Anda di halaman 1dari 11

Tes TUBEX Tidak Hanya Mendeteksi Antibodi Spesifik Tifoid Tetapi Juga

Antigen Terlarut dan Seluruh Bakteri

TUBEX (IDL Biotech) merupakan tes kolorimetri semikuantitatif 5 menit untuk


demam tifoid, suatu penyakit endemis yang telah luas. TUBEX mendeteksi antibodi
anti-Salmonella O9 dari serum pasien dengan kemampuan antibodi tersebut untuk
menghambat ikatan antara partikel indikator ikatan antibodi dan partikel ikatan
antigen magnetic, di dalam ini, kami laporkan bahwa TUBEX dapat juga digunakan
untuk mendeteksi secara spesifik lipopolisakarida O9 terlarut pada buffer yang diberi
antigen dengan kemampuan antigen untuk menghambat ikatan yang sama
antarpartikel. Sensitifitas deteksi antigen telah ditingkatkan (8–31 mg/ml) dengan
menggunakan protokol yang dimodifikasi di mana sampel uji awalnya dicampur
dengan partikel indikator. Dibandingkan dengan partikel magnetik seperti pada
deteksi antibodi. Antigen juga dapat dideteksi pada sampel serum dan urin, meskipun
kurang baik (2–4 kali) dari pada buffer pada umumnya. Namun, tidak ada antigen
yang terdeteksi dari enam serum tifoid yang diperiksa, yang memiliki antibodi anti-
O9. Sebagai tambahan, keseluruhan organisme Salmonella Typhi (15 strain) dan
Salmonella Enteritidis (6 strain) (keduanya Salmonella O9+), tumbuh pada broth
darah yang disimulasi atau agar MacConkey, yang juga dapat dideteksi dengan
TUBEX ketika disuspensi dengan >9x108 organisme/ml. Diharapkan, Salmonella
Paratyphi A (7 strain), Salmonella Typhimurium (1 strain) and Escherichia coli (2
strain) negatiff pada tes. Dengan demikian, peralatan TUBEX yang sama dapat
digunakan dengan beberapa cara baik secara serologis dan mikrobiologis untuk
diagnosis cepat demam tifoid. Namun, validasi aplikasi yang lebih baru akan
memerlukan pemeriksaan sistematik pada pasien yang sesungguhnya dan material
laboratorium.

Pendahuluan
Demam tifoid masih menjadi ancaman global sebab diperkirakan menimpa 17 juta
orang setiap tahunnya (WHO, 2003). Diagnosis laboratorium merupakan hal yang
krusial untuk manajemen dan pengendalian penyakit karena tifoid dapat terjadi
kesalahan secara klinis dengan sindrom demam yang lain, seperti demam dengue,
yang sering terjadi di negara yang terkena. Metode laboratorium yang sering dipakai
meliputi (1) kultur dan identifikasi organisme penyebab, Salmonella enterica serotip
Typhi (S. Typhi); (2) Identifikasi antibodi spesifik infeksi dari sirkulasi pasien (WHO,
2003). Yang menjadi masalah dengan kultur yaitu metodenya yang sulit dan lama.
dengan pendekatan ini, darah, sumsum tulang dan feses normalnya diinokulasi pada
broth yang telah diperkaya dan ketika tampak tumbuh, subkultur dibuat pada agar
padat. Koloni yang diperoleh diidentifikasi dengan tes biokimia dan dikonfirmasi
dengan slide aglutinasi dengan antiserum yang sesuai. Prosesnya dapat memakan
waktu beberapa hari.
Deteksi antibodi berdasarkan serologi telah secara luas digunakan untuk
diagnsosis demam tifoid sejak diperkenalkannya tes widal (Widal, 1896). Tes ini
masih menjadi tes serologis utama pada banyak negara endemis meskipun memiliki
beberapa laporan kelemahan. (Quiroga et al., 1992; Parry et al., 1999; Nsutebu et
al.,2002). Alasan utama untuk penggunaannya yang masih berlanjut adalah kenyataan
bahwa tes ini sederhana – hanya memerlukan satu langkah dan tanpa peralatan – dan
terjangkau oleh negara yang terkena. Sebagai tambahan, ketika dilakukan pada slide
(selain tabung), tes aglutinasi bakteri yang sederhanya hanya memerlukan beberapa
menit untuk dilakukan. Sebaliknya, tes yang lebih akurat dan canggih dikembangkan
beberapa tahun ini, seperti yang berdasarkan metode ELISA multi-langkah
(Nardielloet al., 1984; Sippel et al., 1989; House et al., 2005), tidak ditemukan
penggunaan yang luas di negara-negara tersebut.
