Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HARTA DAN KEPEMILIKAN DALAM EKONOMI ISLAM


Diajukan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Filsafat Ekonomi Islam
Oleh Dosen Pengampu : Muhammad Iswadi, M.SI

Disusun Oleh :
Nadia Widayanti (1831811033)
Shindy Safira Puteri (1831811036)
Resty Dharmaragusta (1831811037)
Chairunnisa Rahma Sari (1831811039)

PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN SAMARINDA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam senantiasa Allah karuniakan
atas penutup dan Nabi paling mulia, Muhammad SAW juga atas segenap
keluarganya, para shahabat, para Tabi’in dan Tabi’in-tabiin serta para pengikut setia
Nya hingga akhir zaman.

Makalah yang berjudul “Harta dan Kepemilikan dalam Ekonomi Islam” ini,
kami susun unuk memenuhi tugas yang diamanahkan kepada kami pada mata kuliah
Filsafat Ekonomi Islam serta sebagai wasilah untuk memperdalam tentang Ekonomi
Islam dan pihak lain yang berkenan membacanya, makalah ini fokus pada pokok
bahasan sehingga mudah dipahami dan memiliki ruang lingkup yang terbatas pada
judul diatas. Oleh karena itu, kami berterima kasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah menyempatkan kami menyelesaikan tugas ini.
2. Bapak M. Iswadi, M.SI Selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah
Filsafat Ekonomi Islam
Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk perbaikan
makalah mendatang. Untuk itu pada kesempatan ini kami menyampaikan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami berharap mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amiin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Samarinda, Maret 2020

Penyusun
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………1
C. Tujuan ............................................................................................ 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepemilikan .................................................................. 2
B. Seba-Sebab Kepemilikan ................................................................ 3
C. Klasifikasi Kepemilikan…………………………………………………8
D. Perlindungan Atas Kepemilikan………………………………………..12
E. Harta dan Fungsi Sosial…………………………………………….......15

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan ………………………………………………………….18
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai realisasi universitas Islam, masalah kepemilikan diatur secara luas
dalam Fiqh Mu’amalah bidang al-Mal (harta benda) dan al-Milk (milik). Perihal
kepemilikan diatur agar tidak terjadi pelanggaran hak (milik) seseorang oleh pihak
lain, sebab manusia memiliki kecenderungan materialistis. Islam mengakui
adanya hak milik pribadi maupun milik umum. Islam juga menghormati hak
milik sekaligus memberikan aturan-aturannya seperti jika hak milik seseorang
telah mecapai jumlah tertentu harus didistribusikan kepada orang lain.
Dalam Islam, hakikat kepemilikan atas alam serta isinya mutlak berada
ditangan Allah, sedangkan kepemilikan manusia bersifat nisbi dan temporal
sebagai pemberian Allah agar manusia berkemampuan mengatasi kebutuhannya
serta dapat menunaikan fungsinya sebagai pemakmur dunia sekaligus hamba
Allah yang senantiasa mengabdi kepada-Nya secara vertical maupun horizontal.1
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Kepemilikan
2. Sebab-Sebab Kepemilikan
3. Klasifikasi Kepemilikan
4. Perlindungan atas Kepemilikan
5. Harta dan Fungsi Sosial

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Kepemilikan
2. Mengetahui dan Memahami Sebab-Sebab Kepemilikan
3. Mengetahui Klasifikasi Kepemilikan
4. Memahami Perlindungan atas Kepemilikan
5. Memahami dan Mempelajari Harta dan Fungsi Sosial

1
M. Sularno, Konsep Kepemilikan dalam Islam, dalam jurnal Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003, h.
81

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kepemilikan
Secara Etimologis, kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk yang
berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-Milk juga berarti sesuatu yang
dimiliki (harta). Milik juga berarti hubungan seseorang dengan suatu harta
benda yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan
khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum
terhadap harta itu, kecuali ada halangan syara’.
Secara terminologis, al-milk yaitu pengkhususan seseorang terhadap suatu
benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda itu
(sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan syara’. 2
Dalam ekonomi Islam, kepemilikan yang hakiki hanya milik Allah,
sebagaimana firman-Nya dalam surah Ann-Nur ayat 33, yang berarti”
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)-nya, sehingga Alllah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan
budahl-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah
kamu membuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka, dan berikanlah pada mereka sebagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-
budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.
Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka
dipaksa (itu).
Allah adalah pemilik mutlak (absolut), sedangkan manusia memegang hak
milik relatif. Artinya, manusia hanyalah sebagai penerima titipan, trustee
(pemegang amanah) yang harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah.
Jadi, menurut ekonomi Islam, penguasaan manusia terhadap sumber daya,

