Anda di halaman 1dari 12

Seri Guru Kreatif

Mengajar Bahasa Menyenangkan


M.N. Arifin
Sultan Maulana Hasanuddin Banten State Islamic University
moh.nur.arifin@uinbanten.ac.id

1. Pendahuluan

Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya


manusianya. Kualitas sumber daya manusia itu tergantung pada kualitas pendidikannya.
Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, damai,
terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan harus selalu
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan suatu bangsa.
Kemajuan bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan
yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan harkat
dan martabat manusia Indonesia. Untuk mencapai itu, pembaharuan pendidikan di
Indonesia perlu terus dilakukan untuk menciptakan dunia pendidikan yang adaptif
terhadap perubahan zaman.
Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di
Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang
dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan
persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah,
sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Anak-anak hanya tahu
bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta
itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai. Itu sebagian dari persoalan dalam
dunia pendidikan kita yang saat ini terus kita benahi bersama. Salah satu bentuk usaha
meningkatkan mutu pendidikan kita adalah menciptakan kurikulum yang lebih
memberdayakan anak-anak. Untuk itu, perlu dirancang sebuah kurikulum yang
berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional, yakni melahirkan manusia
Indonesia yang berkualitas dan kompeten. Kurikulum tersebut dikenal dengan
kurikulum berbasis kompetensi.
Richards (2001:129) menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada
perilaku yang dapat diamati yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari
dengan berhasil. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran
seharusnya juga dirumuskan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang akan
menggunakan lulusan sekolah sehingga rumusannya berhubungan dengan pekerjaan
yang akan dipilih siswa. Konsep ini ternyata juga diadopsi di negara-negara seperti
Amerika dan Australia dalam konteks pengajaran bahasa yang dikenal dengan
Competency-Based Language Teaching yang disingkat CBLT. CBLT didasarkan pada
model rancangan kurikulum yang memperhatikan faktor efisiensi ekonomi dan sosial
yang memberikan kemampuan kepada siswanya untuk dapat berpartisipasi secara
efektif dalam masyarakat (Richards 2001:132)
Perkembangan terkini yang terjadi di negara seperti Australia dan Amerika
Serikat menunjukkan pergerakan menuju pengembangan “standar”. Standar, atau yang
lazim disebut benchmark, diterapkan untuk mengukur tingkat literasi

1
(kemahirwacanaan) siswa. Silabus bahasa Inggris sekolah dasar Australia, misalnya,
secara jelas merumuskan standar literasi apa yang diharapkan dicapai siswa pada tiap
akhir tahun pelajaran. Di Amerika Serikat, pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing
pun telah memasuki era standar ini. Organisasi profesi pengajar bahasa Inggris TESOL,
misalnya, telah mengembangkan standar-standar dalam bentuk kompetensi yang harus
dicapai siswa mulai taman kanak-kanak hingga kelas dua belas (Richards 2001:133).
Tujuannya tak lain adalah untuk membekali kemampuan kepada lulusan agar dapat
berpartisipasi dalam dunia yang senantiasa berubah.
Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa,
dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan
menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan yang
memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk menggunakan bahasa
di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna L. Matlin, 1989:2).
Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan berbahasa
di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan pembelajaran
karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang terintegrasi
dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran language arts,
sementara itu tugas-tugas komunikasi yang kompleks adalah inti kemahirwaanaan
tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001). Pada mulanya, di AS, literasi tingkat tinggi
hanya merupakan tujuan pendidikan lembaga pendidikan elite, sementara lembaga
pendidikan massal (pada umumnya) hanya mengarah pada literasi tingkat rendah.
Dalam perkembangan selanjutnya, terkait dengan pertumbuhan masyarakat industri
yang sangat tergantung pada informasi dan teknologi, standar literasi menjadi
meningkat ke arah literasi tingkat tinggi. Oleh karena itu, guru language arts atau guru
bahasa pada umumnya dituntut dapat meningkatkan literasi tingkat tinggi pada
siswanya. Untuk mencapai tuntutan literasi tingkat tinggi tersebut langkah
pengembangan literasi lintas kurikulum merupakan upaya realistis yang perlu terus
diujicobakan (Resnick, 1987; CED, 2001).
Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan
pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata
dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses
yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk
komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001).
Lingkungan yang kaya bahan cetakan dan memberi kesempatan untuk menggunakannya
akan mendorong siswa mengujicobakan dengan literasi. Siswa merasa membaca-
menulis sebagai cara baru mengomunikasikan sesuatu yang berbeda dengan bahasa
lisan. Mereka mengobservasi lingkungan cetakan (sumber-sumber cetakan) dan
“bermain” membaca dan menulis. Dengan cara ini mereka merasa bahwa literasi adalah
bagian dari perkembangan alamiah mereka (Salinger, 2001). Demikian juga, guru yang
memahami bahwa membaca dan menulis sering berkembang secara simultan dapat
membantu siswa menemukan kembali kemunculan keterampilan literasi di dalam
sebuah konteks yang bermakna (Graves, 2001).
Selain kesadaran-kesadaran baru yang dimotivasi oleh perubahan praktis dalam
kehidupan sehari-hari, terjadi pula kesadaran-kesadaran baru pada tataran teoretis atau
filosofis yang membentuk paradigma baru dalam memaknai pengajaran bahasa.
Pemaknaan baru yang antara lain disebabkan oleh hasil-hasil penelitian di bidang
linguistik terapan otomatis mempengaruhi kurikulum pengajaran bahasa. Ini adalah
perubahan alami sebab pengembangan kurikulum berada dalam area linguistik terapan
(Richards 2001:2). Kemajuan-kemajuan temuan di bidang ini tampaknya juga telah

