Anda di halaman 1dari 18

Pengertian Etika

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno yang merupakan bentuk jamak dari
ethos yang berarti adat kebiasaan. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles untuk
menunjukkan filsafat moral. Jadi secara etimologis etika berarti ilmu tentang adat kebiasaan.
Kata lain yang cukup dekat dengan etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa latin
mos (jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan atau adat. Secara etimologis kata "etika"
adalah sama dengan "moral", yaitu menunjukkan adat kebiasaan. Istilah etika yang
dipergunakan sehari-hari pada hakekatnya berkaitan erat dengan falsafah dan moral,
mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di dalam masyarakat itu pada suatu kurun
waktu tertentu. Dikatakan ”kurun waktu tertentu” karena etik dan moral bisa berubah dari
waktu ke waktu.

Seperti yang dikatakan Hans Kelsen:


”Every system of values, especially a system of morals and its
central idea of justice, is a social phenomenon, the product of
society, and hence different according to the nature of the society
within which it arises.”

Etika adalah suatu cabang dari filsafat, maka dalam literatur juga dinamakan filsafat
moral (moral philosophy). Maksudnya ialah suatu sistem prinsip-prinsip tentang moral,
tentang baik atau buruk. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etika adalah disiplin yang
mempelajari tentang baik atau buruk sikap-tindak manusia.
Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan
hidup masyarakat. Pada hakekatnya etika dan hukum beranjak dari landasan yang sama, yaitu
moral. Dan sejak awalnya hukum bersandar pada etika, karena pada umumnya apa yang
dinilai baik atau buruk oleh etika, juga dirasakan demikian oleh hukum. Pelanggaran terhadap
norma dan nilai etika hampir seluruhnya juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma
dan nilai hukum. Dikatakan hampir seluruhnya, karena masih ada bidang-bidang tertentu
yang oleh hukum tidak atau belum dianggap sebagai pelanggaran hukum. Karena
pelanggaran terhadap norma dan nilai etika belum tentu merupakan pelanggaran hukum,
namun pelanggaran terhadap hukum juga merupakan pelanggaran terhadap norma dan nilai
etika.
Persamaan antara etika dan hukum adalah:
1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.
2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat agar tidak saling
merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
5. Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.

Batas antara etika dan hukum tidak rigid, tidak jelas, dan selalu berubah-ubah
tergantung pada waktu dan tempat. Pelaksanaan norma dan nilai etika di dalam praktek
tergantung kepada hati nurani seseorang, baik itu direktur, dokter, apoteker, dan lain-lain.
Jika dilihat secara umum, maka hukum dan etika bertujuan sama, yaitu mengadakan
ketertiban umum dalam masyarakat. Namun di dalam pengkhususannya hukum dan etika
akan berbeda jika ditinjau dari sifat dan tujuan khususnya; tolak ukur; akibatnya; sanksinya;
dan ruang lingkupnya. Dan apabila antara ketentuan hukum dengan ketentuan etika ada yang
bertentangan, maka yang harus dipatuhi adalah ketentuan hukum.
Gene Blocker merumuskan etika sebagai cabang filsafat moral yang mencari jawaban
untuk menentukan serta mempertahankan secara rasional teori yang berlaku tentang apa yang
benar atau salah, baik atau buruk secara umum yang dapat dipakai sebagai suatu perangkat
prinsip moral yang menjadi pedoman bagi tindakan manusia. Sedangkan yang dimaksud
dengan profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian, seperti dokter, advokat, apoteker,dan
lain-lain.
Dengan demikian yang dimaksud dengan etika profesi adalah suatu perangkat prinsip
moral yang menjadi pedoman untuk menentukan baik atau buruknya tindakan dalam suatu
pekerjaan yang membutuhkan suatu keahlian. Etika profesi dibuat dalam suatu kode etik
yang menjadi pedoman profesi tertentu.