2
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Kencana, 2014) h. 113

2
faktor produksi atau aset produksi hanyalah bersifat titipan dari Allah.
Pemilikan manusia atas harta secara absolut bertentangan dengan tauhid,
karena kepemilikkan sebenarnya hanya ada pada Allah semata.
Pandangan ini sangat bertolak belakang dengan paham kapitalisme yang
menganggap harta adalah milik manusia itu sendiri, karena manusia yang
mengusahakannya sendiri. Untuk itu, menurut paham ini, manusia bebas
menentukkan cara mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya, tanpa
perlu melihat halal haramnya.
Pandangan Islam tentang harta (sumber daya) juga berbeda dengan sosialis
yang tidak mengakui kepemilikan individu. Semua adalah milik negara,
individu hanya diberikan sebatas yang diperlukan dan bekerja sebatas yang
dibisa.3

B. Sebab-sebab kepemilikan
Adapun maksud dengan sebab-sebab pemilikkan harta disini adalah sebab
yang menjadikan seseorang memiliki harta tersebut, yang sebelumnya tidak
menjadi hak miliknya. Sebab pemilikkan harta itu telah dibatasi dengan
batasan yang telah disebutnya oleh syara’. Menurut syariat Islam setidaknya
ada empat sebab kepemilikkan (asbab al-tamalluk) yang dijadikan sebagai
sumber daya ekonomi, yaitu:4
1. Bekerja (al’amal)
Kata “bekerja” wujudnya sangat luas, bermacam-macam jenisnya,
bentuknya pun beragam, serta hasilnya pun berbeda-beda, maka Allah
swt tidak membiarkan “bekerja” tersebut secara mutlak. Allah juga
tidak menetapkan “bekerja” tersebut dengan bentuk yang sangat
umum. Akan tetapi Allah menetapkan dalam bentuk kerja-kerja
tertentu yang layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan.
Bentuk-bentuk kerja yang disyari’atkan, sekaligus bisa dijadikan
sebagai pemilikan harta antara lain:
3
Ibid, h. 114
4
Ali Akbar, Konsep Kepemilikan dalam Islam, dalam Jurnal Ushuluddin, Vol. XVIII No.2, Tahun
2012, h.127

3
a. Menghidupkan tanah mati (ihya al-mawaat)
Tanah mati ialah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan
tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Sedangkan yang dimaksud
dengan menghidupkannya adalah mengolahnya dengan
menanaminya, baik dengan tanaman ataupun pepohonan, atau
dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan adanya usaha
seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi
telah menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya. Berdasarkan
sabda Nabi Saw. menyatakan :
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah (mati
yang telah di hidupkan) tersebut adalah miliknya.” (HR. Imam
Bukhari dari Umar bin Khattab)
Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua bentuk
tanah; baik tanah dar al-Islam (Negara Islam), ataupun tanah dar
al-kufur (Negara kufur), baik tanah tersebut berstatus ‘usyriyah
(yang dikuasai Negara Islam tanpa melalui peperangan) ataupun
tanah kharajiyah (yang ditaklukkan Islam melalui peperangan).
Kepemilikan atas tanah tersebut agar menjadi hak miliknya, maka
tanah tersebut harus dikelola selama tiga tahun secara terus-
menerus sejak mulai dibuka. Apabila tanah tersebut belum pernah
dikelola selama tiga tahun berturut-turut sejak tanah itu dibuka,
atau setelah dibuka malah dibiarkan selama tiga tahun berturut-
turut, maka hak kepemilikkan orang yang bersangkutan atas tanah
tersebut telah hilang.
b. Menggali Kandungan Bumi
Yang termasuk kategori bekerja adalah menggali apa yang
terkandung dalam perut bumi, yang bukan merupakan harta yang
dibutuhkan oleh suatu komunitas (publik), atau disebut rikaz.
Adapun harta temuan hasil penggalian tersebut merupakan hak
seluruh kaum muslimin, maka harta galian tersebut merupakan hak
milik umum (collective property). Apabila harta tersebut asli,

