Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang secara umum sering


dikenal dengan sebutan “silent killer” ini sering disebabkan karena gaya hidup yang
tidak seimbang sehingga akhirnya dapat menimbulkan resiko terhadap timbulnya
penyakit stroke (Palmer & Williams, 2007). Hipertensi merupakan suatu keadaan
seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal, yaitu tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Chobanian dkk,
2003). Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama
(persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung
(penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak diperiksa
secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi
dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh
karena itu, partisipasi semua pihak baik dokter maupun masyarakat diperlukan
agar penyakit hipertensi dapat dikedalikan (Depkes 2013).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2013 menunjukkan prevalensi


hipertensi sebanyak 972 juta orang penduduk di dunia. Angka ini kemungkinan akan
meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta
berada di negara maju dan 639 penderita hipertensi berada di negara berkembang,
termasuk indonesia (WHO, 2013). Dari data American Heart Association (AHA),
prevalensi hipertensi penduduk Amerika yang berusia di atas 20 tahun telah mencapai
angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus hipertensi ini tidak
di ketahui penyebabnya (Kemenkes RI, 2014). Prevalensi hipertensi di Indonesia
menurut data Riset Kesehatan Dasar, berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada
umur ≥ 18 tahun yaitu sebesar 31,4%, angka ini meningkat 8,3% dari hasil Riskesdas
2013 yang hanya sebesar 25,8% (Riskesdas, 2018).

Di berbagai negara yang termasuk negara berkembang, peningkatan penyakit


ini terjadi secara cepat dan memberikan dampak yang sangat signifikan pada sisi sosial,
ekonomi dan kesehatan. Penyebab tingginya jumlah penderita hipertensi seperti pola

1
hidup yang tidak sehat, mengkonsumsi makanan asin, yang mengandung natrium
(makanan olahan, makanan kalengan dan fast food) sehingga sekitar 80% dari penyakit
tidak menular ini justru terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah atau
yang sering disebut sebagai low and middle income countries . Salah satu jenis
penyakit kronis yang ternyata menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi
adalah hipertensi (Mirza, 2008).

Kepatuhan minum obat pada pengobatan hipertensi sangat penting karena


konsumsi obat antihipertensi secara teratur dapat mengontrol tekanan darah penderita
hipertensi sehingga dalam jangka panjang risiko kerusakan organ-organ penting tubuh
seperti jantung, ginjal, dan otak dapat dikurangi. Oleh karena itu, dilakukan pemilihan
obat yang tepat agar dapat meningkatkan kepatuhan dan mengurangi resiko kematian
(Anonim 2010). Terapi hipertensi biasanya ditujukan untuk mencegah meningkatnya
angka morbiditas dan mortalitas dengan cara menurunkan tekanan darah sistolik
sebagai target utama, karena pada umumnya tekanan diastolik akan terkonrol
bersamaan dengan terkontrolnya tekanan sistolik (Nugroho, 2015). Selain itu
penggunaan obat antihipertensi dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi
penyakit lain seperti gagal jantung (Saseen & Maclaughlin, 2008). Pengobatan
hipertensi merupakan terapi yang memerlukan biaya dalam skala besar dan mahal
(Athnasakis, 2013).

Penggunaan obat yang rasional pada pasien hipertensi merupakan salah satu
elemen penting dalam tercapainya kualitas pelayanan serta perawatan medis bagi
pasien sesuai standar yang diharapkan. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat
menyebabkan timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, serta dapat memperparah
penyakit hingga menyebabkan kematian (WHO 2003). Masalah yang memprihatinkan
adalah banyak hasil penelitian yang menunjukkan ketidaktepatan peresepan terjadi di
berbagai negara, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia (Hogerzeil
et al 1993).