Ketentuan Etik Yang Mengatur Mengenai Pemasaran

Pada tahun 2003, International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG)


sudah mengeluarkan kode etik tentang pemasaran produk farmasi. Lalu pada tahun 2007
dikeluarkan lagi kode etik pemasaran produk farmasi yang memuat perubahan-perubahan
terhadap kode etik tahun 2003 dan menyesuaikan dengan IFPMA Code of Conduct 2006
Revision. Kode etik yang sekarang berlaku bagi anggota IPMG adalah Kode Etik IPMG
Tentang Pemasaran Produk Farmasi Revisi Juli 2009 yang diantaranya mengatur ruang
lingkup, aplikasi dan prinsip-prinsip umum; isi materi promosi dan prosedur dan tanggung
jawab perusahaan; Medical Representative; interaksi dengan profesi kesehatan, hadiah dan
alat medis; materi promosi cetakan atau iklan, materi audio-visual dan elektronik; contoh
obat dan riset pasar; komunikasi dengan publik dan media massa; prosedur pengaduan
pelanggaran.

Tujuan kode etik ini adalah untuk menetapkan standar tinggi yang harus dipatuhi oleh
industri farmasi dalam melaksanakan kegiatan promosi produk farmasi yang etis kepada
profesi kesehatan dan menetapkan prosespendisiplinan diri untuk memastikan bahwa
interaksi anggota dengan profesi kesehatan telah pantas dan dianggap demikian adanya untuk
melayani kepentingan publik sebaik-baiknya dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dan penggunaan obat yang rasional.

Prinsip-prinsip umum dalam kode etik ini, yaitu:

1. Hubungan anggota dengan profesi kesehatan dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada
pasien dan untuk meningkatkan mutu praktek kedokteran. Interaksi harus difokuskan pada
pemberian informasi kepada profesi kesehatan, pemberian informasi ilmiah dan edukasi, serta
mendukung riset medis dan pendidikan.

2. Tidak boleh ada pembayaran atau penghargaan bentuk lain (termasuk dana bantuan,
beasiswa, subsidi, dukungan, kontrak konsultasi, pendidikan atau kebutuhan praktek) yang
diberikan atau ditawarkan pada profesi kesehatan sebagai imbalan penulisan resep,
pemberian rekomendasi, pembelian, penyediaan atau pemberian produk pada pasien atau
adanya janji untuk melanjutkan hal tersebut. Tidak boleh menawarkan atau memberikan
dalam bentuk atau cara tertentu yang akan mempengaruhi profesi kesehatan dalam penulisan
resep.

3. Promosi harus mendorong penggunaan produk farmasi yang benar dengan memberikan
informasi secara objektif dan tanpa melebihlebihkan khasiatnya

4. Promosi tidak boleh disamarkan. penilaian klinis, post-marketing surveillance dan studi
setelah didapat izin edar tidak boleh digunakan untuk promosi terselubung. Kegiatan di atas
harus dilakukan dengan tujuan utama untuk ilmiah atau edukasi. Materi terkait dengan
produk farmasi dan penggunaannya, baik yang bersifat promosi atau tidak, yang disponsori
oleh suatu perusahaan, harus menyebutkan dengan jelas siapa sponsornya.

Pemasaran farmasi
Menurut Profesor Philip Kotler dalam bukunya yang berjudul Principles of
Marketing, definisi dari pemasaran adalah sebuah proses sosial dan manajerial dimana
individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan
inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk atau value dengan
pihak lainnya.
Sedangkan menurut Hermawan Kartajaya, definisi dari pemasaran haruslah mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a. Mencerminkan lingkungan bisnis terakhir (teknologi digital, ekonomi tanpa batas,
dan pasar bebas).
b. Mengindikasikan peranan strategis ”baru” pemasaran dalam bisnis (strategi, taktik,
dan value).
c. Mempromosikan penggunaan pemasaran dalam cakupan yang lebih luas (eksternal,
internal, dan sebagainya).
Pemasaran didefinisikan suatu fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai kepada pelanggan dan untuk
mengelola hubungan dengan pelanggan dengan cara-cara yang menguntungkan organisasi
dan para pemangku kepentingan.
Pemasaran dalam bidang farmasi merupakan sub bagian dasar pemasaran dimana nilai
pelayanan kefarmasian atau yang lebih dikenal dengan (pharmaceutical care) diaplikasikan.
Orientasi pemasraan farmasi tidak hanya terbatas pada produk tetapi justru memberikan
perhatian yang berlebih pada layanan farmasi yang prima. Sehingga pemasaran dan praktek
pelayanan kefarmasian memiliki sejarah hidup panjangberdampingan satu sama lain.

