Anda di halaman 1dari 8

Akulturasi Agama Dalam Ritual Sedekah Laut di Cirebon dan Cilacap

 Bayu Kreshna Adhitya Sumarto

Manajemen Sumberdaya Pantai, Universitas Diponegoro

Email : bayu.kreshnaadhitya@gmail.com

Abstract

The culture of community  sometimes can be change when there are some cultures from the outside
come for mixed. Without aware, we have been   on the change. Religion acculturation in Indonesia is
very effect on the culture inside, An example “Sedekah Laut” a culture from Indonesia is a part of the
religion acculturation, beginning of the history of development, to the sustainability of current activities.
Acculturation of “Sedekah Laut” in Indonesia especially in the Cirebon and Cilacap come from mixing of
the culture animism and dynamism, the Hindu-Buddhist and Islamic.

Key Words : Religion Acculturation , Culture, Sedekah Laut, Cilacap, Cirebon.


1.    Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dan agama yang sangat besar
(heterogen), seperti yang telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang pada
setiap pulaunya memiliki kultur yang berbeda-beda, dan hal ini sering disebut sebagai multi etnis dan
agama.

Dalam hal ini, Budaya dan Agama sangat berkaitan erat, dikarenakan dalam studi antropologi istilah
culture (budaya) secara etimologis berkaitan dengan sesembahan yang dalam bahasa latin berarti
“cultus” dan “culture”, sehingga budaya tercipta dari hasil pengaruh agama terhadap diri manusia
(Izebigovic, 1992).

Keberagaman kultur budaya dan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia, tentunya tidak datang
secara tiba-tiba yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, namun melalui beberapa tahapan
perkembangan sejarah Negara. Mulai dari sejarah warisan budaya pribumi masa lampau, hingga
kedatangan pedagang-pedagang dari luar yang membawa kebudayaan dan agama bangsa mereka
(kultur luar) ke wilayah Nusantara (khususnya Maluku dan Jawa).

Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling kental tentang akulturasi keagamaannya, terkait dengan
adat istiadat pribumi pada saat itu hingga penyebaran agama (yang mulai mengubah membaur dalam
budaya) oleh bangsa-bangsa dari luar yang melakukan aktivitas perdagangan di Indonesia.

Pada awal sejarah Indonesia, Tanah Jawa di kenal dengan faham animisme dan dinamisme-nya, dimana
sebagain besar masyarakat Jawa pada saat itu melakukan pendewaan dan pemitosan pada ruh-ruh
nenek moyang yang kemudian menjadikannya sebagai dewa pelindung pemiliki kekuatan gaib yang
melindungi keluarga yang masih hidup (Ridwan, 2005).

Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib pada saat itu, dipandang sebagai dewa atau bahkan Tuhan
yang dapat menolong, ataupun sebaliknya yang dapat mencelakakan. Hingga mulai timbul-lah inisiatif
pembuatan kegiatan ritual-ritual yang mendatangkan arwah nenek moyang atau dewa, kemudian
mengucapkan mantra, memberikan sesaji dan sebagainya di dalam upacara ritual tersebut. Dalam hal
ini, W. Robertson Smith memandang bahwa upacara yang dilakukan pada saat itu berfungsi sebagai
motivasi yang dimaksudkan tidak hanya berbakti kepada dewa ataupun untuk mencari kepuasan
batiniah yang bersifat individual saja, namun juga karena mereka menganggap melaksanakan ritual
keagamaan adalah bagian dari kewajiban sosial (Koentjarajakti, 1992).

Sedekah laut merupakan bagian ritual “keagamaan” pada saat itu yang masih tertinggal hingga kini
dalam lingkup keberlangsungan hidup nelayan. Ritual sedekah laut sangat kental terasa di wilayah Jawa
khususnya Pantai Selatan Jawa. Ritual sedekah laut dikenal pada masyarakat awam Jawa dengan definisi
pemberian macam-macam sesaji kepada yang mbau rekso atau yang menguasai laut selatan yang
dikenal dengan sebutan kanjeng ratu kidul, sebagai bentuk rasa syukur (berterima kasih) atas rejeki laut
dan keselamatan yang telah diterima saat melaut.
            Di daerah Cirebon dan Cilacap tradisi sedekah laut diadakan setiap setahun sekali yaitu pada
bulan Sura (nama salah satu bulan pada tanggalan jawa) atau Muharam (nama salah satu bulan pada
tanggalan islam) bertepatan dengan hari Jum’at kliwon atau Selasa kliwon.