4
namun tidak dibutuhkan oleh suatu komunitas (publik), semisal
ada seorang ada pemukul batu yang berhasil menggali batu
bangunan dari sana, ataupun yang lain, maka harta tersebut tidak
termasuk rikaz, juga tidak termasuk hak milik umum (collective
property), melainkan termasuk hak milik individu (private
property).
Termasuk juga dalam pengertian jenis harta galian (hasil
perut bumi) seperti barang yang diserap dari udara, seperti oksigen
dan nitrogen. Begitu juga dengan ciptaan Allah yang telah
diperbolehkan syara’ dan dibiarkan agar bisa dimanfaatkan.
c. Berburu
Berburu termasuk dalam kategori bekerja. Misalnya
berburu ikan, mutiara, batu permata, bunga karang serta harta yang
diperoleh dari hasil buruan laut lainnya, maka harta tersebut adalah
hak milik orang yang memburunya, sebagaimana yang berlaku
dalam perburuan burung dan hewan-hewan yang lain. Demikian
harta yang diperoleh dari hasil buruan darat, maka harta tersebut
adalah milik orang yang membusurnya. Allah swt. berfirman
dalam surah al-Maidah ayat 96:
‫ﺻﻠﻰ‬
‫ َﻣﺘَﻌًﺎ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوﻟِﻠ ﱠﺴﯿﱠﺎ َر ِة‬,ُ‫ﺻ ْﯿ ُﺪ ا ْﻟﺒَﺤْ ِﺮ َوطَﻌَﺎ ُﻣﮫ‬
َ ‫أَ ِﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ‬
‫ﺻ ْﯿ ُﺪ ا ْﻟﺒَ ﱢﺮ ﻣَﺎ ُد ْﻣﺘُ ْﻢ ُﺣ ُﺮﻣًﺎ‬
َ ‫َو ُﺣ ﱢﺮ َم َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ‬
“Dihalalkan bagimu, binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi
orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu
(menangkap) binatang buruan darat selama kamu ihram”.
d. Makelar (samsarah)
Simsar (broker/pialang) adalah sebutan bagi orang yang
bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan
menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk
orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain. Makelar

5
(samsarah) termasuk dalam kategori bekerja yang bisa
dipergunakan untuk memiliki harta secara sah menurut syara’.
e. Mudharabah (bagi hasil)
Mudharabah adalah perseroan (kerjasama) antara dua orang
dalam suatu perdagangan. Dimana, modal (investasi) financial dari
suatu pihak, sedangkan pihak lain memberikan tenaga (‘amal).
Dalam sistem mudharabah, pihak pengelola memiliki bagian pada
harta pihak lain karena kerja yang dilakukannya. Sebab
mudharabah bagi pihak pengelola termasuk dalam ketgori bekerja
serta merupakan salah satu sebab kepemilikkan. Akan tetapi,
mudharabah bagi pihak pemilik modal (investor) tidak termasuk
dalam kategori sebab kepemilikkan, melainkan merupakan salah
satu sebab pengembangan kekayaan. Nabi Saw pernah bersabda:
“Perlindungan Allah swt di atas dua orang yang melakukan
perseroan (kerjasama) selama mereka tidak saling mengkhianati.
Jika salah satu dari merek berdua mengkhianati mitranya, maka
Allah swt mencabut perlindungan-Nya atas keduanya.” (HR. Ad-
Daruquthny).
f. Musaqat (paroan kebun)
Musaqat adalah seseorang menyerahkan pepohonan
(kebun)nya kepada orang lain agar ia mengurus dan merawatnya
dengan mendapatkan konpensasi berupa bagian dari hasil
panennya. Dengan demikian, musaqat termasuk dalam kategori
bekerja yang telah dinyatakan kebolehannya oleh syara’.
g. Ijarah (kontrak kerja)
Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga
para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut.
Ijarah adalah pemilikkan jasa dari orang ajiir (orang yang
dikontrak tenaganya) oleh mustajir (orang yang mengontrak
tenaga), serta pemilikan harta dari pihak mustajir oleh seorang
ajiir. Sementara ajiir adakalanya bekerja untuk seseorang dalam

6
jangka waktu tertentu, seperti orang yang bekerja di laboratorium,
kebun, atau lading seseorang dengan honorarium tertentu, atau
seperti pegawai negeri atau swasta.
2. Pewarisan (al-irts)
Yang termasuk dalam kategori dalam sebab-sebab kepemilikkan
harta adalah pewarisan, yaitu pemindahan hak kepemilikan dari orang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnyam sehingga ahli warisnya
menjadi sah untuk memiliki harta warisan tersebut. Berdasarkan
firman Allah swt Surah An-Nisa ayat 11:
“Dan Allah swt mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya wanita lebih dari dua,maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan”.
Dengan demikian, pewarisan adalah salah satu sebab kepemilikan
yang disyariatkan. Oleh karena itu, siapa saja yang menerima harta
waris, maka secara syara’ dia telah memilikinya. Jadi waris merupakan
salah satu sebab kepemilikan yang telah diizinkan oleh syariat Islam.
3. Pemberian Harta Negara kepada Rakyat
Yang termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah
pemberian harta Negara kepada rakyat yang diambilkan dari harta
baitul mal, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, atau
memanfaatkan kepemilikan. Mengenai pemenuhan hajat hidup adalah
semisal memberi mereka harta untuk menggarap tanah pertanian atau
melunasi hutang-hutang. Umar bin Khattab telah membantu rakyatnya
untuk menggarap tanah pertanian guna memenuhi hajat hidupnya,
tanpa meminta imbalan. Kemudia syara’ memberikan hak kepada
mereka yang mempunyai hutang berupa harta zakat. Mereka akan