Tujuan
Untuk mewujudkan upaya promosi obat yang beretika dan mengingatkan pelaksanaan etika
profesi dan etika pengusaha farmasi dalam rangka ketersediaan dan keterjangkauan sediaan
obat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Regulasi Pemasaran Farmasi

Industri farmasi merupakan industri yang diatur dan diawasi oleh Pemerintah, dimana
badan usaha industri farmasi harus tunduk pada ketentuan khusus seperti Undang-Undang
hingga berbagai peraturan yang dikeluarkan Menteri Kesehatan dan Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM). Dengan masuknya investor asing dalam bidang farmasi dan
berkembangnya perusahaan farmasi nasional, pemerintah melalui Departemen Kesehatan
mulai menerbitkan peraturan untuk mengatur industri farmasi di dalam negeri, diantaranya
adalah:

1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 90/Kab/BVII/71 Tentang Produksi Obat,


Kelengkapan dan Perlengkapan Pabrik Farmasi.

2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2819/A/Sk/71 Tentang Persyaratan, Kelengkapan


dan Perlengkapan Pabrik Farmasi

3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 4234/A/SK/71 Tentang Dasardasar dan pengawasan


Atas Mutu Obat dan Cara-cara yang Baik Dalam Pengawasan Produksi dan Mutu Obat-
obatan (Quality Control of Drug WHO)

4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 193/Kab/BVII/71 Tentang Pembungkusan dan


Penandaan Obat

5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 7977/A/SK/71 Tentang Perwakilan Pabrik Farmasi


Asing

6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 8069/A/SK/71 Tentang Penyaluran Obat Pabrik


Asing

7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 79/IV/Kab/BVII/73 Tentang Produksi Obat,


Kelengkapan dan Perlengkapan Pabrik

8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 3604/A/SK/73 Tentang Persyaratan, Kelengkapan


dan Perlengkapan Pabrik
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 5134/A/SK/73 Tentang Status Badan Hukum Pabrik
Farmasi

10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/A/SK/75 Tentang Produksi dan Peredaran
Tablet

11. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

12. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

13. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pembinaan hukum merupakan kebutuhan dasar bagi terwujudnya suatu pemerintahan.


Tertibnya masyarakat dan solidnya pemerintahanmerupakan suatu parameter tertibnya
tatanan negara dan bangsa. Khususnya dalam era pembangunan banyak menuntut motivasi
keserasian pembinaan hukum yang dapat terjadi di masyarakat setiap saat. Pembangunan
kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan peningkatan derajat kesehatan yang optimal dan
produktif memerlukan perlindungan hukum. Masalah farmasi yang lebih banyak
peraturannya dibanding profesi lainnya tidak terlepas dari kondisi tersebut.Menurut
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.02706 Tahun
2002 Tentang Promosi Obat, yang dimaksud dengan promosi obat adalah semua kegiatan
pemberian informasi dan himbauan mengenai obat jadi yang memiliki izin edar yang
dilakukan oleh Industri Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi, dengan tujuan meningkatkan
peresepan, distribusi, penjualan dan atau penggunaan obat.

Kegiatan pemasaran dan promosi obat keras di Indonesia terkait dengan berbagai
macam aspek hukum dan peraturan. Misalnya adalah dengan aspek hukum kesehatan, hukum
perlindungan konsumen, hukum perusahaan, dan sebagainya. Ini dikarenakan terdapat
beberapa stakeholders di dalam kegiatan tersebut. Stakeholders yang terdapat dalam
pemasaran dan promosi obat keras, yaitu seperti perusahaan farmasi yang bertindak sebagai
produsen, Pedagang Besar Farmasi (PBF) sebagai distributor obat, medical representative
sebagai dokter dan apoteker sebagai sasaran pemasaran dan promosi obat, serta pasien yang
bertindak sebagai konsumen.
Perusahaan Farmasi

