Anda di halaman 1dari 38

HEMATOLOGI 3

Nama : Fakhria Sabri Otuhu


NIM : 711345318027
Tingkat/ Semester : III B/ V
Instruktur : Dyan R. Sukandar,SKM,M.Kes

1. RETIKULOSIT

Pengertian:
Retikulosit adalah Sel Darah Merah (SDM) yang masih muda yang tidak berinti dan
berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang. Sel ini mempunyai jaringan
organela basofilik yang terdiri dari RNA dan protoporfirin yang dapat berupa endapan
dan berwarna biru apabila dicat dengan pengecatan biru metilen. Retikulosit akan masuk
ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebih selama 24 jam sebelum akhirnya
mengalami pematangan menjadi eritrosit. Hitung retikulosit pada pasien tanpa anemia
berkisar antara 1 - 2%. Jumlah ini penting karena dapat digunakan sebagai indikator
produktivitas dan aktivitas eritropoiesis di sumsum tulang dan membantu untuk
menentukan klasifikasi anemia sebagai hiperproliferatif, normoproliferatif, atau
hipoproliferatif. Penghitungan jumlah retikulosit ini bisa dilakukan dengan metode
manual menggunakan pengecatan supravital dan bisa dengan analisa otomatis
flowsitometer. (Suega, K, 2010).

Hitung retikulosit digunakan untuk menilai ketepatan reaksi sumsum tulang terhadap
anemia. Hitung retikulosit relatif akurat untuk menunjukkan jumlah produksi eritrosit
dalam sisitem eritropoetik. (Rosita, L, 2006).
Pemeriksaan penyaring untuk menetapkan klasifikasi anemia, seperti jumlah sel darah
merah yang terdiri dari hitung eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit; indeks eritrosit yang
terdiri dari mean cell volume (MCV), mean cell hemoglobin(MCH), mean cell
concentration(MCHC), dan red blood cell distribution width(RDW); serta pemeriksaan
tambahan berupa morfologi darah tepi, dan hitung retikulosit. (Rosita, L, 2006).
Menurut NCLLS-ICSH 1997, retikulosit adalah sel yang dapat dilihat dengan pewarnaan
supravital yang mewarnai asam nukelat dan harus mempunyai lebih dari 2 granula yang
dapat dilihat dengan mikroskop cahaya dan granula tersebut tidak boleh berada di tepi
membran sel. Pewarnaan supravital yang dapat digunakan adalah larutan Brilliant Cresyl
Blue, New Methylene Blue, Azure B, Acridine orange untuk metoda visual dan zat warna
fluorokrom seperti Thiazole orange, Auramine O, Oxazine dan Polymethine yang bisa
digunakan pada metode otomatik.

Fisiologi Retikulosit
Retikulosit adalah eritrosit muda yang sitoplasmanya masih mengandung sejumlah sisa-
sisa ribosom dan RNA yang berasal dari sisa inti dari bentuk pendahulunya normoblas.
Retikulosit berukuran lebih besar dari eritrosit dan berwarna lebih biru. Ciri-ciri
morfologi: ukuran: 8 - 12 mikron, bentuk: bulat, warna sitoplasma: pucat, granularitas:
granul tunggal atau multipel, pekat, lembayung, bentuk inti: tidak ada, distribusi dalam
darah: 0.5 - 1.5 % dari jumlah eritrosit. Retikulosit adalah eritrosit yang lebih muda
daripada eritrosit dewasa, beredar sebagai retikulosit 1 - 2 hari, ukuran 8-9 mikron dan
didalam sitoplasmanya terdapat sisa-sisa inti yang tersusun secara retikulair, berupa RNA
dan reticulum. Retikulosit berkembang dan matang di sumsum tulang merah dan
disirkulasikan dalam pembuluh darah sebelum matang menjadi eritrosit. Banyak
retikulum tergantung pada umur retikulosit yaitu makin muda makin banyak, makin tua
makin kurang retikulumnya. Retikulosit mempunyai sedikit retikulum dan mempunyai
granula-granula.
Hitung Retikulosit
Sampel darah yang digunakan untuk hitung retikulosit adalah darah kapiler atau vena,
dengan antikoagulan (EDTA) atau tanpa antikoagulan (segar).
Hitung retikulosit merupakan indikator aktivitas sumsum tulang dan digunakan untuk
mendiagnosis anemia. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan
eritropoesis yang hampir akurat. Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi
menggambarkan akselerasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. (https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://labkesehatan.blogspot.com/2009/12/hitung-retikulosit.html%3Fm%3D1%23:~:text%3DHitung%2520retikulosit
%2520merupakan%2520indikator%2520aktivitas,produksi%2520eritrosit%2520dalam%2520sumsum%2520tulang.&ved=2ahUKEwi7-
M6Gj8zrAhUaU30KHWKsDvsQFjAHegQIDRAI&usg=AOvVaw0r-Nc0s_csptUDWeccqgl-)

Tujuan Pemeriksaan
Menghitung jumlah retikulosit untuk mengetahui apakah sumsum tulang memberi respon
adekuat pada kebutuhan tubuh terhadap sel drah merah dan membantu menggambarkan
penyebab dan klasifikasi anemia.
(http://m.prodia.co.id/id/produklayanan/pemeriksaanlaboratoriumdetails/retikulosit)
Prinsip pemeriksaan
Retikulosit adalah eritrosit muda yang tidak berinti dan di dalam sitoplasmanya masih
terdapat sisa ribosom dan RNA. Sisa ribosom dan RNA dapat dilihat dengan pewarnaan
New Methylene Blue (NMB) atau Brilliant Cresyl Blue (BCB). Sisa RNA tampak
sebagai filamen atau granula berwarna ungu atau biru tergantung zat warna yang dipakai
dan hanya terlihat pada sediaan yang tidak difiksasi dan diwarnai dalam keadaan vital
(Riadi Wirawan, 2011).

Metode pemeriksaan
Ada 2 metode pemeriksaan, yaitu cara sediaan basah dan sediaan kering.
Sediaan basah
 Taruhlah satu tetes larutan BCB dalam metilalkohol (metanol) di tengah-tengah kaca
obyek dan biarkan sampai kering atau taruhlah satu tetes larutan zat warna BCB di
atas kaca obyek.
 Taruhlah setetes kecil darah di atas bercak kering atau ke atas tetes zat warna dan
segeralah campur darah dan zat warna itu dengan memakai sudut kaca obyek lain.
 Tutuplah tetes darah itu dengan kaca penutup, lapisan darah dalam sediaan basah ini
harus tipis benar.
 Biarkan beberapa menit atau masukkanlah ke dalam cawan petri yang berisi kertas
saring basah jika sekiranya pemeriksaan selanjutnya terpaksa ditunda.
 Periksalah memakai lensa minyak imersi dan tentukan berapa banyak retikulosit
didapat antara 1000 eritrosit.

Sediaan basah

 Taruhlah satu tetes larutan BCB dalam metilalkohol (metanol) di tengah-tengah


kaca obyek dan biarkan sampai kering atau taruhlah satu tetes larutan zat warna
BCB di atas kaca obyek.
 Taruhlah setetes kecil darah di atas bercak kering atau ke atas tetes zat warna
dan segeralah campur darah dan zat warna itu dengan memakai sudut kaca
obyek lain.
 Tutuplah tetes darah itu dengan kaca penutup, lapisan darah dalam sediaan basah
ini harus tipis benar.
 Biarkan beberapa menit atau masukkanlah ke dalam cawan petri yang berisi
kertas saring basah jika sekiranya pemeriksaan selanjutnya terpaksa ditunda.
 Periksalah memakai lensa minyak imersi dan tentukan berapa banyak retikulosit
didapat antara 1000 eritrosit.