Peralatan tes deteksi antibodi diperkenalkan pada pasaran tifoid di beberapa
negara meliputi Pakistan, Vietnam dan Filipina, yang merupakan pengguna akrab
yaitu tes widal dan yang dapat digunakan untuk aplikasi poin perawatan, yaitu
TUBEX (diproduksi oleh IDL Biotech, Sollentuna, Swedia). TUBEX sama dengan
tes slide aglutinasi lateks yang sederhana dan cepat, keduanya menggunakan
campuran analit dengan reagen partikel lateks yang efisien, dan keduanya
menggunakan pembacaan hasil secara visual yang mudah (Lim et al., 1998; Tam &
Lim, 2003). Namun, perbaikan telah dibuat untuk meningkatkan sensitifitas dan
spesifitas sistem TUBEX dalam berbagai cara, meliputi penggunaan tabung yang
didesain special berbentuk V menggantikan slide dan dua tipe partikel reagen
menggantikan satu – partikel indikator berwarna dan partikel magnetik yang penting
juga, format pengujian digunakan untuk mencapai spesifitas yang baik. Sehingga,
antibodi spesifik S. Typhi seorang pasien –dideteksi dengan kemampuannya untuk
menghambat ikatan antara partikel indikator berwarna yang dilapisi antibodi
monoklonal spesifik untuk antigen lipopolisakarida (LPS) S. Typhi O9 dan partikel
magnetik yang dilapisi dengan LPS S. Typhi (lihat gambar 1a). hasilnya dibaca
setelah 5 menit setelah pengendapan partikel magnetik (dan setiap ikatan partikel
indikator) dengan magnet (gambar 1b). Sensitifitas yang baik (75–85%) dan spesifitas
(75–90 %) telah diamati dengan tes ketika digunakan pada beberapa percobaan klinis
baru-baru ini (House et al., 2001; Olsen et al., 2004; Kawano et al., 2007).
Dengan keuntungan mekanisme yang digunakan pada TUBEX, kami
memperoleh alasan bahwa tes yang sama dapat juga digunakan untuk mendeteksi
antigen menggantikan antibodi. Antigen agaknya dapat terikat pada partikel indikator
dan memblok reaksi antara dua partikel reagen (Gambar 1a). Apalagi antigen yang
dideteksi mungkin tidak perlu kecil dan terlarut, tetapi juga dalam bentuk keseluruhan
bakteri. Kami menyelidiki kemungkinan tersebut di studi ini, meliputi potensi aplikasi
klinisnya.

Metode
Antigen dan antibodi LPS yang telah dimurnikan kami peroleh secara komersial LPS
S. Typhi, ‘Salmonella typhosa’ (lot 0901) dan Salmonella Enteritidis (Difco); LPS
Salmonella Typhimurium (Calbiochem); dan LPS Escherichia coli (Sigma). Demikian
dua kelompok LPS S. Typhi dibuat pada waktu yang berbeda (meliputi ‘S. typhosa’)
yang digunakan pada studi. LPS mentah Salmonella Paratyphi A diekstrak dari sel
yang baru dipersiapkan menggunakan asam trikloro asetat (Staub, 1965) dan
dimurnikan dengan presipitasi dengan 6 volume etanol. Ekstrak mentah antigenik
diperoleh dari isolasi laboratorium (strain #13, S. Typhi dan S. Paratyphi A) sebagai
supernatant kultur dari sel yang tumbuh semalam di broth Luria–Bertani (LB)
(Invitrogen) dan dipanaskan pada suhu 100 °C selama 5 menit dalam sebuah
termosikler (MJ Research). Kandungan protein ditentukan dengan menggunakan
peralatan pengujian protein BCA (Pierce). mAbs Tikus terhadap antigen O9 (Lim &
Ho, 1983) dan antigen O12 (diproduksi di laboratorium kami, tidak dipublikasikan),
keduanya IgM, dimurnikan dari material asites dengan kriopresipitasi.