Industri farmasi di Indonesia terdiri dari sekitar 200 perusahaan farmasi yang
memproduksi obat-obatan, dimana 60% obat-obatan yang diproduksi merupakan produk obat
keras. Dari keseluruhan industri farmasi nasional, sekitar 17% merupakan industri
multinasional (Penanaman Modal Asing) dan sisanya adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Secara umum, kewajiban
perusahaan farmasi selaku pelaku usaha produsen obat menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan


berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

Kegiatan pemasaran maupun promosi obat secara umum diatur dalam Pasal 98
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam Pasal 98 ayat (2)
disebutkan bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan
yang berkhasiat obat. Makna dari pasal tersebut adalah hanya orang yang memenuhi syarat
dan sesuai dengan keahlian dan kewenangannya yang dapat mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Dan
dalam Pasal 98 ayat (3), yaitu ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi. Serta ayat (4) berisi mengenai kewajiban pemerintah untuk membina,
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan
pengedaran, serta menyesuaikannya dengan standar mutu pelayanan farmasi. Pelanggaran
atas Pasal 98 ayat (2) dan (3) tersebut, yaitu mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam usahanya untuk melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran dan
penggunaan obat yang tidak tepat akibat promosi obat yang berlebihan, tidak tepat dan atau
menyesatkan, Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan memandang perlu
menerbitkan ketentuan tentang promosi obat yang lebih khusus. Ketentuan promosi obat
tersebut mengatur kegiatan promosi obat jadi (obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat yang
diserahkan harus dengan resep dokter atau obat keras) yang dilakukan oleh industri farmasi
dan/atau Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang ditujukan kepada profesi kesehatan maupun
kepada masyarakat umum.

Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor


HK.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang Promosi Obat, obat keras atau obat yang
penyerahannya harus dengan resep dokter tidak dapat dipromosikan ke masyarakat umum,73
karena obat keras mengandung zat-zat kimiawi yang penggunaannya harus diawasi dan diatur
oleh tenaga kesehatan. Sehingga promosi obat melalui media audio visual dan elektronik
hanya diperbolehkan untuk obat bebas dan obat bebas terbatas.

Dan narasi dan klaim khasiat dalam promosi obat harus sesuai dengan klaim yang
disetujui dalam persetujuan izin edar yang dikeluarkan oleh Kepala Badan POM.

Dalam memasarkan dan mempromosikan obat keras, perusahaan farmasi mempunyai


tenaga marketing yang disebut dengan Medical Representative. Menurut Pasal 6 angka 2 dan
angka 3 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.02706
Tahun 2002 Tentang Promosi Obat, perusahaan farmasi berkewajiban untuk memberikan
pelatihan terhadap Medical Representative dan juga bertanggung jawab atas seluruh
pernyataan dan aktivitas para Medical Representative-nya. Apabila Medical Representative
dalam tugasnya melakukan kesalahan seperti melanggar peraturan dan/atau kode etik dalam
pemasaran dan promosi obat, maka yang dapat diminta pertanggungjawabannya adalah
perusahaan tempat ia bekerja, dalam hal ini Direksi. Menurut Pasal 97 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan perseroan. Dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga
disebutkan mengenai pertanggungjawaban atasan terhadap bawahannya, dimana seorang
tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi
juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya
atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Selain mengatur
pola pemasaran personal selling yang dilakukan oleh Medical Representative, Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang
Promosi Obat juga mengatur mengenai kegiatan ilmiah yang disponsori oleh perusahaan
farmasi untuk penyebarluasan informasi obat yang telah mempunyai izin edar.

Pemberian sponsor kegiatan oleh perusahaan farmasi harus jelas dinyatakan sejak
awal kegiatan ilmiah dan proceeding, dimana proceeding harus berisi hal-hal yang
dipresentasikan dan didiskusikan dalam kegiatan ilmiah tersebut.

Dalam peraturan ini, terdapat pasal yang memperbolehkan pemberian dan donasi.
Akan tetapi, pemberian dan donasi tersebut tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep atau
anjuran penggunaan obat yang bersangkutan, serta pemberian dan donasi tidak diperbolehkan
diberikan kepada pribadi profesi kesehatan, namun diberikan kepada institusi. Selain itu,
perusahaan farmasi dilarang melakukan kegiatan seperti:

1. Kerjasama dengan Apotik dan Penulis Resep.

2. Kerjasama dalam peresepan obat dengan Apotik dan/atau Penulis Resep dalam suatu
program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu.

3. Memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank-draft, pinjaman, voucher, tiket),


dan/atau barang kepada penulis resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang
didistribusikannya.