Nilai Rujukan

 Dewasa : 0.5 - 1.5 %


 Bayi baru lahir : 2.5 - 6.5 %
 Bayi : 0.5 - 3.5 %
 Anak : 0.5 - 2.0 %

Kelebihan dan kekurangan metode pemeriksaan

Kelebihan cara basah adalah lebih mudah, ringkas dan waktu yang diperlukan lebih
singkat/efisien. Kelemahan cara basah adalah tidak dapat disimpan dengan waktu yang
cukup lama dan sel retikulosit bergerak menyebabkan sel dapat terhitung ulang.

Kelebihan cara kering yaitu, sediaan dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama jika
harus dilakukan penundaan pemeriksaan. Kelemahan cara kering ada pada proses
pembuatan sediaan karena dikerjakan cukup lama (Kusnadi Supriadi Hidayat).

Pewarnaan

Komposisi larutan BCB atau larutan NMB adalah sebagai berikut:

Brilliant cresyl blue/new methylene blue 1g

Larutan sitrat salin 100 mL

Larutan sitrat salin dibuat dengan mencampur 1 bagian larutan natrium sitrat 30 g/L dengan
bagian larutan NaCl 9,0 g/L, kemudian larutan disaring (Riadi Wirawan, 2011).

Sumber kesalahan dalam pemeriksaan

 Zat warna yang tidak disaring mungkin mengendap pada eritrosit sehingga mengganggu
pembacaan sediaan.
 Waktu inkubasi campuran antara darah dan zat warna kurang lama, paling sedikit
diperlukan waktu 30 menit.
 Campuran darah dan zat warna tidak dicampur sampai homogen sebelum membuat
sediaan. Retikulosit mempunyai berat jenis yang lebih rendah dari eritrosit sehingga
cenderung berada di bagian atas dari campuran. Campuran antara darah dengan zat warna
perlu dicampur dengan baik sebelum dibuat sediaan apus.
 Menghitung di daerah yang jumlah eritrositnya terlalu padat.
 Jumlah eritrosit yang dihitung tidak mencapai 1000 atau tidak mencapai 10 lapang
pandang.
 Kesalahan dalam membedakan benda inklusi (benda Heinz dan hemoglobin H) dan
retikulosit. Retikulosit berwarna biru dengan filamen dan granula berwarna biru tua.
Badan Heinz tampak sebagai badan inklusi yang berukuran 1-3 mikrometer, berwarna
biru tua dan biasanya berada dekat membran eritrosit, kadang-kadang tampak di luar
eritrosit. Inklusi hemoglobin H terlihat sebagai badan bulat yang multipel berwarna biru
kehijauan (Riadi Wirawan, 2011).

Masalah Klinis

 Penurunan jumlah : Anemia (pernisiosa, defisiensi asam folat, aplastik, terapi radiasi,
pengaruh iradiasi sinar-X, hipofungsi adrenokortikal, hipofungsi hipofisis anterior, sirosis
hati (alkohol menyupresi retikulosit)
 Peningkatan jumlah : Anemia (hemolitik, sel sabit), talasemia mayor, perdarahan kronis,
pasca perdarahan (3 - 4 hari), pengobatan anemia (defisiensi zat besi, vit B12, asam
folat), leukemia, eritroblastosis fetalis (penyakit hemolitik pada bayi baru lahir), penyakit
hemoglobin C dan D, kehamilan.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi temuan hasil laboratorium :
 Bila hematokritnya rendah maka perlu ditambahkan darah
 Cat yang tidak disaring menyebabkan pengendapan cat pada sel-sel eritrosit sehingga
terlihat seperti retikulosit
 Menghitung di daerah yang terlalu padat
 Peningkatan kadar glukose akan mengurangi pewarnaan
(https://www.infolabmed.com/2016/07/retikulosit-dan-prosedur-pemeriksaannya.html)
2.SEL LE

Pengertian

Pada lupus eritematosus disseminata atau lupus eritematosus sistemik (SLE), terdapat
autoantibodi (faktor LE) dalam fraksi gamma globulin yang berpengaruh terhadap lekosit yang
telah rusak. Autoantibodi yang mengarah ke fenomena sel LE mengikat histon pada inti sel.
Lekosit itu berubah menjadi massa yang homogen dan bulat yang kemudian difagosit oleh
lekosit polymorfonuclear normal.

Sel LE ditemukan pertama kali pada tahun 1948 oleh hematologist klinis Amerika, Malcolm
Hargraves dan Robert Morton bersama seorang teknisi laboratorium Helen Richmond. Mereka
telah mengamati dua fenomena yang tidak biasa pada beberapa sediaan sumsum tulang, yang
mereka sebut sebagai “sel tart” dan “sel LE”.

Tujuan pemeriksaan

Pengujian ini terutama digunakan untuk mendiagnosis lupus eritematosus sistemik (SLE).
Sekitar 50% sampai 75% dari pasien dengan lupus mempunyai tes positif. Namun, beberapa
pasien dengan rheumatoid arthritis, skleroderma, dan drug-induced lupus erythematosus juga
memiliki tes sel LE positif.

Prosedur

Pemeriksaan sel LE dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : cara Magath dan Winkle
(modifikasi dari Zimmer dan Hargraves), cara Zinkham dan Conley, dan cara Mudrick.

Cara Magath dan Winkle (modifikasi dari Zimmer dan Hargraves)

 Kumpulkan darah vena 8-10 ml dan biarkan darah itu membeku dalam tabung kering dan
bersih.
 Biarkan 2 jam pada suhu kamar atau 30 menit dalam pengeram dengan suhu 37oC.
Pisahkan bekuan dari serum lalu bekuan itu digerus dan disaring melalui saringan kawat
tembaga.
 Hasil saringan dimasukkan dalam tabung Wintrobe dan dipusingkan dengan kecepatan
3000 rpm selama 10 menit.
 Buang serum bagian atas, ambil lapisan sel paling atas (buffycoat) dengan pipet pastur
lalu teteskan di atas obyek glass dan buat sediaan apus.
 Warnai sediaan dengan larutan pewarna Giemsa atau Wright dan cari sel-sel LE di bawah
mikroskop.

Cara Zinkham dan Conley

 Kumpulkan darah vena 8-10 ml, biarkan pada suhu kamar selama 90 menit.
 Kocok darah tersebut dengan alat rotator selama 30 menit.
 Masukkan darah tersebut ke dalam tabung Wintrobe dan pusingkan selam 10 menit
dengan kecepatan 3000 rpm.
 Buat sediaan apus seperti cara di atas.

Cara Mudrick

 Ambil darah kapiler dan masukkan ke dalam tabung kapiler yang dilapisi heparin seperti
yang dipakai untuk mikrohematokrit.
 Tutuplah salah satu ujung tabung tersebut dengan dempul dan pusingkan selama 1 menit
dengan centrifuge mikrohematokrit.
 Masukkan kawat baja halus ke dalam tabung kapiler dan putar-putarlah kawat itu untuk
mencampur buffycoat dengan plasma dan untuk merusak lekosit-lekosit.
 Inkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC atau biarkan selama 2 jam pada suhu kamar.
Pusingkan lagi seperti di atas.
 Kemudian patahkan tabung kapiler dekat lapisan buffycoat lalu sentuhkan ujung tabung
yang dipatahkan itu ke permukaan kaca obyek dan buatlah sediaan apus.
 Warnai sediaan dengan Giemsa atau Wright dan periksa di bawah mikroskop untuk
mencari sel-sel LE.

