Anda di halaman 1dari 39

1

Laporan Kasus

PENATALAKSANAAN BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO

(BPPV)

Oleh :
Rokhaeni

Pembimbing :
dr. Novi Primadewi, Sp. T.H.T.L. M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1


ILMU KESEHATAN THT-KL FK UNS
RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Vertigo berasal dari bahasa latin vertere yaitu memutar. Vertigo
merupakan sensasi ilusi atau halusinasi terhadap tubuh atau lingkungan berupa
perasaan berputar. Benigna paroxysmal positional vertigo merupakan salah
satu jenis penyebab vertigo yang paling sering ditemui. Benigna paroxysmal
positional vertigo didefinisikan sebagai sensasi berputar akibat perubahan
relatif posisi kepala terhadap gravitasi (Bashir et al, 2014).

Dalam 5 penelitian komunitas diketahui bahwa sekitar 30% pasien


yang datang ke fasilitas kesehatan menderita vertigo dan sebanyak 93% pasien
vertigo tersebut disebabkan oleh BPPV. Pada populasi umum prevalensi
BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000 (prevalensi 2,4%). Usia onset
timbulnya BPPV yaitu antara 50 hingga 70 tahun. Rasio angka kejadian antara
perempuan dan laki-laki yaitu 2:1 (Balatsouras et al, 2012).

Vertigo merupakan gejala, bukan diagnosis. Vertigo perifer timbul


akibat disfungsi labirin vestibular (canalis semisirkularis) atau nervus
vestibularis. Diagnosis vertigo ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dalam penegakkan diagnosis penting untuk membedakan
apakah vertigo berasal dari kelainan organ vestibular atau non vestibular, dan
kelainan vestibular dibagi lagi menjadi perifer dan sentral. BPPV merupakan
jenis vertigo vestibular perifer. Penatalaksanaan vertigo perifer berupa
penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis. Penatalaksanaan
farmakologis bertujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi
lebih lanjut, sedangkan penatalaksanaan non farmakologis menjadi terapi
kausatif pada vertigo perifer (Hornibrook, 2011).

2
Sebagian besar kasus vertigo perifer dapat pulih dengan sendirinya
karena namun beberapa kasus mengalami kekambuhan. Oleh karena
banyaknya kasus vertigo dan cakupannya yang luas, maka penulis tertarik
untuk mempelajari lebih lanjut mengenai vertigo dan penatalaksanaannya.

B. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui
penatalaksanaan pada kasus Benigna Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
C. Manfaat
Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui etiologi, patofisiologi,
gejala klinis, diagnosis banding dari Benigna Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV). Manfaat klinis untuk mengetahui penegakan diagnostik dan
penatalaksanaan pada kasus Benigna Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).

3
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Vestibulur


Organ keseimbangan terdiri dari sistem vestibular, sistem visual dan
sistem propioseptif. Sistem vestibular terdiri dari nukleus traktus solitarius,
rostral ventolateral medula retikular, dan nukleus parabrachial (Alviandi W,
2010).

Gambar 2.1 Organ keseimbangan (Alviandi W, 2010)

Sistem vestibular membantu mengatur tonus otot terhadap


gravitasi, mengatur keseimbangan pusat massa (COM, Centre of mass), serta
mengatur keseimbangan pada kecepatan rendah. Sistem visual berupa organ
mata memberi informasi kepada otak mengenai posisi tubuh terhadap
lingkungan berdasarkan sudut dan jarak dengan objek sekitarnya. Sedangkan
sistem propioseptif berfungsi sebagai mekanoreseptor yang memberi
informasi posisi tubuh serta memberi informasi titik tumpu beban tubuh
(Alviandi W, 2010).
Gambar 2.2 Anatomi telinga dalam : organ pendengaran dan keseimbangan
(Alviandi W, 2010)

Vestibular memonitor pergerakan dan posisi kepala dengan


mendeteksi akselerasi linier dan angular. Bagian vestibular dari labirin terdiri
dari tiga kanal semisirkular, yakni kanal anterior, posterior, dan horisontal.
Ketiga kanal semisirkularis ini mendeteksi akselerasi angular. Setiap kanal
semisirkular terisi oleh endolimfe dan pada bagian dasarnya terdapat
penggelembungan yang disebut sebagai ampula. Ampula mengandung kupula,
suatu masa gelatin yang memiliki densitas yang sama dengan endolimfe, serta
melekat pada sel rambut (Sherwood, 2010).

5
Labirin juga terdiri dari dua struktur otolit, yakni utrikulus dan sakulus
yang mendeteksi akselerasi linear, termasuk deteksi terhadap gravitasi. Organ
reseptornya adalah makula. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus
kira-kira di bidang kanalis semisirkularis horisontal. Makula sakulus terletak
pada dinding medial sakulus dan terutama terletak di bidang vertikal. Pada
setiap makula terdapat sel rambut yang mengandung endapan kalsium yang
disebut otolith (otokonia). Makula pada utrikulus diperkirakan sebagai sumber
dari partikel kalsium yang menjadi penyebab BPPV (Gerard, 2012).

Gambar 2.3 struktur telinga dalam (Sheerwood, 2010)

Kupula adalah sensor gerak untuk kanal semisirkular dan ini


teraktivasi oleh defleksi yang disebabkan oleh aliran endolimfe. Pergerakan
kupula oleh karena endolimfe dapat menyebabkan respon, baik berupa
rangsangan atau hambatan, tergantung pada arah dari gerakan dan kanal
semisirkular yang terkena. Kupula membentuk barier yang impermeabel yang
melintasi lumen dari ampula, sehingga partikel dalam kanal semisirkular
hanya dapat masuk atau keluar kanal melalui ujung yang tidak mengandung
ampula (Sherwood, 2010).

6
Ampulofugal berarti pergerakan yang menjauhi ampula, sedangkan
ampulapetal berarti gerakan mendekati ampula. Pada kanal semisirkular
posterior dan superior, defleksi utrikulofugal dari kupula bersifat merangsang
(stimulatory) dan defleksi utrikulopetal bersifat menghambat (inhibitory).
Pada kanal semisirkular lateral, terjadi yang sebaliknya (Sherwood, 2010).

Gambar 2.4 Ampulopetal dan ampulofugal (Alviandi W, 2010)

Nistagmus mengacu pada gerakan osilasi yang ritmik dan berulang


dari bola mata. Stimulasi pada kanal semisirkular paling sering menyebabkan
jerk nystagmus, yang memiliki karakteristik fase lambat (gerakan lambat
pada satu arah) diikuti oleh fase cepat (kembali dengan cepat ke posisi
semula). Nistagmus dinamakan sesuai arah dari fase cepat. Nistagmus dapat
bersifat horizontal, vertikal, oblik, rotatori, atau kombinasi (Gerard, 2012).

B. Gangguan Keseimbangan
Gangguan keseimbangan dapat terjadi pada alat keseimbangan sentral
(daerah otak) maupun alat keseimbangan perifer (terdapat pada telinga dalam),
namun sebagian besar gangguan keseimbangan disebabkan karena adanya
gangguan pada telinga dalam (perifer) (Alviandi W, 2010).