Menurut Farida dan Pristia (2018) pada penelitian yang dilakukan di RSUD
Mardi Waluyo Blitar dengan judul pola penggunaan obat antihipertensi pada pasien
hipertensi diketahui bahwa antihipertensi yang paling sering digunakan adalah
golongan ARB sebanyak 64 (21,55%) dari total obat secara keseluruhan yaitu
sebanyak 297 obat. Obat antihipertensi yang termasuk dalam golongan ARB yaitu

2
candesartan, irbesartan, Valsartan dan telmisartan. Sedangkan dari penelitian yang
dilakukan oleh Hapsari dan Herma (2017), diketahui bahwa antihipertensi yang paling
sering digunakan adalah golongan penghambat kanal kalsium yaitu sebesar 35,38%.

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, penting untuk melakukan


terapi hipertensi sesuai dengan standar/panduan yang ada. Oleh karena itu peneliti
tertarik melihat pola penggunaan obat antihipertensi di RSUD Sabu Raijua.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah


yang diperoleh adalah:

1. Bagaimana pola penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di


RSUD Sabu Raijua pada tahun 2019 ?
2. Obat antihipertensi apakah yang paling sering digunakan pada pasien rawat inap
di RSUD Sabu Raijua pada tahun 2019 ?
1.3 TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap
di RSUD Sabu Raijua pada tahun 2019.
2. Untuk mengetahui obat antihipertensi apa saja yang paling sering digunakan di
RSUD Sabu Raijua pada tahun 2019.
1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan kepada peneliti mengenai pola penggunaan obat
antihipertensi di rumah sakit .

2. Bagi Instansi
Menambah konstribusi bahan bacaan kepada peneliti lain yang ingin
melakukan penelitian lebih lanjut terkait pola penggunaan obat antihipertensi.

3. Bagi Institusi
Menambah pustaka bagi mahasiswa program studi sarjana farmasi
untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIPERTENSI

2.1.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah salah satu penyakit dengan kondisi medis yang


beragam. Kebanyakan pasien menderita hipertensi dengan etiologi patofisiologi
yang tidak diketahui, dikenal sebagai hipertensi primer (Depkes RI, 2006).
Menurut JNC 8 hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi ketika
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg dan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
lebih (≥ 140/90 mmHg)

Tabel 2.1

Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC VIII

Klasifikasi tekanan Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik


darah (mmHg)
(mmHg)

Normal <120 <80


Pre Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi tahap I 140-159 90-99
Hipertensi tahap II ≥160 ≥100

manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan Evidence


Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita. Target
tekanan darah pada manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung
pada komplikasi penyakit penderita (James, dkk.,2014).

Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi


hipertensi primer (essential), yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikontrol

4
dan penderita hipertensi lain dari kelompok populasi dengan persentase yang
rendah mempunyai penyebab khusus yang dikenal sebagai hipertensi sekunder
(non essential). Banyak faktor yang dapat mepenyebab hipertensi sekunder,
serperti faktor endogen maupun estrogen. Bila penyebab penderita hipertensi
sekunder dapat diidentifikasi maka kemungkinan dapat disembuhkan secara
potensial (Depkes RI, 2006).

2.1.2 Hipertensi Esensial/Primer

Hipertensi primer merupakan tipe hipertensi yang paling sering


ditemukan dan 95% kasus hipertensi adalah penderita hipertensi primer.
Meskipun tidak terdapat penyebab tunggal yang dapat diidentifikasi (L, Tao &
Kendall K, 2013) Penyebabnya berupa multifaktor, meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, stres,
reaksi pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain- lain.
Sedangkan yang termasuk dalam faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan
merokok, stres, obesitas dan lain-lain (Gunawan, 2007).

2.1.3 Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam


kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal),
hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain
(Gunawan,2007). Penyakit ginjal merupakan salah satu penyakit yang paling
sering meyebabkan terjadinya penyakit hipertensi sekunder. Obat-obat tertentu,
baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperparah hipertensi dengan cara meningkatkan tekanan darah. Apabila
penyebab dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat atau mengoreksi
kondisi penyakit lain yang menyebabkan hipertensi sudah merupakan tahap
pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).

