Anda di halaman 1dari 3

Kekeringan merupakan salah satu bencana hidrometeorologis yang silih berganti terjadi di

Indonesia. Kekeringan menyebabkan ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk
kebutuhan hidup. (http://www.bnpb.go.id/pengetahuanbencana).
Menurut buku pengenalan karakteristik bencana dan upaya mitigasinya di Indonesia jilid II oleh
badan koordinasi nasional penanganan bencana (BAKORNAS PB, 2007), kekeringan adalah
salah satu permasalahan yang berdampak negatif bagi suatu wilayah. Kekeringan sebagai sebuah
bencana yang timbul akibat dari kurangnya curah hujan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan antara lain:
a. Hujan
Kekeringan dapat terjadi kalau hujan banyak terjadi tidak merata atau menyimpang dari normal.
b. Jenis tanaman
Tanaman akan mengalami kekeringan jika jenis tanaman yang ditanam mempunyai jumlah
kebutuhan air setiap tingkat pertumbuhan tidak sesuai dengan pola agihan hujan yang ada.
c. Tanah
Tanah sangat menentukan kemungkinan terjadinya kekurangan air yang mengakibatkan besar
kecilnya kekeringan. Perbedaan fisik tanah akan menentukan cepat lambatnya atau besar
kecilnya kemungkinan terjadinya kekeringan

Salah satu Bahaya kekeringan adalah dampak dari perubahan iklim global El Nino dan La Nina.
El Nino sebagai penyimpangan iklim yang mengakibatkan kemarau panjang, sedangkan La Nina
yang menyebabkan musim penghujan panjang. Keduanya merupakan fenomena alam yang
bersifat normal dan selalu terulang pada pola tertentu (Kodoatie: 2011)
Sehingga perlu adanya pencegahan dan penanggulangan mengenai fenomena tersebut. Salah satu
pencegahan dan penanggulangannya dengan cara pembuatan peta persebaran daerah rawan
bencana kekeringan menggunakan metode SIG (Sistem Informasi Geografis).

Perkembangan pemanfaatan data spasial akhir-akhir ini semakin meningkat karena kebutuhan
masyarakat yang meningkat pula. Hal ini berkaitan dengan meluasnya pemanfaatan SIG (Sistem
Informasi Geografis) dan teknologi dalam memperoleh, merekam dan mengumpulkan data yang
bersifat keruangan atau spasial (Ulfa, 2017). Sistem informasi geografis mempermudah tampilan
peta secara modern dalam suatu kajian perencanaan suatu studi wilayah.
Berikut adalah diagram alir pengerjaan yang sy sdh persiapkan
Yang pertama adalah studi literature yang dapat membantu pengerjaan project ini
Kemudian menentukan parameter parameter untuk diproses dalam pengerjaan
Selanjutnya pengumpulan data berupa data spasial dan data non spasial
Di dalam pengolahan data ini dimaksudkan untuk data spasial yang akan diproses melalu
topologi dan editing lainnya. Kemudian pembuatan basis data pada data non spasial.
Pada analisa sistem informasi geografis ini menggunakan metode scoring (pengharkatan) dan
metode overlay (tumpang tindih)
Pengharkatan (Scoring)
Metode pengharkatan adalah pemberian skor terhadap masing-masing kelas dalam setiap
parameter. Pemberian harkat ini didasarkan pada seberapa besar pengaruhnya terhadap
kekeringan. Semakin tinggi pengaruhnya terhadap kekeringan maka harkat yang diberikan akan
semakin tinggi.
g) Tumpang Tindih (Overlay)
Tumpang tindih merupakan interaksi atau gabungan dari beberapa peta biofisik pemicu
kekeringan. Tumpang tindih beberapa peta menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk
luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa poligon dari peta-peta tersebut.
Dilakukan overlay dengan metode intersect. Overlay ini didasarkan dari parameter yang telah
diberi scoring atau pengharkatan.

Penelitian ini menggunakan lima parameter yaitu jenis tanah, kemiringan lereng, tekstur tanah,
curah hujan, dan penggunaan lahan. Hasil dari overlay tiap parameter ini dikelompokkan ke
dalam 5 klasifikasi tingkat kekeringan yaitu potensi kekeringan sangat rendah, potensi
kekeringan rendah, potensi kekeringan sedang, potensi kekeringan tinggi dan potensi kekeringan
sangat tinggi. (Hadi et al., 2016).
Areal persawahan yang mengalami kekeringan di Malang dan daerah yang dilanda krisis air,
ternyata bukan tanpa sebab. Dari data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Stasiun Klimatologi Karangploso, Malang, disebabkan karena tiga hal.
Menurut Ahmad Luthfi, Prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Stasiun Klimatologi Karangploso, Malang, mengungkapkan bahwa ada tiga penyebab.
Diantaranya, akibat musim kemarau, curah hujan yang sangat kecil, dan dinamika curah hujan di
bawah rata-rata.
“Kekeringan akan bertambah parah dengan curah hujan yang jauh lebih kecil,” jelas Luthfi saat
ditemui MALANGTIMES di kantornya, Jumat (24/7/2015) siang.
Dari pantauan MALANGTIMES, di beberapa daerah di Malang Raya, memang terjadi
kekeringan. Yang kondisinya lebih adalah beberapa desa di Kabupaten Malang. Terutama warga
yang krisis air bersih. Hingga kini, pihak pemerintah belum bertindak untuk menangani kondisi
kekeringan yang menimpa Kabupaten Malang.

Anda mungkin juga menyukai