Disusun oleh:
Samuel Taniel Mulyadi (XI IPA 1/23)
Harmonisasi Hak dan Kewajiban Asasi
Manusia dalam Perspektif Pancasila
3. Hakikat HAM
Pengertian HAM
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah
penghormatan kepada manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Masa Esa yang
mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan
penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi
hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta
keharmonisan lingkungannya.
John Locke
Menurut John Locke, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah hak yang
dibawa manusia sejak lahir dan secara kodrati melekat karenanya tak bisa diganggu
gugat sebab sifatnya mutlak.
Definisi mengenai HAM tersebut dituangkan Locke di dalam tulisannya berjudul Two
Treatises of Government yang diterjemahkan sebagai Dua Tulisan Tentang Pemerintahan.
Dalam tulisan tersebut, Locke menjelaskan mengenai hukum kodrat yang bersumber dari
tuhan. Menurutnya, hukum kodrat (hak dasariah) tersebut memberi larangan merusak serta
memusnahkan kehidupan, kebebasan serta harta milik orang lain. Larangan ini bersifat
mutlak tak bisa ditawar sebab bersumber dari kekuatan tertinggi yakni Tuhan.
David Beetham dan Kevin Boyle
HAM adalah hak-hak individual dan berasal dari berbagai kebutuhan serta kapasitas-
kapasitas manusia.
Franz Magnis- Suseno
Menurut Franz Magnis Suseno, HAM ialah hak-hak yang dimiliki manusia secara
alamiah (bersifat terberi, merupakan pembawaan karena ia lahir sebagai manusia) dan
bukan merupakan pemberian dari unsur/lembaga di luar manusia itu sendiri seperti
masyarakat, pemerintah, dll. HAM harus dimiliki oleh setiap manusia dan tetap dijaga,
dihormati, serta tidak boleh dirampas oleh orang lain, sebab HAM merupakan penanda
martabat kemanusiaan itu sendiri, yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain.
Miriam Budiharjo
Miriam Budiardjo, HAM adalah hak manusia yang diperoleh dan dibawa bersama
kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat. ... HAM berlaku untuk semua orang tanpa
memandang jenis kelamin, ras, agama. etnis, pandangan politik atau asal usul sosial dan
bangsa
Upaya untuk menelusuri sejarah hak asasi manusia terganjal oleh perdebatan mengenai titik
awalnya. Secara umum dan abstrak, nilai-nilai yang mendasari hak asasi manusia (seperti
keadilan, kesetaraan, dan martabat) dapat ditemukan dalam berbagai masyarakat dalam sejarah.
Konsep-konsep yang terkait dengan hak asasi manusia sudah dapat ditelusuri paling tidak
semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Hammurabi di Babilonia pada abad ke-18 SM, dan
juga dengan munculnya kitab-kitab agama. Apabila yang dijadikan tolok ukur adalah sejarah
gagasan bahwa semua manusia memiliki hak kodrati, konsep ini sudah ada setidaknya dari
zaman Yunani Kuno dengan munculnya pemikiran filsuf-filsuf Stoikisme. Namun, klaim-klaim
historis semacam ini telah menuai kritikan karena dianggap menyamaratakan gagasan mengenai
keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dengan konsep hak asasi manusia modern.