2.2 PATOFISIOLOGI HIPERTENSI

Banyak faktor patofisiologi yang telah dihubungkan dalam penyebab


hipertensi seperti meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik, meningkatnya
respon terhadap stress psikososial, produksi berlebihan hormon yang menahan
natrium, vasokonstriktor, asupan natrium (garam) berlebihan, tidak cukupnya

5
asupan kalium dan kalsium, meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan
meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosterone, dan defisiensi vasodilator
seperti prostasiklin, nitrik oksida (NO), dan peptida natriuretik (Depkes RI,
2006).

Beberapa jenis hormon yang menyebabkan resistensi natrium dan air


dihasilkan oleh korteks ginjal, yaitu aldosteron dan kortisol. Kelebihan aldosteron
akan meningkatkan reabsorpsi air dan natrium, sedangkan kelebihan kortisol
meningkatkan sintesa epinefrin dan norepinefrin yang bertindak sebagai
vasokonstriktor pembuluh darah. Secara tidak langsung, ini akan mempengaruhi
peningkatan volume darah, curah jantung dan menyebabkan peningkatan
tahanan perifer total (Dipiro, dkk.,2008).

2.3 FARMAKOTERAPI HIPERTENSI

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan


morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ-organ penting seperti
penyakit gagal jantung, penyakit jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal
kronik. Target nilai tekanan darah yang direkomendasikan adalah <140/90
mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi (NIH, 2003). Menurut JNC VIII
(2014), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi
berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat
pada Gambar 2.2

6
Hipertensi dewasa ≥18 tahun

Terapkan gaya hidup sehat

Disertai regimen obat antihipertensi

Mengatur target tekanan darah dan memulai terapi


hipertensi berdasarkan umur, diabetes dan penyakit
ginjal kronis (PGK)

Populasi umum tanpa Populasi umum

diabetes dan PGK disertai diabetes dan PGK

Umur ≥60 Umur ‹60 Semua umur Semua umur


tahun tahun disertai diabetes disertai PGK
tanpa PGK tanpa diabetes

Target tekanan darah Target tekanan darah Target tekanan darah Target tekanan darah
TDS ‹150 mmHg TDS ‹140 mmHg TDS ‹140 mmHg TDS ‹140 mmHg
TDD ‹90 mmHg TDD ‹90 mmHg TDD ‹90 mmHg TDD ‹90 mmHg

ras kulit putih ras kulit hitam semua ras

Lini pertama diuretic tiazid Lini pertama ACEi atau


Lini pertama diuretic tiazid atau ARB tunggal atau
ACEi atau ARB atau CCB
CCB, tunggal atau kombinasi kombinasi dengan kelas
tunggal atau kombinasi
obat lain

Gambar 2.2 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi (James,
dkk., 2014)

Pasien hipertensi terkadang memerlukan dua atau lebih obat


antihipertensi untuk mencapai tekanan darah target terapi. Penambahan regimen
obat dari kelas yang berbeda dimulai apabila penggunaan obat tunggal dengan
dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Apabila
terjadi peningkatan tekanan darah lebih dari 20/10 mmHg di atas target, dapat

7
dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus
diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-
pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia (Depkes RI,2006).

2.4 OBAT ANTIHIPERTENSI

Dikenal 5 kelompok obat lini pertama dalam pengobatan awal hipertensi,


yaitu: diuretika, penghambat reseptor beta adrenergik (ß-blocker), penghambat
angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin
(Angiotensin Reseptor Blocker) dan antagonis kalsium (Calcium Channel
Blocker) (Gunawan, 2007).