2.    Akulturasi Agama di Indonesia  

Akulturasi menurut Koentjaraningrat (1999) dapat diartikan sebagai bentuk percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi disuatu kawasan atau lingkungan
masyarakat, atau proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, yang terserap
secara selektif, sedikit ataupun banyak.

Akulturasi agama itu sendiri berarti dapat diartikan sebagai masuknya agama (kepercayaan) dari luar
(asing) kesuatu daerah yang sebelumnnya telah memiliki kepercayaan, kemudian berinteraksi dan
membaur sehingga lambat laut akan terjadi percampuran kepercayaan didalamnya. Akulturasi agama
(kepercayan) di Indonesia, dimulai pada abad pertama masehi hingga abad ke 6 masehi dimana agama
Hindu dan Budha masuk ke Indonesia oleh para pedagang-pedagang di Pesisir Nusantara, yang dalam
sejarah bangsa Indonesia ditandai dengan berdirinya kerajaan Kutai Kartanegara, Mataram dan
Majapahit (Hindu),  kemudian Syailendra dan Sriwijaya (Budha). Keseluruhannya adalah kerajaan-
kerajaan besar Hindu-Budha dijamannya yang kemudian memberikan kontribusi atau kemajuan
tersendiri bagi keberlangsungan kepercayaan masyarakat Indonesia yang beraliran animisme dan
dinamisme  pada saat itu, yang kemudian lahirlah yang namanya Hindu-Budha yang kejawen. Di dalam
kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi yang kemudian pada jaman Hindu-
Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa, yang berarti rakyat harus tunduk kepada
raja untuk mencapat keselamatan dunia-akhirat (Onghokham. 1991). Hal ini yang nantinya berpengaruh
pada otoritas sultan atau raja dalam pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan masyarakat pada saat itu.

Pada abad ke 12 masehi islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang Gujarat yang mendarat di
Pesisir Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, hal tersebut ditandai dengan adanya kerajaan Perlak,
Samudera Pasai, Aceh, Demak dan sebagainya.

Di Jawa, Islam menghadapi suasana yang kompleks yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh
karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya.  Pertama,
budaya nelayan dan petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih
dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung unsur
filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas (Simuh, 1995).

Akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa yang telah dimasuki budaya Hindu-Budha dapat ditemukan
dalam wujud gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah genealogis, meskipun
raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar genealogis teratas dilukiskan dalam
konsep  nur-roso dan  nur-cahyo. Menurut silsilah keraton,  nur-roso dan  nur-cahyo inilah yang
melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek-moyang raja-raja Jawa. Istilah  nur-roso dan  nur-
cahyo walaupun konotasinya bersifat Jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-
Muhammad (Kuntowijoyo, 1996).
Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai
berikut: 

“Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang berputrakan Sis.  Sis berputrakan 
Nur-cahyo,  nur-cahyo berputrakan  nur-rasa,  nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara
guru disebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu) (Olthof, 2008).

Dalam Perkembangannya pengaruh islam pada masyarakat Indonesia tidak lepas dari peran para wali
yang dikenal oleh orang Jawa sebagai Wali Songo (Sembilan Wali). Para wali di Jawa dalam berdakwah
lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat Jawa yang
lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat
bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit.

   Hal inilah bentuk akulturasi yang sampai sekarang masih terasa melekat dalam tradisi “Sedekah Laut”
saat ini, Aliran animisme dan dinamisme dalam tujuan ritual, kemudian pelaksanannya yang masih
tergantung dari kebijakan pihak keraton atau raja, dan terakhir isi mantra-mantra yang dibacakan
menggunakan bahasa arab atau bahkan sebagian menyunting dari ayat dalam kitab suci umat islam
yaitu Al-Qur’an. Ketiga budaya keagamaan tersebut melebur dalam satu ritual masyarakat yang
bernama “Sedekah Laut”.

3.    Sedekah Laut

Tradisi sedekah laut merupakan membuang sesaji ke laut dengan maksud memberikan makan kepada
yang mbaurekso atau penguasa laut.