7
Gangguan keseimbangan sentral dapat diakibatkan karena TIA/stroke
vertebrobasilaris, tumor, trauma, migren basilaris, multipel sklerosis, maupun
kelainan degenerative. Sedangkan gangguan keseimbangan perifer dapat
disebabkan karena BPPV (Benigne Paroxysmal Positional Vertigo), Meniers
disease, infeksi, ototoksik (obat yang menyebabkan toksik/racun pada telinga
dalam), penyumbatan pembuluh darah (oklusi a. labirin), trauma, maupun
tumor (neuroma akustik) (Alviandi W, 2010).

Keluhan dan gejala yang umum ditemukan pada pasien dengan


gangguan keseimbangan yaitu :

1. Adanya rasa goyang (unstediness)


2. Rasa goyang setelah gerakan (after motion)
3. Pening (dizziness)
4. Pusing berputar (vertigo)
5. Rasa tidak napak (unfoodtedness)
6. Instabilitas postural
7. Gejala otonom : berdebar-debar, berkeringat dingin, mual muntah,
cemas dan takut. (Alviandi W, 2010)
C. Vertigo
1. Definisi
Vertigo berasal dari bahasa latin vertere yaitu memutar (Bittar,
2011). Vertigo merupakan sensasi ilusi atau halusinasi tubuh atau
lingkungan, seringnya berupa perasaan berputar. Benigna paroxysmal
positional vertigo merupakan salah satu jenis penyebab vertigo. BPPV
didefinisikan sebagai sensasi berputar akibat perubahan relatif posisi
kepala terhadap gravitasi (Bailey, 2014). Selain itu BPPV juga
didefinisikan sebagai gangguan pada telinga dalam yang ditandai dengan
episode berulang vertigo posisional. Vertigo memiliki komponen
rotasional yang dapat berupa objek berputar atau diri yang berputar. Hal
ini lah yang membedakannya dengan perasaan pusing atau sensasi mabuk
di kepala (Balatsouras et al, 2012).
8
2. Epidemiologi
Dalam 5 penelitian komunitas diketahui bahwa sekitar 30% pasien
menderita vertigo, dan insidensinya meningkat hingga 56.4% pada pasien
usia tua. Sebanyak 93% pasien yang datang dengan keluhan vertigo
merupakan BPPV. Pada populasi umum prevalensi BPPV yaitu antara 11
sampai 64 per 100.000 (prevalensi 2,4%). Dari kunjungan 5,6 miliar orang
ke rumah sakit dan klinik di United State dengan keluhan pusing
didapatkan prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis BPPV (Balatsouras
et al, 2012). Di indonesia, kasus vertigo menempati urutan ke lima dalam
daftar kasus terbanyak yang ditemui di bangsal rumah sakit dan sebanyak
4,9% dari 13.355 kasus rawat jalan (Mansjoer dkk, 2014).

Usia onset BPPV antara 50 hingga 70 tahun. Seiring peningkatan


usia harapan hidup diperkirakan insidensi BPPV juga meningkat. Rasio
angka kejadian antara perempuan dan laki-laki yaitu 2:1 (Balatsouras et al,
2012).

3. Patofisiologi
Indra orientasi dan keseimbangan bergantung pada input visual dan
proprioseptif serta sistem telinga dalam, yang terintegrasi di nukleus
vestibuler batang otak dan cerebellum. Pada telinga dalam, organ otolit di
vestibular mendeteksi perubahan vertikal dan non rotasional (orientasi
terkait gravitasi), sedangkan reseptor ampular di kanalis semisirkularis
mendeteksi rotasi kepala. Ketika kepala berotasi, reseptor pada salah satu
sisi terstimulasi sedangkan reseptor pada sisi lain terhambat. Mata
mencoba untuk menjaga fiksasi visual terhadap lingkungan dengan
perubahan cepat pada tujuan berlawanan, disebut vestibuloocular reflex
(VOR). Pada saat yang sama, nukleus vestibular mengirim impuls ke
anggota gerak dan sumbu tubuh untuk menjaga keseimbangan. Disfungsi

9
dari salah satu struktur ini dapat mneyebabkan gangguan keseimbangan
dan orientasi, biasanya timbul sebagai vertigo (Balatsouras et al, 2012) .

Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis


tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain. Pada
pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar disebut
sebagai ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yaitu organ yang
mendeteksi gerakan cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan
kepala. Apabila seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka
cairan dalam kanalis semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula
akan mengalami defleksi ke arah ampula. Defleksi ini diterjemahkan
sebagai sinyal yang akan diteruskan ke otak sehingga timbul sensasi
kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis
semisirkularis akan mengurangi bahkan menimbulkan defleksi kupula ke
arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini
menimbulkan sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala,
sehingga timbul sensasi berputar yang disebut sebagai vertigo
(Hornibrook, 2011).

Vertigo merupakan gejala, bukan diagnosis. Vertigo perifer timbul


akibat disfungsi labirin vestibular (canalis semisirkularis) atau nervus
vestibularis. Sebagian besar pasien yang datang dengan gejala vertigo
disebabkan karena penyebab perifer, seperti BPPV, neuritis vestibular,
menieres disease atau migrain vestibular. Hanya sedikit pasien dengan
vertigo yang disebabkan oleh tumor atau stroke (Hornibrook, 2011).

Terdapat dua teori mengenai mekanisme terjadinya BPPV, yaitu :

a. Teori kupulolitiasis
Kupulolitiasis adalah adanya partikel yang melekat pada kupula
krista ampularis. Pada tahun 1962, melalui penelitian yang dilakukan oleh
Schuknecht, ditemukan adanya partikel basofilik yang melekat pada
kupula. Dengan adanya partikel ini menyebabkan kanalis semisirkularis
10
menjadi lebih sensitif terhadap gravitasi. Teori ini menganalogikan sebuah
kondisi ketika terdapat benda berat yang melekat pada sebuah tiang,
sehingga menyebabkan posisi tiang tidak dapat dipertahankan pada posisi
netral tetapi akan lebih mengarah ke sisi yang dilekati benda berat. Oleh
karena itu, kupula sulit untuk kembali ke posisi netral, sehingga timbul
nistagmus dan perasaan pening (Balatsouras et al, 2014; Hornibrook,
2011).

