Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya menjadi sempurnalah segenap
kebaikan, dan kepada-Nyalah taufik dan hidayah diharap dalam segala urusan dunia dan
akhirat. Wahai tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah
bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami. Shalawat dan salam semoga tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Yang telah dipilih Allah sebagai rahmat bagi
sekalian alam dan pembimbing seluru makhluk; beserta keluarga, para sahabat, dan orang-
orang yang mengikuti petunjuknya hingga hari kiamat. Amma ba’da:
 Karena dengan izin-Nyalah kami bisa menyuguhkan makalah ini, yang memuat
tentang penjelasan mengenai Penikahan, Talak, Iddah, Rujuk serta beberapa Nikah yang
dilarang . Dalam penyajiannya kami berusaha menggunakan bahasa yang mudah dipahami
dan memberikan pemaparan yang luas dan luges. Adapun referensi yang kami gunakan
merupakan referensi yang dapat diakui keabsahannya. Makalah ini kami susun dengan
maksud: “Li-ibtighaa-i mardlaatillaah” yakni untuk memperoleh keridhaan Allah semata-
mata.
Kepada saudara-saudara kami yang seagama dan seaqidah, kami ucapkan banyak
terima kasih atas campur tangannya dalam penyusunan maklah ini, semoga amal dan jerih
payahnya dibalas oleh Allah Swt. Tentunya makalah yang kami suguhkan ini tidaklah
terlepas dari kekurangan, karena kami hanyalah manusia biasa yang tak lupuk dari salah dan
khilaf, olehnya itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa kami butuhkan demi
kesempurnaan makalah ini dikemudian hari.
Wassalam.
Malang, 17 April 2016
Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkis atau tidak ada aturan.
Demi untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan
hukum sesuai dengan martabat tersebut sehingga antara laki-laki dan perempuan diatur secara
terhormat dan berdasarkan saling rida-meridai, dan dengan dihadiri para saksi yang
menyaksikan kalau kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk
memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak laksana
rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya. Pergaulan
suami-isteri diletakkan dibawah naungan keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya dapat
menumbuhkan keturunan yang baik dan hasil yang memuaskan. Peraturan pernikahan seperti
inilah yang diridai oleh Allah SWT dan diabadikan dalam Islam untu selamanya.
Pernikahan merupakan sebuah langkah untuk menyatukan dua insan yang berbeda
jenis dalam satu ikatan suci, guna melestarikan keberlangsungan hidup manusia. Ini sejalan
dengan maqasid al-Shari’ah1. Namun tak jarang seiring berjalanya waktu, pernikahan itu
mengalami keretakan dan perpisahan, baik berupa talak maupun ditinggal mati oleh salah
satu pihak. Hal ini merupakan problematik yang paling ditakuti oleh para pelaku pernikahan.
Sebab hal ini, mempunyai beberapa konsekuensi yang harus dijalani.
Sekalipun pernikahan merupakan ikatan yang sangat kuat serta setiap pasangan
pernikahan membulatkan tekadnya untuk mencapai tujuan dishari'atkannya nikah, namun
adakalanya untuk membangun rumah tangga yang harmonis (sakinah, mawaddah, rahmah)
tidak semua dapat terlaksana dengan mulus. Tujuan pernikahan sering tidak dapat tercapai

1
Hifzh al-Nasl, masih dibagi menjadi tiga bagian yaitu: menjaga keturunan dalam tingkat dharuriyah, Hajiyah dan
Tahshiniyah. Mengenai pembahasan masing-masing tingkatan lihat: Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007),125.
sebab sikap kemanusiaan masing-masing yang saling berbenturan. Oleh karena itu harus ada
jalan keluar untuk mengatasi hal ini, Talak dishari'atkan untuk mengatasi permasalahan ini.
Hak untuk menjatuhkan talak melekat pada orang yang menikahinya. Apabila hak
menikahi orang perempuan untuk dijadikan sebagai istri, maka yang berhak menjatuhkan
talak adalah orang laki-laki yang menikahinya.2
Sedangkan bagi isteri, Islam memberikan jalan untuk memutuskan ikatan perkawinan
dengan suaminya jika ternyata suaminya buruk akhlaknya, atau karena cacat, atau
perbuatannya menimbulkan mad}arat bagi istri sementara suami tetap bersikukuh untuk
mempertahankan utuhnya perkawinan yaitu dengan mengadukan persoalannya kepada
Qadli/Hakim dengan menggugat agar dijatuhkan talak suami kepada dirinya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalahini
adalah.
1) Bagaimana pengertian, hukum, syarat, rukun dan tujuan dari sebuah pernikahan ?
2) Bagaimana pengertian, hukum dan macam-macam talak?
3) Bagaimana pengertian, hukum, tujuan, hak dan kewajiban serta macam-macam iddah?
4) Bagaimana pengertian, hukum, syarat, rukun dan hikmah dari ruju’?

1.3. Tujuan

Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk:

1) Mengetahui pengertian, hukum, syarat, rukun dan tujuan dari sebuah pernikahan ?
2) Mengetahui pengertian, hukum dan macam-macam talak?
3) Mengetahui pengertian, hukum, tujuan, hak dan kewajiban serta macam-macam
iddah?
4) Mengetahui pengertian, hukum, syarat, rukun dan hikmah dari ruju’?