Apabila sejarah HAM yang ditelusuri adalah sejarah HAM modern yang ditegakkan secara
hukum di tingkat nasional dan internasional saat ini, dapat dikatakan bahwa sejarahnya bermula
dari piagam-piagam yang mencantumkan kebebasan-kebebasan yang melindungi pemilik hak
dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin, dan dokumen yang mungkin bisa dianggap
sebagai titik awalnya adalah Magna Carta di Kerajaan Inggris dari tahun 1215. Namun, Magna
Carta pun masih dianggap bermasalah, karena dokumen ini hanya melindungi para bangsawan
yang kuat dari kekuasaan Raja Inggris. Maka dari itu, masa yang dianggap sangat berpengaruh
terhadap konsep HAM modern yang mencakup semua umat manusia adalah Abad Pencerahan
pada abad ke-18 dengan munculnya tulisan-tulisan karya John Locke yang terkait dengan hukum
kodrat.[4] Pakar hak asasi manusia Eva Brems bahkan membuat pernyataan yang lebih keras
dalam bukunya yang berjudul Human Rights: Universality and Diversity (2001) dengan
menyatakan bahwa "Sumber rumusan hak asasi manusia di tingkat internasional saat ini sulit
untuk ditilik kembali ke masa sebelum Abad Pencerahan, atau di tempat di luar Eropa dan
Amerika. Gagasan bahwa PUHAM berakar dari segala kebudayaan tidaklah lebih dari sekadar
mitos." Pakar HAM Jack Donnelly juga menulis bahwa "Tidak ada masyarakat, peradaban, atau
budaya sebelum abad ketujuhbelas (...) yang telah memiliki praktik, atau bahkan visi, yang
banyak didukung mengenai hak asasi manusia secara individual yang setara dan tak dapat
dicabut."
Magna Carta dianggap sebagai lambang perjuangan hak-hak asasi manusia, dan dianggap
sebagai tonggak perjuangan lahirnya hak asasi manusia.
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Prancis: La Déclaration des droits
de l'Homme et du citoyen) adalah salah satu dokumen fundamental dari Revolusi Prancis,
menetapkan sekumpulan hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia. Diadopsi pada 26
Agustus 1789, oleh Majelis Konstituen Nasional (Assemblée nationale constituante), sebagai
langkah awal untuk penulisan sebuah konstitusi. Ini menetapkan hak-hak fundamental tidak
hanya bagi warga negara Prancis tetapi memperuntukan hak-hak ini untuk seluruh manusia
tanpa terkecuali:
“ "Manusia dilahirkan bebas dan tetap setara di dalam hak. Perbedaan sosial dapat
ditemukan hanya pada keperluan umum." ”
Universal Declaration of Human Rights (Isi Pernyataan Pernyataan Umum tentang Hak-
Hak Asasi Manusia) antara lain mencantumkan, bahwa setiap orang mempunyai hak:
1. Hidup
2. Kemerdekaan dan keamanan badan
3. Diakui kepribadiannya
4. Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk
mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum,
dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
5. Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
6. Mendapatkan asylum
7. Mendapatkan suatu kebangsaan
8. Mendapatkan hak milik atas benda
9. Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
10. Bebas memeluk agama
11. Mengeluarkan pendapat
12. Berapat dan berkumpul
13. Mendapat jaminan sosial
14. Mendapatkan pekerjaan
15. Berdagang
16. Mendapatkan pendidikan
17. Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
18. Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan
B. Teori HAM
Teori perjanjian Masyarakat
Teori perjanjian masyarakat adalah teori tentang asal mula negara yang menyatukan
negara karena dibentuk dari kemauan masyarakat dengan suatu perjanjian.
Penganut teori Perjanjian Masyarakat antara lain: Grotius (1583-1645), John Locke
(1632-1704), Immanuel Kant (1724-1804), Thomas Hobbes (1588-1679), J.J. Rousseau
(1712-1778)
a. Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurutnya syarat membentuk Negara adalah dengan mengadakan perjanjian bersama
individu-individu yang tadinya dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua
hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan. Teknik perjanjian
masyarakat yang dibuat Hobbes sebagai berikut setiap individu mengatakan kepada individu
lainnya bahwa “Saya memberikan kekuasaan dan menyerahkan hak memerintah kepada
orang ini atau kepada orang-orang yang ada di dalam dewan ini dengan syarat bahwa saya
memberikan hak kepadanya dan memberikan keabsahan seluruh tindakan dalam suatu cara
tertentu.
Tanpa peraturan, kehidupan manusia tidak berbeda dengan cara hidup binatang buas,
sebagaimana dilukiskan oleh Thomas Hobbes: Homo homini lupus dan Bellum omnium
contra omnes. Teori Perjanjian Masyarakat diungkapkannya dalam buku Leviathan.