Sel LE tampak sebagai massa homogen yang difagosit oleh lekosit polymorphonuclear. Sel LE
sering tampak seperti kue tart, sehingga juga disebut sel tart. Massa homogen yang dikelilingi
oleh banyak se lekosit polymorphonuclear dikenal dengan nama sel rosette; sel ini dianggap
sebagai sel LE yang belum sempurna atau sel pre-LE.

Pembentukan sel LE berlaku in vitro saja karena memerlukan adanya sel-sel lekosit yang
rusak. Teknik membuat sediaan sangat berpengaruh terhadap hasil laboratorium.

Adanya sel LE merupakan bukti adanya autoantibodi atau faktor LE. Tidak menemukan sel
LE bukan berarti tidak adanya penyakit SLE pada pasien yang bersangkutan. Tes sel LE kini
jarang dilakukan karena tes yang lebih baik sekarang ada untuk membantu mendiagnosis
lupus.

Nilai Rujukan

Hasil normal : negatif

(http://labkesehatan.blogspot.com/2010/05/sel-le.html?m=1)
3. RUMPEL LEED

Pengertian

Rumple leed test adalah salah satu cara yang paling mudah dan cepat untuk menentukan apakah
terkena demam berdarah atau tidak. Rumple leed adalah pemeriksaan bidang hematologi dengan
melakukan pembendungan pada bagian lengan atas selama 10 menit untuk uji diagnostik
kerapuhan vaskuler dan fungsi trombosit.

Prosedur pemeriksaan Rumple leed tes yaitu:

Pasang ikatan sfigmomanometer pada lengan atas dan pump sampai tekanan 100 mmHg (jika
tekanan sistolik pesakit < 100 mmHg, pump sampai tekanan ditengah-tengah nilai sistolik dan
diastolik).

Biarkan tekanan itu selama 10 menit (jika test ini dilakukan sebagai lanjutan dari test IVY, 5
menit sudah mencukupi).

Lepas ikatan dan tunggu sampai tanda-tanda statis darah hilang kembali. Statis darah telah
berhenti jika warna kulit pada lengan yang telah diberi tekanan tadi kembali lagi seperti warna
kulit sebelum diikat atau menyerupai warna kulit pada lengan yang satu lagi (yang tidak diikat).

Cari dan hitung jumlah petechiae yang timbul dalam lingkaran bergaris tengah 5 cm kira- kira 4
cm distal dari fossa cubiti.

Catatan:

 Jika ada > 10 petechiae dalam lingkaran bergaris tengah 5 cm kira-kira 4 cm distal dari
fossa cubiti test Rumple Leede dikatakan positif. Seandainya dalam lingkaran tersebut
tidak ada petechiae, tetapi terdapat petechiae pada distal yang lebih jauh daripada itu, test
Rumple Leede juga dikatakan positif.
 Warna merah didekat bekas ikatan tensi mungkin bekas jepitan, tidak ikut diikut sebagai
petechiae

 pasien yg “tek” darahnya tdk diketahui, tensimeter dapat dipakai pada “tek” 80 mmHg

 pasien tidak boleh diulang pada lengan yang sama dalam waktu 1 minggu

Intepretasi Hasil :

(-) = tidak didapatkan petechiae

(+1) = timbul beberapa petechiae dipermukaan pangkal lengan

(+2) = timbul banyak petechiae dipermukaan pangkal lengan

(+3) = timbul banyak petechiae diseluruh permukaan pangkal lengan & telapak tangan

muka & belakang

(+4) = banyak sekali petechiae diseluruh permukaan lengan, telapak tangan & jari,

muka & belakang

Ukuran normal: negative atau jumlah petechiae tidak lebih dari 10

(https://ekasyamputra.wordpress.com/2013/02/01/pemeriksaan-rumple-leed-tes-tourniquet-test/)
diakses 3 September 2020, pukul 13.28 WIB
4.RETRAKSI BEKUAN

Pengertian

Retraksi bekuan merupakan pemeriksaan untuk menguji fungsi trombosit. Darah yang digunakan
dalam pemeriksaan ini adalah darah vena. Dalam beberapa menit setelah terbentuk, bekuan darah
mulai menciut dan biasanya memeras keluar hampir seluruh cairan dari bekuan itu dalam, 30
sampai 60 menit. Cairan yang terperas keluar disebut serum, sebab seluruh fibrinogen dan
sebagian besar faktor-faktor pembekuan yang lain telah dikeluarkan; dan dengan demikian serum
berbeda dari plasma. Jelas bahwa serum tidak dapat membeku karena tidak mengandung faktor-
faktor pembekuan. Trombosit diperlukan untuk terjadinya retraksi bekuan.

Oleh sebab itu kegagalan pada proses retraksi merupakan tanda bahwa jumlah trombosit yang
beredar dalam darah adalah kurang.

Tujuan pemeriksaan

 Kadar fibrinogen
 Jenis permukaan yang bersentuh dengan darah beku
 Kwalitas dan kwantitas trombosit
 Hct
 Beberapa keadaan seperti : myeloma, pneumonia, dan ikterus.

Jika darah yang diperiksa mempunyai nilai Hct rendah dengan sendirinya jumlah serum yang
diperas keluar lebih banyak dari biasa. Pada keadaan ini dan juga pada erytositosis sebagai
gantinya dapat diukur jumlah serum yang ketinggalan dalam bekuan, yaitu volume cairan bekuan
(Gandasoebrata,2010).

Dengan terjadinya retraksi bekuan, ujung-ujung robekan pembuluh darah ditarik saling
mendekat, sehingga memungkinkan terjadinya hemostasis. (Hoffbrand & Moss, 2007)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi retraksi bekuan:


1. Kadar fibrinogen

2. Faktor-faktor pembekuan dalam serum darah

3. Jenis permukaan yang bersentuhan dengan darah beku

PROSEDUR KERJA

PRA ANALITIK

1. Alat

 Tabung centrifuge
 Lidi
 Spuit
 Torniquet

2. Sampel

 Darah vena

3. Probandus

 Nama : jacinto da costa


 Umur : 28 thn
 Jenis Kelamin : L
 Alamat : bandar- lor

ANALITIK

1. Prinsip

5 ml darah segera diambil dari vena dimasukkan dalam tabung centrifuge dan setelah membeku
darah ini diinkubasi pada suhu 300 selama 1 jam. Serum serta sel-sel darah yang terperas keluar
dari bekuan diukur volumenya dan dinyatakan dalam % dari volume darah seluruhnya.

2. Tujuan

 Untuk mengetahui fungsi trombosit yang sebenarnya.


3. Prosedur kerja

 Diambil 5 ml darah dalam tabung centrifuge bergaris dimasukkan pula sebatang lidih ke
dalam tabung tersebut. Catatlah volume tersebut.
 Diinkubasi dalam suhu 300 C selama 1-2 jam.
 Bekeuan darah diambil dengan mengangkat lidih tersebut.
 Catatlah volume terperas dan nyatakan dalam volume % dan volume darah semula.