2
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) ,155
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pernikahan
2.1.1. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Perkawinan disebut juga pernikahan, berasal dari kata nikah yang menurut
bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk bersetubuh
(wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk
arti akad nikah.3
Abdur Rahman Gazaly mengutip pendapat Muhammad Abu Israh memberikan
definisi yang lebih, pernikahan ialah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadaka tolong
menolong, dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-
masing.4
Dalam kompilasi hukum Islam, pengertian perkawinan dinyatakan dalam pasal 2,
sebagai berikut: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau misaaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.5

2.1.2. Hukum Pernikahan


Asal hukum melakukan perkawinan itu menurut pendapat sebagian besar para fuqaha
adalah mubah atau ibahah (halal atau kebolehan). Asal hukum melakukan nikah (perkawinan)
yang mubah (ibahah) tersebut dapat berubah-ubah berdasarkan sebab-sebab (‘illahnya)
kausanya, dapat beralih mejadi makruh, sunat, wajib dan haram.6
 Hukum nikah menjadi wajib bagi orang yang berhawa nafsu dan takut kalau ia
terjerumus ke jurang perzinaan. Ibnu Qudamah berkata: Para ulama telah
menyepakati bahwa barangsiapa yang telah menghayalkan dirinya untuk menikah dan

3
Abd. Rachman Gozali, Fikih Munakahat, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003). 7
4
Abdur Rachman Gazhali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006). 1
5
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), 10
6
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), 21
takut terjerumus ke lembah perzinaan, maka nikah baginya adalah lebih baik dari
pada haji, shalat, dan puasa." 
 Hukum nikah menjadi sunnah, bagi seseorang yang memiliki hawa nafsu tapi tidak
mengkhawatirkan dirinya terjerumus pada perzinaan. Dalam hal ini, 'Iyadl berkata:
"Barangsiapa yang mampu memberikan keturunan tapi tidak takut terjerumus ke
jurang perzinaan maka hak nikah baginya adalah sunnah (manduub)." 
 Hukum nikah juga bisa menjadi haram bagi seseorang yang sedang berada di kawasan
daar al-harb (medan perang), sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ulama.
Sama halnya seperti pedagang yang masuk ke kawasan tersebut dengan aman, kecuali
dalam kondisi darurat, sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ahli 'ilmi. 
 Hukum nikah adalah makruh. Bagi seseorang yang memiliki hawa nafsu, tetapi bila ia
menikah maka urusan ibadah dan hubungan kerabat bisa putus, maka hukum
nikahnya adalah makruh. 

Adapun dasar hukum nikah adalah firman Allah :

Artinya: “…..Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua,tiga atau empat,…”
(Q.S: An-Nisa’: 3)
Rasulullah bersabda:

Artinya: Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian mampu menyiapkan bekal, maka
menikahlah, karena sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji.
Barang siapa tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi
benteng. (Muttafaq Alaih).7
Berdasarkan hadis di atas, maka Imam Taqiyyuddin Abi Bakar dalam Kifatul Akhyar
mengatakan bahwa nikah disunahkan bagi orang yang sangat membutuhkan dan dia sudah
mampu membiayai pernikahan, mahar dan untuk memberi nafkah lahir dan batin. Namun
apabila ia sudah sangat ingin menikah sementara ia belum mampu membiayainya, maka

7
Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Jami al-Shaghir, Semarang: Toha Putra, tt. hlm. 217
hendaknya ia tidak menikah terlebih dahulu dan untuk menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan, hendaknya ia berpuasa.8

2.1.3. Syarat dan Rukun Pernikahan

Mengenai syarat rukun nikah ini maka Kompilasi Hukum Islam pasal 14, menjelaskan yaitu :
“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami
b. Calon Istri
c. Wali nikah
d. Dua Orang saksi
e. Ijab dan Qabul”9

Rukun adalah sesuatu yang harus ada untuk menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), namun sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Adapun rukun
dalam sebuah pernikahan, jumhur ulama sepakat ada empat, yaitu:10

1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai adalah:

a) Laki-laki dan perempuan yang melangsungkan pernikahan haruslah sama-sama


beragama Islam.
b) Keduanya harus jelas identitasnya dan bisa dibedakan dengan orang lain, baik terkait
dengan nama, keberadaan, jenis kelamin dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan
dirinya. Dengan adanya syariat peminangan sebelum berlangsungnya pernikahan
kiranya merupakan suatu syarat supaya kedua calon mempelai bisa sama-sama tahu
dan mengenal satu sama lain secara baik dan terbuka.
c) Kedua belah pihak telah setuju untuk menikah dan juga setuju dengan pihak yang
mengawininya. Tentang izin dan persetujuan dari kedua belah pihak yang akan
melangsungkan pernikahan ulama fikih berbeda pendapat dalam menyikapinya.

2.) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

8
Abi Yahya Zakaria, Fathul Mu’in, Semarang: Toha Putra, tt. hlm. 31
9
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Mengenai rukun nikah ini dapat pula dilihat
dalam Muhammad Syarbini, Op. Cit., hlm. 116, Abi Yahya Zakaria, Op. Cit., hlm. 34.
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. hlm
Akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang menjadi wali adalah:

a) Orang merdeka (bukan budak)


b) Laki-laki (bukan perempuan) sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang
diriwayatkan Abu Hurairah. Namun ulama Hanafiah dan Syiah Imamiyah berbeda
pendapan tentang hal ini. Keduanya berpendapat bahwa perempuan yang telah
dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula
menjadi wali untuk perempuan lain yang mengharuskan adanya wali.
c) Telah dewasa dan berakal sehat. Oleh karena itu anak kecil atau orang gila tidak
berhak menjadi wali. Hal ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang
melakukan akad.
d) Tidak sedang melakukan ihram untuk haji atau umrah. Hal ini berdasarkan hadis
Nabi dari Us|man menurut riwayat Abu Muslim yang artinya ‚Orang yang sedang
ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh
seseorang.‛
e) Tidak dalam keadaan mendapat pengampuan (mahjur ‘alaih). Hal ini karena orang
yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan dirinya
sendiri.
f) Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat
dengan dosa kecil serta tetap memelihara murah dan sopan santun. Hadis Nabi dari
‘Aisyah menurut riwayat Al Qut}ni menjelaslan bahwa ‚Tidak sah nikah kecuali bila
ada wali dan dua orang saksi yang adil.‛
g) Berpikiran baik. Oleh karena itu tidak sah menjadi wali seseorang yang terganggu
pikirannya sebab ketuaannya, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan
maslahat dalam pernikahan tersebut.
h) Seorang muslim, oleh karena itu orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi
wali untuk pernikahan muslim.

3) Adanya dua orang saksi

Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kedudukan saksi dalam


pernikahan, apakah termasuk rukun ataukah termasuk syarat dalam pernikahan. Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa saksi itu adalah termasuk rukun dari
pernikahan. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Zahiriyah, saksi merupakan salah satu dari
dari syarat-syarat pernikahan yang ada.