2.4.1 Diuretika
Diuretik dapat digunakan sebagai terapi obat lini pertama untuk
hipertensi, kecuali jika terdapat alasan yang memaksa pemilihan agen terapi lain.
Diuretik adalah obat antihipertensi yang bekerja dengan meningkatkan
pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik
dibagi menjadi lima golongan obat yaitu:

1. Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa
komplikasi. Semua obat diuretik oral efektif dalam mengobati
hipertensi, tetapi tiazid ternyata paling luas digunakan. Diuretik ini bekerja
+ -
dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na dan Cl di tubulus distal.
Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama dibanding diuretik kuat.
Obat-obat dari golongan ini adalah klorotiazid, klortalidon, hidroklortiazid,
indapamin dan metolazon.
2. Diuretik lengkungan (loop diuretic) bekerja segera, bahkan pada pasien
dengan fungsi ginjal yang buruk atau tidak merespon terhadap tiazid atau
diuretik lainnya. Diuretik lengkungan dapat menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler ginjal dan peningkatan aliran darah. Golongan obat ini
+ + -
bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na , K dan Cl di ansa
-
Henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl yang
menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat dari golongan ini
adalah bumetanid, asam etakrinat, furosemid dan torsemid.

8
3. Diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan mekanisme
kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion
natrium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi natrium dan eksresi kalium.
Proses ini dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu:
spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk
melalui kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran
natrium, yaitu: triamteren dan amilorid. Obat-obat dari golongan ini adalah
amilorid, eplerenon, spironolakton dan triamteren.
4. Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron
ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan
obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya
osmotiknya. Obat-obat dari golongan ini adalah manitol dan urea
5. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja
pada tubuli proksimal dengan menghambat reabsopsi bikarbonat melalui
penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan
ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion
natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi
natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat dari golongan ini adalah
asetazolamid (Harvey, 2009)
2.4.2 Agen-Agen Penghambat Adrenoseptor-Β

Penghambat reseptor β, direkomendasikan sebagai terapi lini pertama


untuk hipertensi ketika penyakit penyerta timbul misalnya, pada gagal jantung.
Mekanisme penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung
sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β
dibedakan menjadi penghambat β selektif dan non-selektif. Penghambat beta
selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat
beta non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1
dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkonsentrasi pada organ-organ dan
jaringan tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan
reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot
halus arteri. Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas,
dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatasi dan
vasodilatasi. Atenolol dan metoprolol adalah penyekat β yang kardioselektif; jadi

9
lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti propanolol pada pasien
asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), penyakit arteri perifer, dan
diabetes (Hervey, 2009).

Pada penderita diabetes, β-blocker akan meningkatkan kadar glukosa


darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati. Penghambatan reseptor ini akan
menstimulasi proses glukoneogenesis (Fauci, dkk., 2008).

2.4.3 Penghambat ACE

Penghambat enzim pengonversi-angiotensin (angiotensin-converting


enzyme/ACE), seperti enalapril atau lisinopril, direkomendasikan ketika agen lini
pertama yang dipilih (diuretik atau penghambat- β) dikontraindikasikan atau
tidak efektif. Mekanisme penghambat ACE adalah menurunkan produksi
angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem
saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri
akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam darah. Golongan obat ini
efektif digunakan sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan
golongan diuretik, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek
samping dari golongan obat ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan
dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis
(Harvey, 2009).

2.4.4 Antagonis reseptor-angiotensin II (ARB)

Penghambat reseptor-angiotensin II (angiotensinII-receptor


blockers/ARB) merupakan alternatif penghambat ACE. Obat-obat ini
menghambat ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya (Harvey, 2009).
Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1
(AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu
vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon
antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor
angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek
yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan
dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB
mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak
mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi.
10
Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,
hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006).

2.4.5 Penghambat kanal kalsium

Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan


menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi
kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot
jantung meningkat sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis
kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas
jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah
verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun
kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi
golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan
penyekat alfa (Fauci, dkk, 2008).

2.5 RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT

Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai


dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan biaya yang
rendah. Obat merupakan produk yang diperlukan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, namun jika penggunaannya salah, tidak tepat, tidak
sesuai dengan takaran dapat membahayakan (Depkes, 2008). Menurut WHO
penggunaan obat yang rasional diartikan sebagai penggunaan obat ketika pasien
mendapat obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya dalam dosis obat yang sesuai
kebutuhannya secara individual (WHO, 2013).