Sampel Serum dan urin. Sampel darah (serum) dan urin diperoleh baru dari pekerja
laboratorium yang sehat dengan persetujuan. Sampel tersebut kemudian disimpan
dalam suhu 4 °C dan digunakan dalam 3 hari.
Strain Bakteri. Semua strain diisolasi dan diidentifikasi oleh laboratorium rutin di
Departemen Mikrobiologi Rumah Sakit Prince of Wales, Hong Kong. Prosedur
standar yang diikuti, meliputi penggunaan API 20E (bioMérieux) untuk identifikasi
biokimia dan tes aglutinasi bakteri slide untuk menentukan serotip isolate Salmonella
menggunakan antiserum poliklonal kelinci anti-O dan anti-H (Remel Europe). Kultur
persedian disimpan pada nutrient agar yang miring.
Kultur Bakteri. Bakteri tumbuh pada broth LB dengan mengocok semalaman pada
suhu 37 °C. Sel dicuci dengan salin dan disentrifugasi (500 g, selama 10 menit) dan
disuspensi ulang dengan salin. Konsentrasi sel bakteri diperkirakan dengan
membandingkan kekeruhan dari suspensi dengan standar McFarland. Suspensi (i)
dikonsentrasikan menggunakan Microcon YM-10 (Millipore) atau (ii) difiksasi
dengan aseton dengan penambahan 3 volume aseton pada suspensi 10 % (w/v) atau
(iii) dipanaskan pada suhu 100 °C selama 5 menit pada termosikler.
Pada kultur darah yang disimulasi, broth LB yang disuplementasi dengan 20 % darah
(diperoleh dari pekerja laboratorium yang sehat) telah digunakan. Singkatnya, koloni
tunggal dari organisme tes diperoleh dari plat agar yang murni yang diinokulasikan ke
dalam 5 ml broth darah dan diinkubasi semalaman pada suhu 37 °C dengan putaran
(250 r.p.m.). Kultur disentrifus pada 300 g selama 2 menit untuk mendapatkan pellet
sel darah merah. Supernatant yang diperoleh dipanaskan pada suhu 100 °C selama
5 menit pada water bath dan digunakan pada studi.
Pada studi lain, tiga koloni secara acak dipilih dari organisme tes yang tumbuh murni
pada plat agar MacConkey, dan disuspensi ulang pada 4 ml salin. Kekeruhan dari
suspensi diskor terhadap standar McFarland (solusi 5 ml). Suspensi dipanaskan pada
suhu 100 °C selama 5 menit dalam water bath dan digunakan.
Tes TUBEX. Untuk deteksi antibodi, instruksi dari produsen (IDL Biotech) diikuti.
Singkatnya, sampel tes serum (25 µl) dicampur dalam ruang tempat reaksi yang
disediakan (yang mengandung perangkat enam ruang yang identik berbentuk V:
gambar. 1) dengan reagen Brown (partikel magnetic berlapis antigen; 25 µl) selama
2 menit, sebelum dicampur dengan reagen Blue (partikel indicator berlapis antigen;
50 µl) selama 2 menit lainnya (Tam & Lim, 2003). Campuran reaksi kemudian
ditempatkan pada bidang magnet dan hasil warna dibaca segera dan diskor terhadap
grafik warna (skor 0–10). Skor 0–2 dianggap negatif, dan skor 3–10 positif.
Untuk deteksi antigen, sampel tes (25 µl) dicampur dengan reagen Blue (50 µl) pada
ruang reaksi selama 2 menit dan dengan reagen Brown (25 µl) selama 2 menit yang
lain. Hasilnya dibaca setelah sedimentasi dari partikel magnetik.
ELISA. Metode seperti yang dijelaskan sebelumnya (Wun et al., 2001)
diikuti. Singkatnya, mikroplat Immulon-2 (Dynex) dilapisi dengan lima kali lipat
pengenceran serial dari ekstrak antigen mentah (konsentrasi awal 40 µg/ ml)
diinkubasi dengan mAb anti-O9 atau anti-O12 selama satu jam pada suhu ruangan.
Setelah pencucian, Ig kambing berlabel peroxidase anti-tikus (semua kelas) (BD
Sciences) ditambahkan dan diinkubasikan selama 30 menit. Mengikuti perkembangan
substrate (3,3',5,5'-tetramethylbenzidine), hasilnya dibaca pada pembaca Dynex MRII.