POST ANALITIK

Nilai normal

 Volume cairan terperas : 40-60 vol %


 Volume cairan bekuan : 0-20 vol %

(http://abythagomes1.blogspot.com/2015/01/laporan-analis-kesehatan-retraksi-bekuan.html?
m=1)
5.MASA REKALSIFIKASI

Masa rekalsifikasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyusun fibrin dari
plasma rendah trombosit yang tidak mengandung Ca2+ dengan penambahan CaCl2, .Masa
rekalsifikasi digunakan untuk mengetahui adanya kelainan defisiensi faktor intriksik yaitu
faktor pembekuan V, VII, IX, X, XI, XII, protombin dan fibrinogen.
Reagen yang digunakan untuk pemeriksaan masa rekalsifikasi adalah larutan kalsium
klorida 0,025 M dan larutan natrium klorida 9,5%. Fungsi penambahan CaCl 2 adalah untuk
mengaktifkan ion Ca2+ yang berfungsi sebagai katalisator terbentuknya fibrinogen, karena Ca
mengendap saat dilakukan pemusingan. Ca diperlukan untuk mempercepat terbentuknya
benang fibrin hingga terjadi bekuan ( Bakta IM, 2007).
Pemeriksaan masa rekalsifikasi dipengaruhi oleh trombosit, semakin banyak trombosit
maka semakin singkat masa rekalsifikasi. Untuk menyingkirkan tromboit dianjurkan
memakai plasma rendah trombosit yaitu dengan pemusingan 20 menit pada kecepatan 3000
rpm sehingga plasma hanya mengandung sedikit trombosit. Dalam keadaan normal waktu
rekalsifikasi antara 90 – 250 detik
(Gandasoebrata, 2007 ).

Penggunaan Tabung pada Pemeriksaan Masa Rekalsifikasi


Pemeriksaan masa rekalsifikasi digunakan untuk mencari adanya kekurangan faktor –
faktor pembekuan dari jalur intrinsik, yaitu faktor pembekuan V, VIII, IX, X, XI, XII,
protombin dan fibrinogen. Pada dasarnya pemeriksaan masa rekalsifikasi adalah plasma
rendah trombosit yang tidak mengandung ion Ca ditambahkan sejumlah CaCl2, lamanya
waktu untuk menyusun fibrin adalah masa rekalsifikasi ( Gandasoebrata, 2007 ).
Syarat yang harus dilakukan dalam pemeriksaan masa rekalsifikasi adalah antikoagulan yang
dipakai yaitu Na Sitrat 3,8% dengan perbandingan 1 : 9, mengontrol alat, bahan, reagen, suhu,
sampel harus segera diperiksa dalam waktu maksimal 2 jam dan tabung yang dipakai adalah
tabung plastik sekali pakai, jika menggunakan tabung kaca harus bersih tanpa sisa sabun dan
detergent ( Waterbury, Larry, 1998 ).
Masa rekalsifikasi digunakan untuk mencari adanya kekurangan faktor – faktor dari jalur
intrinsik yaitu faktor pembekuan V, VIII, IX, X, XI, XII, protombin dan fibrinogen. Aktivasi
faktor pembekuan tersebut dapat di cegah dengan menggunakan tabung plastik yang dilapisi
silikon. Penggunaan tabung kaca apabila sering digunakan atau di cuci dapat menyebabkan
permukaan kaca tergores. Sehingga menyebabkan faktor pembekuan teraktivasi khususnya
faktor
XII atau faktor kontak ( Setiabudy, 2009 ).
Faktor – faktor yang mempengaruhi masa rekalifikasi
1. Antikoagulan Na Sitrat 3,8%
Pada pemeriksaan koagulasi digunakan antikoagulan natrium sitrat 3,8% dengan
perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian natrium sitrat. Natrium sitrat merupakan
larutan yang isotonik dengan darah dan sering digunakan untuk pemeriksaan kelainan
pembekuan dan pemeriksaan laju endap
darah.Plasma sitrat tidak mengandung ion Ca2+ , karena ion Ca2+ diikat oleh sitrat pada
proses sentrifugasi.
2. Suhu
Suhu yang di pakai pada pemeriksaan masa rekalsifikasi tidak boleh <37˚ C karena jika
tidak sesuai dengan suhu tubuh manusia plasma dan fibrin akan rusak oleh karena itu
hasil masa rekalsifikasi akan lebih panjang.
3. Waktu penyimpanan
Plasma sitrat yang di simpan dalam suhu kamar (25-30˚C ) sebaiknya di periksa kurang
dari 2 jam, karena plasma mengandung semua jenis protein yang ada di dalam darah.
Setelah di simpan maka aktivitas faktor V dan VII akan menurun sehingga akan
menghambat aktivitas pembentukan
fibrin (Santosa, 2008 ).
4. Volume
Volume berpengaruh dalam pembentukan fibrin. Volume yang lebih rendah akan
memerlukan waktu yang lebih singkat dalam pembentukan fibrin karena pada volume
50% partikel trombosit lebih mudah menyusun benang fibrin ( Atmoko, 2014 ).
5. Plasma rendah trombosit
Dalam pemeriksaan masa rekalsifikasi digunakan plasma rendah trombosit. Semakin
banyak jumlah trombosit maka semakin singkat masa rekalsifikasinya. Untuk
memperoleh plasma rendah trombosit dilakukan pemusingan 3000 rpm selama 20 menit
sehingga plasma hanya
mengandung sedikit trombosit (Gandasoebrata,2007).
6. Masa Perdarahan (Bleeding Time) Cara Duke
Pengertian
Masa perdarahan atau bleeding time (BT) merupakan salah satu pemeriksaan hemo
stasis dengan metode tradisional (baca:jadul) yang sering digunakan untuk
memperkirakan resiko terjadinya perdarahan akibat pembedahan. Pemeriksaan BT sudah
ditinggalkan di berbagai negara maju karena standarisasi pemeriksaan yang sulit dan
variasi antar pemeriksa yang lebar. Di Indonesia, terutama di era BPJS, pemeriksaan ini
semakin populer karena kemudahan pemeriksaan dan harga yang relatif lebih murah
dibanding pemeriksaan hemostasis yang lain.
Tujuan BT
adalah untuk menilai fungsi kapiler dan trombosit, sehingga jika ada kelainan pembuluh
darah kapiler, jumlah dan/atau fungsi trombosit, nilai BT menjadi abnormal.
Beberapa kelainan ini diantaranya adalah:
kelainan kolagen, contoh: Sindroma Ehlers Danlos
trombositopenia, biasanya <50.000/ul, contoh karena demam berdarah atau ITP
kelainan fungsi trombosit, bisa karena konsumsi obat-obatan seperti aspirin dan
clopidogrel
Von Willebrand disease (VWD)
hipofibrinogenemia
penyakit mieloproliferatif
uremia

Ada 2 cara pemeriksaan BT, yaitu cara Duke dan cara Ivy. Cara Duke lebih sering
digunakan di Indonesia, karena perlukaannya lebih kecil dibandingkan cara Ivy. Cara
duke dilakukan dengan menusukkan lancet ke cuping telinga, sedangkan cara Ivy
dilakukan dengan menggoreskan scalpel di lengan bawah sepanjang 6 mm. Artikel ini
hanya membahas pemeriksaan BT cara Duke.