2
mempengaruhi kurikulum-kurikulum di negara maju seperti Amerika, Inggris,
Australia, Singapura, dan sebagainya. Perubahan yang cukup signifikan adalah
diletakkannya wacana atau discourse dalam posisi sentral.
Meskipun kesadaran akan pentingnya wacana dalam dunia pendidikan bahasa
telah ada selama kurang lebih tiga puluh tahunan, namun baru belakangan ini analisis
wacana memasuki jalur utama dalam pendidikan bahasa asing di sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi di Eropa dan Amerika (Kern 2000:18). Pergeseran paradigma
pengajaran bahasa menuju ke pengajaran bahasa yang menyiapkan siswanya untuk
memiliki kompetensi agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat moderen ini disebut
oleh Kern (2000:15) sebagai pendekatan literasi. Pendekatan ini menurut Kern:
represents a style of teaching educators ought to consider if they wish to prepare
learners for full participation in societies that increasingly demand multilingual,
multicultural and multitextual competence (Kern, 2000:15-16)

Berpartisipasi dalam komunikasi bahasa berarti berpartisipasi dalam penciptaan


teks, baik lisan maupun tulis. Haliday dan Hasan (1976:1) mendefinisikan teks sebagai
wacana, lisan maupun tulis, seberapapun panjangnya, yang membentuk satu kesatuan
yang utuh. Hymes (1971:10) menyebut kemampuan berkomunikasi, yang berarti
menciptakan wacana, sebagai communicative competence. Dengan demikian, kurikulum
yang mengklaim sebagai berbasis kompetensi perlu mendefinisikan secara jelas apa
yang dimaksud dengan communicative competence.

2. Pembahasan
2.1 Pengajaran Bahasa
Pengajaran merupakan upaya membelajarkan siswa. Kegiatan pengupayaan ini
akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien.
Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan
siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pengajaran,
menetapkan strategi penyampaian pengajaran, menetapkan strategi pengelolaan
pengajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pengajaran. Oleh karena itu,
setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pengajaran untuk
setiap jenis kegiatan pengajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pengajaran
yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pengajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar
dapat terpenuhi. Gilstrap dan Martin (1975) juga menyatakan bahwa peran pengajar
lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pebelajar, terutama berkenaan dengan
kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pengajaran.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. ‘Language
pedagogy is concerned with the ability to use language in communicative situations’
(Ellis, 1996: 74). Oleh karena itu, pengajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud,
1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa
diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan
mendengarkan.
Sedangkan secara umum tujuan pengajaran bahasa, menurut Vivian Cook
(2002) adalah untuk a) Self Development, b) a method of training new cognitive
processes c) a way-in to the mother-tongue, d) an entrée to another culture, e) a form of
religious observance, f) a means of communicating with those who speak another