Analisis Western blot. Ekstrak antigen mentah (40 µl, 4 mg ml–1; dipanaskan pada
suhu 100 °C selama 5 menit pada buffer loading yang mengandung 20 % 2-
mercaptoethanol, 40 % glycerol dan 8 % SDS) dielektroforesis (100 V) pada 12 % gel
poliakrilamid dibawah kondisi yang berkurang, dan dielektroblot pada 0.22 µm
membran PVDF (Bio-Rad). Setelah diblok dengan 5 % susu skim, membrane
diinkubasi dengan mAb anti-O9 atau anti-O12 semalaman pada suhu 4 °C. pengujian
dikembangkan menggunakan Ig berlabel peroxidase anti-tikus (BD Biosciences) dan
ECL kemiluminesen (Amersham Biotech).

HASIL
Deteksi antigen terlarut dalam buffer dengan TUBEX
Persiapan Buffer yang mengandung berbagai jumlah LPS S. Typhi diperiksa
kemampuannya untuk bereaksi (menghambat) dalam tes TUBEX. Protocol asli yang
digunakan untuk deteksi antibodi awalnya diikuti, di mana persiapan LPS dicampur
dengan butiran magnetic berlapis LPS sebelum inkubasi dengan partikel indicator
berlapis antibodi. Konsentrasi 63 µg ml–1 (kumpulan LPS 1) atau 31 µg ml–
1
 (kumpulan LPS 2) ditemukan reaktif (Gambar. 1c ). Reaktifitas yang diambil
didefinisikan ketika skor TUBEX 3 (Gambar. 1 ), berdasarkan titik potong umum
yang digunakan untuk deteksi antibodi sebagaimana yang dianjurkan oleh produsen,
meskipun untuk mendeteksi antigen dalam buffer, reaktifitas dasar untuk deteksi
antigen dalam studi ini nyaris tidak ada sama sekali (skor 0). Namun, ketika protocol
dimodifikasi untuk secara spesifik mendeteksi antigen sebagai pengganti antibodi
(mencampur sampel tes dengan partikel indicator sebelum menambah partikel
magnetik), sensitifitas deteksi meningkat 2-4 kali lipat. (Gambar. 1c).
Spesifitas deteksi antigen diperiksa menggunakan LPS (mentah atau yang
dimurnikan) yang diperoleh dari berbagai bakteri, meliputi beberapa serotip
Salmonella. Hanya salmonellae  grup D (S. Typhi dan S. Enteritidis) yang ditemukan
reaktif (skor TUBEX , 10; Tabel 1 ). Agaknya, LPS dari organisme grup D yang lain
juga bereaksi, namun tidak dites.
Deteksi antigen diulangi menggunakan 5 sampel urin dan empat sampel serum yang
diperoleh dari individu sehat, masing-masing diberi dengan jumlah LPS S. Typhi
yang bervariasi (batch 1) atau LPS S. Typhimurium. Dengan urin dan serum,
sensitifitas deteksi sedikit terpengaru, menjadi 2–4 kali lipat lebih rendah dari pada
buffer (Tabel 2; gambar. 1b). reaktifitasnya lebih nyata terpengarhu pada konsentrasi
antigen yang lebih rendah (<125 µg ml–1) dari pada konsentrasi yang lebih tinggi pada
semua kasus. Efeknya tergantung pada sampel urin dan serum individu, tetapi tidak
pada pH sampel. Tidak ada reaktifitas yang dapat diamati ketika sampel urin dan
serum diberikan LPS S. Typhimurium.
Spesimen yang sesungguhnya dari pasien tifoid yang kemudian diperiksa untuk
melihat apakah LPS S. Typhi dapat ditemukan. Serum dari Sembilan pasien secara
acak dipilih dari kumpulan serum disimpan beku di laboratorium kami yang diketahi
positif antibodi dengan TUBEX, dan dipanaskan dengan pemberian 1 % SDS pada
suhu 90 °C dalam water bath selama 5 menit. (perlakuan panas telah ditemukan pada
studi pendahuluan untuk menghilangkan semua aktifitas antibodi yang tidak dapat
dipisahkan dalam serum tetapi hana memiliki pengaruh minimal – sekitar 25 % –
aktifitas antigenic LPS S. Typhi ketika diberikan pada serum; aktifitas keduanya
ditentukan dengan TUBEX.) dari Sembilan serum, tiga terkoagulasi oleh panas dan
dibuang. Enam sisanya diperiksa baik aktifitas antibodi maupun antigen dengan
TUBEX. Semuanya didapatkan negative pada aktifitas keduanya. Hal ini
menunjukkan bahwa, jika tidak lebih dari 80 µg ml–1 LPS S. Typhi (kurang lebih. lihat
Tabel 2 ) yang terdapat pada serum tersebut.