Tidak semua orang boleh menjadi saksi, khususnya dalam pernikahan. Ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi agar dia bisa menjadi saksi yang sah, yaitu:

a) Saksi berjumlah minimal dua orang. Pendapat inilah yang dipegang oleh jumhur
ulama. Sedangkan hana>fiyah berpendapat lain, menurutnya, saksi itu boleh
terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
b) Kedua saksi itu merdeka (bukan budak).
c) Saksi bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu
melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muru>ah.
d) Saksi harus beragama Islam.
e) Saksi harus bisa mendengar dan melihat.
f) Kedua saksi adalah laki-laki. Menurut Hanafiyah saksi itu boleh terdiri dari
perempuan asalkan harus disertai saksi dari laki-laki. Sedangkan menurut
Zahiriyah, saksi boleh dari perempuan dengan pertimbangan dua orang
perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki.

4) Sighat akad nikah yaitu ijab dan kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Dalam hukum Islam, akad pernikahan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat
keperdataan. Akad dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dengan ungkapan
mis|aqan galizan dalam Al Quran, yang mana perjanjian itu bukan haya disaksikan oleh dua
orang saksi atau kehadiran orang banyak pada waktu terlangsungnya pernikahan, akan tetapi
juga disaksikan langsung oleh Allah SWT. Oleh karena itu perjanjian pada akad pernikahan
ini sangatlah bersifat agung dan sakral.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar akad ijab kabul itu bisa menjadi sah,
yaitu:

a) Akad dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Ijab berarti penyerahan dari
pihak pertama, sedangkan Kabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Contoh
penyebutan ijab ‚saya nikahkan anak saya yang bernama Khotibah dengan mahar
uang satu juta rupiah dibayar tunai‛. Lalu kabulnya ‚saya terima menikahi anak bapak
yang bernama Khotibah dengan mahar uang sebesar satu juta rupiah. Materi dari ijab
dan Kabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan dan bentuk mahar yang
sudah ditentukan.
b) Ijab dan Kabul harus menggunakan lafad yang jelas dan terang sehingga dapat
dipahami oleh kedua belah pihak secara tegas. Dalam akad tidak boleh menggunakan
kata sindiran karena masih dibutuhkan sebuah niat, sedangkan saksi dalam pernikahan
itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Lafad yang sharih
(terang) yang disepakati oleh ulama ialah kata nakaha atau zawaja, atau terjemahan
dari keduanya.
c) Ijab dan kabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi
masa berlangsungnya pernikahan, karena adanya pernikahan itu bertujuan untuk
selama hidupnya, bukan sesaat saja.
d) Ijab dan kabul harus diucapkan secara bersinambungan tanpa terputus walau sesaat.

2.1.4. Tujuan Pernikahan


Manusia sebagai makhluk hidup tidak mungkin dapat hidup sendiri. Ia pasti membutuhkan
orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan memenuhi segala kebutuhannya.
Selain itu manusa juga dikaruniai nafsu berupa kecerendungan tabiat kepada sesuatu yang
cocok. Kecerendungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada pada diri manusia,
sebagai urgensi kelangsungan hidupnya.
Syari’at yang ditentukan Islam mengajak pasangan suami-istri untuk selalu berusaha
menemuka kebaikan, keteguhan dan perjuangan pasangannya disamping hanya sekedar
kenikmatan berhubungan badan. Rasulullah memberikan anjuran kepada para pemuda yang
belum menikah agar segera menikah, karena begitu besar faedah dan tujuan yang ada pada
pernikahan, diantara faedah dan tujuan yang utama adalah:
1. Menjalankan perintah Allah, sebagaimana hal ini tertuang dalam firman-Nya:

Artinya: ‚dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian24 diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yag perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.11
11
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: Penerbit J-ART, 2005), 355
2. Meneladani sunnah Rasulullah
3. Menciptakan ketenangan jiwa dan rasa sayang antara suami-istri

Artinya: ‚Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir‛(Ar-Rum: 21).12
4. Melestarikan keturunan, dan mendapatkan generasi yang shalih yang siap berjuang di jalan
Allah.
5. Menjaga kemaluan, menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan wanita.

2.2. Talak
2.2.1. Pengertian Talak
Secara bahasa talak berarti pemutusan ikatan, sedangkan menurut istilah talak berarti
pemutusan tali pernikahan. Talak tanpa adanya alasan merupakan sesuatu yang dimakruhkan.
Dari Tsauban R.A ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‚siapapun wanita yang
meminta cerai tanpa adanya alasan yang membolehkan, maka haram baginya bau surga ‛.
(HR, Ahmad Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dimana beliau menghasankannya)13
Talak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya yang mengancam salah
satu pihak, baik itu suami atau istri, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah: 231

Artinya: ‚Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf
12
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 407
13
Abi Abdillah Muh bin Yazid, Al Muwatha’ Imam Malik Jilid 2, (Beirut: Darul Kitab
Alamiah, 2004), 133
(pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah
permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu‛.14
Talak adalah putusnya ikatan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Dan putus pernikahan disini adalah bisa berarti salah seorang diantara keduanya meninggal
dunia atau antara pria dan wanita sudah bercerai dan salah seorang diantara keduanya pergi
ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya, sehingga pengadilan menganggap bahwa
yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan pernikahan
suami istri sudah putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang
diikat oleh tali pernikahan.
Selain itu talak juga dapat diartikan dengan menghilangkan ikatan pernikahan
sehingga setelah hilangnya ikatan pernikahan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini
terjadi dalam talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan pernikahan ialah
berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang
menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang
hak suami talak, itu yaitu terjadi dalam talak raj’i.15

2.2.2 Macam-macam Talak


Talak terbagi menjadi dua macam yakni talak sunnah dan talak bid’i:16

 Talak Sunnah
Talak sunnah yakni talak yang terjadi dengan mengikuti perintah syara’. Talak sunnah
adlah talak suami yang menceraikan istri telah berhubungan dengan istri dengan satu
kali talak. Istri dalam keadaan suci dan ia tidak menyentuhnya.
 Talak Bid’i
Talak bid’i adalah talak yang berbeda dengan yang disyariatkan. Seakan – akan ia
menceraikannya tiga kali dalam satu kata. Atau ia menceraikannya tiga kali berbeda –
beda pada satu tempat. Seakan – akan ia berkata : “Engkau aku cerai, engkau aku
14
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 38
15
Abd Rahman Ghazali,fikih munakahat , (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), 192
16
Muhammad Kamil ‘Uwaida, Fiqh Wanita,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007),438.
cerai, engkau aku cerai.” Atau juga ia menceraikan waktu haidh dan nifas, atau dalam
waktu suci namun telah berhubungan dengannya. Para ulama; telah sepakat bahwa
talak bid’i hhukumnya haram.