3
language, dan g) the promotion of intercultural understanding and peace. Secara
spesifik Cook (2002) membagi tujuan pengajaran bahasa terdiri dari tujuan eksternal
dan internal . Tujuan eksternal terkait dengan fungsi bahasa diluar kelas seperti untuk
keperluan travelling, membaca buku, berkomunikasi dengan foreigner dll. Sedang
tujuan internal pengajaran bahasa berkaitan erat dengan perkembangan mental anak
didik sebagai individu; seperti kemampuan mengungkapkan ide, berfikir, memahami
bahasa asing dengan beragam pendekatan atau bahkan kesadaran budaya (cultural
awareness).
 
2.2 Strategi Pengajaran Bahasa
Pembicaraaan mengenai strategi pengajaran bahasa tidak terlepas dari
pembicaraan mengenai approach, method dan technique mengajar.  Sebelum diskusi
lebih lanjut tentang metologi pengajaran bahasa, kita akan mereview kembali apa itu
metode. Ada dua pendapat berbeda tentang konsep dan definisi metode, yaitu Edward
Antony (1963) dan Richard & Rodgers (1986). Anthony membuat tiga konsep metode
secara hirarkis, yaitu approach, method dan technique. Menurut Anthony; pendekatan
adalah serangkaian asumsi yang berkaitan dengan sifat bahasa, pembelajaran dan
pengajaran. Sementara itu, metode didefinisikan sebagai keseluruan rencana penyajian
sistematik bahasa berdasarkan suatu pendekatan terpilih. Dan teknik adalah kegiatan
khusus dalam kelas yang merupakan aplikasi konkrit dari suatu metode.

Pendapat kedua adalah menurut Richards dan Rodgers (1986), bagi keduanya;
metode adalah payung untuk approach dan technique. Dengan kata lain, method adalah
pandangan filosofis dan sudut pandang tentang suatu proses. Douglas Brown
memandang bahwa mayoritas peneliti dan praktisi lebih cenderung memegang konsep
Edward Anthony.

Ada beberapa poin menarik untuk didiskusikan berkaitan dengan method.


Kumaravadivelu (1994), berpandangan agak berbeda dengan linguist-linguist
sebelumnya; Richards, Rodgers dan Anthony, ia menganggap bahwa konsep tentang
metode, kini, sudah tidak lagi menjadi issu sentral dalam dunia pembelajaran bahasa.
Ada beberapa alasan untuk itu;

a) Metode sangat bersifat prescriptive.


b) Secara umum method bersifat sangat distinctive.
c) Mungkin orang bisa mengatakan, secara empiris, method dapat kuantifikasi
untuk menentukan mana metode yang paling “baik”, namun dalam kenyatanaan
tidak demikian, bahwa segala yang bersifat art atau intuitive (languge pedagogi),
tidak bisa diverikfikasi dengan validasi empiris.
d) Metode bisa bermuatan politik kepentingan—Pennycook menyebut dengan
“interested knowledge”.

Lebih tegas lagi, David Nunan (1991) menyatakan bahwa kini metode tidak lagi
menjadi hal yang penting dalam pengajaran bahasa, saat ini yang menjadi issu penting

4
adalah bagaimana mengembangkan classroom task, classroom activities yang sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. It has been that there never was and probably never
will be a method for all, and the focus in recent years has been on the development of
classroom task and activities which are consonant with what we know about second
language acquisition, and which are also in keeping with the dynamic of classroom
itself.