Pada penelitian oleh Hogerzeil (1993), peresepan di Indonesia masih


dikategorikan tidak rasional. Masalah yang terjadi adalah tingginya tingkat
polifarmasi (3-5 obat per pasien), penggunaan antibiotik yang berlebihan
(43%), serta injeksi yang tidak tepat dan berlebihan (10-80%). Idealnya,
penggunaan terapi obat oleh profesional kesehatan harus hemat biaya serta
efektif dan aman bagi pasien. Keamanan dan keefektifan obat dimaksudkan
untuk mengurangi tingkat morbiditas, mortalitas, interaksi obat dengan obat,
dan kecendrungan kemungkinan bertambahnya biaya perawatan di rumah sakit
karena terjadinya adverse drug reaction maupun drug related problem (DRP)
dari peresepan yang tidak rasional (Yusmainita, 2009). Berdasarkan Kemenkes
11
RI (2011), kriteria penggunaan obat yang rasional terutama terkait peresepan
obat meliputi:

1. Tepat indikasi, Keputusan pemilihan obat yang diresepkan didasari indikasi


penyakit serta pemilihan terapi obat yang efektif dan aman.
2. Tepat obat, Pemilihan obat didasari efficacy, safety, suitability dan cost
considerations.
3. Tepat pasien, Tidak diberikan terhadap pasien yang kontraindikasi,
kemungkinan adverse reactions minimal dan obat dapat diterima pasien.
4. Tepat informasi, pasien diupayakan menerima informasi yang relevan,
akurat, penting dan jelas mengenai kondisinya dan pengobatan yang
diresepkan.
5. Tepat evaluasi, antisipasi kemungkinan efek samping dari pengobatan
ditafsirkan dan dipantau dengan tepat.
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari penggunaan obat yang tidak
rasional dan dilihat dari berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi
dalam pemilihan obat yang tidak tepat, pola penggunaan obat yang tidak
rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya
meningkatkan efek samping obat, meningkatkan kegagalan pengobatan dan
sebagainya (Depkes, 2000). Untuk menghindari penggunaan obat irasional
dalam pelayanan kesehatan, maka hal-hal perlu ditinjau diantaranya terkait
polifarmasi yang dapat memicu interaksi obat, obat yang diberikan tidak
mempertimbangkan kondisi finansial pasien, pemberian antibiotik yang memicu
resistensi, serta obat yang diresepkan beresiko menimbulkan efek yang
berbahaya jika diberikan secara non-oral (zunilda, 2011).

2.6 REKAM MEDIK

Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas dan akurat dari kehidupan
dan penyakit pasien, ditulis dari sudut pandang medik. Setiap rumah sakit
dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik yang memadai
dari setiap pesien, baik untuk pesien rawat inap maupun pesien rawat jalan.
Rekam medik harus secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat
digunakan, mudah ditelusuri kembali, dan informasinya lengkap (Siregar
& Amalia 2003).

12
Berdasarkan PERMENKES RI Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 isi
dari rekam medik untuk pasien rawat jalan, rawat inap, serta pasien gawat
darurat antara lain :

