigo dan penatalaksanaannya.
B. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui
penatalaksanaan pada kasus Benigna Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
C. Manfaat
Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui etiologi, patofisiologi,
gejala klinis, diagnosis banding dari Benigna Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV). Manfaat klinis untuk mengetahui penegakan diagnostik dan
penatalaksanaan pada kasus Benigna Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Labirin juga terdiri dari dua struktur otolit, yakni utrikulus dan sakulus
yang mendeteksi akselerasi linear, termasuk deteksi terhadap gravitasi. Organ
reseptornya adalah makula. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus
kira-kira di bidang kanalis semisirkularis horisontal. Makula sakulus terletak
pada dinding medial sakulus dan terutama terletak di bidang vertikal. Pada
setiap makula terdapat sel rambut yang mengandung endapan kalsium yang
disebut otolith (otokonia). Makula pada utrikulus diperkirakan sebagai sumber
dari partikel kalsium yang menjadi penyebab BPPV (Gerard, 2012).
6
Ampulofugal berarti pergerakan yang menjauhi ampula, sedangkan
ampulapetal berarti gerakan mendekati ampula. Pada kanal semisirkular
posterior dan superior, defleksi utrikulofugal dari kupula bersifat merangsang
(stimulatory) dan defleksi utrikulopetal bersifat menghambat (inhibitory).
Pada kanal semisirkular lateral, terjadi yang sebaliknya (Sherwood, 2010).
B. Gangguan Keseimbangan
Gangguan keseimbangan dapat terjadi pada alat keseimbangan sentral
(daerah otak) maupun alat keseimbangan perifer (terdapat pada telinga dalam),
namun sebagian besar gangguan keseimbangan disebabkan karena adanya
gangguan pada telinga dalam (perifer) (Alviandi W, 2010).
7
Gangguan keseimbangan sentral dapat diakibatkan karena TIA/stroke
vertebrobasilaris, tumor, trauma, migren basilaris, multipel sklerosis, maupun
kelainan degenerative. Sedangkan gangguan keseimbangan perifer dapat
disebabkan karena BPPV (Benigne Paroxysmal Positional Vertigo), Meniers
disease, infeksi, ototoksik (obat yang menyebabkan toksik/racun pada telinga
dalam), penyumbatan pembuluh darah (oklusi a. labirin), trauma, maupun
tumor (neuroma akustik) (Alviandi W, 2010).
3. Patofisiologi
Indra orientasi dan keseimbangan bergantung pada input visual dan
proprioseptif serta sistem telinga dalam, yang terintegrasi di nukleus
vestibuler batang otak dan cerebellum. Pada telinga dalam, organ otolit di
vestibular mendeteksi perubahan vertikal dan non rotasional (orientasi
terkait gravitasi), sedangkan reseptor ampular di kanalis semisirkularis
mendeteksi rotasi kepala. Ketika kepala berotasi, reseptor pada salah satu
sisi terstimulasi sedangkan reseptor pada sisi lain terhambat. Mata
mencoba untuk menjaga fiksasi visual terhadap lingkungan dengan
perubahan cepat pada tujuan berlawanan, disebut vestibuloocular reflex
(VOR). Pada saat yang sama, nukleus vestibular mengirim impuls ke
anggota gerak dan sumbu tubuh untuk menjaga keseimbangan. Disfungsi
9
dari salah satu struktur ini dapat mneyebabkan gangguan keseimbangan
dan orientasi, biasanya timbul sebagai vertigo (Balatsouras et al, 2012) .
a. Teori kupulolitiasis
Kupulolitiasis adalah adanya partikel yang melekat pada kupula
krista ampularis. Pada tahun 1962, melalui penelitian yang dilakukan oleh
Schuknecht, ditemukan adanya partikel basofilik yang melekat pada
kupula. Dengan adanya partikel ini menyebabkan kanalis semisirkularis
10
menjadi lebih sensitif terhadap gravitasi. Teori ini menganalogikan sebuah
kondisi ketika terdapat benda berat yang melekat pada sebuah tiang,
sehingga menyebabkan posisi tiang tidak dapat dipertahankan pada posisi
netral tetapi akan lebih mengarah ke sisi yang dilekati benda berat. Oleh
karena itu, kupula sulit untuk kembali ke posisi netral, sehingga timbul
nistagmus dan perasaan pening (Balatsouras et al, 2014; Hornibrook,
2011).