Namun demikian, setidaknya guru bahasa harus mengetahui dan mengenal


model-model atau strategi pembelajaran bahasa. Berikut adalah beberapa strategi
pembelajaran bahasa dan langkah-langkah aplikasinya;

1. Example on Example

Langkah-langkah :

a. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran

b. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui LCD

c. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk


memperhatikan/menganalisa gambar

d. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar
tersebut dicatat pada kertas

e. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya

f. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai
tujuan yang ingin dicapai

g. Kesimpulan

2. Picture and Picture

Langkah-langkah :

1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai

2. Menyajikan materi sebagai pengantar

3. Guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan


materi

4. Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian memasang/mengurutkan


gambar-gambar menjadi urutan yang logis

5. Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut

5
6. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep/materi
sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai

7. Kesimpulan/rangkuman

3. Number Head Together (SPENCER KAGAN, 1992)

Langkah-langkah :
1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat
nomor
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota
kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil
melaporkan hasil kerjasama mereka
5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain
6. Kesimpulan

4. Cooperative Script (DANSEREAU CS., 1985)

Skrip kooperatif : metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan bergantian
secara lisan mengikhtisarkan, bagian-bagian dari materi yang dipelajari

Langkah-langkah :

1. Guru membagi siswa untuk berpasangan

2. Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat


ringkasan

3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan
siapa yang berperan sebagai pendengar

4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan


ide-ide pokok dalam ringkasannya.

Sementara pendengar :

5. Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap

6. Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi


sebelumnya atau dengan materi lainnya

7. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan


sebaliknya. Serta lakukan seperti diatas.

8. Kesimpulan Siswa bersama-sama dengan Guru

6
9. Penutup

5. Student Teams-Achievement Divisions (STAD) (SLAVIN, 1995)

Langkah-langkah :

1. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran


menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll)

2. Guru menyajikan pelajaran

3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota


kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua
anggota dalam kelompok itu mengerti.

4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis
tidak boleh saling membantu

5. Memberi evaluasi

6. Kesimpulan

6. Jigsaw (Model Tim Ahli) (ARONSON, BLANEY, STEPHEN, SIKES, AND


SNAPP, 1978)

Langkah-langkah :

1. Siswa dikelompokkan ke dalam kelompok 2 - 5 anggota tim

2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda

3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan

4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang
sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub
bab mereka

5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal
dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka
kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh

6. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi

7. Guru memberi evaluasi

8. Penutup

7
7. Problem Based Introductuon (PBI)

Langkah-langkah :

1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan.


Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.

2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar


yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal,
dll.)

3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen


untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data,
hipotesis, pemecahan masalah.

4. Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai


seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya

5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap


penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

8. Mind Mapping

Sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal siswa atau untuk menemukan alternatif
jawaban

Langkah-langkah :

1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai

2. Guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh


siswa/sebaiknya permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban

3. Membentuk kelompok yang anggotanya 2-3 orang

4. Tiap kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi

5. Tiap kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya dan
guru mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan guru

6. Dari data-data di papan siswa diminta membuat kesimpulan atau guru memberi
bandingan sesuai konsep yang disediakan guru

9. Make a Match (Lorna Curran, 1994)

Langkah-langkah :

8
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya
kartu jawaban

2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu

3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang

4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya (soal jawaban)

5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin

6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya

7. Demikian seterusnya

8. Kesimpulan/penutup

10. Think a pair (FRANK LYMAN, 1985)

Langkah-langkah :

1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai

2. Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan


guru

3. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan


mengutarakan hasil pemikiran masing-masing

4. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil


diskusinya

5. Berawal dari kegiatan tersebutmengarahkan pembicaraan pada pokok


permasalahan dan menambah materi yang belum diuangkapkan para siswa

6. Guru memberi kesimpulan

7. Penutup

11. Role Play

Langkah-langkah :

1. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan

2. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum kbm

9
3. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang

4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai

5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang
sudah dipersiapkan

6. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil


memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan

7. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai


lembar kerja untuk membahas

8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya

9. Guru memberikan kesimpulan secara umum

10. Evaluasi

11. Penutup

12. Snowball Throwing

Langkah-langkah :

1. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan

2. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua


kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi

3. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing,


kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya

4. Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk


menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah
dijelaskan oleh ketua kelompok

5. Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke
siswa yang lain selama ± 15 menit

6. Setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada


siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola
tersebut secara bergantian