1. Rekam Medis Pasien Rawat Jalan


Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam medical record antara
lain identitas pasien, tanggal dan waktu, anamnesis (keluhan dan riwayat
penyakit), hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis, diagnosis,
rencana penatalaksanaan, pengobatan atau tindakan pelayanan lain yang
telah diberikan kepada pasien.
2. Rekam Medis Pasien Rawat Inap
Data pasien rawat inap yang dimasukkan dalam medical record antara
lain,identitas pasien, tanggal dan waktu, anamnesis (keluhan dan riwayat
penyakit), hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis, diagnosis,
rencana penatalaksanaan/treatment planning (TP), pengobatan atau
tindakan, persetujuan tindakan bila perlu, catatan observasi klinis, hasil
pengobatan dan ringkasan pulang (discharge summary).
3. Rekam Medis Pasien Gawat Darurat
Data untuk pasien gawat darurat yang harus dimasukkan dalam medical
record antara lain identitas pasien, kondisi saat pasien tiba di sarana
pelayanan kesehatan, identitas pengantar pasien, tanggal dan waktu, hasil
anamnesis (keluhan dan riwayat penyakit), hasil pemeriksaan fisik dan
penunjang medis, diagnosis, pengobatan atau tindakan, pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien (PERMENKES RI, 2008)
Kegunaan rekam medik antara lain yaitu sebagai dasar perencanaan dan
kelanjutan perawatan pasien, sebagai sarana komunikasi antar dokter dan
setiap professional yang berkontribusi pada perawatan pesien, untuk
melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab kesakitan pesien dan
penanganan/pengobatan selama rawat inap di rumah sakit, digunakan sebagai
dasar untuk mengkaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan
kepada pesien, untuk membantu perlindungan kepentingan hukum pasien,
rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab, menyediakan data untuk
digunakan dalam penelitian dan pendidikan, sebagai dasar perhitungan biaya

13
dengan menggunakan data dalam rekam medik, bagian keuangan dapat
menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang pesien (Siregar & Amalia, 2003)

2.7 FORMULARIUM RUMAH SAKIT

Formularium rumah sakit merupakan daftar obat yang disepakati beserta


informasinya yang harus ditetapkan di rumah sakit. Formularium rumah sakit
disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)/Komite Farmasi dan Terapi (KFT)
rumah sakit berdasarkan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan
disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiah
dibutuhkan untuk pelayanan di rumah sakit tersebut. Penyusunan formularium
rumah sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku, Penerapan
formularium rumah sakit harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai untuk
pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran (Depkes 2008).

Obat yang termasuk dalam daftar formularium merupakan obat pilihan


utama (drug of choice) dan obat-obat alternatifnya. Dasar pemilihan obat alternatif
tetap harus mengindahkan prinsip manajemen dan kriteria mayor yaitu
berdasarkan pada pola penyakit yang berkembang di daerah tersebut, efikasi,
efektifitas, keamanan, kualitas, biaya dan dapat dikelola oleh sumber daya dan
keuangan rumah sakit. Seleksi obat yang tepat melalui sistem formularium rumah
sakit memiliki keuntungan antara lain meningkatkan mutu terapi obat serta dapat
menurunkan kejadian efek samping obat. Formularium juga meningkatkan
efisiensi pengadaan, pengelolaan obat serta meningkatkan efisiensi dalam
manajemen persediaan (Anonim 2002).

14
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif non-


ekperimental (observasional), yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan
dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
sacara objektif atau menjelaskan data yang sudah terjadi di masa lalu
(Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini dilakukn secara observasional dan tidak
memberikan perlakuan tertentu pada subjek penelitian.

3.2 POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Dalam
penelitian ini yang dijadikan populasi adalah semua data rekam medik pasien
yang terdiagnosa hipertensi di RSUD Sabu Raijua tahun 2019.
2. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Pengukuran sampel merupakan suatu langkah untuk menentukan
besarnya sampel yang di ambil dalam melaksanakan penelitian suatu objek
(Sugiyono, 2016).
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien
hipertensi yang dirawat inap di RSUD Sabu Raijua bulan Januari-Agustus yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu :
1) Pasien yang terdiagnosa hipertensi
2) Pasien usia ≥ 40 tahun
3) Pasien tidak dalam kondisi hamil
3. Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling.
Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel
tersebut sama dengan populasi. Alasan dari mengambil teknik ini karena
menurut Sugiyono (2007) jumlah populasi yang kurang dari 100 seluruh
populasi semuanya dijadikan sampel penelitian. Sampel yang diambil dari
penelitian ini adalah 35 orang.
15
3.3 VARIABEL PENELITIAN

3.3.1 Identifikasi variabel

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal
tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Variabel dalam
penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu pola penggunaan obat antihipertensi
pada pasien hipertensi di RSUD Sabu Raijua pada tahun 2019.