7
diberi bagian zakat tersebut untuk melunasi hutang-hutang mereka,
apabila mereka tidak mampu membayarnya.5
4. Harta yang Diperoleh Tanpa Kompensasi Harta atau Tenaga
Yang termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan
individu, sebagian mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta
tertentu tanpa kompensasi sejumlah harta atau tenaga apapun. Dalam
hal ini mencakup lima hal:
a. Hubungan pribadi, antara sebagian orang dengan sebagian yang
lain, baik harta yang diperoleh karena hubungan ketika masih
hidup, sepeti hibah, dan hadiah, ataupun sepeninggal mereka,
seperti wasiat.
b. Pemilikkan harta sebagai ganti rugi (kompensasai) dari
kemudharatan yang menimpa seseorang, semisal diyat orang yang
terbunuh atau diyat luka karena dilukai orang lain.
c. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad
nikah.
d. Luqathah (barang temuan)
e. Santunan yang diberikan kepada khalifah dan orang-orang yang
disamakan statusnya, yaitu sama-sama melakukan tugas-tugas
termasuk kompensasi kerja mereka, melainkan kompensasi dari
pengekangan diri mereka untuk melaksanakan tugas-tugas Negara.
Dengan demikian, Islam melarang seorang muslim memperoleh
barang dan jasa dengan cara yang tidak diridhoi Allah swt., seperti
judi, riba, pelacuran, korupsi, mencuri, menipu, dan perbuatan maksiat
lainnya.

C. Klasifikasi Kepemilikan
Menurut Ibnu Taimiyah yang dikutip Dr. A.A. Islahi, hak milik terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Hak milik individual (al-milkiyyat al-
fardiyyah/privat property), 2) Kepemilikan umum (al-milkiyyat al-

5
Ibid, h. 130

8
‘ammah/public property), 3) Kepemilikan negara (al- milkiyyat al-daulah/state
property).

1. Hak Milik Individual (Al-Milkiyyat Al-Fardiyyah/Privat Property)

Tentang akuisisi hak milik secara individual, Ibnu Taimiyah


secara sederhana menjelaskan dengan rinci untuk kepentingan yang
dibenarkan oleh syariat. Setiap individu memiliki hak untuk
menikmati hak miliknya, menggunakan secara produktif,
memindahkannya dan melindungi dari pemubadziran. Akan tetapi hak
tersebut dibatasi oleh sejumlah limitasi diantaranya: ia tak boleh
menggunakannya dengan tabdzir, tidak boleh menggunakannya dengan
semena mena dan tidak boleh bermewah mewahan. Dalam transaksi,
ia tidak boleh menggunakan pemalsuan, penipuan dan curang dalam
timbangan. Juga dilarang mengeksploitasi orang-orang yang
membutuhkan dengan cara menimbun barang, dan lain sebagainya.
Terpisah dengan pembatasan atas hak milik di atas, pemilik
juga diharuskan kepada sejumlah kewajiban tertentu. Kewajiban pokok
(fardhu `ain) setiap individu agar menggunakan hartanya untuk
kebutuhan sendiri dan keluarganya, sedangkan membantu orang miskin
adalah kewajiban sosial dalam kategori fardhu kifayah.
Doktrin Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia cenderung menghargai
hak milik atas kekayaan yang berfungsi sosial. Ketika seorang
individu tidak melakukan kewajiban sosial atas hak miliknya, maka
negara berhak melakukan intervensi atas hak milik pribadi individu
tersebut. Lebih lanjut negara berhak untuk memungut pajak diluar
kewajiban zakat, menetapkan denda, bahkan penyitaan atas hak milik
karena pertimbangan kondisi tertentu.
Kewajiban lain atas hak milik individu adalah kewajiban memberikan
pinjaman harta kepada orang lain yang membutuhkan , baik secara suka
rela (bi thariq al tabarru`) ataupun dengan mengambil keuntungan (bi
thariq al ta`widh). Kewajiban finansial yang tidak memberikan