7. Evaluasi

8. Penutup

1. Prinsip-prinsip pengajaran bahasa

10
Brown (1994) membuat daftar dua belas prinsip (twelve prinsiples) pengajaran bahasa;
a) Otomaticity
b) Meaningful Learning
c) The anticipation of reward
d) Intrinsic motivation
e) Strategic investement
f) Language ego
g) Self-confidence
h) Risk taking
i) The languade culture connection
j) The native language effect
k) Interlanguage
l) Communicative competence

Ada tiga hal penting bagi pengajar bahasa setelah mengetahui prinsip-prinsip
diatas; yaitu a) diagnosis, b) treatment dan c) assessment.
Diagnosis; yaitu melakukan analisis atau studi pendahuluan terhadap perencanaan
pengajaran (kurikulum) yang dilanjutkan terhadap pengamatan dan monitoring kegiatan
belajar di kelas. Dalam istilah Richard kegiatan ini disebut dengan analisis situational
needs atau studi analisis konteks pengajaran.
Treatment; pada tahap ini pengajar melakukan treatment/perlakuan terhadap siswa;
bisa berupa aplikasi metode pengajaran yang telah ditentukan. Atau, bisa juga tahap ini
adalah penentuan course of study, atau learning experience yang akan diajarkan dikelas.
Assessment; atau penilaian adalah kegiatan terakhir dari ketiga tahap diatas, dimana
guru akan menilai hasil suatu proses pembelajaran. Apakah tujuan pembelajaran telah
berhasil atau belum. Tahap ini lebih ditekankan pada penilain unjuk karya siswa
(students’ performance).

Selain prinsip-prinsip diatas, Richards menulis duabelas karakter pengajaran yang


efektif;

1) Kurikulum yang direncanakan secara matang


2) Siswa memiliki Ekspektasi yang tinggi
3) Belajar berorientasi pada siswa

11
4) Pengajaran harus fokus dan jelas
5) Proses belajar selalu dimonitor
6) Diadakan remedial—bagi siswa yang belum benar-benar paham
7) Waktu yang cukup—efektif dan efisien
8) Rutinitas kelas yang teratur
9) Dibentuk kelompok belajar—sesuai dengan kebutuhan
10) Standar kelas yang tinggi
11) Interaksi positif—guru siswa
12) Insentif dan rewards untuk siswa.

3. Simpulan
Pengetahuan tentang metodologi pengajaran bahasa baik secara teori maupun praktis,
dirasa sangat penting bagi guru bahasa. Konsep tentang approach, method dan
technique perlu dipahami secara serius dan komprehensi. Juga, perlu disadari oleh
guru dan praktisi pendidikan bahasa bahwa munculnya metode-metode pengajaran
bahasa yang sangat beragam itu pada hakikatnya disebabkan oleh adanya perbedaan
pandangan tentang; a) hakekat bahasa, b) hakikat belajar bahasa, c) tujuan
pengajaran bahasa, d) jenis silabus yang digunakan, e) peran guru, pelajar, dan
materi pembelajaran, dan f) teknik dan prosedur yang digunakan.

Sesungguhnya tidak ada satu pun metode atau teknik yang paling baik; bagi guru
tugasnya adalah mencari metode atau teknik yang cocok dengan anak didiknya di
kelas.
 

DAFTAR PUSTAKA

Ellis, R. (1985). Understanding Second Language acquisition. Oxford : University.


Brown, Douglas.H.(2000) Prociples of Language Learning and Teaching. Sanfracisco
Press.
Genesee, Freed and A. Upshur, John. (1996). Classroom Based Evaluation In Second
Language Education. Cambridge University.
G. Brown, A. Anderson, R.Shillcock and Yule.(1984). Teaching Talk : Strategiesfor
production and assessment. Cambridge University Press.
Hallday,M.A.K.(1978).Language as social semiotic Open University: London
Haycraft, John. (1978). An Introduction to English Language Teaching. Longman
Group.
Jack C. Richardss & Willy Renandya, Methodology in Language Teaching, London:
Combridge Press.
Jack C. Richards and Theodore s. Rodgers, Approach and Method in Language
Teaching, London: Combridge Press.

12

Anda mungkin juga menyukai