3.3.2 Definisi operasional

1. Pasien hipertensi adalah pasien yang saat pengobatan terdiagnosa hipertensi


dan menerima obat antihipertensi.
2. Rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen pasien yang
diberikan kepada seorang pasien selama berada di rumah sakit, baik rawat jalan
maupun rawat inap.
3. Penggolongan obat antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk
menurunkan tekanan darah pada pasien dengan berbagai kategori antara lain
ACE Inhibitor (ACEI), Calcium Channel Blocker (CCB), Angiotensin
Reseptor Blocker (ARB), Penyekat Reseptor Beta Adrenergik dan diuretik.
4. Tepat indikasi, yaitu pemberian terapi yang didasarkan pada indikasi adanya
penyakit hipertensi berdasarkan pedoman pengobatan yaitu Formularium
Rumah Sakit dan Guideline JNC VIII.
5. Tepat obat, yaitu tepat dalam pemilihan obat antihipertensi pada pasien
hipertensi berdasarkan algoritma pengobatan hipertensi yaitu JNC VIII dan
Formularium Rumah Sakit. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari
ketepatan golongan dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis.
6. Tepat dosis, y a i t u tepat dalam pemberian dosis obat yang digunakan dan
harus sesuai range terapi obat tersebut. Dosis juga harus disesuaikan dengan
kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.
7. Tepat pasien, yaitu tepat pemberian obat sesuai kondisi patofisiologis pasien
hipertensi. Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi
individu yang bersangkutan. Seperti adanya riwayat alergi serta kondisi khusus
misalnya hamil, laktasi, balita dan lansia harus dipertimbangkan dalam
pemilihan obat .

16
3.4 INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen adalah alat yang digunakan dalam pengumpulan data untuk


penelitian. Instrumen dalam penelitian ini adalah menggunakan lembar
pengumpul data dan Guideline JNC VIII.
3.5 JALANNYA PENELITIAN

Jalannya penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dapat dilihat pada
skema berikut:

Pengambilan sampel

Pengambilan data

Analisis data

Hasil dan pembahasan

Kesimpulan

Gambar 3.2

17
3.6 JADWAL PENELITIAN

Jadwal penelitian dari proposal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

No Kegiatan Bulan 2019 /2020


Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mey Jun Jul Ags
1 Tahap
Persiapan
a. Pengajuan
judul proposal
b. Pengajuan
perijinan
penelitian
c. Penyusunan
proposal
d. Pengajuan
ujian proposal
e. Pengajuan
perijinan
penelitian
2 Tahap
Pelaksanaan
a. Penelitian
b.
Pengumpulan
data
c. Analisis
data
d. Pengolaan
data
3 Sidang Skripsi
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

3.7 ANALISIS HASIL

Teknik analisis dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif. Analisis


deskriptif adalah suatu prosedur pengolahan data dengan meringkas dan
menggambarkan data dengan cara ilmiah dalam bentuk tabel dan grafis
18
(Nursalam, 2003). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk
mengetahui kerasionalan obat antihipertensi pada pasien hipertensi yang
dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Sabu Raijua, kemudian data akan
dibandingkan apakah sudah sesuai dengan guideline JNC VIII dan hasil yang
diperoleh dalam penelitian akan dibuat dalam persentase dan ditampilkan
dalam bentuk table.

3.8 PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini dapat dilihat
pada gambar berikut:

Penelusuran data pasien hipertensi di RSUD Sabu


Raijua pada tahun 2019

Proses pemilihan pasien yang memenuhi kriteria


inklusi

Pengambilan data (nama, jenis kelamin, usia, diagnosa


dan terapi pengobatan) dilihat dari rekam medik pasien

Dilakukan pencatatan menggunakan lembar


pengumpulan data

Analisis data

Pengolahan data

Kesimpulan

Gambar 3.3

19
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2002). Informasi Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Dapertemen Kesehatan


Republik Indonesia. Halaman 14, 52, 531-548.