Deteksi keseluruhan bakteri dalam buffer atau broth dengan TUBEX
Kemampuan seluruh sel bakteri untuk beraksi (menghambat) pada TUBEX kemudian
diselidiki, menggunakan protocol yang ditetapkan untuk deteksi antigen. Kultur broth
dari berbagai serotip Salmonella, termasuk E. coli, diperoleh dengan pertumbuhan
dalam semalam pada kultur yang dikocok, digunakan tidak diencerkan pada tes. Tidak
ada kultur yang reaktif (Tabel 1). Namun, ketika kultur dikonsentrasikan 10 kali
liipat, baik S. Typhi dan S. Enteritidis menjadi kurang reaktif (skor TUBEX 4–5),
sedangkan S. Paratyphi A, S. Typhimurium dan E. coli masih negatif (tabel 1).
Sebagai tambahan ketika kultur yang tidak dikonsentrasikan dilakukan fiksasi
sebelumnya dengan aseton atau dipanaskan sebelumnya dengan nyala api (hingga
mendidih) atau pada termalsikler (100 °C selama 5 menit), baik S. Typhi dan S.
Enteritidis menadi postif kuat pada TUBEX sedangkan bakteri yang lain masih
negative (Tabel 1). Titrasi dari kultur semalaman S. Typhi yang dipanaskan
sebelumnya menunjukkan bahwa konsentrasi bakteri lebih besar dari 9x10 8 organisme
ml–1 (ekuivalen dengan standar McFarland no. 3) yang diperlukan untuk tes TUBEX.
Kami kemudian menyelidiki apakah TUBEX dapat digunakan secara langsung untung
mengidentifikasi pertumbuhan organisme S. Typhi pada agar MacConkey. Strain
laboratorium dari S. Typhi (2 isolat), S. Paratyphi A, Proteus mirabilis and E.
coli murni diletakan pada plat agar MacConkey, dan koloni yang diperoleh dipilih
secara acak untuk membuat suspensi. Suspensi bakteri (semua memiliki kepadatan sel
>1010 organisme ml–1) dilakukan pemanasan sebelumnya dan digunakan pada
TUBEX. Hanya dua strain S.Typhi yang positif pada tes (Tabel 1).
Kemampuan aplikasi TUBEX untuk mendeteksi Salmonella grup D keseluruhan
organisme pada broth kultur yang disimulasi darah kemudian diperiksa. Strain
laboratorium dari S. Typhi (15 isolat), S. Enteritidis (6 isolat), S. Paratyphi A (7 isolat)
and E. coli (2 isolat) yang tumbuh semalaman dengan kocokan lembut pada broth LB,
disuplementasi dengan 20 % darah manusia. Sampel dari setiap kultur kemudian
diperiksa untuk reaktifitasnya pada TUBEX oleh dua peneliti secara independent.
Hasilnya menunjukkan 13 dari 15 kultur S. Typhi, dan semua 6 kultur S. Enteritidis
positif pada TUBEX (data tidak ditampilkan). Semua kultur yang lain negatif.
Dua isolat S. Typhi yang negative pada TUBEX diperiksa lebih jauh. Penggolongan
biokimia menggunakan API 20E menunjukkan satu dari isolat (#8) 99.9 % spesies
Salmonella (not S. Typhi), sedangkan yang lain (#13) 63.5 % S. Typhi. Tes antigeni
dengan antiserum anti-O dan anti-H yang relevan mengidentifikasi isolat #8 yaitu S.
Typhimurium (positif untuk antigen O [4, 5] dan antigen H [fase 1, i]), dan isolat #13
yaitu S. Typhi (positif untuk antigen O [9] dan H antigen [fase 1, d]).