 Sedekah Laut di Cirebon

Sumber : erwini.files.wordpress.com

   
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sedekah laut pada dasarnya diadakan sebagai bentuk
rasa syukur masyarakat nelayan kepada Tuhan, penguasa laut, hantu laut, ruh-ruh nenek moyang dan
sebagainya (menurut kepercayaan masing-masing). Tradisi ini dilakukan juga sebagai bentuk
permohonan keselamatan, permohonan ijin melaut sepanjang tahun, dan kesejahteraan laut yang
menjadi ladang mencari rejeki.

Sedekah Laut di Cilacap

Sumber : jateng.tribunnews.com

Ritual sedekah laut umumnya dilakukan pada bulan Sura atau bulan Muharam di hari-hari yang telah di
tetapkan, semisal jumat kliwon dan selasa kliwon di bulan tersebut. Bulan Muharam adalah bulan yang
sakral bagi umat islam bahkan menjadi salah satu bulan suci bagi umat islam sebagai bentuk evaluasi
diri, pengutaraan rasa syukur kepada Allah SWT  dan pergantian tahun pada kalender Hijriah. Begitupun
dalam kacamata orang jawa yang telah terakulturasi kebudayan Islam dari animisme-dinamisme dan
Hindu-Budha, hanya bedanya,, bagi sebagian masyarakat Jawa bulan Suro adalah bulan yang mistis atau
keramat. Pada bulan ini, umumnya masyarakat Jawa tidak berani untuk melakukan kegiatan apapun,
seperti pernikahan ataupun hajatan, dikarenakan takut menimbulkan petaka bagi keberlangsungan
hidup mereka (Purwanti, 2010).

Kegiatan di bulan Sura biasanya adalah kegiatan selametan dan persembahan yang sering diikenal
dengan istilah-istilah tirakatan (selametan) dan Sadranan atau Nadran (Pembuatan nasi tumpeng yang
dihiasi lauk pauk dan bermacam-macam kembang yang kemudian di Larung ke laut disertai dengan
kepala kerbau) “Sedekah Laut”.

Menurut beberapa definisi etimologi nadran berasal dari bahasa arab yaitu nadar yang berarti
“syukuran”, sesuai dengan akulturai dari pengaruh islam di Jawa yang menurut orang Jawa (Jawa
Kejawen) sebagai bentuk rasa syukur kepada penguasa “halus” wilayah tertentu, menggunakan sesaji,
dupa dan sebagainya,  sebagai perantara perlancar maksud seperti tradisi Hindu-budha.

3.1. Sedekah Laut di Cirebon

Sedekah laut di cirebon dikenal dengan sebutan “nadran”, seperti yang telah disebutkan diatas yang
berarti “syukuran”. Sedekah laut di Cirebon dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas rejeki laut yang telah diperoleh selama 1 tahun melaut dan memohon agar dimasa
mendatang dapat menghasilkan lebih banyak lagi (ikan).

Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara
Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon)
disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana
Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang
mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu (yang sekarang
Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk
menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang
Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah
untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu
Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah
sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut).
Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon.
Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan
kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta (Agustina,
2009).

Pada Nadran di Cirebon ada istilah Bedug Basu, yaitu tokoh (roh leluhur) yang menjadi cikal bakal
adanya ikan di laut. Dalam ritualnya, sedekah laut juga meminta keselamatan agar terhindar dari
gangguan roh-roh halus yang jahat.

Umumnya ritual nadran disertai  dengan penyajian tari-tarian, pegelaran wayang kulit, doa-doa dan
mantra juga sesajen.

Pada prosesi pelaksanaannya, nadran atau sedekah laut di Cirebon biasanya diawali dengan
pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain
putih dan kemudian bersama dengan perangkat sesajen lainnya dilarung ke tengah laut lepas dan kepala
kerbau tersebut ditenggelamkan. Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagi-bagikan kepada
anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut sebagai bancaan atau berkah yang langsung dimakan
ataupun dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga.