b. Teori kanalitiasis
Teori ini menyatakan bahwa BPPV timbul akibat adanya partikel
yang bebas bergerak (canalith) dalam kanalis semisirkularis, dapat terjadi
di ketiga kanalis semisirkularis namun paling sering mengenai kanalis
semisirkularis posterior. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang
terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior disebabkan karena
kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling
bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Balatsouras et al,
2014; Hornibrook, 2011).
Apabila kepala dalam posisi duduk tegak maka kanalit terletak
dalam posisi terendah dalam kanalis semisrikularis posterior. Ketika posisi
kepala supinasi, terjadi perubahan posisi sejauh 90o. Setelah beberapa saat,
gravitasi akan menarik kanalith hingga posisi terendah. Hal ini
menyebabkan endolimfe dalam kanalis semisirkularis menjauhi ampula
sehingga terjadi defleksi kupula. Defleksi kupula menyebabkan timbulnya
nistagmus, arah dari nistagmus ditentukan oleh eksitasi saraf ampula pada
kanal yang terkena oleh sambungan langsung dengan otot ekstraokular.
Apabila kepala dikembalikan ke posisi awal, maka terjadi gerakan
sebaliknya dan timbul nistagmus ke arah yang berlawanan. Setiap kanal
yang terkena kanalitiasis memiliki karakteristik nistagmus tersendiri
(Balatsouras et al, 2014).
BPPV tipe kanal lateral adalah tipe BPPV yang paling banyak
kedua. BPPV tipe kanal lateral sembuh jauh lebih cepat dibandingkan
11
dengan BPPV tipe kanal posterior. Hal ini dikarenakan kanal posterior
tergantung di bagian inferior dan barier kupulanya terdapat pada ujung
yang lebih pendek dan lebih rendah. Debris yang masuk dalam kanal
posterior akan terperangkap di dalamnya. Sedangkan kanal lateral
memiliki barier kupula yang terletak di ujung atas. Karena itu, debris
bebas yang terapung di kanal lateral akan cenderung untuk mengapung
kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala (Hornibrook,
2011).
Konsep calcium jam pernah diusulkan untuk menunjukkan
partikel kalsium yang kadang dapat bergerak, tetapi kadang terjebak dalam
kanal. Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum dipahami
dengan pasti. Debris kalsium dapat pecah karena trauma atau infeksi virus,
tapi pada banyak keadaan dapat terjadi tanpa trauma atau penyakit yang
diketahui. Mungkin ada kaitannya dengan perubahan protein dan matriks
gelatin dari membran otolith yang berkaitan dengan usia. Pasien dengan
BPPV diketahui lebih banyak terkena osteopenia dan osteoporosis
daripada kelompok kontrol, dan mereka dengan BPPV berulang cenderung
memiliki skor densitas tulang yang terendah. Pengamatan ini
menunjukkan bahwa lepasnya otokonia dapat sejalan dengan
demineralisasi tulang pada umumnya. (Hornibrook, 2011).
Trauma pada kepala juga dapat menjadi dasar penyebab timbulnya
vertigo. Apabila kepala terbentur, otokonia yang terdapat pada utrikulus
dan sukulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini kemudia memasuki
kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Kanalit ini lah yang menyebabkan
timbulnya vertigo (Hornibrook, 2011).

4. Diagnosis
Penegakkan diagnosis BPPV berdasarkan pada :
a. Anamnesis
Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik pertama kali penting
untuk menentukan apakah vertigo berasal dari organ vestibuler atau
12
non vestibuler. Jika kemudian diketahui vertigo berasal dari gangguan
organ vestibular maka perlu membedakan apakah penyebab vertigo
berasal dari sentral atau perifer, karena hal ini akan mempengaruhi
pengelolaan lanjutan (Mansjoer dkk, 2014).

Tabel 2.1 perbedaan vertigo vestibular dan non vestibular (Mansjoer dkk, 2014)

Gejala Vertigo vestibular Vertigo nonvestibular


Sifat vertigo Rasa berputar Melayang, hilang
keseimbangan
Serangan Episodik Kontinyu
Mual/muntah + -
Gangguan pendengaran +/- -
Gerakan pencetus Gerakan kepala Gerakan objek visual
Situasi pencetus - Orang ramai/lalu lintas
macet

Tabel 2.2 Perbedaan vertigo sentral dan perifer (Mansjoer dkk, 2014)

Gejala Sentral Perifer


Nausea berat + +++
Gerakan kepala Tidak Berpengaruh
Paroxysmal upbeating dan torsional - +++
nystagmus dengan Dix-hallpike
manuver
Derajat vertigo Lebih ringan Berat
Gangguan pendengaran (tinnitus) - +
Nistagmus horizontal (geotrofik + ++
atau apogeotrofik) dipicu oleh
supine head turning/supine roll test
Nystagmus downbeating persisten +++ -
13
pada posisi apapun
Nystagmus berkurang (fatigue) - +++
dengan pengulangan posisi
Nystagmus dan vertigo sembuh - +++
mengikuti manuver terapi posisi
Gejala Sentral Perifer
Nausea berat + +++
Memburuk dengan pergerakan ++ -
kepala non spesifik
Gerakan kepala Tidak Berpengaruh
Paroxysmal upbeating dan torsional - +++
nystagmus dengan Dix-hallpike
manuver
Derajat vertigo Lebih ringan Berat
Gangguan pendengaran (tinnitus) - +
Nistagmus horizontal (geotrofik + ++
atau apogeotrofik) dipicu oleh
supine head turning/supine roll test
Nystagmus downbeating persisten +++ -
pada posisi apapun
Nystagmus berkurang (fatigue) - +++
dengan pengulangan posisi
Nystagmus dan vertigo sembuh - +++
mengikuti manuver terapi posisi

Pasien biasanya datang dengan keluhan sensasi berputar atau


pusing berputar dengan onset akut sekitar 10-20 detik biasanya dipicu
perubahan posisi kepala. Sebagian besar gejala pusing berputar
dirasakan saat bangun tidur, ketika berubah posisi dari berbaring ke
duduk. Pasien merasakan pusing berputar yang lama kelamaan
14
berkurang dan dapat hilang sendiri. Pada awalnya perasaan pusing
berputar timbul sangat berat dan dapat menghilang setelah 20-30
detik, serangan berikutnya biasanya lebih ringan (Mehndiratta &
Rohit, 2010). Gejala ini dapat dirasakan berhari-hari hingga berbulan-
bulan. Pada sebagian besar kasus BPPV dapat mereda dengan
sendirinya namun dapat berulang. Selain sensasi berputar pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah (Musat, 2010).

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab, apakah berupa kelainan sistemik, kelainan di vestibular atau
kelainan sentral serebelar. Faktor sistemik yang perlu dicari tanda-
tandanya yaitu aritmia, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif,
anemia, dan hipoglikemi. Tanda-tanda tersebut dicari dengan
melakukan pemeriksaan tekanan darah baik dalam posisi berbaring,
duduk maupun berdiri. Selain itu juga dinilai irama denyut jantung
serta pulsasi nadi perifer (Mansjoer dkk, 2014).