Arikunto. S. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara

Chobanian. Aram V. Bakris. George L. Henry R. Black. William C. Cushman. dan Lee
A. Green. 2003. Join National Committee on Prevention Detection. Evaluation. dan
Treatment of High Pressure VII. USA: Dapertemen of Health and Human Services

Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Hipertensi. Dapertemen Kesehatan RI.
Jakarta

Dipiro. Joseph T. Talbert. Robert L. 2008. The 7th edition of The Benchmark Evidence-
Based Pharmacotherapy. McGraw-Hill Companies Inc.USA.

DepKes RI. (2000). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta

Dapertemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Depkes RI
Jakarta.

Fauci. 2008. Harrison’s : Principles of Internal Medicine. 17th Edition. USA : The
McGraw-Hill Companies. p. 2275-2299.

Gunawan. Sulistia Gan. Setiabudy. Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Greene RJ. Harris ND. Goodyer LI. 2007. Pathology and Therapeutics for Pharmacists A
Basis for Clinical Pharmacy Practice 2nd Edition. Departement of Pharmacy
King’s College London. London Universit y. UK.

Harvey R.A. Champe P.C. 2009. Pharmacology 4th ed. China: Lippincott William &
Wilkins.p.249-60.

Hogerzeil H. 1993. Field Test For Rational Drug Use in Twelve Developing Countries.
The Lancet : 1408-1410.

20
James PA. (2014). Report from the panel members appointed to the eighth joint national
committe (jnc 8) 2014 evidence-based guideline for the management of high blood
pressure in adults. JAMA.2014; 311(5):507-520

Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta : Balitbang


Kemenkes Ri

Kemenkes RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Bina Pelayanan Kefarmasian.
Jakarta.

L, Tao & Kendali, K. 2013. Sinopsis Organ System Kardiovaskular. Tanggeran Selatan:
Karisma Publishing Group.

MenKes. 2008. PERMENKES RI No. 269/MENKES/PER/III?2008 Tentang Rekam


Medis. Jakarta.

Mirza. M. 2008. Mengenal Diabetes Melitus. Kata Hati. Yogyakarta dalam Rapository
Universitas Sumatera Utara .

NIH (National Institute of Mental Health) Senior Health. Anxiety Disorders: Risk Factor
and Diagnosis.
http://nihseniorhealth.gov/anxietydisorders/riskfactorsandcauses/01.html .

Notoatmodjo S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Nugroho. Agung Endro. 2015. Farmakologi. Cetakan V. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Palmer. A. dan Williams. B. 2007. Simple Guides Tekanan Darah Tinggi. EGC. Jakarta

Riset Kesehatan Dasar (RisKesdas) (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementrian RI tahun 2013.

Riset Kesehatan Dasar (RisKesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementrian RI tahun 2018.

Siregar. C. J. P. Amalia. L. 2003. Farmasi Rumah Sakit. Teori dan Penerapan. 91-95,
101-105. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.

Sugiyanto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Depdikbud.

21
WHO. 2013. A Global Brief On Hypertension: Silent Killer. Global Public Health Crises
(World Health Day 2013). Geneva: WHO. 2013.

World Health Organization (WHO). 2003. International Society of Hypertension Writing


Group. World Health Organization - Internal Society of Hypertension statement of
Management of Hypertension. hal 108-17.

Yusmainita,(2009). Jasa Profesi Farmasi di Apotek (II), Majalah Medisina,6(1), 14-19

Zunilda. (2011). Penggunaan Obat yang Rasional. Dalam: Gunawan. S.G (Ed).
Farmakologi dan terapi. aEdisi Kelima. Jakarta: FKUI. Halaman 48-48.57

22
23

Anda mungkin juga menyukai