b. Teori kanalitiasis
Teori ini menyatakan bahwa BPPV timbul akibat adanya partikel
yang bebas bergerak (canalith) dalam kanalis semisirkularis, dapat terjadi
di ketiga kanalis semisirkularis namun paling sering mengenai kanalis
semisirkularis posterior. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang
terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior disebabkan karena
kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling
bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Balatsouras et al,
2014; Hornibrook, 2011).
Apabila kepala dalam posisi duduk tegak maka kanalit terletak
dalam posisi terendah dalam kanalis semisrikularis posterior. Ketika posisi
kepala supinasi, terjadi perubahan posisi sejauh 90o. Setelah beberapa saat,
gravitasi akan menarik kanalith hingga posisi terendah. Hal ini
menyebabkan endolimfe dalam kanalis semisirkularis menjauhi ampula
sehingga terjadi defleksi kupula. Defleksi kupula menyebabkan timbulnya
nistagmus, arah dari nistagmus ditentukan oleh eksitasi saraf ampula pada
kanal yang terkena oleh sambungan langsung dengan otot ekstraokular.
Apabila kepala dikembalikan ke posisi awal, maka terjadi gerakan
sebaliknya dan timbul nistagmus ke arah yang berlawanan. Setiap kanal
yang terkena kanalitiasis memiliki karakteristik nistagmus tersendiri
(Balatsouras et al, 2014).
BPPV tipe kanal lateral adalah tipe BPPV yang paling banyak
kedua. BPPV tipe kanal lateral sembuh jauh lebih cepat dibandingkan
11
dengan BPPV tipe kanal posterior. Hal ini dikarenakan kanal posterior
tergantung di bagian inferior dan barier kupulanya terdapat pada ujung
yang lebih pendek dan lebih rendah. Debris yang masuk dalam kanal
posterior akan terperangkap di dalamnya. Sedangkan kanal lateral
memiliki barier kupula yang terletak di ujung atas. Karena itu, debris
bebas yang terapung di kanal lateral akan cenderung untuk mengapung
kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala (Hornibrook,
2011).
Konsep calcium jam pernah diusulkan untuk menunjukkan
partikel kalsium yang kadang dapat bergerak, tetapi kadang terjebak dalam
kanal. Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum dipahami
dengan pasti. Debris kalsium dapat pecah karena trauma atau infeksi virus,
tapi pada banyak keadaan dapat terjadi tanpa trauma atau penyakit yang
diketahui. Mungkin ada kaitannya dengan perubahan protein dan matriks
gelatin dari membran otolith yang berkaitan dengan usia. Pasien dengan
BPPV diketahui lebih banyak terkena osteopenia dan osteoporosis
daripada kelompok kontrol, dan mereka dengan BPPV berulang cenderung
memiliki skor densitas tulang yang terendah. Pengamatan ini
menunjukkan bahwa lepasnya otokonia dapat sejalan dengan
demineralisasi tulang pada umumnya. (Hornibrook, 2011).
Trauma pada kepala juga dapat menjadi dasar penyebab timbulnya
vertigo. Apabila kepala terbentur, otokonia yang terdapat pada utrikulus
dan sukulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini kemudia memasuki
kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Kanalit ini lah yang menyebabkan
timbulnya vertigo (Hornibrook, 2011).
4. Diagnosis
Penegakkan diagnosis BPPV berdasarkan pada :
a. Anamnesis
Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik pertama kali penting
untuk menentukan apakah vertigo berasal dari organ vestibuler atau
12
non vestibuler. Jika kemudian diketahui vertigo berasal dari gangguan
organ vestibular maka perlu membedakan apakah penyebab vertigo
berasal dari sentral atau perifer, karena hal ini akan mempengaruhi
pengelolaan lanjutan (Mansjoer dkk, 2014).