Pemeriksaan lain untuk membedakan penyebab vertigo antara


lain :

1. Fungsi vestibular/serebelar
- Uji romberg : penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan,
mula-mula dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup.
Posisi dipertahankan selama 20-30 detik. Pada kelainan vestibular
hanya saat mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi
garis tengah kemudian kembali lagi, saat mata terbuka badan
penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebelar penderita
akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup
(Mansjoer dkk, 2014).
- Uji romberg dipertajam : pasien diminta berdiri dengan kaki yang
satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu berada di depan jari

15
kaki lain. Lengan dilipat ke dada dan mata ditutup. Orang normal
mampu berdiri dalam sikap ini minimal selama 30 detik.
- Uji stepping : pasien diminta berjalan di tempat dengan mata
tertutup sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan
biasa dengan instruksi pasien harus berusaha agar tetap di tempat
dan tidak beranjak selama tes. Kedudukan akhir dianggap abnormal
apabila pasien beranjak > 1 m atau badan berputar > 30 o (Zhang &
Wang, 2011).
- Tendem gait : penderita berjalan dengan tumit kiri/kanan diletakan
pada ujung jari kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibular,
perjalanannya akan menyamping dan pada kelainan serebelar
penderita akan cenderung jatuh (Mansjoer dkk, 2014).
- Uji unterberger : berdiri dengan kedua lengan lurus horizantal ke
depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi
mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibular posisi
penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan
seperti orang melempar cakram: kepala dan badan berputar ke arah
lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi
turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan
fase lambat ke arah lesi (Zhang & Wang, 2011).
- Past-pointing test : dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus
ke depan penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas,
kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa.
Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup
pada kelainan vestibular akan terlihat penyimpangan lengan
penderita ke arah lesi (Ballenger, 2009).
- Finger to nose test : pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan pasien
dalam kondisi berbaring , duduk atau berdiri. Dilakukan dengan
pasien mengabdusikan lengan serta posisi ekstensi total, lalu pasien
diminta untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung
jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan kemudian
16
dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup
(Ballenger, 2009).
- Disdiadokokinesis test : pasien diminta untuk menggerakan kedua
tangannya bergantian pronasi dan supinasi dalam posisi siku diam
dengan cepat. Pemeriksaan ini dilakukan baik dengan mata terbuka
ataupun tertutup. Pada pasien dengan gangguan serebelum atau
lobus frontalis, gerakkan pasien akan melambat atau menjadi kikuk
(Ballenger, 2009).
- Dix hallpike manuver : merupakan pemeriksaan standar untuk
pasien BPPV. Dix hallpike manuver secara garis besar terdiri dari
dua gerakkan yaitu Dix hallpike manuver kanan pada bidang kanal
anterior kiri dan kanal posterior kanan dan Dix hallike manuver
kiri pada bidang posterior kiri. Untuk melakukan Dix hallpike
manuver kanan, pasien duduk tegak pada meja pemeriksaan dengan
kepala menoleh 45o ke kanan. Kemudian dengan cepat pasien
dibaringkan dengan kepala tetap miring 45o ke kanan sampai
kepala pasien menggantung 20-30o pada ujung meja pemeriksaan,
tunggu 40 detik hingga respon abnormal timbul. Penilaian respon
pada monitor dilakukan selama 1 menit atau sampai respon
menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat dilanjutkan
dengan canalith repositioning treatment (CRT) (Bashir et al, 2014).
Bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila manuver tidak
diikuti dengan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukan
kembali. Kemudian lanjutkan dengan pemeriksaan Dix-hallpike
manuver kiri dengan cara yang sama. Pada orang normal nistagmus
dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke belakang, namun saat
gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien
BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya
lambat, 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu
menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus
dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat
17
dan timbul bersamaan dengan nistagmus (Bashir et al, 2014;
Mehndiratta, 2014).
Pada BPPV melalui pemeriksaan ini akan ditemukan posisi
kepala yang mencetuskan serangan, nistagmus yang khas, adanya
masa laten, lamanya serangan terbatas, arah nistagmus berubah bila
posisi kepala dikembalikan ke awal, serta adanya fenomena
kelelahan nistagmus bila rangsangan diulang. Sedangkan pada
kelainan sentral tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo
berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap
seperti semula (Sura & Stephen, 2010).
- Tes supine roll : jika pasien memiliki riwayat mengarah BPPV dan
hasil dix-hallpike negatif, sebaiknya dilakukan tes supine roll untuk
memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral. Pasien yang
mengalami gejala sesuai dengan BPPV tetapi tidak memenuhi
kriteria diagnosis BPPV kanal posterior maka dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya BPPV kanal lateral
dengan tes ini. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara pasien
dalam posisi supinasi dengan kepala pada posisi netral diikuti
dengan rotasi kepala 90o ke satu sisi dengan cepat dan dokter
mengamati mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.
Setelah nistagmus mereda, atau jika tidak timbul nistagus, kepala
kembali menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Pemeriksaan
kemudian diulang ke sisi yang berlawanan (Mansjoer dkk, 2014).
2. Uji fungsi pendengaran
- Tes garpu tala : pemeriksaan ini berupa tes rinne, weber dan
schwabach, dilakukan untuk menilai adakah tuli konduksi atau
tuli perseptif. (Mansjoer dkk, 2014).
- Audiometri : untuk mengetahui jenis dan derajat ketulian
(Mansjoer dkk, 2014).
BPPV dapat terjadi pada ketiga kanal. Penegakkan diagnosis berdasarkan
kanal yang terkena yaitu sebagai berikut
18
a. Diagnosis BPPV tipe kanal posterior
Kita dapat mendiagnosis BPPV tipe kanal posterior ketika
nistagmus posisional paroksismal dapat diprovokasi dengan manuver Dix-
Hallpike. Manuver Dix-Hallpike menghasilkan torsional upbeating
nystagmus yang terkait dalam durasi dengan vertigo subjektif yang dialami
pasien, dan hanya terjadi setelah memposisikan Dix-Hallpike pada sisi
yang terkena. Diagnosis presumtif dapat dibuat dengan riwayat saja, tapi
nistagmus posisional paroksismal menegaskan diagnosisnya (Sura &
stephen, 2010).

b. Diagnosis BPPV tipe kanal lateral


Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe kanal lateral (horisontal)
terkadang dapat ditimbulkan oleh Dix-Hallpike manuver. Namun cara
yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis BPPV horisontal adalah
dengan supine roll test atau supine head turn maneuver (Pagnini-McClure
maneuver). Dua temuan nistagmus yang potensial dapat terjadi pada
manuver ini, menunjukkan dua tipe dari BPPV kanal lateral (Musat, 2010).
- Tipe Geotrofik. Pada tipe ini, rotasi ke sisi patologis menyebabkan
nistagmus horisontal yang bergerak (beating) ke arah telinga paling bawah.
Ketika pasien dimiringkan ke sisi lain, sisi yang sehat, timbul nistagmus
horisontal yang tidak begitu kuat, tetapi kembali bergerak ke arah telinga
paling bawah (Musat, 2010).
- Tipe Apogeotrofik. Pada kasus yang lebih jarang, supine roll test
menghasilkan nistagmus yang bergerak ke arah telinga yang paling atas.
Ketika kepala dimiringkan ke sisi yang berlawanan, nistagmus akan
kembali bergerak ke sisi telinga paling atas (Musat, 2010).
c. Diagnosis BPPV tipe kanal anterior dan polikanalikular
Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe kanal anterior berkaitan
dengan paroxysmal downbeating nystagmus, kadang-kadang dengan
komponen torsi minor mengikuti posisi Dix-Hallpike (Sura & Stephen,
2010).

19
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanal anterior kronis atau
persisten jarang. Dari semua tipe BPPV, BPPV kanal anterior tampaknya
tipe yang paling sering sembuh secara spontan. Diagnosisnya harus
dipertimbangkan dengan hati-hati karena downbeating positional
nystagmus yang berhubungan dengan lesi batang otak atau cerebellar
dapat menghasilkan pola yang sama (Musat, 2010).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe polikanalikular jarang,
tetapi menunjukkan bahwa dua atau lebih kanal secara bersamaan terkena
pada waktu yang sama. Keadaan yang paling umum adalah BPPV kanal
posterior dikombinasikan dengan BPPV kanal horisontal. Nistagmus ini
bagaimanapun juga tetap akan terus mengikuti pola BPPV kanal tunggal,
meskipun pengobatan mungkin harus dilakukan secara bertahap dalam
beberapa kasus (Musat, 2010).