4. Membentuk kelompok khusus untuk meningkatkan penggunaan produk obat yang


mengarah kepada tujuan pemasaran.

5. Melakukan promosi berhadiah untuk penjualan obat bebas, obat bebas terbatas dengan
pengembalian kemasan bekas dan/atau menyelenggarakan quiz atau yang sejenisnya.
Pelanggaran terhadap kegiatan yang disebutkan di atas, perusahaan farmasi dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku dan juga sanksi
administratif berupa:

1. Peringatan tertulis

2. Penghentian sementara kegiatan

3. Pembekuan dari/atau pencabutan izin edar obat yang bersangkutan

4. Sanksi adiministratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berlaku.

Pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh perusahaan farmasi dilakukan oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan,
dimana dalam pelaksanaannya Kepala Badan dapat membentuk Komisi Independen dengan
anggota dari organisasi profesi kesehatan. Apabila terjadi pelanggaran oleh profesi kesehatan
terhadap kode etik profesi, maka diserahkan kepada organisasi profesi yang bersangkutan.

Dengan banyaknya perusahaan farmasi di Indonesia, sangat mungkin terjadi


persaingan usaha tidak sehat, karena masing-masing perusahaan farmasi saling bersaing ketat
untuk dapat menjual produknya masing-masing. Yang dimaksud dengan persaingan usaha
tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 1 huruf f adalah persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Sedangkan yang dimaksud dengan pelaku usaha menurut Pasal 1 huruf e adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam hal ini, pelaku
usaha yang dimaksud adalah perusahaan-perusahaan farmasi yang melakukan kegiatan
pemasaran dan promosi obat keras. Cara-cara yang biasa dilakukan adalah melakukan
perjanjian tertutup dengan dokter agar produk obat-obatan dari suatu perusahaan farmasi
ditulis dalam resep.
Tindakan tersebut dapat diindikasikan melanggar Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat yang berbunyi:

”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga ataupotongan harga tertentu atas
barang dan atau jasa, yang memuatpersyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima
barangdan atau jasadari pelaku usaha pemasok; harus bersedia membeli barang dan atau jasa
lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama
atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.”

Apabila terbukti adanya pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, maka perusahaan farmasi dapat dijatuhkan sanksi oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha berupa:

1. Tindakan administratif berupa penetapan pembatalan perjanjian , dalam hal ini perjanjian
antara perusahaan farmasi dengan tenaga kesehatan seperti dokter; dan atau penetapan ganti
rugi kepada pelaku usaha.

2. Pidana pokok berupa pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.84

3. Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; atau larangan kepada pelaku usaha yang
telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan
direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun;
atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada
pihak lain.

Pedagang Besar Farmasi (PBF)

Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


1191/MENKES/SK/IX/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
918/MENKES/PER/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi, yang dimaksud dengan
Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki
ijin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Serta menurut Pasal 5 huruf (a)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 Tentang Pedagang Besar
Farmasi, kegiatan Pedagang Besar Farmasi dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan

terbatas, koperasi, perusahaan nasional maupun perusahaan patungan antara perusahaan


penanaman modal asing yang telah memperoleh izin usaha industri farmasi di Indonesia
dengan perusahaan nasional.

Dalam hal ini, Pedagang Besar Farmasi dan setiap cabangnya berkewajiban
mengadakan, menyimpan dan menyalurkan perbekalan farmasi dari sumber yang sah dan
memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan, karena perusahaan farmasi selaku produsen
obat dalam menyalurkan obatnya harus melalui Pedagang Besar Farmasi. Sehingga menurut
Pasal 2 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.02706
Tahun 2002 Tentang Promosi Obat, selain perusahaan farmasi, Pedagang Besar Farmasi
(PBF) juga diperbolehkan untuk melakukan pemasaran dan promosi produk obat keras. Oleh
karena itu, pengaturan kegiatan pemasaran dan promosi obat untuk perusahaan farmasi
berlaku juga untuk Pedagang Besar Farmasi (PBF).

