Mengapa Hukum Dijadikan sebagai Landasan Ilmiah Ilmu
Pendidikan? NAMA : HERMAN SETIADI NIM: 8196122006
Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam negara
hukum. Hukum adalah aturan yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari kita dimana tiap-tiap sendi kehidupan kita berada dalam naungan hukum. Hukum selain untuk melindungi kita dari penyalahgunaan kekuasaan, untuk menegakkan keadilan, hukum juga digunakan sebagai landasan pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum merupakan : 1. Peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas. 2. Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat. 3. Patokan (kaidah, ketentuan). 4. Keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan, vonis. Sedangkan menurut Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah. Sementara itu, Prof. Dr. Van Kan menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam Masyarakat. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disintesa bahwa hukum adalah seperangkat aturan atau petunjuk hidup yang bersifat mengatur atau memaksa kehidupan masyarakat serta melindungi seluruh kepentingan manusia di dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk memberikan arah dan tujuan pendidikan di dalam suatu masyarakat maupun negara maka harus dibuat suatu hukum atau perundang- undangan yang mengatur itu semua atau dengan istilah landasan yuridis. Landasan yuridis pendidikan adalah seperangkat konsep peraturan perundang- undangan yang menjadi titik tolak sistem pendidikan Indonesia, yang meliputi : 1. Pembukaan UUD 1945 2. UUD 1945 sebagai Landasan Yuridis Pendidikan Indonesia. 3. Pancasila sebagai Landasan Idiil Sistem Pendidikan Indonesia. 4. Ketetapan MPR sebagai Landasan Yuridis Pendidikan Nasional 5. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah sebagai Landasan Yuridis Pendidikan Nasional 6. Keputusan Presiden sebagai Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Nasional 7. Keputusan Menteri sebagai Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Nasional 8. Instruksi Menteri sebagai Landasan yuridis Pelaksanaan Pendidikan Nasional
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar
ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang- undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang- undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik. Tiap-tiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di Negara itu didasarkan pada perundang-undangan tersebut. Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang- undangan yang bertingkat, mulai dari UUD 1945, UU, Peraturan Pemerintah, Ketetapan dan Surat Keputusan. Semuanya mengandung hukum yang harus ditaati, dimana UUD 1945 merupakan hukum yang tertinggi. Landasan hukum merupakan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksakan kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan. Sebagai penyelenggaraan pendidikan nasional yang utama, perlu pelaksanaannya berdasarkan undang-undang. Hal ini sangat penting karena hakikatnya pendidikan nasional adalah perwujudan dari kehendak UUD 1945 utamanya pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31: 1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendid ikan dasar pemerintah wajib membiyayainya. 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendid ikan nasional. 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pentingnya undang-undang sebagai tumpuan bangunan pendidikan
nasional di samping untuk menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting sebagai penjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia, juga dapat dipedomani bagi penyelenggaran pendidikan secara utuh yang berlaku untuk seluruh tanah air. Landasan yuridis bukan semata-mata landasan bagi penyelenggaraan pendidikan namun sekaligus dijadikan alat untuk mengatur sehingga penyelenggaraan pendidikan yang menyimpang, maka dengan landasan yuridis tersebut dikenakan sanksi. Dalam praktek penyelenggraan pendidikan tidak sedikit ditemukan penyimpangan. Memang penyimpangan tersebut tidak begitu langsung tetapi dalam jangka panjang bahkan dalam skala nasional dapat menimbulkan kerugian bukan hanya secara material tapi juga spiritual. Penyelenggaraan pendidikan yang sangat komersial dan instan dapat merusak pendidikan sebagai proses pembentukan watak dan kepribadian bangsa sehingga dalam jangka panjang menjadikan pendidikan bukan sebagai sarana rekonstruksi sosial tetapi dekonstruksi sosial. Itulah sebabnya di samping dasar regulasi sangat penting juga harus pula dilandasi dengan dasar yuridis untuk sanksi. Berikut ini adalah beberapa Undang-undang dan peraturan pendidikan yang berlaku di negara kita, yaitu : Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pada Pembukaan UUD 1945 yang menjadi landasan hukum pendidikan terdapat pada Alinea Keempat. Pendidikan menurut Undang-Undang 1945 Undang – Undang Dasar 1945 adalah merupakan hukum tertinggi di Indonesia. Pasal-pasal yang berkaitan dengan pendidikan Bab XIII yaitu pasal 31 dan pasal 32. Pasal 31 ayat 1 berisi tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan, sedangkan pasal 31 ayat 2-5 berisi tentang kewajiban negara dalam pendidikan. Pasal 32 berisi tendang kebudayaan. Kebudayaan dan pendidikan adalah dua unsur yang saling mendukung satu sama lain. Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional Undang-undang ini memuat 59 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum (istilah-istilah dalam undang-undang ini), kedudukan fungsi dan tujuan , hak- hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, satuan jalur dan jenis pendidikan, jenjang pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, kurikulum, hari belajar dan libur sekolah, bahasa pengantar, penilaian, peran serta masyarakat, badan pertimbangan pendidikan nasional, pengelolaan, pengawasan, ketentuan lain-lain, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang ini selain memuat pembaharuan visi dan misi pendidikan nasional, juga terdiri dari 77 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum(istilah-istilah terkait dalam dunia pendidikan), dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, prinsip penyelenggaraan pendidikan, hak dan kewajiban warga negara, orang tua dan masyarakat, peserta didik, jalur jenjang dan jenis pendidikan, bahasa pengantar, stándar nasional pendidikan, kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pendanaan pendidikan, pengelolaan pendidikan, peran serta masyarakat dalam pendidikan, evaluasi akreditasi dan sertifikasi, pendirian satuan pendidikan, penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain, pengawasan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Undang undang ini memuat 84 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum (istilah-istilah dalam undang-undang ini), kedudukan fungsi dan tujuan, prinsip profesionalitas, seluruh peraturan tentang guru dan dosen dari kualifikasi akademik, hak dan kewajiban sampai organisasi profesi dan kode etik, sanksi bagi guru dan dosen yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Undang-Undang No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Undang-undang ini memuat 97 Pasal yang mengatur tentang Ketentuan Umum, Lingkup, Fungsi dan Tujuan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidikan dan Tenaga Pendidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, Standar Penilaian Pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan, Evaluasi, Akreditasi, Sertifikasi, Penjamin Mutu, Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup. Menurut Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: “Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Tentang Status Pendidikan Pancasila dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagai mata kuliah wajib untuk setiap program studi dan bersifat nasional Peraturan Menteri No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Peraturan Menteri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pelaksana Peraturan Menteri No. 22 dan No. 23 Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Kepala Sekolah Peraturan Menteri Nomor 16 Tahun 2007 dan Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Guru Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2007 dan Permen Nomor 33 Tahun 2008 tentang Standar Sarana Prasarana. Peraturan Menteri Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses Peraturan Menteri Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Standar Isi Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2008 Tentang TU Peraturan Menteri Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Perpustakaan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Laboratorium Peraturan Menteri Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kesiswaan Keputusan Menteri No. 3 Tahun 2003 Tentang Tunjangan Tenaga Kependidikan Serta yang terbaru saat ini adalah Peraturan Mendikbud (Permendikbud) sebagai landasan penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka yaitu : Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum, dan Permendikbud No. 5 tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Permendikbud No.6 tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tingggi Negeri Permendikbud No. 7 tentang Pendirian, Perubahan ,Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. SE 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19)
PENERAPAN LANDASAN YURIDIS ATAU HUKUM DALAM