Ketakutan akan kehidupan berciri survival of the fittest itulah yang menyadarkan
manusia akan kebutuhannya: negara yang diperintah oleh seorang raja yang dapat
menghapus rasa takut.
Demikianlah akal sehat manusia telah membimbing dambaan suatu kehidupan yang tertib
dan tenteram. Maka, dibuatlah perjanjian masyarakat (contract social). Perjanjian
antarkelompok manusia yang melahirkan negara dan perjanjian itu sendiri disebut pactum
unionis. Bersamaan dengan itu terjadi pula perjanjian yang disebut pactum subiectionis, yaitu
perjanjian antarkelompok manusia dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis. Isi
pactum subiectionis adalah pernyataan penyerahan hak-hak alami kepada penguasa dan
berjanji akan taat kepadanya.
John Locke menyusun teori Perjanjian Masyarakat dalam bukunya Two Treaties on
Civil Government bersamaan dengan tumbuh kembangnya kaum borjuis (golongan
menengah) yang menghendaki perlindungan penguasa atas diri dan kepentingannya. Maka
John Locke mendalilkan bahwa dalam pactum subiectionis tidak semua hak manusia
diserahkan kepada raja. Seharusnya ada beberapa hak tertentu (yang diberikan alam) tetap
melekat padanya. Hak yang tidak diserahkan itu adalah hak azasi manusia yang terdiri: hak
hidup, hak kebebasan dan hak milik. Hak-hak itu harus dijamin raja dalam UUD negara.
Menurut John Locke, negara sebaiknya berbentuk kerajaan yang berundang-undang dasar
atau monarki konstitusional.
J.J. Rousseau dalam bukunya Du Contract Social berpendapat bahwa setelah menerima
mandat dari rakyat, penguasa mengembalikan hak-hak rakyat dalam bentuk hak warga
negara (civil rights). Ia juga menyatakan bahwa negara yang terbentuk oleh Perjanjian
Masyarakat harus menjamin kebebasan dan persamaan. Penguasa sekadar wakil rakyat,
dibentuk berdasarkan kehendak rakyat (volonte general). Maka, apabila tidak mampu
menjamin kebebasan dan persamaan, penguasa itu dapat diganti.
Mengenai kebenaran tentang terbentuknya negara oleh Perjanjian Masyarakat itu, para
penyusun teorinya sendiri berbeda pendapat. Grotius menganggap bahwa Perjanjian
Masyarakat adalah kenyataan sejarah, sedangkan Hobbes, Locke, Kant, dan Rousseau
menganggapnya sekadar khayalan logis.
Tiga jenis kekuasaan pada teori Trias Politica meliputi kekuasaan (pelaksana undang-
undang), kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).
Berikut isinya:
1. Legislatif
Kewenangan u/ membuat Peraturan perundang-undangan di Indonesia dilaksanakan
oleh DPR & MPR (dan DPD)
2. Yudikatif
Kewenangan u/ mengadili perkara-perkara. Di Indonesia dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
3. Eksekutif
Melakukan dan mengawasi jalannya peraturan perundang-undangan. Di Indonesia
dilaksanakan oleh Presiden
Teori kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
berada di tangan rakyat.[1] Teori ini berusaha mengimbangi kekuasaan tunggal raja atau
pemimpin agama.[1] Dengan demikian, teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa Teori ini
menjadi dasar dari negara-negara demokrasi. Penganut teori ini adalah John Locke,
Montesquieu dan J.J Rousseau.[1]
John Locke menyatakan bahwa terbentuknya negara didasarkan pada asas pactum
unionis dan pactum subjectionis.[2] Pactum unionis adalah perjanjian antarindividu untuk
membentuk negara, sedangkan pactum subjectionis adalah perjanjian antara individu dan
negara yang dibentuk.[2] Perjanjian tersebut menentukan bahwa individu memberikan mandat
kepada negara atau pemerintah.[2] Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat
kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi yang ditetapkan dalam pactum
subjectionis.[2]