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan pemeriksaan
lain sesuai indikasi.
Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma
akustik).
Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi
(EMG), Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP).
Pencitraan CT-scan, arteriografi, magnetic resonance imaging
(MRI). (Musat, 2010)

5. Diagnosis Banding
Tabel 2.3 Diagnosis banding vertigo (Mansjoer dkk, 2014)
Penyebab vertigo
Vertigo dengan Vertigo tanpa penurunan Vertigo dengan gejala

20
penurunan pendengaran pendengaran intrakranial
Menieres disease Vestibular neuronitis Tumor cerebellopontine
Labyrinthitis Benign positional vertigo Penyakit cerebrovaskular
: TIA/CVA
Labyrinthine trauma Acute vestibular Vertebro-basilar
dysfunction insufficiency dan
tromboemboli :
- Sindrom lateral
medula
- Sindrom
subclavian steal
- Basilar migrain
Acoustic neuroma Medication induced Tumor otak
vertigo e.g
aminoglycosides
Acute cochleovestibular Cervical spondylosis Migrain
dysfunction
Syphilis Akibat cedera ekstensi- Multiple sclerosis
fleksi
Aura serangan epilepsi,
khususnya epilepsi lobus
temporal
Obat-obatan : fenitoin,
barbiturat
Syringobulbia

6. Penatalaksanaan
a. Farmakologis
Penatalaksanaan vertigo pada dasarnya adalah mengobati
penyebabnya. Namun, jika etiologinya belum diketahui maka terapi
21
simptomatik perlu diberikan terlebh dahulu untuk mengurangi gejala.
Tujuan dari pemberian farmakoterapi pada pasien dengan vertigo yaitu
untuk meringankan gejala, mengurangi morbiditas, dan mencegah
komplikasi (Tamber et al, 2009; Treleaven, 2006).
Terdapat dua golongan obat yang digunakkan dalam terapi vertigo,
yaitu obat-obatan sipresan vestibular dan antiemesis. Supresan
vestibular bekerja pada tingkat neurotransmiter yang terlibat dalam
perambatan impuls antar neuron vestibular (Balatsouras et al, 2012).
Pembagian obat supresan vestibular yaitu :
A. Antihistamin : histamin ditemukan berdifusi pada struktur
vestibular sentral. Histamin tidak ditemukan sebagai
neurotransmiter pada sistem vestibular perifer. Cara kerja histamin
pada bagian sentral memodulasi gejala motion sickness. Stimulasi
dari reseptor H1 dan H2 merangsang nukleus vestibular medial
sentral neuron. H3 adalah autoreseptor yang berfungsi
menghambat pelepasan histamin. Pemberian antihistamin dapat
mencegah respon histamin pada nervus sensorik dan pembuluh
darah serta efektif pada pasien dengan vertigo (Nafrialdi &
Setyawati, 2007)
Meclizine : meclizine menurunkan eksitabilitas labirin telinga
dalam dan menghambat konduksi jalur vestibular-cerebellar di
telinga dalam. Efeknya dapat mengurangi rasa mual dan
muntah.
Dimenhydrinate : dimenhydrinate dapat mengurangi stimulasi
vestibular dan menekan fungsi labirin melalui aktivitas
antikolinergik sentral

B. Benzodiazepine : obat-obatan golongan benzodiazepin dapat


mencegah vertigo dan emesis (Nafrialdi & Setyawati, 2007).
Diazepam : diazepam terbukti efektif dalam mengobati vertigo
episode akut. Diazepam menekan sistem saraf pusat, termasuk
22
sistem limbic dan formasi retikular, dengan meningkatkan
aktivitas GABA.
C. Derivat fenitoin : fenitoin efektif dalam mengobati emesis,
mungkin karena efeknya pada sistem mesolimbik dopaminergik
(Nafrialdi & Setyawati, 2007).
Promethazine : merupakan obat antidopaminergic yang efektif
dalam mengobati emesis dengan menghambat reseptor
mesolimbik dopaminergik postsinap di otak dan mengurangi
rangsangan di sistem reticular batang otak. Promethazine
ditoleransi baik dan tidak memberikan efek ekstrapiramidal.
Prochloperazine : memiliki cara kerja yang sama dengan
promethazine. Prochloperazine memiliki aktivitas
antikolinergik dan dapat menekan sistem aktivasi retikular
sehingga dapat mengurangi sensasi vertigo dan perasaan mual.
D. Sedangkan obat-obatan antiemesis yang biasa digunakan berupa
antikolinergik yang dapat menghambat pusat muntah, seperti
metoklopramid. Namun obat-obatan ini dapat memberikan efek
samping berupan parkinsonisme, ataksia, distonia, dan diskinesia
(Balatsouras et al, 2012).
E. Antikolinergik
Bekerja dengan cara mempengaruhi reseptor muskarinik , obat
yang dipilih harus mampu menembus sawar darah otak
b. Non farmakologis
1. Canalith Repositional Procedure (CRP) atau Canalith Repositional
Treatment (CRT)/ Epley Manuver
Canalit repositioning prosedure merupakan terapi invasif untuk
menangani penyebab paling umum dari vertigo. Ketika sudah
teridentifikasi, BPPV kanal posterior akan efektif jika diobati
dengan manuver reposisi partikel seperti CRT. Pada sebagian
besar kasus BPPV canalit bergerak di kanal ketika posisi kepala
berubah terkait gravitasi, dan gerakkan dalam kanal menyebabkan
23
defleksi dari saraf dalam kanal. Ketika saraf berhenti dirangsang,
pasien mengalami serangan vertigo tiba-tiba (Helminski, 2014).

Indikasi CRT yaitu :

- Episode berulang pusing dipicu BPPV


- Didapatkan hasil yang positif dan ditemukan nistagmus pada uji
posisi, misal dix-hallpike (Helminski, 2014)
2. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis
kanal posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk
tegak, lalu kepala dimiringkan 45 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat
bergerak ke posisi berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada
nistagmus dan vertigo dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke
posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk
lagi (Balatsouras et al, 2012).