Isolate #13 telah diselidiki lebih detail. Ekstrak dinding sel (LPS mentah) telah
dipersiapkan dan diperiksa dengan ELISA menggunakan mAb anti-O9 and anti-O12.
dibandingkan dengan LPS S. Typhi yang telah diketahui, ekstrak dari isolat #13
menunjukkan aktifitas antigen yang sangat kecil dengan mAb anti-O9, dan tidak ada
aktifitas dengan anti-O12 (Gambar. 2a). Konfirmasi dari hasil tersebut diperoleh
dengan analisis Western blot menggunakan mAb anti-O9 dan anti-O12 (Gambar. 2b).
sehingga isolat #13 bukan tipikal strain S. Typhi.
Efek keberadaan antigen pada deteksi antibodi dengan TUBEX
Untuk mensimulasi situasi klinis yang mungkin pada pasien dimana baik antigen dan
antibodi spesifik penyakit dapat secara simultan muncul, kami menyelidiki efek reaksi
TUBEX dari penambahan jumlah yang bervariasi dari LPS S. Typhi LPS (batch 1,
Gambar. 1c) terhadap berbagai jumlah mAb anti-O9 mAb dalam buffer,
menggunakan protocol deteksi antibodi. Pada konsentrasi antibodi yang rendah
(40 µg ml–1), di mana skor TUBEX 4 dengan tidak adanya antigen apapun,
penambahan antigen tidak memberi efek hingga 31 µg ml–1, ketika reaktifitas turun
hingga skor 0 (Gambar. 3). Namun, ketika lebih banyak antigen (125–500 µg ml–1)
ditambahkan, peningkatan reaktifitas (skor 2–7) dapat terlihat (gambar 3).
Pada konsentrasi antibodi yang lebih tinggi (100 µg ml–1), di mana skor TUBEX 7
dengan tidak adanya antigen apapun, tidak ada efek yang terlihat ketika 7.8 µg
antigen ml–1 ditambahkan (Gambar. 3). Peningkatan konsentrasi antigen
menyebabkan meningkatnya kehilangan reaktifitas TUBEX, menghasilkan skor nol
pada 63–250 µg antigen ml–1. namun, sedikit perbaikan reaktifitas (skor 2) telah
diamati ketika konsentrasi antigen meningkat lebih jauh hingga 500 µg ml–

(Gambar. 3).
Tren yang sama telah diamati ketika konsentrasi antibodi meningkat lehih jauh (250
µg ml–1; Gambar. 3). Namun, efek antigen umumnya kurang nyata daripada ketika
100 µg ml–1 antibodi digunakan.

DISKUSI
Kami telah mendeskripsikan dua aplikasi yang baru dari TUBEX disamping
penggunaannya untuk mendeteksi antibodi anti-O9: kemampuan untuk mendeteksi
antigen Salmonella O9 (LPS grup D) dalam larutan, dan kemampuan untuk
mengidentifikasi organisme Salmonella grup D secara langsung dari koloni agar atau
dari broth kultur darah. Hal ini menjadikan TUBEX sebagai tes yang unik.
Kemampuan untuk mendeteksi baik antibodi dan antigen secara teoritis penting untuk
diagnosis serologis untuk penyakit infeksi akut karena antigen – tapi bukan antibodi –
diharapkan muncul pada permulaan infeksi sedangkan konversi benar merupakan
stadium lanjut dari penyakit (lihat bawah). Hal ini dapat menjadi satu dari beberapa
alasan mengapa TUBEX telah didapatkan cukup sensitive untuk deteksi antibodi
serum (House et al., 2001; Olsen et al., 2004; Kawano et al., 2007), karena hal ini
mungkin bahwa antigen dibandingkan antibodi berperan dalam reaktifitas yang
terlihat pada beberapa pasien tifoid. Hal ini tidak sesuai dengan fakta bahwa pada
beberapa serum tifoid yang diperiksa dengan TUBEX pada studi ini, tidak satu pun
memiliki aktifitas antigen yang dapat dideteksi. Serum yang digunakan mungkin tidak
sesuai karena mungkin diperoleh lama pada infeksi saat antibodi telah diproduksi
dalam jumlah besar, dan antigen yang diproduksi telah dibersihkan oleh tubuh dalam
bentuk kompleks imun. Hal ini mungkin lebih berhasi untuk memeriksa serum dini.