Medical Representative

Pemasaran obat keras di suatu perusahaan farmasi dilakukan oleh Medical


Representative (atau biasa disebut dengan Medrep). Medical Representative memegang
peranan yang sangat penting dalam pemasaran obat keras, yaitu ”create the demand”.
Melalui personal selling dan detailing yang dilakukan oleh Medical Representative,
informasi mengenai obat dapat disampaikan secara langsung sesuai dengan monograf
lengkap yang mencakup bentuk sediaan, indikasi, efek samping, dan pengalaman sejawat
dokter lainnya, melalui literatur ilmiah maupun hasil uji klinis. Juga dapat dikomunikasikan
mengenai harga obat dan ketersediaannya di berbagai apotek. Dengan demikian Medical
Representative merupakan ujung tombak perusahaan dalam melakukan promosi.

Syarat bagi seorang Medical Representative menurut Pasal 6 Keputusan Kepala


Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang Promosi
Obat adalah:
1. Harus mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai dan telah dilatih secara memadai
serta memiliki pengetahuan medis dan teknis untuk dapat menyajikan informasi tentang obat
secara akurat, berimbang, etis, dan bertanggung jawab.

2. Pelatihan bagi Medical Representative merupakan tanggung jawab perusahaan farmasi


dan/atau Pedagang Besar Farmasi (PBF).

3. Perusahaan farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi bertanggung jawab atas seluruh
pernyataan dan aktivitas para Medical Representative-nya.

4. Medical Representative

tidak diperbolehkan menawarkan, hadiah/penghargaan, insentif, donasi, finansial, dan bentuk


lain yang sejenis kepada profesi kesehatan, PBF, dan Apotek.

Dokter

Dokter menjadi peran sentral dalam pemasaran dan promosi obat keras, dimana
perusahaan farmasi akan mempromosikan produknya ke dokter dan dokter akan menuliskan
obat tersebut di dalam resep sesuai dengan diagnosanya terhadap pasien. Karena perannya
yang penting itulah para perusahaan farmasi berlomba-lomba untuk memenangkan ”hati”
dokter dengan cara, misalnya memberikan hadiah, barang, maupun perjalanan wisata.
Pemasaran obat yang dilakukan dengan cara pendekatan tatap muka dengan dokter yang
berpraktek di rumah sakit ataupun praktik pribadi membuka kemungkinan terjadinya
kerjasama antara dokter dengan perusahaan farmasi. Jumlah tempat praktek, terutama jumlah
pasien berobat menjadi ukuran untuk menentukan bentuk, arah permufakatan dan besaran
kompensasi. Tentu tidak semua dokter melakukan kerjasama dengan perusahaan farmasi
melalui Medical Representative-nya, akan tetapi kompensasi yang ditawarkan pada sang
dokter sangat menggiurkan sehingga kerjasama pun tak dapat dihindari. Tindakan para
perusahaan farmasi tersebut dapat mengganggu independensi dokter dalam menjalankan
tugasnya, terutama dalam penulisan resep. Dalam Pasal 3 Kode Etik Kedokteran Indonesia
disebutkan bahwa:

”Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.”
Seluruh Kode Etik Kedokteran Indonesia mengemukakan betapa luhur pekerjaan
profesi dokter. Meskipun dalam melaksanakan pekerjaan profesi, dokter memperoleh
imbalan, namun hal ini tidak dapat disamakan dengan usaha penjualan jasa lainnya.
Pelaksanaan profesi kedokteran tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi
lebih didasari sikap perikemanusiaan dan mengutamakan kepentingan pasien. Sehingga
dalam hal promosi obat, dokter dilarang untuk menjual contoh obat yang diterima cuma-
cuma dari perusahaan farmasi dan menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena
dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.

Apoteker

Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang


Pekerja Kefarmasian, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker dan bekerja di sarana pelayanan kefarmasian
yang disebut dengan apotek. Dan menurut Pasal 1 angka 13, yang dimaksud dengan apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.
Apoteker juga menjadi sasaran pemasaran dan promosi obat keras oleh perusahaan farmasi
maupun PBF, walaupun porsinya tidak sebesar dokter. Ketua Ikatan Sarjana Farmasi
memperkirakan diskon yang diberikan oleh perusahaan farmasi maupun PBF mencapai 50%.
Dalam Kode Etik Apoteker Pasal 5 disebutkan bahwa di dalam menjalankan tugasnya setiap
Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang
bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

Konsumen

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang


Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Yang
dimaksud dengan pasien
menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada dokter atau dokter gigi. Oleh karena itu, pasien merupakan konsumen dari
suatu jasa seorang dokter dan juga konsumen suatu perusahaan farmasi, dalam hal pasien
tersebut merupakan konsumen akhir suatu obat.