9
keuntungan terbagi menjadi 4 jenis yaitu: pembayaran zakat,
menjamu tamu, menyantuni sanak kerabat, dan membantu orang
yang membutuhkan bantuan.
Secara alamiah manusia cenderung melakukan pertukaran barang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, syariah tidak menetapkan aturan
sepanjang pertukaran tersebut dilakukan dengan sukarela. Namun bila
tidak tercapai kesepakatan dengan suka rela, syariah menetapkan
kewajiban terntentu. Misalnya seseorang berhutang kepada orang lain,
dan ia memiliki barang yang dapat melunasi utang tersebut, maka
negara berhak memaksa orang tersebut agar menjual barangnya untuk
melunasi hutangnya. Dengan cara yang sama, negara dapat
mewajibkan seorang individu untuk menjual barang atau makanan dengan
harga yang wajar, yaitu ketika orang lain membutuhkan barang
tersebut, dan pemilik barang menolak menjualnya kecuali dengan harga
yang tinggi. Maka bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kedermawanan
harus dibatasi dengan moral dan hukum sekaligus.6

2. Kepemilikan Umum (Al-Milkiyyat Al-‘Ammah/Public Property)

Kepemilikan umum atau kolektif adalah hak milik yang


biasanya diperlukan untuk kepentingan sosial. Jika harta kekayaan
dimiliki oleh dua orang atau lebih, maka mereka bisa menggunakannya
sesuai dengan aturan yang mereka tetapkan. Apabila salah satu pihak
berusaha mengembangkan jumlah harta tersebut untuk kepentingan
bersama, maka pihak yang lain harus memberikan kontribusinya dan
bekerja sama untuk itu.
Contoh tentang hak milik secara kolektif adalah wakaf, yaitu
ketika sebuah harta kekayaan disumbangkan untuk tujuan tertentu atau
untuk kelompok masyarakat tertentu, maka ada kewajiban bahwa harta

6
Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, (trjm) H. Anshari Thayib, (Surabaya,: Bina
Ilmu, 1997), h.138-142

10
tersebut harus digunakan sesuai dengan maksudnya. Namun Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa harta wakaf bisa digunakan untuk
kepentingan lain apabila memberi manfaat yang lebih besar.
Obyek utama dari kepemilikan bersama adalah anugerah alam
semesta, seperti air, rumput dan api, yang secara khusus
disebutkan dalam hadits Rasulullah saw. Salah satu alasan dari
keharusan kepemilikan kolektif terhadap obyek obyek alam itu adalah
karena semua itu diberikan oleh Allah swt secara gratis, dan manusia
tidak mendapatkan kesulitan apapun untuk menggunakannya. Alasan
yang lain adalah demi kepentingan umum, jika ada seseorang menguasai
salah satu dari obyek alam tadi, maka akan mengakibatkan kesulitan bagi
masyarakat.7
3. Kepemilikan Negara (Al-Milkiyyat Al-Daulah/State Property)

Kategori ketiga adalah hak kepemilikan oleh negara, karena negara


membutuhkan hak milik untuk memperoleh penghasilan, yang pada
gilirannya dipakai untuk menjalankan kewajibannya. Misalnya untuk
menyelenggarakan pendidikan, memelihara hukum, menjaga keamanan
dalam negeri, melindungi kepentingan masyarakat dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sumber utama kekayaan negara
adalah zakat, pajak, wakaf, hadiah, pungutan denda dan harta
rampasan perang (ghanimah), serta barang temuan yang tidak ada
pemiliknya.
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan publik, kepala
negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah (care taker). Negara
berkewajiban memanfaatkannya guna kepentingan publik, namun
demikian tidak diperbolehkan untuk menggunakannya secara
berlebihan. Misalnya zakat harus dibagikan kepada orang orang yang
berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariah.

6
Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, (Yogyakarta:
Magistra Insania Press,2004) h. 143.

11
Negara mempunyai kewajiban untuk bekerja keras bagi
kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan
sosial dan mengurangi kesenjangan yang terjadi dalam distribusi
pendapatan individu. Lebih jauh Imam Mawardi menjelaskan bahwa
tugas negara adalah meneruskan misi Nabi Muhammad saw
dalam menjaga agama dan mengemban amanat kehidupan dunia.
Dari pembagian hak milik ini, bisa disimpulkan bahwa hak atas
harta benda itu bersifat kondisional dan tidak mutlak. Konsep Islam
tentang hak milik ini secara radikal sangat berbeda dengan
pandangan orang Romawi yang kemudian diadopsi oleh para ahli
ekonomi modern. Dalam Islam meskipun setiap individu bebas memiliki
kekayaan, namun demikian harus tunduk dan mengikuti ketentuan
syariah dan moral. Pada dasarnya hak milik pribadi adalah sebagai
institusi dasar, dan dalam kondisi kondisi tertentu negara mempunyai
wewenang untuk intervensi terhadap hak milik individu tersebut.
Namun demikian merupakan pemikiran yang salah bila
menyebutkan bahwa hak negara di atas segala galanya.8