24
Gambar 2.2 (A)CRP. Ilustrasi terapi pada kanalis semisirkularis posterior kanan. Dokter
menggerakan pasien melalui serangkaian 4 posisi, dimulai dengan menempatkan kanal
yang terlibat pada posisi menggantung pada Dix Hallpike test. Untuk memulai, pasien
diposisikan pada meja terapi dalam posisi duduk dengan kedua kaki ekstensi. Posisi
kepala pasien yaitu miring 45o ke kanan. Pasien kemudian diturunkan ke posisi supinasi
dengan ekstensi leher 30o terhadap pinggir meja terapi. Ini merupakan posisi kepala
menggantung. Kepala dirotasikan 90o berakhir pada posisi 45o ke arah sisi yang tidak
terlibat. Tahap ini kemudian diikuti dengan berguling ke sisi yang tidak terlibat dengan
mempertahankan posisi kepala terkait terhadap tulang belakang , dan kemudian terduduk.
Setiap posisi dipertahankan selama minimal 45 detik atau selama nistagmus ada dengan
tambahan 20 detik. Prosedur ini diulang sebanyak 3 kali. (B) Semont manuver. Pasien
duduk di tepi meja terapi. Dokter menggerakan pasien dengan cepat sehingga pasien
berbaring pada sisi yang tidak terlibat dengan kepala miring 45o ke arah sisi yang tidak
terlibat. Selama mempertahankan posisi kepala terhadap tulang belakang, dokter
mengatunkan pasien dari berbaring pada sisi yang terlibat ke sisi yang tidak terlibat.
Kemudian kepala direbahkan secara perlahan pada meja terapi. Setiap posisi
dipertahankan selama 1.5 menit. Prosedur ini diulang sebanyak 3 kali (Richard et al,
2015).
3. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe
kanal lateral. Pasien berguling 3600, yang dimulai dari posisi supinasi
lalu pasien menolehkan kepala 900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan
membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh
ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien
kemudian menoleh lagi 900 dan tubuh kembali ke posisi lateral
dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan
dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-
partikel sebagai respon terhadap gravitasi (Balatsouras et al, 2012)

25
Gambar 2.3 Manuver lempert (Balatsouras et al, 2012)

4. Latihan Brandt Daroff


Latihan brandt daroff merupakan latihan fisik yang
bertujuan untuk melakukan habituasi terhadap sistem vestibular
dan sebagian ahli berpendapat bahwa gerakan pada latihan brand
daroff ini dapat melepaskan otokonia dari kupula berdasarkan teori
cupulolithiasis. Latihan ini mudah diajarkan pada pasien dengan
BPPV (Ferdiansyah et al, 2013).

26
Vertigo

Vestibular Non vestibular


Rasa berputar yang episodik, dapat Rasa melayang yang kontinyu, tanpa
disertai gangguan pendengaran, gerakan mual/muntah dan gangguan
kepala dapat mencetuskan serangan pendengaran, dicetuskan oleh gerakan
objek visual

Organ propioseptif
Sentral Perifer

Nausea ringan, tidak Nause berat, onset


dipengaruhi gerakan dan durasi akut,
kepala, derajat vertigo dipengaruhi gerakan
lebih ringan, tidak ada kepala, derajat
gangguan pendengaran, vertigo berat,
nistagmus persisten, gangguan
fatigue (-) pendengaran (+),
fatigue (+)

Penurunan pendengaran

Ya Tidak

Menieres Labyrinthitis Vestibular Benign paroxysmal


disease neuronitis positional vetigo

Farmakologis : antihistamin, Nonfarmakologis :


benzodiazepin, derivat fenitoin, CRP, Manuver
antiemetik semonth, manuver
lempert, latihan
brandt darof

Skema 2.1 Diagnosis dan tatalaksana BPPV (Bashir et al, 2014; Bittar, 2011)

27
26

BAB III
LAPORAN KASUS

Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia 67 tahun, dengan


nomor rekam medis 001164xx, alamat Mojosongo, Surakarta yang datang ke Poli
THT-KL Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 11 Februari 2016. Pasien datang
dengan keluhan pusing berputar dan pasien merupakan konsulan dari bagian
geriatri.
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluhkan pusing berputar yang
hilang timbul sejak 1 bulan SMRS. Pasien merasakan sensasi lingkungan di
sekitarnya berputar. Keluhan dirasakan hilang timbul, biasanya timbul mendadak,
diperberat terutama saat menggerakan kepala, pusing dirasakan 1-2 menit.
Pasien merasa lebih nyaman dalam posisi tidur telentang dan dengan mata
tertutup. Pusing berputar bertambah saat mata terbuka dan jika menggerakan
kepala ke kanan atau ke kiri. Keluhan juga disertai dengan rasa mual hingga
muntah. Telinga berdenging (+) penurunan pendengaran (-) kelemahan anggota
gerak (-)
Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat hipertensi (+) sejak 1 tahun yang lalu
tetapi terkontrol minum obat, riwayat sakit gula disangkal, riwayat alergi
disangkal, riwayat kebiasaan merokok (+) tetapi sudah berhenti merokok sejak 3
tahun yang lalu, riwayat trauma kepala (-).
Pada pemeriksaan fisik: Keadaan umum pasien compos mentis, tampak
baik, status gizi kesan cukup. Tanda vital: tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 98
kali per menit, respirasi rate 18 kali per menit, suhu 36,60C.
Pemeriksaan THT: Pemeriksaan auris dekstrasinistra: liang telinga
lapang, serumen (-), discharge (-), membran timpani sikatrik. Hidung dekstra:
cavum nasi dekstra lapang, sekret (-), konka inferior eutrofi; Hidung sinistra:
cavum nasi sinistra lapang, sekret (-) konka inferior eutrofi. Pemeriksaan
tenggorokan: uvula di tengah, tonsil T1-T1, dinding faring posterior tenang.

28
Gambar 3.1 gambaran membran timpani

Pemeriksaan penunjang, tes garpu tala : Rhinne +/+, weber tak ada
lateralisasi, pemeriksaan audiometri : AD: normal hearing (21,25 dB); AS :
normal hearing (11,25 dB)
Pemeriksaan keseimbangan : Romberg test: mata tertutup : dapat
melakukan dengan baik; mata terbuka : dapat melakukan dengan baik; sharping
romberg: pasien jatuh ke kanan. Stepping tes: pasien miring > 30o ke kanan. Post
pointing tes: dapat melakukan dengan baik. Finger to nose tes: dapat melakukan
dengan baik. Disdiadokokinesis tes: dapat melakukan dengan baik. Head-shaking
tes: nistagmus (-). Dix-hallpike tes: kanan nistagmus (+), kiri nistagmus (+).
Schellong test (hipotensi ortostatik): TD duduk : 116/65; TD berbaring : 115/70;
TD berdiri : 114/70.Kesimpulan : gangguan vestibular dextra
Pemeriksaan Laboratorium: Hemoglobin: 14.2 mg/dl,
hematokrit:42%,Leukosit:10.3 ribu/ul, trombosit:280 ribu/ul, eritrosit: 4.37
juta/ul, GDS : 120 mg/dl, kolesterol total : 202 mg/dl, trigliserid 191mg/dl, LDL :
147mg/dl, HDL : 39mg/dl, natrium darah : 139 mmol/L, K : 3,1 mmol/dl, Cl
darah : 108mmol/dl.
Pemeriksaan MRI, didapatkan hasil Kesimpulan :
1. MRA : circulus wilisi tampak paten, tak tampak malformasi vaskular,
aneurysma maupun fistula
2. MRV : tak tampak malformasi vascular, aneurysma maupun fistula