PENDIDIKAN Sebuah pendidikan dapat berjalan lancar apabila segala aspek menyangkut pendidikan itu terpenuhi. Dari segi pendanaan, fasilitas tempat belajar, guru atau dosen pemberi materi, dan juga buku penunjang pendidikan tersebut. Bila salah satu aspek ada yang tertinggal maka dapat dipastikan proses belajar tidak dapat berjalan seimbang. Berikut tentang penunjang jalannya pendidikan : 1. Pendanaan Pendidikan Walaupun dalam amandemen UUD RI 1945 pasal 31 ayat (4) telah menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan akantetapi dengan berbagai alasan dan pertimbangan sampai saat ini APBN kita belum mencapai 20%. Di daerah alokasi dana pendidikan yang masuk dalam APBD sangat bervariatif, tetapi kebanyakan belum sampai 20% dari APBD. Yang memprihatinkan ada beberapa daerah yang menggratiskan biaya pendidikan namun tidak diberangi dengan penambahan anggaran di APBD dengan cukup. Menurut Sutjipto (2008:2) keadaan seperti ini akan memperlebar disparitas mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga menjadi tempat persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di masa depan. Pasal inilah yang sampai sekarangterus diperjuangkan oleh banyak pihak agar pemerintah dan pemerintah daerah segera merealisasikannya. Justru yang terjadi di hampir mayoritas pemerintah daerah berlomba-lomba untuk memperjuangkan wacana pendidikan gratis. Namun dengan masuknya ranah politik dalam dunia pendidikan nampaknya wacana itu menjadi nilai tawar dalam realisasinya antara warga masyarakat dengan penguasa pemerintah daerah. Mestinya kebijakan pendidikan gratis tidak hanya sekedar retorika politik guna melanggengkan kekuasaan, akan tetapi perlu didukung dengan reliasasi anggaran pendidikan sesuai dengan amanat undang-undang dasar yaitu minimal 20% dari APBN/APBD.
2. Kompetensi Guru / Konselor
Dalam proses belajar dan pembelajaran guru merupakan salah satu faktor utama yang mengkondisikan terciptanya suasana yang kondusif. Proses transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya. Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang danstatus hukum. Oleh karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar terjadi penguatan serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan. Hal lain yang tak kalah penting untuk dikaji adalah pengakuan eksistensi konselor. Meskipun secara yuridis keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 6 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Juga tercantum PP Nomor 28 Tahun 1990 pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing. Akan tetapi dari pasal-pasal tersebut, pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya itu, ternyata tidak dilanjutkan dengan spesifikasi konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang cermat, karena yang diatur dalam pasal-pasal berikutnya hanyalah konteks tugas dan ekspektasi kinerja dari mayoritas pendidik yang menggunakan pembelajaran sebagai kontek layanan. Hal tersebut dapat dicermati pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang berbunyi : pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Dengan spesifikasi kontek tugas dan ekspektasi kinerja yang hanya merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi pembelajaran, maka konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan yang merupakan sosok layanan ahli yang unik yang berbeda dari sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama bertugas dalam setting pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri. Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya. Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling. Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya. 3. Desentralisasi Pendidikan Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah kabupaten / kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat di atasi dan diantisipasi. Oleh karena itu, untuk merealisasikan semua itu memerukan dukungan dan kerja sama dari semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak. Selain itu, otonomi juga berimplikasi pada pengembangan pendidikan keagamaan di Indonesia. Otonomi pendidikan ini lebih ditekankan pada pembentukan strategi dalam menghadapi tantangan modernitas. Munculnya otonomi daerah sekaligus otonomi pendidikan memberikan kerja keras bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah pendidikan ke depan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten / kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, accountable, serta mendorong partisipasi masyarakat. Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemetaan utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya. Semangat desentralisasi pendidikan yang sementara ini dianggap merupakan konsep yang baik dalam pengelolaan pendidikan perlu didukung dan dimaknai secara benar. Pemerintah daerah sebagai pihak yang menerima pelimpahan wewenang tidak hanya mengedepankan haknya tetapi juga yang lebih penting adalah melaksanakan kewajiban yang melekat pada wewenang yang diberikan dengan kesungguhan hati. Managemen berbasis sekolah sebagai bentuk pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah juga harus selalu didorong untuk dapat terwujud.