D. Perlindungan Atas Kepemilikan


Dalam memberikan kebebasannya kepada individu untuk memiliki harta
kekayaan, Islam memberikan batasan-batasan tertentu agar kepemilikan
tersebut tetap dalam koridornya; tidak melepaskan begitu saja dan tidak
membebaskannya tanpa batas.
Wahbah Zuhaili menurut M.Pudjihardjono dan Nur Faizin Muhith
menjelaskan batasan-batasan tersebut.
1) Tidak membahayakan kepemilikan orang lain, sebab pada dasarnya
Islam memberikan kebebasan bagi individu untuk memiliki itu adalah
menghindari kemudharatan dan memberikan manfaat.
2) Kepemilikan individu juga harus didapatkan dengan cara atau aturan
yang sesuai dengan syariah. Oleh sebab itu Islam tidak mengakui
8
Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, Op. Ct., h. 144-145

12
kepemilikan yang terjadi karena pencurian, pencurian, riba dan lain-
lain. Dengan kata lain Islam tidak dapat mengakui kepemilikan
individu yang dilakukan dengan cara haram, tidak halal. Rasulullah
saw menegaskan bahwa Allah swt itu suci dan tidak menerima kecuali
yang suci juga.
3) Kepemilikan individu tidak dibenarkan atau dilarang, kepemilikan
dalam hal ini hanya diberikan untuk masyarakat secara umum, seperti
kepemilikan atas harta kekayaan yang memberikan manfaat umum,
seperti masjid, jalan raya, lautan, sungai, dan lain sebagainya.
Seseorang juga tidak dapat mengklaim terhadap harta kekayaan bumi
yang diciptakan langsung oleh Allah swt, seperti minyak, tambang
emas, dan sumber air. Sehingga dalam pandangan madzhab Maliki,
harta kekayaan seperti ini harus dikuasai oleh pemerintah. Selain itu
terdapat kepemilikan atas harta kekayaan individu namun pemerintah
memiliki hak untuk mengatur, seperti harta rampasan perang, dan
segala harta swasta yang dikelola Negara. Termasuk didalamnya
adalah pajak yang dibebankan kepada individu yang harus dibayarkan
kepada Negara.
4) Terdapat hak-hak masyarakat umum didalam harta kekayaan individu.
Dengan batasan seperti ini, maka Islam sebenarnya ingin
menghancurkan kapitalisme kekayaannya yang menumpuk pada
individu. Dengan kata lain fikih Islam ingin memeratakan kepemilikan
itu pada semua masyarakat dalam batasan-batasan yang kiranya dapat
mewujudkan keadilan social untuk semua umat manusia. Beberapa
aturan syariat yang bertujuan mewujudkan ini antara lain seperti
kewajiban zakat, mencukupi kaum fakir miskin, memberikan nafkah
kepada sanak kerabat yang kekurangan, zakat fitrah, sembelihan
kurban, nadzar melakukan kebaikan, dan segala bentuk infak di jalan
Allah swt.
5) Batasan etika Islam dalam dalam memproduksi maupun
mengkonsumsi. Sebuah Negara mempunyai hak untuk mengawasi

13
kegiatan produksi yang dilakukan oleh swasta agar jangan sampai
terjadi eksploitasi, terjadi monopoli, dan ketidak-adilan di dalam
tatanan social, sebut saja misalkan Islam mengharamkan praktik riba
(bunga yang mencekik), mengharamkan penimbunan (ihtikar),
penipuan, ketidakjujuran, berjudi, mengurangi timbangan, dan
sebagainya.
Batasan-batasan yang mengikat kepemilikan individu di atas dapat
dijadikan oleh Negara sebagai sebuah aturan yang sifatnya mengikat dan
wajib diikuti oleh rakyatnya. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai tatanan
norma-norma yang dikembangkan sebagai sebuah budaya yang mengakar dan
mendarah daging di dalam tatanan susila kehidupan bermasyarakat dalam
sebuah sistem pemerintahan.
Termasuk dalam batasan yang dapat dikembangkan sebagai norma dan
etika di dalam budaya masyarakat adalah kesederhanaan (tidak berlebihan)
dalam mengkonsumsi. Allah swt tegas melarang dikap tabdzir dalam Al-
Qur’an dalam surah al-Isra ayat 26:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.
Membudayakan malu untuk mengkonsumsi tanpa memiliki produksi.
Dengan kata lain, membangun keseimbangan antara konsumsi dan produksi,
salah satu bentuknya adalah dengan tidak bermalas-malasan untuk bekerja.
Memang betul Allah swt tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya
untuk beribadah, namun untuk memenuhi keperluan ibadah itu manusia harus
bekerja dan berkarya sehingga akan ada produksi sebagai keseimbangan dari
kebutuhannya dalam mengkonsumsi. Membudayakan bekerja di tengah
masyarakat sesuai dengan etika ekonomi Islam. Meminta-minta tanpa
melakukan usaha produksi bukanlah budaya Islam yang diajarkan, apalagi
dikembangkan dalam sebuah masyarakat.9