Pemeriksaan BT cara Duke


Alat yang digunakan pada pemeriksaan BT cara Duke:
 Stopwach
 Kapas alkohol 70%
 Kertas saring
 Lancet steril

Langkah pemeriksaan BT cara Duke:


1. Letakkan handuk pada pundak, untuk antisipasi darah tiba-tiba mengucur
mengenai pundak pasien
2. Disinfeksi cuping telinga dengan kapas alkohol 70% dan tunggu kering
3. Pegang cuping telinga antara ibu jari dan telunjuk.
4. Tusuk pinggir cuping telinga dengan lancet sedalam 2 mm.
5. Ketika titik darah terlihat, hidupkan stopwatch
6. Darah yg keluar dihisap dengan kertas saring setiap 30 detik, tapi tidak boleh
menyentuh lukanya.
7. Tampung lagi tetesan-tetesan darah berikutnya setiap 30 detik. Normalnya, ukuran
tetesan makin lama makin kecil
8. Kalau darah tidak keluar, stopwatch dihentikan. Catat waktu yang ditunjukkan
pada stopwatch, atau hitung banyaknya tetesan darah pada kertas saring, lalu kali
30 detik.
 

Menampung tetesan darah pada kertas saring, dan menghitung jumlah tetesan. (Gambar
diambil dari Pedoman Teknik Dasar untuk Laboratorium Kesehatan)
 
Laporkan masa perdarahan dalam satuan menit, dengan pembulatan pada setengah menit
terdekat, disertai dengan nilai normalnya (nilai normal metode Duke: 1-5 menit).
Jika didapatkan hasil BT yang abnormal atau memanjang, maka perlu dipikirkan beberapa
penyebab yaitu kelainan pembuluh darah atau trombosit. Riwayat penggunaan obat-
obatan yang dapat mengganggu fungsi trombosit seperti aspirin juga perlu digali lebih
lanjut. Pemeriksaan laboratorium yang dapat disarankan adalah:
 pemeriksaan DL termasuk apusan darah tepi, terutama untuk melihat jumlah dan
morfologi trombosit
 pemeriksaan fungsi trombosit
 pengukuran aktivitas Von Willebrand Factor
 
Pada pasien hemofilia atau kecenderungan perdarahan akibat kekurangan faktor
koagulasi, hasil BT biasanya normal, sehingga hasil BT yang normal tidak dapat
menyingkirkan adanya kecenderungan perdarahan yang signifikan pada seorang pasien.
7.Masa pembekuan
Pengertian
Masa pembekuan atau clotting time (CT) adalah lamanya waktu yang diperlukan darah untuk
membeku. Dalam tes ini hasilya menjadi ukuran aktivitas faktor-faktor pembekuan darah,
terutama faktor-faktor yang membentuk tromboplastin dan faktor yang berasal dari trombosit
(Gandasoebrata, 2001). Penurunan masa pembekuan terjadi pada penyakit thromboplebitis,
infark miokard (serangan jantung), emboli pulmonal (penyakit paru-paru), penggunaan obat
barbiturat, kontrasepsi hormonal wanita, vitamin K, digitalis (obat jantung), diuretik (obat yang
berfungsi mengeluarkan air jika ada pembengkakan), sedangkan perpanjangan masa pembekuan
terjadi pada penderita penyakit hati, kekurangan faktor pembekuan darah, leukemia, dan gagal
jantung kongestif (Sutedjo, 2009). Estrogen dapat meningkatkan koagulabilitas (daya beku)
darah, meningkatkan faktor pembekuan yaitu Faktor II, VII, IX dan X dalam darah serta
menurunkan antitrombin III (Marks et al., 2000).

Menurut Gandasoebrata (2001) metode pemeriksaan clotting time yaitu metode tabung
(modifikasi Lee dan White), metode tabung kapiler (menurut Duke), dan metode slide.
Pemeriksaan clotting time dengan menggunakan darah lengkap sebenarnya satu pemeriksaan
yang kasar tetapi diharapkan mampu mewakili proses pembekuaan yang terjadi di dalam tubuh
secara in vitro sehingga diantara pemeriksaan yang menggunakan darah lengkap metode yang
paling banyak digunakan dan dianggap paling baik adalah metode tabung (modifikasi Lee dan
White). Meskipun cara tersebut dianggap paling baik, tetapi masih banyak laboratorium yang
tidak menggunakan dan lebih memilih metode slide dengan alasan sampel yang dibutuhkan
sedikit yaitu sebanyak 2 tetes darah, prosedur pemeriksaan yang sederhana sehingga
membutuhkan waktu yang sedikit dibandingkan dengan metode tabung yang menggunakan
sampel sebanyak 4 ml darah dan prosedur pemeriksaan yang kompleks sehingga membutuhkan
waktu yang lama. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
8. Hemostatis PT dan APTT

PRINSIP PEMERIKSAAN
PT dan APTT dilakukan dengan menambahkan reagensia aPTT yang mengandung aktivator
plasma dan phospolipid ke dalam sampel. Phospholipid berfungsi sebagai pengganti trombosit.
Campuran larutan kemudian diinkubasi, lalu dikalsifikasi dengan calsium chloride. Waktu
terbentuknya bekuan dicatat sebagai aPTT.

Prothrombin Time (PT)/ Masa Protrombin Plasma


Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses
pembekuan. Protrombin dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin yang diperlukan untuk
membentuk bekuan darah. Uji masa protrombin (prothrombin time, PT) untuk menilai
kemampuan faktor koagulasi jalur
ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V
(proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan
VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10%
dari nilai normal.20,21

Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat mensintesis protrombin. PT
memanjang karena defisiensi faktor koagulasi ekstrinsik dan bersama jika kadarnya <30%.
International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) menganjurkan
tromboplastin jaringan yang digunakan harus distandardisasi dengan tromboplastin rujukan dari
WHO untuk mendapatkan
International Sensitivity Index (ISI).

International Normalized Ratio (INR) adalah satuan yang lazim digunakan untuk pemantauan
pemakaian antikoagulan oral. INR didadapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan
nilai PT normal kemudian dipangkatkan dengan ISI. INR merupakan rancangan untuk
memperbaiki proses pemantauan terhadap terapi warfarin sehingga INR digunakan sebagai uji
terstandardisasi internasional untuk PT. INR dirancang untuk pemberian terapi warfarin jangka
panjang dan hanya boleh digunakan setelah respons klien stabil terhadap warfarin. Stabilisasi
memerlukan waktu sedikitnya seminggu. Standar INR tidak boleh digunakan jika klien baru
memulai terapi warfarin guna menghindari hasil yang

salah pada uji penetapan.20,21

Bahan pemeriksaan untuk uji PT adalah plasma sitrat yang diperoleh dari sampel darah
vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109M) dengan perbandingan 9:1. Darah sitrat
harus diperiksa dalam waktu selambat- lambatnya 2 jam setelah pengambilan. Sampel diputar
selama 10 menit dengan kecepatan 2.500x. Plasma dipisahkan dan disimpan pada suhu 20+5 0C.
Penyimpanan sampel plasma pada suhu 2-8oC menyebabkan teraktivasinya faktor VII
(prokonvertin) oleh sistem kalikrein.21

PT dapat diukur secara manual (visual), fotooptik atau elektromekanik. Teknik manual
memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan
dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode
ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar
dengan cepat dan teliti. Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke
dalam plasma yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion
kalsium. Reagen yang digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan
dalam larutan CaCl2.21
Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya : Tromboplastin jaringan
berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru dari kelinci dalam larutan CaCl2
dengan pengawet sodium azida (mis.
Neoplastine CI plus) Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan
pengawet (mis. Thromborel S).21

Nilai normal uji PT adalah 11-13.5 detik. Namun hasil ini bisa bervariasi untuk setiap
laboratorium tergantung pada peralatan dan reagen yang digunakan. Pemberian heparin dapat
meningkatkan nilai PT karena terjadi pemanjangan waktu pembekuan darah. Pemanjangan
tersebut masih dapat dikatakan dalam batas aman untuk tidak terjadi perdarahan jika
International Normalized Ratio (INR) kurang dari 2. INR adalah rasio PT setelah pemberian
heparin dengan PT normal.21

Hasil PT memanjang terjadi pada : Penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker
hati, jaundice), afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V,
VII, X), disseminated intravascular coagulation (DIC) dan fibrinolisis. Sedangkan hasil
memendek dapat terjadi pada tromboflebitis, infark miokardial, embolisme pulmonal. Serta
pengaruh obat : barbiturate, digitalis, diuretic, difenhidramin (Benadryl), kontrasepsi oral, dan
rifampin.

Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :

1. Sampel darah membeku

2. Membiarkan sampel darah sitrat disimpan pada suhu kamar selama beberapa jam
3. Diet tinggi lemak (pemendekan PT)

4. Penggunaan alkohol (pemanjangan PT) dapat menyebabkan perubahan endogen dari


produksi PT.23.24
Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi/ Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)

Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang berfungsi sebagai pengganti platelet factor 3
(PF3), dapat berasal dari manusia, tumbuhan dan hewan, dengan aktivator seperti kaolin, ellagic
acid, micronized silica atau celite. Reagen komersil yang dipakai misalnya CK Prest 2 yang
berasal dari jaringan otak kelinci dengan kaolin sebagai aktivator. Reagen Patrhrombin SL
menggunakan fosfolipid dari tumbuhan dengan aktivator micronized silica. 22

Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time, APTT) adalah
uji laboratorium untuk menilai aktifitas faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama, yaitu
faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein, kininogen, faktor XI (plasma tromboplastin
antecendent, PTA), Faktor IX (factor Christmas), faktor VIII (antihemophilic factor, AHF),
faktor X (faktor Stuart),
faktor V (proakselerin), faktor II (protrombin) dan faktor I (fibrinogen). 20,22

Tes ini untuk monitoring terapi heparin atau adanya circulating anticoagulant. APTT
memanjang karena defisiensi faktor koagulasi instrinsik dan bersama jika kadarnya < 7 detik
dari nilai normal, maka hasil pemeriksaan itu dianggap abnormal. APTT memanjang dijumpai
pada :

1. Defisiensi bawaan

Jika PPT normal kemungkinan kekurangan :

• Faktor VIII

• Faktor IX

• Faktor XI

• Faktor XII

Jika faktor-faktor koagulasi tersebut normal, kemungkinan kekurangan HMW kininogen


(Fitzgerald factor), defisiensi vitamin K, defisiensi protrombin, hipofibrinogenemia. Defisiensi
didapat dan kondisi abnormal seperti : Penyakit hati (sirosis hati) Leukemia (mielositik,
monositik) Penyakit Von Willebrand (hemophilia vaskular) Malaria Koagulopati konsumtif,
seperti pada disseminated intravascular coagulation (DIC) Circulating anticoagulant
(antiprothrombinase atau circulating anticoagulant terhadap suatu faktor koagulasi) Selama
terapi antikoagulan oral atau heparin.22

Penetapan Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan cara manual (visual) atau dengan
alat otomatis (koagulometer), yang menggunakan metode fotooptik dan elektro-mekanik.
Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi
pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat
otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam
jumlah besar
dengan cepat dan teliti. 22

Prinsip dari uji APTT adalah menginkubasikan plasma sitrat yang mengandung semua
faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin parsial
(fosfolipid) dengan bahan pengaktif (mis. kaolin, ellagic acid, mikronized silica atau celite
koloidal). Setelah ditambah kalsium maka akan terjadi bekuan fibrin. Waktu koagulasi dicatat
sebagai APTT. 22

Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat
3.2% (0.109M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi
silikon. Sampel dipusingkan selama 15 menit dengan kecepatan 2.500x. Plasma dipisahkan
dalam tabung plastik tahan 4 jam pada suhu
20±5oC. Jika dalam terapi heparin, plasma masih stabil dalam 2 jam pada suhu 20±5 oC kalau
sampling dengan antikoagulan citrate dan 4 jam pada suhu 20±5 oC kalau sampling dengan
tabung CTAD. 22

Nilai normal uji APTT adalah 20 – 35 detik, namun hasil ini bisa bervariasi untuk tiap
laboratorium tergantung pada peralatan dan reagen yang digunakan. pemberian heparin dapat
meningkatkan nilai APTT karena terjadi pemanjangan waktu pembekuan darah. Pemanjangan
tersebut masih dapat dikatakan dalam batas aman untuk tidak terjadi perdarahan jika nilai APTT
setelah pemberian heparin 1,5 - 2,5 dari nilai APTT normal. Faktor yang dapat mempengaruhi
temuan laboratorium :

Pembekuan sampel darah

Sampel darah hemolisis atau berbusa

Pengambilan sampel darah pada jalur intravena (misal pada

infus heparin).5,22,23

9. Hemostatsis Fibrinogen , INR

Tes fibrinogen, adalah tes yang dipakai untuk mengukur kadar (kuantitas) fibrinogen dan tidak
dapat mendeteksi adanya kelainan fungsi fibrinogen.

Interprestasi memanjang pada :

a Peninggian produk degradasi fibrinogen (FDP)

b Heparin lebih daripada 5 U.S.P unit/ ml


International Normalized Ratio (INR) adalah satuan yang didapatkan sebagai perbandingan
antara PT pasien yang diperiksa dengan PT normal. Nilai normalnya adalah 0,8-1,2 Fritsma
dkk, 2002).

Koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau


mekanisme untuk menghentikan dan mencegah perdarahan. Koagulopati (+) apabila dijumpai
minimal 2 dari tanda berikut (Brohi, 2003) :

a. Prothrombin Time (PT) > 18 detik

b. Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) > 36 detik

c. INR > 1,6

Hemostasis merupakan proses penghentian perdarahan secara spontan dari

pembuluh darah yang mengalami kerusakan atau akibat putusnya atau robeknya

pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi apabila endothelium yang melapisi

pembuluh darah rusak atau hilang. Proses hemostasis ini mencakup pembekuan darah

(koagulasi) dan melibatkan pembuluh darah, agregasi trombosit serta protein plasma baik

yang menyebabkan pembekuan maupun yang melarutkan bekuan.

Fibrinogen atau faktor I adalah protein yang diproduksi secara alami di plasma darah dan
berperan penting dalam proses pembekuan darah. Pada kondisi perdarahan yang disebabkan oleh
kondisi kekurangan fibrinogen, tambahan fibrinogen dari luar akan diberikan.
10.Pemeriksaan keganasan AML

Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloid Leukemia (AML) sering juga dikenal dengan istilah
Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic Leukemia merupakan penyakit
keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk hematopoetik
yang bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga menyebabkan
penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal. Pada kebanyakan
kasus AML, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih yang disebut myeloblas yang
masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel darah putih yang telah matur
dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang
menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal
di sumsum tulang. 4,5

Gambar 2.9 Gambaran Hasil BMA pada AML

Pemeriksaan Penunjang
1. Morfologi
Aspirasi sumsum tulang merupakan bagian dari pemeriksaan rutin untuk
diagnosis AML. Pulasan darah dan sumsum tulang diperiksa dengan pengecatan
May-Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Untuk hasil yang akurat, diperlukan
setidaknya 500 sel Nucleated dari sumsum tulang dan 200 sel darah putih dari
perifer.7,8 Hitung blast sumsum tulang atau darah ≥ 20% diperlukan untuk
diagnosis AML, kecuali AML dengan t(15;17), t(8;21), inv(16), atau t(16;16)
yang didiagnosis terlepas dari persentase blast. 7,8
2. Immunophenotyping
Pemeriksaan ini menggunakan flow cytometry,sering untuk menentukan tipe sel
leukemia berdasarkan antigen permukaan. Kriteria yang digunakan adalah ≥ 20%
sel leukemik mengekpresikan penanda (untuk sebagian besar penanda)

3. Sitogenetika
Abnormalitas kromosom terdeteksi pada sekitar 55% pasien AML dewasa.
Pemeriksaan sitogenetika menggambarkan abnormalitas kromosom
seperti translokasi, inversi, delesi, adisi. 7,8
4. Sitogenetika molekuler
Pemeriksaan ini menggunakan FISH (fluorescent in situ hybridization) yang juga
merupakan pilihan jika pemeriksaan sitogenetika gagal. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi abnormalitas gen atau bagian dari kromosom seperti RUNX1-
RUNX1T1, CBFB-MYH11, fusi gen MLL dan EV11, hilangnya kromosom 5q
dan 7q. 7,8
5. Pemeriksaan imaging
Pemeriksaan dilakukan untuk membantu menentukan perluasan penyakit jika
diperkirakan telah menyebar ke organ lain.Contoh pemeriksaannya antara lain X-
ray dada, CT scan, MRI. 7,8
12. Pemeriksaan Keganasan ALL

Leukemia Limfoblastik Akut

1. Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang yang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih secara tidak teratur dan tidak terkendali dengan
manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi.

Leukimia limfoblastik akut merupakan leukemia yang berasal dari sel induk limfoid dimana
terjadi proliferasi monoklonal dan ekspansi progresif dari progenitor limfosit B dan T yang
imatur dalam sumsum tulang dan beredar secara sistemik. Proliferasi dan akumulasi dari sel
leukemia menyebabkan penekanan dari hematopoesis normal

2. Patofisiologi
Pada leukemia terjadi kelainan pada gugus sel (klonal), kelainan proliferasi, kelainan
sitogenetik, kelainan morfologi dan kegagalan diferensiasi. Sebagian besar LLA mempunyai
homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa
populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal yang berproliferasi hingga mencapai jumlah
populasi sel yang dapat terdeteksi.
Populasi sel leukima yang semakin lama semakin banyak akan menyebabkan dampak buruk
bagi produksi sel normal dan mengganggu fungsi organ tubuh akibat infiltasi sel leukemia.
Kegagalan hematopoiesis normal merupakan akibat yang sering terjadi pada leukemia akut.
Pansitopenia pada pasien leukemia terjadi akibat desakan populasi sel leukemia. Pada sebagian
kasus LLA juga dapat ditemukan gambaran sumsum tulang yang hiposeluler. Kematian pada
leukemia akut umumnya terjadi akibat penekanan sumsum tulang atau akibat infiltasi sel
leukemia ke organ tubuh pasien.

3. Etiologi
Etiologi terjadinya leukemia belum diketahui hingga saat ini, namun ada beberapa faktor
risiko yang berperan dalam patogenesis leukemia. Beberapa faktor risiko tersebut antara lain
faktor lingkungan seperti radiasi ion, radiasi non-ion, hidrokarbon, zat-zat kimia, alkohol, rokok
maupun obat-obatan.

Faktor lain yang diduga berperan adalah faktor genetik yaitu riwayat keluarga, kelainan gen,
dan translokasi kromosom. Leukemia juga dipengaruhi Human T-cell Leukemia Virus-1
(HTLV-1), etnis, jenis kelamin, usia, usia ibu saat melahirkan, serta karakteristik saat lahir
seperti berat lahir dan urutan lahir. Pemakaian insektisida selama periode kehamilan dan masa
anak-anak, pestisida, fungisida serta sampo insektisida juga merupakan faktor risiko terjadinya
LLA . Gangguan regulasi sitem imun sebagai respon dari infeksi saat beberapa bulan pertama
kehidupan juga dapat menginduksi terjadinya LLA pada masa anak-anak . Beberapa faktor lain
yang juga memengaruhi terjadinya leukemia yaitu medan magnet, pemakaian marijuana, dan
diet.

4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada LLA bervariasi. Awitan biasanya mendadak dan progresif seperti
penderita merasa lemah, pucat, sesak, pusing hingga gagal jantung akibat anemia. Pada LLA
sering terjadi neutropenia yang menyebabkan infeksi dan demam. Trombositopenia dapat
menyebabkan perdarahan seperti ptekie, ekimosis atau manifestasi perdarahan lainnya. Keluhan
pada sistem saraf pusat (SSP) ditimbulkan oleh infiltrasi sel leukemia dengan gejala sakit kepala,
kejang, mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya limfadenopati,
hepatomegali, dan atau splenomegaly.

5. Diagnosis
Diagnosis leukemia ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :

A. Pemeriksaan darah tepi.


1. Kadar Hb menunjukkan penurunan ringan hingga berat dengan morfologi normokromik
normositer. Kadar Hb yang rendah menunjukkan durasi leukemia yang lebih panjang,
sedangkan kadar Hb yang tinggi menunjukkan leukemia dengan proliferasi yang lebih cepat.

2. Sel darah putih dapat normal, menurun atau meningkat.

3. Sebanyak 92% dengan kadar trombosit dibawah normal.

4. Pada hapusan darah tepi dapat ditemukan adanya sel blas. Sel blas pada pasien dengan
leukopenia umumnya hanya sedikit atau bahkan tidak tampak. Sel blas banyak ditemukan
pada pasien dengan jumlah leukosit lebih dari 10 x 103 /µL.

B. Sumsum tulang

Jumlah normal sel blas pada sumsum tulang adalah kurang dari 5%. Sediaan hapusan
sumsum tulang pada LLA menunjukkan peningkatan kepadatan sel dengan trombopoesis,
eritropoesis dan granulopoesis yang tertekan, disertai jumlah sel blas >25%.

Berdasarkan morfologi blas pada hapusan sumsum tulang, French-AmericanBritish (FAB)


membedakan LLA menjadi:

1. L1 : terdiri dari sel-sel limfoblast kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak inti umumnya
tidak tampak dan sitoplasma sempit.

2. L2 : terdiri dari sel-sel limfoblas yang lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih
kasar dengan satu atau lebih anak inti.

3. L3 : terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak ditemukan
anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.

Sebanyak 90% kasus dapat didiagnosis dengan cara tersebut, namum sebagian kasus
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu imunologi, sitokimia, sitogenetika ataupun biologi
molekuler . Pemeriksaan imunologi atau sering disebut dengan imunophenotyping digunakan
untuk identifikasi dan kuantifikasi antigen seluler. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menggunakan sampel darah perifer dan sumsum tulang untuk membedakan leukemia sel T atau
sel.
13. Pemeriksaan Keganasan CML
(Chronic Myelogenous Leukemia)

CML
Leukemia Myloeid Kronis adalh kanker sel myloid dewasa yang terkait dengan kehadiran
kromosom Philadelphia. Jenos leukemia ini kebanyakan terdeteksi pada orang dewasa, sel kanler
berkembang pada tingkatan yang relatif lambat. Penyakit di stadium awal mungkin tidak
menunjukkan gejala apa pun pada stadium selanjutnya pembesaran limfa bisa menyebabkan
sakit perut. Produkasi sel darah normal juga bisa berpengaruh dan memunculkan dan
memuncullkan gejala-gejala.
Pada CML terapat 3fase perjalanan penyakit yaitu fase kronik,akselerasi dan fase akut( blastik).
Gejala klinik pada fase kronik berhubungan dengan jumlah leukosit yang tinggi,
hipermetabolisme,splenomegali,trombosistosis dan anemia. Leukositosis dapat berakibat
gangguan sirkulasi diberbagai organ seperti paru,susunan saraf pusat, organ sensoris dan penis.
Gejala hipermetabolisme pada CML berkaitan dengab peningkatan turn over cell rate, seperti
penurunan berat badan, kelelahan, banyak keringat, dan anoreksia. Splenomegali ditemukan pada
kira-kira 60 -80 % kasus saat terdiagnosis CML. Hepatomegaki dapat menyertai splemegali pada
kira 2 50% kasus. Trombositosis dapat ditemukan pada seluruh kasus CML, meskipun jumlah
trombosit sangat meningkat namun perdarhan dapat terjadi oleh karena menurunnya fungai
trombosit. Anemia terjadi oleh karena menimbulkan gejalapucat, sesak nafas, dan takikardia.
 Diagnosis fase akselerasi ditegakkan bila ditemukan:

 Blas 10- 19% dari jumlah leukosit di darah tepi atau dari seluruh sel berinti
disumsum tulaang
 Jumlah basofil di darah tepi 20%
 Trombositopenia yang menetap ( <1.000.000/ UL) yang tidak berhubungan
dengan terapi atau trombositopenia yang menetap (> 1.000.000/UL) yang tidak
respon terhadap terapi
 Peningkatan ukuran limpa dan leukosit yang tidak respon terhadap terapi
 Ditemukan kelainan sitogenetik

 Diagnosis fase blastik


 Blas 20 % dari jumlah leukosit di daerah tepi atau dari seluruh sel berinti di
sumsum tulanh
 Ditemukan poliferasi blas ektramedular
 Terdapat fokus atau kelompok blas yang besar pada biopsi sum-sum tulang.
14. CLL

(Leukemia limfositik)
Pengertian

Leukemia limfositik kronis (CLL) adalah kanker darah akibat gangguan pada sumsum tulang.
Kata ‘kronis’ pada leukemia limfositik ini menandakan bahwa penyakit berkembang atau
memburuk secara perlahan. Dengan kata lain, pasien tidak merasakan gejala diawal kondisi
muncul. Gejala dapat dirasakan ketika kanker mulai menyebar ke hati, limpa, atau kelenjar getah
bening.
Gejala leukemia limfositik kronis beragam, mulai dari sesak napas hingga rentan mengalami
infeksi. Kondisi ini akan lebih baik jika mendapatkan penanganan dengan segera. Apabila
leukemia limfositik kronis tidak mendapatkan penanganan tepat, hal itu berpotensi menimbulkan
komplikasi berupa gangguan sistem imun hingga munculnya kanker tipe lain.

Gejala Leukemia Limfositik Kronis


Leukemia limfositik kronis umumnya tidak menimbulkan gejala di awal kemunculnya. Pasien
baru merasakan gejala setelah lama menderita kondisi ini, atau ketika kanker mulai menyebar ke
hati, limpa, atau kelenjar getah bening.
Berikut ini adalah beberapa gejala leukemia limfositik kronis:

 Tubuh terasa sangat lelah.


 Berat badan menurun untuk alasan yang tidak jelas.
 Terdapat benjolan atau pembengkakan yang tidak terasa nyeri pada kelenjar getah bening
di ketiak, leher, perut, selangkangan, atau area tubuh lain.
 Demam.
 Rentan mengalami infeksi.
 Perut terasa nyeri atau seperti penuh.
 Sesak napas.
 Berkeringat ketika malam.

Diagnosis Leukemia Limfositik Kronis


Proses diagnosis diawali dengan pemeriksaan gejala dan riwayat kesehatan pasien. Setelah
proses awal selesai, diagnosis dilanjutkan dengan melakukan tes darah. Tes darah bertujuan
untuk mendeteksi jumlah sel darah putih (khususnya limfosit), trombosit, dan sel darah merah.
Jika sel darah putih di dalam tubuh terdeteksi tinggi, dokter akan melanjutkan pemeriksaan
dengan aspirasi sumsum tulang, sekaligus biopsi. Dalam proses pemeriksaan, dokter akan
menggunakan jarum khusus untuk mengambil sampel darah dan jaringan di sumsum tulang.
Setelah terkumpul, sampel akan diperiksa lebih lanjut di laboratorium.
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi bertujuan untuk memastikan penyebab serta mendeteksi
seberapa cepat penyakit berkembang, sekaligus mempelajari perubahan gen yang ada. Hasil
pemeriksaan akan digunakan dokter untuk menentukan stadium dan metode penanganan yang
digunakan.

Pengobatan Leukemia Limfositik Kronis


Metode penanganan yang digunakan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan sebelumnya.
Jika kondisi masih tergolong ringan dan tidak menimbulkan gejala, penanganan intensif tidak
diperlukan. Namun, pasien tetap harus melakukan pemeriksaan secara rutin ke dokter onkologi.
Penanganan intensif dilakukan ketika kondisi pasien sudah memburuk atau muncul gejala.
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menangani leukemia limfositik kronis adalah:

 Kemoterapi. Kemoterapi dilakukan dengan pemberian obat khusus, baik melalui


suntikan atau diminum, yang berfungsi untuk membunuh sel kanker. Obat yang diberikan
dapat berupa obat tunggal, seperti chlorambucil atau fludarabine, ataupun berupa obat
kombinasi.
 Targeted drug therapy. Sama seperti kemoterapi, metode ini juga dilakukan dengan
pemberian obat. Namun, obat yang diberikan dalam targeted drug therapy berfungsi
menghambat protein yang digunakan sel kanker untuk bertahan dan berkembang. Contoh
obat khusus yang digunakan dalam terapi ini yakni rituximab.
 Transplantasi sumsum tulang. Metode ini dilakukan dengan mengganti sel sumsum
tulang yang rusak dengan sumsum tulang sehat dari pendonor. Sebelum transplantasi
sumsum tulang atau sel punca, kemoterapi akan dilakukan terlebih dahulu, 1 atau 2
minggu sebelum transplantasi.

Metode penanganan dapat menimbulkan beragam efek samping yang berbeda. Lakukan
pemeriksaan rutin dan konsultasikan dengan dokter langkah yang dapat diambil untuk
menurunkan risiko efek samping.

Komplikasi Leukemia Limfositik Kronis


Jika tidak mendapatkan penanganan tepat, leukemia limfositik kronis berpotensi menimbulkan
komplikasi. Komplikasi leukemia limfositik kronis beragam, beberapa di antaranya adalah:

 Infeksi, umumnya terjadi pada saluran pernapasan.


 Gangguan sistem kekebalan tubuh, sehingga sistem kekebalan tubuh dapat menyerang
sel darah lain yang normal.
 Kanker berubah menjadi lebih agresif. Kondisi ini biasa disebut limfoma sel B atau
sindrom Richter.

Munculnya kanker tipe lain, seperti kanker kulit, kanker paru-paru, dan kanker saluran
pencernaan.

Anda mungkin juga menyukai