Peneliti sebelumnya menggunakan penghitungan imunoelektroforesis (Gupta & Rao,
1979; Tsang & Chau, 1981; Sundararaj et al., 1983; Sharma et al., 1997) atau ko-
aglutinasi (Sivadasan et al., 1984) telah menemukan keberhasilan yang bervariasi
(25–100 %) dalam mendeteksi antigen serum dari pasien tifoid.
Meskipunkami belum menyelidiki hal ini dalam studi ini, urin mungkin merupakan
specimen yang lebih menjanjikan dari pada serum untuk mencari antigen. Mengingat
antigen seringnya secara cepat dibersihkan dari sirkulasi, hal ini dengan kata lain,
secara kontinu atau intermiten diekskresi sebagai antigen bebas dalam urin selama
proses infeksi. Keuntungan lain dari penggunaan urin adalah dapat dikonsentrasikan
berkali-kli lipat dengan cara yang sederhana dari volume yang besar untuk
meningkatkan deteksi. Memang, Rockhill et al. (1980) dapat mendeteksi antigen LPS
O9, Vi dan flagel Hd dari urin pada 97 % (59/61) pasien tifoid. Metode yang
digunakan yaitu ko-aglutinasi, yang seperti aglutinasi slide lateks sukar untuk dibaca
dan rentan terhadap pengaruh nonspesifik daripada TUBEX. Yang lebih baru,
menggunakan ELISA sandwich berbasis mAb, Chaicumpa et al. (1992) mendeteksi
antigen O9 dari 65 % pasien tifoid yang kultur darahnya positif ketika sampel urin
tunggal diperiksa, tapi sensitifitasnya meningkat hingga 95 % (21/22) ketika
menggunakan specimen multiple yang dikumpulkan secara serial selama berminggu-
minggu. Keberhasilan yang terakhir yaitu berasal dari patogenesis demam tifoid, di
mana antigen dapat secara intermiten diproduksi dan diekskresi. Menggunakan
ELISA yang berbasis mAb, Fadeel et al. (2004) mengkonfirmasi bahwa antigen O9
dan Hd, begitu pula Vi, dapat ditemukan dalam urin pasien tifoid, dan berhasil dalam
meningkatkan deteksi ketika sampel serial digunakan. Deteksi Vi didapatkan memberi
hasil yang terbaik (32/44 dari 73 %, berdasarkan specimen yang pertama), tapi
spesifisitas deteksinya (3/12 atau 25 %) lebih buruk berdasarkan subyek kontrol yang
mengalami brucellosis. Sensitifitas dan spesifisitas yang sesuai untuk deteksi antigen
O9 yaitu masing-masing 44 % dan 83 %.
Kami memiliki scenario yang mungkin pada pasien tifoid bahwa antigen O9 dan
antibodi spesifik O9 dapat muncul bersamaan dalam sirkulasi pada infeksi stadium
tertentu pada seseorang. Meskipun berdasarkan dugaan karena tidak ada bukti formal
mengenai keberadaannya, hal ini menarik secara mekanisme, meskipun begitu apakah
dengan keberadaan antigen akan berpengaruh atau bahkan meningkatkan deteksi
antibodi dengan TUBEX. Kami menunjukkan (Gamnar. 3) bahwa efek tergantung
pada jumlah relative antigen dan antibodi yang ada. Pada situasi dimana terdapat
antibodi atau antigen dalam jumlah besar, TUBEX masih positif. Namun, ketika
terdapat jumlah yang ekuivalin antibodi dan antigen, tanpa memperhatikan apakah
konsentrasi absolute dari masing-masing tinggi (misalnya 250 µg antibodi ml–1) atau
rendah (misalnya 40 µg antibodi ml–1), reaktifitas TUBEX dapat berkurang secara
nyata, pada beberapa situasi hingga nihil. Hal ini berarti pembentukan komplaks imun
pada konsentrasi yang ekuivalen, di mana sepertinya, semua grup antigen reaktif dan
tempat gabungan antibodi ditempati secara efektif atau terlindungi dari luar imun
kompleks ini juga akan, pada kenyataan, tidak terdeteksi oleh sistem immunoassay
yang lain yang dirancang untuk mendeteksi antigen atau antibodi. Hal ini mungkin
menjadi alasan kenapa tes serologis jarang 100 % sensitif. Namun, meskipun hal ini
mungkin secara masuk akal menjadi factor yang penting ketikda mendiagnosis infeksi
kronis seperti malaria dan hepatitis, masalahnya mungkin kurang parah pada beberapa
kasus demam tifoid dan beberap infeksi akut yang lain.