Tabel 2.1 perbedaan vertigo vestibular dan non vestibular (Mansjoer dkk, 2014)
Tabel 2.2 Perbedaan vertigo sentral dan perifer (Mansjoer dkk, 2014)
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab, apakah berupa kelainan sistemik, kelainan di vestibular atau
kelainan sentral serebelar. Faktor sistemik yang perlu dicari tanda-
tandanya yaitu aritmia, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif,
anemia, dan hipoglikemi. Tanda-tanda tersebut dicari dengan
melakukan pemeriksaan tekanan darah baik dalam posisi berbaring,
duduk maupun berdiri. Selain itu juga dinilai irama denyut jantung
serta pulsasi nadi perifer (Mansjoer dkk, 2014).
1. Fungsi vestibular/serebelar
- Uji romberg : penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan,
mula-mula dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup.
Posisi dipertahankan selama 20-30 detik. Pada kelainan vestibular
hanya saat mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi
garis tengah kemudian kembali lagi, saat mata terbuka badan
penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebelar penderita
akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup
(Mansjoer dkk, 2014).
- Uji romberg dipertajam : pasien diminta berdiri dengan kaki yang
satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu berada di depan jari
15
kaki lain. Lengan dilipat ke dada dan mata ditutup. Orang normal
mampu berdiri dalam sikap ini minimal selama 30 detik.
- Uji stepping : pasien diminta berjalan di tempat dengan mata
tertutup sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan
biasa dengan instruksi pasien harus berusaha agar tetap di tempat
dan tidak beranjak selama tes. Kedudukan akhir dianggap abnormal
apabila pasien beranjak > 1 m atau badan berputar > 30 o (Zhang &
Wang, 2011).
- Tendem gait : penderita berjalan dengan tumit kiri/kanan diletakan
pada ujung jari kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibular,
perjalanannya akan menyamping dan pada kelainan serebelar
penderita akan cenderung jatuh (Mansjoer dkk, 2014).
- Uji unterberger : berdiri dengan kedua lengan lurus horizantal ke
depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi
mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibular posisi
penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan
seperti orang melempar cakram: kepala dan badan berputar ke arah
lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi
turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan
fase lambat ke arah lesi (Zhang & Wang, 2011).
- Past-pointing test : dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus
ke depan penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas,
kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa.
Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup
pada kelainan vestibular akan terlihat penyimpangan lengan
penderita ke arah lesi (Ballenger, 2009).
- Finger to nose test : pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan pasien
dalam kondisi berbaring , duduk atau berdiri. Dilakukan dengan
pasien mengabdusikan lengan serta posisi ekstensi total, lalu pasien
diminta untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung
jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan kemudian
16
dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup
(Ballenger, 2009).
- Disdiadokokinesis test : pasien diminta untuk menggerakan kedua
tangannya bergantian pronasi dan supinasi dalam posisi siku diam
dengan cepat. Pemeriksaan ini dilakukan baik dengan mata terbuka
ataupun tertutup. Pada pasien dengan gangguan serebelum atau
lobus frontalis, gerakkan pasien akan melambat atau menjadi kikuk
(Ballenger, 2009).
- Dix hallpike manuver : merupakan pemeriksaan standar untuk
pasien BPPV. Dix hallpike manuver secara garis besar terdiri dari
dua gerakkan yaitu Dix hallpike manuver kanan pada bidang kanal
anterior kiri dan kanal posterior kanan dan Dix hallike manuver
kiri pada bidang posterior kiri. Untuk melakukan Dix hallpike
manuver kanan, pasien duduk tegak pada meja pemeriksaan dengan
kepala menoleh 45o ke kanan. Kemudian dengan cepat pasien
dibaringkan dengan kepala tetap miring 45o ke kanan sampai
kepala pasien menggantung 20-30o pada ujung meja pemeriksaan,
tunggu 40 detik hingga respon abnormal timbul. Penilaian respon
pada monitor dilakukan selama 1 menit atau sampai respon
menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat dilanjutkan
dengan canalith repositioning treatment (CRT) (Bashir et al, 2014).
Bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila manuver tidak
diikuti dengan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukan
kembali. Kemudian lanjutkan dengan pemeriksaan Dix-hallpike
manuver kiri dengan cara yang sama. Pada orang normal nistagmus
dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke belakang, namun saat
gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien
BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya
lambat, 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu
menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus
dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat
17
dan timbul bersamaan dengan nistagmus (Bashir et al, 2014;
Mehndiratta, 2014).
Pada BPPV melalui pemeriksaan ini akan ditemukan posisi
kepala yang mencetuskan serangan, nistagmus yang khas, adanya
masa laten, lamanya serangan terbatas, arah nistagmus berubah bila
posisi kepala dikembalikan ke awal, serta adanya fenomena
kelelahan nistagmus bila rangsangan diulang. Sedangkan pada
kelainan sentral tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo
berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap
seperti semula (Sura & Stephen, 2010).
- Tes supine roll : jika pasien memiliki riwayat mengarah BPPV dan
hasil dix-hallpike negatif, sebaiknya dilakukan tes supine roll untuk
memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral. Pasien yang
mengalami gejala sesuai dengan BPPV tetapi tidak memenuhi
kriteria diagnosis BPPV kanal posterior maka dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya BPPV kanal lateral
dengan tes ini. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara pasien
dalam posisi supinasi dengan kepala pada posisi netral diikuti
dengan rotasi kepala 90o ke satu sisi dengan cepat dan dokter
mengamati mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.
Setelah nistagmus mereda, atau jika tidak timbul nistagus, kepala
kembali menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Pemeriksaan
kemudian diulang ke sisi yang berlawanan (Mansjoer dkk, 2014).
2. Uji fungsi pendengaran
- Tes garpu tala : pemeriksaan ini berupa tes rinne, weber dan
schwabach, dilakukan untuk menilai adakah tuli konduksi atau
tuli perseptif. (Mansjoer dkk, 2014).
- Audiometri : untuk mengetahui jenis dan derajat ketulian
(Mansjoer dkk, 2014).
BPPV dapat terjadi pada ketiga kanal. Penegakkan diagnosis berdasarkan
kanal yang terkena yaitu sebagai berikut
18
a. Diagnosis BPPV tipe kanal posterior
Kita dapat mendiagnosis BPPV tipe kanal posterior ketika
nistagmus posisional paroksismal dapat diprovokasi dengan manuver Dix-
Hallpike. Manuver Dix-Hallpike menghasilkan torsional upbeating
nystagmus yang terkait dalam durasi dengan vertigo subjektif yang dialami
pasien, dan hanya terjadi setelah memposisikan Dix-Hallpike pada sisi
yang terkena. Diagnosis presumtif dapat dibuat dengan riwayat saja, tapi
nistagmus posisional paroksismal menegaskan diagnosisnya (Sura &
stephen, 2010).
19
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanal anterior kronis atau
persisten jarang. Dari semua tipe BPPV, BPPV kanal anterior tampaknya
tipe yang paling sering sembuh secara spontan. Diagnosisnya harus
dipertimbangkan dengan hati-hati karena downbeating positional
nystagmus yang berhubungan dengan lesi batang otak atau cerebellar
dapat menghasilkan pola yang sama (Musat, 2010).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe polikanalikular jarang,
tetapi menunjukkan bahwa dua atau lebih kanal secara bersamaan terkena
pada waktu yang sama. Keadaan yang paling umum adalah BPPV kanal
posterior dikombinasikan dengan BPPV kanal horisontal. Nistagmus ini
bagaimanapun juga tetap akan terus mengikuti pola BPPV kanal tunggal,
meskipun pengobatan mungkin harus dilakukan secara bertahap dalam
beberapa kasus (Musat, 2010).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan pemeriksaan
lain sesuai indikasi.
Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma
akustik).
Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi
(EMG), Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP).
Pencitraan CT-scan, arteriografi, magnetic resonance imaging
(MRI). (Musat, 2010)
5. Diagnosis Banding
Tabel 2.3 Diagnosis banding vertigo (Mansjoer dkk, 2014)
Penyebab vertigo
Vertigo dengan Vertigo tanpa penurunan Vertigo dengan gejala
20
penurunan pendengaran pendengaran intrakranial
Menieres disease Vestibular neuronitis Tumor cerebellopontine
Labyrinthitis Benign positional vertigo Penyakit cerebrovaskular
: TIA/CVA
Labyrinthine trauma Acute vestibular Vertebro-basilar
dysfunction insufficiency dan
tromboemboli :
- Sindrom lateral
medula
- Sindrom
subclavian steal
- Basilar migrain
Acoustic neuroma Medication induced Tumor otak
vertigo e.g
aminoglycosides
Acute cochleovestibular Cervical spondylosis Migrain
dysfunction
Syphilis Akibat cedera ekstensi- Multiple sclerosis
fleksi
Aura serangan epilepsi,
khususnya epilepsi lobus
temporal
Obat-obatan : fenitoin,
barbiturat
Syringobulbia
6. Penatalaksanaan
a. Farmakologis
Penatalaksanaan vertigo pada dasarnya adalah mengobati
penyebabnya. Namun, jika etiologinya belum diketahui maka terapi
21
simptomatik perlu diberikan terlebh dahulu untuk mengurangi gejala.
Tujuan dari pemberian farmakoterapi pada pasien dengan vertigo yaitu
untuk meringankan gejala, mengurangi morbiditas, dan mencegah
komplikasi (Tamber et al, 2009; Treleaven, 2006).
Terdapat dua golongan obat yang digunakkan dalam terapi vertigo,
yaitu obat-obatan sipresan vestibular dan antiemesis. Supresan
vestibular bekerja pada tingkat neurotransmiter yang terlibat dalam
perambatan impuls antar neuron vestibular (Balatsouras et al, 2012).
Pembagian obat supresan vestibular yaitu :
A. Antihistamin : histamin ditemukan berdifusi pada struktur
vestibular sentral. Histamin tidak ditemukan sebagai
neurotransmiter pada sistem vestibular perifer. Cara kerja histamin
pada bagian sentral memodulasi gejala motion sickness. Stimulasi
dari reseptor H1 dan H2 merangsang nukleus vestibular medial
sentral neuron. H3 adalah autoreseptor yang berfungsi
menghambat pelepasan histamin. Pemberian antihistamin dapat
mencegah respon histamin pada nervus sensorik dan pembuluh
darah serta efektif pada pasien dengan vertigo (Nafrialdi &
Setyawati, 2007)
Meclizine : meclizine menurunkan eksitabilitas labirin telinga
dalam dan menghambat konduksi jalur vestibular-cerebellar di
telinga dalam. Efeknya dapat mengurangi rasa mual dan
muntah.
Dimenhydrinate : dimenhydrinate dapat mengurangi stimulasi
vestibular dan menekan fungsi labirin melalui aktivitas
antikolinergik sentral
24
Gambar 2.2 (A)CRP. Ilustrasi terapi pada kanalis semisirkularis posterior kanan. Dokter
menggerakan pasien melalui serangkaian 4 posisi, dimulai dengan menempatkan kanal
yang terlibat pada posisi menggantung pada Dix Hallpike test. Untuk memulai, pasien
diposisikan pada meja terapi dalam posisi duduk dengan kedua kaki ekstensi. Posisi
kepala pasien yaitu miring 45o ke kanan. Pasien kemudian diturunkan ke posisi supinasi
dengan ekstensi leher 30o terhadap pinggir meja terapi. Ini merupakan posisi kepala
menggantung. Kepala dirotasikan 90o berakhir pada posisi 45o ke arah sisi yang tidak
terlibat. Tahap ini kemudian diikuti dengan berguling ke sisi yang tidak terlibat dengan
mempertahankan posisi kepala terkait terhadap tulang belakang , dan kemudian terduduk.