Kemudian talak jika dilihat dari segi kembalinya dan bagiannya terbagi dalam dua hal yakni
talak raj’i dan talak ba’in.

 Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang diperbolehkan bagi laki – laki untuk kembali pada
istrinya, sebelum habis masa ‘iddah dengan tanpa mahar baru dan akad baru. Talak ini
tidak menjadi jelas untuk istri seketika tetapi stelah berakhirnya ‘iddah. Ia bernaung
dalam lindungan suaminya hingga habis masa ‘iddahnya. Ia tinggal dalam rumah
yang disebutkannya. Atau rela jika dipilihkannya. Ia memberikan nafkahnya, selama
dirinya tidak takut atas suaminya. Maka pada saat demikian ia pergi ke keluarganya.
Adapun yang termasuk dalam kategori talak raj’i adalah sebagai berikut: 1) Talak
satu atau talak dua tanpa ‘iwadh dan telah kumpul. 2) Talak karena ila’ yang
dilakukan Hakim. 3) Talak Hakamain artinya talak yang diputuskan oleh juru damai
(hakam) dari pihak suami maupun dari pihak isteri.17
 Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang memutuskan, yaitu suami tidak memiliki hak untuk
kembali pada perempuan yang diceraikannya dalam masa ‘iddahnya. Talak ba’in
masih terbagi lagi menjadi dua yakni talak ba’in shughra dan qubra.
a. Talak ba’in shughra, yakni talak bagi laki – laki tidak boleh kembali kepada
istri kecuali dengan mahar dan akad yang baru. Pada saat iddah atau setelah
masa iddahnya. Adapun yang termasuk dalam kategori talak ba’in sugra ini
adalah: a) Talak karena fasakh yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan
Agama, b) Talak pakai iwadh (ganti-rugi), talak tebus berupa khulu’ c) Talak
karena belum dikumpuli.18
b. Talak ba’in qubra, yakni talak yang tidak boleh bagi laki – laki kembali pada
istrinya, kecuali stelah mantan istrinya tadi menikah dengan orang lain terlebih
dahulu hingga melaksanakan tujuan pernikahan secara benar. Ketika suami
kedua menceraikan dengan talak yang benar maka suami pertama baru boleh

17
Abidin, Aminuddin, Fiqh, 34
18
Ibid, 35
menikahinya kembali dengan mahar dan akad yang baru. Adapun suami yang
kedua tersebut disebut dengan muhallil.

Berikut keterangan Imam Syafi’i mengenai hukum talak tiga sekaligus, antara lain:
Imam Syafi’i, dalam Kitab al-Um mengatakan: “Apabila berkata seorang laki-laki kepada
isterinya yang belum digaulinya: “Engkau tertalak tiga”, maka haramlah perempuan itu
baginya sehingga ia kawin dengan suami yang lain.”19

2.2.3. Hukum Talak


Mengenai hukum talak, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh. Dari
kalangan Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa talak itu terlarang kecuali bila diperlukan.
Sedang menurut madzhab Syafi’i membedakan hukum talak menjadi empat yaitu:20
a. Wajib yaitu seperti talaknya orang yang tidak bisa bersetubuh.
b. Haram yaitu menjatuhkan talak sewaktu isteri dalam keadaan haid.
c. Sunnah yaitu seperti talaknya orang yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya
sebagai suami karena tidak ada keinginan sama sekali kepada isterinya.
d. Makruh seperti terpeliharannya semua peristiwa tersebut di atas.

2.3. Iddah
2.3.1. Pengertian Iddah
‘Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata addayauddu-iddatan, dan
jamaknya adalah idad yang secara arti kata berarti‚ menghitung‛ atau hitungan kata ini
digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber’iddah
menunggu berlalunya waktu.21

Artinya: ‚ wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
19
Syafi’i, al-Um, Darul Wifa’, Juz. VI, 467.
20
Syamsuddin, Moh. Ibnu Abi Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Sihabuddin, al-Ramli, juz VII
21
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),303
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi
Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.22

2.3.2. Dasar Hukum Iddah


Yang menjalani iddah adalah perempuan yang bercerai dari suaminya bukan laki-
lakiatau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup
atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak wajib menjalani masa iddah.
Kewajiban menjalani masa iddah itu dapat dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya
adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang artinya:
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”23

2.3.3. Macam-Macam Iddah


Istri yang menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian adalah
sebagai berikut:
a. Kematian suami
b. Belum dicampuri
c. Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
d. Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya.
e. Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid.
Adapun bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam: a) Iddah dengan cara
menyelesaikan quru’ yaitu antara haid dan suci; b) Iddah dengan kelahiran anak; dan c)
Iddah dengan perhitungan bulan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 masa iddah diklasifikasikan menjadi
beberapa macam yaitu:

22
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37
23
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37
A. Putus pernikahan karena ditinggal mati suaminya.
Apabila pernikahan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari hal itu
diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 153 KHI. Dan
ketetapan ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain
halnya dengan istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka waktu
tunggunya adalah sampai ia melahirkan.
B. Putus pernikahan karena perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya maka memungkinkan mempunyai
beberapa waktu tunggu yaitu:
1) Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil iddahnya sampai
ia melahirkan kandungannya.
2) Dalam keadaan tidak hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak
berlaku baginya masa iddah. Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi
hubungan kelamin (dukhul). Adapun rincian masa tunggunya sebagai berikut:
 Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya berlaku
ketentuan 3 kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari.
 Bagi istri yang tidak datang bulan maka iddahnya 3 bulan atau 90 hari.
 Bagi seorang istri yang pernah haid namun ketika menjalani masa iddah ia tidak haid
karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.
 Dalam keadaan yang disebut pasal 5 KHI pasal 153 bukan karena menyusui maka
iddahnya selama satu tahun akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia
berhaid kembali maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
C. Putus pernikahan karena khulu’, fasakh dan li’an
Masa iddah bagi janda yang putus ikatan pernikahannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar
tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan pernikahan karena salah satu diantara
suami-istri murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak dibenarkan kawin) atau li’an
maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
D. Istri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah.
Apabila istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani masa iddah sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 pasal 153 KHI ditinggal mati oleh
suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang
mulai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah
dilaluipada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat
kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama menjalani iddah dianggap masih terikat
dalam pernikahan karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa
iddah. Karakteristik masa iddah tersebut merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang
waktu hitungan masa iddah dalam hukum pernikahan Islam.

2.3.4. Hak dan Kewajiban Perempuan Dalam Masa Iddah


Dalam menjalankan masa iddahnya bagi seorang istri terdapat beberapa perkara yang
harus dilaksanakan dan yang harus diperoleh. Dikutip dari Sayyid Sabiq yang mengatakan
bahwa istri yang sedang menjalankan masa iddah berkewajiban untuk menetap di rumah di
mana ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa iddahnya dan tidak
diperbolehkan baginya keluar dari rumah tersebut. Sedangkan si suami juga tidak boleh
mengeluarkan ia dari rumahnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surat Ath-
Talak ayat pertama.24
Seandainya terjadi perceraian diantara mereka berdua, sedang istrinya tidak berada di
rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si istri wajib kembali
kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada. 25Dan apabila
istri yang ditalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatka sesuatu
yang tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya
dari rumah tersebut. Ulama’ fiqh mengemukakan bahwa ada beberapa kewajiban bagi
perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya adalah:
a. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan maupun melalui
sindiran, akan tetapi untuk wanita yang menjalani iddah kematian suami pinangan
dapat dilakukan dengan cara sindiran.
b. Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama fiqh selain mazhab Syafi’i sepakat menyatakan
bahwa perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada
keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi
Ulama’ Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya baik cerai
hidup maupun cerai mati dilarang keluar rumah. Alasan mereka adalah sebuah hadits
dari Jabir bin Abdullah yang menyatakan bahwa: ‚Bibinya dicerai suaminya dengan
talak tiga lalu ia keluar rumah unntuk memetik kurmanya, ditengah keluar jalan bibi
24
Kamil Muhammad ‘Uwaida, Fiqh Wanita, (jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2007), 450.
25
Imam Syafi’i, Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh, diterjemahkan Muh Yasir Abd Muthalib, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007),513.
Jabir ini bertemu dengan seorang laki-laki, laki-laki ini melarangnya keluar rumah,
lalu bibi Jabir mengadukan permasalah ini kepadaa Rasulullah, kemudian Rasulullah
berkata: ‚pergilah engkau ke kebunmu itu untuk memetik buah kurma, mudah-
mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu dan lakukanlah sesuatu yang
baik untukmu(HR.Nasa’i dan Abu Dawud)‛ Kemudian ayat Al-Qur’an yang dijadikan
landasan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan bahwa seorang perempuan yang
dicerai suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai mati dilarang keluar rumah.
c. Menurut kesepakatan ulama’ fiqh perempuan yang menjalani iddah akibat talak raj’i
atau dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh nafkah yang
dibutuhkan perempuan tersebut. Akan tetapi apabila iddah yang dijalani adalah iddah
karena kematian suami maka perempuan itu tidak mendapatkan nafkah apapun karena
kematian telah menghapus seluruh akibat pernikahan. Namun demikian ulama’
mazhab Maliki menyatakan bahwa perempuan tersebut berhak menempati rumah
suaminya selama dalam masa iddah tersebut, apabila rumah itu adalah rumah
suaminya.
d. Perempuan tersebut wajib ber-ihdad
Mengenai hak-hak istri dalam masa iddah bahwa Ulama fiqh berpendapat istri yang
dicerai oleh suami dengan talak raj’i selama masa iddah berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya. Hal inilah yang kurang mendapat perhatian dari suami yang menceraikan istrinya
padahal masalah tersebut menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban) dari seorang
suami. Akan tetapi apabila iddahnya karena suami wafat maka istri tidak mendapat nafkah.
Namun mazhab Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal.26
Istri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang diterimanya
dikelompokan ke dalam tiga macam:
 Istri yang dicerai dalam talak raj’i hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana
yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, pakaian
dan juga tempat tinggal. Dan hal ini merupakan kesepakatan Ulama’.
 Istri yang dicerai dalam bentuk talak ba’in, baik ba’in sughro ataupun ba’in kubra dan
dia sedang hamil, dalam hal ini ulama’ sepakat bahwa dia berhak atas nafaqah dan
tempat tinggal.
 Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini dalam keadaan hamil
ulama’ sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun

26
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 222
bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’
diantaranya Imam Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri dalam
iddah wafat berhak atas tempat tinggal. Sebagian ulama’diantaranya Imam Ahmad
berpendapat bahwa istri dalam iddah
wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah hanya
menentukan untuk yang kematian suami itu adalah peninggalan dalam bentuk harta warisan.
Dalam menjalankan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya maka wajib
bagi mereka untuk menjalani masa berkabung atau ihdad dan terdapat perkara-perkara yang
dilarang pada saat ihdad, berikut ini dijelaskan mengenai larangan melakukan perkara
tersebut
Ummu ‘Athiyah meriwayatkan ‚kami diwajibkan berkabung atas kematian suami yakni
empat bulan sepuluh hari. Selama itu kami dilarang memakai celak, parfum dan pakaian yang
dicelup, kecuali sejenis pakaian celup buatan Yaman. Apabila kami suci dari dan mandi
setelah haid, kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit wewangian. Dan kami
dilarang mengiringi pemakaman jenazah‛.27
2.3.5. Hikmah ‘Iddah
Sebagai peraturan yang dibuat oleh Allah SWT, aturan tentang iddah pasti
mempunyai rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita
rasakan namun seringkali baru dapat kita rasakan setelah kejadian itu telah lama berlalu.
Hikmah atau manfaat dari diwajibkannya iddah dapat dilihat dari beberapa sisi diantaranya
dari sisi sosial:
a. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.
b. Memberikan kesempatan kepada suami-istri untuk kembali kepada kehidupan
rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
c. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga
suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami, hal ini jika
iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.
d. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami yang akan
menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita yang baru
dicerai mantan suaminya