29
Gambar 3.2 Pemeriksaan MRI

30
Diagnosis sementara : Vertigo perifer ec susp BPPV, dengan diagnosis
banding vestibular neuritis
Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan farmakologis dan non
farmakologis, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam. Kemudian pasien
diberikan terapi : Gingko biloba 2x1, dan betahistine mesilat 3x 6 mg, Amlodipin
1 x 5 mg. Non farmakologis dilakukan latihan Canalith Repositioning Procedure
(CRP).
Pada tanggal 25 Februari 2016, pasien datang kembali untuk kontrol.
Keluhan: pusing berputar, mual (+), muntah (-), telinga berdenging (+) kadang
kadang, TD : 110/70, terapi : betahistin mesilate 3x6mg, amlodipin 1x5mg
gingko biloba 2x1, dan simvastatin 1x20mg, aspar K 1x1 (sesuai bagian penyakit
dalam) dilakukan latihan CRP dan anjuran diet rendah garam .
Pada tanggal 3 Maret 2016, pasien datang kembali untuk kontrol. Keluhan:
pusing berputar, mual (+), muntah (-), telinga berdenging (+) kadang kadang, TD
: 110/70, terapi : betahistin mesilate 3x6mg, amlodipin 1x5mg, gingko biloba
2x1, simvastatin 1x20mg, aspar K 1x1 dilakukan latihan CRP dan anjuran diet
rendah garam.
Pada tanggal 10 maret pasien kembali datang untuk kontrol. Keluhan yang
dirasakan sudah berkurang, pusing berputar hanya kadang kadang dan ringan,
TD : 110/70, terapi : betahistin mesilate 3x6mg, gingko biloba 2x1,diet rendah
garam, dilakukan latihan brandt daroff dan dianjurkan dilakukan sendiri di rumah.
Pemeriksaan laboratorium post koreksi, kolesterol total : 198 mg/dl,
trigliserid 153 mg/dl, LDL : 147mg/dl, HDL : 39mg/dl, natrium darah : 139
mmol/L, K : 3,5 mmol/dl, Cl darah : 108mmol/dl.

31
Gambar 3.3 Latihan brandt daroff yang dijalani pasien

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia 67 tahun yang datang


ke Poli THT RSUD Dr.Moewardi dengan keluhan pusing berputar yang hilang
timbul sejak 1 bulan SMRS. Keluhan pusing berputar berlangsung sekitar 1-2
menit. Pasien merasakan sensasi lingkungannya yang berputar, keluhan dirasakan
terutama saat menggerakan kepala, pasien merasakan pusing berkurang dengan
mata tertutup, keluhan juga disertai dengan mual hingga muntah dan telinga
berdenging. Riwayat keluar cairan dari telinga disangkal, riwayat trauma (-).
Tidak ada penurunan pendengaran. Hal ini sesuai teori di mana vertigo
didefinisikan sebagai sensasi ilusi atau halusinasi terhadap tubuh atau lingkungan
berupa perasaan . Vertigo disebabkan karena gangguan pada indra orientasi dan
keseimbangan, dapat berupa gangguan pada input visual dan propioseptif, vertigo
ini disebut sebagai vertigo non vestibular. Selain itu juga dapat disebabkan karena
gangguan pada telinga dalam (vertigo vestibular perifer) atau pusat keseimbangan
di cerebelum (vertigo vestibular sentral) (Mansjoer dkk, 2014).
Pada telinga dalam, organ otolit di vestibula mendeteksi perubahan
vertikal dan non rotasional (orientasi terkait gravitasi), sedangkan reseptor
ampular di kanalis semisirkularis mendeteksi rotasi kepala. Ketika kepala
berotasi, reseptor pada salah satu sisi terstimulasi sedangkan reseptor pada sisi
lain terhambat. Mata mencoba untuk menjaga fiksasi visual terhadap lingkungan
dengan perubahan cepat pada tujuan berlawanan, disebut vestibuloocular reflex
(VOR). Pada saat yang sama, nukleus vestibular mengirim impuls ke anggota
gerak dan sumbu tubuh untuk menjaga keseimbangan. Disfungsi dari salah satu
struktur ini dapat mneyebabkan gangguan keseimbangan dan orientasi, biasanya
timbul sebagai vertigo (Balatsouras et al, 2012).
Pada pasien ini, terdapat keluhan pusing yang sifatnya berputar hilang
timbul/episodik, dipengaruhi oleh gerakan kepala dan terdapat gangguan
pendengaran berupa telinga berdenging atau tinitus. Keluhan-keluhan tersebut
mengarahkan pada vertigo vestibular. Mual muntah yang dominan pada pasien ini
33
disertai dengan derajat vertigo yang berat saat timbul lebih mengarahkan pada
vertigo vestibular perifer. Dan durasi pusing yang dirasakan pasien berkisar
selama 1- 2 menit, menunjukan masih adanya vertigo perifer (Mehndiratta &
Rohit, 2010; Musat, 2010).
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dan pemeriksaan THT masih dalam
batas normal. Adanya hipertensi, menunjukkan kemungkinan penyebab
sistemik.Pada pemeriksaan keseimbangan didapatkan dengan uji romberg pasien
dapat melakukan dengan baik saat mata terbuka maupun tertutup, uji sharping
romberg pasien jatuh ke sisi kanan dan uji stepping pasien miring > 30o. Pada
kelainan vestibular saat mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi
garis tengah kemudian kembali lagi, namun saat mata terbuka badan penderita
tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebelar penderita akan bergoyang baik
pada mata terbuka maupun pada mata tertutup. Pada tes sharping romberg, orang
normal dapat mempertahankan posisi tersebut selama 30 detik, namun pada
pasien dengan lesi vestibular maka akan jatuh ke sisi lesi. Kemiringan > 30o ke
arah kanan pada uji stepping menunjukan posisi lesi vestibular. Sehingga
berdasarkan ketiga pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa vertigo yang
dialami oleh pasien diakibatkan oleh gangguan pada sistem vestibular dengan lesi
di kanan. Pada pemeriksaan post pointing, finger to nose dan disdiadokokinesis
pasien dapat melakukan dengan baik. Ketiga pemeriksaan tersebut digunakkan
untuk mengetahui apakah terdapat gangguan pada sistem pusat keseimbangan
yaitu pada cerebellar. Pasien dapat melakukan ketiga pemeriksaan tersebut dengan
baik sehingga menunjukan bahwa tidak terdapat lesi pada vestibular sentral
(Zhang & Wang, 2011; Mansjoer dkk, 2014).
Berdasarkan pemeriksaan di atas dapat disimpulkan bahwa keluhan
vertigo yang dirasakan oleh pasien disebabkan karena gangguan vestibular perifer.
Kemudian dari hasil pemeriksaan audiometri tidak ditemukan adanya penurunan
pendengaran. Diagnosis banding vertigo vestibular perifer tanpa penurunan
pendengaran dapat berupa vestibular neuritis, BPPV, atau acute vestibular
dysfunction. BPPV merupakan jenis vertigo perifer yang paling sering ditemui.
BPPV merupakan sensasi berputar akibat perubahan relatif posisi kepala terhadap
34
gravitasi. Gejala yang dialami pasien ini mengarah ke diagnosa BPPV (Musat,
2010).
Pasien dalam kasus ini mendapatkan terapi betahistine mesilate 3 x 6 mg,
dan gingko biloba 2x1 tab. Gingko biloba terbukti mempunyai fungsi
meningkatkan aliran darah dengan cara membuka pembuluh darah. Betahistine
mesylate bekerja pada reseptor histamin di cochlea, labyrinth telinga bagian dalam
dan batang otak dengan meningkatkan aliran darah di tempat-tempat tersebut
sehingga dapat meringankan gejala vertigo. Kedua obat tersebut terbukti
bermanfaat dalam mengurangi gejala vertigo (Nafrialdi & Setyawati, 2007).
Terapi non farmakologis berupa manuver untuk reposisi partikel di dalam
kanal yang menyebabkan vertigo terbukti bermanfaat terutama pada kasus BPPV.
Canalith repositioning procedure efektif dalam menangani BPPV kanal posterior.
Melalui uji dix-hallpike jika didapatkan hasil yang positif maka dapat dilanjutkan
dengan CRT sebagai terapi kausatif BPPV (Richard et al, 2015).
Kemudian pasien menjalani latihan brandt darof. Latihan brandt darof
merupakan latihan fisik yang bertujuan untuk melakukan habituasi terhadap
sistem vestibular. Selain itu, gerakan pada latihan brandt darof dapat melepaskan
otokonia dari kupula berdasarkan teori cupulolithiasis. Otokonia yang terlepas
diharapkan keluar dari kanalis semisirkularis, sehingga dapat menghilangkan
vertigo. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ferdiansyah et al (2013), pasien
vertigo yang diberikan terapi CRT dan dilanjutkan dengan latihan brandt daroff
memiliki tingkat kesembuhan yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang hanya
mendapat CRP saja (Ferdiansyah et al, 2013).
Sebagian besar kasus BPPV dapat pulih dengan sendirinya, namun
beberapa kasus dapat mengalami kekambuhan.

