NIM : 19510106 Kelas : Manajemen A Mata Kuliah : Filsafat Ilmu Dosen Pengampu : Ahmad Mu’is, S.Ag, MA
Komentar untuk Presentasi Tanggal 15 April 2020
PRESENTASI KELOMPOK 12 (EPISTEMOLOGI AL-IRFANI) 1. Pertanyaan : Untuk memperoleh pengetahuan irfani, tahapan wara' adalah menjauhkan diri dari sesuatu yang belum jelas. Bisa dijelaskan lagi maksudnya? Karna tujuan dari epistemologi irfani itu sendiri adalah mencari kebenaran yang mana kalau belum ditemukan bukankah berarti pengetahuan tersebut juga masih belum jelas? Apakah kita juga harus menghindarinya? (Liizza Diana Manzil – 19510106) Jawaban : Untuk memperoleh pengetahuan Irfani tahapan yang harus dilakukan adalah tahapan wara’ atau menjauhkan diri dari segala sesuatu yang belum jelas. Misalnya, ada buah jatuh, kita akan mengambilnya tetapi kita tidak tahu siapa pemiliknya. Itu adalah sesuatu yang masih subhat atau belum jelas. Tujuan dari epistemologi Irfani memang mencari kebenaran, akan tetapi epistemologi Irfani mendapatkan kebenaran langsung dari Tuhan dengan mendapatkan Ilham tanpa perantara. Tidak semua orang dapat memperoleh pengetahuan Irfani, hanya ada beberapa orang saja karena ada tahap persiapan, 7 tahapan yang harus dilewati dan yang dapat melewatinya hanya orang-orang tertentu saja. Dan apakah kita harus menghindarinya ? ya, kalau ingin memperoleh pengetahuan Irfani harus melalui tahapan wara’ atau menghindari sesuatu yang belum jelas atau subhat. Komentar : Saya setuju dengan jawaban dari kelompok 12. Saya hanya akan menambahkan pengetahuan ‘irfânî dapat diperoleh melalui tiga tingkatan. Pertama, tahap membersihkan diri dari ketergantungan pada hal- hal yang bersifat duniawi (profan). Ini dapat dilakukan dengan tazkiyyah al- nafs (penyucian jiwa). Kedua, melalui pengalaman-pengalaman eksklusif dalam menghampiri dan merasakan pancaran nur Ilahi. Ketiga, ditandai dengan pengetahuan yang seolah-olah tidak terbatas dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Meskipun metode ‘irfânî sangat subjektif dan batini, namun semua orang dapat merasakan kehadiran-Nya, artinya, setiap orang melakukan dengan tingkat dan kadarnya sendiri-sendiri. Ketika pengalaman masing-masing tersebut diwacanakan maka ia akan menjadi intersubjektif. Sifat intersubjektif tersebut dapat difor-mulasikan dalam beberapa tahapan. Pertama, tahapan persiapan diri (mujâhadah/riyâdhah/wirid); Kedua, tahapan pencerahan (iluminasi); dan ketiga, tahapan konstruksi (pemaparan secara simbolik), sehingga memberi peluang bagi orang lain untuk mengaksesnya. Implikainya adalah akan lahir penga-laman keagamaan yang berbeda antara orang seorang dengan yang lain, berbeda ekspresinya, meskipun substansi dan esensinya tetap sama. Inilah yang memperkaya empati dan simpati terhadap orang lain yang setara secara elegan. Sumber : Afifi Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam Ijtihad Muhammadiyyah”, Jurnal Ahkam Vol. XII No.1 Januari 2012, hlm 54-55 2. Pertanyaan : Siapa pencentus teori epistemologi infani? Apa tujuannya dari teori tersebut? (Bintang Firdaus – 19510099) Jawaban : *Pengetahuan Irfani tidak didasarkan atas teks seperti Bayani dan juga tidak ada kekuatan Rasional seperti Burhani. Tetapi berdasarkan terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan ketika qalbu atau hati sebagai sarana pencapaian atau pengetahuan Irfani siap menerimanya. Untuk itu dilakukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seseorang menerima limpahan pengetahuan secara langsung tersebut. Jadi tujuannya adalah untuk diri sendiri dan menyebarkan kepada orang lain hal-hal yang baik. Pengetahuan ini diperoleh dari diri sendiri. Mungkin pencetus awalnya bisa jadi Nabi Muhammad SAW. *Epistemologi Irfani tidak ada pencetusnya karena para filsuf sudah mengalami sendiri dan pada masa pembibitannya masih belum dibicarakan. Barulah pada fase kelahiran dibuatlah karya tentang Irfani yang diawali dengan “Riwayat Hukum Allah” karya Hasan Basri tahun 642-728M yang dianggap sebagai tulisan pertama Irfani. Komentar : Saya setuju dengan jawaban pemateri karna memang tidak ada kepastian siapa pencetus epistemologi Irfani ini. Hanya saja ada beberapa teori yang menjelaskan darimana epistemologi ini berasal. Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfani. Pertama, menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Disamping itu, sebagian pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma`ruf al- Kharki (w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w. 877 M). Kedua, irfani berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O’lery. Alasannya, (1) adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam. (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyâdlah) dan mengasingkan diri (khalwât), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang. Ketiga, irfani ditimba dari India, seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasannya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali adalah di Khurasan, (2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 782 M), Syaqiq al-Balkh (w. 810 M) dan Yahya ibn Muadz (w. 871 M). (3) Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat. Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk Islam. (4) Konsep dan metode tasauf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India. Keempat, irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya neo- platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya, ‘Theologi Aristoteles’ yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam. Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains hellenistik. al-Jabiri agaknya termasuk kelompok ini. Menurutnya, irfani diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqâmat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari al-Qur`an (QS. Al-Fusilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata maqâmat dalam al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri (w. 1077 M) Sumber : Wira Hadikusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani Al- Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuliding”, Jurnal Syi’ar Vol.18 No. 1 Januari- Juni 2018, hlm. 6-7.
3. Pertanyaan : Irfan sesungguhnya berasal dari sumber islam, tetapi mengapa
dalam perkembangannya kemudian di pengaruhi oleh faktor luar, yaitu seperti yunani, Kristen, hindu atau yang lain. (Ahmad Andi Fajar Kurniawan – 19510220) Jawaban : Sumber asal Irfani itu sendiri masih terdapat banyak perbedaan dari para ahli. Ada yang berasal dari Yunani ataupun India, sehingga tidak hanya tokoh Islam saja yang mempelajari ilmu tersebut. Alasan mereka mempelajari ilmu ini adalah karena mereka merasa ada segi-segi kesamaan seperti konsep atau ajarannya Komentar : Saya setuju dengan jawaban yang diberikan oleh pemateri. Dan saya hanya akan menambahkan bahwa tasawuf atau irfani berkaitan dengan kesadaran dan perasaan. Perasaan dan jiwa manusia adalah satu dan sama, meski berbeda ras dan bangsa. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan ruhani, bisa jadi sama, meski tanpa ada kontak diantara keduanya, sehingga adanya kesamaan antara irfan dengan gnostisme asing bukan berarti menunjukkan adanya keterpengaruhan. Karena itulah, pada aspek esoteris ini, Ibn Arabi menelorkan ide wahdat al-adyân (kesatuan agama). Begitu pula yang dilihat Huston Smith, bahwa hakekat seluruh agama ini adalah sama dan bertemu dalam aspek esoterik (hakekat) atau irfan, meski pada aspek eksoterik berbeda. Inilah yang tidak dilihat oleh pengamat lain, termasuk Jabiri dari analisanya yang menggunakan pendekatan antropologi. Dengan demikian, irfani sesungguhnya berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh faktor luar, Yunani, Kristen, Hindu atau yang lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson, Louis Massignon, Spencer Trimingham, juga menyatakan hal yang sama tentang sumber asal irfani atau sufisme Islam. Sumber : Wira Hadikusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani Al- Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuliding”, Jurnal Syi’ar Vol.18 No. 1 Januari- Juni 2018, hlm. 8.
4. KOMENTAR MAKALAH : Makalah yang ditulis oleh pemateri cukup
lengkap dan sumber-sumber teori yang dijelaskan juga cukup jelas.