2.4. Ruju’
2.4.1. Pengertian Ruju’
27
Abu Malik Kamal Bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah, (Jakarta: I’tishom Cahaya Umat, 2007), 324
28
Secara etimologis rujuk berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali.
Sedangkan rujuk dalam pengertian terminology adalah kembalinya suami kepada hubungan
nikah dengan istri yang telah di cerai raj’i dan di laksanakan selama istri masih dalam masa
iddah.29 Kata rujuk menurut bahasa Arab berasal dari kata raja’a - yarji’u - rujk’an yang
berarti kembali dan mengembalikan. Menurut syara’ adalah kembalinya seorang suami
kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah di talak raj’i. Rujuk
dalam istilah hukum disebut Raja’ah secara arti kata berarti “kembali ”. Sedangkan menurut
Imam Syafi’i, rujuk adalah mengembalikan istri yang masih berada dalam masa iddah kepada
keadaan yang semula.30
Menurut Jumhur Ulama’ rujuk adalah mengembalikan wanita yang di talak selain
talak ba’in, pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa iddah tanpa akad
yang baru.

2.4.2. Hukum Ruju’


Menurut maz|hab Syafi’i hukum rujuk adalah:
a. Sunnah, seperti talaknya orang yang tidak bias melaksanakan kewajibannya sebagai
suami karena tidak keinginan sama sekali kepada istrinya.
b. Haram, seperti talak bid’ah yang artinya talak yang berdasarkan sunnah yaitu talak
sewaktu istri sedang haid atau nifas atau suci yang telah disetubuhi.
c. Wajib, seperti talak orang yang tidak bisa bersetubuh.
d. Makruh, seperti terpeliharanya semua peristiwa tersebut diatas.31
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa suami mempunyai hak rujuk untuk merujuki
istrinya di dalam masa iddah dan istri tidak berhak mencegah atau menghalangi rujuknya
suami istri tidak ada iwadh. Iwadh disini yaitu uang atau pengganti dalam rujuk suami.
Karena istri itu adalah masih menjadi hak suami, istri tidak berhak mencegah atau
menghalangi hak rujuk dan tidak adapula urusan bagi pada sesuatu yang menjadi hak suami
terhadapnya.32
Menurut Ibnu Rusyd hukum rujuk ada dua macam:
1. Hukum rujuk pada talak raj’i

28
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, h.209
29
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 90
30
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 285
31
Maftuh Hanan, Risalah Nikah, h.345
32
As-Syafi’I, Al-Um, h.432
Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan untuk yang pertama atau untuk yang kedua
kalinya selama masih dalam masa iddah, maak suami dapat rujuk kembali kepada bekas
istrinya tersebut tanpa memperbarui akad nikahnya.33
Kaum muslim telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada talak
raj’i, selama istri masih berada dalam masa iddah tanpa pertimbangan persetujuan istri.
Berdasarkan firman Allah surat Al- Baqarah ayat 228 yang berbunyi:

Artinya: Dan para suami mereka lebih berhak merujuknya kembali kepada mereka dalam
masa iddah, jika mereka ( para suamisuami) itu menghendaki perbaikan. Dan mereka para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan
tetapi para suami mempunyai satu kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah maha perkasa lagi
maha bijaksana.34
Imam Syafi’i juga berkata: Hamba budak mempunyai hak talak dua kali, bila ia
mentalak satu pada istrinya, maka ia seperti orang merdeka yang mentalak istrinya satu atau
dua talakan, maka suami berhak juga untuk rujuk sesudah talak satu sebagai sebagaimana
yang dimiliki oleh laki-laki merdeka dalam merujuk istrinya setelah talak satu
dan dua.35
Madzhab Maliki dan Syafi’i mengatakan bahwa setiap talak itu
raj’i kecuali:
1) Talak ba’in.
2) Talak sebelum bersetubuh.
3) Talak dengan tebusan harta dari istri khuluk jadi talak ini disebut
talak ba’in sugra.
2. Hukum rujuk pada talak ba’in
Talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu: pertama talak Ba’in Sugra atau talak
ba’in kecil yaitu talak yang terjadi karena khuluk atau talak tebus. 36 Di dalam talak ba’in
sugra ini suami berhak lagi untuk merujuki istrinya, akan tetapi suami masih berhak untuk
berkumpul dengan istrinya kembali dengan akad nikah yang baru dan mas kawin
yang baru pula. Yang termasuk kategori talak ba’in sugra ialah:

33
Musthafa Kamal,dkk, Fikih Islam, h.287
34
Depag RI, Al-qur’an dan terjemah,h.45
35
Asy-Syafi’I, Al-Um, h.431
36
Musthafa Kamal, dkk, Fikih Islam, h.287
1) Perceraian dengan jalan talak tebus atau khuluk atau ta’lik talak dan syiqaq yang memakai
iwad}.
2) Talak suami istri yang belum pernah melakukan hubungan kelamin.
3) Perceraian karena fasakh oleh hakim Pengadilan Agama.
Kedua ba’in kubra yaitu talak yang dijatuhkan untuk ketiga kalinya. 37 Dalam talak
ba’in kubra ini suami tidak boleh menikah kembali dengan bekas istrinya kecuali harus
terlebih dahulu istri kawin dengan suami yang kedua, istri sudah dicampuri oleh suami kedua,
istri telah ditalak oleh suami yang kedua dan telah habis masa iddahnya. Hukum rujuk setelah
talak ba’in sama dengan nikah baru, yakni tentang persyaratan adanya mahar, wali dan
persetujuan. Hanya saja jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak
dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.38