35
33

BAB IV
KESIMPULAN

Vertigo merupakan sensasi ilusi atau halusinasi tubuh atau lingkungan,


seringnya berupa perasaan berputar. Benigna paroxysmal positional vertigo
merupakan salah satu jenis penyebab vertigo. BPPV didefinisikan sebagai sensasi
berputar akibat perubahan relatif posisi kepala terhadap gravitasi.
Diagnosis vertigo ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik penting dalam mengetahui
penentuan penyebab vertigo, seperti pemeriksaan tes keseimbangan. Melalui tes
keseimbangan dapat diketahui apakah vertigo berasal dari kelainan pada organ
vestibular perifer atau sentral. Pemeriksaan Dix-hallpike berperan dalam
menegakkan diagnosis vertigo perifer BPPV. Pemeriksaan penunjang seperti CT
scan atau MRI penting dalam membedakan vertigo sentral dan perifer.
Terapi BPPV berupa penatalaksanaan farmokologis dan non farmakologis.
Penatalaksanaan farmakologis berperan dalam mengurangi gejala, menurunkan
morbiditas, dan mencegah komplikasi. Apabila diagnosis BPPV sudah ditegakkan
maka penatalaksanaan non farmakologis seperti canalith repositioning procedure
dilanjutkan sebagai terapi kausatif. Dilanjutkan latihan brandt darof jika masih
adanya gejala sisa.

36
37

DAFTAR PUSTAKA

Alviandi W. 2010. Anatomi dan Fisiologi Organ KeseimbanganN serta


Relevansinya di Bidang Klinik . Sub-Dept. Neurotologi THT
FKUI/RSCM. Jakarta

Bailey BJ, Johnson JT, Rosen CA. 2014. Head & Neck Surgery-Otolaryngology,
Edisi ke-5. Philladelphia: Lippincot Williams & Wilkins.

Balatsouras, D., Panayotis, G., Andreas, A., Nicolas, C., Antonis, M., & George,
K. 2012. Benign paroxysmal positional vertigo associated with menieres
disease: epidemiological, pathophysiologic, clinical, and therapeutic
aspects. Otology rhinology laryngology journal. 12(10): 682-688.

Ballenger JJ. 2009. Meniere disease, vestibular neuronitis, benign paroxysmal


positional vertigo, and cerebellopontine angle tumors. Dalam: Penyakit
Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala dan leher. Edisi ke-17. Jakarta:
Binarupa Aksara.

Bashir, K., Furqan, I., & Peter, A. 2014. Management of benign paroxysmal
positional vertigo (BPPV) in the emergency department. Journal of
emergency medecine trauma and acute care. 3(1): 1-7.

Bittar, B. 2011. Benign pasroxysmal positional vertigo: diagnosis and treatment.


International tinnitus journal, 16(2): 135-145.

Ferdiansyah, R., Brastho, B., Widayat, A., & Jenny, B. 2013. Evaluasi pada
pasien vertigo posisi paroksismal jinak dengan terapi reposisi kanalit dan
latihan brandt daroff. Departemen ilmu penyakit THT-KL fakultas
kedokteran universitas indonesia.
Gaur, S., Sanjeev, K., Sunil, K., Rohit, S., Vivek, K., & Mamta, B. 2015. Efficacy
of epleys maneuver in treating BPPV patients : a prospective
observational study. International journal of otolaryngology. 4(1): 1-5.

Gerard, J. 2012. Principle of anatomy and physiology. 13th edition. Ed: united
states of america.

Helminski, J. 2014. Effectiveness of the canalith repositioning procedure in the


treatment of benign paroxysmal positional vertigo. Physical therapy
journal. 94(10): 1373-1382.

Hornibrook, J. 2011. Benigna paroxysmal positional vertigo (BPPV(: history,


patophysiology, office treatment and future direction. International
journal of otolaryngology. 8(3): 1-13.

Mansjoer, A. dkk. 2014. Penyakit menierre. Kapita selekta kedokteran. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.

Mehndiratta, M & Rohit, K. 2010. Vertigo- a clinical approach. Medicine update.


20(6): 745-752.

Musat. G. 2010. The clinical characteristics and treatment of benign paroxysmal


positional vertigo in the elderly. Romanian journal of neurology. 37(4):
189-192.

Nafrialdi & Setyawati. 2007. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Departemen


farmakologi dan terapeutik fakultas kedokteran UI : Jakarta

Richard, W., Tjasse, D., Peter, O., & Roeland, B. 2015. Efficacy of the epley
maneuver for posterior canal BPPV: a long term, controlled study of 81
patients. Ear nose throat journal. 84(1): 22-25.

Sherwood, L. 2010. Human pahysiology from celss to system. 7th edition. Ed:
Yolanda cossio.

38
Sura, D & Stephen, N. 2010. Vertigo-diagnosis and management in the primary
care. British journal of medical practitioners, 3(4): 1-3.

Tamber, A., Kjersti, T., & Liv, I. 2009. Measurement properties of the dizziness
handicap inventory by cross-sectional and longitudinal designs. Health
and quality of life outcomes biomed central. 7(10): 1-16.

Thompson, T & Ronald, A. 2009. Vertigo: a review of common peripheral and


central vestibular disorder. The oschner journal, 9(1): 20-26

Treleaven, J. 2006. Dizziness handicap inventory (DHI). Australian journal of


physioterapy, 52(1): 67.

Zhang, Y & Wang W. 2011. Reability of fukuda stepping test to determine the
side of vestibular dysfunction. The journal of international medical
research. 39(4): 1432-1437.

39

Anda mungkin juga menyukai