3.2. Sedekah Laut di Cilacap

Pada masyarakat Cilacap, sedekah laut lebih dikenal dengan istilah Larung sesaji, yang merupakan
prosesi  menghanyutkkan sesaji ke laut sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan penguasa laut pantai selatan, Nyai Roro Kidul. Sosok Nyai Roro Kidul sangat dihormati
dikalangan nelayan Cilacap, mereka berpendapat bahwa Nyai Roro Kidul adalah Ratu Pantai Selatan
yang menjaga, mengatur serta menghidupi kelangsungan kehidupan di Pantai selatan Jawa. Mereka
juga berpendapat bahwa, penghasilan baik dan buruknya mereka melaut adalah tergantung dari
bagaimana kebaikan dari Ratu Pantai Selatan, oleh sebab itu guna menarik mendapatkan ridho, berkah
dan keselamatan dari sang ratu, maka setiap tahun masyarakat melakukan persembahan kepada Nyai
Roro Kidul dalam bentuk “Sedekah Laut”   

Pada mulanya ditahun 1871, tradisi ini dilakukan pada masa pemerintahan Tumenggung cakrawerdaya
III. Pada saat itu, ia memerintahkan kepada sesepuh pandanarang, Ki Arsa Menawi untuk melarungkan
sesasji kelaut pada bulan Sura, yaitu pada hari selasa dan jum’at Kliwon, sebagai wujud syukur kepada
Tuhan dan Nyai Roro Kidul. Walaupun sempat terhenti, namun ritual sedekah laut kembali diangkat
pada tahun 1982 oleh Bupati Poedjono Pranjoto hingga saat ini.

Secara keseluruhan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam proses pelaksaannya Sedekah laut di
Cirebon maupun di Cilacap, hanya istilahnya saja yang banyak berbeda. Dalam sedekah laut di Cilacap,
ada istilah jolen yang berarti tempat sesaji dan hiasan jolen yang bernama janur (daun kelapa). Jolen-
jolen inilah yang nantinya akan di larung kelaut bersama dengan kepala kerbau di daerah Teluk Penyu
sekitar Karang Bandung sisi Timur Pulau Nusakambangan.

Berikut adalah tahapan prosesi sedekah laut di Cilacap :

a.       Pemasangan baliho dan iklan oleh pihak pemerintah mengenai jadwal dan tempat pelaksanaan.

b.      Sebelum hari pelaksaan, dilakukan nyekar atau ziarah ke Pantai Karang Bandung (Pulau Majethi).

c.       Pengambilan air suci di sekitar Pulau Majethi, sebagai tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma.

d.      Malam harinya dilanjutkan dengan Tirakatan di Pendopo Kabupaten

e.       Pemotongan tumpeng, pembuatan sesaji dan jolen tunggul berbentuk rumah joglo, serta pernak-
pernik  kelengkapan yang akan di larung, termasuk pemotongan kepala kerbau.

f.       Esoknya, pembawaan sesaji (jolen) ke laut di iringi jolen tunggul dan jolen pendamping.

g.      Pembawaan sesaji ke kapal nelayan yang telah dihiasi hiasan warna-warni untuk dilepaskan ke
lautan.

h.      Pelepasan sesaji ke laut, dilaksanakan secara khidmat.

i.        Malam harinya, diadakan pertunjukaan wayang semalam suntuk dan acara berlangsung 2 hari
penuh.

4.    Penutup

Tradisi Sedekah laut, Nadran, Larung Sesaji atau Sadranan memiliki landasan filosofi yang berakar dari
keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat, walau dibalik
keberlangsungan sejarah ritual sedekah laut terdapat sedikit polemik tentang bagaimana  ritual tersebut
terbentuk di masyarakat.

Mencoba mengangkat kembali bahwa ritual sedekah laut tidak serta-merta muncul mentah hasil
warisan budaya jaman dahulu, namun peran serta sejarah terutama “akulturai agama” yang ada
didalamnya turut memberikan torehan nilai-nilai budaya. Animisme-dinamisme yang menjadi akar awal
adanya ritual ini, lalu tata cara dan tahapan yang mendapat sentuhan Hindu-Budha, serta nuansa islam
yang ada pada isi haturan setiap bait kata syukur dalam prosesi tersebut. 

Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam ritual sedekah laut baik di Cirebon maupun di Cilacap termuat
dibalik rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai filosofi yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai
solidaritas, etis, estetis, kultural dan religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-
upacara yang disajikan melalui bentuk-tari-tarian, nyanyian, doa-doa dan ritus-ritus lainnya, terlepas
darimana dan bagaimana kebudayaan itu terbentuk atau tercipta.

Anda mungkin juga menyukai