2.4.3. Rukun dan Syarat Rujuk


a. Rukun Rujuk
Rukun rujuk adalah sigat atau pernyataan kembali dari suami serta perbuatan yang
menunjukkan keinginan tersebut. Ulama’ sepakat bahwa rujuk tidak sah apabila tidak
memenuhi rukun-rukun rujuk, akan tetapi terhadap ketentuan rukun itu mereka berbeda
pendapat. Menurut ulama’ jumhur rukun rujuk ada 3 macam yaitu:
1) Murtaji atau mantan suami.
2) Murtaja’a atau mantan istri.
3) Sigat atau ijab rujuk.39

b. Syarat Rujuk
 Laki- laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki- laki yang merujuk itu adalah
sebagai berikut:
a) Laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang di rujuk yang dia
menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
b) Laki-laki yang merujuk itu mestilah seorang yang mampu melaksanakan
pernikahan dengan sendirinya yaitu telah dewasa, sehat akalnya dan bertindak
dengan kesadarannya sendiri.

37
Ibid, h.268
38
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.292- 293
39
Syarbini, Asy-Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khotib, Mughni Al-Muhtaj V, h.3
 Perempuan yang dirujuk adalah perempuan yang telah dinikahi dan kemudian
diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus atau khuluk dan tidak pula dalam talak
tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam perkawinan itu dan masih berada
dalam masa iddah.Adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang di rujuk itu
adalah sebagai berikut:
a) Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki- laki yang merujuk.
b) Istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i.
c) Istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i.
d) Istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.
 Ucapan rujuk
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan
sepihak itu di dasarkan kepada pandangan ulama’ fiqh bahwa rujuk itu merupakan
hak khusus seorang suami.40 Oleh karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan
penerimaan dari pihak perempuan yang di rujuk atau walinya. Dengan begitu rujuk
tidak di lakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk hanya di
perlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang merujuk.
 Kesaksian dalam rujuk
Tentang kesaksian dalam rujuk ulama berbeda pendapat ada yang sebagian ulama’
termasuk salah satu pendapat dari Imam al- Syafi’i mensyaratkan adanya kesaksian
dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah.

2.4.4. Hikmah Ruju’


Dari penjelasan tentang rujuk, nyatalah bahwa perceraian itu merupakan satu perbuatan
yang sangat dibenci oleh Islam karena dampak negative yang di timbulkannya baik kepada
suami atau istri maupun terhadap anak- anaknya bagi yang telah memiliki anak. Sebaliknya
perdamaian (ishlah) atau rujuk merupakan perbuatan yang sangat disukai dalam Islam. Atas
dasar inilah institusi rujuk dalam Islam merupakan kesempatan yang cukup baik untuk
melakukan rekonsiliasi terhadap konflik yang terjadi antara suami dan istri. Dengan demikian
suami- istri yang telah di cerai harus memanfaatkan kesempatan masa iddah untuk
melaksanakan rujuk.41

40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 341- 342
41
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,h. 274
2.5 Pernikahan-Pernikahan yang Rusak (Batal)42

1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah merupakan pernikahan sementara yang disepakati antara dua pihak,
dikenal dalam pengertian sebagian Negara timur dengan nama “Ash-Shighah”. Mut’ah telah
menjadi kebiasaan antara kabilah-kabilah Arab dalam setiap waktu, sebagaimana pernikahan
yang dilakukan sebagian laki-laki saat permulaan Islam, ketika mereka jauh dari istri-istri
mereka karena peperangan.

‫عن علي بن طالب رضي هللا عنه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر‬

Dari Ali bin Abi Thalib r.a. ia berkata Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dengan
perempuan-perempuan pada waktu Perang Khaibar (HR Bukhari Muslim).

Nikah mut’ah telah menjadi kebiasaan orang Arab pada masa jahiliyah, maka tidak
termasuk hikmah keharamannya kecuali dengan perlahan-lahan, sebagaimana aturan Islam
dalam memutuskan adat jahiliyah yang berbeda dengan kemaslahatan dunia manusia.

Dapat diketahui bahwa nikah mut’ah tidak disepakati dan demi kebaikan manusia, karena
dengan ini hilanglah keturunan, pemanfaatan perempuan hanya terbatas untuk pemenuhan
syahwat oleh laki-laki dengan merendahkan kepribadian perempuan, maka wajib
keharamannya. Pernikahan ini hukumnya batal dan haruslah dibatalkan ketika terjadi.
Haruslah member mahar jika telah bercampur, dan jika tidak maka tidak ada kewajiban
baginya.

2. Nikah Asy-Syighaar
Nikah Asy-Syighaar yaitu seorang wali yang menikahkan ke walinya seorang laki-laki
dengan syarat ia menikahkannya juga sebagai kewaliannya; baik mereka menyebutkan
maharnya ataupun tidak. Hal ini berdasarkan hadits nabi:

‫ال شغار قي اإلسالم‬

“Tidak ada Syighaar dalam Islam.”

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata Rasululah SAW melarang syighaar, shighaar yaitu
seorang laki-laki yang mengatakan nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan aku

42
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. hlm. 102
menikahkanmu dengan anak perempuanku, atau nikahkanlah aku dengan saudara
perempuanmu dan aku menikahkanmu dengan saudara perempuanku (HR. Muslim).

Dari Ibnu Umar r.a. : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang syighaar, syighaar
adalah seseorang yang menikahkan anak perempuannya dengan syarat anak perempuannya
dinikahkannya dan antara keduanya tidak ada mahar (Muttafaq ‘alaih).

3. Nikah Al-Muhallil
Nikah muhallil adalah seorang perempuan dicerai tiga kali (talak ba’in qubra) maka
haramlah menikahinya berdasarkan firman Allah SWT:

‫فال تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره‬


Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. (QS. Al-Baqarah :230).
Maka ia dinikahi laki-laki lain dengan maksud kehalalannya bagi suami yang
pertama, pernikahan ini batil, berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud:
‫لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم المحلل و المحلل له‬
Rasulullah SAW melaknat al-muhallil dan al muhallil lahu (HR. At-Tirmidzi).

Pendapat imam Syafi’i :


 Berhati-hatilah menjadi muhallil karena akan sama seperti nikah mut’ah
 Apabila tidak ada niatan untuk menceraikan, maka hukumnya sah
 Apabila ada niatan menceraikan namun secara personal saja, maka hukumnya sah.
 Apabila ada perundingan namun tidak diucapkan ketika aqad nikah, maka hukumnya
sah tapi makruh
4. Nikah al-Muhrim
Nikah al-muhrim adalah seorang laki-laki yang menikah, sedangkan ia dalam keadaan
ihram untuk haji dan umrah sebelum tahallul. Hukum pernkahan ini batal. Jika ia
menginginkan nikah dengannya maka ia melaksanakan akad kembali setelah selesai haji atau
umrahnya berdasarkan sabda Nabi SAW:

‫ال تنكح الهحرم وال ينكح‬

Orang yang berihram tidak menikah dan tidak menikahkan (HR. Muslim).

Maksudnya ia tidak melaksanakan akad nikah baginya dan ia tidak melaksanakan


akad untuk orang lain. Larangan ini bersifat haram, yakni mengharuskan kebatalan.
5. Nikah Masa ‘Iddah
Nikah masa ‘iddah yaitu laki-laki yang menikahi perempuan yang masih ‘iddah baik
karena perceraian maupun kematian. Pernikahan ini batil hukumnya, yaitu hendaknya mereka
berdua dipisahkan karena batalnya akad dan ketetapan mahar tetap bagi perempuan meski ia
tidak bercampur dengannya. Diharamkan baginya menikahinya sehingga telah habis masa
‘iddahnya sebagai hukuman baginya. Dan jika ada ahli ilmu membolehkan setelah habis
masa ‘iddah jika ia tidak beranak dalam masa ‘iddahnya, adapun jika beranak dengannya
maka menurut Malik dan Ahmad mereka memandang keharaman atasnya dengan keharaman
yang selamanya.

6. Nikah Tanpa Wali


Nikah tanpa wali yaitu laki-laki yang menikahi perempuan tanpa izin walinya. Nikah
ini batil karena kurangnya rukun pernikahan yaitu wali. Hukumnya hendaklah mereka berdua
dipisahkan, suami tetap memberikan mahar jika menyentuhnya, dan setelah berpisah, ia
menikahinya dengan akad dan mahar jika walinya merelakan dengannya.

7. Nikah dengan perempuan kafir selain Ahli Kitab


Haram bagi seorang muslim untuk menikah dengan kafir majusi baik ia menyembah api,
komunisme, atau berhala, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat
221

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sebagaimana tidak halal bagi seorang muslimah untuk menikah dengan seorang kafir secara
mutlak, baik kitabi atau bukan kitabi, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Mumtahanah
ayat 11:

Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Nikah adalah akad yang dapat menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrimnya sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya. Pada dasarnya menikah menurut agama islam bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia penuh cinta kasih (mawaddah wa rahmah), akan tetapi secara umum
nikah mempunyai tujuan memperoleh ketenangan hidup, cinta dan kasih sayang, memenuhi
kebutuhan seksual yang sah dan diridhai Allah swt, memperoleh keturunan serta memperoleh
keluarga yang bahagia didunia dan akhirat.

Menurut islam nikah dipandang sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya,
yaitu ; calon suami dan isteri, ijab qabul, ada wali, dan dua orang saksi. Didalam islam ada
beberapa golongan pernikahan yang dilarang yaitu nikah mut’ah, nikat sighor, nikah masa
iddah, nikah muhrim dan lain sebagainya.

Talak menurut agana islam adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan


menggunakan kata talak dan kata ang searti. Bila terjadi talak, ikatan-ikatan antara suami
isteri yang disebabkan oleh perkawinan telah lepas semuanya. Setelah ditalak, seorang wanita
harus menjalani masa iddah, yaitu masa menunggu. Sedangkan rujuk (kembali) menurut
syara’ adalah kembalinya suami isteri kepada ikatan perkawinan dari talak raj’I yang masih
dalam masa iddah dengan aturan tertentu. Baik munakahah, talak maupun rujuk mempunyai
hikmah dalam kehidupan secara umumnya.

3.2. Saran
Bagi seorang laki-laki yang sudah berkeinginan untuk menikah dan sudah mampu baik lahir
maupun batin sebaiknya  mencari seorang istri dan segera menikahinya, agar ibadah menjadi
lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Abi Abdillah Muh bin Yazid. 2004. Al Muwatha’ Imam Malik Jilid 2. Beirut: Darul Kitab
Alamiah Abu Malik Kamal Bin Sayid Salim. 2007. Fiqh Sunnah. Jakarta: I’tishom Cahaya
Umat
Abi Yahya Zakaria. Fathul Mu’in. Semarang: Toha Putra
Al-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin
Al-Manufi. 1938. Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj. Mesir: Mushthafa Al-Bab Al-
Halabi wa Auladuh, , jilid VIII.
Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana,
Amir Syarifuddin. 2003. Garis-garis Besar Fiqih. Bogor: Kencana
Amir Syarifuddin. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Ghazaly, Abd. Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Imam Jalaluddin as-Suyuthi. 2000. Jami al-Shaghir. Semarang: Toha Putra.
Imam Syafi’i. al-Um. Beirut-libanon: Darul Fikr
Imam Syafi’i. 2007. Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh, diterjemahkan Muh Yasir Abd
Muthalib. Jakarta: Pustaka Azzam
Kamil Muhammad ‘Uwaida. 2007. Fiqh Wanita. jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Muhammad Kamil ‘Uwaida. 2007. Fiqh Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
M. Ali Hasan. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada
Media Group
Maftuh Hanan. 1989. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani
Musthafa Kamal, Dkk. 2002. Fiqih Islam. Jogjakarta: Citra Karya Mandiri
Rahmat Hakim . 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia
Ramulyo, Moh. Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Slamet Abidin, Aminuddin. 1999. Fiqih Munakaha., Bandung: Pustaka Setia,
Syarbini. 1994. Mugni Muhtaj V. Beirut-Libanon: Darul Kutub Alamiyah
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
Zainuddin Ali. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Anda mungkin juga menyukai