Setiap posisi dipertahankan selama minimal 45 detik atau selama nistagmus ada dengan
tambahan 20 detik. Prosedur ini diulang sebanyak 3 kali. (B) Semont manuver. Pasien
duduk di tepi meja terapi. Dokter menggerakan pasien dengan cepat sehingga pasien
berbaring pada sisi yang tidak terlibat dengan kepala miring 45o ke arah sisi yang tidak
terlibat. Selama mempertahankan posisi kepala terhadap tulang belakang, dokter
mengatunkan pasien dari berbaring pada sisi yang terlibat ke sisi yang tidak terlibat.
Kemudian kepala direbahkan secara perlahan pada meja terapi. Setiap posisi
dipertahankan selama 1.5 menit. Prosedur ini diulang sebanyak 3 kali (Richard et al,
2015).
3. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe
kanal lateral. Pasien berguling 3600, yang dimulai dari posisi supinasi
lalu pasien menolehkan kepala 900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan
membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh
ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien
kemudian menoleh lagi 900 dan tubuh kembali ke posisi lateral
dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan
dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-
partikel sebagai respon terhadap gravitasi (Balatsouras et al, 2012)
25
Gambar 2.3 Manuver lempert (Balatsouras et al, 2012)
26
Vertigo
Organ propioseptif
Sentral Perifer
Penurunan pendengaran
Ya Tidak
Skema 2.1 Diagnosis dan tatalaksana BPPV (Bashir et al, 2014; Bittar, 2011)
27
26
BAB III
LAPORAN KASUS
28
Gambar 3.1 gambaran membran timpani
Pemeriksaan penunjang, tes garpu tala : Rhinne +/+, weber tak ada
lateralisasi, pemeriksaan audiometri : AD: normal hearing (21,25 dB); AS :
normal hearing (11,25 dB)
Pemeriksaan keseimbangan : Romberg test: mata tertutup : dapat
melakukan dengan baik; mata terbuka : dapat melakukan dengan baik; sharping
romberg: pasien jatuh ke kanan. Stepping tes: pasien miring > 30o ke kanan. Post
pointing tes: dapat melakukan dengan baik. Finger to nose tes: dapat melakukan
dengan baik. Disdiadokokinesis tes: dapat melakukan dengan baik. Head-shaking
tes: nistagmus (-). Dix-hallpike tes: kanan nistagmus (+), kiri nistagmus (+).
Schellong test (hipotensi ortostatik): TD duduk : 116/65; TD berbaring : 115/70;
TD berdiri : 114/70.Kesimpulan : gangguan vestibular dextra
Pemeriksaan Laboratorium: Hemoglobin: 14.2 mg/dl,
hematokrit:42%,Leukosit:10.3 ribu/ul, trombosit:280 ribu/ul, eritrosit: 4.37
juta/ul, GDS : 120 mg/dl, kolesterol total : 202 mg/dl, trigliserid 191mg/dl, LDL :
147mg/dl, HDL : 39mg/dl, natrium darah : 139 mmol/L, K : 3,1 mmol/dl, Cl
darah : 108mmol/dl.
Pemeriksaan MRI, didapatkan hasil Kesimpulan :
1. MRA : circulus wilisi tampak paten, tak tampak malformasi vaskular,
aneurysma maupun fistula
2. MRV : tak tampak malformasi vascular, aneurysma maupun fistula
29
Gambar 3.2 Pemeriksaan MRI
30
Diagnosis sementara : Vertigo perifer ec susp BPPV, dengan diagnosis
banding vestibular neuritis
Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan farmakologis dan non
farmakologis, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam. Kemudian pasien
diberikan terapi : Gingko biloba 2x1, dan betahistine mesilat 3x 6 mg, Amlodipin
1 x 5 mg. Non farmakologis dilakukan latihan Canalith Repositioning Procedure
(CRP).
Pada tanggal 25 Februari 2016, pasien datang kembali untuk kontrol.