Hak-hak konsumen yang berkaitan dengan penggunaan dan promosi obat keras, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.

Hak-hak konsumen yang disebutkan di atas adalah hak-hak konsumen secara umum,
sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak, yaitu:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis

d. Menolak tindakan medis

e. Mendapatkan isi rekam medis.

Kedua ketentuan yang memuat hak-hak konsumen maupun pasien tersebut bersifat
saling melengkapi dan tidak saling tumpang tindih. Dalam kaitannya dengan pemasaran dan
promosi obat keras, pasien sebagai konsumen mempunyai hak untuk mengetahui obat yang
diresepkan kepadanya. Dan juga pasien sebenarnya mempunyai hak untuk memilih dan/atau
menolak obat yang akan dikonsumsinya, meskipun itu adalah obat keras. Jadi baik
perusahaan farmasi dan dokter wajib untuk memenuhi hakhak seorang konsumen, dalam hal
ini pasien, dan tidak hanya memikirkan keuntungan semata.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ansel, Howard. C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press, 1989.

Citrawinda, Cita. Budaya Hukum Indonesia menghadapi Globalisasi: Perlindungan Rahasia


Dagang di Bidang Farmasi. Jakarta: Chandra Pratama, 1999.

Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. Pemasaran Obat Keras. Jakarta: GP

Farmasi, 2010.

Guwandi, J. Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: FKUI, 1991.

International Pharmaceutical Manufacturers Group. Kode Etik IPMG Tentang Pemasaran


Produk Farmasi Revisi Juli 2009. Jakarta: IPMG, 2009.

Kartajaya, Hermawan. MarkPlus on Strategy. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Keraf, A. Sonny. Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Kotler, Philip dan Gary Armstrong. Dasar-Dasar Pemasaran [Principles of Marketing 7e].
Diterjemahkan oleh Alexander Sindoro. Jakarta: Prenhallindo, 1997.

Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Mertokusumo, Soedikno. Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Cet. II. Yogyakarta: Liberty,
2001.

Pane, Amir Hamzah. Strategi Industri Farmasi Indonesia dalam Menghadapi Era Pasar
Bebas. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia Program Studi Magister
Manajemen, 1998.

Priyambodo, Bambang. Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global Pustaka Utama,


2007.

Sartono. Apa yang Sebaiknya Anda Ketahui tentang Obat-Obat Bebas dan Bebas Terbatas.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Suryawati, Sri. Etika Promosi Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Yogyakarta: Pusat Studi
Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat Universitas Gadjah Mada, 1997.

Umar, M. Manajemen Apotek Praktis. Cet I. Solo: CV. Ar-Rahman, 2005.

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia (a). Undang-Undang Kesehatan. UU No. 36 Tahun 2009. LN No. 114,

TLN No. 5063.

______(b). Undang-Undang Obat Keras. St. No. 419 Tahun 1949.

______(c). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang


Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotik. LN No. 40
Tahun 1980, TLN No. 3169.

_____(d). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pekerjaan Kefarmasian. PP


No. 51 Tahun 2009. LN No. 124 Tahun 2009, TLN No. 5044.

______(e). Undang-Undang Praktik Kedokteran. UU No. 29 Tahun 2004. LN No. 116, TLN
No. 4431.

______(f). Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak


Sehat. UU No. 5 Tahun 1999. LN No. 33, TLN No. 3817.

______(g). Undang-Undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN No. 42,


TLN No. 3821.

______(h). Undang-Undang Praktik Kedokteran. UU No. 29 Tahun 2004. LN No. 116, TLN
No. 4431.

______(i). Undang-Undang Rumah Sakit. UU No. 44 Tahun 2009. LN No. 153, TLN No.
5072.
Departemen Kesehatan

(a). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 925/Menkes/PER/X/1993 Tentang Daftar


Perubahan Golongan Obat No. 1.

______(b). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/SK/IX/2002 Tentang


Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/PER/X/1993 Tentang
Pedagang Besar Farmasi.

______(c). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1010/MENKES/PER/XI/2008 Tentang Registrasi Obat.

Anda mungkin juga menyukai