Pada aspek yang lain dari studi, kami menunjukkan aplikasi yang potensial dari
TUBEX dalam diagnostic mikrobiologi. Kami menunjukkan, pertama bahwa koloni
S. Typhi dicurigai pada plat agar MacConkey primer, hal ini dapat secara cepat dicek
dengan TUBEX. Jika positif, organisme dapat ditentukan serotip, lebih jauh untuk
keberadaan antigen Hd (dan Vi) (Tabel 1) sehingga identifikasi dugaan dapat dibuat
dan dilaporkan identitas dapat kemudian dikonfirmasi dengan analisis biokimia.
Informasi yang berharga kemudian dapat disebarkan sejak dini kepada klinis. Hal
yang sama, jika S.Typhi dicurigai pada broth kultur darah, hal ini dapat secara cepat
ditentukan dengan TUBEX. Jika perlu, sel bakteri dapat dikonsentrasikan. Hemolisis,
ketika muncul tidak menjadi masalah karena pemanasan sebelumnya pada sampel
dapat menghilangkan kemerahan. Sekali lagi, keperluan klinisi dari pendekatan
tersebut perlu dibuktikan pada laboratorium rutin. Meskipun begitu, tes aglutinasi
yang menggunakan partikel lateks berlapis antibodi telah digunakan sebelumnya
untuk identifikasi bakteri S. Typhi dari broth darah (Lim & Fok, 1987; Jesudason et
al., 1994), atau untuk mengidentifikasi organisme Salmonella yang lain dari broth
yang diperkaya dengan feses (Metzler & Nachamkin, 1988; McGowan & Rubenstein,
1989), dari broth yang diperkaya dengan makanan (Cheesbrough & Donnelly, 1996),
atau dari agar padat (Geers & Backes, 1989; Kockaet al., 1992). TUBEX secara
teoritis lebih menarik dan reliabel dari pada tes aglutinasi lateks yang digunakan pada
studi tersebut karena (a) tidak mudah mengalami reaksi nonspesifik karena substansi
yang mengganggu atau perubahan pH pada media karena menggunakan sistem
pengujian inhibisi dua partikel (b) lebih mudah dobaca karena berdasarkan warna (c)
dan secara biologis lebih aman untuk digunakan karena berada dalam sistem tertutup.
Meskipun tidak diselidiki di sini, kultur broth yang diperkaya dengan feses dan
makanan nampaknya cocok untuk pengujian dengan TUBEX sama dengan kultur
darah.
Data pendahuluan yang diperoleh dari studi ini menunjukkan bahwa TUBEX
sensitive dan spesifik untuk mengidentifikasi bakteri Salmonella grup D (Tabel 1).
Tiga belas dari 15 isolat S. Typhi TUBEX positif. Dua isolat yang negative mengarah
pada S. Typhimurium dan strain S. Typhi yang menyimpang yang memiliki sangat
sedikit antigen O9 dan tidak memiliki antigen O12. pada tes TUBEX, hal yang
penting bahwa suspensi sel bakteri dipanaskan atau difiksasi dengan aseton untuk
membuka antigen O9 dari amplop kapsular Vi. Jika termosikler tidak tersedia,
prosedur yang sederhana untuk mempertahankan suspensi bakteri diatas api terbuka
secara intermiten, atau secara konstan meroteasikan tabung dalam beberapa menit,
hingga suspensi mulai mendidih.
Pada kesimpulan peralatan TUBEX memiliki potensi untuk digunakan dengan
beberapa cara untuk mendiagnosis demam tifoid, meliputi deteksi antibodi dan
antigen dari sermum, deteksi antigen dari urin untuk pelengkap deteksi serum, dan
deteksi atau identifikasi seluruh organisme dari plat kultur primer, atau kultur broth
dari darah (atau feses). Namun bukti bahwa terdapat jumlah yang cukup dari antigen
terlarut dalam serum atau urin dari pasien tifoid untuk deteksi memerlukan
penyelidikan mendetail dengan specimen pasien yang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai