Anda di halaman 1dari 11

LANDASAN ILMIAH ILMU PENDIDIKAN :

Mengapa Hukum Dijadikan sebagai Landasan Ilmiah Ilmu


Pendidikan?
NAMA : HERMAN SETIADI
NIM: 8196122006

Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam negara


hukum. Hukum adalah aturan yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari kita
dimana tiap-tiap sendi kehidupan kita berada dalam naungan hukum. Hukum
selain untuk melindungi kita dari penyalahgunaan kekuasaan, untuk menegakkan
keadilan, hukum juga digunakan sebagai landasan pendidikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum merupakan :
1. Peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan
oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
2. Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan
masyarakat.
3. Patokan (kaidah, ketentuan).
4. Keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan,
vonis.
Sedangkan menurut Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup
(perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan
tindakan dari pemerintah. Sementara itu, Prof. Dr. Van Kan menyatakan bahwa
hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam Masyarakat.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disintesa bahwa
hukum adalah seperangkat aturan atau petunjuk hidup yang bersifat mengatur atau
memaksa kehidupan masyarakat serta melindungi seluruh kepentingan manusia di
dalam masyarakat.
Oleh karena itu, untuk memberikan arah dan tujuan pendidikan di dalam
suatu masyarakat maupun negara maka harus dibuat suatu hukum atau perundang-
undangan yang mengatur itu semua atau dengan istilah landasan yuridis.
Landasan yuridis pendidikan adalah seperangkat konsep peraturan perundang-
undangan yang menjadi titik tolak sistem pendidikan Indonesia, yang meliputi :
1. Pembukaan UUD 1945
2. UUD 1945 sebagai Landasan Yuridis Pendidikan Indonesia.
3. Pancasila sebagai Landasan Idiil Sistem Pendidikan Indonesia.
4. Ketetapan MPR sebagai Landasan Yuridis Pendidikan Nasional
5. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah sebagai Landasan Yuridis
Pendidikan Nasional
6. Keputusan Presiden sebagai Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan
Nasional
7. Keputusan Menteri sebagai Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan
Nasional
8. Instruksi Menteri sebagai Landasan yuridis Pelaksanaan Pendidikan
Nasional

Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar


ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan
global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia
melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-
undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab
dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan
reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan
dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah
demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan
globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Tiap-tiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan sendiri. Semua
tindakan yang dilakukan di Negara itu didasarkan pada perundang-undangan
tersebut. Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-
undangan yang bertingkat, mulai dari UUD 1945, UU, Peraturan Pemerintah,
Ketetapan dan Surat Keputusan. Semuanya mengandung hukum yang harus
ditaati, dimana UUD 1945 merupakan hukum yang tertinggi. Landasan hukum
merupakan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam
melaksakan kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan.
Sebagai penyelenggaraan pendidikan nasional yang utama, perlu
pelaksanaannya berdasarkan undang-undang. Hal ini sangat penting karena
hakikatnya pendidikan nasional adalah perwujudan dari kehendak UUD 1945
utamanya pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31:
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendid ikan dasar pemerintah wajib
membiyayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendid ikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pentingnya undang-undang sebagai tumpuan bangunan pendidikan


nasional di samping untuk menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting
sebagai penjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia, juga dapat dipedomani
bagi penyelenggaran pendidikan secara utuh yang berlaku untuk seluruh tanah air.
Landasan yuridis bukan semata-mata landasan bagi penyelenggaraan pendidikan
namun sekaligus dijadikan alat untuk mengatur sehingga penyelenggaraan
pendidikan yang menyimpang, maka dengan landasan yuridis tersebut dikenakan
sanksi.
Dalam praktek penyelenggraan pendidikan tidak sedikit ditemukan
penyimpangan. Memang penyimpangan tersebut tidak begitu langsung tetapi
dalam jangka panjang bahkan dalam skala nasional dapat menimbulkan kerugian
bukan hanya secara material tapi juga spiritual. Penyelenggaraan pendidikan yang
sangat komersial dan instan dapat merusak pendidikan sebagai proses
pembentukan watak dan kepribadian bangsa sehingga dalam jangka panjang
menjadikan pendidikan bukan sebagai sarana rekonstruksi sosial tetapi
dekonstruksi sosial. Itulah sebabnya di samping dasar regulasi sangat penting juga
harus pula dilandasi dengan dasar yuridis untuk sanksi.
Berikut ini adalah beberapa Undang-undang dan peraturan pendidikan
yang berlaku di negara kita, yaitu :
 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Pada Pembukaan UUD 1945 yang menjadi landasan hukum pendidikan
terdapat pada Alinea Keempat.
 Pendidikan menurut Undang-Undang 1945
Undang – Undang Dasar 1945 adalah merupakan hukum tertinggi di
Indonesia. Pasal-pasal yang berkaitan dengan pendidikan Bab XIII yaitu pasal
31 dan pasal 32. Pasal 31 ayat 1 berisi tentang hak setiap warga negara untuk
mendapatkan pendidikan, sedangkan pasal 31 ayat 2-5 berisi tentang
kewajiban negara dalam pendidikan. Pasal 32 berisi tendang kebudayaan.
Kebudayaan dan pendidikan adalah dua unsur yang saling mendukung satu
sama lain.
 Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional
Undang-undang ini memuat 59 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum
(istilah-istilah dalam undang-undang ini), kedudukan fungsi dan tujuan , hak-
hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, satuan jalur dan jenis
pendidikan, jenjang pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber
daya pendidikan, kurikulum, hari belajar dan libur sekolah, bahasa pengantar,
penilaian, peran serta masyarakat, badan pertimbangan pendidikan nasional,
pengelolaan, pengawasan, ketentuan lain-lain, ketentuan pidana, ketentuan
peralihan dan ketentuan penutup.
 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang ini selain memuat pembaharuan visi dan misi pendidikan
nasional, juga terdiri dari 77 Pasal yang mengatur tentang ketentuan
umum(istilah-istilah terkait dalam dunia pendidikan), dasar, fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, prinsip penyelenggaraan pendidikan, hak dan kewajiban
warga negara, orang tua dan masyarakat, peserta didik, jalur jenjang dan jenis
pendidikan, bahasa pengantar, stándar nasional pendidikan, kurikulum,
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan,
pendanaan pendidikan, pengelolaan pendidikan, peran serta masyarakat dalam
pendidikan, evaluasi akreditasi dan sertifikasi, pendirian satuan pendidikan,
penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain, pengawasan, ketentuan
pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Undang undang ini memuat 84 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum
(istilah-istilah dalam undang-undang ini), kedudukan fungsi dan tujuan,
prinsip profesionalitas, seluruh peraturan tentang guru dan dosen dari
kualifikasi akademik, hak dan kewajiban sampai organisasi profesi dan kode
etik, sanksi bagi guru dan dosen yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana mestinya, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
 Undang-Undang No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-undang ini memuat 97 Pasal yang mengatur tentang Ketentuan
Umum, Lingkup, Fungsi dan Tujuan, Standar Isi, Standar Proses, Standar
Kompetensi Lulusan, Standar Pendidikan dan Tenaga Pendidikan, Standar
Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, Standar
Penilaian Pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan, Evaluasi,
Akreditasi, Sertifikasi, Penjamin Mutu, Ketentuan Peralihan, Ketentuan
Penutup.
Menurut Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: “Standar nasional
pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan
 Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Tentang Status Pendidikan
Pancasila dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagai mata kuliah wajib
untuk setiap program studi dan bersifat nasional
 Peraturan Menteri No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
 Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan
 Peraturan Menteri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pelaksana Peraturan Menteri
No. 22 dan No. 23
 Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Kepala Sekolah
 Peraturan Menteri Nomor 16 Tahun 2007 dan Nomor 32 Tahun 2008 Tentang
Guru
 Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan
 Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian
 Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2007 dan Permen Nomor 33 Tahun 2008
tentang Standar Sarana Prasarana.
 Peraturan Menteri Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses
 Peraturan Menteri Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Standar Isi
 Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2008 Tentang TU
 Peraturan Menteri Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Perpustakaan
 Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Laboratorium
 Peraturan Menteri Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kesiswaan
 Keputusan Menteri No. 3 Tahun 2003 Tentang Tunjangan Tenaga
Kependidikan
Serta yang terbaru saat ini adalah Peraturan Mendikbud (Permendikbud)
sebagai landasan penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka yaitu :
 Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi,
 Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri
menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum, dan
 Permendikbud No. 5 tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan
Perguruan Tinggi.
 Permendikbud No.6 tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru
Program Sarjana pada Perguruan Tingggi Negeri
 Permendikbud No. 7 tentang Pendirian, Perubahan ,Pembubaran Perguruan
Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan dan Pencabutan Izin Perguruan
Tinggi Swasta.
 SE 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa
Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19) 

PENERAPAN LANDASAN YURIDIS ATAU HUKUM DALAM


PENDIDIKAN
Sebuah pendidikan dapat berjalan lancar apabila segala aspek menyangkut
pendidikan itu terpenuhi. Dari segi pendanaan, fasilitas tempat belajar, guru  atau
dosen pemberi materi, dan juga buku penunjang pendidikan tersebut. Bila salah
satu aspek ada yang tertinggal maka dapat dipastikan proses belajar tidak dapat
berjalan seimbang. Berikut tentang penunjang jalannya pendidikan :
1. Pendanaan Pendidikan
Walaupun dalam amandemen UUD RI 1945 pasal 31 ayat (4) telah
menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan akantetapi dengan berbagai alasan dan pertimbangan sampai saat ini
APBN kita belum mencapai 20%.
Di daerah alokasi dana pendidikan yang masuk dalam APBD sangat
bervariatif, tetapi kebanyakan belum sampai 20% dari APBD. Yang
memprihatinkan ada beberapa daerah yang menggratiskan biaya pendidikan
namun tidak diberangi dengan penambahan anggaran di APBD dengan cukup.
Menurut Sutjipto (2008:2) keadaan seperti ini akan memperlebar disparitas mutu
pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga menjadi
tempat persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di masa depan.
Pasal inilah yang sampai sekarangterus diperjuangkan oleh banyak pihak
agar pemerintah dan pemerintah daerah segera merealisasikannya. Justru yang
terjadi di hampir mayoritas pemerintah daerah berlomba-lomba untuk
memperjuangkan wacana pendidikan gratis. Namun dengan masuknya ranah
politik dalam dunia pendidikan nampaknya wacana itu menjadi nilai tawar dalam
realisasinya antara warga masyarakat dengan penguasa pemerintah daerah.
Mestinya kebijakan pendidikan gratis tidak hanya sekedar retorika politik guna
melanggengkan kekuasaan, akan tetapi perlu didukung dengan reliasasi anggaran
pendidikan sesuai dengan amanat undang-undang dasar yaitu minimal 20% dari
APBN/APBD.

2. Kompetensi Guru / Konselor


Dalam proses belajar dan pembelajaran guru merupakan salah satu faktor
utama yang mengkondisikan terciptanya suasana yang kondusif. Proses
transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut
untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya.
Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan
dalam kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam
hal proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang danstatus hukum. Oleh
karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar terjadi penguatan
serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan kualifikasi dan
kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan.
Hal lain yang tak kalah penting untuk dikaji adalah pengakuan eksistensi
konselor. Meskipun secara yuridis keberadaan konselor dalam sistem pendidikan
nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan
kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 6 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Juga tercantum PP Nomor 28 Tahun 1990 pasal 27
ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing.
Akan tetapi dari pasal-pasal tersebut, pengakuan secara eksplisit dan
kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya itu, ternyata
tidak dilanjutkan dengan spesifikasi konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang
cermat, karena yang diatur dalam pasal-pasal berikutnya hanyalah konteks tugas
dan ekspektasi kinerja dari mayoritas pendidik yang menggunakan pembelajaran
sebagai kontek layanan.
Hal tersebut dapat dicermati pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas yang berbunyi : pendidik merupakan tenaga profesional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi.
Dengan spesifikasi kontek tugas dan ekspektasi kinerja yang hanya
merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi pembelajaran, maka
konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi
pembelajaran sebagai konteks layanan yang merupakan sosok layanan ahli yang
unik yang berbeda dari sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama
bertugas dalam setting pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah
pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan
justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus
terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga
saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan
dan konseling seharusnya dilaksanakan.
Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang
membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan
kegiatan Pengembangan Diri. Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru,
banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk
memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena
format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam
penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih
banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang
bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada
tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di
bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang
dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa
Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat
sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam
kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan
dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada
komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi
konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan
para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya
kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya.
3. Desentralisasi Pendidikan
Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang
Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan
lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok
masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah,
berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pasal  50 ayat (4) disebutkan bahwa
pemerintah kabupaten / kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang
berbasis keunggulan lokal.
Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat
dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang
mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat di atasi dan diantisipasi. Oleh
karena itu, untuk merealisasikan semua itu memerukan dukungan dan kerja sama
dari semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak.
Selain itu, otonomi juga berimplikasi pada pengembangan pendidikan
keagamaan di Indonesia. Otonomi pendidikan ini lebih ditekankan pada
pembentukan strategi dalam menghadapi tantangan modernitas. Munculnya
otonomi daerah sekaligus otonomi pendidikan memberikan kerja keras bagi
pemerintah daerah dalam menentukan arah pendidikan ke depan.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah
mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten / kota yang lebih
demokratis, transparan, efisien, accountable, serta mendorong partisipasi
masyarakat. Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang
berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan
pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga,
pemetaan utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai
yang belajar.
Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan
pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi
dan prestasinya. Semangat desentralisasi pendidikan yang sementara ini dianggap
merupakan konsep yang baik dalam pengelolaan pendidikan perlu didukung dan
dimaknai secara benar. Pemerintah daerah sebagai pihak yang menerima
pelimpahan wewenang tidak hanya mengedepankan haknya tetapi juga yang lebih
penting adalah melaksanakan kewajiban yang melekat pada wewenang yang
diberikan dengan kesungguhan hati. Managemen berbasis sekolah sebagai bentuk
pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah juga harus selalu didorong
untuk dapat terwujud.

Anda mungkin juga menyukai