Keluhan: pusing berputar, mual (+), muntah (-), telinga berdenging (+) kadang
kadang, TD : 110/70, terapi : betahistin mesilate 3x6mg, amlodipin 1x5mg
gingko biloba 2x1, dan simvastatin 1x20mg, aspar K 1x1 (sesuai bagian penyakit
dalam) dilakukan latihan CRP dan anjuran diet rendah garam .
Pada tanggal 3 Maret 2016, pasien datang kembali untuk kontrol. Keluhan:
pusing berputar, mual (+), muntah (-), telinga berdenging (+) kadang kadang, TD
: 110/70, terapi : betahistin mesilate 3x6mg, amlodipin 1x5mg, gingko biloba
2x1, simvastatin 1x20mg, aspar K 1x1 dilakukan latihan CRP dan anjuran diet
rendah garam.
Pada tanggal 10 maret pasien kembali datang untuk kontrol. Keluhan yang
dirasakan sudah berkurang, pusing berputar hanya kadang kadang dan ringan,
TD : 110/70, terapi : betahistin mesilate 3x6mg, gingko biloba 2x1,diet rendah
garam, dilakukan latihan brandt daroff dan dianjurkan dilakukan sendiri di rumah.
Pemeriksaan laboratorium post koreksi, kolesterol total : 198 mg/dl,
trigliserid 153 mg/dl, LDL : 147mg/dl, HDL : 39mg/dl, natrium darah : 139
mmol/L, K : 3,5 mmol/dl, Cl darah : 108mmol/dl.
31
Gambar 3.3 Latihan brandt daroff yang dijalani pasien
32
BAB IV
PEMBAHASAN
35
33
BAB IV
KESIMPULAN
36
37
DAFTAR PUSTAKA
Bailey BJ, Johnson JT, Rosen CA. 2014. Head & Neck Surgery-Otolaryngology,
Edisi ke-5. Philladelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Balatsouras, D., Panayotis, G., Andreas, A., Nicolas, C., Antonis, M., & George,
K. 2012. Benign paroxysmal positional vertigo associated with menieres
disease: epidemiological, pathophysiologic, clinical, and therapeutic
aspects. Otology rhinology laryngology journal. 12(10): 682-688.
Bashir, K., Furqan, I., & Peter, A. 2014. Management of benign paroxysmal
positional vertigo (BPPV) in the emergency department. Journal of
emergency medecine trauma and acute care. 3(1): 1-7.
Ferdiansyah, R., Brastho, B., Widayat, A., & Jenny, B. 2013. Evaluasi pada
pasien vertigo posisi paroksismal jinak dengan terapi reposisi kanalit dan
latihan brandt daroff. Departemen ilmu penyakit THT-KL fakultas
kedokteran universitas indonesia.
Gaur, S., Sanjeev, K., Sunil, K., Rohit, S., Vivek, K., & Mamta, B. 2015. Efficacy
of epleys maneuver in treating BPPV patients : a prospective
observational study. International journal of otolaryngology. 4(1): 1-5.
Gerard, J. 2012. Principle of anatomy and physiology. 13th edition. Ed: united
states of america.
Richard, W., Tjasse, D., Peter, O., & Roeland, B. 2015. Efficacy of the epley
maneuver for posterior canal BPPV: a long term, controlled study of 81
patients. Ear nose throat journal. 84(1): 22-25.
Sherwood, L. 2010. Human pahysiology from celss to system. 7th edition. Ed:
Yolanda cossio.
38
Sura, D & Stephen, N. 2010. Vertigo-diagnosis and management in the primary
care. British journal of medical practitioners, 3(4): 1-3.
Tamber, A., Kjersti, T., & Liv, I. 2009. Measurement properties of the dizziness
handicap inventory by cross-sectional and longitudinal designs. Health
and quality of life outcomes biomed central. 7(10): 1-16.
Zhang, Y & Wang W. 2011. Reability of fukuda stepping test to determine the
side of vestibular dysfunction. The journal of international medical
research. 39(4): 1432-1437.
39