9
M. Pudjihardjono, Nur Faizin Muhith, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, cet.1
(Malang: UB Press, 2019), h. 14-17

14
E. Harta dan Fungsi Sosial
1. Harta
Para fiqaha’ memberikan berbagai definisi tentang harta. Sebagian dari
mereka mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang diingini oleh tabiat manusia
dan boleh disimpan untuk tempoh yang diperlukan atau sesuatu yang dapat
dikuasai, disimpan dan dimanfaatkan. Muhammad Salam Madkur menungkapkan
bahwa harta menurut para ulama fiqh ialah segala sesuatu yang boleh
dikuasai dan disimpan untuk dipergunakan kapan diperlukan. Al-Syarbaini al-
Khatib berpendapat, harta adalah sesuatu yang ada nilai dan orang yang
merusaknya akan diwajibkan membayar ganti rugi. Menurut golongan Hanafi,
harta merupakan benda atau barang yang boleh dikuasai dan kebiasaannya boleh
diambil faedah darinya. Maksudnya ialah sesuatu harta itu perlu ada dua unsur
yaitu:
a. Boleh dikuasai (hiyazah). Oleh karena itu, sesuatu barang yang tidak bisa
dikuasai, tidak dianggap harta. Jadi perkara-perkara maknawi seperti
pengetahuan, kesihatan, kemuliaan dan kecerdikan tidaklah dianggap harta sebab
ia tidak boleh dikuasai.
b. Pada kebiasaannya boleh diambil faedah. Oleh karena itu, sesuatu yang langsung
tidak boleh diambil faedah darinya seperti daging bangkai, makanan yang
beracun, makanan yang sudah rusak ataupun sesuatu yang boleh diambil manfaat
darinya, tetapi tidak dianggap manfaat oleh manusia, pada kebiasaannya seperti
sebiji gandum atau setitik air, maka ia tidak dianggap harta karena ia tidak
bermanfaat apabila terpisah dari kesatuan yang lainnya.10
2. Fungsi Sosial
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani
kehidupan di dunia ini, sehingga oleh para ulama ushul fiqh persoalan harta
dimasukan ke dalam salah satu al-daruria alkhamsah (lima
keperluan pokok), yang terdiri ke atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Penggunaan harta dalam ajaran Islam harus senantiasa dalam pengabdian
kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik

10
Rizal, Eksistensi Harta Dalam Islam , dalam jurnal Penelitian Vol.9 N0.1, 2015, h.95

15
harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu
sesama manusia.
“Dari Musa al-’Asy’ari dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata. Nabi s.a.w.
bersabda bahwa kewajiban bagi setiap orang Muslim untuk bersedekah.” (HR.
al-Bukhari).
Hadist ini menunjukkan bahwa dalam harta seseorang terdapat hak orang lain.
Inilah yang disebut dengan hak masyarakat yang berfungsi sosial untuk
kesejahteraan sesama manusia. Harta tidak saja berkedudukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah tetapi harta juga berfungsi dalam kehidupan ini.
Antara fungsi harta tersebut adalah:11
1) Harta merupakan amanah (titipan, as a trust) dari Allah swt. manusia hanyalah
pemegang amanah karena memang tidak mampu mewujudkan harta dari tiada.
2) Harta berfungsi sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia boleh
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki
kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati harta. Hal
ini selari dengan firman Allah dalam (Al-Qur’an, surat Ali Imran ayat 14) :

“Dihiaskan kepada manusia, mencitai syahwat (keinginan nafsu), seperti


perempuan-perempuan, anak-anak dan harta benda yang banyak dari emas,
perak, kuda yang baik, binatang-binatang ternak dan tanam-tanaman.
Demikianlah kesukaan hidup dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang sebaik-
baiknya (yaitu surga).

3) Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut tentang cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau
tidak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam (Qur’an surat al-Anfal, 8: 28)

11
Ibid, h. 101-103

16
“Dan ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu menjadi fitnah (ujian) dan
sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”

4) Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan


melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak
dan sedekah.
5) Harta berfungsi juga untuk meneruskan kehidupan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.

Dari uraian di atas, seharusnyalah harta itu diperoleh melalui cara halal yang
telah diatur secara jelas di berbagai ayat dalam Al-Qur’an. Demikian pula dalam
menggunakan atau membelanjakan harta harus pula dengan cara yang baik demi
memperoleh ridho Allah swt serta tercapainya distribusi kekayaan yang adil di
tengah-tengah masyarakat. Penggunaan atau pembelanjaan harta wajib dibatasi pada
sesuatu yang halal dan sesuai syariah. Dengan demikian, harta itu jangan sampai
digunakan untuk perjudian, membeli minuman keras dan barang-barang yang
diharamkan, membayar perzinahan, atau apa saja yang dilarang oleh syariah.

17
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara Etimologis, kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk yang berarti
penguasaan terhadap sesuatu. Secara terminologis, al-milk yaitu pengkhususan
seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum
terhadap benda itu (sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan
syara’.
Menurut syariat Islam setidaknya ada lima sebab kepemilikkan (asbab al-
tamalluk) yang dijadikan sebagai sumber daya ekonomi, yaitu Bekerja
(al’amal), Pewarisan (al-irts), Pemberian Harta Negara kepada Rakyat, Harta
yang Diperoleh Tanpa Kompensasi Harta atau Tenaga. Hak milik terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Hak milik individual (al-milkiyyat al-
fardiyyah/privat property), 2) Kepemilikan umum (al-milkiyyat al-‘ammah/public
property), 3) Kepemilikan negara (al- milkiyyat al-daulah/state property).
Islam memberikan batasan-batasan tertentu agar kepemilikan tersebut tetap dalam
koridornya; tidak melepaskan begitu saja dan tidak membebaskannya tanpa batas.
Wahbah Zuhaili menurut M.Pudjihardjono dan Nur Faizin Muhith menjelaskan
batasan-batasan tersebut.
1. Tidak membahayakan kepemilikan orang lain
2. Kepemilikan individu juga harus didapatkan dengan cara atau aturan yang
sesuai dengan syariah.
3. Kepemilikan individu tidak dibenarkan atau dilarang, kepemilikan dalam
hal ini hanya diberikan untuk masyarakat secara umum, seperti
kepemilikan atas harta kekayaan yang memberikan manfaat umum, seperti
masjid, jalan raya, lautan, sungai, dan lain sebagainya.
4. Terdapat hak-hak masyarakat umum didalam harta kekayaan individu.
5. Batasan etika Islam dalam dalam memproduksi maupun mengkonsumsi.

18
Para fiqaha’ memberikan berbagai definisi tentang harta. Sebagian dari mereka
mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang diingini oleh tabiat manusia dan boleh
disimpan untuk tempoh yang diperlukan atau sesuatu yang dapat dikuasai, disimpan dan
dimanfaatkan. Harta tidak saja berkedudukan untuk mendekatkan diri kepada Allah tetapi
harta juga berfungsi dalam kehidupan ini. Antara fungsi harta tersebut adalah:
1) Harta merupakan amanah (titipan, as a trust) dari Allah swt. manusia hanyalah
pemegang amanah karena memang tidak mampu mewujudkan harta dari tiada.
2) Harta berfungsi sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia boleh
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.
3) Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut tentang cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau
tidak.
4) Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan
melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak
dan sedekah.
5) Harta berfungsi juga untuk meneruskan kehidupan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta: Kencana, 2014)

Ali Akbar, Konsep Kepemilikan dalam Islam, dalam Jurnal Ushuluddin, Vol.
XVIII No.2, Tahun 2012

A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, (trjm) H. Anshari Thayib,


(Surabaya,: Bina Ilmu, 1997)

Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan,
(Yogyakarta: Magistra Insania Press,2004)

M. Pudjihardjono, Nur Faizin Muhith, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, cet.1


(Malang: UB Press, 2019)

Rizal, Eksistensi Harta Dalam Islam , dalam jurnal Penelitian Vol.9 N0.1, Tahun
2015

M. Sularno, Konsep Kepemilikan dalam Islam, dalam jurnal Al-Mawarid Edisi IX


Tahun 2003

Anda mungkin juga menyukai